• Karikatur ISIS dan Kemalasan Dalam Beragama.


    Ketika saya membaca berita ini (yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama berdasarkan Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana gara-gara dimuatnya karikatur ISIS di koran tersebut), saya tahu sudah saatnya saya menulis mengenai isu kemalasan dalam beragama yang nampaknya sudah keterlaluan di Indonesia.

    Kepolisian mengaku sudah memeriksa saksi ahli pidana, ahli agama, dan Dewan Pers sebelum menetapkan Meidyatama sebagai tersangka. Saya serius ingin tahu darimana asalnya ahli-ahli yang dihubungi oleh kepolisian karena ini benar-benar tak masuk akal. Coba kita baca bunyi pasal yang dituduhkan: "dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

    Pasal tersebut pada prinsipnya mirip dengan konsep pasal penghinaan. Dalam beberapa artikel saya sebelumnya di sini dan di sini, saya sudah menyampaikan mengapa kasus penghinaan sebaiknya tidak dibawa ke ranah pidana. Analisis yang sama juga berlaku untuk kasus ini. Pertama, siapa yang dapat mewakili suatu agama untuk menyatakan bahwa seseorang sudah menistakan agamanya? Bagaimana kalau misalnya pendapat umat terpecah belah? Ada yang menyatakan agama tidak dihina dan ada yang menyatakan agamanya telah dihina. Pendapat siapa yang mesti kita ambil? Perlu voting terlebih dahulu atau musyawarah mufakat?  

    Kedua, apa yang dimaksud dengan perbuatan atau pernyataan permusuhan atau penodaan? Ambil contoh konsep agama Islam dan Kristen saja. Agama Kristen jelas tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi dan menganggap Yesus sebagai Tuhan. Sebaliknya Agama Islam juga jelas tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Secara konseptual, kita bisa menyatakan bahwa inti ajaran Kristen sudah menghina doktrin paling fundamental Islam tentang ketunggalan Allah (Islam menyatakan bahwa salah satu dosa terbesar adalah menuhankan apapun selain Allah) dan kenabian Muhammad, dan demikian pula doktrin Islam tentang Yesus juga menolak doktrin utama Kristen. Dengan logika demikian, semua kegiatan dakwah seharusnya dilarang karena kalau tidak, baik umat Muslim maupun Kristen harus masuk penjara karena sudah saling menodai agama masing-masing. Absurd kan?

    Ini mengapa konsep penistaan agama rawan penyalahgunaan. Standarnya tidak akan pernah jelas, dan umumnya dikontrol oleh pihak mayoritas. Lebih parah lagi, karikatur yang diributkan itu sebenarnya menggunakan bendera ISIS yang faktanya memang merupakan organisasi yang biadab. Kalau mau konsisten, yang seharusnya ditangkap oleh polisi adalah orang yang pertama kali membuat bendera ISIS, karena selain mencatut kalimat suci agama Islam, bendera itu juga merusak nama baik umat Islam. Dalam hal ini, orang-orang yang mendukung ISIS dan membawa-bawa bendera ISIS di Indonesia juga seharusnya ditangkap karena sudah menodai Islam di muka umum. 

    Ironisnya, karikatur itu sebenarnya dicomot oleh Jakarta Post dari koran di Timur Tengah. Malahan di Timur Tengah, ISIS seringkali diolok-olok, misalnya bisa dilihat di berita ini. Dan olok-olok itu juga memuat bendera ISIS yang mencomot kalimat suci syahadat. Apakah kemudian orang-orang Timur Tengah ini sudah menistakan agama Islam? Saya pikir jawabannya cukup jelas. Yang disayangkan adalah bahwa orang-orang di sini nampaknya tidak ingin berpikir panjang kalau sudah terkait isu agama.  

    Ingat kasus kartun Nabi Muhammad oleh kartunis Denmark yang sempat heboh di tahun 2005? Kaum muslim gampang sekali marah. Mau bagaimana lagi, Nabi sudah wafat, dan kemungkinan besar tidak akan ada lagi yang bisa menenangkan umat dengan efektif dan efisien selain Nabi sendiri. Padahal kalau orang-orang ini mau sebentar saja memeriksa kumpulan Hadis Bukhari dan Muslim, sudah ada banyak pedoman yang bisa dipelajari dalam menyikapi kasus penghinaan.

    Hadis Bukhari No. 122 dalam Bab 8, Buku 73 mengenai Adab mengisahkan tentang seorang pria dari kaum Anshar yang terang-terangan menuduh Nabi tidak memperhatikan kehendak Allah dalam pembagian rampasan perang (walaupun dia tidak berbicara secara langsung kepada Nabi melainkan kepada salah satu Sahabat Nabi). Ini tuduhan yang sangat serius, lebih serius dari kartun konyol manapun karena sama saja pria itu menuduh Nabi tidak adil. Ketika berita ini disampaikan kepada Nabi, raut muka Nabi sempat terlihat marah, namun beliau kemudian berujar bahwa Nabi Musa pernah disakiti dengan cara yang lebih parah oleh kaum Yahudi, dan Nabi Musa tetap bersabar.

    Dalam Hadis Bukhari No. 184 di Bab dan Buku yang sama, seseorang dari Bani Tamim menuduh Nabi tidak adil di muka umum ketika harta rampasan sedang dibagikan, dan kemudian ia meminta Nabi untuk segera bertindak adil. Umar bin Khatab yang sudah panas langsung meminta izin kepada Nabi untuk memotong leher pria itu. Anda semua tentu tahu kelanjutannya bukan? Nabi melarang Umar melakukan hal tersebut dan hanya memarahi si pria.  

    Terakhir dalam Hadis Muslim No. 5853 dan 5854, seorang Yahudi dan Sahabat Nabi bertengkar dan saling adu mulut, ketika kemudian si Yahudi mengucapkan "demi Tuhan yang sudah menunjuk Musa". Sahabat Nabi tersebut merasa si Yahudi telah menghina Nabi karena masih berani bersumpah dengan merujuk kepada Nabi Musa sementara sudah ada Nabi Muhammad, dan kemudian ia memukul si Yahudi. Si Yahudi melapor kepada Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad pun murka kepada si Sahabat karena berani membanding-bandingkan Nabi Musa dengan Nabi Muhammad. Menurut Nabi Muhammad, tahu darimana nantinya Nabi Muhammad yang lebih baik dari Nabi Musa di hadapan Allah pada saat kiamat?

    3 Hadis di atas saya pikir sudah cukup menjelaskan langkah apa yang perlu diambil terkait penistaan agama. Tidak perlu lebay. Kalau si penghina bermain dengan kata-kata, anda bisa bersabar atau juga membalas dengan kata-kata. Tentu tidak ada yang melarang anda untuk marah atau emosi, tapi kemudian membawa negara ikut serta dalam konflik tersebut? Nampaknya kita hanya akan membuang-buang sumber daya saja. Saya tidak habis pikir bagaimana mungkin begitu banyak orang Muslim yang harus marah-marah dan kemudian merusak nama baik Islam gara-gara kartun yang digambar oleh beberapa orang tak bermakna dari Denmark? Apalah artinya mereka dihadapan kebesaran Nabi? Tapi tidak, hal-hal kecil ini justru dibuat menjadi bola panas, dipolitisasi sampai akhirnya menjadi kasus tenar. Saya sudah bosan melihat orang-orang bodoh dibuat menjadi tenar. 

    Pernah tidak dipikirkan apa dampak sikap yang keras dan seakan haus darah itu terhadap citra Islam? Jelas bukan citra yang baik. Padahal dalam Hadis Bukhari No. 131 Buku 8 Bab 73, Nabi sudah memperingatkan tentang bahaya orang-orang yang membuat umat lari dari agama. Contoh yang dipakai Nabi adalah orang yang memperpanjang bacaan shalat sehingga membuat umat malas shalat berjamaah. Bayangkan, sebegitu pentingnya citra agama sehingga memperpanjang bacaan shalat (yang sebenarnya bukan hal yang buruk juga) dipermasalahkan oleh Nabi. Apalagi kalau kita malah mencitrakan diri kita sebagai umat barbar!

    Pertanyaan terbesar saya adalah mengapa kebodohan dan kemalasan dalam berinvestasi untuk mempelajari agama ini begitu dahsyat? Jujur sajalah, kasus remeh temeh macam karikatur ISIS di Jakarta Post ini tidak akan terjadi kalau kita mau sedikit usaha berpikir dan riset internet melalui google. Apa yang menghalangi orang-orang untuk melakukan hal tersebut?

    Lebih jauh lagi, lihat hal-hal yang paling sering muncul dan dikaji di dunia media sosial. Tak jauh-jauh dari masalah pluralisme, liberalisme, dan toleransi. Kadang-kadang ribut soal moralitas dan perang pemikiran. Kemudian yang sekarang sedang trendi, isu khilafah. Tak lupa sesekali muncul berita-berita hoax seperti misalnya masalah nasab nama istri kepada suami (seakan-akan Indonesia menganut sistem patrilineal seperti di Timur Tengah), atau soal transliterasi kalimat Insya Allah versus Insha Allah, atau juga keburukan arti singkatan Assalamualaikum dalam bahasa Aramaic (yang entah darimana asalnya). Bagi saya, ini semua isu remeh temeh dibandingkan dengan kajian yang sebenarnya lebih penting, khususnya andai kata orang-orang ini bisa memahami tradisi Hukum Islam dan Teori Hukum Islam yang agung.  

    Saya memiliki penjelasan dari sudut ekonomi atas fenomena di atas, tetapi sebelum kita masuk ke sana, saya akan bercerita sedikit dulu tentang bagaimana saya sendiri berinvestasi dalam mempelajari Islam dan hukum Islam. Di kelas 2 SMP, saya pertama kali membaca buku serius saya, Khilafah dan Kerajaan yang dikarang oleh Abu A'la al-Maududi (kalau anda tidak tahu, Al-Maududi adalah seorang tokoh Islam garis keras dari Pakistan yang getol ingin menerapkan syariat Islam di Pakistan).

    Dari membaca buku itu saya kemudian mengetahui sejarah Khilafah yang berdarah-darah, khususnya mulai dari jaman Ustman bin Afffan sampai kemudian khilafah berubah menjadi kerajaan di tangan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sumber Al-Maududi bukan sumber orientalis, dia menggunakan kitab sejarah At-Thabari (kalau anda tidak tahu, At-Thabari adalah mufasir dan sejarawan yang sangat terkenal dari dunia Islam. Kitab tafsirnya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, silakan beli kalau anda mau belajar lebih banyak).

    Dari pengalaman itu, saya menjadi bersemangat untuk tahu lebih banyak soal Islam, Negara Islam, dan Hukum Islam. Di masa SMA, saya kemudian tertarik dengan tasawuf dan sempat bereksperimen dengan sufisme sampai tahun pertama kuliah. Buku-buku seperti Minhajul Abidin dari Al-Ghazali, Al-Hikam dari Ibn Athoillah, sampai buku-buku karangan Ibnu Qayyim al Jauziyah dan Ibnu Taimiyah yang terkait ibadah sudah saya lahap semua. Buku-buku pemikiran pergerakan Islam karangan Yusuf Qardhawi juga banyak yang sudah saya sempat baca ditambah semua buku serial Filsafat Islam terbitan Mizan.

    Oh ya, SMP dan SMA saya adalah sekolah Katolik. Dan selama sekolah itu, saya orang yang pertama kali mendapatkan nilai 10 untuk ujian hafalan ayat Alkitab ditambah ujian menjelaskan 3 konsep suara hati nurani dalam tradisi katolik. Di masa itu, buku-buku karangan Ahmad Deedat tentang Kristologi juga habis saya lahap semua. Tak lupa pula saya yang mengembangkan konsep dialog antar agama untuk keperluam tugas akhir mata pelajaran agama dimana kita berdebat dengan keras tentang isu-isu macam ketuhanan Yesus dan konsep Tuhan dalam Islam.

    Ketika masuk kuliah di FHUI, minat saya semakin kuat terhadap hukum Islam, kali ini saya merambah ke buku-buku fikih dan fatwa kontemporer yang dikarang Yusuf Qardhawi. Gara-gara ledekan sahabat saya (yang tahu kalau saya gampang ditantang), saya kemudian terjerumus mempelajari Ushul Fiqh (Teori Hukum Islam). Di awal masa kuliah, saya menjadi pelanggan tetap perpustakaan Masjid UI. Perpustakaan yang sunyi karena nampaknya pengunjungnya hanya saya seorang dan petugas perpustakaan yang tampak kesepian.

    Perpustakaan Mesjid UI ternyata memiliki banyak koleksi bagus. Saya belajar sendiri Ushul Fiqh, menyalin dan membuat ringkasan sendiri dari buku-buku yang saya baca macam karangan Mustafa Az-Zahra dan Abdul Wahab Khalaf. Saya juga berkenalan dengan kitab-kitab klasik yang masih saya sering rujuk untuk penelitian seperti Bidayatul Mujtahid-nya Ibn Rusyd, Kifayatul Akhyar, dan al-Muwatta Imam Malik. Tidak lupa pula membaca semua buku terkait ekonomi Syariah terbitan Gema Insani Press yang dikarang Umer Chapra, Muhammad Syafi'i Antonio dan Adiwarman Karim.

    Dengan minat besar itu, saya mengambil seluruh mata kuliah terkait hukum Islam di FHUI dan tidak ada satu pun yang nilainya bukan A. Bagaimana tidak, ketika rekan-rekan saya masih kesulitan membedakan Mudharabah dan Musyarakah, serta masih salah mengeja Murabahah menjadi Mubarahah, saya sudah memahami semua jenis bentuk pembiayaan syariah (pernah dengar Ijarah Mausufah Fi Zhimmah? Itu konsep pembiayaan yang lebih menarik dibanding pembiayaan standar macam Ijarah Muntahia Bi Tamlik. Silakan di-google). Dalam kelas Waris Islam, saya memperbaiki kesalahan dosen yang kurang tepat dalam menjelaskan konsep Kalalah. Referensi saya dalam buku Waris Islam lebih banyak dibanding si dosen.

    Dan buku-buku tentang Islam saya juga semakin bertambah, Teori Politik Islam Dhiaddudin Rais, Al Ahkam Al Sulthaniyah dari al-Mawardi, buku-buku Hukum Islam karangan sarjana Indonesia seperti A. Hanafi, Hazairin dan T.M. Hasby Ash-Shidiqie. Dengan menggunakan teori Istislah dari Ushul Fiqh, saya menulis makalah yang membuat saya menjadi pemenang lomba karya tulis nasional bidang hukum dan kompetisi mahasiswa berprestasi utama FHUI. Teori yang sama saya kembangkan lebih jauh untuk keperluan skripsi saya dalam menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Terorisme.

    Ketika sudah bekerja, dengan penghasilan yang jauh lebih memadai, saya bisa membeli lebih banyak buku lagi. Dari ribuan koleksi buku saya, buku-buku tentang pemikiran Islam, hukum Islam, hadis, ushul hadis, tafsir, ushul quran, dan teori hukum Islam menempati urutan nomor 2 terbanyak setelah buku-buku tentang hukum positif. Singkat kata, saya cukup yakin bahwa akumulasi pengetahuan saya sudah hampir pasti jauh di atas rata-rata kebanyakan orang Indonesia. Apakah saya puas? Sama sekali tidak.

    Merasa sudah tidak ada lagi yang bisa diserap di Indonesia, saya memutuskan untuk mendalami lebih jauh mengenai Hukum dan Ekonomi dan untuk itu saya harus pergi ke University of Chicago sebagai pendiri aliran tersebut. Gara-gara belajar Ushul Fiqh, khususnya teori Istislah, saya menjadi semakin tertarik dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum yang akhirnya membuat saya mencintai ilmu ekonomi. Malah boleh dibilang, saya tergila-gila dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum, efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan bukan karena saya pergi ke Chicago, tetapi melainkan karena saya belajar Ushul Fiqh selama bertahun-tahun. Pergi ke Chicago adalah untuk mendalami ilmu teknis yang belum saya kuasai dan memperkuat keyakinan saya akan keunggulan analisis ekonomi. Saya sudah melahap buku-buku yang mengkritik pendekatan pasar sejak SMA macam buku-buku Stiglitz dan kawan-kawannya, di Chicago saya mengambil kelas teori politik tentang kritik terhadap neoliberalisme dan membaca literatur terkait Behavioral Econ. Semua untuk menguji keyakinan saya agar semakin terasah.

    Dan sekarang ketika saya sedang mengerjakan disertasi saya pun, saya masih berpikir bahwa kemampuan teknis saya masih kurang. Di Chicago, saya melihat profesor yang sudah membaca lebih banyak lagi buku dan makalah dibanding saya, profesor dan murid-murid dengan kemampuan teknis yang jauh lebih mumpuni dari saya. Dan saya senang luar biasa, akhirnya saya menemukan tempat di mana saya bisa mempelajari hal baru, ada orang-orang yang bisa mengajari saya, ada tempat dimana saya bisa tertantang lagi. Saya teringat dulu pernah sempat ikut acara tarbiyah dan setelah pertemuan kedua, saya tak pernah hadir lagi karena mentor yang ditunjuk untuk saya tidak bisa mengajarkan satu pun yang belum saya ketahui.

    Kenapa saya bercerita panjang lebar tentang investasi saya? Saya ingin menunjukkan bahwa bahkan setelah belasan tahun belajar dan menyerap ilmu sedemikian banyaknya, saya merasa masih belum bisa menguasai semua aspek yang saya perlukan untuk menyusun magnum opus saya dalam hukum Islam. Namun lucunya, banyak sekali orang-orang dengan pengetahuan cetek (ya, cetek), dengan jumlah bacaan yang tak seberapa, dan konsep yang tak jelas, meributkan tentang hal-hal remeh temeh dalam Islam, merasa tahu segalanya, dan diikuti oleh banyak orang pula. Ini sungguh mengenaskan.   

    Tahukah anda bahwa seandainya Ushul Fiqh tidak mandeg di abad pertengahan dan umat Islam mau berfokus pada hal-hal yang penting, saya cukup yakin aliran Hukum dan Ekonomi tidak akan diciptakan oleh University of Chicago. Aliran itu akan muncul di dunia Islam dan pendirinya adalah Umar bin Khatab, bukan Richard Posner. Ini bukan omong kosong ala Erdogan yang menyatakan bahwa benua Amerika ditemukan oleh orang Islam. Ini hasil mempelajari berbagai putusan hukum yang dibuat oleh Umar.

    Begitu banyak kajian menarik di dunia klasik Islam yang terbengkalai karena tidak ada lagi yang mau mengangkatnya. Bayangkan seandainya hukum Islam kembali berfokus pada efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan tapi dengan menggunakan ilmu dan sarana teknis yang belum ada pada jaman Umar bin Khatab. Akan sedahsyat apa kekuatan analisisnya? Mengapa perbudakan tak pernah tegas diharamkan? Mengapa mabuk dihukum cambuk tetapi makan babi tidak padahal status keharaman babi lebih absolut dibandingkan dengan keharaman alkohol? Mengapa zina dibebani hukuman tetapi syarat pembuktiannya begitu keras ditambah pula dengan aturan bahwa dilarang mengintip ke dalam rumah orang lain? Tidak percaya? Lihat Hadis Muslim No. 5366.

    Begitu banyak pertanyaan dan juga informasi yang menarik. Misalnya tahukah anda bahwa aturan yang mewajibkan suami harus menceraikan istri melalui pengadilan diadopsi dari fikih Syiah? Anda bisa membaca ini dalam buku Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Indentity, yang membahas mengenai debat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Saya juga sudah memeriksa hal tersebut di jurnal hukum lainnya. Tahukah anda bahwa Islam tidak pernah mempunyai konsep khilafah secara resmi dalam Al-Quran? Kajian Al-Mawardi itu dilakukan ratusan tahun kemudian setelah masa Khulafaur Rasyidun, ketika institusinya sudah dibangun berdasarkan praktek di lapangan. Sekarang saya sedang meneliti sejarah Ottoman terkait bagaimana Ottoman menerapkan aturan hukum yang pluralistik. 

    Tapi tidak, umat lebih suka dengan tawaran mimpi-mimpi yang enak didengar semacam hukum Islam pasti menyelesaikan semua masalah (nyatanya tidak, studi Tahir Wasti di Pakistan menunjukkan bagaimana aplikasi hukum pidana Islam malah memperkuat institusi pembunuhan terhadap perempuan), atau khilafah adalah solusi atas segala permasalahan di muka bumi, tata surya, galaksi bima sakti, alam semesta, dan 17 dimensi lainnya. Sumber daya habis tiap tahun untuk membahas isu tak berguna macam hukum mengucapkan selamat Natal dan hari Valentine. Luar biasa!

    Beberapa orang yang tak jelas keilmuannya bahkan sudah lebih jagoan lagi dalam menuduh sesat orang lain, bahkan ulama terkenal sekalipun. Quraish Shihab misalnya sempat dituduh sebagai Syiah. Dasarnya apa? Sebuah artikel internet yang tak bisa diverifikasi kebenarannya. Untungnya Quraish Shihab adalah mufasir yang paham Quran dan Hadis, beliau tak permasalahkan terlalu jauh tuduhan dari manusia yang tak bermakna.

    Secara ekonomi saya bisa menduga mengapa kajian-kajian tanpa keilmuan ini dan hal-hal remeh temeh ini laku keras. Mengapa orang tidak berminat untuk berinvestasi dalam suatu kegiatan? Mudah, karena kegiatan itu tak diberikan prioritas. Opportunity Cost-nya mahal untuk melakukan kegiatan lain. Kebanyakan orang nampaknya secara tak sadar sudah melakukan analisis untung rugi  dalam hidupnya dan mereka berkesimpulan bahwa mendalami agama memang bukan prioritas dalam hidup dibanding aktivitas lainnya. Tentu saja saya tak akan menyalahkan mereka. Setiap orang punya prioritasnya masing-masing. Alasan saya mendalami hukum Islam juga tidak muluk. Saya senang dan menikmatinya, saya senang mengajar dan gampang gregetan melihat ide bodoh (dan rasa gregetan itu saya tuangkan dalam artikel). Tidak rumit kan?

    Tapi tentu tak elok rasanya kalau kita terang-terangan menunjukkan bahwa investasi mendalami agama sudah tak penting lagi dalam hidup kita, kita masih perlu simbol yang tepat untuk menunjukkan seakan-akan kita peduli. Ah gampang, main di isu akidah saja. Goreng terus ide ini karena walaupun hidupnya amburadul dan pengetahuan agamanya minim, minimal dia tahu Allah itu Tuhan dan Muhammad adalah Nabi.

    Dan ketika permintaan akan kajian simbolik ini makin keras, akan selalu ada wiraswasta handal yang siap mengambil keuntungan. Tidak heran kajian simbolik modal buku Ahmad Deedat atau mungkin buku-buku propaganda lainnya, serta rasa percaya diri yang kuat, sangat diminati. Jualan buku, acara seminar, video, dan sebagainya. Semua senang. Modal awal yang dibutuhkan untuk retorika memang rasa percaya diri. Persetan dengan logika dan pengetahuan. Kalau orang sudah puas dengan retorika omong kosong dan hal itu memberikan penghasilan yang cukup, untuk apa bersusah payah belajar lebih banyak? 

    Saya ucapkan selamat kepada orang-orang ini. Mereka berbakat untuk mendalami ilmu ekonomi lebih jauh dan sudah pandai melakukan analisis untung rugi. Siapa tahu, suatu hari nanti mereka mungkin akan diterima di University of Chicago dan menjadi pemenang Nobel Ekonomi selanjutnya. Oke, saya berlebihan untuk yang satu ini. Mustahil akan terjadi sampai unta masuk ke dalam lubang jarum.

    Sesungguhnya, saya tak ingin percaya dengan prediksi Nabi dalam hadis Abu Daud tentang masa depan umat Islam yang banyak tapi lemah seperti buih kotor di lautan. Tapi mungkin prediksi Nabi benar. Umat Islam sudah jauh lebih banyak dibanding di masa lalu, tetapi nilainya nol besar. Persis seperti ratusan kultwit yang tiap hari muncul untuk kemudian hilang esok hari, tak bermakna, tak bernilai, dan sia-sia belaka.

    Sebagai penutup, saya tidak akan menilai bagaimana anda menempatkan prioritas hidup anda, karena semua orang punya perhitungan untung rugi sendiri, bahkan sekalipun anda tak ingin mengakuinya. Tetapi jangan terlalu lama menipu diri sendiri. Kalau anda memang tidak peduli dengan agama anda dan tidak ingin berinvestasi, minimal tidak perlu berperilaku berlebihan dalam menunjukkan simbol agama. Karena walaupun anda bukan representasi resmi agama anda, orang akan selalu mengasosiasikan anda dengan agama anda tersebut, dan kelak anda akan dimintai pertanggungjawaban atas pencitraan anda yang bermasalah itu.
  • 24 comments:

    Anonymous said...

    Komen saya, nih orang baru membaca beberapa buku aja udah sombaong bukan main dan menganggap pendapat orang2 yang memperjuangkan islam itu adalah cermin kebodohan mereka. Padahal setahu saya, orang2 yang Teguh memperjuangkan Islam itu banyak juga yang sudah sampai derajat Ulama atau bahkan mungkin sdh ada yang mencapai derajat mujtahid. Dan tidak diragukan bahwa mereka adalah orang2 yang kenyang dengan buku2 bacaan, bukan hanya beberapa buku saja seperti yang ditulis diatas. Bahkan ulama2 itupun membaca kitab aslinya yang berbahasa Arab, bukan sekedar terjemahannya seperti orang hebat satu ini.

    Anonymous said...

    Lha.. trus prestasi ente apa? Kayaknya ente adalah salah satu buih kotor di lautan yang dimaksud penulis.

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Terima kasih atas komentarnya. Anda nampaknya tidak seksama membaca tulisan saya. Buku yang sampaikan cuma contoh. Yang saya baca ribuan. Apakah saya kemudian bilang saya sudah merasa tahu segalanya? Jelas2 saya bilang saya masih merasa kurang dan masih banyak sekali yang perlu saya pelajari.

    Yang saya permasalahkan sedari awal adalah orang2 dengan pengetahuan yang cetek tapi gemar sekali menyesatkan orang lain (contoh yang saya bahas, menuduh Quraish Shihab sesat), gemar sekali berpolemik tiap hari seakan tidak ada kerjaan yang lain tapi hanya dengan modal retorika dan isu yang usang, dan menawarkan mimpi bahwa hanya dengan Islam, semua masalah akan beres, tanpa menjelaskan mengapa Islam bisa bikin beres (memangnya semua hal itu otomatis?). Ini orang-orang yang menjadi target saya bukan orang-orang hebat yang tidak buang-buang waktu mereka seperti orang-orang yang saya kritik. Anda baca tidak sebenarnya artikel ini atau hanya fokus nyinyir? Kalau saya misalnya menuduh Quraish Shihab ga berpengetahuan, baru kritik anda masuk akal.

    Masalah masyarakat itu kompleks, tidak bisa disederhanakan menjadi khilafah akan menyelesaikan semua masalah. Dan tanpa investasi untuk mempelajari agama, ya ga akan pernah selesai isunya. Inti tulisan saya adalah, kalau anda merasa kurang tahu dengan agama anda dan anda merasa agama masih bisa jadi prioritas, anda harus berinvestasi untuk mendalaminya. Jangan cuma ngomong suka dengan agama atau menganggap agama penting, tetapi meluangkan waktu saja tidak. Nyinyir gampang banget, semudah membalik tangan. Riset dan nambah pengetahuan? Hanya kalau anda masih menganggap hal itu sebagai prioritas.

    Tapi seperti saya bilang, tugas saya bukan menilai prioritas orang karena masing-masing orang punya prioritas. Saya ga berhak bilang bahwa semua orang wajib belajar sebanyak saya misalnya. Cuma ya mbok jangan nipu lah ngaku-ngaku prioritas kalau ga niat investasi untuk hal tersebut. Sesederhana itu.

    Sekarang saya kasih masukan, buku2 yang saya sebutkan di atas adalah pengantar yang baik untuk mulai mempelajari Islam dan Hukum Islam. Daripada sibuk bilang jumlahnya sedikit, mengapa anda tidak membeli dan membaca buku2 tersebut. Ga perlu buru2, nikmati saja satu demi satu. You will enjoy the beauty and depth of Islamic law.

    Iqbal said...

    Tulisannya menarik,ketika penulis berargumen dengan 3 hadits riwayat Bukhari, sangat disayangkan Anda terlalu cepat menafsirkan hadits itu tanpa mencantumkan syarah dari ulama yang kompeten di bidang hadits.

    Penulis cukup malas, tidak merujuk ke kitab-kitab yang memuat syarah Shahih Bukhari, salah satu yang paling
    Itu barangkali salah satu bentuk kemalasan dalam beragama hehe

    Terakhir, anda mengklaim telah mendalami ushul fiqh, tetapi dari cara anda ber-istinbath (menarik hukum syar’i dari dalil), saya tidak melihat anda menunjukkan kaidah-kaidah fiqh yang anda gunakan dalam mengambil kesimpulan.

    Terima Kasih

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Saudara Iqbal, pertama-tama ini artikel blog. Ini saja sudah cukup panjang karena mencapai kurang lebih 3.000 kata. Saya berterima kasih kalau anda mau membaca sampai selesai, tetapi kalau lebih panjang lagi dari itu, mungkin akan saya tulis menjadi paper ilmiah sekalian.

    Kedua, saya balik bertanya, perbedaan penafsiran macam apa yang akan anda dapatkan dari membaca kitab-kitab syarah itu kalau isi hadisnya sudah cukup jelas? Kebetulan kitab Fathul Bari saya tidak saya bawa ke Chicago sehingga tidak mungkin saya bisa merujuk ke sana.

    Yang lebih penting lagi, saya ingin tahu apa nilai tambah yang akan kita dapatkan dari menuliskan pendapat ulama syarah soal 3 hadis di atas? Fokus di Nabi yang marah? Atau saya jelaskan bahwa alasan Nabi melarang Umar memotong leher si pria Bani Tamim karena di kalangan Bani Tamim masih ada orang yang sangat tinggi level ibadahnya?

    Orang yang baca akan makin kesulitan memahami padahal isunya sederhana. Nabi pada prinsipnya ga ingin main kekerasan, umatnya seharusnya apa lagi. Pernyataan Nabi bahwa Nabi Musa saja bersabar ketika dia disakiti lebih parah oleh umatnya itu sudah sejelas matahari di siang terik tak berawan, memangnya anda mau menafsirkan seperti apa lagi?

    Nabi juga ga mau memusingkan nabi mana yang paling mantap di mata Tuhan. Penjelasannya sederhana, jangan sampai umatnya ribut hanya karena membandingkan nabi mana yang lebih keren. Karena dengan demikian fokusnya jadi hilang. Bukannya fokus memperbaiki diri, malah sibuk bangga2an atas prestasi orang lain (dalam hal ini Nabi kita). Apakah anda ada penafsiran lain?

    Ketiga, katakanlah saya masih masuk kategori malas menurut anda. Cuma kalau saya masih masuk kategori malas, yang ngasal ngomong tanpa referensi hitungannya apa? Saya bahkan kehabisan kata-kata untuk menggambarkan orang-orang seperti itu. Daripada anda sibuk mengomentari saya malas, saya punya ide yang lebih baik, kenapa tidak anda tulis kajian yang membantah analisis saya. Dulu ketika saya ditantang sahabat saya, saya punya 2 opsi, nuduh dia sok tahu dan ga belajar apa2, atau memilih untuk belajar dan membuktikan dia salah. Silakan buktikan apakah anda malas atau tidak. Kalau anda hanya menjawab anda ga punya waktu, anda cuma buang2 waktu di sini untuk menulis komentar yang tak berfaedah.

    Terakhir, soal Ushul Fiqh. Anda mau dibikin seperti apa analisisnya? Kembali lagi saya ingatkan, ini forum blog. Saya berusaha menulis untuk orang awam. Lagipula isunya juga tidak rumit sampai kita harus menggunakan teknik analisis yang luar biasa. Kalau anda masih bersikeras, saya menggunakan pendekatan ekonomi yang merupakan modernisasi dari teori Istislah (maksimalisasi kesejahteraan umat). Kalau anda merasa ini kurang, coba tunjukkan bagaimana analisis Ushul Fiqh anda akan memberikan hasil yang berbeda. Yang berbeda ya, kalau sama saja, investasi waktunya jadi sia-sia ketika kita menggunakan metode yang lebih sulit untuk mendapatkan hasil yang relatif sama.

    Rizky Primachristi Ryantira Pongdatu said...

    Artikelnya sangat menarik. Saya tidak terlalu paham tentang islam, karena saya memang seorang non-islam. Namun saya menyukai sudut pandang Anda dalam hal mengkritisi pribadi-pribadi yang lebih suka membahas simbol agama ketimbang esensi.

    Gara-gara tulisan Anda, saya jadi terprovokasi untuk berinvestasi waktu mendalami agama saya sendiri, supaya saya tidak ikut2an menjadi golongan orang-orang yang Anda kritik.

    salam.

    Anonymous said...

    Terima kasih atas tulisannya. Saya sependapat dengan tulisan penulis bahwa investasi belajar agama itu penting agar kita tidak terjebak dengan isu-isu yang memang tidak jelas tolok ukur kebenarannya dan cenderung ikut-ikutan trend.

    Cuman saya masih ga ngerti, kenapa masyarakat di Indonesia khususnya yang muslim terbilang malas untuk belajar agama?
    Walaupun saya sendiri muslim, tapi terkadang aneh saja melihat tingkah laku para muslim di Indonesia yang terkadang tidak merepresentasikan kesolehannya sebagai muslim. Dan pertanyaan saya itu cuman berdasar penglihatan sehari-hari bukan dari penelitian empiris.

    Saya doakan semoga penulis menjadi cendekiawan muslim yang nantinya mampu membantu sesama umat manusia sesuai bidang penulis.

    Unknown said...
    This comment has been removed by the author.
    Raviantara said...

    Bismillah, salam kenal mas, tulisan mas bagus namun juga kontroversi. Apa bedanya anda dengan yang anda kritik? Sama2 keras dan memiliki pembenaran sendiri. Bisa jadi mas bermaksud baik utk menasihati, namun krn karakter & gaya tulisan yang demikian, menjadi tajam layaknya pisau yg bisa melukai saudara2nya.

    Saya belum mendapatkan kisah ahlul ilmi yg begitu jumawa dgn kemampuannya. Sbg contoh, ayahanda kita raghib sirjani seorang hafizh dgn predikat istimewa atas disertasi doktoral urologi surgery dibawah bimbingan kedokteran Mesir dan Amerika, belum pernah saya temukan tulisan2 beliau yg membanggakan diri sendiri dan meremehkan orang lain?

    Anda menyinggung soal kelembutan, namun sayangnya saya tidak merasakan kesan ini dlm tulisan anda? Bisa jd saya luput oleh krn dominannya kritik yg ditembakkan bertubi2.

    Saya berusaha memahami dan memaklumi thariqah dari harokah-harokah yang ada di indonesia, selalu ada dua sisi, temen2 yg ber amar ma'ruf nahi munkar melalui tangan, mulut, atau minimal mengingkarinya dengan hati, sebagian diantara mereka akan saling menasihati, "jangan begitu, beginilah seharusnya..dst." namun sayangnya saling nasihat menasihati diantara mereka membuka ruang baru untuk berdiskusi, berdebat, hingga akhirnya bertengkar.

    Ini sdh trjadi jauh2 sebelumnya, dalam kitab Al I’tisham, karya Asy Syathibi, (II/691)

    Pada satu hari, Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menyendiri. Dia berkata dalam hatinya, mengapa umat ini saling berselisih, sementara Nabi mereka satu?! Lalu ia memanggil salah satu sahabat yang paling berilmu, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu.

    Umar bertanya kepadanya,
    “Mengapakah umat ini saling berselisih, sementara Nabi mereka satu. Kiblat mereka juga satu dan Kitab suci mereka juga satu?”

    Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan kepada kita. Kita membacanya dan mengetahui maksudnya. Lalu datanglah sejumlah kaum yang membaca Al-Qur’an, namun mereka tidak mengerti maksudnya. Maka setiap kaum punya pendapat masing-masing. Jika demikian realitanya, maka wajarlah mereka saling berselisih. Dan jika telah saling berselisih, mereka akan saling menumpahkan darah.”

    Mendengar jawaban itu umar tertegun, memuji, dan mendoakannya.

    Dan memang pintu fitnah itu sdh terbuka sedikit2 sejak rasulullah shallallahu'alaihi wasallam wafat, & tak bisa ditahan lg utk terbuka lbh lebar bagai tanggul bocor pasca kekhalifahan umar.

    Oleh karenanya, dikatakan umat islam terpecah menjadi 73 golongan, mas sdh pasti tahu hadits ini.

    Pdhl dlm Qur'an, An-nisa:59, kita sdh diingatkan dan dikasih solusi, "fain tanaza'tum fii shayin farudduuhu ilaAllohi warrosuuli in kuntum tuminuuna billahi walyawmil akhir"

    Nabi shallallahu'alaihi wa sallam pun sdh mewasiatkan ketika arofah, “Sungguh aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian, satu hal yang bila kalian berpegang teguh dengannya, niscaya selama-lamanya kalian tidak akan tersesat, bila kalian benar-benar berpegang tegun dengannya, yaitu kitabullah (Al Qur’an).” (Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu'anhu, dalam kitab shahih muslim 2/886/1218)

    Tapi saya memahami koq mas, memang kita sering terjebak dalam labirin intelektual, saya pun demikian. seperti al-ghazali dalam tahafut al-falasifah terhadap peripatetik nya al-farabi, ibnu sina, ibnu rusyd, dkk. Al-asy'ari & ahmad bin hambal terhadap wasil bin atha & khalifah mu'tashim billah. Demikian ibnu taimiyyah yg melepaskan diri dari asy'syariyah maupun mu'tazilah dan memilih pendekatan kpd para salafush shalih, dst...

    Ah! Siapalah saya ini sok berkomentar, maaf ya mas.. Saya berharap & mendoakan yg trbaik utk mas, semoga ilmunya bermanfaat untuk kemashalatan umat. Yuk mari kita fastabiqul khairat!

    Oh ya mas, saya tidak mendapati nama ibnu khaldun ataupun al-muqadimah? Terlalu populer, terlewat atau ada alasan khusus tidak menyebutkan nama beliau?

    Unknown said...

    @ Ryan A,
    kayaknya ente ini salah kamar dlm komentarnya....penulis tdklah bermaksud jumawa ataupun menyombongkan koleksi investasi bacaannya ketika menyebutkan buku2 yg sudah dibacanya...tp lebih kpd perbandingan bahwa bnyk org komentar related dgn masalah agama, namun hanya pake persepssi bukan pengetahuan, andaipun penulis salah dlm mengomentari perkara agama sesuatu, namun masih dikatakan lebih sesuai karena beliau bukanlah jalur penddiikan agama, namun telah berinvestasi yg diperlukan...dan diakui sendiri oleh penulis bahwa investasi itu belum cukup......jadi perhatikan penekanan content yg dituju, gak terkait kelembutan, perbedaan firqoh,dll yg gak nyambung itu....coba raba lagi! buat penulis: saya mengalami apa yg anda alami ttg masjid UI, koleksi kitab klasik disana membuat saya ekstase sekaligus prihatin....perpustakaannya sepi bangeets, meskipun akhirnya sy jadi sangat khusuk membenamkan diri untuk mencari rujukan2 klasik.......dan ini yg gak dikuasai kaum degil yg gampang ngomong agama se enaknya.

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Saudara Ryan, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menulis komentar yang cukup panjang. Berikut tanggapan saya.

    Setiap orang memiliki gaya dan tujuan dalam menyampaikan ide2nya. Saya tidak suka berbasa basi atau berusaha ramah dengan ide-ide yang menurut saya bodoh. Saya juga tidak tertarik menulis dengan gaya sok bijaksana atau sok rendah hati. Apa yang saya sampaikan adalah apa adanya sesuai dengan apa yang saya yakini. Mungkin ini pengaruh guru-guru saya di Chicago yang menulis dengan lantang, penuh semangat dan tanpa tedeng aling-aling dalam menyampaikan kritik. Atau mungkin juga karena saya bekerja sebagai pengacara. Sebagai pengacara, saya terbiasa berargumen dengan banyak pihak, saling meyakinkan dan mencari argumen terbaik untuk memenangkan kasus atau interpretasi hukum. Seperti kata Antonin Scalia, US Supreme Court's Justice, kalau tidak bisa dewasa dalam berbeda pendapat, anda tak bisa bekerja di bidang hukum. We fight and debate, but personally, there should be no hard feeling.

    Secara pribadi, tugas saya di sini adalah menyampaikan informasi yang menurut saya benar. Saya bukan pendakwah, tidak mencari keuntungan finansial dari menulis, dan tidak ambil pusing apabila orang tidak mau menerimanya hanya karena cara penyampaiannya dianggap "keras". Ini mengapa menurut saya, kritik anda salah sasaran. Saya sedang tidak berbicara tentang kerendahhatian. Saya sedang bicara tentang orang2 dengan pengetahuan yang minim tapi berlagak tahu segalanya dan gemar menyesatkan bahkan mengkafirkan orang lain. Untuk itu mereka perlu tahu bahwa apabila orang yang sudah belajar lebih banyak dari mereka saja tak berani mengklaim tahu segalanya atau merasa cukup dengan ilmunya, maka apalagi mereka.

    Saya memang mengkritik keras orang-orang ini, tapi saya tak akan pernah bilang mereka kafir atau keluar dari agama. Itu penilaian Allah semata dan saya juga tidak mau sibuk menghakimi mereka bahkan kalau pun mereka menjadi seperti itu karena mencari sesuap nasi. Karena setiap orang punya prioritas sendiri-sendiri. Saya hanya mengingatkan bahwa kalau terus-terusan seperti ini, mereka semua cuma mengejar ilusi. Berpikir sudah banyak berkontribusi dan canggih, padahal sebenarnya cuma makan angin. Katakanlah mereka tidak suka dengan apa yang saya sampaikan. Tugas saya bukan mengkonversi orang. Setiap manusia bebas memilih jalan hidupnya, dan hidayah datangnya dari Allah. Saya tidak muluk-muluk. Dengan tulisan saya, saya tidak berniat "menyadarkan" semua manusia di muka bumi. Mustahil semua orang akan setuju dengan saya.

    Kritik anda pada akhirnya membuat kita tidak fokus di isu utama artikel ini. Isu utamanya: banyak orang malas berinvestasi mempelajari soal agama sendiri lalu mencari jalan mudah dan berakhir menjadi ekstremis. Itu yang mesti kita pikirkan.

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Saya juga tidak paham apa hubungannya dengan Islam yang terpecah jadi beberapa golongan. Fakta bahwa ada banyak golongan bukan berarti kita diam-diam saja melihat suatu golongan yang menurut kita merusak. Mereka punya ide, saya pun punya ide. Kita bersaing secara sehat untuk mendominasi panggung ide tersebut. Saya melihat, orang yang mengkritik kemalasan ini masih jarang, mungkin karena takut dianggap kafir atau dicap sesat. Tapi ya kasihan kalau orang-orang lain yang mungkin juga concern tapi ketakutan tak perlu karena segelintir orang tak berilmu yang sangat jumawa. Ada banyak alternatif pemahaman dalam Islam yang kaya akan keragaman!

    Terakhir, saya tidak tertarik dengan labirin intelektual yang njelimet. Tren terbaru dalam ilmu hukum adalah berbicara dengan bahasa "manusia". Niat saya sebagaimana saya tulis dalam penjelasan mengenai blog ini adalah menulis ide-ide yang sulit dalam bahasa yang mudah dimengerti orang awam. Saya akan senang apabila anda menyampaikan bagian-bagian tertentu dari tulisan saya yang sulit dimengerti, sehingga bisa saya klarifikasikan. Itu menurut saya jauh lebih berguna dibandingkan dengan apa yang anda tulis saat ini. Panjang tetapi tidak nyambung.

    NB: soal Muqaddimah, memang tidak saya masukkan karena saya belum tuntas membaca buku tersebut. Mungkin di lain kesempatan saya akan bahas apabila ada hal menarik dari Muqaddimah.

    hanna love indonesia said...

    setuju sama penulis blog deh, saya emang harus lebih banyak lagi melahap buku - buku tentang agama, biar saya juga tidak terjebak, jujur saya tidak suka ikut berdebat soal agama mana yg benar mana yg salah, saya hanya ingin hidup damai itu saja....

    Muhammad Syauqi said...

    Hahaha

    Salam kenal mas, mohon maaf kalo saya langsung tertawa sumringah ketika membaca artikel ini. Hehe..

    Saya pikir saya cukup sejalan dengan spirit yang dituangkan di artikel ini. Saya sendiri telah berkecimpung di suatu harakah yang selalu mengopinikan ideologi Islam dan anti ideologi asing. Sudah belasan tahun saya disana, namun tampaknya saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk mendekonstruksi pemikiran-pemikiran retoris dan propaganda-propaganda bombastis yang dikeluarkan harakah saya sendiri daripada mendekonstruksi pemikiran-pemikiran dalam ideologi asing yang seharusnya kami serang.

    Saya jengah sekali dengan apa yang kami lakukan, padahal embel-embel yang selalu dikedepankan kami adalah dakwah pemikiran dan intelektual. Tapi opini-opini yang kita publikasikan tak lebih dari retorika bombastis yang miskin wawasan intelektual. Dan kecenderungannya bahkan lebih parah, karena opini-opini yang kami publikasikan hanya usaha membangun pembenaran.

    Saya juga kecewa karena seminar dan diskusi publik yang kami lakukan karena tak lebih dari usaha untuk menyeret opini saja. Mengeset pembicara bahkan sering para penanya juga. Sama sekali tidak ada niat untuk adu argumen intelektual yang murni.

    Jadi teringat ketika masa-masa masih di kampus, diskusi dan kajian mahasiswa dilaksanakan begitu terbuka. Saya merasakan sendiri ketika kami dibantai secara intelektual dan dengan bahasa argumen yang sarkas. Pahit, tapi sejak awal saya sudah menyadari bahwa ini karena kesalahan kami yang malas mengkaji ide-ide yang kami perjuangkan sendiri. Sayangnya teman-teman yang lain lebih suka menjauh ketika orang-orang yang memang ahli dibidangnya mengemukakan argumen-argumen yang tidak sejalan dengan ide kami.

    Ah, maaf saya jadi curcol. Yah saya selalu berusaha untuk mengkampanyekan budaya mengkaji dengan ilmiah dan berhenti dari beretorika dan beropini yang miskin wawasan. Dan artikel ini begitu mengena dengan masalah yang saya hadapi. Saya masih tidak kehilangan harapan, karena saya tahu anggota-anggota yang ada diluar negeri memiliki budaya intelektual yang jauh berbeda dibanding didalam negeri. Semoga ummat ini bisa bangkit lagi di kemudian hari.

    Salam

    Anonymous said...

    Assalamualaikum wr wb


    Pertama-tama, terima kasih sekali telah menuliskan geregetan pribadi anda di platform yang terbuka secara sosial ini. Tulisan ini sangat thought-provoking dan menghantam langsung permasalahan utama yang tidak hanya eksklusif menjangkiti umat Muslim di Indonesia, tetapi tampaknya juga di berbagai belahan dunia (jika kita sepakat bahwa ignorance leads to 'ghulluw' and to a certain extent, even to extremist behaviors in practicing religion) terutama di kalangan umat Muslim yang terlahir Muslim. Meskipun saya bicara tanpa data, realitas yang bisa dipahami dalam kehidupan sehari-hari di luar majelis ilmu, memang benar seperti yang Anda katakan, adalah sedikitnya umat Muslim yang mau mempelajari secara serius tentang agamanya.

    Kalau boleh, saya ingin sedikit-banyak berbagi pengalaman dan pemikiran, mungkin sebagai bahan perbandingan atau perenungan:

    Sebagai perempuan, realitas ini terasa lebih nyata lagi. Entah mengapa, lebih sedikit lagi jumlah muslimah yang mau melakukan investasi terhadap ilmu agama. Saya mendapat kesempatan mengunjungi Saudi Arabia dan mendengar seorang syeikh pengurus kajian di masjid Nabawi berbagi kekhawatiran bahwa hal ini juga merupakan realitas sosial yang membuat miris para ulama Saudi. Karena mereka tahu, investasi keilmuan agama terhadap ibu dan para calon ibu anak-anak mereka adalah hal yang sangat krusial. Karena Islam menempatkan tanggung jawab pendidikan yang utama kepada Ibu.

    Maka, bagi saya, fenomena sosial yang umum dimana umat Muslim seringkali 'bicara tanpa ilmu' adalah sebuah hasil dari kegagalan komunitas Muslim secara utuh dalam menjawab tantangan untuk mencerdaskan umat. Kalau melihat situasi di Indonesia saat ini: Belum diajari apa itu Tauhid, diajarin Khilafah. Belum tahu beda syirik sama bid'ah, udah ribut-ribut kafir lah, memecah belah umat lah, dll. Mengenal siapa Tuhannya juga belum, udah disuruh memahami dengan mendalam budaya lain, agama lain, sebagai wujud sikap toleransi, dll. Bukannya didewasakan secara kognitif, malah dimanipulasi secara emosional dan ditekan secara sosial/politik.

    Namun, kekecewaan saya dengan umat Muslim Indonesia yang melakukan praktek-praktek menyebalkan semacam ini sedikit terobati ketika pergi ke UK untuk sekolah (di jurusan yang exceptionally secular, I have to admit). Saya bertemu para muallaf yang semangat belajar agamanya luar biasa tinggi. Banyak diantara mereka yang sangat antusias dalam melahap buku, mendengarkan lecture ulama-ulama (via Youtube tentu saja) sambil membuat catatan dan mendiskusikannya, mendaftar kelas bahasa Arab, mendaftar ke OnlineIslamicUniversity, hingga memutuskan pindah ke Egypt atau Saudi Arabia untuk belajar, dsb. Kehausan mereka akan ilmu ini merupakan angin segar bagi saya yang skeptis berat dengan situasi umat Muslim di Indonesia yang rasanya sudah terlalu dipolitisasi. Regardless that everything is political, not everything is politics.


    (Bersambung)

    Anonymous said...

    (Lanjutan)

    Ketika saya mencoba memahami beberapa pengalaman para muallaf ini (tidak banyak, hanya beberapa orang di masjid lokal yg kebanyakan orang Eropa dari berbagai negara dan beberapa muallaf UK dan US yg saya kenal dan coba berkomunikasi lewat twitter), saya mencoba mencari tahu apa yang menjadi drive utama mereka? Apa yang membuat mereka begitu haus ilmu?

    Ternyata bukan hanya soal kompensasi tidak adanya latar belakang budaya dan keluarga yg Islami. Ternyata bukan hanya soal nikmatnya belajar Ilmu Islam yang begitu luas dan dalam. Ternyata bukan hanya soal nikmatnya menjadi bagian dari komunitas yang memiliki satu sembahan dan satu tujuan. Ternyata bukan hanya soal politik identitas. Jawaban seorang muallaf perempuan Amerika yang selain bekerja full time on week days AND part-time on weekends, juga belajar fulltime sebagai murid Islamiconlineuniversity, menurut saya merupakan jawaban terbaik yg saya dapat: "Because Laa illaha Illallah, Muhamaddan Rasulullah worth it. It worth all of these and more."

    Iman. Mereka menemukan satu kebenaran yang menghancurkan semua kebenaran yang mereka percayai selama ini dan semua dimulai dari sana.

    Saya mendapat kesan (dan amat mungkin bahwa saya salah) dari tulisan Anda bahwa Anda championing fiqh diatas aqidah. Setelah membaca advokasi membara anda mengenai pentingnya ilmu dalam bergama (saya sampai jadi ikut membara hehehe) lalu diikuti dengan sentimen yang meremehkan pentingnya akidah, bagi saya, adalah hal yang memiriskan hati. Saya sendiri bukan seorang alimah. Hanya sedikit baca buku dan sedikit mengikuti majelis ilmu yang berada di jalur non-politis. Hanya baru-baru ini tergerak mendaftar untuk belajar di sebuah ma'had, setelah kembali ke Indonesia.

    Saya berasumsi (dengan dasar bahwa kita sama-sama lahir dari keluarga Muslim dan berasal dari negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam), bahwa mungkin Anda semacam take Iman for granted. Bukan karena kesengajaan saya pikir, melainkan karena kebiasaan. We were born into the knowledge. The family and the society always make sure that we know who is our God and who is our prophet.

    But there are people who didn't come into this world, into families, with that kind of knowledge. And from what I heard from a lecture by a lecturer of sociology in my university (she did a research on UK Islamic converts), these people had to go through many spiritual and cognitive processes with their Enlightenment cultural background and hyper-secular social baggage to be able to really accept that "there is no God but Allah and Muhammad is the messenger of Allah". To be able to come into term with this knowledge is overwhelming for them. And that is, what I know, a little bit about Iman. That also what led me to the uni's library (the Islamic Studies section)and spent my rest of the year to study Islam during my spare time.

    Iman leads me to Tauhid. The basic foundation of Islam as a belief system, before it is now widely misquoted as cultural/social/political thing. Before the syariah, even before the command for the Prophet to practice shalah. There is one right that is His right, His absolute demand towards humankind after all the blessings and the facilities He bestowed upon us. He commands us to worship Him alone. Not money, not other Godess, not pagans, not even our family and our children, not the president, not even His revelation. Only Him. And His right is our responsibility.

    Alhamdulillah, waktu awal-awal proses pembelajaran saya, saya banyak berkomunikasi dengan adik saya dan keluarga saya di Indonesia. Saya mendapat kaidah pentingnya belajar agama dengan mentorship. Bukan apa-apa, tapi menurut seorang teman yang juga belajar ilmu sekuler dan belajar agama di waktu luangnya (dia seorang ilmuwan neuroscience), "Islam is like energy. You can make a beautiful garden with it, or a bomb."


    (Bersambung)

    Anonymous said...

    (Lanjutan)

    Dalam perjalanan akademis saya, saya sendiri juga memiliki ketertarikan lebih pada logika dan metodologi. Dari situ saya mempelajari pentingnya manhaj yang benar dalam belajar agama. Seperti juga dalam disiplin science, hasil yang benar hanya bisa didapat dari metode yang benar. Maka dari adik saya yang sedang di pesantren, saya mendapat kaidah bahwa belajar agama, seperti juga belajar ilmu yang lain, haruslah berantai. Mulai dari yang dasar, lalu naik setingkat demi setingkat. Lebih baik ilmu sedikit tapi kokoh, daripada beraneka ragam tapi acak dan tak menentu. Karena, pada akhirnya, jika kita memang beriman pada rukun Iman, maka kita semua akan menuju satu tempat setelah mati: akhirat. Apakah kita hendak menuju surga atau neraka, adalah pilihan pribadi, tidak peduli sehebat apa cultural-engineering dan pendidikan formal yang kita jalani dalam belajar agama.

    Anda sudah banyak membaca buku, tentu sudah membaca beberapa kali soal sabda nabi mengenai golongan pertama yang dilempar ke neraka: setelah para syuhada, adalah para alim ulama. Alasannya sederhana saja: karena mereka tidak melakukan itu semua karena Allah SWT semata. Tanggung jawab atas Ilmu yang Allah SWT berikan kepada siapa saja itu besar. Maka, hidayah juga memiliki dimensi tanggung jawab. Karena ingat, kita semua bisa membaca, menulis, berdebat, bahkan sekedar mengada di dunia ini, adalah semata berkah dari Allah SWT. Kita hanya ciptaan dan Allah adalah Sang Pencipta. Hubungan manusia dengan Pencipta-nya, maaf, memang tidak setara.

    Itulah mengapa akidah merupakan fondasi utama dan pertama dalam pembelajaran ilmu Islam yang formal dan systemic. Logika sederhananya, kenali Tuhan sebelum hukum Tuhan. Kenali hubungan kita dengan Tuhan, sebelum bicara soal hubungan antara manusia, dll. Karena Islam memang berbasis Ketuhanan. Taking God out of the equation, which is the current trend among self-claimed Muslim Intellectuals, means that we are talking about Islam as many things except a belief system. It betrays its ontological status, the very reason why Islam is here on the universe.

    Mengenai ulama-ulama populer Indonesia yang terkena polemik soal syiah dll, saya setuju bahwa kita harus sangat hati-hati dalam menyaring informasi. Tapi tanpa pemahaman ilmu akidah yang cukup, Anda tidak bisa memahami seberapa besar bahaya penyimpangan kepercayaan. Saya rasa, perihal apa yang penting dan tidak penting sebagai sebuah isu umat Muslim itu juga harus ada dasar keilmuan yang jelas. Karena ini soal mana perintah Allah yang lebih utama dibanding yang lain.

    Mungkin karena itu juga, saya pikir, anda tidak bisa menangkap signifikansi hadist soal 73 sekte yg disebut salah seorang komentator diatas. Menurut saya, luar biasa sekali bahwa Anda mau membaca kitab2 Hadist di sela-sela kepadatan waktu kuliah dan bekerja. Namun, mungkin perlu dibarengi dengan mengikuti kajian-kajian hadist yang serius? Agar ada konteks pemahaman. Ulama hadist di Indonesia, meskipun langka, benar-benar ada dan hadir memberikan kajian-kajian hadist yang ilmiah. Dan belajar ilmu hadist dalam tradisi ilmu Islam klasik atau Islamic Science (yang berbeda dengan tradisi Islamic Studies dan islamic Philosophy), sangat sulit dipisahkan dari ilmu akidah.

    (Bersambung)

    Anonymous said...

    (Lanjutan)

    Ulama hadist biasanya sangat menekankan pentingnya akidah yang benar sebelum belajar hadist, tafsir, fiqh, dll. Karena kesalahapahaman dalam belajar ilmu agama efeknya sangat besar dan seringkali tidak bisa diperhitungkan. Video-video kajian mereka juga hadir di Youtube (kalau Anda berkenan, bisa saya berikan referensi beberapa nama). Mereka tidak populer tentu saja, karena anda tahu bagaimana situasi isu sektarian dan isu organisasi politik Islam di Indonesia. Ulama hadist adalah musuh utama para simpatisan dan pendukung pemikiran Rafidhah, selain tentu saja para pengikut agama ideologis ini. Sementara ideologi Rafidhah telah menjelma ribuan bentuk syubhat yang mempengaruhi umat Islam saat ini, terutama lewat media arus utama. Sekali lagi, tanpa ilmu akidah, Anda tidak bisa memahami betapa Syiah bukan sekedar sekte alternatif. Ideologi di balik itu, yaitu Rafidhah, yang berbahaya. Syiah as community is probably harmless. But as an ideology power, if we get past the whole contemporary discourses on tolerance and the religious rights, it poses real threats. Tapi sekali lagi, tanpa ilmu akidah yang benar, kita tidak bisa memahami ini. Seseorang tidak perlu menjadi pemeluk agama syiah untuk mengiyakan dan bahkan menyebarkan (baik sebagian maupun seluruh bagian) ideologi Rafidhah. Itu lah yang banyak terjadi dengan para ulama populer Indonesia.

    Tak terasa sudah terlalu panjang saya menulis. Maaf kalau ini semacam melewati batas kepantasan berkomentar di blog orang. Terakhir, saya mungkin ingin sekali lagi berbagi kisah kecil.

    Kisah kecil ini cukup populer di kalangan akademis sebuah perguruan tinggi Ilmu islam di Jakarta yang merupakan cabang universitas di Saudi Arabia. Meskipun Saudi Arabia secara posisi politisnya merupakan wacana yang bisa diperdebatkan, komitmen negara ini dalam keilmuan Islam harus diakui memang belum bisa ditandingi negara manapun. Otoritas keilmuan Islam masih dipegang oleh para ulama Mekkah dan Madinah. Konon, beberapa tahun lalu, ada seorang murid Indonesia yang sedang belajar di sekolah ini, dengan beasiswa tentu saja. Dia luar biasa pintar. Semua nilainya sempurna, kecuali di satu mata kuliah: Akidah. Suatu saat di kelas, dia melanggar satu peraturan penting di sekolah itu dan dia dikeluarkan. Dia melanjutkan studinya ke sekolah filsafat yang dibiayai Vatikan di Indonesia untuk mempelajari genealogi filsafat barat, lalu melanjutkan S3 ke Harvard belajar Islamic Studies. Anda bisa paham betapa orang ini luar biasa pintar dan saya dulu suka sekali membaca tulisan beliau karena sangat masuk akal. Sampai saya belajar soal pentingnya akidah. Karena pada akhirnya, saya memilih Islam bukan karena alasan keluarga, sosial, maupun budaya dan politik. Tapi karena pada akhirnya, karena saya ingin masuk surga. Sepintar apapun orang ini meyakinkan saya untuk beragama dengan cara tertentu, menggunakan argumen-argumen yang sophisticated, saya tidak yakin ia sedang mengarahkan saya menuju surga. Dan karena hanya ada satu alternatif tempat selain surga, saya pun memilih berhenti mendengarkan beliau. Ini, mungkin, adalah kaidah untung-rugi saya.


    (Bersambung)

    Anonymous said...

    (Lanjutan, terakhir deh, beneran :) )

    Kalau anda percaya bahwa nasihat adalah bagian dari agama Islam, maka ijinkanlah saya sedikit memberi nasihat. Bukan sebagai seseorang yang superior dari anda dalam hal apapun. Hanya sebagai seorang muslim kepada muslim yang lain. Islam adalah agama yang holistik. Ia tak bisa hanya dipahami dan diyakini secara kognitif. Tetapi juga diyakini dengan hati. Dan tentu saja dipraktekkan lewat tindakan nyata. Ini kemudian menjadi rumit, karena hati dalam bahasa arab adalah 'qalb' yang berarti 'that which turns' dan hanya Allah SWT yang memiliki kuasa membolak-balikkan hati. Sangat sayang jika anugerah Allah SWT kepada Anda berupa kecerdasan, kesempatan, dan ilmu ini tidak dibarengi dengan iman dengan hati. Karena beriman pun ada ilmunya. Tanpa itu, anda bisa kehilangan kenikmatan terbesar dari Islam sebagai rahmatan lil alamin: bagi semua manusia, pandai maupun bodoh, buta huruf maupun tidak, miskin atau kaya. Kenikmatan yang sifatnya pribadi, yaitu kenikmatan hakiki dari sepenuh hati menghamba kepada Allah SWT semata.

    Kalau boleh mengusulkan, jika selama ini Anda sudah berinvestasi banyak waktu untuk mengakumulasi ilmu pengetahuan, mungkin sekarang waktunya investasi belajar untuk upgrade metodologi atau manhaj? Hanya sekedar usul.

    Mohon maaf sebesar-besarnya, jika ada asumsi saya yang menyinggung hati Anda. Saya toh tidak mengenal Anda. Hanya bisa memahami cara Anda memahami Islam dari tulisan ini semata. Jujur, saya menulis begini, justru karena saya setuju dengan sebagian besar argumen Anda. Saya hanya ingin menjelaskan, mengapa menurut saya, cara Anda menjelaskan argumen ini bukanlah semata soal gaya menjelaskan yang sifatnya pribadi. Masing-masing dari kita punya bias sejarah dalam memahami Islam, dan tanpa panduan ilmu yang memadai, ini bisa menjelma menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Karena pandangan pribadi dihasilkan dari cara memahami yang sifatnya, bisa jadi, tidak sepenuhnya pribadi. Namun, sekali lagi, hanya Allah SWT yang Mahatahu dan yang berhak memiliki kata terakhir.


    Wassalam
    Nayla

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Hi Nayla, saya pikir saya tidak meremehkan isu akidah, isu akidah menurut saya sederhana dan justru karena terlalu sederhana, orang-orang sibuk membahasnya sampai tak sempat lagi membahas isu yang lain. Saya ingin tahu apa sumbangsih dari ilmu akidah bagi kemaslahatan masyarakat saat ini? Kemungkinan besar tidak ada selain dari membuka ladang pertengkaran. Padahal untuk apa? Tiap-tiap manusia akan masuk surga atau neraka sendirian, masing-masing bertanggung jawab sendiri atas imannya kepada Tuhan, tapi entah kenapa orang2 suka sekali mengurusi iman orang lain. Justru karena urusan masuk surga dan neraka adalah urusan prerogatif Tuhan maka saya tidak ingin membuang-buang waktu saya mengurusi iman orang lain, saya saja belum tahu saya masuk mana, why should I care about where people will be going in the afterlife?

    Tapi isu hukum berbeda, isu hukum berpengaruh langsung pada well-being/kemaslahatan masyarakat. Ada biaya penegakan hukum, ada yang akan dikontrol, ada yang untung dan rugi, dan kebanyakan bisa dikuantifikasi. Itu yang menurut saya seharusnya menjadi fokus umat Islam kalau mereka peduli dengan fungsi keberadaan muslim yang katanya seharusnya menjadi rahmat seluruh alam.

    Yang tidak saya tulis di artikel ini, sebelum saya belajar fiqh dll, saya sudah belajar akidah dan lainn2nya selama 12 tahun bersama guru agama lulusan pesantren di jawa timur. Itu sudah jauh lebih dari cukup kalau orang2 tahu hal mana saja yang perlu diproritaskan. Wong intinya kembali ke Rukun Iman dan Rukun Islam. That's it. Mau diperpanjang seperti apa lagi?

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Atau mau dibikin dengan pendekatan sufi dan lainnya? I did that too for around 3 years. Pernah fundamentalis juga for around 3 years ketika SMP dan SMA. Yang mengubah saya justru karena saya memutuskan belajar fiqh dan teori hukum Islam, barulah saya sadar konsep pragmatisme hukum Islam. Tentu ada bungkusan nilai-nilai besar macam keadilan, iman, dsb. Tetapi ketika bicara hukum, Islam bicara apa yang bisa berjalan secara praktikal, bukan apa yang ada di awang-awang. Dengan demikian, kesempurnaan hukum Islam tidak terletak di absolutisme, tetapi pragmatisme.

    Belajar akidah saja yang sifatnya absolut akan sangat membahayakan karena membuat kita berpikir bahwa hukumnya juga absolut, padahal mudah sekali memberikan contoh satu hukum yang tak bisa dipertahankan lagi di masa kini, misalnya perbudakan.

    Lucunya, giliran bicara perbudakan, ulama2 di Mesir misalnya bilang itu hukum yang bisa berubah, Allah menginginkan sifatnya temporer, padahal tak ada kalimat demikian di Quran atau Hadis. Yusuf Qardhawi yang menulis soal Halal dan Haram dalam Islam membahas semua hal di muka bumi, kecuali....wait for it..., perbudakan.

    Muhammad Al-Ghazali dikritik habis-habisan oleh ulama2 mesir karena berpendapat bahwa aturan soal kesaksian wanita yang nilainya setengah pria sudah tak layak lagi digunakan. Ini kan lucu, kalau ulama2 ini setuju kesaksian wanita adalah hukum Allah yang absolut, ngapain bilang perbudakan haram padahal ia tak pernah diharamkan? Ini baru satu contoh.

    Akidah bisa menjawab ini? Tidak, tapi bisa disalahgunakan untuk mendukung pendapat mayoritas yang tiranik. Dengan logika ini, kalau sempurna berari absolut, ya orang harus hidup dengan konsekuensinya, bukan milih2 yang dia suka saja. Pas oke, dibilang absolut dari Tuhan, pas ga oke atau sudah banyak diprotes, dibilangnya tidak absolut, fleksibel. Teori hukum macam apa itu?

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Orang-orang takut Syiah katanya akan merusak akidah, atau kristenisasi, tapi lupa aturan soal Zakat yang jelas2 bicara membayar orang, sekali lagi, MEMBAYAR orang untuk pindah agama atau menjaga iman. Saya pikir sudah saatnya ilusi-ilusi indah soal nilai-nilai besar ini dikurangi dan kita bicara yang realistis saja.

    Kalau mereka investasi sedikit aja, ga perlu khawatir dengan Syiah. Kan sudah tahu ga seakidah, mau ribut macam apa lagi? Atau ada kepentingan lain? Ekonomi dsb? Bisa jadi. Analisis historis menunjukkan bahwa dahulu orang jahiliyah marah dan memerangi Nabi lebih karena dakwahnya mengganggu peranan orang Quraisy dalam mengatur haji jahiliyah yang menyembah berhala yang sangat profitable. Mungkin kalau Nabi cuma bicara akidah semata, tidak akan ada yang ribut.

    Tidak ada orang sempurna, tidak ada orang yang benar-benar bebas kepentingan, termasuk para ulama. Kepentingan saya? Karena saya muak melihat pembodohan massal terjadi terus menerus. Dan kebetulan saya punya waktu untuk menuliskan masalah dan analisis atas apa yang terjadi. Saya tidak mau memberikan alasan-alasan yang kesannnya holier than thou karena sesuai pengalaman saya belajar sufisme, tipe-tipe alasan demikian yang paling cepat bikin amalan hangus. Kalau tulisan saya ada gunanya bagi masyarakat, ya insya Allah dapat pahala. Kalau ga, I'm happy writing about it, minimal menyampaikan uneg2. Sederhana kan?

    xxxx said...

    Nih orang merasa lebih hebat dari ulama....baru belajar agama aja udah merasa lebih hebat dari ulama....katanya tertarik hukum islam,tapi kuliah tidak mengambil hukum islam....apakah anda hafal 30 juz?berapa hadits shahih yang anda pahami??

    Virzana Mutiara said...

    Pernah baca artikel ini ketika tahun pertama kuliah di FH UI, sekarang udah (apa baru?) tahun ketiga, jadi baca lagi karena Pak Pram up lagi di Twitter.

    Kemarin ambil mata kuliah Analisa Ekonomi terhadap Hukum juga wow banget jadi pengen ngedalemin juga. Lumayan, dosennya toleransi jawaban gaje saya alhamdulillah bisa dapet A🤣

    Setelah baruu aja berapa bulan ikut-ikutan belajar Ushul Fiqh sama dosen hukum Islam yang anak pesantren tulen udah berasa banget fascinatingnya. Ngeliat putusan MK, ICJ, MA bawaannya coba apply kaidah ushul🤣

    Saya tertarik bikin skripsi ada ushulnya kayak Pak Pram. "Sadduz Zar and Precautionary Principle in Environmental Law Cases" zar-nya diuji pakai pendekatan law and economics. Tapi literasi saya cuma remah-remah rengginang jadi belum tahu apa mau diseriusin.

    Terima kasih tulisannya, Pak Pram, saya jadi tambah ingin rakus belajar lagi dan jadi malu karena buku yang dibaca palingan hanya 1-2 saja...


    The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.