tag:blogger.com,1999:blog-342501192024-03-05T17:22:53.146+07:00The Chronicles of a Capitalist LawyerRandom Thoughts of a Capitalist Lawyer on Law, Economics, and Everything ElsePramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.comBlogger192125tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-34089956208456013832024-02-06T14:38:00.004+07:002024-02-07T01:29:45.787+07:00Etika dan Moral di Atas Hukum? Suatu Miskonsepsi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1uOh5ozOLNN-Ku49gibNWf5hE29x18G-Y8wOblXpg_gVzJwtJeRCpxKgSdI9PIUOZjOTtdCqGYdThR91OXgAicjGHAE5kWjQTv_A63ZFLWM2blwzHrnDT2zNVsTnggaMLedYUZno4P7tpgwGFM_Y9dDwsVKwsa0lI20TEQyUZl60WN_26TO0LqA/s975/Thanos.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="975" data-original-width="975" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1uOh5ozOLNN-Ku49gibNWf5hE29x18G-Y8wOblXpg_gVzJwtJeRCpxKgSdI9PIUOZjOTtdCqGYdThR91OXgAicjGHAE5kWjQTv_A63ZFLWM2blwzHrnDT2zNVsTnggaMLedYUZno4P7tpgwGFM_Y9dDwsVKwsa0lI20TEQyUZl60WN_26TO0LqA/s320/Thanos.jpg" width="320" /></a></div><br /><p><br /></p><p>I am gonna be blunt. This article will probably annoy a lot of people but the problem is, the idea that ethics and morals are above the law also annoy me significantly, and given my current mood and mental state, annoying people that annoy me sounds like a good therapy. So, as requested by @sam_ardi, here is my response to the question: apa relasi etika dan moral dengan hukum khususnya terkait dengan situasi politik terkini di Indonesia?</p><p>Visi saya soal keterpisahan moral dan hukum sudah sering saya bahas di blog ini atau di Twitter, termasuk ketidakpercayaan saya akan adanya nilai moral yang objektif dan bahwa moralitas lebih banyak merefleksikan selera pribadi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu periode tertentu ketimbang nilai yang mutlak benar setiap saat. Kalau ada yang mau serius membaca diskusi panjang lebar mengenai keterpisahan moral dan hukum serta konsekuensinya terkait implementasi/penegakan ketentuan moral dan hukum, bisa baca disertasi saya di <a href="https://knowledge.uchicago.edu/record/281?ln=en" target="_blank">sini</a>. Versi super sederhananya ada di <a href="https://www.pramoctavy.com/2012/05/impossibility-of-moral-enforcement.html" target="_blank">sini</a>.</p><p>Selain itu, mengingat diskusi kali ini akan berhubungan erat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (<b>MK</b>), saya juga akan membahas kritik saya terhadap model putusan konstitusional/inkonstitusional bersyarat oleh MK yang sebagian besarnya sudah pernah saya sampaikan dalam makalah saya di Indonesia Law Review di
tautan <a href="https://scholarhub.ui.ac.id/ilrev/vol8/iss1/1/" target="_blank">ini</a>. <br /></p><p>Berhubung isunya lumayan kompleks, alih-alih mendefinisikan apa itu moral dan hukum (yang sampai sekarang belum ada kesepakatan resmi di antara para ahli hukum), saya akan coba menggunakan pendekatan induktif dengan membahas twit <a href="https://twitter.com/i/bookmarks?post_id=1753606036345557351" target="_blank">berikut</a> dari Erasmus Napitupulu. Erasmus memberikan contoh kenapa etika dan moral berada di atas hukum dengan memberikan analogi bahwa tidak ada ketentuan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (<b>KUHP</b>) yang melarang hubungan seksual dengan nenek kakek kita sendiri, tetapi kenyataannya tidak ada yang melakukan hal tersebut. Sekilas penjelasan ini terlihat sederhana (menurut Erasmus), tetapi ini contoh yang salah. <br /></p><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Mengapa salah? Karena Erasmus berasumsi bahwa orang tidak berhubungan seksual dengan kakek/neneknya karena adanya nilai-nilai etika dan moral yang sangat adiluhung sehingga sekalipun tidak ada hukum yang melarang, orang-orang tetap tidak berkenan melakukan perbuatan tersebut. Kenyataannya, ada faktor lain yang bisa menjelaskan fenomena di atas: rasa jijik/<i>disgust</i> yang merepresentasikan selera pribadi dari kebanyakan orang. Apakah ada orang yang bisa jadi ingin berhubungan seksual dengan orang yang jauh lebih tua termasuk dengan kakek-neneknya sendiri? Probabilitasnya tidak nol walaupun jelas saya tidak termasuk dalam kategori tersebut (<i>and please don't search it in the internet</i>).</span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"><br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Contoh Erasmus yang berikutnya sedikit lebih baik dengan jalan mengutip kasus aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Nazi Jerman untuk mendiskriminasikan kaum Yahudi dan aturan apartheid yang pernah legal di Afrika Selatan dan Amerika Serikat dan betapa aturan-aturan tersebut sangat tidak bermoral. Sekilas contoh-contoh Erasmus menunjukkan kemenangan moral di atas hukum, bahwa sudah sepantasnya ada nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hukum formal, tapi sekali lagi saya sampaikan, contoh tersebut tidak menunjukkan adanya nilai moral universal di dunia ini, melainkan justru menunjukkan betapa rapuhnya ide bahwa moralitas dan etika ada di atas hukum.</span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Kalau kita runut kembali, kenapa orang bisa membuat aturan yang sangat diskriminatif macam aturan Nazi dan apartheid? Jawabannya akan sama dengan mengapa di masa lampau menikahi anak kecil dianggap suatu hal yang lumrah (dan faktanya sampai sekarang pun praktek ini masih berjalan di berbagai wilayah di planet Bumi termasuk di Indonesia), mengapa perbudakan menjadi institusi yang bisa berjalan santai selama ribuan tahun, dan mengapa sekarang Israel menjadi kaum yang 11-12 dengan Nazi Jerman (<i>they live long enough to become the new villain</i>). Karena di pandangan manusia-manusia ini, apa yang mereka lakukan memang tidak salah menurut moralitas versi mereka! Bagi Nazi Jerman, kaum Yahudi bukan manusia yang setara, bahkan sebenarnya semua bangsa non-Arya juga tidak setara dalam pandangan mereka sehingga pantas didiskriminasi bahkan dihabisi. Begitu pula dengan kasus apartheid, orang kulit hitam tidak dianggap sederajat sehingga layak untuk diperlakukan seenaknya. </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"><br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Tidak mengherankan dulu sempat ada kasus kontroversial macam Dredd Scott di Amerika Serikat yang menegaskan bahwa seorang budak yang belum pernah dibebaskan oleh tuannya tidak memiliki hak untuk otomatis bebas begitu saja karena dia hidup di negara bagian yang menganut asas kebebasan bagi budak (posisi ini juga sebenarnya sama dengan posisi dalam hukum Islam klasik, budak tidak bisa main membebaskan dirinya sendiri tanpa ada kompensasi ke tuannya atau mendapatkan pembebasan resmi dari tuannya dikarenakan budak masuk dalam kategori aset dan bukan manusia seutuhnya, pembahasan panjang lebarnya bisa cek disertasi saya).</span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Tentu saja kalau kita menggunakan standar moral yang saat ini sedang berjaya, ide bahwa manusia bisa didiskriminasi karena rasnya atau bahwa manusia bisa diperjualbelikan dengan bebas adalah ide yang memancing keributan. Roger Taney, <i>US Supreme Court Chief Justice </i>yang menulis putusan Dredd Scott sendiri pun kini namanya sangat terhina dina dan dianggap melakukan kesalahan terbesar dalam karirnya karena tidak mau mengambil posisi hukum yang mendukung kebebasan budak. Tapi untuk mencapai posisi moralitas yang dominan saat ini, ada harga yang sangat mahal yang harus dibayar. </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"><span style="color: #0f1419;">Moralitas ala perwira Nazi tidak berubah karena tiba-tiba mereka sadar ada nilai moral indah yang seharusnya mewajibkan mereka untuk tidak melaksanakan hukum yang diskriminatif, bahwa mereka bisa menjadi manusia yang lebih baik. Mereka harus dikalahkan terlebih dahulu dalam Perang Dunia II sebelum Jerman kini secara kolektif menjadi bangsa yang malu akan sejarah Nazi-nya. Amerika Serikat pun harus menempuh </span><i style="color: #0f1419;">Civil War</i><span style="color: #0f1419;"> yang sangat brutal dengan kondisi negara hampir bubar gara-gara wilayah Utara dan Selatan tidak bisa mencapai titik temu tentang nilai moral apa yang harus dianut satu negara soal perbudakan. Dalam salah satu tafsir sejarah Amerika, Roger Taney dianggap ingin mencari kompromi melalui putusan Dredd Scott supaya Utara dan Selatan sama-sama </span><i style="color: #0f1419;">happy</i><span style="color: #0f1419;">, atau mungkin lebih tepatnya dalam kasus ini, sama-sama emosi jiwa (</span><i style="color: #0f1419;">because that is how you compromise fundamental differences in practice, all stakeholders should be equally </i><span style="color: #0f1419;"><i>dissatisfied</i>). Sayangnya, karena situasi sudah terlalu panas, kompromi setengah hati itu malah jadi pemicu tambahan untuk perang saudara di Amerika. </span><br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Memenangkan perang pun tidak serta merta tiba-tiba menghilangkan sentimen negatif kepada mereka yang dianggap berbeda. Perlu ratusan tahun untuk mengurangi rasisme di Amerika Serikat (bahkan <i>US Supreme Court</i> saja pernah puluhan tahun menganut doktrin <i>Separate but Equal</i> melalui kasus <i>Plessy v. Ferguson</i> yang secara efektif membungkam implementasi Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika dengan jalan melegitimasi kebijakan segregasi berdasarkan ras). </span><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Perbudakan di negara-negara Arab/Afrika sendiri pun juga baru berakhir resmi kebanyakan di abad ke-20 yang artinya memakan waktu tak kurang dari 1.400 tahun sejak Islam pertama kali muncul. Lebih parah lagi, tak sampai seabad setelah Perang Dunia II usai, kita harus menyaksikan mulai menguatnya lagi gerakan fasis dan ekstremis ala Nazi di Eropa. Banyak orang marah yang memilih untuk lagi-lagi menyalurkan kemarahan mereka kepada orang yang berbeda tersebut, dan para manusia pemarah ini percaya bahwa mereka berhak secara moral untuk bersikap demikian. <i>After all, everyone is a hero in their own story</i>. <br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Saya berani pasang taruhan besar bahwa seandainya Nazi Jerman yang menang Perang Dunia II atau kaum Selatan yang menang dalam <i>US Civil War</i>, apa yang benar dan salah di dunia ini bisa jadi akan terbalik-balik (imajinasi yang menggambarkan dunia alternatif seandainya Nazi menang bisa dilihat di <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/The_Man_in_the_High_Castle_(TV_series)">The Man in The High Castle</a>). Kenyataannya di dunia ini memang nilai-nilai etis dan moral itu tidak jarang ditentukan oleh siapa yang menang dan memiliki kekuatan terbesar. Baru setelah pemenangnya jelas, apa yang awalnya merupakan sekedar selera pribadi bisa diinstitusionalisasikan menjadi hukum. Nazi baru bisa menerapkan hukum yang super diskriminatif setelah sebelumnya menang pemilu di Jerman, dan </span><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">demikian pula sebaliknya ketika praktik rasisme/perbudakan akhirnya resmi
dihentikan melalui penerbitan hukum resmi setelah perang
selesai dan mereka-mereka yang kalah telah sukses disingkirkan (baik
dengan jalan dihukum mati atau diasingkan).</span><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Lalu apa yang bisa mencegah supaya institusi hukumnya tidak dibuat semena-mena? Jelas bukan merujuk kepada teori mengenai nilai moral adiluhung yang bisa gampang sekali dipelintir tergantung siapa yang berkuasa, melainkan dikembalikan kepada tiga faktor yang sering saya sebutkan sebagai penentu hubungan antar manusia: </span><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">kepentingan pribadi (<i>self interest</i>), <i>game theory</i>, dan emosi. Orang berbuat atau tidak berbuat sesuatu pada dasarnya akan bertumpu pada: (i) bagaimana kepentingan pribadinya bisa terpenuhi, (ii) perkiraan dirinya soal bagaimana orang lain akan bereaksi secara rasional atas langkah-langkah yang akan dia ambil (<i>game theory</i>), dan (iii) emosi/perasaan dari dirinya sendiri dan orang lain (suasana kebatinan dari khalayak kebanyakan, apakah kira-kira mereka akan berkenan, marah, atau acuh tak acuh). Interaksi kompleks dari ketiga faktor ini yang menurut saya akan jauh lebih menentukan akan ke mana arah hukum itu dibentuk, diinterpretasikan, dan dilaksanakan, ketimbang mengklaim adanya nilai moral dan etika abstrak yang sifatnya lebih tinggi dari hukum yang kemudian harus dipatuhi oleh setiap pembuat dan penegak hukum (bagi saya, ini contoh delusional tingkat tinggi). Ingat, bahkan diktator yang paling perkasa sekali pun pada dasarnya tidak bisa selalu bertindak sendiri seenaknya, ada kelompok kepentingan yang harus dia jaga, rakyat yang tidak bisa hidup terlalu merana, dan sebagainya. </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Berkaca pada 3 faktor di atas, sebenarnya penggagas ide etika dan moral di atas hukum itu tidak harus terlalu berkecil hati. Sejarah menunjukkan bahwa nilai yang dianut di masyarakat itu bisa saja berubah dan perubahan bisa terjadi dengan berbagai cara. Salah satunya tentu saja melalui perang sebagaimana dibahas di atas, tapi ada juga cara lain, misalnya melalui <i>moral entrepreneurs </i>yang sering disebut oleh Richard Posner. Posner sangat membenci akademisi yang selalu sibuk berteori tentang konsep moralitas yang objektif dan pasti baik bagi kemanusiaan (tentunya menurut versi mereka sendiri) tapi tidak bisa bertindak menjadi <i>moral entrepreneur </i>yang secara aktif berusaha meyakinkan sebanyak-banyaknya manusia untuk berpihak kepada nilai yang ia anggap benar. Apa bedanya <i>moral entrepreneur</i> dengan <i>academic moralist</i> menurut Posner? Perbedaan utamanya adalah di seberapa konkrit nilai moral yang hendak mereka usung, seberapa jauh pengusungnya mau berusaha meyakinkan orang lain untuk menganut nilai moral yang sedang dijual, dan seberapa paham mereka soal insentif manusia. </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Ingat, sebagaimana saya sampaikan di atas, kalau moralitas pada akhirnya adalah soal selera pribadi, supaya nilai moral yang anda usung itu bisa benar-benar membumi dan diterima sebagai kebenaran, anda butuh banyak orang untuk meyakini bahwa nilai tersebut itu memang benar. </span><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Dalam
hal ini, moral dan hukum bisa dipandang mirip. Dua-duanya adalah konsep
fiksi yang mengada karena ada cukup banyak manusia yang percaya bahwa
moral dan hukum itu ada (versi lebih panjang bisa dibaca di <a href="https://www.pramoctavy.com/2020/12/hukum-dan-imajinasi-sebuah-surat-cinta.html" target="_blank">sini</a>). Nah, </span><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">kalau cuma sekedar berkoar-koar bahwa moral dan etika itu ada di atas hukum tanpa menyebutkan secara tegas apa isi nilai moralnya, ya saya khawatir ini hanya akan menjadi suatu kesia-siaan apalagi kalau misalnya pihak yang mengklaim soal pentingnya etika dan moral versi mereka itu sendiri juga tidak konsekuen dengan nilai moralnya tersebut (sebagaimana akan saya bahas di bawah ini ketika kita masuk membahas model putusan MK).</span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"><br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Isu yang kedua terkait dengan akademisi moralis menurut Posner (dan saya sepenuhnya setuju) adalah karena mereka berkeyakinan bahwa kalau orang diajari nilai-nilai etis dan moral yang "baik", maka hal tersebut akan menjadi motivasi yang rasional bagi orang-orang untuk berbuat baik alias orang taat karena paham. Tentu saja ini mengada-ada. Kewajiban moral (<i>moral duties</i>) adalah sama prinsipnya dengan semua kewajiban dan tugas-tugas lainnya di muka bumi ini, butuh usaha untuk melaksanakannya dan setiap usaha bisa membuat lelah orang yang "harus" mengerjakannya. Orang bisa mengetahui adanya nilai-nilai moral tertentu, bisa saja setuju dengan isinya, tapi tetap tidak mau melaksanakan hal tersebut dengan beragam alasan, termasuk sekedar karena dia malas. Ini mengapa dalam ilmu hukum ada debat panjang soal apakah hukum hanya bisa mengada apabila ada sanksi/konsekuensi yang jelas dari ketidakpatuhan terhadap hukum tersebut. Debatnya belum usai di antara para ahli hukum, tetapi ide utamanya sangat fundamental: kalau tidak ada konsekuensi apa pun dari suatu aturan, motivasi untuk taat pada aturan tersebut kemungkinan besar akan minim. Ketika suatu aturan tidak diikuti oleh kebanyakan orang, apakah kemudian aturan itu masih bisa dianggap memiliki kekuatan yang mengikat (baik misalnya sebagai etika, moral, atau hukum) mengingat moral dan hukum hanya bisa ada ketika cukup banyak orang percaya bahwa mereka ada? Peminat yang ingin belajar lebih banyak soal isu moral dan hukum ini bisa baca artikel Posner di <a href="https://chicagounbound.uchicago.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2828&context=journal_articles" target="_blank">sini</a> atau pesan bukunya yang lebih panjang di <a href="https://www.amazon.com/Problematics-Moral-Legal-Theory/dp/0674007999" target="_blank">sini</a>.</span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><br /></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;">Sekarang kita masuk membahas putusan MK, khususnya putusan MK yang memperbolehkan orang berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden melalui model putusan konstitusional bersyarat karena putusan itu yang saya tangkap menjadi salah satu biang keributan soal etika/moral berkonstitusi di negara ini. Bagi saya pribadi, orang-orang yang saat ini mengklaim suatu putusan sebagai etis atau tidak etis berdasarkan isi dari putusan atau bagaimana cara putusan MK tersebut dibuat adalah orang-orang yang mau enaknya sendiri saja. Karena kalau kita mau konsisten, dan kalau memang benar bahwa etika dan moral itu penting bagi orang-orang ini, seharusnya sedari awal mereka sudah mendeklarasikan bahwa putusan MK dengan model konstitusional atau inkonstitusional bersyarat itu salah kaprah dan tidak sesuai dengan konstitusi (sesuatu yang sudah saya ingatkan dari bertahun-tahun yang lalu). </div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Diskusi panjang lebarnya ada di artikel Indonesia Law Review saya di atas, jadi kali ini saya akan berikan versi ringkasnya saja. Intinya, kalau anda berharap MK tidak menjadi pembuat hukum baru di Indonesia, kewenangannya memang mesti dibatasi, yaitu hanya bisa menyatakan bahwa suatu Undang-Undang konstitusional atau tidak konstitusional, tidak perlu ada embel-embel syarat apa pun. Namun dalam prakteknya, MK kemudian merumuskan dan memutuskan sendiri adanya model putusan konstitusional/inkonstitusional bersyarat yang memungkinkan MK untuk mengubah teks dari Undang-Undang baik secara eksplisit maupun implisit. <br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Anda kemungkinan tidak sadar ketika dulu <b>MK memutus sendiri untuk kepentingan MK bahwa DPR tidak boleh menghalangi MK untuk membuat putusan bersyarat dengan jalan menyatakan bahwa amandemen UU MK yang membatasi putusan MK di tahun 2011 adalah tidak konstitusional</b>. Anda juga mungkin tidak mengetahui kalau putusan MK yang menurut saya tidak etis tersebut (menurut saya pribadi tentunya) bahkan mengutip <i>Marbury v. Madison</i> yang merupakan putusan <i>Supreme Court </i>Amerika Serikat sebagai preseden untuk kebolehan <i>judicial review </i>ala MK di Indonesia walaupun jelas-jelas tidak ada hubungannya antara putusan tersebut dengan sistem hukum Indonesia. </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Bisa jadi juga anda tidak memperhatikan catatan kaki dari Prof. Jimly Asshidiqie dalam buku Konsolidasi Naskah UUD 1945 bahwa ketika UUD 1945 tidak mengatur secara jelas batasan kewenangan MK dalam Konstitusi Indonesia dan mendelegasikan ketentuan tersebut dalam Undang-Undang yang jelas-jelas merupakan objek yang diuji oleh MK, maka akan selalu ada kemungkinan bahwa nantinya MK bisa memutus sendiri aturan mengenai dirinya sebagai institusi. Kalau kita konsisten bicara etika dan aturan soal benturan kepentingan, di mana etikanya ketika suatu institusi bisa menentukan sendiri apa yang boleh dan tidak boleh bagi institusi tersebut tanpa bisa diawasi oleh institusi lainnya? Tidak ada mekanisme internal untuk <i>check and balance</i>. DPR butuh waktu 8 tahun untuk mengubah UU MK, sementara MK menafikan perubahan itu hanya dalam 3 bulan dan pertimbangannya pun hanya memuat beberapa baris kalimat yang jauh dari nuansa elaboratif selain menyatakan bahwa sudah seharusnya MK berwenang untuk mengeluarkan berbagai model putusan karena demikian lah apa yang dimaksud dengan menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.</span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"><br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Kalau ditanya, siapa yang pertama kali menelurkan konsep putusan bersyarat MK? Tak lain dan tak bukan adalah Prof. Jimly Asshidiqie sendiri ketika yang bersangkutan menjabat sebagai ketua MK. Lalu siapa ketua MK ketika MK menyatakan pembatasan bentuk putusannya oleh Undang-Undang adalah inkonstitusional? Prof. Moh. Mahfud MD. Apakah mereka berdua jadi dianggap tidak beretika dan tak bermoral? Kalau pakai teori kaum etis dan moralis, harusnya bisa masuk kategori tersebut, tapi faktanya bicara lain. Dari sudut pandang hukum, apa yang sudah diputus itu sah-sah saja jadinya. Putusan MK menurut UUD 1945 dan UU MK adalah final dan mengikat. Apa yang diputus itu mau tak mau menjadi hukum baru (paling tidak sepanjang institusi negara yang lainnya mau mengakui kekuatan putusan tersebut; hal ini juga saya bahas di makalah saya dan tidak akan saya elaborasi lebih jauh di sini). </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"><br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Dari sudut pandang <i>Public Choice Theory</i>, insentifnya terlalu besar untuk tidak membatasi kewenangan MK karena setiap kelompok kepentingan (<i>interest group</i>), terlepas apa ideologi dan kepentingannya (liberal, konservatif, sentris, atau sekedar mau melihat dunia terbakar) pasti memahami bahwa dengan adanya tambahan model putusan MK di atas, ada mekanisme yang lebih gampang untuk mengubah aturan yang anda tidak sukai tanpa harus berlelah-lelah melewati mekanisme Pemilu dan bertengkar di level legislatif dan eksekutif untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang baru. Ya, anda cukup memastikan setidaknya 5 dari 9 orang Hakim Konstitusi itu setuju dengan usulan anda. Lebih gampang toh? <br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Ini mengapa saya juga sudah mewanti-wanti ketika dulu MK hampir memutus kriminalisasi terhadap kaum LGBT dengan jalan mengubah isi teks KUHP. Kita masih cukup beruntung ada 5 Hakim Konstitusi yang tidak setuju dengan ide tersebut sehingga Pasal KUHP tidak tiba-tiba berubah secara ajaib. <i>But we were so close to oblivion</i>! Bayangkan, perbedaan suaranya bisa setipis itu padahal asas Legalitas (</span><i><span>Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali</span></i><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">) seharusnya sudah mendarah daging bagi setiap sarjana hukum di Indonesia; bahwa seseorang seharusnya tidak bisa dipidana kecuali sudah diatur tegas dalam Undang-Undang (paling tidak dalam KUHP lama; kalau disuruh membahas asas baru hasil karya anak bangsa dalam KUHP baru yang memperluas tindakan yang bisa dipidana, mental saya tidak kuat, nanti malah makin putus asa dengan perkembangan hukum di negara ini). <br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Model putusan MK di Indonesia pada akhirnya jadi mirip-mirip dengan dagelan di Amerika Serikat ketika para ahli hukum mereka sedang membahas isi putusan <i>US Supreme Court</i>: "<i>When the Court agrees with me, </i></span><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"><i>they are following the rule of law, and when they disagree with me, they are just politicians in robes!</i>" </span><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Ini lah contoh konkrit dari manusia hipokrit dan tidak ada kalimat yang lebih bagus untuk menggambarkan fenomena saat ini selain dari pernyataan Thanos di Avenger's End Game: "<i>You Couldn't Live with Your Own Failure, Where Did that Bring You? Back to Me</i>."</span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"> </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">Bagi saya, situasi kita saat ini bukan sekedar momen "<i>I told you so</i>". Aturan permainannya memang sudah jadi demikian semenjak belasan tahun yang lalu. Para ahli hukum di negara ini juga seharusnya memahami keberadaan isu ini dan bahwa adalah lumrah dalam dunia hukum dan politik apabila hasil dari mekanisme seperti ini tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Bagi saya pribadi, tiap kali saya membaca putusan MK, terlepas apa hasil putusannya, selama masih memuat kata-kata konstitusional/inkonstitusional bersyarat, saya selalu menghela napas panjang karena saya tahu bahwa hal tersebut seharusnya dianggap sebagai kesalahan, namun saya tidak memiliki kuasa yang cukup untuk mengubah kegagalan konstitusional tersebut. Sedari awal kita sudah salah desain dan kini kita harus hidup dengan konsekuensinya. </span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;"><br /></span></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><span class="css-1qaijid r-bcqeeo r-qvutc0 r-poiln3" style="text-overflow: unset;">K</span>alau kita tidak mau ada putusan yang "bermasalah" secara moral dan etika, ya jangan dibuka kesempatannya di depan, sebisa mungkin setiap celah harus ditutup, apalagi kalau ternyata dampak negatifnya jauh lebih dahsyat ketimbang dampak positifnya (sesuatu yang sulit diprediksi ketika kita membangun suatu institusi). Isunya, sebagaimana saya sampaikan di atas, ketika masing-masing pihak masih berharap bisa menggunakan MK untuk mendukung kepentingannya sendiri, kasus-kasus kontroversial seperti ini akan selalu berpotensi muncul di masa depan. Saya tahu hasrat menggunakan jalur MK untuk memotong pekerjaan advokasi nilai (apapun nilainya) terlalu menggiurkan bagi kebanyakan orang, bagaikan laron yang tertarik dengan cahaya lampu neon bahkan seandainya dia tahu lampu neon itu berpotensi membakarnya hidup-hidup. </div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><br /></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;">Namun demikian, apabila anda tidak berani mengambil langkah yang keras seperti di atas, maka harus dimaklumi kalau kita akan bertemu dengan orang-orang yang tidak peduli dengan pelanggaran etis dan moral. Wong konstitusi yang secara teori hukum memiliki hierarki paling tinggi di suatu jurisdiksi saja bisa dikesampingkan dalam berbagai situasi dan bahkan pengesampingannya bisa dilegitimasi di jurisdiksi yang bersangkutan, apalagi cuma sekedar pelanggaran etika dan moral yang nir-konsekuensi? </div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;">Ada banyak contoh aturan konstitusi dikesampingkan dan dengan cara masing-masing yang unik. <i>Plessy v. Ferguson </i>misalnya adalah contoh kasus teks konstitusi dikesampingkan dengan cara pembacaan ala <i>US Supreme Court </i>yang mengenalkan doktrin hukum baru <i>Separate but Equal </i>(<i>even though they were pulling it from their ass, but well, they are essentially the law there</i>). Butuh 64 tahun untuk mengubah putusan itu melalui kasus <i>Brown v Board Education</i> (itu pun hanya mencakup segregasi di bidang pendidikan bukan semua bidang), serta kemudian butuh 10 tahun lagi untuk dikeluarkannya <i>Civil Rights Act of 1964 </i>di Amerika. Sekarang konsep rasialisme ini juga sudah berkembang lebih jauh lagi, di era ketika hakim konservatif mendominasi <i>US Supreme Court </i>sekali lagi, giliran <i>Affirmative Action</i> yang kena penggal. </div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><br /></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;">Di Indonesia kita punya kasus Bung Karno membubarkan Konstituante Republik Indonesia dan mengembalikan Indonesia ke UUD 1945 via Dekrit Presiden 1959. Suatu bentuk pelanggaran konstitusi yang luar biasa kasar karena sebenarnya dia tidak memiliki wewenang sama sekali untuk melakukan hal tersebut tapi ya akhirnya diterima oleh bangsa dan negara ini sebagai fakta hukum baru sampai-sampai tidak ada lagi yang bertanya mengapa kita menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia atau mengapa kita hanya menggunakan mekanisme amandemen terhadap UUD 1945 tersebut dan bukannya menyusun konstitusi baru sekalian di era reformasi. </div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><br /></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;">Selain itu ada pula kasus terbaru di negara El Salvador ketika Presiden Nayib Bukele baru-baru ini memenangkan pemilihan presiden untuk kedua kalinya walaupun dari berita yang saya baca, Konstitusi El Salvador jelas-jelas melarang seorang presiden untuk bisa langsung memegang jabatan 2 kali berturut-turut. Tetapi yang bersangkutan sudah mengganti hakim MK di El Salvador dan mereka menyusun interpretasi baru mengenai pengertian teks Konstitusi El Salvador. Belum lagi fakta bahwa Nayib juga menang dengan lebih dari 80% suara. Mau tidak mau harus diakui bahwa dia punya dukungan legitimasi yang besar untuk mengesampingkan ketentuan konstitusi. Kalau suara rakyat adalah suara Tuhan dan konstitusi dibuat untuk kepentingan rakyat, maka bisa dibilang kita sedang menyaksikan bagaimana pengesampingan teks konstitusi itu kemudian disahkan oleh rakyatnya sendiri.</div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><br /></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;">Sebagai ahli hukum, saya punya dalil yang kuat untuk menyatakan bahwa 3 contoh di atas adalah bentuk pelanggaran hukum dan harusnya dinyatakan inkonstitusional serta tidak mengikat, tapi percayalah, saya juga bisa menyusun argumen untuk menyatakan sebaliknya, bahwa perubahan di atas adalah sah dan mengikat secara hukum. <i>That's the beauty of law. </i>Poin saya, kalau hukum saja seperti itu, apalagi pelanggaran etika dan moral yang definisinya lebih cair dan penegakkannya lebih-lebih tak ada kekuatannya. Lebih absurd lagi kalau kemudian ada orang-orang yang berkoar-koar bahwa seharusnya hukum itu tunduk pada nilai etika dan moral yang lebih tinggi yang digaungkan sebagai bagian dari <i>universal common sense</i>. Mau dicari di mana nilai etika dan moral itu kalau tidak dituangkan secara tegas? <i>Common sense </i>siapa? <i>Common sense </i>mbahmu? Bagaimana caranya juga kita bisa memastikan orang-orang akan tunduk, atau paling tidak pura-pura sedikit menunjukkan kepedulian pada nilai-nilai etis dan moral ini? <i>If you want to have better chances, you must make these so called ethical and moral rules as part of the law. There is no other way. And even if you have the rules written in stone, there is no guarantee that it will always be effective. </i></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><br /></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;">Kalau saya boleh simpulkan, isu terbesar dengan Putusan MK soal umur Capres/Cawapres itu bukan isu etika, tapi lebih ke isu: <i>they are doing such a sloppy job with their legal argument</i>! <i>If you love and want to secure power by all means, at least have the decency to do it professionally</i>. <i>These people need to find a better lawyer with better planning and better writing! </i>Kalau sesuatu dilakukan dengan jalan asal-asalan, akan lebih banyak orang yang mempermasalahkan. Tapi ya memang menyusun putusan yang kreatif, elaboratif, argumentatif, dan kalau bisa sedikit humoris itu memang bukan keunggulan lokal di negara ini. Argumen bisa selalu dicari, tapi kita kekurangan orang yang bisa menuliskan argumen itu dengan baik dan meyakinkan. </div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><br /></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><i>Anyway, I digress</i>. Kalau diteruskan nanti saya akan panjang lebar membahas bagaimana seharusnya format dan isi putusan pengadilan itu ditulis di Indonesia dan isu itu bukan fokus kita hari ini. Saya ingin menutup artikel ini dengan mengingatkan kembali kepada kaum etis/moralis bahwa daripada berdalih dengan menyatakan ada suatu nilai etika dan moral kebaikan di atas hukum, lebih baik langsung sampaikan apa yang sebenarnya anda inginkan dari lubuk hati yang terdalam, bahwa masing-masing dari kita punya nilai moralitas pribadi yang kita yakini dan ketika kita berseberangan dengan pihak tertentu, kita punya kepentingan untuk memastikan agar posisi kita yang pada akhirnya akan jadi lebih dominan. Siapa tahu dengan bersikap jujur seperti itu justru akan lebih sukses mendulang dukungan. </div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;"><br /></div><div class="css-1rynq56 r-bcqeeo r-qvutc0 r-37j5jr r-1inkyih r-16dba41 r-bnwqim r-135wba7" data-testid="tweetText" dir="auto" id="id__q0jbwiuo6cg" lang="in" style="color: #0f1419; text-overflow: unset;">Kita harus memahami bahwa nilai moral tidak akan pernah netral, tetapi dalam kontestasi politik, sah-sah saja untuk berpihak pada nilai tertentu, karena memang justru ini momennya! Tentunya juga jangan lupa untuk selalu berusaha sedetail dan sespesifik mungkin dengan nilai etis dan moral yang anda usung. <i>After all, that's how you truly change people's morality view, by convincing as many as possible of them that you're right, and for them to be convinced, at the very least, they ought to know the values that you are selling</i>. Demikian dan selamat mencoba. </div>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-41539887658730019672024-01-01T21:59:00.004+07:002024-02-07T00:13:55.611+07:00Life Begins at 40 (A Tribute to My Mom)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjm0q0ustFpwgm1kfTpy5lIsl2_uPO1pjWbsOpmz-HTvmoMtaRG4wySK39JfghBme0mCaKbyDrJU9UANtHNLbDeWMYpdzYArnifE8GAzcCXZxC70JkJQSgjxjJeOcyuqskKlpY0tqlRVUo4vlkwkBH4OzvXm2ooehAZlDEmvcFA2k0bFxFAJYZ-NQ/s1315/UChicago%20Memory.PNG" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1315" data-original-width="919" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjm0q0ustFpwgm1kfTpy5lIsl2_uPO1pjWbsOpmz-HTvmoMtaRG4wySK39JfghBme0mCaKbyDrJU9UANtHNLbDeWMYpdzYArnifE8GAzcCXZxC70JkJQSgjxjJeOcyuqskKlpY0tqlRVUo4vlkwkBH4OzvXm2ooehAZlDEmvcFA2k0bFxFAJYZ-NQ/s16000/UChicago%20Memory.PNG" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><div>When I declared back in October 2023 that I will write something about entering the "magical" age of 40, I absolutely did not expect that I will write an obituary for my mom. Far away from it! But life is full with unexpected surprises and we must cope with that reality. A shorter version of this post was delivered as my annual end of year Message of Managing Partner to our Firm's lawyers and staffs as I think it is important for them to know how much my life philosophy and work ethics are shaped by the parenting style of my mom which obviously affects how I envision and run the Firm for the past 6 years. After all, for a person who thoroughly integrates his life and work, it is simply impossible to separate my personal life from my working life, the connection is just too deep. So no, you will not find a typical story about how family matters above work etc. in this blog post. Such concept is non-existent within the universe of my thought.</div><div><br /></div><div>As I said during my Firm's anniversary party back in November 2023, I have practically tasted all the pleasures that a good life can offer before I even reach the age of 40. Just see my various adventures in my Instagram account and you will know what I mean. I also reckon my consecutive three-day birthday celebrations in October to be the best parties ever in my life so far. Surrounded by people that are important to me and after securing <a href="https://www.instagram.com/p/Cy286ZeSVju/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA==" target="_blank">multiple prestigious awards for the Firm and myself</a>, I was on the highest point of my life (again, so far). With all these accomplishments, it is natural to ask: what's next? What should I do for the next 40 years to bring my Firm and myself to greater new heights? I know that my dream of <a href="https://www.pramoctavy.com/2020/08/on-finding-successor.html" target="_blank">finding a successor </a>is not yet fulfilled, and of course, there is also the <a href="https://www.youtube.com/watch?v=9H0FTJxrDow" target="_blank">unrealized dream of making UMBRA as the Wachtell Lipton of Indonesia</a>. So many things to plan and do, no rest for the wicked. </div><div><br /></div><div><span style="font-family: inherit;">Unfortunately, as I was contemplating our next moves,
I had to face the devastating reality that I will no longer see my mom, Erna Dewina (her real name for the past 65 years was Erna Dwina but then her last identity card had a typo so we ended up with this new official name). Died
too young on 28 December 2023 at the age of 66 due to brain hemmorhage (just like her own mother back in 1994), the only thing that perhaps could embrace me is the
fact that my number one hero, Scrooge McDuck, also lost her mother at the age of 57
when he was 30. Timing wise, there is a similarity between his life's journey and my own.
Scrooge McDuck received the sad news when he was facing his mortal enemy, Soapy
McSlick. Chained to the enemy's ship and ready to admit defeat, that piece of news gave him the
much-needed energy to kick McSlick’s ass, destroy his fraudulent business
empire, and establish himself as the new King of Klondike, opening the path for
Scrooge to become the richest duck in the world and cementing the mantra of
“strength through suffering”.</span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">I suppose, I am living in that period too. As our Firm grows larger and gains more successes in such a neck-breaking speed, it is inevitable
that there will be people that do not like us. As once said by Anthony
Bourdain’s mentor to him, “you know you are damn good when there are enemies
that you are not even aware of ready to do whatever it takes to bring you
down.” Such is life. But like Unca Scrooge, Bourdain, and many other successful
people, pain and suffering are just par for the course. You must face them and
either you win, or you die damn trying.</span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">In that context, writing about my mom serves three purposes: (i) ensuring that her memory will live on, (ii) giving the readers a glimpse of my personal background and thought process in building and
nurturing my Firm, and (iii) </span>doing a self-therapy to help myself processing the grief and turning the pain into the strength necessary to carry on her legacy and fulfill my ultimate vision<span style="font-family: inherit;">. </span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">In the simplest way, my mom is a typical Tiger Mom: relentless,
fierce and most of the time, annoying. A true force of nature. Say whatever you want about ideal
parenting model, if you do not have enough guts and grit, you cannot
survive interacting with my mom for a long period of time. I can assure you that my intense drive for excellence and being competitive is derived from her parenting style. It was crazy
and yet I will not expect anything less from her. Pramudya A. Oktavinanda as you know
today will not exist without her.</span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">The 2 years before I established UMBRA were the worst
period of my life, there was no visibility on whether I will be able to
successfully create a new firm independently despite all the preparation, and I was practically stuck with my dissertation writing. Rather than being at the endgame, it was more of a game over. And my mom’s constant
messages during those difficult years? “When will you earn your PhD? I want to
see my son’s graduation soon.” I was like, wow, come on, I need some moral support
and additional time to rest my body and soul, but of course she would not compromise at
all. It was always tough love for her. And though I had tried to finish my
dissertation and graduated before UMBRA’s official opening in November 2017, my
professors said in May 2017 that it was not good enough. Consequently, the next
period for graduation (if I ever graduate) would be June 2018, and if I still wished to graduate on that deadline, I would have to work on my major revisions while starting a completely new business with no guarantee of success. This was a tough choice as I only had the last ten million Rupiah in my bank account when I opened my shop. Would I be able to do both and get stellar results, or would this be my total meltdown moment? </span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">Devastated but
not shocked, as I thought that I have not put my best effort to this soon-to-be
masterpiece, I knew that if I delivered the message to her that I am giving up on my PhD because I am in the process of building a new
business empire, she would just scold me or look at me with disappointment (and
I couldn't withstand her deadly eye stare). As you may all have guessed, I had no
choice and I told myself and her that 2018 will be the year when I
finally earn my Doctor of Jurisprudence degree, no matter what the costs. The
rest is history (I put a pic with my mom on graduation day at the top of this post as a memento of her) and serves as
the basis for me scolding my lawyers nowadays if they ever come to me and say
that they are too busy with work. Try running a firm from scratch while
practically rewriting 70% of your dissertation on Islamic legal interpretive theory at
the same time, and then and only then can they come back to me and declare that they are busy. </span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">Other than installing an absurdly high level of
tenacity to me, my mom is also the one who inspires me </span><a href="https://www.pramoctavy.com/2021/01/kesetaraan-gender-dan-industri-hukum.html" style="font-family: inherit;" target="_blank">to promote women at the workplace</a><span style="font-family: inherit;"> (we </span><a href="https://www.linkedin.com/feed/update/urn:li:activity:7106857113632604160" style="font-family: inherit;" target="_blank">even won Indonesia Law Firm of the Year award by Women in Business Law Awards 2023</a><span style="font-family: inherit;">). I am a feminist because of her as she was the living epitome that
women can be both a successful mother and entrepreneur. She brought me to her own office almost everyday so that she can strictly supervise my study and test me
from time to time after she dealt with her daily work. It’s like doing cram
school but with your own mom, and believe me, it’s worse, especially if I failed
to memorize the required reading passage or give the correct answer to the
endless exercises from the prep books. I initially did not understand how she
had the time to do all of these activities but as I grew older and reached this
stage of life, and especially after I also did the unimaginable back in 2018 and continue to surprise myself about my own limit until today, I realize that if you are being trained your entire life to be super persistent with your goal, you would accomplish some incredible feats. No wonder that I have an everlasting burning fire in my soul. I was trained by the best.</span></div><div><span lang="EN-US" style="font-family: inherit; mso-ansi-language: EN-US;"><br /></span></div><div><span lang="EN-US" style="font-family: inherit; mso-ansi-language: EN-US;">Furthermore, she was the source of our family business success and
immediately when she was asked to retire earlier by my father from the management, our business
went down to hell and was almost completely wiped out during the 1997-1998 crisis. Worst business decision ever! On the one hand, losing everything was damn painful. But on the other hand, as I said above and in many occasions, walking through suffering builds your character. It drives you to be relentless (perhaps borderline obsessive) in the unforgiving race to greatness. This episode of my life is also the main reason why </span><span style="font-family: inherit;">all my female
associates find me to be so prejudiced to boys, believing that most of them are
distractions. Well now they know, it’s my personal trauma. My message to them is always the same, find a significant other that will support you to soar into the sky and never settle for less. </span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">People should also be
able to tell that my deep passion for management, obsession with neatness,
diligence, and organizing things, plus a seemingly unlimited energy to enforce all of those commitments </span>(all necessary qualities for becoming an effective Managing Partner) <span style="font-family: inherit;">are all derived from my mother. Her brothers and sisters
called her “miss rempong”, and I can’t find a better term to describe myself
other than being “rempong” too. So yes, this is why both of us are so annoying to other people and why we also both annoy each other so many times. I remember how stressed my brother was whenever I entered into a high pitch conversation with my mom (and not even because we were angry, but simply because we talk so loud and passionate about whatever we believe, haha). </span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">While a piece of me will be lost forever with my mom’s
sudden departure (I am after all a doted child a.k.a </span><i style="font-family: inherit;">anak mami</i><span style="font-family: inherit;">), I am
grateful that a piece of her will also continue with me as long as I am still
living (and hopefully through other people’s memories too). And though I am
incredibly sad that I have to part with my mother so soon, I am a little bit
happy that unlike Scrooge McDuck who had to learn the news of her mother’s
death when he was thousand miles from home, I was lucky enough to spend time
with her until the end and that she had the time to celebrate my best birthday
party ever (with her gone, I am afraid that no party will ever beat the ones
that I had back in October). I guess experiencing all of
these highs and lows in such an extreme way when I reached the age of 40 really tells something about
the old adage that life begins at 40. It surely begins with a bang!</span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">The next phase of my life will definitely be tougher. My out of this world level of confidence, tolerance to pain, and drive for work are somehow connected to the belief that regardless of whatever challenges that I have to face, I will always have that one supporter in the background. Whether we are near or far, in good times or bad times, and even when we were not talking because of our silly fight (a certainty from time to time as I am a copy paste of my mom, and you can't have two divas on one stage), it does not matter, I know that she will be there for me (and what a lovely thing to find this <a href="https://www.youtube.com/watch?v=LZFL7CRsoeM" target="_blank">video of her</a> just after I've finished writing this passage, confirming my belief). With that one ultimate pillar gone so quick, it's surreal to find yourself standing alone in the wilderness of life. It's just like experiencing Thanos's snap in real life but without any possibility of bringing her back. It sucks and yet, I must persevere. </span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">To be brutally frank, I always consider myself as a ruthless dark lord with a pitch black frozen heart. No amount of pain and suffering in this world or even the universe have ever moved me to shed a single tear. As I often said, I don't believe in any moral values where I owe any duty to anyone else, and vice versa, it's all about self-preservation, game theory, and emotion. Unfortunately, or maybe fortunately, I do have a soft spot for my mom, and that speaks an uncountable number of words about her importance to me (</span><span style="font-family: inherit;">There are still many stories and memories about her that I have not shared to the world and it would be my greatest pleasure to share them later on whenever I have the chance). </span><span style="font-family: inherit;">And again, I was very surprised to know that my mom did say the same thing in her video above, she did not want her sons to support and care for her based on filial duty. It must be based on love and nothing else. Great minds think alike. </span></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><div><span style="font-family: inherit;">For my beloved mother, t</span>hank you for accompanying my journey for the last 40 years, <span style="font-family: inherit;">goodbye, and see you among the
stars. I will be forever missing you. For the rest of us, and especially myself, life must go on. There are
deals to close, competitors to beat, and an industry that we have yet to
dominate! The mission shall continue as planned until the day I leave this mortal plane and beyond. And while the road to such goal is arduous and long, I think I will be just fine as long as I can live the life that I choose, as long as I can do what I love to do now and then, and as long as every once in a while I can reminisce my treasured memories of my mom. Wish me luck! </span></div>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-65702995728314828592021-02-08T18:36:00.002+07:002021-02-08T18:38:35.677+07:00Kritik yang Membangun dan Intrik-Intriknya<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjytZSIx2NkIn940dMKP1oAXJEaOhIMDGzaqtR1yQF8UYN5le4flv5jmjUkLrtrG1v-lTUUo78shMUbhlhAPPQtGvA7RUzaG4zWBbDROc7YRntUhR9FjYS0WLn4o0B5kOFGGcTmEQ/s1340/Twotter+1.PNG" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="802" data-original-width="1340" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjytZSIx2NkIn940dMKP1oAXJEaOhIMDGzaqtR1yQF8UYN5le4flv5jmjUkLrtrG1v-lTUUo78shMUbhlhAPPQtGvA7RUzaG4zWBbDROc7YRntUhR9FjYS0WLn4o0B5kOFGGcTmEQ/s320/Twotter+1.PNG" width="320" /></a></div>Jadi hari ini ceritanya ada artikel soal komentar Bapak Presiden <span id="fullpost">bahwa <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210208110408-20-603540/jokowi-masyarakat-harus-aktif-sampaikan-kritik-dan-masukan?utm_source=twitter&utm_medium=oa&utm_content=cnnindonesia&utm_campaign=cmssocmed" target="_blank">masyarakat harus aktif sampaikan kritik dan masukan</a> ketika berpidato menyambut peluncuran Laporan Tahunan Ombusdman RI tahun 2020. Pesannya sebenarnya bagus tapi dengan sejarah banyaknya laporan ajaib soal kritik yang kemudian berubah menjadi kasus penghinaan atau pencemaran nama baik entah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, mau tak mau timbul pertanyaan, pesan Presiden di atas itu serius atau tidak?</span><p></p><p><span id="fullpost">Kritik atas kelenturan pasal-pasal pidana terkait penghinaan/pencemaran nama baik bukan barang baru. Di tahun 2015 misalnya, <a href="https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4419/Menkominfo%3A+Pasal+27+Ayat+3+UU+ITE+Tidak+Mungkin+Dihapuskan/0/berita_satker" target="_blank">Menteri Komunikasi dan Informatika periode itu menolak revisi atas Pasal 27 UU ITE</a> yang sudah sering memakan korban (dan masih terus demikian sampai dengan tahun 2021 dan entah sampai kapan). Saya juga sudah berkali-kali menulis soal ini dan bisa dibaca di <a href="https://www.pramoctavy.com/2014/11/perlukan-penghinaan-dipidana.html" target="_blank">sini</a> (soal kepatutan untuk memidanakan kasus penghinaan), di <a href="https://www.pramoctavy.com/2014/10/kasus-florence-sihombing-dan-kegagalan.html" target="_blank">sini</a> (soal isu ujaran kebencian terhadap ras via kasus Florence Sihombing, kalau ada yang masih ingat siapa dia), dan di <a href="https://www.pramoctavy.com/2016/11/memahami-penodaan-agama-seutuhnya.html" target="_blank">sini</a> (soal isu penodaan agama via kasus Ahok). Baru-baru ini juga ada kasus influencer versus dokter yang berujung saling lapor polisi (saya tidak akan memberikan tautannya di artikel ini, cari sendiri saja), menambah lagi khazanah kebingungan orang-orang dalam memahami kapan kritik jadi berujung pidana?</span></p><p><span id="fullpost">Di twit saya di atas, saya memberikan sedikit kiat soal bagaimana cara mengajukan kritik di negara tercinta ini. Walaupun ada beberapa tambahan buat lucu-lucuan, sebenarnya nilai-nilai yang saya tulis itu dimuat dalam penjelasan </span><span id="fullpost"><span style="font-family: inherit;">Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (<b>PNPS 1965</b>) yang menyatakan sebagai berikut: </span></span><span style="font-family: inherit;">"<i>huruf a, tindak pidana yang
dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan
kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka
uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif,
zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha
untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat
permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini</i>."</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Singkat kata, kalau mau lepas dari jeratan pasal-pasal karet yang sifatnya subjektif macam menghina atau menodai, pastikan pernyataan yang anda buat itu objektif, faktual (ini pengertian <i>zakelijk</i>), dan ilmiah serta berusahalah menghindari kata-kata permusuhan sebisa mungkin. Unsur-unsur di atas sebenarnya ideal untuk ada dalam setiap kritik. Tapi mirip dengan pengertian menghina/memusuhi, pengertian objektif, faktual dan ilmiah itu sendiri sebenarnya juga luas dan bisa diperdebatkan, dan itu yang kemudian jadi masalah di Indonesia. <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Apa definisi unsur "objektif"? Apakah objektivitas murni itu ada? Apakah kita perlu mengerti terlebih dahulu kategori <i>noumena</i> dan <i>phenomena</i> ala Kant atau perlu membaca <a href="https://www.amazon.com/Objectivity-Zone-Books-Lorraine-Daston/dp/189095179X/ref=sr_1_1?dchild=1&keywords=objectivity&qid=1612775554&sr=8-1" target="_blank">buku babon</a> ini sebelum mengeluarkan kritik untuk memastikan bahwa kita telah bersikap objektif dalam menyampaikan kritik? Kemudian standar "ilmiah" apa yang mesti digunakan untuk memenuhi ketentuan PNPS 1965? Apakah orang harus lulus S3 dan jadi doktor dulu sebelum minimal menuangkan pendapat di negara ini? Atau setiap kritik harus memenuhi kriteria naskah akademik untuk dapat dipertimbangkan? </span></p><p><span style="font-family: inherit;">Bahkan terkait unsur "faktual" yang sebenarnya tidak kontroversial pun prakteknya juga bisa menimbulkan banyak pertanyaan, apalagi ketika dunia mulai memasuki era <i>post-truth</i> yang contohnya bisa kita lihat dengan jelas dalam kasus pemilihan umum di Amerika Serikat ketika jutaan orang bisa percaya dengan teori konspirasi (plus digoreng sebagian politisi di sana untuk kebutuhan elektoral) dan kemudian coba-coba menggulingkan pemerintahan melalui kerusuhan di Capitol Hill. Dalam situasi normal sekalipun, harus diakui bahwa menemukan fakta yang akurat juga tidak selalu mudah. Tidak usah bicara fakta sejarah yang bisa jadi multi interpretatif, kejadian dua tiga hari yang lampau pun juga bisa salah dibaca, misalnya karena informasi disampaikan secara tidak lengkap (kenyataannya, berapa banyak orang yang cuma baca info sekilas atau bahkan cuma judul berita kemudian berkomentar seperti jagoan?).</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Permasalahan utama dari pasal karet adalah kelenturan penggunaan pasal itu akan bergantung erat pada kekuataan/kekuasaan dari mereka yang bisa mengajukan laporan serta mereka yang memeriksa dan memutus perkara yang bersangkutan. Dan kita harus akui, belum ada pendekatan yang murni konsisten di negara ini. Sebagai contoh, dalam <a href="https://www.pramoctavy.com/2016/12/islam-dan-kebhinekaan-sebuah-tanggapan.html" target="_blank">artikel saya soal kebhinekaan di Indonesia</a>, saya membandingkan kasus Rhoma Irama yang sempat dituduh mengucapkan ujaran kebencian tapi kemudian kasusnya tidak ditindaklanjuti dengan beragam alasan. Padahal kalau dilihat unsur-unsurnya, kasus Rhoma tidak berbeda jauh dengan kasus Ahok, tapi sebagaimana kita ketahui bersama dan sudah saya bahas panjang lebar dalam artikel-artikel saya sebelumnya, hasil akhirnya berbeda 180 derajat.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Untuk itu perlu ada revolusi pemikiran terlebih dahulu bahwa dalam konteks bernegara, masyarakat sebenanya lebih tepat diumpamakan sebagai pengguna jasa sementara pemerintah adalah pemberi jasa (<i>service provider</i>), mirip seperti kita lawyer yang memberikan jasa hukum kepada klien-klien kita. <i>Leadership is liability not privilege</i>. </span></p><p><span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;">Mengapa saya menempatkan posisi masyarakat di atas? Kembali ke definisi negara dan hukum itu
sendiri, keberadaan negara dan hukum adalah fakta sosial, yaitu fakta
bahwa sebagian besar masyarakat dalam satu wilayah menyepakati
legitimasi keberadaan suatu negara serta kewenangan negara tersebut
untuk menerapkan aturan-aturan tertentu. Makanya saya tidak setuju
dengan konsep negara integralistik ala Soepomo (yang kemungkinan besar
diambil dari teori Hegel) bahwa negara adalah seakan-akan ayah yang
mengayomi rakyat sebagai anak-anaknya. Tanpa penerimaan masyarakat,
tidak ada negara dan hukum. Terlepas kita mau berteori bahwa sumber
hukum bermuasal dari dimensi kesembilan sekalipun pun, kenyataannya, <u><b>hukum itu hanya bisa mengada di dunia ini karena ada orang-orang yang mau mengakuinya sebagai hukum yang berlaku</b></u>. Demikian juga pejabat bisa menjabat karena mereka dipilih dan dipercayai oleh masyarakat dan mereka dipilih karena mereka diharapkan bisa <i>get things done</i>.</span><br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Semua fasilitas yang diberikan kepada pejabat pada dasarnya diberikan kepada mereka supaya mereka bisa bekerja dengan fokus dan mengutamakan kepentingan pengguna jasa, serupa dengan lawyer yang dibayar mahal untuk memastikan klien menerima jasa hukum terbaik dan seluruh kepentingannya dilindungi. Begitu hal ini dipahami, ketentuan mengenai kritik seharusnya tidak lagi perlu diatur secara rigid karena kritik dari klien memiliki 2 bentuk utama: (i) murni komplain/uneg-uneg dan (ii) masukan bagi pemberi jasa. Dalam artikel ini, saya akan berfokus pada bentuk pertama.<br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Untuk uneg-uneg atau komplain, pemberi jasa tidak bisa berharap klien memberikan masukan yang berharga, terstruktur, ilmiah atau penuh dengan pemikiran orisinil karena justru tugas pemberi jasa untuk memberikan ide-ide yang mantap, bukan sebaliknya! Jadi pernyataan bahwa masyarakat seharusnya memberikan ide-ide yang membangun dan tidak boleh hanya menggerutu saja sudah merupakan kesalahpahaman dalam konteks uneg-uneg di atas. Bukan berarti warga tidak bisa berkontribusi menyumbangkan pemikiran ya, tetapi kontribusi pemikiran dari masyarakat adalah bonus dan tidak ada sangkut pautnya dengan kebolehan mereka untuk menyampaikan uneg-uneg atas layanan Pemerintah yang tidak sesuai ekspektasi. <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Setelah paham posisi masyarakat sebagai klien, pertanyaan berikutnya, apa wajar bagi pemberi jasa untuk mengatur-ngatur bagaimana cara klien menyampaikan uneg-uneg? Bagi saya pribadi, jawabannya adalah tidak akan! <i>Less excuse more results</i>! Justru saya harus berusaha sekeras mungkin supaya saya tidak menerima komplain. Bukan saja ini masalah harga diri sebagai profesional, tetapi juga tentunya persaingan dengan pemberi jasa lainnya, saya ingin jadi yang terbaik. Isunya, negara tidak memiliki saingan dalam jurisdiksinya dan ketika tidak ada persaingan, naluri penguasa lambat laun menggantikan naluri pemimpin yang melayani. Dalam konteks otonomi daerah sekalipun, ide bahwa persaingan antar daerah akan meningkatkan kualitas pemerintahan pun belum tentu efektif. Mengapa? Karena mobilitas penduduk juga kemungkinan besar tidak elastis. Berapa banyak yang memutuskan pindah dari satu daerah yang kepemimpinannya kurang bagus ke daerah lainnya? Persaingan antar daerah pun akhirnya menjadi kurang greget. Ujung-ujungnya lingkaran setan, kecuali tentunya apabila ada yang lebih banyak bersuara untuk menunjukkan bahwa menyampaikan uneg-uneg itu biasa saja dalam kehidupan bernegara.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Apakah perubahan paradigma ini mungkin muncul? Ya mungkin saja. Saya berani bicara seperti ini karena saya sendiri menerapkan nilai-nilai yang sama dalam institusi saya dalam bentuk 2 prinsip: (i) <i>being radically open</i>, dan (ii) <i>being egalitarian</i>. <i>Skin in the game</i> bukan cuma asal berteori! Harus diingat bahwa komunikasi itu selalu melibatkan biaya dan waktu. Komunikasi yang lambat dan tidak efisien bahkan bisa membunuh seperti dalam kasus Korean Air di tahun 90-an yang sempat terkenal paling tinggi tingkat kecelakaannya. Setelah diteliti ternyata penyebab kecelakaan bukan masalah teknologi pesawat yang ketinggalan jaman, melainkan masalah komunikasi dan hierarki sosial. Bahasa Korea antara junior dan senior sangat kaku, belum lagi sikap harus hormat kepada senior dan menganggap senior selalu benar (bisa lihat di <a href="https://www.theatlantic.com/national/archive/2013/07/malcolm-gladwells-cockpit-culture-theory-everywhere-after-asiana-crash/313442/" target="_blank">sini</a> dan di <a href="https://www.washingtonpost.com/local/trafficandcommuting/lack-of-cockpit-communication-recalls-1999-korean-airlines-crash-near-london/2013/07/08/0e61b3ca-e7f5-11e2-a301-ea5a8116d211_story.html" target="_blank">sini</a>), sehingga dalam banyak kasus, ko-pilot kesulitan menyampaikan adanya masalah kepada pilot karena bingung menyampaikan dalam bahasa yang santun padahal ketika terjadi masalah dalam penerbangan, setiap detik berharga! </span></p><p><span style="font-family: inherit;">Bayangkan contoh komunikasi seperti ini ketika pesawat sudah gonjang ganjing: "Bapak pilot yang sangat saya hormati, izin menyampaikan, nampaknya ada kendala di <i>autopilot</i>. Maaf bukan bermaksud menyalahkan apalagi mempertanyakan kewenangan bapak. Kiranya boleh saya periksa, tentunya dengan seizin bapak seandainya bapak berkenan." Untungnya setelah pelatihan intensif, Korean Air kini sudah tidak lagi mengalami isu yang sangat mengerikan ini. Dan tentunya kita juga tidak menginginkan hal yang sama terjadi di negara ini dalam institusi mana pun bukan?</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Sebagaimana saya mengambil posisi tegas dalam institusi saya untuk melenyapkan basa basi dan katabelece serta memastikan adanya transparansi radikal dalam komunikasi internal sehingga informasi bisa sampai secara lugas dan masalah bisa segera diselesaikan, Presiden juga bisa menerapkan hal yang sama kalau ingin mendengar lebih banyak masukan dari warganya. Hal ini juga bisa dilakukan tanpa harus mengubah undang-undang yang memakan waktu lama karena ini masalah membuat budaya institusi yang baru. Cukup dengan pernyataan sebagai berikut: "<i>setiap warga berhak untuk mengeluh dan setiap pejabat dan organisasi apapun (termasuk yang mengaku pendukung Presiden dan sejenisnya) tidak diperkenankan untuk memperkarakan keluhan warga negara</i>." </span></p><p><span style="font-family: inherit;">Bahkan kalau perlu, Pemerintah bisa mengadopsi jasa yang dibahas oleh New York Times untuk ibu-ibu yang senewen di Amerika karena harus bekerja dari rumah sambil mengurus anak-anak mereka sebagaimana bisa dibaca di <a href="https://nyti.ms/3pRMMGa" target="_blank">sini</a>. Berikan ruang bagi orang-orang frustrasi untuk bisa bersuara karena kalau suara-suara itu direpresi terus justru lama-lama akan meledak dan kita tidak tahu pasti efek akhirnya seperti apa.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Perlu diingat, Pemerintah yang memahami seberapa besar kuasa dan legitimasi yang dimiliki olehnya seharusnya tidak mungkin bisa tersinggung oleh kritikan siapa pun karena orang yang benar-benar kuat seharusnya memiliki mental baja. Kalau hari ini dikritik, besok harus lebih baik. Dikritik itu ya biasa saja. Saya sendiri sering komentar, ini anak-anak di kantor kayanya sering lupa kalau saya <i>Managing Partner</i>, <i>and I completely love it! </i>Karena artinya nilai-nilai yang saya bangun dari awal itu (bahwa tidak masalah menyampaikan uneg-uneg secara langsung tanpa basa-basi dan justru harus segera menyampaikan kalau ada isu) sudah mendarah daging dan moga-moga diteruskan untuk selama-lamanya. Sekali lagi, <i>leadership is liability, not privilege,</i> <i>and the love of doing service must come from the fire in your soul</i>.<br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Yang penting bisa dibedakan mana yang uneg-uneg serius dan mana yang memang sekedar <i>trolling. </i>Lagi-lagi saya gunakan analogi yang sama dalam bisnis jasa. Kalau sampai ada klien komplain, kita pasti harus pelajari mengapa komplain ini terjadi. Sekedar salah paham? Ada kesalahan aktual di pihak lawyer? Atau ada kondisi lainnya? Tapi yang pasti, tidak mungkin ujug-ujug kita justru marah balik dan menyalahkan kliennya sambil beranggapan bahwa kita tidak mungkin salah, karena kalau demikian kita bekerja, bisnis kita jelas tidak akan bertahan lama. Begitu juga klien tidak akan senang kalau kita telat atau tidak terbuka dalam menyampaikan masalah sehingga baru ketahuan di akhir-akhir ketika semua sudah terlambat. Kalau itu terjadi dalam pekerjaan saya, rasanya ingin <i>harakiri </i>saja karena malu. Sesederhana itu. <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Sampai di sini, saya masih bicara tentang hal-hal ideal. Tapi saya juga perlu menyampaikan pesan layanan masyarakat, kita harus selalu bertindak pragmatis karena pasal-pasal karet masih ada dan kalau melihat sejarah penggunaannya, pasal-pasal itu masih akan bercokol untuk waktu yang lama. Sambil menunggu komitmen yang lebih besar dari Pemerintah untuk menjadikan masyarakat sebagai <i>the real boss</i>, penyampaian komunikasi secara hati-hati harus tetap dijalankan. Bukan apa-apa, kebetulan saya lawyer, dan sedikit banyak saya bisa mengukur batasan tulisan macam apa yang bisa saya sampaikan tanpa polesan sedikit pun (misalnya kalau sedang bicara soal politik US) dan mana yang saya harus poles supaya tidak bisa atau jauh lebih sulit untuk dianggap sebagai pernyataan yang bisa membahayakan posisi hukum saya. Tapi bagi sebagian besar orang awam, sikap mawas diri ini belum tentu ada sehingga jadi sering asal bunyi yang kemudian berujung keributan tidak perlu dan dilanjutkan dengan saling gugat atau saling lapor pidana. Lelah kan?<br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Beberapa catatan kalau anda misalnya sudah tidak tahan dengan suatu kondisi dan merasa perlu menyampaikan uneg-uneg anda: (i) jangan pernah menggabungkan kata-kata makian dengan nama pejabat/institusi mana pun di negara ini, (ii) pastikan fakta yang disampaikan untuk anda kritik sudah anda cek akurasinya, minimal jangan pakai sumber abal-abal tapi dari narasumber berita yang sudah ada reputasinya, (iii) daripada marah-marah dan ngegas, pertimbangkan untuk menggunakan emosi kesedihan atau kekhawatiran dalam tulisan anda, bangun simpati dan cerita yang menyayat hati (tapi jangan pernah bohong ya), dan (iv) cobalah menulis secara esoterik (taktik lama dari jaman Yunani kuno yang masih bisa dipakai hingga hari ini, makin mbulet, makin bagus). Lelah ya? Yha, begitulah. <i>Or you can always study the law and become a lawyer</i>. Selamat menulis kritik yang membangun! </span></p>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-75314120566892657672021-01-05T14:15:00.001+07:002021-01-05T14:15:06.515+07:00Kesetaraan Gender dan Industri Hukum<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNKZ5XUAoZISLD9lwA8AM_CG3Rk8oQRG4gIGyfQTzzNeSlPPZVg5_IvpzuEe64qnE4_2hIC3YbtOZDviCGm3MsXNEcJP11vRbJz-FEriIGzR8BWuIerBP6D7BcoOFX6Cz2K4AU_w/s800/Senior+Partner+UMBRA.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="539" data-original-width="800" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNKZ5XUAoZISLD9lwA8AM_CG3Rk8oQRG4gIGyfQTzzNeSlPPZVg5_IvpzuEe64qnE4_2hIC3YbtOZDviCGm3MsXNEcJP11vRbJz-FEriIGzR8BWuIerBP6D7BcoOFX6Cz2K4AU_w/s320/Senior+Partner+UMBRA.png" width="320" /></a></div><a href="https://www.linkedin.com/feed/update/urn:li:activity:6751744762577063936" target="_blank">Pengumuman pengangkatan 2 Senior Partner baru di UMBRA</a>, <a href="https://www.linkedin.com/in/melati-siregar-8b59a411a/" target="_blank">Melati Siregar</a> dan <a href="https://www.linkedin.com/in/poppy-cut-rahmasuci-4415ba37/" target="_blank">Poppy Cut Rahmasuci</a>, merupakan momen yang tepat untuk mengangkat kembali tema kesetaraan gender, khususnya dalam industri hukum. Bagi pembaca blog ini dan khususnya yang sudah kenal saya lumayan lama, harusnya tahu posisi saya soal kesetaraan gender: saya menolak segala bentuk pengaturan soal pembagian peran pria dan wanita selain dari apa yang masing-masing mereka kehendaki sendiri secara sadar dan berdasarkan pengetahuan yang cukup. Artikel lama saya soal ini bisa dibaca misalnya di: <a href="https://www.pramoctavy.com/2014/11/kesetaraan-gender-dan-kebebasan-memilih.html" target="_blank">Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup</a> serta <a href="https://www.pramoctavy.com/2014/11/absurdnya-ide-pengurangan-jam-kerja.html" target="_blank">Absurdnya Ide Pengurangan Jam Kerja Wanita</a>. <p></p><p>Posisi saya di atas belum berubah sama sekali, dan karena kebetulan sekarang saya sudah memiliki institusi sendiri, saya bisa lebih bebas mengimplementasikan visi misi tersebut. Sejak dahulu kala, industri hukum memang tidak terkenal sebagai industri yang ramah bagi perempuan. Menariknya, jika diperbandingkan, Indonesia mungkin justru terhitung lebih progresif dibandingkan dengan dedengkot industri hukum modern berskala besar di Amerika Serikat mengingat di Amerika, perempuan tidak diperkenankan masuk ke sekolah hukum apalagi berpraktek hukum setidaknya sampai dengan akhir abad ke-19/awal abad ke 20 dan efeknya sedikit banyak masih terasa hingga kini, partisipasi perempuan di bidang hukum masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan partisipasi lelaki.</p><p>Jam kerja kantor hukum yang brutal ditambah masih adanya stigma pembagian peranan wanita dan pria baik secara domestik maupun bisnis dalam budaya, agama, dan negara tertentu memang sangat menyulitkan posisi perempuan untuk berkarir sebagai pengacara/advokat. Umumnya, analisis standar (kalau bisa dikategorikan sebagai analisis) dalam mempertimbangkan apakah suatu kantor hukum akan mempekerjakan pengacara perempuan adalah: berapa lama kira-kira ia akan bekerja secara efektif dalam kantor? Apakah ia sudah memiliki pasangan? Apakah ia akan memiliki anak? Kekhawatiran utamanya adalah apabila kantor sudah berinvestasi sedemikian rupa dengan pengacara perempuan tersebut namun di tengah jalan tiba-tiba ia memutuskan berhenti bekerja karena alasan menikah, memiliki anak dan selanjutnya harus fokus mengurusi keluarga. Bagi industri yang sangat mengandalkan kualitas pribadi dari masing-masing talentanya, kehilangan talenta yang bermutu karena urusan seperti ini tentu akan sangat menyakitkan dan kontra produktif. </p><p>UMBRA sendiri tidak menerapkan kebijakan khusus "pro perempuan" semisal <i>affirmative action</i>. Jadi fakta bahwa saat ini pengacara perempuan mewakili 64% dari total 50 lawyer di UMBRA dan 37,5% di level Senior Partner bukan hasil dari suatu kebijakan khusus yang meminta porsi perempuan ditambahkan dalam jumlah karyawan kantor. Sebagaimana saya sampaikan dalam tulisan-tulisan saya, sebagai penganut kesetaraan garis keras, saya justru tidak mau ada pemberian perlakuan spesial atas dasar gender (selain karena isu biologis semisal hanya perempuan yang sejauh ini bisa hamil dan oleh karenanya wajar diberikan cuti melahirkan). <i>No wonder people consider me as the most unromantic guy, haha.</i> <br /></p><p>Isunya sedari awal memang bukan memberikan kesempatan tambahan kepada perempuan untuk dipekerjakan, tetapi bagaimana kita bisa memberikan edukasi kepada semua pemangku kepentingan yang relevan dengan si calon pengacara (termasuk orang tua, pasangan, dan handai taulan) bahwa seharusnya perempuan tidak dibebani tambahan tanggung jawab untuk mengurus isu-isu domestik yang seakan-akan secara alamiah menjadi bagian dari pekerjaan mereka. Penambahan beban ini yang kemudian sering kali menyebabkan perempuan harus memilih antara karir dan keluarga karena setelah secara ajaib tugas-tugas tersebut dianggap sebagai tugas perempuan, pengerjaan tugas-tugas tersebut oleh kaum lelaki dianggap semacam tindakan yang tidak sesuai dari garis kodrat lelaki (karena memang kalau mau bikin teori absud itu jangan setengah-setengah, harus tekan gas sekencang-kencangnya). Ini bahkan kita baru bicara soal pembagian peran saja, belum lagi stigma-stigma lainnya terkait kepemimpinan dan sifat psikologis perempuan yang akan jadi bahasan di lain waktu. </p><p>Terkait pembagian peran, selama pemangku kepentingan lainnya tidak secara aktif mendukung peranan perempuan yang lebih fleksibel, menambah porsi keterlibatan perempuan dalam bisnis akan menjadi kesia-sian. Mengapa? Karena terlepas dari promosi yang diberikan kepada mereka, selama beban tambahan di rumah terus ada, perempuan akan terus terpaksa untuk memilih dan belum tentu mereka akan memilih karirnya. Kalau demikian, untuk apa mereka dipromosikan di awal? Justru makin sedikit insentif bagi kantor hukum untuk mempromosikan perempuan karena adanya resiko tinggi dalam memberikan promosi kepada orang yang kemungkinan tidak akan meneruskan keberlangsungan institusi. Oleh karena itu, seperti layaknya kunci berdansa Tango yang indah atau membangun bisnis yang sukses, keberadaan partner yang kolaboratif mutlak ada, tidak bisa dilakukan sendirian.</p><p>Yang mungkin tidak terpikirkan juga oleh penganut pembagian fungsi lelaki dan perempuan adalah bagaimana efek klaim pembagian yang kaku itu berdampak terhadap pilihan hidup kaum perempuan. Contoh di Korea Selatan dan Jepang misalnya ketika tingkat perkawinan dan kelahiran anak terus mengalami tren yang menurun. Yang namanya manusia memang sulit buat dipaksa terus menerus, jadi ketika perempuan tidak bisa melihat lagi fungsi dari pernikahan selain cuma nambah-nambahin kerjaan dia, apa insentif dia untuk masuk ke dalam institusi itu dan mengorbankan karirnya? Ini soal <i>trade-off</i> yang rasional. Pernikahan tentu ada manfaatnya, tetapi juga tidak kalah banyak biaya dan permasalahannya. Ini yang seharusnya juga dipertimbangkan sebelum memaksakan pembagian tugas tersebut dalam hubungan pernikahan atau hubungan-hubungan lainnya yang memerlukan pasangan untuk tinggal bersama. Ada aksi, tentu ada reaksi. Lebih rincinya sudah saya diskusikan di artikel lama saya yang bisa diakses di awal artikel ini. </p><p>Nah, kembali lagi ke soal edukasi pemangku kepentingan, minimal yang bisa saya sampaikan adalah praktek yang saya jalankan sendiri. Berhubung saya tidak sepakat dengan pembagian tugas domestik, dengan sendirinya, otak saya tidak bisa mengkotak-kotakkan tugas-tugas mana saja yang cocoknya dikerjakan perempuan atau oleh lelaki. Misalnya saya suka mengurus urusan administratif (<i>which is why I act as the Managing Partner</i>) dan memasak. Ya ketika di rumah, saya yang mengerjakan itu semua. Apakah dengan demikian saya tidak lagi menjadi laki-laki atau kelaki-lakian saya berkurang karena mengurusi hal-hal printilan? <i>I dare anyone to make such claim against me</i>. Prinsip saya gampang, serahkan tugas pada orang yang paling efisien untuk mengerjakan tugas itu. Dan karena waktu mahal, apabila ada orang lain yang bisa mengerjakan tugas itu dengan lebih baik dan dengan biaya yang bersaing, ya kasih ke orang itu. Sederhana toh? Ini bukan cuma buat bisnis, tapi juga urusan di rumah. </p><p>Tentu saja sebagai orang yang berkecimpung dalam hukum Islam, saya hafal semua dalil-dalil yang bisa dipakai untuk memosisikan saya (sebagai lelaki) untuk mendapatkan privilese tambahan, macam mengklaim berhak jadi pemimpin bagi wanita, atau lebih tinggi derajatnya sebagai suami, atau bisa minta jatah hubungan seksual setiap saat dari istri. Tapi seumur-umur saya tidak pernah menggunakan dalil itu dan alasannya sederhana (saya tidak akan membahas interpretasi dan dalil hukumnya dalam artikel ini, karena saya memang tidak sedang menulis soal aspek hukum), harga diri pribadi! Masa untuk menunjukkan bahwa saya lebih superior dari orang lain, saya harus minjam dalil yang sumbernya tidak intrinsik dari diri saya sendiri? <i>Obviously, I want to demonstrate that I am superior against anyone else, but for the love of God, that should be established based on my own personal quality and nothing else</i>. </p><p>Isu harga diri buat saya sebagai lelaki bukan level remeh temeh macam ketika saya menggunakan payung warna pink di Depok jaman kuliah dulu. Buat saya isunya segampang: suhunya panas banget, saya ga tahan panas (itulah mengapa saya suka banget musim dingin yang brutal di Chicago, walau kelahiran tropis, saya gagal jadi anak tropis), saya masih harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki (maklum, mahasiswa miskin), dan payung yang tersedia cuma ada yang warna pink. Persetan dengan persepsi terkait korelasi warna pink dan laki-laki atau ide bahwa lelaki seharusnya tahan panas dan ga boleh pakai payung. </p><p>Isu harga diri saya bahkan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan gender saya, melainkan bersumber dari apakah saya bisa meyakini tanpa ada keraguan bahwa saya sudah mencapai kualitas yang saya inginkan dalam melakukan hal-hal yang saya putuskan sendiri sebagai keahlian saya. Dan menentukan hal-hal yang menjadi keahlian kita akan sangat bergantung dengan pilihan hidup masing-masing. Bebas.</p><p>Aspek berikutnya di kantor yang saya jalankan terkait isu kesetaraan gender adalah kita tidak memasukkan potensi pengacara perempuan untuk suatu hari nanti berhenti bekerja karena urusan keluarga sebagai basis untuk menentukan apakah kita akan mempekerjakan yang bersangkutan atau tidak. Resiko itu selalu ada, tapi kita bertaruh dengan pemberian edukasi sebagaimana saya sampaikan di atas. Karena memang manusia ga bisa dipaksa. Tidak semua orang bisa menerima bahwa pembagian tugas itu hanyalah konstruksi sosial yang bisa jadi pernah efisien di masanya, tapi tidak lagi relevan di masa kini. Yang bisa kita lakukan adalah memfasilitasi supaya kesempatan perempuan tidak lantas berkurang untuk berkarir dan di sisi lainnya, karena tidak ada <i>affirmative action</i>, tidak perlu pusing menganalisis perkembangan karir masing-masing pengacara selain dari kualitas intrinsik mereka sebagai <i>legal experts and rainmaker</i>. <br /></p><p>Terakhir, situasi pandemi ini menunjukkan bahwa peluang untuk bekerja secara fleksibel itu sangat memungkinkan (ini juga saya bahas dalam <a href="https://www.pramoctavy.com/2021/01/happy-new-year-2021.html" target="_blank">artikel untuk menyambut tahun baru 2021</a>). Dan fakta ini seharusnya bisa memudahkan pilihan karir perempuan (dan sebenarnya juga lelaki, karena berpikir bahwa cuma perempuan saja yang ingin menghabiskan waktu di rumah adalah bentuk sesat pikir dan diskriminasi bagi kaum lelaki). Alih-alih harus mengorbankan salah satu, opsi kerja fleksibel yang bebas dari keterbatasan ruang memungkinkan setiap orang untuk menjalankan peran ganda di rumah dan di luar rumah. Artinya, kemampuan manajemen waktu supaya orang bisa makin produktif di mana pun mereka berada akan makin menjadi krusial. </p><p>Perlu diingat bahwa kemajuan teknologi tidak menafikan kebutuhan dukungan dari semua pemangku kepentingan. Edukasi ini perlu terus menerus diulang-ulang dan disosialisasikan. Kalau belum punya pasangan, baiknya bertanya soal pilihan masa depan. Dengan situasi persaingan yang makin tinggi, konsepsi pembagian tugas lelaki dan perempuan yang digaungkan dalam Undang-Undang Perkawinan akan makin usang. Realitasnya, apa masih memungkinkan bagi kebanyakan pasangan untuk mengandalkan hanya satu sumber penghasilan? Data empirisnya masih perlu digali lebih jauh, tapi saya sangsi tren <i>single income family</i> bisa bertahan untuk masa depan (kecuali salah satu pasangan kita masuk kategori wong sugih, kalau sobat misqueen, ya sulit). </p><p>Bagaimana dengan industri hukum sendiri? Bisnis harus terus selalu berkembang dan karena bisnis hukum adalah bisnis orang, membatasi <i>pool</i> kandidat berbasis gender adalah tindakan yang culun. Talenta bisa datang dari mana saja dan adalah pilihan yang rasional untuk membuka keran <i>supply</i> sebesar-besarnya untuk dapat mencari penerus-penerus institusi selanjutnya. Masalah bagaimana kita mendidik mereka dan memastikan mereka akan jadi penerus yang mumpuni adalah tantangan selanjutnya. <br /></p><p>So, congratulations again to Melati and Poppy, a pleasure to welcome you both at the senior partnership table. Cheers to all the female lawyers! <br /></p>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-78314943940235470072021-01-01T19:48:00.005+07:002021-01-01T23:38:04.638+07:00Happy New Year 2021!<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtL4ojGDm7z1LJC2Os5GvqvdmuHuD0ciajS4UYJnU94FqRFZU6eDru-7XA2ihnYu-eDBRIk7ArNP1K4L3SOQuVZGvQfTiJfeGr9RPmPdp-kbGzrAeCHSE0OiC7AWV3lSR_Q7h88w/s2048/PhotoGrid_Plus_1609500806999.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2048" data-original-width="2048" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtL4ojGDm7z1LJC2Os5GvqvdmuHuD0ciajS4UYJnU94FqRFZU6eDru-7XA2ihnYu-eDBRIk7ArNP1K4L3SOQuVZGvQfTiJfeGr9RPmPdp-kbGzrAeCHSE0OiC7AWV3lSR_Q7h88w/s320/PhotoGrid_Plus_1609500806999.jpg" /></a></div><br />I officially closed 2020 with UMBRA’s M&A and Restructuring PG Annual Dinner on 19 December. Thanks to the superb dinner set from <a href="https://www.instagram.com/august_jkt/?hl=en" target="_blank">@august_jkt</a> (which is simply the best private dining organizer in Indonesia for me to date), we had a very enjoyable evening. <p></p><p>Given the hassle of running any gathering (testing every participants, setting the open air place, enforcing the safety protocol, you name it), it was the only event that I could have with my kids in 2020 since the start of our WFH in mid March 2020. Indeed, it was also the first time for me to physically see some of my new recruits during the pandemic. So I am glad that despite the herculean efforts, it could still be done 🥵🥵🥵.<br /><br />I have to admit that running the whole firm from home is a new experience, it’s unprecedented for a law firm even in all of my personal collection of general and law firm management books (what, you think you can manage a big business only by intuition without learning the materials? I take my job seriously). While I've always envisioned a flexible working arrangement where lawyers can work from any place and any time (the last part is probably frightening for some people), prior to the pandemic there was always a big question mark on three issues: (i) how can we ensure that people will actually work at home, (ii) how can we do proper quality control, and (iii) how can we convince the client to avoid physical meetings?<br /><br />Luckily, when everyone is forced to work from home, it becomes clear that there are ways to do things more efficiently. Without the hassle of rumbling traffic and waiting for late people, we could manage to perform additional tasks and have more meetings in a single day. I thought I was damn busy in 2019, but 2020 showed that I was wrong. <br /><br />Of course, physical gathering would still be important, especially to build trust among peers and clients. Had we started UMBRA during a pandemic, the results would probably be ugly for us. It is precisely because we had the chance to make our presence known to the clients prior to the pandemic that we could turn the challenges to become opportunities. And I am extremely grateful for having the right timing. I know that hard work is essential, but you can’t deny the role of chance and luck in doing a business. Understanding this iron law would help you to have a realistic and pragmatist perspective, for each optimism, one must always be cautious. And while planning does not always yield successful results, we plan to fail when we fail to plan.<br /><br />Yes, not be able to going anywhere and meeting anyone freely still sucks. I miss Japan and all the chefs there. I miss the United States and my beloved family and law school there. But at the same time, I am still grateful that I have a firm with resilient and hard working people, managed to close super interesting and historical deals for my clients, won multiple prestigious awards for the firm, had the time to read and do more research for my planned book, was able to actually finish FF VII Remake (and got Platinum Trophy), One Piece Pirate Warriors 4, and The Last of Us 2 (only 3 games this year (4 if I counted Hades, but it's still ongoing), but hey, given my workload, I call that an achievement 😊), had the chance to improve my cooking skills, and finally, after waiting for more than 10 years, being officially admitted as an indoor disciple of Wu Tang school of martial arts (what a joy!!!). </p><p>Now, if only I could cure my blocked nose that has haunted me for the past 8 months, I would give 2020 a perfect score! Let’s make new history in 2021! Bismillah.<span id="fullpost"></span></p>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-80701582475829169492020-12-30T08:00:00.099+07:002021-01-02T16:50:09.734+07:00Do Judges Play by the Rules? - A Reply to ''Playing by The Rules''<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyTh2v5nnf8VRmpTwYtUE-wB55wam3awIssKK8JY_-fTV1UW2SD5sn186I7ISIeqCVec4exW3G2g8tisF0AyIpmCxtGKlFgq1ZSfdvFDf-TOTE_uGutn_S_Wr1rR8o4vOIOQ_I/s1441/Blog+1.PNG" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1362" data-original-width="1441" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyTh2v5nnf8VRmpTwYtUE-wB55wam3awIssKK8JY_-fTV1UW2SD5sn186I7ISIeqCVec4exW3G2g8tisF0AyIpmCxtGKlFgq1ZSfdvFDf-TOTE_uGutn_S_Wr1rR8o4vOIOQ_I/s320/Blog+1.PNG" width="320" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br /></div><span style="font-family: inherit;">Jurisprudence and legal interpretation are two themes that are dear to me. As such, I was quite ecstatic when I received a copy of a book chapter titled: "Playing by the rules: the search for legal grounds in homosexuality cases - Indonesia, Lebanon, Egypt, Senegal" from <a href="https://twitter.com/Sam_Ardi" target="_blank">Sam Ardi</a> last week, especially because the front page mentions the terms "positivist" and "realism" in law and the chapter itself seems to discuss the role of interpretation in dealing with concrete legal problems. While the paper is indeed interesting and informative for a descriptive work on how different jurisdictions interpret their laws on homosexuality cases, I find that the core analysis lacks a coherent theme from jurisprudential and social science perspectives and this will be the focus of my comments today.<span><a name='more'></a></span></span><p></p><p></p><p><span style="font-family: inherit;"><b>Introduction</b> <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">To give context, the paper tells us the stories about 4 different legal jurisdictions, each facing a case on people alleged of performing homosexuality acts in the public spheres, and each having different results based on how the judges in the relevant jurisdiction read and interpret the laws governing the matter. In Indonesia, the judges did not find a specific legal provision to punish the act and therefore, they referred to the penal sanctions for publicly performing pornographic acts. In Lebanon, there are no explicit regulatory provisions that criminalize homosexuality, though there is a provision that refers to "carnal conjunctions against the order of nature". In this case, the majority of judges (at the appeal level) decided that the perpetrators did not perform such act by interpreting the meaning of "act against the order of nature" in reference to the social practice in Lebanon.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Similarly, in both Egypt and Senegal, there is no explicit prohibition of homosexuality but the judges there were able to punish homosexuals through interpretation of vague and ambiguous terms such as "debauchery/<i>fujur" </i>in Egypt (claiming that this reading is a custom in Egypt jurisprudence as mentioned in a previous higher court case) and "act against nature" in Senegal (though the case was later dismissed by Senegal's court of appeal based on procedural matters, and therefore they left the substantive matters unresolved).</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Now, at the beginning of the paper, the authors define positivist dogma as the notion that judges must base their judgments on rules that are clear and general, and whose application is predictable. Consequently, under this dogma (at least according to the authors), rules have a determinate meaning and judges apply them in a mechanical way. They further claim that realist movement is an antithesis to positivist dogma, arguing that legal rules and principles are indeterminate, malleable, filled with implicit assumptions, and open to interpretation. According to the authors, there is a middle ground between the above two extremes and they want to demonstrate how moral considerations deeply influence judges' legal decision making in cases where legal basis is thin or absent.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Based on the above opening statement, I can understand why there is a lack of coherence in the paper's analysis. This is probably due to the confusion made at the beginning of the paper. Let's start with the distinction between positivist and realist dogmas mentioned above.What are the authors actually referring to? If they talk about legal positivism, the above description is clearly mistaken. Legal positivism is a theory of law, not a theory of how to interpret the provisions of law. And while there are numerous versions of legal positivism (most popularly, hard versus soft legal positivism), all legal positivist adhere to two theses.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">First is the Social Fact Thesis, namely, what counts as law in any particular society is fundamentally determined by social facts. In other words, law is essentially a human posit. Second is the Separability Thesis, namely, what the law is and what the law ought to be are separate questions. You can know and tell what the law is regardless of whether you agree or disagree with the content of such law. In this case, there is no necessary connection between law and morality (meaning, for a law to be valid, such law does not have to be morally good, though of course, one might always try to judge the content of the law from morality perspective). As you can see from both theses, none is related to the definition made by the authors. I assume, they are actually referring to one form of legal formalism that believes that law has its own internal logic where cases can be decided as if one is solving a mathematical puzzle (ala Christopher Columbus Langdell, the first dean of Harvard Law School).<br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Meanwhile, the authors definition of realist seems to focus on a single aspect of legal realism, that is, rule skepticism. It is not clear though whether the authors refer to conceptual rule skepticism (where law is conceptually indeterminate and therefore there is no specific meaning of law other than what judges specifically decide, which would mean whatever decreed by judges is automatically the law itself, an absurd proposition), or empirical rule skepticism (where it is possible that there are determinate and indeterminate legal provisions, that there are various "legitimate" legal arguments, and that judges in practice might not rely exclusively on legal rules as the basis of their decisions, but also on other factors, including the facts of the relevant cases and even the judges own personality). Judging from the opening statement, I assume that the authors actually wish to demonstrate that the judges in their 4 cases conform to empirical rule skepticism, and as such, this is not a middle ground between two contending visions, it is already a part of the realist movement! </span></p><p><span style="font-family: inherit;">For readers that are not well accustomed with the movement, the main idea of legal realism, particularly the American version, covers the following ideas: (i) given the numbers of legitimate yet competing classes of legal reasons, it is not always possible to get a single unified answer for each legal question, and (ii) given the above problem, non-legal reasons could be a better predictor of judges decision compared to the legal rules themselves because the legal rules are merely used as a facade, post-hoc rationalization to support whatever the judges wish to decide given the available facts. As we can see from the above, legal realism is not a theory of law <i>per se</i>, rather, it is a theory of adjudication and it is an empirical one too.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">With that being clarified, if it is indeed the case that the authors intend to demonstrate samples of legal realism at work, a more comprehensive analysis should be given on each case discussed in the paper, particularly: (i) the relationship between applicable legal rules and the decision taken by each judge, (ii) the legitimate legal arguments applicable in each jurisdiction, and (iii) the precise characterization of legal argument, method of legal interpretations, and rules of court proceeding used in each case. At the moment, the paper does not clearly establish whether the judges were actually doing post-hoc rationalization. Nor is it clear whether their own morality played a significant role in each of these cases. I only see conjectures here and there, and that is the biggest problem of this paper.<span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit;"><b>On Facts</b> <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Of course, general comments would not be sufficient if we want to seriously analyze an academic paper, so let us delve further by discussing the paper's analytical part, starting from the Fact sections. As a lawyer, the first red flag that I immediately recognize is the authors' claim that some of the jurisdictions discussed in the paper adopt an inquisitorial system based on the description of facts contained in the court decisions. This is a dangerous move and is prone to mistakes. To have a complete understanding of the criminal court procedures of a jurisdiction, one would normally refer to the relevant code of laws regulating such criminal procedures. If such procedures do not exist (which would be rare), one must also state that clearly in the paper. </span></p><p><span style="font-family: inherit;">It is difficult for me to believe that a country, especially at this modern period, fails to set out any rules on court proceeding (be it for civil, criminal, religious, administrative, or constitutional proceedings). It is also question-begging for courts of the first instance (especially for criminal proceeding) to exclusively rely on reports and written documents as they are trial courts and therefore must include cross examinations to find and test the consistency of substantive facts (this is different from appeal courts that usually only focus on resolving the legal discrepancies and would rely on the facts as recorded at the trial court level). </span></p><p><span style="font-family: inherit;">One should recognize that there are multiple ways of describing facts in a court decision, which will also depend on the relevant regulations and court practice of each jurisdiction. As an example, Indonesian courts are not famous for making any summary of facts in their decision, they simply copy and paste the claims and responses from the plaintiffs and defendants, respectively (for civil proceeding) or the criminal charges and defenses from the prosecutors and the criminal suspects, respectively (for criminal proceeding). A person who has no clue on Indonesian law on criminal proceeding might conclude that there is no fact checking by the trial court if they simply refer to the court decision, but of course, this is an absolutely wrong conclusion.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Of course, it is possible that the authors are not mistaken in describing the nature of court proceedings in the jurisdictions discussed within the paper. But to do so, further references and clarification are necessary. Without such clarification, it is hard to assess the accuracy of their analysis, which will also affect our confidence on the overall analysis throughout the paper because if you can't describe the facts properly, how can we expect you to provide the right analysis? As an example, I am not convinced with the authors analysis that from a practical point of view, there is a tendency for judges to base their version of facts from the narratives provided by the public institutions that have conducted the investigation, or that it is possible for facts to be reduced simply to police complaint and that judges are not interested to know more about the case by mere reference to the nature of the judges' decision (namely, the judge did not discuss the facts thoroughly because they already have their ruling in their own mind). </span></p><p><span style="font-family: inherit;">As I mentioned above, this is not something that can be easily inferred from the summary of facts mentioned in the decision. Furthermore, to make such a huge claim of causation, the authors should first clarify whether there are any existing procedural rules in such jurisdiction that must be followed by the relevant judges in accepting and dismissing the facts of the case. And even if those rules do not exist, we simply need more evidence before we can convincingly say that the judges "manipulate" the facts to conform with the end result that they desire. <span></span></span></p><p><span style="font-family: inherit;"><b>On Rules</b> <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Moving on to the Rules section, the authors use multiple terms and concepts without coherence, resulting in a muddled explanation on the role of rules for judges' decision making. My first question is, what are the authors trying to describe in this section? That law enforcement always requires interpretation? That there are "soft" cases and "hard" cases, and the cases presented in this paper resemble one of the above types? Or that judges are just playing with the rules to reach whatever they want, that they are being insincere? I find this as a mystery because the authors do not consistently provide their comments to each case. <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">If we take at face value the case in Indonesia (where the authors do not give any specific analysis) as described in the paper (namely, the judges punished the suspects for violating anti-pornography law because there are no explicit criminal rules on homosexuality acts), one might infer that it is not a hard case, the rules are pretty straightforward. In fact, it is precisely because it is straightforward that the Indonesian judges could simply refer to the anti-pornography law. What is the problem with that from legal perspective and in what way can we conclude that the judges were being insincere? <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">The authors further claim that some judges in Senegal and Lebanon adopted a legalistic attitude based on the fact that they took for granted the existing provisions in their criminal codes and applied those terms ("act against nature" and "carnal conjunction against nature", respectively) without much thought, claiming that those terms were clear and can be imposed to homosexual acts. In this case, the authors should clarify what they mean by being legalistic. Are they referring to the judges tendency of exclusively relying on the provisions of codes/regulations for rendering their decision (basically a discourse on what constitutes valid legal sources and reasoning in a jurisdiction) or the judges interpretive approach in reading ambiguous terms given that "act against nature" could have multiple meanings (basically a discourse on the proper way of reading and interpreting the law in a jurisdiction).</span></p><p><span style="font-family: inherit;">I am guessing that the authors were talking about the latter because they claim that the judge at the lower court of Lebanon was also using a legalistic approach to reach a different conclusion where the judge interpreted one provision of Article 183 of the Lebanon Criminal Code (namely, "an act undertaken in exercise of a right without abuse shall not be regarded as an offense") as the basis of rejecting the idea that gay men should be penalized. I am not going to discuss the substance of the case in details because that is not the focus of this article. But suffice to say that the authors fail to properly assign the correct term, because there are no such thing as legalistic method of interpretation. </span></p><p><span style="font-family: inherit;">As I mentioned above, legalistic approach is often associated with how legal officials determine the proper and valid sources of law as the basis of making their decisions. In a way, this is the subject of legal positivism where the discussion on valid legal sources would fall under the theme of "rules of recognition" (as famously known in Hartian's legal positivism), namely rules adopted by legal officials to know, create, modify and delete the primary substantive rules. Since rules of recognition are basically meta rules, to avoid infinite regress, legal positivism claims that their existence is a matter of empirical social facts about what officials in a legal system do. Readers who are interested to learn more about rules of recognition should refer to H.L.A Hart's <a href="https://www.amazon.com/Concept-Law-Clarendon/dp/0199644705/ref=pd_lpo_14_t_0/141-6799474-8521617?_encoding=UTF8&pd_rd_i=0199644705&pd_rd_r=50514c70-fd90-4f29-a098-02f09244ec82&pd_rd_w=Pt1IE&pd_rd_wg=k5dyT&pf_rd_p=7b36d496-f366-4631-94d3-61b87b52511b&pf_rd_r=MDATSZY7ZS4V3QNPFVST&psc=1&refRID=MDATSZY7ZS4V3QNPFVST" target="_blank">The Concept of Law</a> for basic reading. For those who would like to delve into more advanced topics, I recommend them to read <a href="https://www.amazon.com/Reading-HLA-Harts-Concept-Law/dp/1849463247" target="_blank">Reading HLA Hart's The Concept of Law</a>. <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Clearly the cases in Senegal and Lebanon did not reflect a problem of finding the proper legal source. Indeed, it is absolutely possible for judges to refer to the same source of law and end up with completely different conclusions. So, is this an issue of legal interpretation? It could be, though the authors were not clear on the actual problem that they wish to demonstrate. Perhaps they were claiming that the judges in Lebanon and Senegal took a literal approach in reading the provisions and that, in itself, is problematic? </span></p><p><span style="font-family: inherit;">If yes, that would be an interesting claim because on a plain language reading, the term "against natural act" is clearly an ambiguous one given the multiple semantic meanings associated with such term. It would be more helpful if the authors do further research and inform us whether there are any other cases in Lebanon and Senegal that discuss the meaning of such term. This would allow us to properly analyze the method of interpretation used by the judges in the cases discussed in this paper. </span></p><p><span style="font-family: inherit;">There is a possibility that the judges in those cases were using Textualism where they referred to the contexts of the relevant texts within the criminal codes and their usage as understood by ordinary speakers within the community (this is the standard definition of Textualism, at least in the United States). Textualist judges often refer to dictionaries and various corpus linguistics to find the meaning of a legal term. It can also be argued that the Lebanon judges (at least at the appeal level) adhered to Purposivism from their reference to the necessity of referring to the goal pursued by the legal text or even Pragmatism as they also talked about carrying out legal interpretation in a manner that conforms to "social evolution". While I can say that the judges analysis in Lebanon and Senegal cases were quite sloppy, I would be careful before making a claim that they were using the Plain Meaning approach or even worse, a confused term like "legalistic approach".</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Similar to the problem of people concluding different things from a single legal source, using a method of legal interpretation does not guarantee having similar results (so I am not surprised that the Lebanon judges could reach different conclusion even though they probably shared the Textualism approach). The materials available on this particular issue are overwhelming and I can't possibly discuss each of them in this article. However, readers that would like to have a glance on contending theories of legal interpretation can refer to my old paper <a href="https://www.neliti.com/id/publications/237907/is-conditionally-constitutional-doctrine-constitutional" target="_blank">here</a> (I discussed the Plain Meaning, Purposivism, Textualism, and Pragmatism theories of interpretation in that paper). </span></p><p><span style="font-family: inherit;">To decide whether a theory of legal interpretation is valid in a jurisdiction, one must check each jurisdiction closely because it might adopt different rules. In Indonesia, for example, the Indonesian Civil Code regulates the valid method of interpretation for reading a contract (including the hierarchy of those interpretive rules). In other jurisdictions, there might be rules on how judges must read a legal provision or other specific limits against their discretion (I notice that the judges in Lebanon claimed in their ruling that judges must adhere to two types of interpretive method, though it is not clear whether this is based on specific regulation and/or the court's social practice, or is simply made up by the judges!). All of these things should be considered by the authors if they want to make a proper comparison among jurisdictions so that they can formulate the issue in a more precise way. After all, if we claim that there is a particular issue, we should be able to identify the context where such issue arises.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Finally, in the Rule section, the authors criticize the Egypt judges, claiming that there is a paradox because they extrapolated a rule criminalizing debauchery to be understood as homosexuality by referring to Egypt's Court of Cassation precedent even though there was no provision explicitly condemning homosexuality. Again, I cannot understand what is the real problem here. A problem of mistaken legal interpretation? A problem of reference to invalid legal sources? Why is this a paradox? Semantically speaking, the term used in the Egypt's law (debauchery) is equally ambiguous with the term used in Senegal and Lebanon. All of them could have multiple meanings if we simply refer to the semantic meaning of each term. </span></p><p><span style="font-family: inherit;">Moreover, are the authors criticizing the reference to the Court of Cassation's precedent? On what ground? Is this something that is prohibited under Egypt's law so that it can be concluded that the judges in this case were playing by the rules, finding rules out of nowhere to support their case even though they were not supposed to make such reference to other court's precedent? Without this context, it's hard to conclude that there is an issue, let alone a paradox. </span></p><p><b><span style="font-family: inherit;">On Master-Narratives and How To Do Things with Rules<br /></span></b></p><p><span style="font-family: inherit;">The authors opened the next section of the paper by stating: "<i>Albeit in a very formal way, judges present, and feel themselves constrained by, the necessity to base their judgments on rules, which both constrain their discretionary power and provide the opportunity for flexible reasoning. With rules, they produce and reproduce narratives as to how to understand and apply the law. This is the ordinary working of law</i>." My immediate question is: is this a normative stance or empirical one? More importantly, what is the basis for making any of those stances? What is the hard evidence for such grandiose claim? Or is this merely a conjecture?</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Consider the authors claim on the Egypt's judges that they basically selected the legislation that adequately fits the "moral though not formal condemnation of homosexuality" despite the absence of any directly applicable rule. How do they know this? Can they read the judges' mind? If we read the court's decision, the Egypt's judges simply referred to the precedent made in the Court of Cassation as the basis for rendering their decision and since the precedent did interpret the term debauchery to cover gay prostitution, they clearly had a legal basis to claim that debauchery means in that particular way. As such, from legal perspective, the authors cannot claim that there are no directly applicable rule <u><b>unless</b></u> they can demonstrate that under Egypt law, reference to prior court precedents is not considered as a valid legal source or that, as the authors claim, the term "debauchery" should only target passive homosexual relationships (to which no clear explanation or citation of legal ground is given for such claim). This is why it is incredibly important to understand theory of legal sources, theory of legal interpretation, and how the legal system works in the relevant jurisdiction.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Moreover, I fail to differentiate the authors' analysis on Indonesian court judgment from mere conspiracy theory when they claim that the Indonesian judges essentially used the anti-pornography law (as the only available regulation) to establish their moral commitment of showing that homosexuality is wrong. Again, how can you tell that from reading the court's decision? Under Indonesian criminal law, as long as it can be proven beyond reasonable doubt that all elements of a criminal act are satisfied by a criminal suspect, such criminal suspect will be penalized with the penalty corresponding to such criminal act. Moral judgments do not matter in the equation. And even if it matters, it was not reflected in the decision. At this stage, I am not sure that any legal scholars (including empirical legal scholars) would ever take the master-narrative explanation seriously because it lacks any evidence to be used as a tool of analysis. Sure, it is an interesting narrative, but it fits better for story-telling rather than proper legal or social science discourse. <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">As for the Senegalese case, there was no clear basis for the authors to claim that the judges have questionably transformed a confession regarding sexual orientation into evidence of the crime of committing acts against nature because (according to the authors) this type of crime can only be established if participants are caught red-handed. Even worse, instead of citing the legal basis for this claim, their footnote refers to explanation in Lebanon and this is problematic in so many levels. </span></p><p><span style="font-family: inherit;">First, it is entirely possible that two jurisdictions can adopt a completely different approach in setting criminal proceeding rules and defining criminal acts. Second, to claim that the judges in Senegal have done a questionable act, one must actually demonstrate that: (i) Senegal law states that only those caught-red handed can be prosecuted for homosexuality acts, and (ii) Senegal law does not accept confession as a replacement for the evidence of being caught red-handed. This is also crucial to determine whether the Senegal judges were still playing within the boundary of the applicable rules or whether they were abusing their power. There is a huge difference between an insincere judge and an abusive judge, and the authors must be precise in using this term so that they can provide a coherent analysis for their readers. <br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Finally, I find the repetition of the master-narrative analysis throughout the rest of the section does not provide us with any clarity on the true aim of the authors and how this will help us in doing legal or social science analysis. Take their analysis on how master-narrative affected the way that judges were thinking in Lebanon and Senegal. Frankly speaking, I can't see the relationship because the explanations are too jumbled. Borrowing the term from the late Justice Antonin Scalia from the US Supreme Court, claiming that judges in Lebanon took a different approach of interpretation as a way to reverse the master-narrative via "transformative" process is a perfect example of legal argle-bargle. Simply put, how do you know that? It seems that as if the master-narrative approach can be used for justifying anything that the authors want to justify while excluding other potential explanation and the necessary background to reach the conclusion made by the authors. </span></p><p><span style="font-family: inherit;">Despite my own critics in this article, I am sympathetic with the authors and I assume that by the end of the day, their ultimate claim is that judges are ordinary human beings with their own moral prejudice and that such moral prejudice may affect how they decide the cases. This is not a controversial claim. In fact, most legal realists think like that and perhaps, that is indeed the reality in practice. Call it the "common sense theory of legal adjudication". </span></p><p><span style="font-family: inherit;">The main problem is, instead of providing sufficient evidence and background, the authors use a narrative that simply cannot be falsified; a theory that can explain everything is often not a real theory. As such, for further research purposes, and because I assume that the authors are interested with a multi-disciplinary approach for legal discourse, I would suggest them to look at various literature made by political scientist, economist and lawyers on: (i) judicial behaviors and the statistical techniques to predict how judges will make their decisions based on their political association, preference, or other factors, and (ii) the role of courts decision in affecting social outcomes, whether there is any significant impact or whether it is an illusion. Two good books to start are: "<a href="https://www.amazon.com/Behavior-Federal-Judges-Theoretical-Empirical/dp/0674049896" target="_blank">The Behavior of Federal Judges</a>" and "<a href="https://www.amazon.com/Hollow-Hope-American-Politics-Political/dp/0226726711/ref=sr_1_1?dchild=1&keywords=The+Hollow+Hope&qid=1609271342&s=books&sr=1-1" target="_blank">The Hollow Hope - Can Courts Bring About Social Change?</a>".</span></p><p><span style="font-family: inherit;">To close this article, the 4 cases discussed in this paper may serve as an introductory chapter to the varieties of interpretive theories and forms of legal sources among different jurisdictions. But it is not enough to support the empirical claim on how judges behave in practice. Such claim would require a bigger data set and a thorough understanding of how the legal system actually works in each jurisdiction. Only then can we get a better result. The road is still far ahead, but then again, that is why law is such a fascinating subject. </span></p>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-29159149140207375322020-12-21T16:38:00.009+07:002020-12-30T11:42:54.952+07:00Hukum dan Imajinasi - Sebuah Surat Cinta Bagi Ilmu Hukum<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiLlFf4stFVHWQ8fpbpfS8_R5CNuDBdN0vR1iI_GBA31Hu9hbl8p_Zn89qNPlhyphenhyphenemwQvxJfs5TnRz0vsjjot-a5wpIr9WvSpq4FZXDfxYK_lZL_lTDEcF7RhzbY22evRpYG8RhgQ/s958/Santa+Picture.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="419" data-original-width="958" height="227" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiLlFf4stFVHWQ8fpbpfS8_R5CNuDBdN0vR1iI_GBA31Hu9hbl8p_Zn89qNPlhyphenhyphenemwQvxJfs5TnRz0vsjjot-a5wpIr9WvSpq4FZXDfxYK_lZL_lTDEcF7RhzbY22evRpYG8RhgQ/w519-h227/Santa+Picture.jpg" width="519" /></a></div><p><span>Di penghujung artikel saya minggu lalu mengenai kemungkinan sesuatu mengada dari ketiadaan, saya menyampaikan bahwa salah satu alasan penting untuk menunjukkan bahwa keberadaan <i>Causa Prima </i>atau Tuhan bukan merupakan suatu keniscayaan secara logika maupun ilmiah adalah supaya orang memahami bahwa hal tersebut merupakan perkara iman dan keyakinan pribadi yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Dalam artikel hari ini, saya ingin menyampaikan satu alasan lainnya yang tak kalah penting terkait pemahaman di atas, yaitu pentingnya berimajinasi. <span></span></span></p><a name='more'></a><span><br />Terkait imajinasi, kutipan dari Nicholas St. North (alias Santa Claus) dalam film Rise of the Guardians cocok untuk menjadi pembuka yang ciamik. Pernyataan Santa di atas adalah salah satu momen yang paling <i>memorable</i> dalam film tersebut bagi saya karena menyuarakan dengan indah bagaimana cara saya memandang hidup dan ilmu hukum yang sudah saya tekuni hampir 20 tahun. Banyak orang yang mungkin tidak percaya bahwa salah satu karakteristik yang wajib dimiliki oleh setiap ahli hukum adalah daya imajinasi yang kuat, apalagi kalau mengingat komentar Richard Posner mengenai ilmu hukum: "<i>law is the most historically oriented, backward looking, and past-dependent of the professions, venerating tradition, precedent, pedigree, custom, and ancient practice. It is also suspicious of innovation and discontinuities</i>." Jadi bagaimana caranya suatu ilmu yang terkesan kolot, kuno, dan kaku bisa berjalan beriringan dengan imajinasi yang seharusnya penuh dengan kebebasan?<br /><br /><i>Well, that's part of the wonder of this field! </i>Apa yang disampaikan oleh Posner di atas tidaklah salah, hanya saja hal tersebut belum menggambarkan keluasan dari ilmu hukum yang mungkin tak kalah luas dari alam semesta itu sendiri. Mengapa demikian? Karena walaupun hukum kerap merujuk ke sejarah masa lampau, kenyataannya selalu ada hal baru yang ternyata belum pernah dibahas sebelumnya. Pun ketika kita membaca lembaran sejarah, belum ada satu penafsiran tunggal yang bisa diterima oleh setiap orang terhadap suatu fakta sejarah (itu pun dengan asumsi orang-orang sudah sepakat dengan akurasi dari fakta yang menjadi bahan diskusi), sehingga sejarah kerap direinterpretasikan terus menerus. Belum lagi fakta adanya hubungan yang erat antara hukum dan bahasa sementara bahasa sendiri adalah salah satu fenomena paling kompleks yang bisa kita temui dalam peradaban. Cara membaca satu kata, satu kalimat, satu paragraf, dan satu pasal peraturan bisa berbeda-beda, dan lagi-lagi belum ada satu kesepakatan fundamental yang bisa menegaskan bagaimana cara membaca yang paling mantap dan tak terbantahkan. Tidak heran ada adagium populer dalam ilmu hukum, "ketika ada 2 ahli hukum berdebat, setidaknya akan ada 3 pendapat yang keluar."<br /><br />Inilah salah satu alasan saya menekuni teori penafsiran hukum (dengan jalan menggabungkan <i>Ushul Fiqh</i> dengan <i>Law & Economics</i> dan <i>Pragmatism & Textualism</i>) sebagai materi penelitian akademik saya dan juga mengapa saya senang sekali bekerja sebagai <i>corporate lawyer</i>. Terkesan tidak nyambung, tapi sebenarnya menjalani 2 bidang ini secara bersamaan merupakan perwujudan dari sinergi teori dan praktek dalam ilmu hukum karena hukum sejatinya adalah konsep abstrak yang muncul dari ketiadaan dan kemudian mewujud melalui praktek sosial. Sebagai seorang yang pragmatis, saya selalu berpikir bagaimana caranya teori abstrak yang saya teliti dan susun itu kemudian bisa terpakai dalam pekerjaan saya sehari-hari supaya jangan sampai saya sembarangan berpendapat. Harap maklum, tidak seperti politisi yang bisa santai bicara A hari ini dan Z esok hari tanpa konsekuensi yang signifikan, pernyataan A dari seorang ahli hukum akan menghantui dirinya sampai akhir hayat kecuali ada perubahan terhadap hukum atau norma yang menjadi basis pendapatnya tersebut. Lelah memang menjadi ahli hukum, walaupun lelahnya adalah lelah yang menyenangkan dan inspiratif.<br /><br />Sayangnya untuk dapat menyelami keluasan ilmu hukum, seorang ahli hukum harus menyempatkan diri untuk membaca banyak literatur dan menangani banyak perkara atau transaksi yang riil (atau setidaknya membaca bagaimana hukum diterapkan dalam prakteknya). Tanpa pengetahuan tersebut, mudah sekali bagi kita untuk terjebak dalam pandangan absolutisme sehingga keyakinan/kepercayaan tercampur aduk dengan fakta empiris, seakan-akan hukum adalah produk baku yang tak akan pernah berubah lagi untuk selamanya. <i>Nothing could be further from the truth! <br /><br /></i>Untuk dapat membuka pikiran kita terhadap keluasan ilmu hukum tersebut, kita butuh imajinasi yang tinggi dan kunci dari imajinasi adalah pemahaman bahwa ada banyak hal di dunia ini (termasuk dalam ilmu hukum) yang belum ditemukan jawaban pastinya. Karena hanya dengan menyadari bahwa masih ada banyak keajaiban dan hal-hal yang belum kita mengerti maka ada insentif bagi kita untuk maju, merenung, dan menemukan jalan baru untuk bisa melampaui keterbatasan yang menghalangi kita untuk menemukan jawaban tersebut. <br /><br />Harus diingat, ini bukan perjalanan asal-asalan, pendekatan ilmiah maupun logika filsafat selalu menuntut kerja keras, keseriusan dan ketelitian. Pengertian berimajinasi dalam konteks ini bukan sekedar berkhayal atau mimpi di siang bolong, melainkan menghilangkan batasan-batasan terhadap pola pikir kita dari hal-hal yang tidak niscaya atau pasti keberadaannya baik dari segi ilmiah maupun filsafat. Sesuatu yang kemustahilannya tidak pasti tidak layak menjadi basis untuk menutup pintu menuju jawaban yang sedang kita cari.<br /><br />Untuk menggambarkan pentingnya imajinasi dalam ilmu hukum, ada baiknya saya berikan beberapa perbandingan dengan ilmu-ilmu lainnya. Kita mulai dengan ilmu fisika. Banyak fisikawan profesional yang masih berusaha untuk menemukan satu teori final yang dapat menggabungkan semua fenomena alam secara konsisten. Walaupun mungkin banyak orang berpikir bahwa sains selalu berhubungan erat dengan kepastian, kenyataannya justru sebaliknya. Dari jaman Demokritus sampai sekarang, para fisikawan terus menerus berusaha menyempurnakan teori mereka karena ketika penelitian dan formulasi matematika makin detail, penyimpangan-penyimpangan dari "hukum alam" menjadi semakin terlihat. <br /><br />Contohnya hukum gravitasi Newton. Alih-alih sebagai penggambaran kepastian yang sempurna dari bagaimana alam semesta bekerja, teori Newton tak lebih dari formula kira-kira yang lumayan akurat alias <i>approximation</i>. Fisikawan menemukan hal ini salah satunya ketika mereka menghitung orbit Planet Merkurius yang angkanya kurang sesuai kalau menggunakan formula Newton, selisihnya tipis, tetapi tetap tidak akurat. Revolusi teori relativitas umum yang dibuat oleh Einstein kemudian membuat orang berpikir bahwa akhirnya hukum alam yang pasti sudah berhasil ditemukan, tapi penemuan itu ternyata malah membuka pintu ke masalah baru yang belum berhasil diselesaikan secara elegan.<br /><br />Sekalipun formula Einstein akurat untuk menggambarkan fenomena-fenomena dalam skala super besar (termasuk orbit planet), formulanya tidak bekerja akurat untuk fenomena-fenomena skala super mikro, khususnya di level kuantum. Di level skala galaksi dan alam semesta sendiri pun, formula Einstein juga menyisakan banyak pertanyaan seperti misalnya mengapa ruang dalam alam semesta bisa berekspansi terus menerus dan juga lebih cepat daripada kecepatan cahaya (<i>loophole</i>-nya, tidak ada yang bisa bergerak lebih cepat dari cahaya dalam ruang, tetapi tidak ada yang bilang bahwa ruang (<i>space</i>) itu sendiri tidak bisa berekspansi lebih cepat dari cahaya) atau apakah ruang yang sering kali kita anggap kosong sebenarnya memiliki massa? Karena apabila ruang ini tidak memiliki massa, fisikawan juga sulit menjelaskan bagaimana caranya bintang dan galaksi bisa terbentuk di awal-awal karena jumlah massa dari objek-objek yang bisa diamati saat ini tidak cukup jumlahnya untuk melahirkan mereka di masa lalu. Sehingga akhirnya muncul teori mengenai <i>dark matter</i> yang karena tidak berinteraksi sama sekali dengan cahaya dan daya elektromagnetik, barang ini sudah mencapai level kekasatmataan ala Nyi Roro Kidul dan Unicorn, walaupun tetap diasumsikan ada. Jadi pemahaman bahwa sesuatu yang ada itu hanyalah hal-hal yang bisa diraba oleh indera kita adalah pemahaman kuno. <i>Fascinating stuffs</i>!<br /><br />Isu penemuan teori tunggal ini sebenarnya juga isu yang sedang dihadapi oleh para ahli hukum dari zaman Plato sampai detik ini, bagaimana caranya kita bisa menemukan satu teori yang bisa mendefinisikan apa yang dimaksud dengan hukum dan secara lugas dapat membedakan hukum dari moralitas, etika, adat dan kebiasaan sehari-hari, serta norma-norma lainnya? Penggambaran hukum sebagai fakta sosial sendiri adalah suatu <i>approximation</i> karena tidak ada yang bisa memastikan dengan seksama kapan hukum lahir. Ambil contoh UUD 1945 yang diaku sebagai hukum tertinggi di Indonesia. Apakah UUD 1945 bisa dianggap lahir pada 17 Agustus 1945? Kalau merujuk pada fakta sosial di tanggal itu, apa benar UUD 1945 sudah menjadi hukum yang mengikat? Tidak ada warga yang memberikan kuasa kepada Sukarno dan Mohammad Hatta untuk menjadi proklamator apalagi kuasa untuk menyatakan hukum mana yang paling tinggi dan berdaulat di wilayah Indonesia. Bahkan konsep adanya wilayah Indonesia sendiri di tanggal itu pun masih merupakan suatu fiksi. Suatu fiksi yang kemudian mewujud entah dari mana dan kini sudah diterima sebagai realitas fakta sosial. Proklamasi mungkin bisa dikategorikan sebagai fenomena <i>big bang</i> yang melahirkan alam semesta, tapi sebelum <i>big bang</i> itu terjadi, siapa yang bisa menjelaskan dengan pasti status UUD 1945 dan juga status keberlakuan dari hukum dan aturan-aturan lainnya di masyarakat yang kebetulan tinggal di wilayah Indonesia?<br /><br />Belum lagi kasus Dekrit Presiden Sukarno di tahun 1959 yang menyatakan kembali ke UUD 1945 karena Konstituante Indonesia terus menerus gagal menyusun konstitusi baru. Sukarno tak pernah punya wewenang untuk menerbitkan dekrit tersebut. Teori hukum di Indonesia saat itu juga tidak bisa menemukan preseden untuk mendukung posisi dekrit, tapi pada akhirnya, kembalinya Indonesia dibawah konstitusi UUD 1945 menjadi suatu fakta sosial baru dan bahkan menjadi hegemoni di era Orde Baru ketika UUD 1945 mendapatkan status "suci". <i>Again, these are all fascinating stuffs</i> <i>and I see all of them with wonder and awe</i>!<br /><br />Bandingkan juga dengan ilmu ekonomi yang sampai saat ini juga gagal untuk mendefinisikan secara pasti apa yang dimaksud dengan utilitas, preferensi, dan rasionalitas (<i>utility, preference</i> <i>and rationality</i>) padahal ketiga konsep ini teramat sangat fundamental dalam prediksi-prediksi perilaku manusia yang hendak dijawab melalui ilmu ekonomi. Teks-teks mikroekonomi sendiri kadang tidak seragam dalam menggambarkan konsep-konsep di atas. Ambil contoh preferensi. Apakah yang dimaksud dengan preferensi adalah sekedar penilaian subjektif tentang sesuatu yang diinginkan oleh seseorang terlepas apakah hal itu rasional atau tidak? Ataukah preferensi mengindikasikan adanya perbandingan nilai yang dibuat oleh seseorang akan lebih dari 1 opsi? Lalu apakah preferensi bisa dibuktikan dengan melihat tindakan aktual seseorang (<i>revealed preference</i>), atau mungkinkah kalau <i>revealed preference</i> ternyata hanya tipu-tipu belaka sebagai bentuk keputusan strategis dari orang yang bersangkutan (Buku Timur Kuran, <a href="https://www.amazon.com/Private-Truths-Public-Lies-Falsification/dp/0674707583" target="_blank"><i>Private Truths, Public Lies: The Social Consequences of Preference Falsification</i></a>, bisa menjadi referensi menarik). Jangan lupakan juga debat mengenai apa yang dimaksud dengan utilitas atau manfaat. Misalnya apakah <i>utility</i> dapat diukur dari pemenuhan preferensi (apapun maksudnya itu) atau haruskah pengukurannya mengunakan skala nilai-nilai objektif, dan kemudian siapa yang bisa menentukan nilai-nilai objektif terkait manfaat dan kesejahteraan? <br /><br />Keberadaan dari permasalahan-permasalahan fundamental ini tidak berarti bahwa kemudian menuntut ilmu menjadi suatu hal yang sia-sia belaka. Kalau sia-sia, maka tidak akan ada pengacara hari ini yang bekerja di planet bumi dengan alasan para ahli hukum gagal menyepakati apa yang dimaksud dengan hukum dan argumen-argumen apa saja yang bisa dianggap layak untuk dapat diterima sebagai argumentasi hukum yang valid. Pun tidak akan ada fisikawan maupun ekonom yang saat ini bekerja karena untuk apa mereka bekerja kalau teori-teori fundamental mereka seperti hukum alam dan utilitas saja ternyata tidak akurat-akurat amat dan bahkan bisa jadi salah total.<br /><br />Justru sebaliknya, segambreng isu dan pertanyaan di atas adalah hal yang membuat saya tak bosan jatuh cinta kepada ilmu, khususnya ilmu hukum. Alih-alih menimbulkan keputusasaan, isu-isu yang belum berhasil dijawab itu justru membuat hidup jadi lebih berarti karena artinya masih ada sesuatu yang bisa dikejar dan membuat saya tak bisa berhenti berimajinasi mengenai teori-teori dan penemuan baru yang bisa saya kontribusikan di kemudian hari. <i>The excitement of finding something new is what excites life and progress itself! </i>Imajinasi tak hanya penting untuk memahami ilmu (termasuk ilmu hukum), ia adalah konsekuensi logis dari betapa luasnya ilmu itu sendiri. <br /><br />Bayangkan kalau misalnya kita sudah tahu segalanya, ketika kita sudah melihat waktu sebagai <i>singularity, no past, present and future.</i> <i>An infinite life with perfect knowledge is equal to infinite boredom</i>. Contoh makhluk-makhluk yang mual dengan pengetahuan absolut ini bisa dilihat dalam karakter Dr. Manhattan di komik Watchmen atau kaum Q dalam serial Star Trek (yang dalam salah satu kisahnya, mereka sudah tidak saling berbicara satu sama lain untuk jangka waktu yang tidak bisa diidentifikasi karena semua hal yang dapat diucapkan telah diucapkan seluruhnya).<br /><br />Contoh yang lebih membumi mungkin adalah game Grand Theft Auto. Berapa banyak yang main game ini dan menggunakan cheat <i>God Mode</i>, dan tak beberapa lama kemudian bosan bermain karena permainannya tak lagi seru? Lebih menyenangkan memulai sebagai gangster abal-abal kan? Lalu berapa banyak yang lebih suka menyiksa diri main Dark Souls series atau Bloodborne? Saya ingat pernah mengulang 53 kali sebelum akhirnya saya berhasil mengalahkan boss Vicar Amelia di Bloodborne, <i>what a pain in the ass, but I can't stop, because I want to see the light at the end of the tunnel</i>. Makanya saya suka sekali dengan semboyan Buzz Lightyear, <i>to infinity and beyond! </i>Kalau kita bisa hidup abadi, saya menginginkan adanya petualangan yang abadi juga, pengalaman baru dan ilmu baru yang tak ada habisnya. Kalau semua jawaban di dunia dan 17 dimensi lainnya sudah ketemu semua dan tidak ada hal lagi
yang bisa dicapai, pilihan logis saya hanya tinggal memusnahkan diri sendiri
daripada hidup bosan untuk selama-lamanya. <i>That in itself is the ultimate torture and I don't think I will ever have enough mental capacity to withstand it</i>.<br /><br />Apakah suatu hari nanti ahli hukum akan menemukan teori tunggal yang bisa mengidenfitifikasi hukum secara sempurna dan memisahkannya dari norma-norma lainnya? Moga-moga demikian, tapi itu pun hanya salah satu isu dari sedemikian banyak isu di bidang hukum yang belum terpecahkan. Bidang penafsiran hukum yang saya tekuni saja (yang juga hanyalah satu aspek dari ilmu hukum) masih punya segudang isu yang belum dapat terselesaikan. Dalam proses mengubah disertasi saya menjadi buku pun saya masih saja terus menemukan materi dan jawaban baru yang belum terbayangkan 2-3 tahun lalu ketika penulisan disertasi saya mendekati final. Bagaimana mungkin saya bisa berhenti dan merasa bosan? Tiap hari ketika saya duduk di perpustakaan saya, saya selalu berpikir kalau kaya begini caranya, mungkin saya keburu mati duluan sebelum semuanya usai. Di satu sisi, itu hal yang menyedihkan (<i>I want immortality after all</i>), tapi di sisi lain, saya bahagia karena artinya saya tidak harus terjebak dalam krisis kehidupan cuma gara-gara bingung atau bosan dengan hidup dan pekerjaan saya saat ini. <i>To be brutally honest, I am overwhelmed with the amount of information that I learn and that is incredibly exciting and inspiring at the same time.<br /><br /></i>Demikianlah sekelumit surat cinta saya bagi ilmu hukum yang sudah cukup lama menemani hidup saya, yang seringkali memberikan imajinasi liar tentang apa yang mungkin dan tidak mungkin, dan yang masih terus menerus membuat saya takjub karena selalu saja ada hal-hal memukau yang bisa saya temui baik dalam literatur maupun praktek dalam pekerjaan saya. <i>Indeed, I do have the best job ever! And for that, I am eternally grateful.</i> <i> </i></span><p></p>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-27266318980424763572020-12-14T14:20:00.007+07:002020-12-30T11:43:05.117+07:00Apakah Mungkin Sesuatu Mengada dari Ketiadaan?<p><span> </span></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKGu6XtuD5XGArhU7CyqnuZBq1Y_zz63pzLp0lYjHJztBpX5KrwLYVGKvpT3b_DnWetoPoKTr_h1SHdU_a1ob-vMBx3alEOb00uhXTKYakoomxmKcW7TZbOWVRKoQcuj0JvZaJtA/s1080/Analytical+Joke.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span><img border="0" data-original-height="725" data-original-width="1080" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKGu6XtuD5XGArhU7CyqnuZBq1Y_zz63pzLp0lYjHJztBpX5KrwLYVGKvpT3b_DnWetoPoKTr_h1SHdU_a1ob-vMBx3alEOb00uhXTKYakoomxmKcW7TZbOWVRKoQcuj0JvZaJtA/s320/Analytical+Joke.jpeg" width="320" /></span></a></div><span>Gara-gara menemukan twit imut di atas, saya jadi teringat salah satu diskusi beberapa bulan lalu soal apakah keberadaan <i>causa prima</i> (yang biasanya diterjemahkan menjadi Tuhan) itu suatu keniscayaan secara logika (<i>logical necessity</i>), dan oleh karena itu harus benar adanya dalam setiap keadaan. Pendek kata, dalam diskusi tersebut saya menyampaikan bahwa keberadaan <i>causa prima</i> tidak niscaya secara logika dan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibuktikan baik secara logika maupun empiris, dan oleh karenanya ada peran yang besar dari iman dalam beragama, khususnya untuk hal-hal yang ujungnya memang sesederhana percaya ga percaya. <span><a name='more'></a></span><br />Posisi ini saya ambil bukan karena saya anti filsafat, apalagi tradisi filsafat analitik. Sebagai pendukung mazhab positivisme hukum dari sanad H.L.A Hart dan penulis disertasi soal teori interpretasi hukum dalam sistem hukum Islam dan Amerika Serikat, filsafat analitik adalah bagian integral karena berhubungan erat dengan logika dan filsafat bahasa dan dua-duanya tidak terpisahkan dari bagaimana cara memahami konsep hukum dan sumber-sumbernya serta cara menafsirkan isi hukum itu sendiri. H.L.A Hart sendiri juga bagian dari tradisi filsafat analitik cabang <i>ordinary language</i> bersama-sama dengan guru dan kemudian kolega dia, J.L. Austin di Oxford. <br /><br />Justru karena minat saya terhadap filsafat analitik yang bersikeras menggunakan metode pikir yang sangat teliti (<i>rigorous</i>) (termasuk menggunakan pendekatan matematika, logika dan sains terhadap metode filsafat supaya menjadi lebih disiplin) itu lah yang menyebabkan saya mengambil posisi tersebut. Kalau mau teliti, ya harus konsekuen supaya tidak campur aduk antara bias iman dengan pemikiran filosofis.<br /><br />Walaupun diskusi soal keniscayaan <i>causa prima</i> ini cukup panjang dan kompleks (termasuk apakah secara logika keberadaan <i>infinite regress</i> itu dimungkinkan), inti permasalahannya sebenarnya bisa direduksi menjadi isu berikut: apakah mungkin sesuatu itu bisa muncul dari ketiadaan (<i>can something come out from nothing</i>)? Suatu pertanyaan fundamental yang memang sudah lama membingungkan banyak manusia. Dalam diskusi tersebut, saya sudah sampaikan bahwa secara empiris, belum ada yang bisa membuktikan dengan 100% kepastian bahwa sesuatu tidak bisa atau bisa muncul dari ketiadaan. Mungkin terkesan mengada-ada karena umumnya orang akan berpikir bahwa mustahil bisa muncul sesuatu dari ketiadaan, tapi kalau dikembalikan ke ranah empiris dan bukan cuma sekedar diskusi warung kopi, jawabannya adalah kita tidak tahu secara pasti.<br /><br />Contoh beberapa buku yang mencoba membahas isu ribet ini adalah: <a href="https://www.amazon.com/Universe-Nothing-There-Something-Rather/dp/1451624468/ref=sr_1_2?crid=11STIPVD9ESQK&dchild=1&keywords=a+universe+from+nothing+by+lawrence+krauss&qid=1607925882&s=books&sprefix=a+universe+fro%2Cstripbooks%2C417&sr=1-2" target="_blank"><i>A Universe from Nothing</i></a> oleh Lawrence M. Kraus dan <a href="https://www.amazon.com/Void-Strange-Physics-Foundational-Questions-ebook/dp/B01M68OBVS/ref=sr_1_1?crid=WJ0A3JJGCWV8&dchild=1&keywords=void+the+strange+physics+of+nothing&qid=1607925914&s=books&sprefix=Void+the%2Cstripbooks%2C377&sr=1-1" target="_blank"><i>Void - The Strange Physics of Nothing</i></a> oleh James Owen Weatherall. Ada juga beberapa artikel ilmiah yang membahas hal ini seperti misalnya <a href="https://www.discovermagazine.com/the-sciences/what-came-before-the-big-bang" target="_blank"><i>What Came Before the Big Bang</i></a> dan <a href="https://arxiv.org/pdf/1404.1207.pdf" target="_blank"><i>Spontaneous Creation of the Universe from Nothing</i></a>. Intinya, belum ada jawaban empiris yang konklusif, semua masih bisa diperdebatkan. Dengan situasi empiris yang masih tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan, tidak heran ada beberapa filosof yang ingin menemukan kepastian lebih dulu dan untuk itu mereka membangun argumen bahwa kemustahilan sesuatu muncul dari ketiadaan itu adalah niscaya secara logika dan oleh karenanya pasti benar dalam setiap situasi dan kondisi. Hal ini memang konsekuensi dari pengertian <i>logical necessity</i> sebagaimana bisa dilihat di kutipan twit di awal artikel ini. Namun demikian, karena kita hendak membangun suatu klaim yang fantastis yang dianggap otomatis benar setiap saat, tentunya butuh ketelitian supaya jangan sampai nanti termakan kritik terhadap ilmu logika bahwa semua <i>logical necessity</i> tak lebih dan tak bukan dari tautologis alias muter-muter.<br /><br />Pembaca yang <i>philosophically inclined </i>(baca: suka meribetkan dirinya sendiri) bisa membaca lebih jauh argumen panjang lebar mengapa ketidakmungkinan sesuatu muncul dari ketiadaan itu bukan hal yang niscaya secara logika di artikel berikut: <a href="https://www.richardcarrier.info/archives/14486" target="_blank">The Problem with Nothing: Why The Indefensibility of Ex Nihilo Nihil Goes Wrong for Theists</a>. Untuk argumen yang sudah saya sederhanakan, bisa lanjut baca di bawah ini.<br /><br />Salah satu argumentasi populer dari mengapa sesuatu tidak bisa muncul dari ketiadaan secara logika adalah karena secara metafisika, yang namanya tiada ya tiada, bagaimana caranya dia bisa jadi ada sementara dari awal ia tiada, tidak ada potensi mengada dari sesuatu yang tiada. Terkesan logis tapi menurut saya tidak tepat dan juga tidak teliti bahkan cenderung tautologis (dan oleh karenanya tidak layak diklaim secara metafisika juga). Mengapa demikian? <br /><br />Sederhananya, dalam ketiadaan yang absolut, tidak ada hal atau aturan yang bisa menghalangi potensi ketiadaan itu untuk menjadi sesuatu atau pun tidak menjadi apapun sama sekali. Pemahaman bahwa dari suatu ketiadaaan pasti tidak bisa menjadi ada tidaklah niscaya secara logika dan saya belum tahu ada orang yang bisa membuktikan sebaliknya dalam sejarah filsafat selain orang-orang yang mengklaim bahwa ketiadaan sudah pasti tidak berpotensi menghasilkan sesuatu yang ada. <br /><br />Saya bisa paham mengapa orang sulit melihat hal yang menurut saya sudah jelas sekali ini, khususnya karena seringkali juga orang mencampuradukkan <i>absence of evidence</i> sebagai <i>evidence of absence</i> (ketiadaan bukti akan A menjadi bukti bahwa A tidak ada). Kesalahan pola pikir empiris ini mungkin terbawa ke ranah filsafat analitik dan karena kenyataannya belum ada juga yang bisa membuktikan sebaliknya, godaan untuk menjadikan kemustahilan ketiadaan untuk memunculkan sesuatu sebagai keniscayaan logika juga sulit untuk dihindari karena sudah terasa nyaman dan <i>obvious</i>. Tapi tentunya rasa nyaman bukanlah jawaban dari semua permasalahan anda (kecuali dalam hubungan cinta, halah).<br /><br />Kita kembali lagi sedikit ke argumen logika soal ini supaya lebih jelas kritik saya. Satu, bagaimana mendefinisikan ketiadaan? Supaya diskusi logika masih bisa jalan, proposisi awalnya adalah bahwa ketiadaan yang dimaksud di sini bukan ketiadaan yang absolut dan tidak terikat dengan apapun, melainkan ketiadaan yang masih ada potensi berlakunya hukum-hukum logika secara ontologis. Bukan apa-apa, ini justru untuk membantu mereka yang mengklaim bahwa mustahil sesuatu mengada dari ketiadaan secara metafisika. Apabila definisi ketiadaan itu adalah "tiada apapun termasuk hukum logika" maka salah satu klaim keniscayaan logika bahwa <b>tidak mungkin suatu hal yang tidak logis itu ada</b> akan dipatahkan dengan sendirinya. Wong namanya juga ketiadaan/<i>nothing</i> kan? Kenapa kalian bisa mikir bahwa aturan logika yang kalian buat itu jadi eksis dan mengikat dalam situasi ketiadaan absolut?<br /><br />Dua, setelah kita bisa menyepakati proposisi bahwa suatu hal yang tidak logis itu tidak mungkin ada dan sebagai konsekuensinya kita juga sepakat dengan proposisi bahwa dalam ketiadaan itu masih ada hukum-hukum logika, maka kita bisa lanjut ke 2 proposisi berikutnya, yaitu bahwa: (i) <b>dalam ketiadaan, karena tidak ada apa-apa selain hal yang niscaya secara logika, maka tidak ada juga hal yang bisa membatasi atau mengatur ketiadaan tersebut selain hal-hal yang niscaya secara logika</b>, dan (ii) <b>karena tidak ada yang membatasi apa yang bisa muncul dari ketiadaan (selain hal yang niscaya secara logika), maka tidak ada hal juga (selain yang niscaya secara logika) yang dapat menghalangi apapun untuk muncul atau terjadi dari ketiadaan tersebut</b>. <br /><br />Dan kita kembali ke kritik awal saya di atas. Dengan menggunakan proposisi-proposisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam ketiadaan, aturan bahwa <b>dari ketiadaan hanya muncul ketiadaan alias ex nihilo nihil</b> juga tidak bisa diberlakukan. Untuk bisa membuktikan sebaliknya, orang harus dapat menunjukkan bahwa adalah suatu hal yang niscaya secara logika bahwa hanya ketiadaan yang bisa muncul dari ketiadaan dan belum ada yang bisa memberikan jawaban ini (selain tentunya klaim kosong sebagaimana disebut di atas, <i>which is a fun pun indeed!</i>). Lebih sederhananya lagi, konklusi dari diskusi di atas adalah bahwa probabilitas sesuatu bisa muncul dari ketiadaan adalah bukan nol. Saya akan berhenti di sini karena tujuan saya sudah tercapai (artikel Richard Carrier masih melanjutkan soal potensi adanya <i>multiverse</i> tapi buat saya diskusi itu sudah tidak relevan untuk diskusi kita hari ini walaupun tema <i>multiverse</i> merupakan hal yang sangat menarik juga). Yang jelas, hal yang sama juga berlaku untuk keberadaan Tuhan. Argumen ini juga sama menegasikan posisi atheisme bahwa probabilitas keberadaan Tuhan adalah nol. Ini mengapa saya sering kali menyatakan bahwa atheisme sebenarnya tak berbeda jauh dengan agama kalau malah bukan jenis agama baru, sama-sama berbasis doktrin dan keyakinan/iman, cuma beda saja imannya, satu percaya ada Tuhan, satu lagi ga percaya ada Tuhan. <br /><br />Jadi mengapa saya menulis panjang lebar mengenai isu ini? Bagi saya penting sekali untuk menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan adalah soal iman yang belum bisa dibuktikan ada atau tidak adanya secara ilmiah melalui sains maupun secara logika melalui filsafat. Tanpa adanya bukti yang tak terbantahkan baik dari segi sains maupun filsafat, soal iman dikembalikan menjadi percaya dan ga percaya dan karena isunya percaya ga percaya, sesama manusia juga tidak perlu bersikeras memaksakan versinya kepada orang lain atau ribut gontok-gontokan karena sesuatu yang dia percaya itu bisa jadi tidak dipercayai oleh orang lain. <br /><br />Ini juga alasan mengapa hampir 20 tahun yang lalu saya pindah dari belajar teologi/tasawuf dan jadi fokus dengan hukum Islam. Soal hukum dan kebijakan publik, sifatnya riil, empiris (walaupun saya tahu ada banyak orang juga yang mencampuradukkan isu hukum dan kebijakan publik sebagai bagian dari masalah iman yang justru menyulitkan diri mereka sendiri kalau mau taat asas dan logika, tapi ini bahasan lain kali) dan langsung berpengaruh ke hajat hidup orang banyak. Soal iman, mau ribut sampai akhir zaman kemungkinan besar pun ga akan ketemu jawabannya karena ga ada yang bisa membuktikan ada atau sebaliknya (paling tidak dengan teknologi saat ini, bahwa hal ini bisa jadi dibuktikan suatu hari nanti adalah isu empiris yang masih kita tunggu-tunggu jawabannya). Oleh karenanya, soal iman ini bagusnya memang menjadi isu individu langsung antara manusia dan Tuhannya. Tentunya kalimat terakhir ini adalah opini saya, bukan suatu keniscayaan logika, jadi selalu bisa diperdebatkan 😁😁😁. </span><br />Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-25323322792773345162020-08-09T15:25:00.012+07:002020-12-30T11:48:52.591+07:00On Finding a Successor<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhK2lWlibPDjyC8ZvHhTbjOsdvNa-bO_IYoHrhBw9Ztat2Eij8TusZB35c5CY4OevxHSH6yyQoMOELXuhILzNP4YV0B97Ac6gbJZj4qYqt7RNa4BT8I7Bq0PYBO3ScUofpzN1JF/s2048/japan-japanese-culture-japanese-garden-light-1743556.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhK2lWlibPDjyC8ZvHhTbjOsdvNa-bO_IYoHrhBw9Ztat2Eij8TusZB35c5CY4OevxHSH6yyQoMOELXuhILzNP4YV0B97Ac6gbJZj4qYqt7RNa4BT8I7Bq0PYBO3ScUofpzN1JF/w320-h213/japan-japanese-culture-japanese-garden-light-1743556.jpg" width="320" /></span></a></div><span><br /></span></div><p><span>I recently found another gem of a slice-of-life manga titled Sota's Knife (<i>Souta no Houchou</i>) and boy, what a page turner! The manga tells the story of Sota Kitaoka, a young man from Hokkaido, that pursues the art of classical Japanese cuisines at Ginza Tomikyu, a <i>ryotei</i> that is known as one of the best traditional restaurants in Tokyo (all are fictional in case you are wondering). The relationship between Sota and Kyugoro Tomita (his <i>Oyakata</i> a.k.a boss/owner chef/master), his colleagues (including his love interest, Tomita's daughter), his growth from a kitchen helper to the top level, his dream of opening his own restaurant versus continuing the legacy of his boss, the hyper competitive environment of restaurants in Tokyo, and the passion and dedication of a true <i>Shokunin</i> shown throughout the series, are simply beautiful and full of emotions. Not only that they remind me of all the restaurants and chefs in Japan that I love so much (and sadly I could not visit until God knows when), but also the journey of my own career and what I look forward to for my future.<span></span></span></p><a name='more'></a><p></p><p><span><br />
Some people might cringe over the title of my post today. After all, I opened the doors of my own firm when I was only 34 years old, and it's not even 3 years yet since that opening day. Is it reasonable to talk about succession when I still work my ass like crazy doing what I love everyday? The truth is, I thought about succession from day one, about the people that someday will replace me and continue the firm's legacy. All the founders agree that we should not put our name on the door precisely because we believe that our firm should serve as a long-lasting institution that will continue to move forward even if all of the founders are no longer there. I know that I will not be here forever and it takes a considerable amount of time to train the next generation of lawyers. Simply put, if you only think about this when you're about to retire, you do not take this issue seriously. We plan to fail when we fail to plan.<br /></span></p><p>
<span><br />
Unfortunately, finding a true successor is difficult. Similar to restaurants, this is a people business and you cannot control human beings. In the manga, Sota's training journey brought him to various places, including restaurants that are managed by young guns, an army of corporate chefs, and even old timers that are struggling to find the right heir. Throughout the series, Sota experiences first hand the fact that chefs come and go though some linger for a very long time. This is the immovable fact of the business as theoretically, its main purpose is to create professionals that can work independently after years of practice, and there are a multitude of reasonable and logical reasons for staying in or leaving a restaurant. It's just too similar with the world of lawyers as I have seen and experienced myself. <br /> </span><span id="fullpost"><span>
<br />
But regardless of the difficulties and the fact that there is no guarantee that these people will pursue the same path with mine, I still keen to find my own apprentices and grow them to the next level. When you have your own shop and lead your own practice, it's not unusual to feel alone. All of my partners have different field of expertise and there are times when I have to decide something by myself. Ask any professional owner chef whether they ever have any doubt when they become the ultimate taster of their own food or their subordinate's creation, and they will most likely provide an affirmative answer, at least once in their life. In the end, our clients will be the ultimate judge. Such is the path of being an owner, there are no more people to ask when you're on the top and that is why I want to have my successors as fast as possible. Before they could become the qualified successors, they must be my equals first and in such way, the mutual relationship will enrich our experience and skills altogether. <br />
<br />
So what are the things that I seek from a worthy successor? Well, I learn and master most of my craft not from mimicry, but from negation, namely, I filled the gaps for things that my bosses did not do or instruct, and from this unique learning process, I feel that I end up being a better lawyer compared to if I had a boss who told me everything that I must do, step by step. Granted, this is not the traditional way of learning, and could only happen because we share the same view in one crucial matter (which is also demonstrated in the manga), if you want to stay long in this profession, you must understand why you do the job, and you do the job only for two categories of people, yourself and the clients. Not for your boss, not for your colleagues, not for your family, or for anyone else. In this service industry, you must like the nitty-gritty of what you do on a daily basis (for yourself) and love to serve (for your clients).<br />
<br />
In one of the strongest moments in the manga, Sota is chosen to be part of an elite team of Japanese chefs tasked to arrange a VIP lunch session for the prime minister's official guest from the United States, a big honor for a young chef like him (in fact, he was the youngest in the team). At the same time, his father, who was also a chef in Hokkaido was dying from cancer. He hid his condition from his son and told Sota to pursue the joy of cooking instead. Adding the drama, Sota only learned about this fact accidentally on the day when he had to attend the lunch, and after struggling with his convictions, he decided to continue with the lunch's preparation. When he learned about Sota's decision, the vice prime minister (who invited Sota in the first place due to being mesmerized by Sota's skills in Tomikyu) ordered him to leave for Hokkaido immediately, but he was shunned by all the other chefs who said that if they are in Sota's position, they will also do the same, they will stay and complete their task as professionals. With their help, Sota finally completed his dish and delivered a performance enough to make all the guest crying. In the end, Sota failed to meet his father for one last time due to the lunch event, but don't worry, the author masterfully closes that particular chapter in a very humane way, acknowledging the difficulties of such choice, and opening a set of new stories that are even more interesting (I won't spoil more).<br />
<br />
For me, lawyers are artisans, and being an artisan is a way of life, this is beyond mere working. As such, I can fully understand Sota's choice. Under those circumstances, I would probably do the same. But I am not foolish enough to believe that most people will make the same decision. What I truly seek is not necessarily people who share the same crazy commitment (I know that my conviction is on the extreme side of the equation), rather, I want those who know what they really want and demonstrate the conviction to survive the long and arduous journey through real practice. Sota made the decision without any regret. Had he chose the other way and left for Hokkaido, I will still respect his decision because the point is not about choosing family over profession or vice versa, the point is whether you understand your own choices, and whether you are prepared to live with the consequences. Once you accept the consequences, it will eventually be shown in your work products because the quality of your work products is the perfect reflection of your soul as an artisan. Without heart, you skills will falter, and without skills, your so called heart is merely a cheap talk.<br />
<br />
If you look into my eyes and ask me, "do you love your job?", you will get a quick and enthusiastic answer from me saying: "you bet I do!" But I guess I am just lucky to find that passion early in my life. Not many people can answer this kind of question at such a young age (I answered that question when I was 21 years old, and my answer remains the same until today). Heck, I've seen some old people who still don't know what to do with their lives. Indeed, it is not easy to describe what you really want in life. Feelings are dynamic and life is full with ups and downs. It's complicated and requires commitment and sacrifices, but hey, that's the challenge that gives meaning to our life. As I've said countless times, you only live once, never settle for mediocrity.<br />
<br />
Which is also why I am so happy whenever I visit all of my favorite restaurants in Japan. In each visit, I can feel the true dedication and passion for service excellence, fueling my own passion for my work. The gesture, confidence, and the proud eyes of the chefs, and of course, those exceptional skills that cannot be faked. Heart and skills, heart and skills, heart and skills. Repeat that mantra over and over until the day you finally say goodbye to this mortal plane. I suppose, that is the true quality of a successor that I want to find. So wish me luck and go read Sota's Knife now!</span><br />
</span></p>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-21229008975560363022016-12-07T16:30:00.006+07:002020-12-22T16:02:32.065+07:00Islam dan Kebhinekaan - Sebuah Tanggapan Untuk Sohibul Iman<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifSYgLkH4KI6GhzOpwhpKsggycJlIooyLuItQyju5IB9110RUbaAJLwm3w9oHr40zjuwpTFBBgNHhvAatBZ-XXde9IIf75l9OlwEF5bNsIEAiFOb22V2RONVOhWblSZmsYSHD3/s2048/pexels-konevi-2236674.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifSYgLkH4KI6GhzOpwhpKsggycJlIooyLuItQyju5IB9110RUbaAJLwm3w9oHr40zjuwpTFBBgNHhvAatBZ-XXde9IIf75l9OlwEF5bNsIEAiFOb22V2RONVOhWblSZmsYSHD3/s320/pexels-konevi-2236674.jpg" width="320" /></span></a></div><span><br /></span></div><span>Saya tertarik membaca opini pagi ini di Republika dari Mohamad Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, dengan judul: Islam, Kebinekaan dan NKRI. Walaupun judulnya terkesan mengusung pentingnya kebhinekaan dan kerja sama antar anggota masyarakat dalam kerangka NKRI, ada beberapa bagian yang saya rasa perlu sekali dikritisi. Untuk itu akan saya mengutip beberapa paragraf dari artikel tersebut yang saya anggap penting untuk dianalisis lebih jauh.<br />
<br />
Pertama, Sohibul Iman menulis: "<i>Ada anggapan bahwa menghormati kebinekaan hanya diartikan sebagai sikap merayakan perbedaan, tapi kurang mengindahkan hak setiap warga memeluk dan menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi dan aturan perundang-undangan yang berlaku... ...Kebinekaan terawat bukan karena klaim sepihak, melainkan karena adanya sikap jujur, terbuka, tanggung jawab, dan adil. Jika ada pemikiran yang mencoba membenturkan antara Islam, kebinekaan, dan NKRI, pemikiran itu harus diluruskan karena berbahaya dan ahistoris. Islam, kebinekaan dan NKRI adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Menjadi seorang muslim yang lurus maka secara aksiomatis juga menjadi seorang nasionalis sejati dan pluralis seutuhnya.</i>" <br />
<br />
Saya mendukung pernyataan normatif di atas. Di atas kertas, ini adalah nilai-nilai yang sangat pantas untuk diusung di Indonesia dan saya pikir sebagian besar bangsa Indonesia (kalau bukan seharusnya seluruhnya) akan menerima ide-ide tersebut. Tetapi tentunya kita tidak bisa bicara kisah-kisah yang indah saja, kita juga perlu berbicara tentang kasus-kasus dimana ada nilai-nilai yang saling berbenturan, karena dalam demokrasi, perbedaan adalah keniscayaan, isunya adalah bagaimana menjaga keutuhan masyarakat sebagai akibat dari perbedaan tersebut. Sebagai contoh, ketika suatu umat memiliki hak untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, mana yang harus didahulukan ketika kemudian nilai ajaran tersebut tidak 100% sesuai dengan nilai moral lainnya (misalnya nilai kebangsaan atau nasionalisme), adat istiadat, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku? Apakah mungkin semuanya bisa berjalan beriringan, atau kita harus memilih salah satu? Kalau harus memilih, bagaimana caranya supaya tidak timbul konflik yang lebih jauh?<br />
<br />
Sebagaimana kita ketahui bersama, perkara hukum terkait penodaan agama yang kemudian menyulut aksi dari sebagian masyarakat beberapa minggu terakhir ini bukanlah perkara sederhana. Ayat Qur'an yang dipermasalahkan sangat terkait dengan isu politik, soal siapa yang bisa diangkat dan tidak bisa diangkat menjadi pemimpin umat Muslim di Indonesia. Pembahasan tafsir dan fikih terkait Al-Maidah: 51 sudah saya bahas panjang lebar sebelumnya dalam artikel saya di <a href="http://www.pramoctavy.com/2016/10/al-maidah-51-dan-politik-islam-yang-tak.html" target="_blank">sini</a> dan di <a href="http://www.pramoctavy.com/2016/11/memahami-penodaan-agama-seutuhnya.html" target="_blank">sini</a>. Intinya ada ragam perbedaan pendapat, dimana setidaknya ada satu pendapat yang menyatakan bahwa pemimpin non-Muslim seharusnya haram (terlepas apa jabatannya dan bagaimana cara diangkat atau dipilihnya).<br />
</span><span id="fullpost"><span>
<br />
Konteks keberadaan ayat ini seharusnya tidak dipisahkan dengan inti perkara hukum yang sedang berjalan. Saya memahami adanya beberapa pihak yang mencoba memisahkan kedua hal tersebut, seakan-akan ada sebuah kasus penodaan agama yang berdiri sendiri. Tapi bagaimana mungkin ada kasus penodaan agama yang berdiri tanpa konteks apapun? Ketika orang ingin menodai, mengungkapkan rasa kebencian atau permusuhan, tentunya harus ada latar belakang yang mendasari hal tersebut. Kalau tanpa alasan, pelakunya bisa jadi gila, dan justru akan lepas dari hukuman karena orang yang sakit jiwa umumnya dilepaskan dari pidana. Harus ada latar belakang, dan latar belakang itu yang kemudian harus diperiksa lebih jauh karena berhubungan sangat amat erat dengan inti dari artikel Sohibul Iman.<br />
<br />
Kalau klaim Sohibul Iman benar, yaitu bahwa umat Islam di Indonesia secara aksiomatis sudah pasti nasionalis dan pluralis, bagaimana caranya kita menjelaskan adanya fenomena menolak pemimpin non-Muslim semata-mata karena agamanya, terlepas dari hasil kinerja, moralitas, kemampuan memimpin dan faktor-faktor lainnya yang umumnya diharapkan dari seorang pemimpin yang berkualitas? Dalam versi tafsir yang paling masyhur, urusan agama ini adalah faktor yang menutup faktor-faktor lainnya. Non-Muslim tidak bisa jadi pemimpin kecuali untuk jabatan dengan wewenang yang sangat minim dan terbatas. Titik. Apakah tafsir tersebut kemudian bisa dianggap sebagai bentuk pluralisme atau dukungan atas NKRI?<br />
<br />
Ada yang mencoba mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa umat Islam sudah menerima bentuk NKRI yang memungkinkan kaum non-Muslim untuk menjadi pemimpin, tetapi umat Islam tidak bisa dipaksa memilih dan tetap berhak mengajarkan dimana-mana bahwa kaum non-Muslim tidak bisa menjadi pemimpin. Kalau demikian adanya, sejauh mana hal tersebut diperbolehkan? Kapan batasannya antara diskusi ilmiah tentang keharaman memilih pemimpin non-Muslim dan ujaran kebencian kepada pihak lain yang berbeda?<br />
<br />
Ambil contoh kasus Rhoma Irama di tahun 2012 yang sempat tersandung isu SARA ketika memberikan ceramah pada musim Pilkada. Dalam ceramahnya yang bisa dilihat di <a href="https://youtu.be/VSHNrxS-Ves" target="_blank">sini</a>, Rhoma menyampaikan bahwa apabila Ahok yang non-Muslim, yang cina, yang Kristen sampai jadi Gubernur pemimpin ibu kota, maka umat Islam menanggung aib bersama di dunia internasional, innalilahi. Tutur kalimat Rhoma disampaikan dengan santun, tetapi apakah isinya damai dan tidak menyakiti hati orang lain? Sebagaimana pernah saya bahas pula di artikel-artikel saya sebelumnya, pembahasan dalam tafsir-tafsir klasik terkait isu pemimpin non-Muslim pun juga sangat konfrontatif karena non-Muslim dicap sebagai kaum yang tak bisa dipercaya dan senantiasa menginginkan keburukan untuk kaum Muslim. Apakah pernyataan seperti ini sah-sah saja disampaikan di muka umum sepanjang katanya hanya dikonsumsi untuk umat Islam di masjid, sekolah, atau pondok pesantren, terlepas apakah kalimat itu juga sangat menuduh, sangat tendensius, dan menyakiti hati orang lain? Jangan lupa juga bahwa ketentuan Pasal 156 dan 156a KUHP terkait penodaan terhadap golongan dan agama tidak memberikan pengecualian bahwa hal itu boleh sepanjang dilakukan di muka orang-orang yang seide (atau paling tidak dianggap seide), yang penting dilakukan di muka umum dan pengertian "di muka umum" sangat luas. <br />
<br />
Saya juga ingat ada yang menggugat Ahok secara perdata gara-gara ada kutipan berita bahwa Ahok menuduh peserta aksi bela Islam pada tanggal 4 November 2016 menerima uang Rp500.000. Walaupun faktanya masih diperdebatkan, tetapi sudah dijadikan dasar bahwa pernyataan menerima uang itu menghina dan menyakiti hati peserta aksi, karena mereka dituduh tidak tulus, sekedar orang bayaran. Kalau pernyataan yang ambigu saja sudah bisa dijadikan dasar untuk menyakiti hati dan orang ternyata bisa tersinggung karena dituduh kurang tulus, apalagi kalau suatu kaum ramai-ramai dituduh penipu, tak bisa dipercaya dan gemar berkonspirasi untuk menjatuhkan orang lain? Bukannya ini seperti sedang menanam bom waktu? Konflik tidak meledak semata-mata karena kebetulan kaum yang dituduh belum bereaksi dengan keras?<br />
<br />
Fenomena kasus Rhoma Irama di atas juga bukan yang pertama kalinya, nuansa khotbah demikian terkait relasi kaum Muslim dan non-Muslim sudah sering saya baca dan dengar (khususnya melalui khotbah Shalat Jumat). Saya bersyukur paling tidak Rhoma Irama akhirnya tak sampai dipenjara dan saya juga tak akan menyarakan agar pelaku-pelaku lainnya dipenjara karena sedari dulu saya meyakini penjara bukan solusi efektif untuk kasus-kasus seperti ini. Tetapi kita harus sadari bahwa fenomena itu ada, dan sangat sulit untuk menyatakan bahwa fenomena tersebut sesuai dengan nilai kebhinekaan dan pluralisme yang menurut Sohibul Iman sudah diadopsi dengan tegas oleh umat Islam di Indonesia.<br />
<br />
Saya juga heran dengan kalimat Sohibul Iman terkait hak mayoritas untuk dihormati, yang ia ulang setidaknya 3 kali termasuk kalimat di atas yang saya kutip, yaitu: "...<i>Ki Bagus Hadi Kusumo sebagai pokok pimpinan Muhammadiyah bersama tokoh umat Islam lainnya yang berbesar hati mengesampingkan aspirasi umat Islam, dengan merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya dengan sila pertama Pancaila...</i>" dan "<i>...Kebinekaan tercermin ketika kelompok mayoritas mampu menghargai dan mengayomi minoritas. Di saat yang sama, kelompok minoritas juga bisa memosisikan diri dan bersikap hormat serta toleran kepada kelompok mayoritas</i>."<br />
<br />
Dengan kalimat di atas, Sohibul Iman seakan memberikan isyarat bahwa kaum mayoritas sudah beberapa kali mengalah, itu bonus bagi yang minoritas, oleh karena itu sebaiknya yang minoritas harus tahu diri dan lebih hormat kepada yang mayoritas. Untuk keperluan diskusi ini, saya akan berasumsi bahwa mayoritas dalam pandangan Sohibul Iman maksudnya merujuk kepada kaum Muslim Indonesia, dan kalau saya salah, silakan dikoreksi.<br />
<br />
Inilah alasan mengapa saya heran. Kalau benar bangsa ini pluralis, nasionalis dan berkebhinekaan, mengapa masih mengkotak-kotakkan mayoritas versus minoritas? Dalam kebhinekaan, seharusnya kita tidak lagi mempersoalkan mayoritas versus minoritas tetapi kepentingan bersama sebagai satu bangsa. Akan sangat berbahaya kalau kemudian kaum mayoritas merasa bahwa keamanan dan penerimaan terhadap kaum minoritas adalah sebuah <i>privilege </i>khusus bagi yang minoritas, suatu hak yang bisa diambil sewaktu-waktu kalau kaum mayoritas sudah merasa gerah dengan minoritas.<br />
<br />
Ambil kembali kasus Rhoma Irama. Suka tidak suka, fakta bahwa Rhoma adalah seorang Muslim dan juga cukup dikenal sebagai penyanyi religius berkorelasi positif dengan lepasnya ia dari jerat hukum. Ketika saya menonton acara TV terkait pembelaan bagi Rhoma (yang bisa dilihat di <a href="https://youtu.be/j_WwZ6WbDUg" target="_blank">sini</a>), pembelaan yang saya tangkap bagi Rhoma adalah bahwa ia hanya menyampaikan ajaran agama semata dan dikhususkan bagi umat Islam, dan oleh karena itu tidak bisa dianggap SARA. Anda juga bisa membaca <a href="http://m.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/08/08/20173/kh-hasyim-muzadi-ceramah-rhoma-irama-tidak-mengandung-sara/" target="_blank">artikel ini</a> sebagai basisnya. Kalau dicermati lebih jauh isi artikel itu, tampak sekali sikap yang plin-plan. Tindakan Rhoma bukan SARA, tetapi negara Indonesia diakui bukan negara Islam melainkan negara demokrasi sehingga sebaiknya kampanye jangan menggunakan unsur SARA. Ibarat kata, di lubuk hati masing-masing, orang-orang ini mengakui bahwa apa yang disampaikan tidak baik, tapi sudah kadung kejadian, dan berjalan di masyarakat, jadi ya apa boleh buat. Dari kasus ini dan bagaimana ia berakhir, terdapat suatu pesan implisit bagi kaum minoritas: yang mayoritas berhak untuk menyampaikan ajaran agama, termasuk menjelekkan yang minoritas, dan yang minoritas harus tahu diri, jangan balik mengkritik, jangan marah atau menyinggung yang mayoritas, karena nanti bisa dilibas. Dimana kebhinekaan, nasionalisme, dan pluralismenya?<br />
<br />
Saya tidak heran kemudian contoh-contoh yang diberikan oleh Sohibul Iman terkait kontribusi umat Islam di masa lalu tidak nyambung dengan konsep kebhinekaan yang diusungnya sendiri. Contoh yang diberikan terkait perjuangan tokoh-tokoh Muslim Indonesia dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa. Apa hubungannya? Penjajahan tidak enak buat sebagian besar masyarakat Indonesia, jelas banyak yang berminat untuk melawan. Mayoritas penduduk pada masa itu pun juga orang Islam, secara statistik wajar kalau tokoh Islam juga lebih banyak yang muncul. Justru akan sangat memalukan kalau umat Islam mayoritas namun ternyata lebih banyak tokoh perjuangan non-Muslim yang muncul di permukaan. Alih-alih prestasi luar biasa, kontribusi umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan. Dan yang lebih penting lagi, kalau kita sepakat ini semua demi NKRI, maka kontribusi itu seharusnya juga bebas dari pamrih. Lagi-lagi ini bukan <i>privilege</i> yang diberikan oleh kaum mayoritas, ini juga bukan soal siapa yang lebih banyak berkontribusi. Dalam perjuangan kemerdekaan serta membangun dan merawat bangsa ini, kita semua setara dan sederajat. Yang ahistoris itu justru sikap mengklaim bahwa NKRI muncul karena kontribusi umat Islam semata atau minimal didominasi oleh umat Islam sehingga yang lainnya sebenarnya cuma penggembira yang keberadaannya cuma buih tak bermakna.<br />
<br />
Saya juga harus mempertanyakan usulan Sohibul Iman terkait solusi bagi NKRI berikut: "<i>Adalah sunnatulah untuk membangun bangsa ini harus dengan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling bekerja sama. Kita tidak bisa membangun Republik ini hanya dengan melibatkan golongan dan kelompok tertentu, tanpa bantuan dan kerja sama elemen bangsa lainnya. Bangsa ini lahir dan bisa tetap tumbuh berdiri tegak hingga saat ini karena rasa kebersamaan yang terus terjalin</i>." Dalam artikel itu Sohibul Iman juga menekankan pentingnya rasa saling memiliki dan saling mempercayai di antara masyarakat Indonesia. Bagaimana caranya kita membangun rasa kebersamaan ketika kita menanamkan doktrin bahwa satu kaum seharusnya dikeluarkan dari garis kepemimpinan? Bagaimana caranya menanamkan kepercayaan kalau diajarkan satu kaum tak bisa dipercaya sama sekali? Bagaimana caranya mengajarkan saling memiliki kalau kaum minoritas tahu bahwa kaum mayoritas sudah diajarkan untuk senantiasa menghalangi kaum minoritas untuk terjun dalam pemerintahan dan politik?<br />
<br />
Rasanya terkesan formalistik sekali (<i>for lack of a better word </i>secara orang gampang sekali tersinggung) ketika orang dengan santai berbicara bahwa mereka tidak menghalangi orang non-Muslim jadi pemimpin, mereka hanya tidak akan memilih saja sekaligus menyampaikan kepada publik seluas-luasnya bahwa orang non-Muslim tidak layak jadi pemimpin. Ibarat kata kita sampaikan kepada seseorang, "saya tidak akan menghalangi anda untuk maju, tetapi saya akan habisi anda di segala tahap setelah anda coba-coba maju supaya semua upaya anda itu sia-sia." Kalau cara demikian bisa efektif menimbulkan kebersamaan, saling percaya dan saling memiliki di antara kita, tolong hubungi saya, kita mungkin bisa menyusun teori ilmu sosial baru dan siapa tahu menang Nobel Perdamaian.<br />
<br />
Tidak mengherankan juga aksi-aksi belakangan ini sangat peduli dengan jumlah. Angka-angka berseliweran dari ratusan ribu sampai jutaan dengan segala dalilnya. Selama ini acara doa bersama dan demo-demo jarang ada penghitungan resmi, kita tahunya ramai atau tidak ramai. Tapi kali ini isunya sensitif. Sohibul Iman di pembukaan artikelnya menulis: "<i>Ketika jutaan umat Islam berjuang membela martabat agamanya secara damai dan konstitusional karena merasa kesucian kitab sucinya dinodai oleh ucapan seorang pejabat publik, tiba-tiba ada sebagian kelompok yang justru menstigmanya sebagai sikap anti kebinekaan dan anti-NKRI</i>." Harusnya kita bertanya, mengapa tuduhan itu sampai muncul? Mengapa ada yang mempertanyakan hubungan aksi keagamaan dengan isu kebhinekaan? Kita harus jujur dan adil sejak dalam pikiran kalau kita ingin menjawab pertanyaan ini dengan serius.<br />
<br />
Sebagaimana saya sampaikan di atas, isu penodaan agama ini tidak bebas konteks, ada isu yang jauh lebih besar di belakangnya. Selama para pemuka agama Islam masih tanggung-tanggung dalam menentukan batasan soal pemimpin Muslim ini, maka selama itu juga akan ada konflik karena jujur saja, bahkan dengan menggunakan standar logika yang paling rendah sekalipun, sulit sekali menyatukan konsep larangan memilih/mengangkat pemimpin non-Muslim dengan nilai-nilai nasionalisme dan pluralisme. Sedikit banyak, hal ini bisa menjelaskan mengapa aksi-aksi belakangan ini berfokus pada isu penistaan agama dan jumlah massa dan juga mengapa MUI tidak menjelaskan sedikitpun soal apa yang dimaksud dengan pemimpin dan apa batasannya ketika menyatakan Ahok sudah menista agama.<br />
<br />
Mungkin karena kalau ditelusuri lebih jauh sampai ke inti permasalahan, seluruh bangunan kasus penodaan agama bisa runtuh dan secara politis, isu ini tidak akan lagi seksi. Apabila kita membawa kasus ini ke sekedar penodaan agama, terlepas apa alasan dibelakang penodaan itu, saya tidak heran kalau ada banyak umat Islam yang berminat turut serta. Judulnya saja bela Qur'an dan bela Islam. Kadang keimanan memang tidak harus didukung analisis mendalam, judul itu sudah cukup untuk memanggil banyak orang untuk datang. Tapi ketika kita tekan soal ayat yang diributkan, kita akan sadar, bahwa praktek seperti ini memang sudah lama berjalan dan dibiarkan walaupun bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.<br />
<br />
Gerakan kebhinekaan juga nampaknya tidak bisa mengartikulasikan isu ini dengan baik, mungkin takut dianggap mempertanyakan keyakinan sebagian umat Islam (saya sebut sebagian karena umat Islam pun juga sebenarnya terdiri dari beragam faksi dan keyakinan, mengklaim umat Islam sebagai hanya satu kesatuan adalah upaya yang ahistoris), sehingga akhirnya terjebak dalam nuansa yang sama, sekedar balas berbalas aksi, berharap jumlahnya akan lebih besar. Tapi debat dan perang tanding jumlah massa ini tidak substantif. <i>Might does not make right</i>, kalau cuma sekedar banyak-banyakan saja sudah dianggap benar, negara dan sistem demokrasi akan bubar. Salah besar kalau demokrasi dipikir hanya soal siapa yang lebih banyak. Inti dari demokrasi ada di <i>check and balance</i>. Pemikir demokrasi tahu bahayanya tirani mayoritas maupun tirani minoritas. Ini mengapa diperlukan sistem yang bisa menjaga jangan sampai ada tirani, sistem yang bisa membawa kita bisa menyelesaikan perselisihan dengan cara yang damai dan beradab.<br />
<br />
Dalam konteks Indonesia, kita perlu menyudahi unjuk kekuatan ini, kita juga tidak bisa berhenti sekedar dengan slogan kebersamaan dan saling memahami. Demokrasi tidak bisa berjalan dengan slogan, kita harus berani melihat inti permasalahan yang sebenarnya dan berani mengambil sikap dengan segala konsekuensinya. Kalau Sohibul Iman konsekuen dengan kalimatnya ini: "<i>Tindakan yang merusak kebinekaan dan persatuan bangsa oleh siapa pun, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya, apa pun partai dan posisi jabatannya, maka harus diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law),</i>" maka kita harus jelas mendefinisikan, yang dimaksud dengan merusak kebhinekaan itu seperti apa? Bagaimana caranya mendefinisikan kesetaraan di hadapan hukum, khususnya dengan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dan nilai-nilai kebangsaan yang sedang kita anut?<br />
<br />
Kalau sebagian dari kita begitu bersemangat ingin menyelesaikan perkara penodaan agama ini melalui sistem pidana, apa mereka juga siap apabila hal yang sama diterapkan kepada mereka? Atau kita masih akan berargumen bahwa apabila yang berbuat adalah kaum mayoritas, maka tidak ada masalah dan tidak merusak kebhinekaan seperti dalam kasus Rhoma? Kalau demikian, sebenarnya kita sedang bicara nilai macam apa? Saya sangat berharap agar permasalahan krusial ini tidak lagi sekedar dibahas di level kulitnya, ada banyak hal yang dipertaruhkan. Naif kalau kita melihat ini hanya sekedar perkara penodaan agama oleh pejabat publik, kita saat ini sebenarnya sedang memperdebatkan konsep kebangsaan kita sendiri, soal nilai mana yang akan lebih diutamakan.<br />
<br />
Saya tidak tahu apakah kita berani membuka pintu untuk perdebatan itu lagi. Tapi kalau kita setuju NKRI harga mati dan konsep final, kita juga harus menerima konsekuensinya seutuhnya, dan kemungkinan besar hanya ada 2 konsekuensi logis. Pertama, konsep menghalangi orang dipilih hanya karena agama semata tak bisa hidup dalam NKRI, atau kedua, kalaupun kita akan membiarkannya hidup karena alasan kebebasan berpendapat, maka kritik dan otokritik terhadap konsep itu juga harus dibuka sebebas-bebasnya, dan isu penodaan agama kali ini juga harus ditutup sebagai bagian dari kritik yang valid.<br />
<br />
Kalau kita berharap demokrasi bisa hidup cuma dengan kesantunan, kemungkinan besar kita akan kecewa. Kesantunan, sekalipun merupakan sikap yang baik, tidak menyelesaikan perbedaan, hanya menekan sementara perbedaan keyakinan yang ada di masyarakat. Kalau kita hanya mengajarkan kesantunan dan represi penyampaian ide, di satu titik, ia akan meledak, dan kita akan terlambat untuk mencegahnya karena akumulasi kekesalan yang selama ini tidak ditunjukkan ke permukaan. Demokrasi lebih butuh keterbukaan dan untuk bisa terbuka, setiap pihak harus dijamin terlebih dahulu bahwa ia bisa menyampaikan pendapatnya dengan aman dan jauh dari ancaman kekerasan dan pidana. Hanya dalam situasi demikian, dialog bisa berjalan, dan kita bisa sama-sama lebih memahami poin masing-masing pihak, sekaligus lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Setidaknya saya meyakini bahwa kondisi ini bukan suatu hal yang mustahil untuk tercapai di Indonesia, sekecil apapun probabilitasnya. Hidup Indonesia! </span><br />
</span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-80784352344084828322016-11-14T12:45:00.071+07:002020-12-22T16:33:55.927+07:00Menyingkap Logika Kalimat Dibohongi Pakai Al-Maidah: 51<div style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: left;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7TnmDgVPmxQEmrkCAzYS8qpgFYH-juDBTVzAAnx9I830IjnZGmjp-s5pTi-N1R-0_Cs0wyNlNOetHUvPhUKTIwI2CyY5rSBX06RMdF4iqF6w0Djp1jGALQng9KEoZzzcYIfq9/s2048/pexels-abdulmeilk-aldawsari-36704.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7TnmDgVPmxQEmrkCAzYS8qpgFYH-juDBTVzAAnx9I830IjnZGmjp-s5pTi-N1R-0_Cs0wyNlNOetHUvPhUKTIwI2CyY5rSBX06RMdF4iqF6w0Djp1jGALQng9KEoZzzcYIfq9/w320-h213/pexels-abdulmeilk-aldawsari-36704.jpg" width="320" /></span></a></div></div><div style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><span></span></div><div style="text-align: justify;"><div style="text-align: left;"><br /></div><span><div style="font-family: inherit; text-align: left;"><span style="font-family: inherit;">Melanjutkan artikel saya mengenai tafsir atas Al-Maidah:51 dan politik Islam di Indonesia serta konsep penodaan agama di Indonesia, artikel ini akan membahas lebih jauh mengenai salah satu isu yang paling diributkan dalam kasus tuduhan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yaitu pengertian kalimat "dibohongi pakai Al-Maidah 51...". Kalimat inilah yang dianggap menjadi dasar utama penghinaan/penodaan atas agama Islam dan para ulama, setidaknya menurut fatwa MUI (atau mungkin lebih tepatnya disebut sebagai pernyataan sikap MUI dikarenakan belum ada fatwa dari komisi fatwa MUI).</span></div><span style="font-family: inherit;"><a name='more'></a></span><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><br /></div><span style="font-family: inherit;"><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit;">Saya sangat menyarankan agar kedua artikel di atas dibaca secara bersamaan sebagai satu kesatuan dengan artikel ini supaya nantinya tidak ada lagi komentar yang menanyakan mengapa pembahasan tafsir Qur'an-nya kurang mendalam atau rujukannya kurang banyak, dan sebagainya, padahal ada artikel yang ternyata dilewatkan. Kalau memang masih dirasa kurang juga setelah membaca semua artikel itu beserta seluruh tautan di dalamnya, saya dengan senang hati menerima masukan konkrit untuk memperbaiki artikel-artikel tersebut.</span></div></span></span></div><span style="font-family: inherit;"><div style="text-align: left;"><br /></div><span><div style="text-align: left;"><span>Kembali ke logika kalimat di atas, saya pikir tidak bisa sesederhana dijawab dengan meme "makan sendok vs makan pakai sendok". Meminjam </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">kutipan yang kabarnya diambil dari Albert Einstein</span></a><span>, "<i>everything must be made as simple as possible, but not simpler.</i>" Dan mengutip </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">Barack Obama</span></a><span>, "<i>I cannot stand it, when people reduce complex ideas to some simplistic catchphrase.</i>" Jawaban yang menyederhanakan cenderung menimbulkan tanggapan yang tak kalah menyederhanakan, ujung-ujungnya menjadi tidak logis. Mungkin meme dan pesan singkat melalui WhatsApp atau status Facebook bagus untuk keperluan propaganda yang mudah ditangkap dengan cepat oleh kebanyakan orang (terlepas yang ditangkap benar atau tidak), tapi hal ini tentunya tak bisa diterima dalam suatu diskusi serius yang terkait dengan kehidupan orang banyak. Untuk itu, kita perlu membahas beberapa tafsiran yang mungkin muncul dari kalimat Ahok di atas dan kita akan analisis apakah kalimat tersebut bisa tegas diartikan telah menodai agama dan ulama Islam.</span></div></span><span><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Tafsiran pertama yang menganggap Ahok telah menghina Islam adalah karena melalui pernyataan tersebut, Ahok telah menyatakan Al-Maidah:51 sebagai suatu kebohongan, dan menuduh ayat kitab suci sebagai suatu kebohongan atau setidaknya mengandung kebohongan pada umumnya merupakan tindakan penodaan terhadap agama tersebut (saya akan jelaskan di bawah ini mengapa saya menggunakan kalimat "pada umumnya"). Tafsiran ini sebenarnya cukup mudah untuk dibantah. Kata "pakai" dalam kalimat Ahok mengindikasikan bahwa surah Al-Maidah: 51 yang dipakai untuk membohongi, bukan Al-Maidah:51 yang disebut berbohong atau mengandung kebohongan. Seandainya Ahok mengatakan "dibohongi Al-Maidah:51", tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa Ahok baru saja menuduh ayat Al-Qur'an berbohong.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Beberapa orang berargumen bahwa keberadaan atau ketiadaan kata "pakai" tersebut sebenarnya tidak mengubah arti kalimat, misalnya dengan memberikan contoh meme "ditusuk pakai jarum" versus "ditusuk jarum" dan "digebuk pakai martil" versus "digebuk martil". Intinya seakan sama dalam 2 kalimat tersebut, yaitu ada orang yang ditusuk dengan menggunakan jarum serta dipukul dengan menggunakan martil. Ujungnya sama-sama menyakitkan. Pertanyaannya, apakah meme tersebut relevan dalam kasus Ahok? Apakah meme itu telah berhasil membuktikan bahwa Ahok tetap langsung menghina Qur'an sekalipun ada penggunaan kata "pakai"? Menurut saya, tidak. </div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Mari kita cermati kembali tipe kalimat yang kedua. "Ditusuk jarum" dan "digebuk martil" bisa juga berarti anda ditusuk oleh sebuah jarum dan digebuk oleh sebuah martil. Ganti jarum dengan Pak Guru misalnya, dan akan ada perbedaan signifikan antara "ditusuk pakai Pak Guru" dengan "ditusuk Pak Guru." Yang pertama berarti anda ditusuk dengan menggunakan seorang guru, dan dalam pengertian kedua, anda ditusuk oleh guru tersebut. Dalam kasus martil dan paku, kemungkinan besar kita akan beranggapan bahwa pengertian kedua adalah mustahil dikarenakan kita meyakini bahwa palu dan paku adalah benda mati yang tidak bisa melakukan perbuatannya sendiri, sehingga kita segera menyimpulkan bahwa kedua variasi kalimat di atas, baik yang menggunakan kata "pakai" maupun tidak, memiliki arti yang sama. Tetapi seharusnya kita menyadari bahwa kesimpulan yang kita ambil tersebut bukan dikarenakan isu tata bahasa, melainkan konsekuensi logika kita dalam memahami konteks palu dan paku sebagai benda mati.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Justru apabila kita menggunakan logika paku dan palu sebagaimana pengertian orang awam di atas, kita seharusnya berkesimpulan bahwa Ahok tidak menuduh Qur'an berbohong secara langsung karena bagaimanapun juga, harus ada aktor yang menggunakan Qur'an terlebih dahulu untuk berbohong sebagaimana harus ada orang yang menusuk dengan paku dan memukul dengan martil supaya paku bisa menusuk dan martil bisa memukul. Pengertian di atas tidak berlaku hanya apabila kita beranggapan bahwa Qur'an dapat bertindak dan berbicara sendiri. Tetapi kalau kita meyakini bahwa Qur'an sebagai Kalam Ilahi dapat berbicara sendiri, maka contoh kalimat yang lebih tepat untuk dirujuk adalah "ditusuk pakai Pak Guru" versus "ditusuk Pak Guru" dan dalam kasus tersebut, penggunaan kata "pakai" menjadi sangat signifikan dampaknya sebagaimana sudah kita uraikan di atas.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span>Namun katakanlah logika di atas tidak diterima, dan orang bersikeras menyatakan bahwa Ahok tetap telah mengklaim bahwa ayat Qur'an berbohong dan oleh karenanya, berdasarkan Pasal 156a KUHP, Ahok tetap harus dipidana karena menuduh bohong sama artinya dengan melakukan penodaan (ini hanya penyederhanaan, kasusnya tidak segampang itu). Dengan logika yang sama, umat non-Muslim juga akan memiliki dasar yang kuat untuk melaporkan banyak khatib dan guru agama Islam. Dalam Qur'an terdapat kalimat-kalimat yang pada dasarnya menyatakan bahwa Injil Nasrani dan Taurat Yahudi telah mengandung kebohongan karena isinya ditambah-tambahi, dikurangi, dan/atau disembunyikan oleh pemuka agamanya. Hal ini bisa dibaca dengan mudah misalnya dalam </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">Ali-Imran:71</span></a><span>, </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">Al-Baqarah 146</span></a><span>, dan </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">Al-An'am:91</span></a><span>. </span></div></span><span><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Umat Muslim tentu bisa mengklaim bahwa Qur'an mengandung kebenaran mutlak dan bahwa tuduhan terhadap pemuka agama lain tersebut adalah benar adanya. Saya cukup yakin bahwa kebanyakan anak-anak Muslim yang menerima pendidikan Islam di sekolah atau pesantren sekurang-kurangnya pernah diajarkan mengenai ayat-ayat di atas. Namun demikian, menyatakan bahwa isi suatu kitab suci sudah ditambah-tambahi, dikurangi, atau disembunyikan sama saja dengan menyatakan bahwa kitab suci itu mengandung kebohongan karena isinya tak murni lagi dari Tuhan. Dengan logika yang sama dengan para pengusung pemidanaan Ahok, penganut agama lain juga dapat berargumen bahwa kitab sucinya telah jelas-jelas dihina karena mereka juga pasti merasa agamanya benar dan kitab sucinya tidak mengandung kebohongan sedikit pun. Apakah kemudian para ulama Muslim yang mengajarkan ayat-ayat Qur'an di atas berikut tafsirnya kepada para murid-muridnya di berbagai pesantren dan pengajian harus diproses pidana karena dianggap menodai agama Kristen? Ini harus dipikirkan konsekuensinya supaya kita adil sejak dalam pikiran.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Sebagaimana telah saya bahas dalam artikel sebelumnya, ketentuan penodaan agama dalam KUHP bersifat umum dan tidak pro agama tertentu. Tidak ada ketentuan dalam pasal tersebut yang menyatakan bahwa karena umat Islam percaya kitab suci lain sudah tak lagi murni, maka umat Islam berhak mengajarkan di muka umum bahwa pemuka agama lain sudah melakukan kebohongan. Ketika Ahok dianggap tidak toleran karena sebagai non-Muslim berani mengomentari urusan internal keyakinan agama Islam, siapkah kita umat Muslim untuk dituduh hal yang sama karena mengkomentari keyakinan agama lain, bahkan sekalipun jika kita meyakini hal tersebut 100% sebagai firman Allah yang benar?</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Lebih penting lagi, kalau masih juga menganggap bahwa Ahok sedang langsung menyerang Al-Maidah:51, sebenarnya apa yang dimaksud dengan kebohongan dalam kasus ini? Bagian mana dari Al-Maidah:51 yang dianggap sebagai suatu kebohongan? Dari berbagai komentar di media yang saya baca, konteks penodaan oleh Ahok ini umumnya dikarenakan ia, sebagai non-Muslim, dianggap telah mempertanyakan dan meremehkan isi dan tafsir Al-Maidah:51 yang menyatakan bahwa kaum non-Muslim tidak bisa dijadikan sebagai pemimpin oleh kaum Muslim. Namun sebagaimana telah saya bahas panjang lebar dalam artikel sebelumnya, tafsir atas kalimat <i>awliya</i> dalam Al-Maidah:51 sangat beragam dan kompleks karena konsep negara dan pemimpin dalam Islam itu belum selesai didefinisikan dan disepakati oleh semua ahli hukum Islam.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Saya tak habis pikir misalnya ketika saya membaca sebuah pesan WhatsApp yang cukup populer dari seorang "ahli linguistik" yang menyimpulkan bahwa Al-Maidah:51 tidak mungkin bisa dipakai untuk berbohong karena kalimatnya sangat jelas dan tidak memperkenankan tafsiran lain dari sudut pandang bahasa Indonesia, yaitu janganlah menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, titik. Padahal kalimat itu merupakan terjemahan ayat dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Tanpa membaca ragam tafsir dan kitab fikih serta menganalisis uraian pendapat-pendapat dalam kitab-kitab tersebut beserta konsekuensi logisnya, termasuk konteks dari ayatnya, bagaimana caranya anda bisa gampang menyimpulkan bahwa ayat tersebut sudah jelas secara mutlak sekedar mengandalkan terjemahan Qur'an?</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Dalam satu bentuk tafsir yang ekstrim namun konsisten, ayat tersebut dapat berarti mengharamkan semua bentuk pemimpin non-Muslim di Indonesia di segala lini jabatan terlepas apapun mekanisme pemilihan/pengangkatannya. Saya tidak heran apabila orang yang mempercayai hal ini sepenuh hati sebagai tafsiran Al-Maidah:51 menjadi tersinggung karena keyakinannya dikatakan sebagai suatu kebohongan (walaupun sebagaimana saya akan jelaskan lebih jauh di bawah ini, tersinggungnya seseorang tidak serta merta berarti unsur pidana menjadi terpenuhi dalam kasus penodaan agama). Tapi siapa yang berani mengakui hal tersebut di muka umum tanpa tedeng aling-aling?Mengingat pendapat demikian akan bertentangan dengan bentuk negara kesatuan RI dan berpotensi dianggap pidana makar, saya ragu ada ulama yang akan berani datang ke kantor polisi sebagai saksi ahli dan menyatakan bahwa semua pejabat non-Muslim di Indonesia haram (dimana secara teoretis, semua jenderal dan kepala staf di kalangan polisi dan TNI yang non-Muslim pun seharusnya haram dan dipecat).</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Ini mengapa saya berkali-kali mempertanyakan pernyataan sikap MUI terkait kasus Ahok karena pernyataan sikap tersebut tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan pemimpin maupun batasannya namun langsung mengklaim dengan tegas bahwa Ahok telah menodai agama Islam. Menyatakan Ahok menodai agama memang jauh lebih gampang kalau konsep pemimpin tidak dijelaskan sama sekali, tapi apakah ini bentuk keadilan dalam pikiran dan tindakan? Karena menyangkut hidup orang dan mempengaruhi pemikiran banyak orang, saya rasa wajar kalau kita juga mendapatkan kejelasan mengenai tafsir soal pemimpin yang hendak diusung di Indonesia ketimbang berputar-putar terus menerus dalam ketidakpastian dan kalimat yang bersayap. </div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Terlepas dari permasalahan krusial yang dihadapi tafsiran pertama, ada pula tafsiran kedua atas kalimat Ahok, yaitu bahwa sekalipun pernyataan Ahok tidak menghina Qur'an secara langsung, tetapi tetap mengindikasikan bahwa ada orang yang menggunakan Qur'an untuk berbohong. Ada 2 variasi dari tafsiran ini. Variasi pertama, Ahok menodai Islam karena mengklaim bahwa orang bisa berbohong dengan menggunakan ayat-ayat Qur'an, padahal seharusnya Qur'an yang suci dan mengandung kebenaran mutlak tidak bisa dijadikan alat untuk berbohong atau menyebarkan kebohongan. Variasi kedua, Ahok menodai Islam karena menuduh Nabi, para sahabat dan ulama telah berbohong kepada umat Islam dalam mengajarkan isi dan kandungan dari Al-Maidah:51. Ada lompatan logika yang cukup jauh dalam kedua variasi tafsiran ini.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span>Menanggapi variasi pertama, saya pikir ide bahwa Qur'an tidak bisa dipakai untuk berbohong muncul karena keyakinan umat Muslim bahwa isi Qur'an sudah pasti benar semua dan sempurna sehingga seharusnya tidak mungkin bisa dipakai untuk mendukung sesuatu yang tidak benar. Tetapi seperti pernah saya sampaikan di artikel sebelumnya, apa yang dimaksud dengan benar dan sempurna? Apakah maksudnya absolut tanpa ada ruang perubahan dan pembacaan yang berbeda ataukah maksudnya ada fleksibilitas dan ragam tafsir? Dalam pengertian pertama, absolutisme tidak memperkenankan satupun pengesampingan ketentuan dalam Qur'an, tidak ada satupun klaim yang salah, karena satu kesalahan saja akan menghancurkan seluruh bangunan kesempurnaan. Realistiskah pendekatan ini? Merujuk ke artikel-artikel saya sebelumnya, jawabannya adalah tidak. Selama ragam penafsiran dan pendapat masih bertebaran, kebenaran tidak harus bersifat tunggal. Yang paling penting adalah bahwa kebenaran yang kita anut dan dukung itu setidak-tidaknya konsisten secara internal. Jangan lupa firman Allah dalam </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">An-Nisa:82</span></a><span>, "<i>Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an? Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya</i>." Dalam ilmu ekonomi pun, salah satu asumsi rasionalitas adalah adanya konsistensi dalam preferensi seseorang. Konsistensi ini penting supaya lagi-lagi kita bisa adil sejak dalam pikiran. Ini mantra yang akan saya ulang-ulang dalam artikel ini. </span></div></span><span><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Contoh konsistensi: kalau kita menganggap semua pemimpin non-Muslim adalah haram secara universal bagi kaum Muslim, maka logis kalau kemudian kita menyimpulkan bahwa semua warga non-Muslim seharusnya tidak berhak memegang jabatan apapun di bidang pemerintahan di Indonesia dari dulu sampai akhir jaman. Contoh konsistensi lain: kalau kita meyakini bahwa konteks ayat Al-Maidah:51 hanya berlaku untuk situasi perang atau konflik, maka sudah tepat apabila di masa awal Islam, tafsir yang dipilih adalah larangan untuk mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin, dan akan benar juga apabila larangan itu tidak diberlakukan dalam masa damai dan dalam suatu masyarakat majemuk. Anda tidak bisa menganggap ide pertama (larangan pemimpin non-Muslim berlaku universal) dan kedua (larangan pemimpin non-Muslim berlaku situasional) sebagai sama-sama benar, tapi anda bisa memilih diantara kedua ide itu dan melihat apakah anda telah secara konsisten menggunakan ide-ide itu untuk menjawab permasalahan lainnya yang terkait.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Selain itu, ketentuan dalam Qur'an tidak berdiri sendiri, keyakinan normatif mengenai agama Islam dan hukum-hukumnya oleh umatnya, khususnya di Indonesia, hidup bersama-sama dengan norma-norma lainnya yang ada dalam negara, termasuk moral, adat istiadat, agama lain, dan juga hukum dan peraturan perundang-undangan negara tersebut, dimana semua hal itu menciptakan hubungan timbal balik yang kompleks. Dalam konteks tersebut, ayat-ayat Qur'an bisa saja digunakan untuk membohongi orang lain.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Contoh pertama: Qur'an menghalalkan perbudakan dan persetubuhan dengan budak yang kita miliki. Sah-sah saja mengajarkan kebolehan hal tersebut dalam konteks ilmu fikih di forum-forum pengajian. Tetapi menyatakan kepada umat Islam di Indonesia bahwa anda bebas-bebas saja untuk membeli budak wanita dan menikmati persetubuhan dengan budak tersebut di Indonesia jelas merupakan suatu kebohongan. Perdagangan dan pemerkosaan wanita sangat terlarang dan diganjar pidana berat di negeri ini.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Contoh kedua: saya sempat melihat meme tentang membohongi/membodohi istri dengan menggunakan surah An-Nisa': 3 terkait kebolehan berpoligami. Apakah mungkin bisa terjadi kebohongan? Mungkin sekali. Kalau seorang suami di Indonesia menyatakan kepada istrinya bahwa dia sah-sah saja menikahi wanita lain sebagai istri kedua, ketiga, dan keempat tanpa persetujuan istri pertamanya dan/atau pengadilan dikarenakan hal itu dibolehkan Qur'an, tentu saja dia sedang membohongi istrinya tersebut karena berdasarkan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, tidak sah suami menikahi istri kedua dan seterusnya tanpa persetujuan istri pertama dan/atau pengadilan. Dan karena pernikahan itu tidak sah, istri pertama seharusnya juga bisa melaporkan si suami karena telah melakukan perzinahan berdasarkan KUHP apabila si suami sudah bersetubuh dengan "istri" barunya itu.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span>Contoh ketiga: seorang suami mengaku sudah sah menalak istrinya dengan ucapan "saya talak kamu" tanpa ada putusan Pengadilan Agama dan mengusir si istri keluar dari rumahnya serta menikahi wanita baru. Dasarnya? Menggunakan surah </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">At-Talaq</span></a><span>. Dalam kitab-kitab fikih klasik pun umumnya disepakati para ulama bahwa suami berhak untuk menalak istrinya tanpa ada batasan putusan pengadilan. Apakah si suami bisa dianggap berbohong kepada istrinya dengan menggunakan ayat Qur'an di Indonesia? Tentu saja. Talaknya belum sah karena tidak diucapkan di depan pengadilan agama sesuai dengan ketentuan UU Pengadilan Agama dan mereka masih berstatus suami istri. Si suami juga tidak bisa misalnya kemudian tiba-tiba menikah lagi tanpa persetujuan istri yang di-"talaknya" itu.</span></div></span><span><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Orang bisa mengklaim bahwa ada ragam perbedaan tafsir atas kasus-kasus di atas dan bahwa mereka yang menyampaikan isi ayat-ayat di atas tidak sedang berbohong. Tepat sekali, sekedar menyampaikan ayat tidak berarti mereka otomatis berbohong. Inilah mengapa kita harus mendalami apa yang dimaksud dengan berbohong. Kebohongan adalah menyampaikan sesuatu yang tidak benar, yang tidak sesuai dengan faktanya. Dalam konteks ketiga kasus di atas, kebohongannya timbul bukan karena mereka menyampaikan tafsiran tertentu dari Qur'an (yang memang ada dalam ranah ajaran agama Islam), kebohongannya muncul karena mereka menggunakan tafsiran itu untuk menutupi fakta lainnya tentang hukum yang berlaku di Indonesia dan mengklaim bahwa tafsiran mereka sah-sah saja untuk digunakan menggantikan ketentuan hukum Indonesia padahal hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. </div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Begitu pula dengan kasus Al-Maidah:51, dengan tidak jelasnya definisi pemimpin dalam hukum Islam, orang yang hanya menggunakan Al-Maidah:51 khusus untuk mengharamkan jabatan gubernur oleh orang non-Muslim dan khusus dalam konteks Pilkada bisa saja dianggap berbohong, misalnya karena: (i) ia menutup-nutupi keberadaan tafsir lain yang membolehkan (dengan menyatakan bahwa semua yang bertentangan dengan idenya dianggap salah, kafir, kurang beriman, atau masuk neraka), atau (ii) ia tak jujur mengakui bahwa tafsiran itu mungkin tak cocok dengan negara kesatuan Indonesia dan hukum yang berlaku di Indonesia, atau (iii) ia menggunakan ayat tersebut khusus untuk keperluan politik praktis sehingga ia pilih-pilih ketika akan menggunakan ayat tersebut, namun tidak berani menggunakannya untuk konteks lain yang lebih luas, termasuk pemimpin non-Muslim di lini jabatan yang lain.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span>Atau mungkin kalau masih tidak percaya juga dengan logika di atas, silakan langsung mendengarkan penjelasan dari Habib Rizieq sendiri dalam </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">video ini</span></a><span> yang membahas ulama <i>su'</i>, alias ulama jahat yang berani menjual ayat Qur'an dan Hadits untuk berbohong. Saya tidak akan menuduh Habib Rizieq sedang menista agama karena memang apa yang disampaikan olehnya benar. Qur'an dan Hadits bisa saja digunakan untuk berbohong, tergantung bagaimana cara memakainya dan dalam konteks apa. Lebih jauh soal ulama <i>su'</i>, silakan membaca penjelasan yang mudah dipahami di </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">situs Hizbut Tahrir ini</span></a><span>. </span></div></span><span><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Menanggapi variasi yang kedua, perlu dicatat bahwa Ahok tidak menyebutkan dengan tegas siapakah pihak yang berbohong menggunakan Al-Maidah:51 tersebut, dan karena Pasal 156(a) KUHP tentang penodaan agama mengandung unsur niat sengaja menghina/memusuhi, harus dicek kembali konteks pernyataan Ahok tersebut kepada Ahok sendiri, apakah memang maksudnya ditujukan kepada Nabi, para sahabat Nabi, <i>tabi'in</i>, para ulama salaf, atau orang lain, misalnya politisi dan ulama <i>su</i>'. Kemudian juga harus dicek kepada Ahok apakah maksud pernyataannya tersebut berlaku khusus kepada orang-orang tertentu, atau berlaku untuk semua pihak yang menggunakan Al-Maidah:51? Kalau maksudnya berlaku umum, tuduhan penghinaan mungkin bisa lebih mudah dikenakan. Kalau khusus kepada orang-orang tertentu? Harus dicek kembali sebagaimana telah saya bahas di atas mengenai pengertian berbohong.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Mungkin akan ada yang berargumen, tidak penting niat Ahok kemana. Bahkan sekalipun Ahok hanya mengkhususkan diri pada orang-orang tertentu, misalnya yang memang menggunakan ayat itu untuk keperluan politik praktis, toh pada dasarnya tetap saja ada orang-orang yang murni mengajarkan larangan multlak mengambil pemimpin non-Muslim dalam Al-Maidah:51 sebagai keyakinan yang benar dalam agama Islam. Dan karena kalimat Ahok sangat luas, dengan demikian orang-orang ini pun juga masuk dalam lingkup kalimat Ahok, termasuk tentunya Nabi, para sahabat, dan ulama-ulama tertentu yang kemudian dianggap sebagai pembohong oleh Ahok. Apakah ini merupakan kesimpulan yang tepat?</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Sebagaimana sudah saya uraikan berkali-kali: (i) tafsiran pemimpin dan teman setia sampai saat ini masih belum disetujui secara tegas dalam diskusi hukum Islam, dan (ii) pihak-pihak yang berhak mewakili umat Islam dalam kasus penodaan agama juga tidak jelas. Bagi mereka yang meyakini fleksibilitas tafsiran atas Al-Maidah:51 supaya konsisten secara internal dan juga konsisten dengan sistem negara Indonesia yang berlaku saat ini, Nabi, para sahabat, dan ulama klasik yang menolak pemimpin non-Muslim tidak bisa dianggap sebagai pembohong atau sedang menyampaikan kebohongan. Mengapa? Karena wajar mereka mengambil posisi demikian dalam situasi dan konteks yang sedang mereka hadapi. Dengan demikian ketika Ahok menyatakan ada orang yang dibohongi oleh Al-Maidah:51, saya kesulitan menghubungkannya sebagai penghinaan terhadap Nabi dan para ulama salaf karena di pikiran saya, konteks Al-Maidah:51 yang diambil Nabi dan para ulama salaf di masa lalu sudah tepat dan pragmatis, walaupun mungkin tak lagi sesuai dengan konteks di Indonesia masa kini dikarenakan perubahan situasi dan kondisi. </div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Sedari awal, hanya mereka yang benar-benar menolak orang non-Muslim sebagai pemimpin dan teman setia secara keseluruhan (dengan segala konsekuensinya) yang mungkin masih memiliki landasan moral untuk mengajukan tuntutan penodaan agama. Itu pun juga masih dipertanyakan apakah mereka berhak mewakili semua umat Muslim di Indonesia? Apakah mungkin penodaan agama itu hanya berlaku untuk sebagian kaumnya saja? Ini belum pernah bisa dijawab dengan tuntas, dan kemungkinan besar tak akan pernah bisa dijawab dengan tuntas. Fakta bahwa ada demonstrasi yang besar tidak menjadi landasan bahwa mereka yang berdemonstrasi bisa mengatasnamakan demo mereka atas nama semua umat Islam di Indonesia yang jumlahnya paling tidak mencapai 200 juta orang. </div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span>Dan sebagaimana juga sudah sering saya sampaikan, penggunaan pemidanaan untuk kasus penodaan agama yang didasarkan hanya pada adanya pihak-pihak tertentu yang merasa tersinggung adalah pemidanaan yang tak berdasar dan rentan penyalahgunaan. Ini bukan pertama kalinya kita menghadapi kasus seperti ini di Indonesia. Kasus yang dulu menginspirasi saya untuk menulis </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">kemalasan dalam berinvestasi untuk mempelajari agama sendiri</span></a><span> adalah kasus karikatur ISIS oleh Jakarta Post. Masih ingat kasus ini? Jakarta Post memuat karikatur yang menggabungkan bendera ISIS dengan lambang tengkorak. Beberapa orang dengan cepat menuduh Jakarta Post telah menghina agama Islam karena mencatut kalimat syahadat dalam bendera dan kemudian menyamakannya dengan kekerasan dan pembunuhan. Redaktur Jakarta Post kemudian dilaporkan ke polisi atas dasar kasus penodaan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a KUHP.</span></div></span></span><p></p><p class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: inherit;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; mso-margin-top-alt: auto;"></p><div style="text-align: left;"><span style="font-family: inherit;">Sampai hari ini saya tak habis pikir bagaimana caranya kasus yang sudah jelas seperti di atas bisa berkembang menjadi bola liar? Paling tidak redaktur Jakarta Post cukup waras untuk mengalah dan akhirnya mengajukan permintaan maaf dan setahu saya kemudian kasusnya tidak diteruskan. Padahal apakah ada yang salah dengan karikatur itu? Karikatur itu sedang menyerang kekejian ISIS yang mungkin saat itu belum terlalu terkenal di Indonesia. Karikatur yang lebih parah bermunculan di Timur Tengah dan sejauh yang saya ketahui, tidak ada yang mempermasalahkan isinya dari sudut pandang penodaan agama. Kenapa? Karena mereka mengerti konteksnya dan jujur saja, tidak sulit untuk mengetahui soal ISIS. Investasi waktunya sangat kecil, sangat mudah, tinggal cek melalui google.</span></div><span style="font-family: inherit;"><div style="text-align: left;"><br /></div><span><div style="text-align: left;">Tetapi daripada berpikir sejenak, banyak orang yang ternyata lebih suka langsung emosi dan terburu-buru menuduh telah terjadi penodaan agama oleh Jakarta Post. Alasannya karena <i>ghirah</i> ingin membela nama baik Islam. Padahal kalau direnungkan sebentar saja, seharusnya kita semua berkesimpulan bahwa pihak yang sedang menodai agama Islam dalam kasus ini adalah ISIS karena mereka mencatut kalimat syahadat dalam bendera mereka yang dipenuhi dengan darah dari pembunuhan tanpa hak!</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Saya pun juga tak habis pikir ketika saya menerima beberapa tanggapan atas artikel saya mengenai Karikatur ISIS yang pada intinya menyampaikan bahwa Jakarta Post tetap harus dihukum karena menghina agama Islam. Saya tak yakin mereka membaca artikel saya sampai selesai ataupun mungkin pernah membaca barang yang namanya koran. Tak heran kalau secara statistik, tingkat literasi kita sangat memprihatinkan.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Jadi ya, pemidanaan tidak bisa muncul cuma karena ada banyak orang yang tersinggung. Kita harus memeriksa terlebih dahulu apakah ketersinggungan itu objektif atau tidak, berdasar atau tidak, konsisten atau tidak dengan pilihan pemikiran yang diambil dan sebagainya, dan lebih penting lagi, apakah ketersinggungan itu sesuai dengan fakta yang ada atau tidak. Jangan sampai kasus seabsurd karikatur ISIS itu terulang kembali dalam skala yang lebih besar. Ini buang-buang waktu namanya. </div><div style="text-align: left;"> </div><div style="text-align: left;">Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan beberapa catatan terkait kebebasan penyampaian pendapat mengenai isu penodaan agama ini. Pertama-tama, berhubung ada yang sempat memberikan komentar bahwa bisa jadi artikel-artikel saya sebelumnya adalah artikel "pesanan", saya perlu mengklarifikasikan bahwa semua artikel yang saya tulis di sini merupakan artikel yang dibuat secara independen. Saya bukan bagian dari tim sukses kandidat manapun dalam proses Pilkada Jakarta dan tidak menerima uang sepeserpun untuk menulis artikel ini. Justru saya kehilangan banyak <i>opportunity cost</i> karena waktu saya untuk hal yang lain dipakai untuk menulis artikel-artikel ini. Jangan semua opini dan analisis dilihat hanya dalam konteks membela Ahok atau melawan Ahok, membela Islam atau tak cinta Islam sama sekali, dunia tidak hitam putih dan cuma terdiri dari 2 kubu. Penyederhanaan yang berlebihan itu sebenarnya bentuk arogansi tingkat tinggi, persis seperti kalimat George W. Bush dulu setelah tragedi 9/11, "<i>either you are with us or you are with the terrorist</i>." </div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Saya pribadi melihat kasus ini sudah terlalu berlebihan, begitu banyak sumber daya terbuang untuk membahas satu kasus yang timbul karena kesalahpahaman yang diperbesar untuk tujuan yang tidak jelas. Terserah buat mereka yang sedang bermain politik panas lewat agama atau mereka yang memang sedari awal hanya ingin menyalurkan kebencian pribadi, sampai-sampai harus memanfaatkan orang lain yang ikhlas untuk kepentingannya tersebut, itu tanggung jawab mereka sendiri di akhirat dan bukan target dari tulisan saya. Apapun yang saya tulis hanya akan jadi pepesan kosong buat orang-orang tersebut. Target saya adalah saudara-saudara saya yang saya yakini tulus rasa cintanya kepada agama Islam namun mungkin karena sedang emosi sebagai akibat <i>ghirah</i> mereka yang bergelora, menjadi kurang logis dan kurang cermat dalam menyikapi satu kalimat. Tarik nafas dalam-dalam. Dunia tidak sedang mengalami keruntuhan.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Saya sangat tidak rela kalau ternyata ada pihak-pihak yang memanfaatkan saudara-saudara saya tersebut. Seharusnya kita lebih berkontribusi dalam mendidik umat dengan menyampaikan pengetahuan yang dianalisis dengan hati-hati secara runtut dan sistematis. Kita tempatkan permasalahan, konsekuensi, dan solusinya secara proporsional. Emosi gampang dibakar, apalagi ketika terkait hal-hal yang kita cintai, tetapi seperti saya sampaikan berulang kali, umat Islam jauh lebih baik dari ini, dan sebagai mayoritas, seharusnya kita bisa memberikan contoh yang lebih baik kepada semua orang bukan malah mencari justifikasi dengan misalnya menyebut-nyebut keburukan kaum atau pihak lain atau bahwa orang lain juga melakukan hal yang sama. Umat terbaik akan selalu memberikan contoh terbaik bahkan ketika seisi dunia berseberangan dengan kita. Apa iya masalah penodaan agama oleh Ahok ini adalah masalah yang layak mendapatkan perhatian penuh dari begitu banyak orang? Dan kalau iya, mau sampai kapan?</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;"><span>Saya juga ingin kita menghindari apa yang disebut dengan </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/8078435234408482832"><i><span style="color: blue; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-ID;">preference falsification</span></i></a><span>, konsep yang diperkenalkan oleh Timur Kuran yang intinya adalah kegagalan untuk menyampaikan keinginan kita yang sesungguhnya dikarenakan tekanan sosial. Hal mana terjadi karena kita tidak ingin mengalami penolakan atau serangan dalam situasi ketika kita bimbang antara hasrat untuk menjaga integritas pemikiran dengan keinginan untuk melindungi dari dari persepsi buruk orang lain. Sebagaimana saya sampaikan di atas, dunia tidak hitam putih, dan ada beragam pendapat di luar sana, termasuk dalam isu-isu agama dan moralitas.</span></div></span><span><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Ketika ada satu kelompok yang mengklaim bahwa anggotanya berada di jalur kebenaran sementara yang bertentangan dengan kelompok itu dicap sesat atau setidaknya dianggap kurang beriman, tidak semua orang yang berseberangan dengan mereka berani bersuara untuk melawan karena takut dicap demikian. Dan artikel saya ini bermaksud untuk membantu orang-orang yang menghadapi dilema itu. Dengan wafatnya Nabi, tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang berhak untuk mengklaim kebenaran absolut. Seyakin-yakinnya saya bahwa saya benar dan orang lain salah pun, belum tentu akhirnya saya yang benar dan mereka yang salah, demikian pula sebaliknya. Meyakini kebenaran pribadi sah-sah saja, tetapi membawa isu itu ke ranah keimanan adalah hal yang berbahaya (apalagi kalau ditambah dengan bumbu-bumbu fitnah). Bukan saja tuduhan kekafiran dan kelemahan iman yang salah akan berbalik ke si penuduh sendiri, tetapi hal itu juga akan membuat diskusi terhenti dengan cara yang kasar, bahkan sekalipun kalimatnya disampaikan dengan santun. </div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Tuduhan masalah keimanan pada dasarnya merupakan bentuk serangan pribadi, <i>ad hominem</i>, yang mengalihkan kita dari permasalahan yang sebenarnya, yang rentan disalahgunakan untuk membungkam suara mereka yang berbeda. Tiap negara dan komunitas punya cara dan istilah yang berbeda-beda, tapi intinya sama, membungkam! Di Amerika Serikat misalnya, menuduh orang lain tak beriman ketika kita berbeda pendapat mungkin akan menjadi bahan tertawaan. Bagi kebanyakan warga Amerika, isu iman kemungkinan besar sudah tak layak lagi dianggap serius. Tapi mereka punya gantinya, <i>political correctness</i>, dan saya sudah sering melihat bagaimana <i>political correctness</i> kemudian digunakan untuk membungkam suara orang yang berbeda pendapat. Sama intinya dengan mereka yang menggunakan isu keimanan di Indonesia, sama-sama pandai menyembunyikan wajah aslinya yang tiran.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Mereka yang mendukung keragaman, yang meminta para pihak yang terlibat untuk meredam emosi dan mengedepankan rasionalitas sedikit saja, tak bisa serta merta dianggap orang yang tak beriman (atau dicap anti Islam, pendukung Cina kafir, penjual agama, dan sebagainya yang serupa). Saya pun bisa saja menuduh balik bahwa mereka yang emosi dan menganggap diri sangat beriman itu sebenarnya tak juga beriman-iman amat karena tak jelas apakah mereka sendiri paham apa yang sedang mereka bela dan yakini. Bagaimana caranya orang bisa beriman tanpa ilmu? Seperti kisah Imam Al-Ghazali dalam Minhajul Abidin, orang yang beribadah tanpa ilmu justru gampang berakhir dalam ketersesatan. Saya juga bisa mengklaim bahwa mereka penuh dengan kesombongan. Modal mengutip beberapa ayat, lalu yakin kalau mereka sudah berada di jalur surga dan yang berbeda ada di jalur neraka. Saya pikir seharusnya sudah jadi pengetahuan umum di kalangan umat Islam bahwa kesombongan dalam keimanan adalah belenggu kuat yang bisa mencegah seseorang masuk surga. Apalagi kalau orang yang mengaku beriman ini mudah sekali melontarkan tuduhan-tuduhan tak berdasar dan fitnah kepada mereka yang berbeda pendapat. Apa ini ciri keimanan yang benar dan bermartabat?</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Namun demikian, kalau kita hanya saling balas berbalas dengan menggunakan retorika seperti di atas, kita tidak akan maju-maju. Dialog kita hanya akan berakhir dengan serangan pribadi antar satu sama lain, kita hanya akan saling ribut mengklaim sebagai manusia yang paling benar dan makin terpecah belah, tapi tujuan argumentasi yang seharusnya untuk saling mencerahkan dan saling mengisi malah akan lenyap. Ini bukan demokrasi yang saya harapkan, dan ini juga bukan impian yang saya nantikan sebagai tujuan akhir dari negara Indonesia. Apalagi setelah melihat hasil pemilihan presiden di Amerika Serikat kemarin.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Tak lama setelah menyaksikan hasil akhir tersebut, serta membaca pidato penutupan dari Donald Trump, Hillary Clinton dan Barack Obama, saya mengirimkan email simpati kepada keluarga angkat saya di Amerika. Saya paham betapa beratnya keadaan mereka ketika mereka dihadapkan pada 2 pilihan yang mungkin tak mereka sukai dan hasilnya berakhir seperti ini, tetapi mereka tetap bersemangat dan percaya bahwa demokrasi akan bertahan, bahwa kekalahan kali ini tidak membuat orang putus asa untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini, dan bahwa dialog itu mungkin. Saya pun juga percaya hal yang demikian. Syaratnya hanya satu, kita harus berani bersuara, mengedepankan dialog yang sehat, dan yang lebih penting lagi, kita juga harus lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat yang sangat runcing.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Saya tidak akan berhenti berbicara untuk mendukung keragaman dan penggunaan akal sehat dalam memikirkan isu-isu keagamaan dan kebijakan publik terkait isu-isu keagamaan tersebut. Saya juga meyakini bahwa tidak ada satu otoritas tunggal dalam menafsirkan isu-isu keagamaan dan bahwa semua opini dari berbagai otoritas tersebut seharusnya selalu ditelaah dengan hati-hati oleh umat Islam di Indonesia. Orang tidak bisa mengklaim dia benar semata-mata karena dia punya otoritas atau merasa punya otoritas. Kita butuh skeptisisme yang sehat, bukan kebiasaan untuk menelan semua hal bulat-bulat.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Bagi saya, nilai-nilai di atas sangat layak untuk terus diperjuangkan, khususnya demi menjaga nama baik Islam sebagai agama yang canggih dan tahan banting sampai akhir zaman. Itulah <i>ghirah</i> saya dan saya tidak takut mengungkapkannya ke muka umum karena saya tahu apa yang sedang saya bicarakan. Saya sungguh-sungguh berharap bahwa orang-orang lain yang mungkin masih bimbang, yang merasa enggan bersuara karena takut dianggap berbeda, dapat lebih terbuka dengan keyakinannya itu. Ada begitu banyak alternatif pemikiran di luar sana dan tidak seorangpun berhak ditekan dengan ancaman dalam bentuk apapun untuk menyampaikan keyakinannya. Sekali lagi saya tekankan, dunia tidak hitam putih, dunia tidak hanya terdiri dari 2 kubu, dan mereka yang masih saja mengklaim bahwa mereka satu-satunya pihak yang benar di muka bumi ini adalah pihak yang delusional dan arogan. </div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Kembali ke kasus Ahok, wajar-wajar saja kalau orang tidak suka dengan gaya komunikasi Ahok. Namun ketidaksukaan kita tersebut jangan sampai membuat kita menjadi tidak adil dan konsisten dalam memberikan pendapat dan analisis kita. Ada perbedaan mendasar antara kalimat yang membuat kesal orang secara sosial dan kalimat yang secara hukum menyebabkan timbulnya pelanggaran hukum. Ada isu-isu yang memang harus diselesaikan secara hukum dan ada juga isu yang sebenarnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Lebih penting lagi, harus ada juga kedewasaan dari semua pihak ketika hasil akhirnya nantinya tidak sesuai dengan apa yang kita mau. Baik bagi yang mendukung Ahok dipenjara, maupun yang tidak, mengingat proses hukum memang sudah berjalan.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Untuk membedakan isu-isu tersebut, pada akhirnya dibutuhkan integritas atau bahasa lainnya, adil sejak dalam pikiran. Kalau ada integritas, isu independensi atau partisan pun sebenarnya tidak akan lagi menjadi soal, karena baik kecintaan maupun kebencian pada satu orang atau satu kaum tidak menyebabkan pendapat serta merta berubah. Ini mengapa saya selalu bertanya, benarkah kita pantas mengaku-ngaku kalau kita memiliki <i>ghirah</i> yang murni membara ketika kita ternyata belum memahami apa yang kita bela seutuhnya, apalagi kalau kita bahkan tak pula berminat untuk memahami lebih jauh hal yang kita bela itu? Jawabannya saya serahkan kepada masing-masing pembaca.</div></span></span><p></p><p class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm; mso-margin-top-alt: auto;">
</p><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><br /></p><p class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 13.5pt; line-height: 107%;">
<!--[endif]--></span></p>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-27621434487216961992016-11-03T10:30:00.008+07:002020-12-22T16:01:59.864+07:00Memahami Penodaan Agama Seutuhnya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2lDVB9UMHTboqTbEEMiNbcfRPQ8gFJXXMO5ZY9yLvGgiop8wZMFsi6pE4nPwukYZI52dVPBV4hve0gpBUTU5cN0MamE_Z212Rxcc57exA6CyJ4ZIvxVOW4dWJ_S8MbHzTYQam/s2048/pexels-ahmed-aqtai-2233416.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2lDVB9UMHTboqTbEEMiNbcfRPQ8gFJXXMO5ZY9yLvGgiop8wZMFsi6pE4nPwukYZI52dVPBV4hve0gpBUTU5cN0MamE_Z212Rxcc57exA6CyJ4ZIvxVOW4dWJ_S8MbHzTYQam/s320/pexels-ahmed-aqtai-2233416.jpg" width="320" /></span></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><span style="font-family: inherit;">Setelah keluarnya artikel saya yang berjudul <a href="http://www.pramoctavy.com/2016/10/al-maidah-51-dan-politik-islam-yang-tak.html" target="_blank">Al-Maidah:51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas</a>, saya menerima beberapa pertanyaan yang intinya kira-kira seperti ini: memperhatikan ragam diskusi tentang surah Al-Maidah: 51, apakah kasus pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (atau lebih sering disebut Ahok) di Kepulauan Seribu dapat dianggap sebagai penistaan terhadap agama Islam yang merupakan suatu tindak pidana berdasarkan hukum Indonesia? Artikel ini akan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.<span><a name='more'></a></span><br /><br />Ketentuan terkait pidana penistaan agama diatur dalam Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama ("<b>PNPS 1965</b>") yang menambahkan ketentuan baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu Pasal 156a yang berbunyi sebagai berikut: "<i>Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan yang Maha Esa</i>."<br />
<br />
Penjelasan resmi dari Pasal 156a di atas menyatakan: "<i>huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini</i>."<br />
<br />
Saya tidak akan membahas lebih jauh apakah penetapan presiden Sukarno di atas sebenarnya bisa dianggap sebagai undang-undang mengingat dari tata peraturan perundang-undangan yang normal, tidak mungkin keputusan presiden bisa mengalahkan atau mengganti ketentuan undang-undang (termasuk menambahkan ketentuan baru dalam KUHP). Jadi saya asumsikan dulu untuk kepentingan pembahasan kita bahwa ketentuan di atas mengikat sebagai suatu undang-undang yang sah.<br />
<br />
Adapun kutipan pernyataan Ahok yang dipermasalahkan dalam kasus ini adalah kurang lebih sebagai berikut: "<i>...bapak ibu ga bisa milih saya, ya kan, dibohongin pakai surat Al-Maidah 51 macam-macam itu, itu hak bapak ibu, ya, jadi kalau bapak ibu merasa ga bisa milih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin itu ya, ga papa, karena ini panggilan pribadi bapak ibu</i>..." Pertanyaan utamanya, apakah potongan kalimat kurang lebih 20 detik dari total temu wicara sekitar 45 menit itu memenuhi unsur tindak pidana penodaan agama? Video lengkapnya bisa dilihat di <a href="https://www.youtube.com/watch?v=dkeOkOmd6_Y" target="_blank">sini</a>.<br />
</span><span id="fullpost"><span style="font-family: inherit;">
<br />
Sebagaimana telah beberapa kali saya sampaikan mengenai pemidanaan atas kasus-kasus terkait penghinaan dan penodaan agama (di <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/10/kasus-florence-sihombing-dan-kegagalan.html" target="_blank">sini</a>, di <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/11/perlukan-penghinaan-dipidana.html" target="_blank">sini</a>, dan di <a href="http://www.pramoctavy.com/2012/09/once-again-on-blasphemy.html" target="_blank">sini</a>), saya selalu menyarankan agar sifat tindak pidananya dihilangkan atau paling tidak dibatasi karena standar yang digunakan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan penghinaan atau penodaan sering kali tak jelas dan oleh karenanya pasal-pasal tersebut menjadi rentan disalahgunakan. Khusus untuk penghinaan yang terkait isu agama, saya juga pernah membahas panjang lebar tentang bagaimana seharusnya umat Islam bersikap melalui artikel saya di <a href="http://www.pramoctavy.com/2015/01/bolehkah-membunuh-penghina-nabi.html" target="_blank">sini</a>. Tapi mengingat peraturannya sendiri masih belum dicabut dan nampaknya ada cukup banyak elemen masyarakat yang sedang emosi akibat pernyataan di atas, kita perlu mendalami lebih jauh unsur penodaan agama dalam kasus ini.<br />
<br />
Merujuk kepada PNPS 1965 sebenarnya tidak banyak membantu karena baik pasal maupun penjelasannya tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan menodai agama, hanya dikatakan bahwa tindak pidana ini adalah yang semata-mata ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Berarti setidaknya ada 2 unsur yang harus dianalisis, unsur niat dan unsur memusuhi atau menghina (mengingat unsur mengeluarkan perasaan di muka umum sudah jelas terbukti dari adanya video dan juga acara temu wicara di Pulau Seribu itu). Terkait pembuktian niat, saya akan serahkan kepada ahli lainnya, termasuk mungkin ahli psikologi dan bahasa tubuh karena acaranya sendiri berlangsung cukup lama dan nampaknya sulit memisahkan potongan kalimat di atas dari konteks acara secara keseluruhan untuk memahami apakah ada niat menghina/menodai.<br />
<br />
Saya lebih tertarik kepada konsep penghinaannya sendiri. Dari berbagai analisis yang beredar, penghinaan atau penistaan agama dianggap muncul karena adanya kalimat "dibohongi pakai surah Al-Maidah 51." Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa (dapat dibaca di <a href="http://berita.islamedia.id/2016/10/inilah-fatwa-lengkap-mui-ahok-terbukti-menghina-alquran-ulama.html" target="_blank">sini</a>) yang menyatakan bahwa: (i) surah Al-Maidah: 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin dan ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin, (ii) ulama wajib menyampaikan isi surah Al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin muslim adalah wajib, (iii) setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah Al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin, dan (iv) menyatakan bahwa kandungan surah Al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan di atas sebagai sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Qur'an.<br />
<br />
Walaupun definisi penodaan sendiri tidak pernah dijelaskan dalam PNPS 1965, dari sudut pandang logika hukum, paling tidak harus bisa dibuktikan terlebih dahulu bahwa pernyataan Ahok soal dibohongi dengan Al-Maidah 51 adalah suatu kesalahan, khususnya dari segi hukum Islam. Bagaimana caranya kita bisa dianggap menodai sesuatu apabila yang kita sampaikan ternyata benar? Menurut KBBI, menodai bisa berarti mencemarkan, menjelekkan nama baik atau merusak kesucian, keluhuran, dan sebagainya. Sementara bohong didefinisikan sebagai tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Logika ini juga yang nampaknya dipakai dalam Fatwa MUI dimana Fatwa MUI menyimpulkan bahwa pernyataan Ahok tersebut salah dari sudut pandang hukum Islam karena menurut MUI, kaum Muslim wajib memilih pemimpin Muslim dan dengan demikian, mereka tidak dibohongi dengan keberadaan Al-Maidah:51.<br />
<br />
Sebagaimana sudah dibahas di artikel saya sebelumnya, memang banyak tafsir dari ulama klasik yang melarang kaum Muslim menjadikan kaum non-Muslim sebagai pemimpin, walaupun ada juga tentunya pendapat lain yang lebih kontemporer yang menganggap bahwa larangan ini hanya berlaku untuk pemimpin kafir yang zalim atau khusus dalam situasi perang/permusuhan. Isu utamanya adalah konsep dan definisi pemimpin tak bisa dipisahkan dari bentuk negara yang menaungi keberadaan si "pemimpin" tersebut. Dan karena belum ada pendapat tunggal mengenai bentuk negara dalam hukum Islam, dengan sendirinya, konsep dan definisi "pemimpin" juga menjadi ambigu. Belum lagi ditambah fakta bahwa istilah <i>awlia</i> dalam Qur'an (sebagaimana juga dimuat dalam Al-Maidah:51) tidak terbatas hanya ditafsirkan sebagai pemimpin, namun juga teman setia yang cakupannya sebenarnya jauh lebih luas.<br />
<br />
Fatwa MUI sayangnya tidak menjelaskan lebih jauh soal apa yang dimaksud dengan pemimpin, padahal kuncinya ada di situ. Uniknya, fatwa MUI kali ini juga tidak memberikan satupun kutipan dari Qur'an, Hadis dan kitab-kitab fikih (yang biasanya dikutip oleh MUI) untuk mendukung ide bahwa pemimpin non-Muslim adalah haram dan bahwa semua umat Islam wajib meyakini kebenaran hal tersebut. Kerancuan ini yang kemudian menimbulkan multi tafsir dan juga memunculkan tuduhan dari sebagian orang bahwa fatwa ini bersifat politis, bukan lagi murni akademis. Kenapa saya sebut akademis? Karena fatwa ulama tidak memiliki kekuatan hukum mengikat baik dari sudut pandang hukum Indonesia maupun hukum Islam (yang menyebabkan munculnya ide <i>forum shopping</i> atau <i>talfiq</i>). Orang bisa bebas mengikuti atau menolak suatu fatwa sehingga umumnya fatwa ditulis dengan dasar-dasar yang dianggap ilmiah sehingga isinya bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Apalagi dalam kasus kita, konsekuensi dari kesimpulan yang dimuat dalam fatwa MUI di atas sangat besar karena fatwa tersebut secara implisit mempertanyakan akidah orang-orang Muslim yang tidak menganggap bahwa larangan memilih pemimpin non-Muslim merupakan kebenaran yang bersifat absolut. Soal akidah tentunya tak bisa sembarangan. Saya pernah menulis di <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/12/persaingan-sehat-antar-agama-dan-aliran.html" target="_blank">sini</a> tentang mengapa isu hukum yang seringkali memiliki perbedaan pendapat seharusnya tidak dibawa ke ranah akidah.<br />
<br />
Maka kita harus bertanya, ketika MUI atau pun organisasi atau ulama lainnya sedang membahas konsep pemimpin di Indonesia, sejauh mana mereka akan mendefinisikan istilah itu dan sampai sejauh mana larangan memilih pemimpin kafir itu berlaku? Apakah hanya akan berhenti di jabatan gubernur pada saat Pilkada? Atau mau dibawa ke ranah jabatan lain? Jelas bahwa kalau kita bicara pemimpin, seharusnya tidak hanya terbatas pada gubernur. Malah saya yakin kalau hanya dikhususkan pada gubernur, kita justru akan dianggap berbohong.<br />
<br />
Ambil contoh kitab <i>Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah</i> yang sempat saya bahas di artikel sebelumnya. Ketika Al-Mawardi membolehkan adanya jabatan Menteri Pelaksana yang boleh diisi oleh orang non-Muslim, Al-Mawardi berargumen bahwa hal itu dikarenakan si Menteri memiliki kewenangan terbatas (hanya melaksanakan hal-hal yang diinstruksikan oleh Khalifah) serta tak memiliki kewenangan anggaran maupun kemampuan mengangkat pegawai. Kalau kita mengaplikasikan konsep ini di Indonesia (wewenang terbatas dan tidak meliputi kuasa anggaran dan pegawai), definisi pemimpin bisa meliputi banyak sekali jabatan, mulai dari level ketua RT, ketua RW, lurah, bupati/walikota, gubernur, hakim agung, hakim konstitusi, kepala departemen dan badan-badan negara (seperti OJK, BI, dan BKPM), menteri sampai Presiden. Besar kemungkinan jabatan wakil (wakil gubernur, wakil presiden, dan sebagainya) juga masuk dalam konsep ini. Kita bahkan belum bicara di level teman setia yang seharusnya bisa meliputi sahabat, partner bisnis, rekan kerja atau bos di perusahaan. Inikah yang dimaksud dengan pemimpin oleh MUI dan para pihak yang mendukungnya? Kenapa tidak dipertegas seperti itu sekalian? Karena kalau demikian penafsiran yang dipilih dan diamini oleh MUI dan para pendukungnya, klaim bahwa pernyataan Ahok di Pulau Seribu adalah suatu kesalahan tentunya menjadi logis dan masuk akal, keberadaan pemimpin non-Muslim 100% haram dalam segala bentuk dan jabatan.<br />
<br />
Namun apabila kita konsekuen memilih penafsiran ini, keharaman memilih pemimpin non-Muslim seharusnya bukan saja terbatas pada kasus dimana rakyat sedang atau akan memilih pemimpin mereka di level Pilkada atau Pilpres, tetapi berlaku juga pada semua pejabat Muslim yang hendak memilih dan mengangkat pejabat non-Muslim. Dalam penafsiran ini, Presiden Jokowi, selaku orang Muslim, sudah tak lagi beriman ketika mengangkat Ignasius Jonan sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral karena Jonan orang Katolik (dan jelas jabatan Menteri ESDM memiliki wewenang yang luas, apalagi jabatannya sangat strategis dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak). Lagipula, apa alasannya kalau kata "memilih" hanya dibatasi pada memilih dalam Pemilu? Toh bagi sebagian ulama, Pemilu dan demokrasi juga tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Memilih tidak harus selalu dalam konteks demokrasi. Istilah yang lebih tepat sebenarnya adalah "menjadikan."<br />
<br />
Konsekuensi lebih lanjutnya, sistem yang memungkinkan terpilihnya pemimpin non-Muslim juga seharusnya haram. Dalam kaidah hukum Islam yang sangat terkenal, ketika suatu tindakan diharamkan, semua tindakan yang membantu terciptanya tindakan itu juga haram (contoh: kalau minum alkohol haram, maka menjual dan memproduksi alkohol juga haram walaupun tidak diminum). Dengan sendirinya, bentuk negara kesatuan Republik Indonesia pun harus diharamkan karena negara Indonesia memperbolehkan majunya calon non-Muslim dalam setiap pemilihan pemimpin dan juga membolehkan orang non-Muslim untuk memegang jabatan tertentu dalam pemerintahan. Bagaimana mungkin kita membiarkan sistem yang memfasilitasi orang non-Muslim berjalan sementara kita meyakini bahwa kaum Muslim tak boleh dipimpin oleh secuil pun kaum non-Muslim? Mungkin bentuk negara yang benar adalah ketika ada segregasi yang jelas antara kaum Muslim dan non-Muslim, sistem pajak saat ini dihapuskan dan orang-orang non-Muslim diwajibkan membayar <i>jizyah</i>.<br />
<br />
Tak hanya konsep negara kesatuan yang haram. Para <i>founding fathers</i> Muslim di masa lalu juga sebenarnya telah melakukan perbuatan haram dengan menjadikan <i>founding fathers</i> non-Muslim sebagai kawan setia dalam berjuang melawan penjajahan. Seharusnya mereka semua meyakini sebagai kebenaran mutlak bahwa kaum non-Muslim tak bisa dipercaya dan selalu menginginkan hal-hal yang buruk bagi kaum Muslim (lihat sumber tafsirnya dalam artikel saya tentang Al-Maidah: 51). Jadi, apakah ini tafsir yang akan kita ambil? Kalau benar kita ambil, saya cukup yakin bahwa kita baru saja melakukan perbuatan makar terhadap negara Indonesia karena menolak bentuk negara kesatuan. Sesuatu yang anehnya didiamkan saja selama ini walaupun sebenarnya merupakan tindak pidana serius berdasarkan KUHP.<br />
<br />
Sampai di sini mungkin ada yang berpendapat bahwa tafsiran di atas terlalu berlebihan atau mungkin maksudnya cuma satir. Tidak, saya tidak sedang menyusun tulisan satir atau sarkasme. Saya sedang serius menyampaikan konsekuensi logis suatu pemikiran, konsekuensi yang seringkali dilewati atau dianggap angin lalu. Omong kosong kalau kita mengklaim memiliki integritas pemikiran, bebas kepentingan dan murni <i>ghirah</i>, tetapi tak mau berpikir mendalam soal konsekuensi pemikiran sendiri.<br />
<br />
Lagi pula, memangnya apa alternatif lainnya yang bisa membuat suatu tafsiran konsisten dan tak mengandung kebohongan? Definisi pemimpin hanya terbatas pada gubernur? Hal itu lebih tak jelas lagi dalilnya. Konsep pemilihan maksudnya hanya dalam batasan Pemilu? Wong konsep pemimpin yang dipilih rakyatnya saja belum disepakati kesesuaiannya dengan hukum Islam. Dan katakanlah kita aplikasikan ini hanya dalam konteks Pemilu, apa dasarnya untuk menyatakan bahwa pejabat Muslim bebas dari kewajiban untuk memilih (baca menunjuk/menjadikan) pejabat lain yang juga beragama Islam? Atau pemimpin yang wajib Muslim itu terbatas pada pemimpin dengan jumlah rakyat, pegawai, luas wilayah dan anggaran minimum tertentu? Batasannya seperti apa? Hal tersebut juga tak ada dalil eksplisitnya dalam Qur'an maupun Hadis, alias kita bisa menyusun teori kita sendiri. Perlu diingat, teori terkenal mengenai bentuk negara yang dikembangkan oleh Al-Mawardi sendiri sebenarnya tidak terlalu banyak mengutip Qur'an dan Hadis karena memang tidak ada pembahasan yang eksplisit dan detail mengenai konsep negara dan pemerintahan apalagi bentuk teknis soal wewenang dan persyaratan masing-masing pejabat. Buku Al-Mawardi ditulis sekitar 500 tahun setelah Islam berdiri dan Al-Mawardi mempelajari praktek yang terjadi di lapangan dalam kurun periode itu, yang tak lain adalah eksperimen Islam dalam menyusun sistem politik.<br />
<br />
Atau mungkin kita bisa berdalil bahwa karena Indonesia bukan negara Islam, jadi wajar-wajar saja kalau sistemnya memungkinkan orang non-Muslim diangkat menjadi pemimpin. Yang penting yang Muslim tidak memilih yang non-Muslim. Tapi ini hanya berlaku dalam sistem Pemilu, bagaimana kita menjelaskan hal tersebut dalam kasus pemilihan pemimpin yang tidak melibatkan Pemilu, misalnya melalui komite atau pejabat tertentu? Apakah ini berarti mereka yang berada di pemerintahan harus mengeluarkan syarat baru bahwa semua orang non-Muslim tidak lagi boleh mengikuti lelang jabatan atau pemilihan dalam bentuk apapun demi mengikuti fatwa MUI? Bagaimana dengan keimanan orang-orang ini yang telah membiarkan orang non-Muslim ikut serta dalam proses seleksi kepemimpinan padahal mereka memiliki kewenangan untuk mengubah persyaratan tersebut?<br />
<br />
Lalu mengapa cuma pemimpin? Mengapa tidak berangkat lebih jauh sampai ke level teman setia yang sebenarnya merupakan tafsiran awal dari Al-Maidah:51? Batasannya seperti apa? Tidak jelas. Contoh: perdagangan dengan orang kafir sah-sah saja katanya, tetapi kapan perdagangan sehari-hari berubah jadi pertemanan setia? Yang kafir tidak boleh jadi pelanggan tetap yang Muslim? Tiap hari kita pergi berinteraksi selalu disertai dengan niat bahwa kita tidak mengakui kebenaran agama Nasrani sedikit pun dan bahwa semua interaksi ini hanya sikap luar saja sekedar membina hubungan manusia yang minimal? Lelah sekali hidup seperti itu. Tetapi kalau mengaku <i>kaffah</i>, ya kenapa tidak sekalian bagi mereka yang memiliki keyakinan akan salahnya menjadikan orang non-Muslim sebagai pemimpin dan teman setia? Wajar orang akan mempertanyakan kualitas sikap yang hanya setengah-setengah atau yang mau enaknya saja, wajar juga kalau ada yang mempermasalahkan semua keributan ini sebagai isu politis ketimbang isu <i>ghirah</i> umat. Bagaimana bisa mengaku punya <i>ghirah</i> tapi bahkan tak paham apa isu yang sedang dibela? <br />
<br />
Perlu dicatat, saya tidak sedang menyarankan agar umat Islam di Indonesia memilih jalur dimana kita putus hubungan dengan orang non-Muslim atau jalur dimana kita menyingkirkan semua kandidat non-Muslim dari kancah perpolitikan dan bisnis. Bukan saja hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kebhinekaan di Indonesia dan tentunya Konstitusi kita dan Pancasila, hal tersebut juga justru memperkeruh suasana dan menjelekkan nama Islam, seakan-akan orang Islam selalu berada dalam keadaan paranoid, takut diserang, takut ditipu, takut dimanfaatkan oleh orang non-Muslim. Ini kan aneh. Mayoritas tapi mentalnya lemah. Yang sedang saya pertanyakan adalah bagaimana caranya kita bisa menyatakan bahwa pernyataan Ahok salah dan oleh karenanya menodai Islam tanpa membuat seluruh sistem negara kesatuan Republik Indonesia bubar? Ini yang perlu direnungkan. <br />
<br />
Mungkin tafsiran dimana isu larangan pemimpin non-Muslim ini terbatas pada masa perang dan konfrontasi lebih tepat untuk digunakan. Tafsiran ini sesuai dengan nilai-nilai Islam yang pragmatis sebagaimana sering saya ulas dalam artikel-artikel saya dan tidak perlu membuat kepala kita pusing mencari justifikasi soal mana tipe pemimpin yang haram dan mana yang tidak sebagaimana saya uraikan di atas. Dalam situasi klasik dimana konsep negara belum ada, wilayah masih diperjuangkan satu demi satu, dan dikepung pula dengan wilayah-wilayah yang dikuasai kaum kafir, sangat amat wajar anjuran untuk menolak pemimpin non-Muslim. Ya iya lah, kalau wilayah dan kesatuan kaum saja belum beres, bagaimana caranya mengambil pimpinan dari orang yang sama sekali tidak berbagi nilai yang sama dengan kita? Sementara itu di konsep negara modern yang basisnya lebih banyak ke wilayah dan nasionalisme, memaksakan konsep seperti ini tentu saja sulit. Realitasnya memang sudah berubah, menggunakan konsep yang konfrontatif dengan sesama warga negara sendiri jelas kontraproduktif dan menciptakan suasana yang saling tak mempercayai. Apalagi di Indonesia dimana bentuk negara kesatuan yang berbhineka sudah dianggap final (kecuali kalau anda mungkin memang sudah siap untuk melakukan pidana makar). <br />
<br />
Dan apabila kita memilih tafsiran demikian, mau tidak mau konsep larangan pemimpin non-Muslim yang bersifat umum dan absolut tidak lagi menjadi benar dan dapat dipertahankan. Tidak mungkin kita menyatakan dua ide yang 100% bertentangan sebagai sama-sama benar. Secara logika, hanya salah satu konsep yang bisa kita pilih dengan segala konsekuensinya. Lalu kenapa kemudian ide larangan pemimpin non-Muslim yang umum itu kini disebarluaskan dan dianggap sebagai kebenaran absolut sampai-sampai akidah sesama Muslim bisa dipertanyakan? Silakan direnungkan kembali. Lebih penting lagi, apa urgensinya untuk menciptakan konfrontasi dengan ide demikian di era masa kini?<br />
<br />
Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa terlepas apakah pernyataan Ahok itu benar atau salah secara objektif, paling tidak secara subjektif, pernyataan tersebut telah menimbulkan keresahan dan kemarahan terhadap sebagian umat Islam karena dianggap menyakiti hati mereka. Dengan demikian, kasus ini bisa tetap dianggap sebagai penodaan agama. Ada beberapa permasalahan dengan klaim tersebut.<br />
<br />
Pertama, apabila penodaan atas suatu agama dinilai hanya dari adanya pemeluk agama tersebut yang merasa dinodai, apa dasarnya sebagian umat Islam bisa mewakili sebagian yang lain untuk menyatakan bahwa seseorang telah menodai agama Islam? Apakah jumlahnya harus mayoritas? Atau semua orang Islam harus sepakat terlebih dahulu? Masa pidana dijatuhkan hanya berlandaskan pada banyak-banyakan suara? Penduduk Muslim di Indonesia ada lebih dari 200 juta manusia, kalau yang ribut mencapai 200 ribu orang pun sebenarnya tak sampai 0,1% dari total semua penduduk tersebut. Apakah bisa dianggap mewakili suara kaum Muslim Indonesia? Saya juga belum pernah mendengar adanya doktrin hukum pidana yang menyatakan bahwa seseorang bisa dipidana karena ada banyak orang lain yang beranggapan orang tersebut harus dipidana. Memangnya pengadilan punya nenek moyang anda?<br />
<br />
Lebih penting lagi, seperti juga pernah saya bahas dalam berbagai artikel saya termasuk tentang Al-Maidah:51, mendasarkan pendapat akademik hanya pada suara mayoritas tanpa menelisik lebih jauh isi argumentasinya sangat riskan. Contoh yang sering saya gunakan adalah hukum perbudakan. Kehalalannya, termasuk kehalalan menyetubuhi budak tanpa persetujuan si budak (alias memperkosa) adalah pendapat mayoritas ulama klasik dengan dalil dari Qur'an dan Hadis. Apakah apabila kita tak lagi setuju dengan kehalalan itu dan mengutuk tindakan ISIS yang memperbudak kaum Yazidi maka kita sudah dianggap menodai Islam karena menghina pendapat dari para ulama yang agung di masa lalu? <br />
<br />
Kedua, standar rasa sakit hati yang bisa menyebabkan pidana itu seperti apa? Sekedar sakit hati tanpa alasan apapun atau harus jelas penyebabnya? Bagaimana kalau yang sakit hati tak paham apa yang menyebabkan ia sakit hati? Apakah kemarahan buta tanpa alasan menjadi dasar untuk pemidanaan? Saya pikir semua ahli hukum tahu jawabannya. Jelas tidak. Kalau begini caranya, setiap kali ada 1 atau beberapa orang tersinggung karena ucapan orang lain, terlepas apapun ucapannya, orang lain tersebut bisa dipidana. Sistem hukum yang membiarkan hal tersebut terjadi adalah sistem hukum yang berantakan, bayangkan penyalahgunaannya.<br />
<br />
Saya teringat kasus tragis di Afghanistan ketika seorang wanita Muslim, Farkhunda Malikzada, dihajar ramai-ramai dan dibakar hidup-hidup oleh massa di sekitar sebuah masjid (berita bisa dilihat di <a href="http://www.prospectmagazine.co.uk/world/why-was-a-young-woman-killed-by-a-mob-in-the-streets-of-kabul-farkhunda-afghanistan" target="_blank">sini</a> dan di <a href="http://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/03/afghanistan-farkhunda-forgotten-160317115433960.html" target="_blank">sini</a>). Alasannya? Ia dituduh membakar Qur'an. Ironisnya, penuduhnya sebenarnya seorang penjual jimat yang sedang ditegur oleh wanita itu karena berjualan di depan masjid. Hanya karena teriakan si penjual bahwa Farkhunda telah membakar Qur'an, tanpa pikir panjang, segerombolan orang langsung menyerbu dan membunuh Farkhunda. Yang lebih tak masuk akal lagi, ada imam Masjid di Afghanistan yang sempat membenarkan peristiwa ini karena menurutnya ketika Qur'an dihina, wajar orang murka dan tidak berpikir panjang. Tentu saja ini menimbulkan protes dari ribuan wanita Afghan. Tidak ada hukum yang memperkenankan orang marah untuk membunuh orang lain begitu saja, atau hukum yang membenarkan pembunuhan hanya karena emosi dengan alasan emosinya berbasis <i>ghirah</i>. Membenarkan hal tersebut sama saja menyatakan kepada khalayak ramai bahwa umat Islam tak mampu berpikir panjang, tak mampu mengontrol emosi, dan cenderung barbar. Contoh kasus seperti ini yang membuat nama Islam sebenarnya dinodai, dan kita semua tahu ini bukan cuma satu kasus. <br />
<br />
Ketiga, apabila murni kita hanya memakai standar perasaan subjektif, akan timbul banyak perdebatan yang tak kunjung usai soal kapan penghinaan atau penodaan dianggap terjadi. Ambil contoh istilah kafir. Mungkin sebagian orang santai saja menggunakan istilah ini kepada orang yang beragama lain, tapi kalau orang lain tersebut tak terima, secara teknis, bisa saja diargumentasikan bahwa pernyataan kafir tersebut adalah bentuk penodaan karena konotasi kata "kafir" yang sangat negatif. Contoh lain, orang Nasrani percaya bahwa Yesus adalah putra Tuhan atau bagian dari Trinitas sementara orang Muslim percaya bahwa Yesus adalah seorang manusia biasa dan nabi. Hal tersebut merupakan keyakinan fundamental dari masing-masing agama. Apakah dengan demikian otomatis keduanya saling menodai agama lain karena saling tidak mengakui hal fundamental tersebut dan diajarkan pula secara umum melalui kegiatan dakwah masing-masing?<br />
<br />
Berapa banyak ucapan khotib Jumat yang pernah saya dengar yang bisa dianggap menodai agama lain terlepas apakah dari sudut pandang kaum Muslim hal itu dianggap biasa-biasa saja. Contoh gampang soal orang kafir yang diklaim tak bisa dipercaya dan berniat menimbulkan keburukan untuk kaum Muslim yang sempat saya singgung di atas. Saya masih ingat persis di sebuah mesjid perkantoran ketika khatib shalat Jumat dengan enteng menyatakan bahwa kita tak bisa berteman dengan orang Nasrani karena kebencian mereka terhadap kaum Muslim. Apa yang mungkin diyakini oleh sebagian orang itu jelas bisa dianggap penghinaan bagi orang Nasrani karena sama saja mengklaim bahwa semua orang Nasrani pada dasarnya buruk. Diucapkan di depan ratusan jamaah pula dan dengan suara berapi-api. Dengan alasan subjektif, ajaib rasanya kalau sampai hal tersebut tidak dianggap melanggar ketentuan PNPS 1965 yang berlaku secara umum untuk semua agama. Atau kita akan berargumen bahwa pernyataan khotib itu sah-sah saja karena kaum Muslim di Indonesia mayoritas? Lah, masa kita yang sekarang jadi penindas baru setelah jadi mayoritas? Apa bedanya dengan kaum jahiliyah dulu ketika mereka mayoritas dan kaum Muslim hanya minoritas? Lagi-lagi ini perlu direnungkan secara mendalam.<br />
<br />
Saya berharap bahwa tulisan ini bisa menjadi dasar untuk melakukan analisis yang lebih mendalam mengenai posisi yang kita ambil, khususnya dalam memahami kasus penodaan agama. Dan ini hanya bisa terjadi ketika kita mau berpikir secara sistematis dan menyeluruh. Pernah dalam suatu diskusi terkait hal di atas dalam sebuah grup WA, ketika saya meminta orang berpikir lebih jauh tentang isu perbudakan dan riba untuk memahami fleksibilitas hukum Islam, ujung-ujungnya mereka mengirimkan video tentang bahaya menggunakan akal dalam Islam dan kemudian menuliskan doa mohon petunjuk dari Allah SWT serta perlindungan dari kesesatan (intinya meminta diskusi diakhiri saja secara implisit). Ini lucu sekaligus menyedihkan, kemana <i>ghirah</i>-nya ketika disuruh berpikir? Semua semangat itu hanya bisa timbul ketika kita tak lagi berpikir dan murni terbakar emosi? Kalau demikian, apa yang bisa kita lakukan untuk menghindari terjadinya <i>mob mentality</i> macam yang terjadi di Afghanistan di atas? Moga-moga hal demikian tak terjadi di Indonesia. <br />
<br />
Sebagai penutup, bagi mereka yang akan berdemonstrasi besok hari terkait isu penodaan agama, saya gembira bahwa akhirnya orang-orang ini merasa dan mengakui bahwa hak berdemonstrasi adalah bagian dari sistem demokrasi di Indonesia (aneh kalau sudah mengganggap punya hak namun tak mengakui kesesuaian hak itu dengan hukum Islam). Kapan lagi saya melihat ada orang-orang yang kemarin misalnya menganggap bahwa konsep Islam Nusantara tak masuk akal kemudian membalas fatwa haramnya berdemonstrasi dengan ide <i>'Urf</i> alias adat istiadat untuk menunjukkan bahwa larangan itu seharusnya terikat dengan budaya Saudi Arabia sementara adat Indonesia berbeda. Saya berharap ini tak berhenti di sekedar comot mencomot fatwa yang disukai saja, tetapi juga dipertimbangkan masak-masak mengapa kita memilih mengambil satu posisi tertentu karena demokrasi tanpa partisipasi aktif dan rasional dari masyarakatnya tentu tak akan berjalan dengan baik. Saatnya kita jadikan perbedaan sebagai rahmat, bukan kutukan. </span><br />
</span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com39tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-87599671104038018242016-10-24T10:20:00.008+07:002020-12-22T16:01:47.263+07:00Al-Maidah: 51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDjEyOww0I5xKaWkF5p64idcn2Fy2K2OBLx-_4zqeGAQ5tv88ZalnJbUJ9xLvkL3GCY9uVcgUPYzGI3kBIiNqFl-faNMNOg5mv7M4xmuPA_Y3WedchX1KLq13msy_XO8BOMeGB/s2048/pexels-sherif-emad-5203380.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDjEyOww0I5xKaWkF5p64idcn2Fy2K2OBLx-_4zqeGAQ5tv88ZalnJbUJ9xLvkL3GCY9uVcgUPYzGI3kBIiNqFl-faNMNOg5mv7M4xmuPA_Y3WedchX1KLq13msy_XO8BOMeGB/s320/pexels-sherif-emad-5203380.jpg" width="320" /></span></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><span style="font-family: inherit;">Minggu lalu saya diminta untuk memberikan komentar atas artikel berjudul "<a href="http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpi/article/view/6583/4948" target="_blank">Politik Islam di Indonesia: Ideologi, Transformasi, dan Prospek dalam Proses Politik Terkini</a>" yang ditulis oleh Muhammad Zulifan. Karena menurut saya artikelnya juga berhubungan dengan artikel Zulifan lainnya tentang <a href="http://duniatimteng.com/inilah-tafsir-surat-al-maidah-ayat-51-terkait-pemimpin-non-muslim/" target="_blank">Tafsir atas Al-Maidah Ayat 51</a>, maka saya akan menggabungkan komentar saya atas kedua artikel tersebut dalam tulisan kali ini.<span><a name='more'></a></span><br /><br />Artikel Zulifan pada dasarnya bersifat deskriptif. Alih-alih mengambil posisi tertentu secara tegas, Zulifan lebih suka memberikan gambaran tentang berbagai pandangan yang ada dalam politik Islam serta tafsir-tafsir Al-Quran dari ulama klasik mengenai pemimpin Islam. Dari segi akurasi isi, tak banyak yang bisa dikritik. Artikel Zulifan pada prinsipnya sudah bagus dan sangat membantu bagi para pembaca yang masih awam mengenai konsep politik Islam. Beberapa poin penting seperti belum adanya kesepakatan diantara para ulama dan pemikir Islam mengenai bentuk "negara" Islam atau sistem politik seperti apa yang paling pas dengan Islam (misalnya apakah demokrasi sesuai dengan Islam atau tidak) layak untuk disampaikan sebagai pendidikan kepada publik sehingga kita tidak terjebak dalam ide bahwa ada satu pemikiran tunggal dan absolut dalam Islam mengenai politik dan negara. <br />
<br />
Tapi kekuatan artikel Zulifan tersebut juga sebenarnya sekaligus mengandung kelemahan. Dengan sifatnya yang deskriptif dan umum, Zulifan tidak memberikan kajian lebih jauh dan mendalam mengenai konsekuensi dari berbagai aliran pemikiran politik Islam yang ada baik di masa lalu maupun saat ini. Padahal sebenarnya konsekuensi pemikiran politik ini perlu diperdalam supaya kita tidak sekedar mengambil keputusan atau pendapat hanya karena si fulan berpendapat ini atau itu, melainkan karena telah kita pikirkan secara mendalam alasan-alasan yang berada di belakang pemikiran si fulan tersebut. Hal ini saya pikir ada korelasinya dengan fenomena yang dibahas oleh Zulifan dalam artikelnya yaitu tentang rendahnya perolehan suara partai Islam di Indonesia dan tren suara mereka yang justru menurun sejak pemilu tahun 1955 walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Mengapa ini bisa terjadi?<br />
<br />
Ada 2 faktor yang berpotensi untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, terdapat masalah internal dalam teori politik ala Islam (sebagaimana akan dibahas di bawah ini) sehingga pada akhirnya menjadi kurang laku di mata pemilih. Kedua, umat Islam di Indonesia bisa jadi enggan berinvestasi untuk mempelajari agamanya sendiri secara mendalam (hal mana pernah saya bahas dalam artikel saya sebelumnya, <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/12/kartun-isis-dan-kemalasan-dalam-beragama.html" target="_blank">Karikatur ISIS dan Kemalasan Dalam Beragama</a>). Karena malas berinvestasi, pemikirannya tidak komprehensif dan cenderung reaktif, semuanya serba instan. Partai politik yang rasional menangkap gejala tersebut dan kemudian memutuskan untuk mendulang suara berdasarkan pendekatan reaktif. Dalam jangka waktu dekat, ini mungkin strategi yang efisien. Dalam jangka panjang? Ujung-ujungnya akan menjadi lingkaran setan yang membuat politik Islam tak kunjung lepas landas.<br />
</span><span id="fullpost"><span style="font-family: inherit;">
<br />
Apabila kita baca uraian Zulifan tentang berbagai teori politik Islam, hal-hal yang umumnya diributkan oleh berbagai pemikir ini bersifat sangat abstrak seperti apakah ide dan tujuan suatu negara, apakah negara bisa dipisahkan dari agama, apakah demokrasi sesuai dengan Islam, tipe dan persyaratan penguasa yang ideal, bentuk negara yang pas, mekanisme pemilihan pemimpin, dan sebagainya. Isu-isu di atas pada prinsipnya masih relevan dalam memikirkan bagaimana caranya memberikan kemaslahatan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat yang digadang sebagai tujuan utama dari politik Islam. Pertanyaan-pertanyaan itu pun sampai sekarang masih dicoba untuk dijawab oleh banyak ahli politik dan ahli hukum di planet ini. <i>Founding Fathers</i> Amerika Serikat sendiri mengakui bahwa ketika mereka memperkenalkan teori demokrasi mereka, mereka sedang melakukan eksperimen besar yang sampai sekarang pun belum selesai. <br />
<br />
Masalah terbesar teori politik Islam bukanlah karena mereka menanyakan pertanyaan yang salah, tetapi karena teori-teori tersebut berhenti bereksplorasi lebih jauh dan malas menerjunkan diri ke dunia empiris dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tersebut. Teori politik Islam diasumsikan dapat menjawab semua permasalahan di muka bumi karena berasal dari nilai-nilai Islam yang dianggap mencakup segala macam bidang secara komprehensif.<br />
<br />
Tetapi tanpa menguji efektivitas teori-teori tersebut di lapangan, atau setidaknya memikirkan konsekuensi aktual dari teori-teori tersebut, bagaimana caranya kita tahu bahwa teori-teori tersebut benar-benar mumpuni dan baik bagi seluruh anggota masyarakat? Saya pikir ini dikarenakan kita terlena dengan klaim bahwa Islam adalah sempurna (Al-Maidah:3) dan hukum Islam adalah hukum yang terbaik (Al-Maidah:50), sehingga sebagian besar dari kita merasa tidak perlu lagi ada yang dibuktikan, bahwa seharusnya semua orang wajib tahu dan mengakui hal itu dari lubuk hatinya yang paling dalam secara otomatis. Tetapi dunia tidak berjalan sesederhana itu. Semakin dahsyat klaim kita, semakin sulit sebenarnya untuk membuktikan hal tersebut dalam prakteknya. Tanpa alur pemikiran yang konsisten, klaim itu akan berbalik menghantui kita. <br />
<br />
Ambil contoh kasus yang sedang marak, tentang kewajiban kaum Muslim untuk memilih pemimpin Islam sebagaimana diungkapkan dalam surah Al-Maidah:51. Berbagai tafsir yang dikutip oleh Zulifan dalam artikelnya sudah memberikan gambaran secara umum tentang bagaimana para ulama jaman dahulu berpendapat soal status kepemimpinan non-Muslim. Jangankan menjadi pemimpin, dalam berbagai tafsir tersebut, menjadikan orang Nasrani dan Yahudi sebagai kawan setia pun sebenarnya bermasalah (hal ini karena memang dari berbagai tafsir yang ada, istilah <i>awlia</i> dalam Al-Maidah tidak terbatas merujuk pada "pemimpin", tetapi lebih ke "teman setia" yang pengertiannya lebih luas, dan istilah ini tidak sekali saja digunakan dalam Qur'an sebagaimana dibahas di bawah ini).<br />
<br />
Hal ini juga dipertegas dalam surah Ali Imran: 118, dimana disebutkan pula bahwa orang kafir senantiasa membenci orang Muslim baik di mulut maupun di hati. Dalam tafsir Ath-Thabari atas ayat tersebut disebutkan bahwa orang kafir tidak tahan untuk tidak menimbulkan keburukan bagi kaum Muslim dan bahwasanya bersahabat dengan mereka akan menimbulkan <i>mudharat</i> alias kerusakan. <br />
<br />
Pengecualiannya adalah apabila kita sedang bersiasat untuk menghindari sesuatu yang kita takuti dari kaum kafir sebagaimana dimuat dalam surah Ali Imran:28 (Artikel Zulifan tidak menuliskan sumber ayat Qur'an mengenai pengecualian tersebut). Tafsir-tafsir yang dikutip oleh Zulifan menjelaskan bahwa pengecualian ini adalah dalam konteks ketika kita khawatir akan keselamatan jiwa kita, atau misanya sepanjang orang kafir tersebut tidak menjajah atau menumpahkan darah kita. Intinya sepanjang hati kita tetap beriman, walaupun lisan berbeda demi keselamatan, maka itu sah-sah saja. Pragmatisme Islam memang selalu membuat saya terkagum-kagum. Dalam situasi dimana ada orang yang mengaku Muslim tetapi sebenarnya hanya di lisan, maka ia dikategorikan munafik, tetapi kalau dibalik situasinya, maka itu disebut <i>taqiya</i>, dan sah-sah saja. Ini tipe moralitas pragmatis dan konsekuensialis, bukan deontologis. <br />
<br />
Bagaimana dengan tafsir yang lebih kontemporer? Tafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyatakan bahwa inti dari Al-Maidah:51 adalah larangan menjadikan orang Nasrani dan Yahudi sebagai teman setia, apalagi pemimpin. Hal yang sama juga diungkapkan dalam tafsir Al-Wasith dari Wahbah Az-Zuhaili, yaitu, jangan berjanji setia dengan orang kafir, jangan membocorkan rahasia kepada mereka, jangan merasa senang berteman dan bertali kasih dengan mereka, karena mereka tidak akan tulus dan memenuhi janji mereka. Dalam hal ini, larangan tersebut terkait dengan hubungan dengan non-Muslim secara mendalam tetapi tidak meliputi sekedar interaksi dan perdagangan biasa tanpa pembauran yang mengakar. Sementara itu dalam tafsir Al-Misbah oleh Quraish Shihab, walaupun mengakui keluasan istilah <i>awlia</i> dalam Al-Maidah, Quraish Shihab memandang bahwa larangan menjadikan orang kafir sebagai teman setia dan pemimpin tidaklah mutlak, namun hanya bila orang kafir tersebut memerangi atau merugikan kaum muslimin dengan merujuk pada surah Al-Mumtahanah:9. <br />
<br />
Berdasarkan pembahasan di atas, mungkin akan ada banyak orang yang menyatakan bahwa isu dalam ayat-ayat di atas beserta tafsirnya sudah jelas. Jelas haram memilih pemimpin non muslim, termasuk di Indonesia, dan bahwa mereka yang masih mendukung orang-orang non-muslim adalah bagian dari orang kafir. Tapi benarkah ayat dan tafsiran ayat tersebut sudah sangat jelas, sejelas matahari terik di siang hari tak berawan di musim panas tanpa hujan?<br />
<br />
Kalau kita analisis lebih jauh, tidak jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah "pemimpin". Sebagaimana diungkapkan oleh Zulifan sendiri, kalau konsep bentuk negara saja masih diperdebatkan dalam teori politik Islam, bagaimana caranya kita bisa menentukan definisi pemimpin yang tepat? Ambil contoh kitab <i>Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah</i> karangan Imam Al-Mawardi yang terkenal itu. Sistem yang diusung oleh Al-Mawardi adalah khilafah dan yang boleh menjadi Khalifah adalah bukan saja wajib orang Muslim, tapi juga harus keturunan Quraisy (menurut Al-Mawardi, <i>nash</i> terkait persyaratan tersebut sudah sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan kecuali oleh orang-orang yang nyeleneh). Bagaimana caranya menerapkan aturan demikian di Indonesia?<br />
<br />
Atau karena kita sekarang sedang meributkan posisi gubernur, mari kita lihat bagaimana Al-Mawardi menggambarkan posisi tersebut. Gubernur suatu propinsi dalam versi Mawardi bertugas untuk antara lain mengelola pasukan, memutuskan hukum dan mengangkat hakim, menarik pajak, melindungi agama, menegakkan <i>hudud</i>, dan menjadi imam dalam shalat Jumat. Yang menjadi gubernur harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: (i) adil, (ii) memiliki ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus hukum, (iii) sehat inderawi, (iv) sehat organ tubuh, (v) wawasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat, (vi) berani dan ksatria, (vii) dan memiliki keahlian khusus di bidang yang ditanganinya, misalnya perpajakan dan perang. Dalam konteks demikian, wajar kalau yang menjadi gubernur harus orang Islam, bahkan bukan sekedar orang Islam, karena dia juga harus menjadi ahli hukum Islam. Lantas apakah persyaratan tersebut terpenuhi kalau kita terapkan di Indonesia dan apakah jabatan gubernur di Indonesia serupa dengan ide gubernur versi kitab fiqh klasik?<br />
<br />
Atau mungkin karena ini terlalu klasik? Bagaimana dengan pendekatan yang sedikit lebih modern? Merujuk pada buku Teori Politik Islam oleh Dhiauddin Rais, Profesor dari Universitas Kairo, persyaratan untuk menjadi gubernur antara lain adalah: (i) berilmu dengan memenuhi kualifikasi untuk melakukan ijtihad baik di level <i>ushul </i>(pokok) maupun <i>furu'</i> (cabang), (ii) mengetahui ilmu politik, perang dan administrasi, (iii) kondisi jiwa raga yang baik, (iv) berlaku adil dan berakhlak mulia, dan (v) memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh (muslim, bebas, laki-laki, dan berakal). Dengan demikian, persyaratannya belum banyak berubah dalam 1.000 tahun terakhir ini. Tapi bagaimana caranya menemukan manusia super dan paripurna semacam itu dalam prakteknya? Orang yang layak menjadi gubernur dalam teori ini haruslah ahli hukum Islam, ahli ibadah, ahli ekonomi, tentara, hatinya putih bersih dan kemungkinan besar badannya harus <i>six-pack</i>. Mungkin akan lebih menarik seandainya ada yang berminat melakukan kajian empiris dan memberikan catatan dari sedemikian banyaknya gubernur dan menteri di jaman kekhilafahan dulu, seberapa banyak orang yang memenuhi kriteria di atas dan kalau benar jaman dulu kekhilafahan Islam dipenuhi dengan manusia-manusia paripurna di atas, bagaimana mungkin kekhalifahan bubar semengenaskan itu? <br />
Melanjutkan kerancuan definisi pemimpin ini, Ath-Thabari menyatakan bahwa orang muslim yang mengangkat orang kafir sebagai pemimpin telah mengikuti agama pemimpinnya itu. Hal ini dikarenakan agamanya otomatis sama dengan agama pemimpin itu dan ia meridhai agama pemimpinnya, dan orang yang memeluk suatu agama akan tunduk pada aturan agama tersebut. Dengan demikian, dalam versi Ath-Thabari, jurisdiksi hukum terkait murni dengan agama seseorang. Ini teori hukum klasik yang sangat awam pada jaman Ath-Thabari, mengingat konsep negara modern belum ada dan Islam bermula sebagai perkumpulan yang berbasis agama, tidak mengherankan apabila teori jurisdiksi yang dibangun pun berbasis agama. Umat mengikuti agama pemimpinnya. Pertanyaannya lagi, apakah ini sesuai dengan konsep negara saat ini di Indonesia? Apakah memang kita senantiasa otomatis mengikuti agama pemimpin kita?<br />
<br />
Isu yang tak kalah pentingnya, ayat-ayat yang saya sampaikan di atas sangat konfrontatif dengan umat non-Muslim. Kaum kafir digambarkan sebagai musuh-musuh kita yang selalu siap untuk melahap kita ketika kita sedang lengah. Ini mengapa beberapa ulama kontemporer mencoba menafsirkan bahwa konteks ayat-ayat di atas adalah khusus pada masa perang sehingga wajar bernuansa konfrontatif. Tetapi tentu saja ada juga ulama yang berpendapat bahwa keumuman lafaz mengesampingkan kekhususan sebab (misalnya untuk Al-Maidah:51 yang <i>asbabun nuzul</i>-nya diceritakan terkait dengan peristiwa kekalahan umat Muslim di perang Uhud), dan dengan demikian beranggapan bahwa ayat- ayat di atas bersifat universal. Tidak sulit untuk mencari contoh pendapat tersebut di masa klasik karena memang mayoritas berpendapat demikian. Yang penting bagi kita sekarang adalah memikirkan konsekuensinya apabila kita menerima tafsir demikian seutuhnya dan segenap hati. Ini bukan isu kecil dan saya tidak sepakat dengan klaim Zulifan bahwa kita bisa santai saja melihat keberadaan tafsir ini tanpa harus mengganggap mereka salah sama sekali. <br />
<br />
Apabila kita sepakat bahwa secara inheren orang non-Muslim adalah musuh yang tak bisa dipercaya, persatuan dan kebhinekaan Indonesia akan menjadi omong kosong. Jangankan menjadi pemimpin (kalau pun itu bisa didefinisikan) di level gubernur, bisa jadi seharusnya kita juga tak bisa menjadikan orang kafir sebagai teman karib, bos, partner bisnis, dan sebagainya. Karena teman setia dan pemimpin definisinya tak jelas, dan kita hendak menjauhi <i>syubhat</i> atau keragu-raguan sehingga kita bisa menjalankan Islam secara <i>kaffah</i>, mengapa berhenti di level gubernur? Hal yang sama harusnya berlaku dari mulai level ketua RT, ketua RW, lurah, bupati/walikota, gubernur, pejabat BI, hakim agung, hakim konstitusi, menteri, kepala departemen dan Presiden. Ketika Al-Mawardi menyatakan bahwa orang kafir boleh menjabat sebagai menteri pelaksana (ada 2 tipe menteri dalam teorinya, menteri pelaksana dan menteri penuh), hal ini dikarenakan kewenangan menteri pelaksana sangat terbatas, tak bisa memutuskan hukum, tak bisa mengelola anggaran sendiri, dan tidak bisa mengangkat pegawai. Dalam konteks demikian, tidak ada menteri pelaksana di Indonesia, konsekuensinya kalau kita sepakat dengan Al-Mawardi, menteri dan pejabat kafir pun seharusnya haram di Indonesia.<br />
<br />
Pun mengapa kita mesti berbisnis dengan orang kafir, apalagi bekerja di bawah orang kafir (memangnya bos bukan teman setia, dia yang menggaji anda dan menjadi topangan hidup anda lho)? Yakin bahwa berbisnis dengan mereka tidak membuat kita lama-lama nantinya berteman baik dengan mereka? Awalnya bisnis, lalu menjadi teman yang saling mempercayai, dan akhirnya pindah agama? Bukankah secara universal orang kafir tak bisa dipercaya? Mungkin ini kenapa Indonesia tidak maju-maju, karena negara kita masih dihuni orang kafir dan kita masih mau bersahabat dengan mereka. Pertanyaannya, benarkah ini tafsir yang hendak kita usung sebagai nilai yang agung dari Islam? Inikah tafsir yang akan kita jual ke khalayak ramai sebagai wajah Islam yang asli di dunia modern?<br />
<br />
Mungkin sampai di sini akan ada yang berpendapat bahwa menafsirkan Al-Maidah:51 seperti di atas sudah kelewatan, berlebihan. Ini cuma soal pemimpin sebenarnya (apapun definisinya), tak sampai sejauh itu soal teman setia. Masalahnya ini bukan ide saya, saya hanya mengutip tafsir-tafsir yang sudah ada dari jaman dahulu kala, dan bahkan masih diulang di versi resmi tafsir Departemen Agama sendiri. Tinggal isunya mau kita terima penjelasan seperti itu bulat-bulat atau mau kita renungkan lebih jauh? <br />
<br />
Ini membawa kita ke pertanyaan berikutnya yang tak kalah krusial, ketika seseorang memilih suatu tafsir atau pendapat, apa sebenarnya yang melatarbelakangi penerimaan ia atas tafsir tersebut? Benar-benar memahami semua konsekuensinya atau hanya sekedar karena tafsir itu dibuat oleh ulama jaman dulu yang diasumsikan benar dan terjaga karena <i>sanad</i>-nya sampai ke Nabi, atau karena itu pendapat mayoritas atau bagaimana? Sebagai contoh, saya sempat melihat tulisan yang menyatakan bahwa karena mayoritas tafsir klasik terkait Al-Maidah:51 adalah ditujukan pada larangan memilih pemimpin non-muslim, maka pendapat ini menjadi pendapat yang valid dan wajib dihormati. Dengan demikian apabila seseorang mengklaim bahwa pendapat atau tafsir ini sebagai suatu kebohongan, ia telah melakukan kejahatan besar.<br />
<br />
Dengan logika yang sama, siapapun yang menghina dan mengutuk ISIS karena telah memperbudak kaum Yazidi serta menjadikan wanita dan anak-anaknya sebagai budak seks pun patut dianggap menghina Islam. Bukan apa-apa, tindakan yang dipraktekkan oleh ISIS adalah sesuatu yang lumrah dan halal dalam hukum Islam. Tawanan perang dapat dijadikan budak dan budak halal digauli (baca: diperkosa) oleh tuannya. Pendapat ini juga pendapat mayoritas, bukan pendapat minoritas, bahkan mungkin sudah masuk level '<i>Ijma </i>sebagaimana diklaim oleh Ath-Thabari dalam kitabnya tentang jihad (bahkan menurut Ath-Thabari, sekalipun wanita dan anak-anak itu kemudian masuk Islam, tidak mengubah statusnya dari budak menjadi merdeka). Apakah karena pendapat ini mayoritas, maka pendapat ini menjadi valid dan layak dihormati?<br />
<br />
Tidak percaya bahwa perbudakan halal dalam hukum Islam? Hal ini sebenarnya dimuat secara tegas dalam surah Al-Mu'minun:5-6 dimana pada intinya disebutkan kebolehan untuk bersetubuh dengan istri dan budak-budak. Ath-Thabari menjelaskan pengertian ayat ini bahwa bersetubuh dengan budak bukan saja merupakan hal yang diperbolehkan, namun juga bukan tindakan yang memalukan dan disetujui oleh Tuhan. Dalam tradisi fiqh klasik, budak adalah aset yang halal untuk diperjualbelikan. Dalam kasus seseorang mengalami kepailitan dan hartanya tak cukup untuk membayar hutangnya, ia dilarang untuk membebaskan budaknya karena dapat mengganggu hak kreditornya (misalnya dimuat dalam Hadis Bukhari No. 2415 Vol. 3). Apabila seseorang mengizinkan orang lain menyetubuhi budaknya, maka hal tersebut tidak dianggap zina karena tindakan tersebut dipersamakan dengan memberikan hadiah kepada orang lain tersebut (tercantum dalam Bidayatul Mujtahid karangan Ibn Rusyd). <br />
<br />
Bisa jadi ada yang berpendapat bahwa perbudakan sudah dilarang berdasarkan hadis Bukhari No. 2227 Vol. 3 yang menyatakan bahwa Nabi akan menjadi musuh dari orang yang menjual orang bebas untuk menjadi budak dan memakan harganya. Tetapi sayangnya hadis tersebut hanya satu dari total 7.000 lebih hadis dalam kitab Bukhari, sifat sanksinya di akhirat sehingga tidak ada hukuman nyata, dan tidak melarang secara tegas praktek perbudakan. Pun di hadis lainnya tetap dimungkinkan untuk memperbudak manusia lain melalui perang, misalnya hadis Bukhari No. 2229. Pendapat kebolehan memperbudak via perang ini pun disetujui oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab fiqh kontemporernya. <br />
<br />
Umumnya ulama-ulama kontemporer berpendapat bahwa aturan perbudakan sifatnya temporal dan sedari awal menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu ayat-ayat dan aturannya harus dimaknai secara kontekstual, toh Islam telah mengangkat derajat perbudakan dan memang sedari awal perbudakan sudah direncanakan untuk dihapuskan. Isunya adalah, bukti di lapangan maupun teks-teks Qur'an dan hadis tidak menunjukkan demikian. Alih-alih hilang dalam sekejab, perbudakan di dunia Islam berlangsung ribuan tahun dan dianggap biasa-biasa saja selama itu. Benar budak bahkan bisa menjabat posisi pemerintahan tertentu (sangat terbatas) seperti dalam kitab Al-Mawardi, tetapi status budaknya tidak hilang, seorang budak bisa setiap saat diperjualbelikan layaknya barang dan tetap dianggap setengah manusia (karena nilai diyat-nya lebih rendah dari orang merdeka). <i>Bidayatul Mujtahid</i> yang ditulis 600 tahun setelah Islam muncul juga santai saja membahas jual beli budak sebagai <i>business as usual</i>, bahkan kitab itu justru meributkan jual beli kucing dan anjing yang menjadi bahan perdebatan ulama antar mazhab (yaitu apakah masuk kategori haram atau <i>makruh</i> untuk diperjualbelikan).<br />
<br />
Yang sering dilupakan oleh orang-orang adalah bahwa ketika kita akhirnya menerima ide bahwa perbudakan harus diharamkan, ada lompatan keyakinan yang sangat besar di situ. Ada banyak ayat Qur'an yang tegas menyatakan jangan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Yusuf Qaradhawi berargumen bahwa mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan sebaliknya sudah masuk kategori syirik-nya kaum Jahiliyah dengan merujuk kepada surah Al-Maidah:103-104 dan Al-A'raf: 32-33. Dengan demikian, menurutnya, kasus penghalalan dan pengharaman ini adalah isu fundamental yang terkait dengan keimanan itu sendiri. Sebagai catatan, Al-Qaradhawi tidak membahas tentang kasus perbudakan dalam bukunya yang fenomenal, Halal dan Haram dalam Islam.<br />
<br />
Apabila kita setuju dengan tafsiran Al-Qaradhawi di atas, bagaimana caranya kita bisa menyatakan bahwa perbudakan haram, bahwa tindakan ISIS adalah tindakan yang layak dikutuk dan dinistakan, sementara Qur'an memperbolehkan perbudakan? Bagi sebagian orang ini mungkin menimbulkan apa yang disebut dengan <i>cognitive dissonance</i>, atau bahasa sederhananya, "bingung". Kalau kita sepakat bahwa apa yang sudah jelas dalam Qur'an adalah benar, sempurna dan tidak bisa diperdebatkan lagi, maka aturan perbudakan memang seharusnya tidak diubah, dan mengharamkan perbudakan adalah dosa besar.<br />
<br />
Ini mengharuskan kita untuk mengajukan sebuah pertanyaan yang maha penting. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan sempurna dan terbaik? Meminjam definisi dari <i>American Heritage dictionary,</i> kata sempurna (<i>perfect</i>) berarti absolut dan benar dalam segala aspeknya, tanpa cela, tanpa kelemahan, tanpa kesalahan. Kata sempurna juga bisa berarti cocok untuk segala situasi. Yang satu sifatnya absolut dan jumud, yang satunya lagi fleksibel.<br />
<br />
Kalau kita ambil definisi yang jumud, kepala kita akan pusing 7 keliling untuk memastikan dan mencari dasar yang menunjukkan bahwa kehalalan perbudakan adalah baik dan benar sepanjang masa dari jaman Nabi sampai kiamat nanti. Kita juga harus memastikan bahwa secara empiris, tidak ada klaim Qur'an yang salah. Sebagai contoh, apabila kita menemukan bahwa ada satu saja orang kafir dari 7 miliar manusia di Bumi yang ternyata tidak menyimpan bara permusuhan dengan kita, maka ayat Qur'an dalam surah Ali-Imran: 118 tentunya akan menjadi salah, karena seharusnya semua orang kafir adalah musuh abadi kita, baik terang-terangan, maupun dalam selimut. Absurd kan kalau kita baca seperti ini?<br />
<br />
Contoh lain yang tak kalah menarik adalah hadis terkenal tentang tak akan beruntungnya suatu kaum yang dipimpin wanita. Sebagai bahasa propaganda, hadis ini spektakuler dan sering digunakan kalau bukan selalu digunakan untuk menolak memberikan jabatan pemerintahan dalam bentuk apapun kepada wanita. Namun sebagai prediksi empiris, hadis ini menimbulkan banyak pertanyaan. Lupakan sejenak soal analisis kontekstual hadis tersebut yang katanya terkait dengan kerajaan Persia. Apabila kita berlakukan secara universal, hadis tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pemimpin dan apa yang dimaksud dengan tidak beruntung. Apakah pemimpin ini harus di level khalifah, menteri, gubernur (atau jangan-jangan termasuk wakil gubernur)? Atau kalau di sistem non-Islam, presiden, perdana menteri, ratu? Lalu tidak beruntung ini maksudnya negaranya hancur lebur, rakyatnya kelaparan dan masuk neraka, pemerintahannya amburadul? Kapan ketidakberuntungan ini muncul? Seketika setelah wanita diangkat menjadi pemimpin, seminggu kemudian, setahun kemudian, atau seratus tahun kemudian? Semuanya tidak jelas.<br />
<br />
Kemudian kalau kita cek secara empiris, ada banyak negara dan wilayah yang dipimpin wanita dan katakanlah kita gunakan satu kriteria yang sama, misalnya GDP, atau tingkat literasi, atau tingkat kebahagiaan, dan sebagainya. Apabila ada satu saja negara atau wilayah yang dipimpin wanita yang ternyata baik-baik saja atau lebih baik dibanding ketika dipimpin pria, hadis tersebut akan otomatis salah apabila dimaknai secara literal dan universal. Jujur saja, saya tak berminat buang-buang waktu memastikan hadis tersebut benar secara absolut karena susah sekali mempertahankan keabsolutannya. Lebih mudah menafsirkannya secara kontekstual dan membuatnya jadi aturan yang fleksibel. <br />
<br />
Saya berharap kasus-kasus di atas bisa membuat kita berpikir lebih jauh bahwa ketika kita menelisik pendapat jaman dahulu, kita tidak berhenti sekedar bahwa karena pendapat itu dikemukakan oleh ulama terkenal di jamannya, namun juga kita telaah konsekuensi dari pemikiran yang diusung. Kita benar-benar paham ketika kita mendukung atau menolak argumen tersebut. Berargumen bahwa kita ngikut saja apa yang ada karena kita tidak paham dan kurang belajar sebenarnya menunjukkan bahwa memang kita tidak pernah menganggap penting untuk berinvestasi dalam soal agama. Jangan tutupi kemalasan dengan alasan penghormatan pada ulama. Berkoar-koar penuh semangat memang gampang, ga capek, tinggal teriak-teriak atau tulis pesan via whatsapp, jauh lebih mudah dibandingkan meneliti ratusan buku dan kitab yang kebanyakan sudah berdebu karena jarang disentuh (itu pun juga kalau punya).<br />
<br />
Yang saya takutkan, kita sudah terlalu lama menghabiskan waktu dalam ilusi kesempurnaan itu dan menganggap remeh kemajuan di tempat lain. Kita delusional menganggap bahwa teori politik Islam sudah demikian luar biasanya, pendapat ulama jaman dulu tanpa tanding, dan bahwa semua kegagalan politik Islam di masa kini tidak lain dikarenakan konspirasi Yahudi dan Nasrani yang hendak menutup laju pertumbuhan Islam yang akan cemerlang di bawah hukum Islam. Tolong kembali ke realitas. Kita tidak akan maju kalau terus hidup dalam dunia teori konspirasi. Kalau setiap kritik dijawab dengan jawaban macam: perbaiki akhlak dulu, ah saya kurang tahu, kita hati-hati saja, kita ngikut saja sebagi orang beriman, dsb, kemungkinan besar masa depan politik Islam akan suram.<br />
<br />
Ilmu politik di Amerika Serikat misalnya sudah makin kuantitatif, penelitiannya berbasis data empiris dan para ahlinya dituntut belajar statistik secara mendalam. Model-model matematika baru telah banyak digunakan untuk menganalisis sistem politik dan demokrasi, mencari kelemahan-kelemahan sistem tersebut serta mekanisme yang bisa digunakan untuk memperbaikinya. Debat filosofis dan hukum tentang bagaimana sistem demokrasi berjalan gegap gempita dilakukan. Ada sistem otokritik yang berjalan dengan kencang. Seni pemerintahan juga semakin canggih, penyusunan kebijakan publik berbasis data, manajemen yang efisien, <i>Cost Benefit Analysis</i> dan <i>Behavioral Economics</i> semakin merajalela. Rakyat juga semakin <i>demanding</i>, mereka lebih ingin didengar, mereka ingin pejabat yang paham kemauan mereka. Orang kan tidak bisa selamanya hidup di jaman batu dan pemimpin juga tidak bisa seenaknya hidup tanpa akuntabilitas. Boleh saja para ahli berdiskusi tentang syarat-syarat menjadi pemimpin yang baik, tetapi ketika puluhan ribu rakyat yang kecewa menggedor pintu istana karena ekonomi berantakan, persyaratan-persyaratan itu hanya akan jadi tong kosong yang nyaring bunyinya.<br />
<br />
Pertanyaannya, sejauh mana teori politik Islam sudah berkembang untuk menjawab permasalahan riil? Masa-masa retorika kesempurnaan dan terbaik sudah usai. Masa kini menuntut pembuktian tegas atas hal tersebut. Berapa banyak orang sih yang bisa kita yakinkan tanpa bukti secuil pun bahwa kalau negara ini menggunakan sistem khilafah dan menggunakan hukum Islam maka Indonesia sudah pasti akan menjadi negara super makmur. Berapa banyak orang yang percaya dan masih akan tetap percaya tanpa ada penjelasan yang detail bahwa apabila seluruh pemimpin Indonesia adalah orang muslim, maka masa-masa ketika Indonesia mengalahkan Rusia dan Amerika hanyalah tinggal menunggu waktu? Ada mungkin orang-orang yang percaya, tapi berapa banyak, dan kampanye seperti ini mau bertahan sejauh mana? <br />
<br />
Ambil contoh ide bahwa demokrasi dianggap buruk karena memungkinkan hukum Tuhan diganti, sehingga kita seharusnya menggunakan sistem khilafah dan dewan ulama. Hati-hati, pahamkah kita tentang mana hukum Tuhan yang bisa diganti dan tidak bisa diganti? Apakah itu salah demokrasi atau dewan ulama juga bisa melakukan hal yang sama? Selain kasus perbudakan, kita bisa menganalisis kasus hukum perceraian dan poligami di Indonesia. Melalui Kompilasi Hukum Islam yang dibuat melalui musyawarah dengan para ulama Indonesia, suami tak bisa menalak istri tanpa melalui pengadilan agama dan tidak bisa kawin dengan istri kedua dan seterusnya tanpa persetujuan istri pertama. Merujuk pada pandangan ulama klasik serta ayat-ayat Qur'an dan hadis, tidak ada satupun dalil yang menyatakan secara tegas bahwa seorang lelaki perlu pergi ke pengadilan untuk menceraikan istrinya atau pun perlu meminta ijin istri pertama untuk kawin lagi. Tapi aturan itu berubah, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Iran, dan beberapa negara di Afrika. Apakah ulama-ulama di Indonesia jadi tiba-tiba melanggar dan mengganti hukum Tuhan karena berpendapat demikian? Isunya tidak sesederhana itu dan melibatkan banyak teori penafsiran yang rumit.<br />
<br />
Sayangnya bahasa politik tidak bisa lepas dari bahasa propaganda, yang diambil yang gampang-gampang saja, yang mudah dicerna. Bagaimana tidak, untuk menjelaskan soal mengapa kita perlu bersikap fleksibel dalam menafsirkan hukum Islam, saya harus menulis satu disertasi. Meringkas sebagian ide dari disertasi tersebut dalam satu artikel blog saja sudah memakan lebih dari 4.000 kata. Jauh lebih gampang memang mengklaim hukum Islam sempurna tanpa cacat dibanding membantu masyarakat memahami kompleksitas yang timbul dari klaim tersebut beserta dengan segala konsekuensinya.<br />
<br />
Teori politik Islam tidak bisa menjadi alternatif baru kalau mereka terus berusaha melawan dunia yang semakin empiris dan riil dengan konsep murni iman saja. Bagaimana caranya menjamin bahwa sistem khilafah atau sistem pemerintahan non-sekuler lebih baik dari demokrasi? Yang mengurus pemerintahan kan orang-orang juga. Siapa yang bisa memastikan bahwa di bawah sistem khilafah atau negara non-sekuler, semua pejabat akan taat aturan, baik pada rakyatnya, murni memikirkan kepentingan umum, dan sebagainya? Allah SWT? Serius? Tidak ada penjelasan mengenai <i>check & balance</i>, tidak ada bahasan mendalam mengenai insentif dan rasionalitas manusia? Kita hanya akan berasumsi bahwa semua manusia yang jadi pemimpin itu baik dan sempurna? Kita tidak akan membahas bagaimana caranya menemukan manusia-manusia paripurna yang layak menjadi pemimpin kita? Atau kita mungkin tidak mempertimbangkan kembali apakah persyaratan paripurna itu sebenarnya wajar atau tidak dalam prakteknya? Halo, ada yang pernah baca sejarah tentang mengapa Khilafah Turki Ustmani runtuh? Tolong kesampingkan buku-buku yang menyatakan bahwa itu semua ulah konspirasi Yahudi. Karena kalau kita sepakat bahwa ini semua ulah konspirasi Yahudi dan kita yakin bahwa khilafah adalah sistem terbaik, berarti secara logika, kita harus menyusun sistem baru karena terbukti sistem terbaik kita itu ternyata tak sanggup melawan konspirasi segelintir orang Yahudi. <br />
<br />
Lebih jauh lagi, tengoklah apa yang bisa dikontribusikan oleh teori politik Islam ke dalam negara Indonesia? Apa yang bisa ditawarkan untuk memperbaiki sistem politik dan juga sistem hukum di Indonesia? Yang realistis, bukan yang bombastis. Yang rill, bukan yang penuh asumsi saja. Semua orang juga tahu bahwa konsep negara itu seharusnya untuk menjaga kehidupan masyarakatnya, pertanyaannya, bagaimana caranya mencapai hal demikian, apa saja masalah-masalahnya, dan bagaimana menyelesaikannya? Memberikan jawaban dalam bentuk: sistem lain semuanya buruk atau bermasalah dan sistem Islam akan menyelesaikan semuanya tapi tanpa disertai penjelasan memadai sebenarnya justru menghina intelektualitas kita. Bagaimana caranya kita bisa meyakinkan banyak orang bahwa sistem kita adalah yang terbaik? Ini pertanyaan yang saya pikir membutuhkan perenungan jangka panjang dan perubahan paradigma yang signifikan. Dan inilah tantangan yang harus dijawab oleh teori politik Islam kalau memang sungguh-sungguh berniat untuk lepas landas dan memimpin dunia. Singkatnya, jalan masih panjang, bung!</span><br />
</span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com17tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-2050032666973034832016-02-16T02:40:00.026+07:002020-12-22T16:01:37.709+07:00LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa Tolong Berhenti Mengada-ada<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-Dp3_An_w1p5KS1MA13BnTa1CgL8yu9uaUZAhGRdZngr0Fwa_eFgSM4gZu8T-KCvrklRWxjwaTuLAAy9rCKSmFguqBDioxs_IYa57jVvcKn5928ZnSYmuvhnbPfd3RQtUUYCv/s2048/pedro-lastra-Nyvq2juw4_o-unsplash.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1260" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-Dp3_An_w1p5KS1MA13BnTa1CgL8yu9uaUZAhGRdZngr0Fwa_eFgSM4gZu8T-KCvrklRWxjwaTuLAAy9rCKSmFguqBDioxs_IYa57jVvcKn5928ZnSYmuvhnbPfd3RQtUUYCv/s320/pedro-lastra-Nyvq2juw4_o-unsplash.jpg" width="320" /></a></div></div><p class="MsoNormal"><span>Ketika saya membaca artikel balasan dengan judul "LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa, Benarkah Klaim Ini?", saya sebenarnya masih meragukan apakah penulisnya benar-benar Fithra Faisal yang asli. Walaupun demikian, saya memiliki firasat kuat bahwa penulis artikel balasan tersebut (siapapun dia) adalah juga penulis artikel sebelumnya "LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa," mengingat pola penulisannya sama. Artikel pertama berbicara soal usulan kebijakan publik tetapi secara misterius tidak menyebutkan kebijakan apa yang hendak diusulkan, sementara artikel kedua menambahkan suatu pertanyaan di judul namun sampai akhir isi artikelnya, ternyata jawabannya tidak pernah diberikan. Dari sudut pandang cocokologi, ini yang namanya cocok secara alamiah tanpa perlu dicocok-cocokkan lagi karena sama-sama memberikan harapan palsu.<br /><br /><span></span></span></p><a name='more'></a><span>Tapi oke lah, ketika hidangan sudah tersedia dengan manisnya di meja makan, selayaknya segera disantap. Guna menghormati penulisnya yang merespon dengan cukup cepat, berikut saya sampaikan tanggapan saya. Pertama-tama soal referensi makalah yang digunakan. Ketika kita menggunakan kutipan yang disingkat, akan jauh lebih baik kalau nama makalah lengkapnya disebutkan. Saya kebetulan punya akses mudah untuk mencari makalah-makalah tersebut dari database University of Chicago, tetapi tidak semua orang bisa melakukan hal yang sama. Kutipan referensi seharusnya bukan tempat berlindung dari peluru mortar di medan perang akademik, justru itu tempat kita menyampaikan kepada khalayak ramai bahwa jantung kita ada di sana dan siap sedia untuk ditembak (karena setiap referensi harus siap untuk dicek dan ricek sebagaimana sudah dijalankan dalam tradisi dunia akademik selama ratusan atau bahkan ribuan tahun). </span><p></p><span><span style="line-height: 107%;"><br />Kedua, saya akan melewatkan pembahasan atas semua makalah yang disebutkan oleh Fithra yang membahas tentang efek positif atas pertumbuhan ekonomi dari dukungan terhadap LGBT maupun makalah yang menyatakan bahwa efek tersebut kemungkinan tidak ada atau relatif lemah. Bagus untuk disebutkan, tetapi kurang relevan karena: (i) saya tidak sedang berusaha meyakinkan publik bahwa dukungan terhadap LGBT memang benar-benar memiliki efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan (ii) fokus Fithra sendiri sebenarnya hanya pada satu makalah yang kemudian tampaknya dijadikan dasar utama untuk mendukung klaim ia sebelumnya bahwa terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan dukungan terhadap LGBT, yaitu makalah Niclas Berggren dan Mikail Elinder: "Is tolerance good or bad for growth?" Makalah ini dimuat di Jurnal Public Choice (2012) Vol. 150: 283-308 (versi yang tidak berbayar bisa diakses di sini).<br /><br />Makalah Berggren dan Elinder ini menurut saya kualitasnya bagus. Ditulis dengan
baik, memberikan kesimpulan dengan sangat hati-hati, dan datanya juga kemudian
dibuka untuk dapat direplikasi dan diuji oleh peneliti lainnya. Sayang seribu
sayang, Fithra telah memotong-motong bagian dari makalah tersebut dengan brutal
sedemikian rupa sehingga menurut saya kesimpulannya menyesatkan. Saya kutipkan
langsung apa yang ditulis Fithra di artikelnya tersebut:<br />
<br />
"<i>Berggren dan Elinder (2012) menggunakan pendekatan Florida (2002)
dalam mengelaborasi toleransi terhadap LGBT dan dampaknya terhadap pertumbuhan
ekonomi. Disini mereka menemukan bahwa toleransi yang berlebihan terhadap LGBT
memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Setidaknya ada dua alasan: i) kaum yang konservatif akan
merasa terganggu dengan kebijakan pemerintah yang terlalu toleran terhadap
LGBT, sehingga mereka melakukan migrasi keluar dari negara tersebut.</i><br />
<br />
<i>Pun demikian dengan penduduk yang beraliran konservatif yang tinggal tingkat
produktivitasnya akan berkurang karena merasa tidak terlalu nyaman dalam
bekerja. Jika Florida memandang bahwa LGBT memiliki tingkat kreativitas yang
tinggi, Berrgren dan Elinder juga menekankan jumlah orang kreatif yang juga
cukup besar berada dalam lingkup penduduk yang beraliran
konservatif. ii) Sementara itu, kebijakan toleransi tinggi terhadap
LGBT juga akan mengundang kaum LGBT lintas negara untuk masuk, sementara ada
sebagian (besar) dari LGBT lintas negara tersebut yang memiliki tingkat
kreativitas yang tidak terlalu tinggi. Pada gilirannya, hal ini tidaklah cukup
dalam meningkatkan produktivitas kaum konservatif yang turun</i>."
<br />
<br />
Apa yang sebenarnya ditulis oleh Berggren dan Elinder? Ini mungkin akan sedikit
membosankan untuk pembaca yang tak terbiasa dengan gaya tulisan akademis
(percayalah, kalau saya bisa membuat seluruh isi tulisan saya menghibur
pembaca, saya akan mengusahakannya, jadi kalau anda merasa kurang terhibur,
silakan anda salahkan Fithra karena dia membuat kita terpaksa harus membaca dan
membahas makalah akademik di situs non-akademik di hari kerja pula), tetapi
demi memastikan bahwa kita bicara dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan,
saya perlu mengutip beberapa bagian dari makalah mereka (kutipan diambil
langsung dari versi final yang dimuat di Jurnal Public Choice). Tentunya kalau
anda ingin langsung menuju bagian yang renyah dibaca kembali, anda bisa
melewatkan paragraf dalam bahasa Inggris dan langsung melihat analisis saya di
bawah ini (atau setidaknya bacalah tulisan yang saya beri <i>bold</i>).
Yang penting paragraf yang saya kutip tersebut bisa jadi referensi kalau suatu
hari nanti anda memutuskan hendak alih profesi menjadi peneliti. <br />
<br />
Pertama, soal kesimpulan makalah Berggren dan Elinder:<br />
<br />
"<i>We investigate, for the time period 1998–2007, whether tolerance
toward homosexuals and toward people of another race, as measured by the share
of people in different countries that indicate that they do not mind having
neighbors that are homosexuals or of a different race, is related to growth in
real GDP per capita. We analyze this issue by looking at a sample of maximally
54 countries, following the methodology of the empirical growth literature.</i><br />
<br />
<b><i>Our main result is that tolerance toward homosexuals is negatively
related to growth. Statistical significance is obtained throughout in a
cross-sectional regression model which is varied in four different ways</i></b><i>.
When three identified outliers are removed, the result stands. And we verify
the result in a panel-data analysis, which although conducted with a smaller
sample indicates that fixed effects do not bias the cross-sectional estimates.
As for tolerance toward people of a different race, for which we find a
positive sign, the result is less robust. In the initial cross-sectional
regressions, it attains statistical significance only in the most extensive
model. That significance is retained when outliers are removed, but it does not
appear in the panel-data analysis. In all, this makes us less certain about the
relationship between tolerance toward people of a different race and economic
growth...</i><br />
<br />
<b><i>Two caveats should be added. It is hard to establish causality, but we
offer two preliminary indications of a direction from tolerance to growth and
not the other way around</i></b><i>. We regress tolerance on earlier growth,
and do not find any statistically significant effect; and the panel-data
analysis is more easily interpreted as causal (Finkel 1995). <b>We should
also stress that the results are applicable to the countries of our samples,
and since they encompass at most 54 countries, one should be careful in
generalizing the results to other parts of the world</b>. We still think that
the results are of value for clarifying the nature of the tolerance–growth
relationships for the included countries.</i><br />
<br />
<i>What to make of these results? Our overall interpretation is that just as
growth is affected by other social factors, such as trust, it is also affected,
in the typical country in our sample, by tolerance toward homosexuals. Hence,
quite unlike the results of Richard Florida and his co-authors, the
cross-country evidence does not suggest that there is a general positive
relationship between tolerance of homosexuals and growth: quite the opposite
holds. <b>This result should not be seen as normative: one may very well
advocate tolerance toward homosexuals in spite of this finding, as there are
other, and to many people more important, goals than growth</b>. In any case,
we also find some, although weaker, signs of a positive influence by tolerance
toward people of a different race.</i><br />
<br />
<b><i>We do not consider this study to be definitive in providing an answer to
the role of tolerance for economic growth. Rather we view it as a first attempt
to look into the economic effects of tolerance across countries</i></b><i>.
Extending the panel-data analysis as more data become available and trying to
test empirically the various mechanisms that can explain the results,
separately and jointly, are items on a future research agenda, as is the
further analysis of how economic and political institutions affect the
prevalence of different kinds of tolerance.</i>" <br />
<br />
Kedua, soal klaim kaum konservatif yang merasa terganggu dengan kebijakan
negara dan memutuskan akan keluar dari negara yang bersangkutan atau kaum
konservatif yang jadi malas bekerja karena merasa tidak nyaman, berikut kutipan
aslinya:<br />
<br />
"<i>Suppose that productive people are attracted to tolerant environments.
Then tolerance can increase the efficient allocation of labor and talent both
between and within countries, as it entails what Florida and Gates (2001: 2)
call low barriers to entry for human capital. This, then, is a mechanism
through which tolerance affects growth positively. Suppose, in contrast, that
the talented, productive and innovate people overall dislike the acceptance of
all people and lifestyles. Conservative or intolerant groups may be important
even in societies that are overall characterized as tolerant. Then a negative
growth effect could ensue, if tolerance scares off or reduces the productivity
and innovativeness of these people. If, say, a country or area is very tolerant
toward homosexuals, then conservative people may decide to not move there, and
to the extent that they would have contributed to higher growth by working hard
and applying their skills and talents, their not coming represents foregone
growth opportunities. Furthermore, the productivity of the intolerant in a
given area or country could be affected by the general tolerance extended to
certain minority groups. Racists or those with sexual prejudice can feel
uncomfortable in workplaces where minorities they dislike, and their
lifestyles, are welcomed. Consequently, they can self-select away from the most
productive jobs available to them if those jobs are part of a setting which
welcomes such minorities. <b>Whether the growth effect of tolerance is
positive or negative therefore at least partly depends on whether the
productive and innovative welcome or dislike the acceptance of all people and
lifestyles</b></i>"<br />
<br />
Kemudian soal ada sebagian (besar) kaum LGBT yang sebenarnya tidak memiliki
kreativitas yang cukup tinggi sehingga tidak bisa mengkompensasikan penurunan
produktivitas dari kaum konservatif:<br />
<br />
"<i>Consider first two mechanisms through which tolerance can increase
growth: by attracting innovative and productive minority-group members from
other countries and by affecting the allocation of labor and talent within a
country. As for the latter mechanism, if employers solely care about the
productivity of potential employees and do not much care about characteristics
unrelated to productivity, then it is more probable that people are allocated
to positions to which their talent is put to best use. This implies a link
between tolerance and discrimination (in the sense of Becker 1971), such that
where the former is in place, the latter is less prevalent. But consider also
that there are two mechanisms through which tolerance can decrease growth: it
can attract low-productive minority-group members from other countries and
areas, and it can make a group toward which tolerance is extended less
productive to the extent that non-innovative or unproductive choices are
encouraged (or at least not discouraged) through tolerant attitudes. <b>Whether
the growth effect of tolerance is positive or negative therefore at least
partly depends on how productive those toward whom tolerance is extended are
and how their productivity changes with tolerance</b></i>"<br />
<br />
Fithra dengan sangat apik menyusun tulisannya sehingga seakan-akan makalah
Berggren dan Elinder menyimpulkan dengan tegas bahwa toleransi yang berlebihan
terhadap LGBT memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan ada
2 alasan yang menyebabkan hal tersebut terjadi, yaitu soal kaum konservatif
yang lari dari negaranya dan jadi ogah-ogahan bekerja serta munculnya banyak
kaum LGBT yang kurang kreatif dan produktif. Kalau saya sempat dituduh
memperkosa tulisan Fithra (dengan mengkritik isi artikelnya yang menurut saya
memang sangat bermasalah secara teknis), saya tidak tahu istilah apa yang tepat
untuk digunakan atas upaya Fithra merekonstruksi isi makalah Berggren dan
Elinder. Perkosaan mungkin masih terlalu manis sebagai pilihan kata. Saya
serahkan istilahnya kepada ahli sejarah dan sastra di luar sana. <br />
<br />
Kenyataannya, Berggren dan Elinder dengan tegas menyatakan bahwa mereka hanya
menemukan adanya korelasi, bahwa sulit untuk menunjukkan adanya kausalitas,
bahwa hasil mereka hanya mencakup 54 negara (54 negara!) dan itu masih belum
cukup untuk menggeneralisasikannya ke seluruh dunia, dan bahwa hasil penelitian
mereka belum bersifat definitif dan seharusnya digunakan sekedar untuk membuka
penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam terkait efek toleransi atas
pertumbuhan ekonomi. Dengan data segudang, serta beragam teori dan analisis
yang ciamik, mereka hanya cukup berani untuk menyatakan bahwa ada korelasi
antara pertumbuhan ekonomi yang negatif dan toleransi atas LGBT. Itu pun mereka
masih menekankan bahwa temuan mereka tidak perlu dilihat berkekuatan normatif
(alias hendak dipakai untuk kebijakan publik), karena ada banyak tujuan lain
dalam hidup bermasyarakat selain pertumbuhan ekonomi (yang mana saya asumsikan
sebagai pengetahuan dasar bagi para ekonom, bahkan sekalipun mereka adalah komplotan
ekonom konservatif yang bercokol di University of Chicago).<br />
<br />
Tapi Fithra nampaknya jauh lebih perkasa dibandingkan dua peneliti ini yang
hanya berasal dari negara Swedia. Apalah mereka itu, hanya orang-orang yang
kebanyakan makan Salmon dan tinggal di sebuah negara beku di ujung dunia nun
jauh disana. Mereka terlalu pengecut. Bermodalkan penelitian yang menurut
Fithra sendiri variabelnya masih dalam proses, modelnya masih memiliki <i>sample
selection bias</i>, dan masih ada faktor yang belum dikontrol, Fithra dengan
gagah berani memberikan angka yang pasti soal kausalitas negatif antara
kebijakan pemerintah pro LGBT (yang tidak jelas kebijakannya apa) dan dukungan
pemuka agama atas LGBT terhadap pertumbuhan ekonomi. Berhubung seorang jagoan
tidak pernah tanggung-tanggung, Fithra sekaligus membubuhi efek normatif dalam
kesimpulannya bahwa hal ini layak diusung untuk menjadi kebijakan publik oleh
pemerintah. Mengapa tidak, usulan kebijakannya (apapun itu karena tak pernah
dirinci) sudah dipertimbangkan dengan jernih dan rasional. Menurut siapa?
Menurut ngana?<br />
<br />
Kalau meneliti dan menciptakan kesimpulan sungguh memang semudah ini, saya
sempat terpikir untuk menghentikan studi di UChicago Law School dan pindah ke
FEUI untuk menjadi mahasiswa bimbingan Fithra supaya saya bisa cepat
merampungkan disertasi saya. Sejujurnya saya lelah menghadapi pembimbing saya
yang entah manusia atau siluman karena rasanya saya tak pernah bisa mengejar
pandainya dia (maaf jadi curhat colongan). <br />
<br />
Saya belum selesai, kita kembali sesaat ke 2 alasan yang sempat dikemukakan
Fithra seakan-akan sebagai penyebab kausalitas negatif toleransi LGBT dan
pertumbuhan ekonomi. Berggren dan Elinder menempatkan dua alasan itu di
sub-bab <i>Theoretical Preliminaries</i>. Maksudnya apa? Maksudnya ini
barulah diskusi teori-teori soal kira-kira apa hubungan antara toleransi dengan
pertumbuhan ekonomi. Di paragraf yang saya kutip, mereka sebenarnya menuliskan
dengan rinci kemungkinan-kemungkinan hipotetis yang bisa terjadi. Ketika mereka
menyampaikan soal kemungkinan kaum konservatif produktif yang terganggu dengan
keberadaan kaum LGBT, mereka menyampaikan sebelumnya bahwa ada kemungkinan kaum
produktif justru lebih terpikat dengan masyarakat yang toleran. Begitu pula
dengan kasus kaum LGBT yang kurang kreatif, ini hanyalah salah satu kemungkinan
dimana kemungkinan lainnya adalah bahwa kaum minoritas yang terpikat untuk
datang ke negara-negara toleran adalah kaum kreatif dan produktif.<br />
<br />
Ini mengapa sub-bab tersebut ditempatkan oleh Berggren dan Elinder sebelum
analisis empiris dan bukan sebaliknya. Mereka sedang membicarakan
kemungkinan-kemungkinan bukan menyimpulkan bahwa dua hal itu adalah alasan yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi negatif seandainya ternyata datanya
menunjukkan bahwa toleransi menurunkan pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, mereka
sendiri sedari awal tidak pernah berani mengklaim bahwa ada hubungan
kausalitas. Jadi? Silahkan anda simpulkan sendiri.<br />
<br />
Saya juga hendak memastikan apakah Fithra sudah melakukan pengecekan lebih
lanjut mengenai apakah makalah Berggren dan Elinder telah ditanggapi oleh
akademisi lainnya? Mengingat Fithra seorang jagoan, saya asumsikan dia sudah
memeriksanya namun mungkin terlupa tidak dimuat di artikelnya itu. Mungkin dia
sangat sibuk sebagai akademisi sementara saya ini hanya seorang lawyer yang
cukup bekerja minimum 8 jam sehari mengejar <i>billable hours</i> dan
bisa dengan mudah menulis artikel ini malam-malam sebelum pulang ke rumah
terlepas sebenarnya besok pagi-pagi ada <i>meeting</i>. Cuma begitu saja
kok ngaku-ngaku sibuk. Pembimbing saya saja cuma bisa saya temui fisiknya 3
bulan sekali (kembali curhat colongan).<br />
<br />
Rupa-rupanya makalah Berggren dan Elinder sudah dikomentari dan dibantah isinya
oleh Eduard. J Bomhoff dan Grace Hooi Yean Lee, "Tolerance and economic
growth revisited: a note" yang dimuat di jurnal yang sama, Jurnal Public
Choice Vol. 153:487-494 (versi non berbayar bisa diakses di </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/205003266697303483"><span style="line-height: 107%;">sini</span></a><span style="line-height: 107%;">). Berikut saya kembali
sedikit ke bagian yang membosankan dengan mengutip beberapa bagian dari makalah
itu (diambil dari versi final di Jurnal Public Choice).<br />
<br />
"<i>BE are correct in pointing out that very tolerant countries grow more
slowly on average than less tolerant countries. The first column of Table 1
shows the simplest possible regression using their dataset and their measure of
tolerance. Results for the full WVS wave 5 dataset and with the alternative
variable for tolerance (not shown here) are broadly similar. <b>There is a
simple explanation: tolerance for homosexuals increases as people urbanize and
work in service industries (Štulhofer and Rimac 2009). Thus, the rich countries
tend to be more tolerant. But because Switzerland is already so rich, it can no
longer get the boost to economic growth from “catching up” that is available to
poorer countries</b>.</i>"<br />
<br />
"<i>One could, for example, also correlate growth with the well-known
indicator developed by Barro and Lee (2010) for the average number of years of
schooling of females. Perhaps no other single variable is so strongly
predictive of economic development than is female education. <b>The same
type of regression as before—not shown here—just correlating growth with the
number of years of schooling for all females, does deliver an even stronger
negative coefficient. There is no need, however, to rush to a wrong deduction
and claim—copying the language in BE when they comment on the correlation
between tolerance for homosexuals and growth—that education of girls is
desirable “in spite of this finding”. The correlation simply summarizes in one
number the fact that poor countries have fewer girls with a full education and
that these countries also have the potential for catching up and thus grow
faster on average</b>. It is therefore important to account better for
conditional convergence, since otherwise the researcher will conclude wrongly
from the negative association between growth (higher on average in poor
countries) and the indicator variable—tolerance (lower on average in these poor
countries)</i>."<br />
<br />
"<i>In this comment, we revisit BE’s study, which finds a negative
relationship between the degree of tolerance of alternative sexual lifestyles
and economic growth over the 1998–2007 period. Our results, however, explain
growth better with more attention to initial conditions. <b>We conclude
that the concern in BE is unwarranted. Tolerance on average increases as
countries get richer. Overall, our results do not provide any evidence that
tolerance towards homosexuals would have any effect on economic growth. This
implies that the role of tolerance is so minor that we cannot find an effect.</b> Our
findings clearly cast some doubt on the results of BE. City leaders and
economic developers who implement policies aiming at improving tolerance of
homosexuals, for reasons other than growth, should have little to worry about
its growth-retarding effects.</i>" <br />
<br />
Paragraf pertama membahas soal penjelasan lain terkait temuan Berggren dan
Elinder. Negara maju umumnya memang lebih toleran, sementara sebagai negara
maju potensi penurunan pertumbuhan ekonominya juga lebih tinggi (ini terkait
diskusi di artikel saya sebelumnya soal <i>diminishing marginal rate of
return</i>). Paragraf kedua mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati dalam
mengambil kesimpulan terkait data hasil temuan kita. Ketika mereka melihat ada
korelasi antara data tingkat pendidikan anak wanita dengan penurunan
pertumbuhan ekonomi, tidak serta merta berarti bahwa kemudian bertambahnya
jumlah pendidikan anak wanita menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun, ini
dikarenakan kebanyakan negara dengan jumlah tingkat pendidikan wanita yang
rendah adalah negara miskin dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi (kembali lagi merujuk ke konsep <i>diminishing marginal rate of
return</i>). Adapun paragraf terakhir yang saya kutip memuat kesimpulan makalah
tersebut bahwa temuan Berggren dan Elinder sebenarnya tidak signifikan dan efek
dukungan pro-LGBT terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil atau bahkan tidak
ada.<br />
<br />
Saudara-saudara, kenyataannya memang bahasa penelitian itu kering, membosankan,
terlalu berhati-hati, penuh kualifikasi, dan tidak bombastis. Saya jamin kalau
disertasi saya juga membosankan, saya sendiri saja sudah bosan membacanya
(curhat untuk ketiga kalinya, sebentar lagi saya akan dapat piring cantik).
Tidak bisa tidak, karya akademik bermutu menuntut pertanggungjawaban ilmiah
yang tinggi, dan pertanggungjawaban ilmiah terkait sekali dengan reputasi.
Fakta adanya makalah yang menyatakan bahwa temuan Berggren dan Elinder ternyata
tidak relevan dan kemungkinan besar salah tidak serta merta menyebabkan
Berggren dan Elinder menjadi pecundang. Mereka sudah menyiapkan data dengan
hati-hati dan memberikan kualifikasi yang diperlukan. Tidak mungkin orang
selalu benar. Saya juga perlu menambahkan kualifikasi, paper yang menyatakan
Berggren dan Elinder bermasalah juga bisa jadi bermasalah! Intinya, cek dan
ricek.<br />
<br />
Dan ini semua membuat saya kembali bertanya-tanya kepada Fithra. Apa yang
hendak diraihnya dengan mempublikasikan klaim dahsyatnya itu sementara
penelitiannya saja bahkan belum selesai? Saya tidak butuh pendekatan semiotika
atau apapun lah itu untuk menganalisis kalimat seperti ini dari Fithra: "<i>Variabel
saya apa saja? Masih dalam proses tapi sedikit banyak bisa dilihat dalam
Berggren dan Elinder (2012). Ke depan, jika versi artikel ilmiahnya sudah
terbit saya akan berikan ke anda</i>." Kesimpulannya gampang: penelitian
belum usai, makalah yang dijadikan rujukan awal sudah dibantah 4 tahun yang
lalu, penelitian jelas masih belum dalam bentuk karya ilmiah, tetapi klaimnya
sudah diumumkan duluan dan langsung disebar ke publik sebagai kebenaran. Top
markotop. Kalau analisis semiotikanya bisa menghasilkan bentuk kesimpulan yang
lain, tolong, tolong saya diajari bagaimana caranya, mungkin nantinya saya
punya masa depan yang lebih baik sebagai sastrawan dibanding menjadi
pengacara. <br />
<br />
Baiknya kita sudahi pembahasan ilmiah kita yang dimulai oleh Fithra di
artikelnya, sekarang kita masuk ke bagian yang lebih empuk, tanggapan Fithra
kepada saya. Kita kutip satu-satu lagi supaya saya tak dituduh mengada-ada
dengan analisis saya. <br />
<br />
"</span><i><span style="color: #3c3c3c; line-height: 107%;">Adopsi
dan pengurusan anak dalam jangka pendek mungkin saja bisa mengkompensasi faktor
keturunan, tetapi tidak ada konsep pertambahan populasi disana. Bagaimana
dengan donor sperma dan donor telur? Saya belum meneliti lebih lanjut,
terimakasih atas masukannya. Kloning? Sampai sekarang saya hanya bisa
membayangkan, sama seperti Pram.</span></i><span style="color: #3c3c3c; line-height: 107%;">"</span><span style="line-height: 107%;"><br />
<br />
Pernyataan ini 100% benar. Adopsi dan pengurusan anak memang tidak menyebabkan
konsep pertumbuhan populasi. Fithra juga mengakui belum melihat isu soal donor
sperma dan donor telur, yang sebenarnya bisa jadi cukup signifikan untuk
mempengaruhi penelitiannya yang belum selesai itu. Dan soal kloning, oke lah,
itu kita kesampingkan dahulu. <br />
<br />
Selanjutnya soal Biaya Kesempatan:<br />
<br />
<i>"</i></span><span style="color: #3c3c3c; line-height: 107%;">Dengan
pernyataan ini, anda terbukti banyak membaca Pram. Konsep ini juga yang saya
kenal dari semenjak kuliah di Universitas Indonesia berbekal karya fenomenal
Gary Becker. Terus terang faktor itu belum saya control. Terimakasih untuk
sarannya<i>.</i>"</span><span style="line-height: 107%;"><br />
<br />
Saya berterima kasih sekali atas pujiannya. Memang benar bahwa saya banyak
membaca, baik hati, pintar, ramah, dan tidak sombong (4 sifat terakhir itu
klaim pribadi saya saja sebenarnya, klaim itu bebas, cause I'm Batman). Tetapi
pernyataan itu juga membuat saya akhirnya bisa memahami mengapa Fithra bisa
membuat kesimpulannya yang luar biasa soal hubungan kebijakan pro LGBT dan
pertumbuhan ekonomi negatif secara fakta saya menyebutkan soal <i>Opportunity
Costs</i> dijadikan bukti bahwa saya banyak membaca. Tentu saya tersanjung,
tetapi secara statistik, fakta tersebut tidak serta merta berarti bahwa saya
banyak membaca, bisa jadi itu satu-satunya bahan yang pernah saya baca. Lain
halnya kalau Fithra menyatakan: "membaca artikel Pram, terbukti Pram
banyak membaca". Yang ini klaim yang bisa lebih mudah untuk dibuktikan.
Lebih penting lagi, kembali Fithra mengakui bahwa dia belum mengontrol variabel
biaya kesempatan dari pasangan heteroseksual yang tidak ingin memiliki anak.
Masih perlu analisis semiotika soal kelengkapan data dan variabel Fithra? <br />
<br />
Selanjutnya setelah saya panjang lebar menanyakan mengapa Fithra menjadikan
variabel dukungan figur publik sebagai variabel yang relevan dalam mengukur
pertumbuhan ekonomi, Fithra hanya memberikan jawaban singkat sebagai berikut:
"</span><span style="color: #3c3c3c; line-height: 107%;">Jawaban
saya singkat, coba lihat EU </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/205003266697303483"><span style="color: #31bbe2; line-height: 107%;">LGBT survey</span></a><span style="color: #3c3c3c; line-height: 107%;">.</span><span style="line-height: 107%;">" Yah, benar-benar
singkat. Sebenarnya saya hendak mempermasalahkan jawaban ini karena dia tidak
memberitahukan apa yang mesti saya lihat di dalamnya, tapi baiklah, mungkin
Fithra sangat sibuk. Setelah saya membaca laporan itu, saya bisa memahami
mengapa laporan tersebut memuat variabel dukungan figur publik. Berikut
kutipannya:<br />
<br />
"<i>The results show a relationship between respondents’ perceptions
about the level of offensive language about LGBT people by politicians and
whether or not respondents had felt personally discriminated against or
harassed on grounds of sexual orientation: in 14 out of the 17 countries in
which fewer than half of the respondents said that they had been discriminated
against or harassed on the grounds of sexual orientation in the year before the
survey, the majority of respondents said that offensive language about LGBT
people by politicians was rare.</i>" <br />
<br />
Variabel itu diperlukan untuk melihat apakah ada hubungan antara pernyataan
ofensif dari politisi terhadap kemungkinan diskriminasi terhadap kaum LGBT.
Kalau demikian adanya, tentu saja variabel ini menjadi penting dan cukup masuk
akal untuk diperhitungkan dengan asumsi pernyataan politisi di publik dapat
mempengaruhi persepsi publik dalam memperlakukan kaum LGBT. Masalahnya, saya
tidak menemukan jawaban tentang mengapa dukungan figur publik perlu dicek oleh
Fithra untuk dihubungkan dengan pertumbuhan ekonomi? Hubungannya apa? Dan
pertanyaan awal saya juga tak terjawab, sejak kapan ada hubungan kausalitas
yang mendalam antara gerakan publik di media dan pertumbuhan ekonomi? Saya
tidak bisa membayangkan berapa banyak variabel yang harus dipakai dan dites
ulang untuk menghilangkan kemungkinan biasnya.<br />
<br />
Saya juga masih bertanya-tanya ide normatif apa yang hendak diusung oleh Fithra
ketika dia menyatakan bahwa dukungan figur publik kepada LGBT tidak memberikan
pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Sebetulnya saya tak heran dengan temuan
itu. Fungsi dukungan publik untuk LGBT memang bukan untuk mencari pertumbuhan
ekonomi, fungsinya untuk mengurangi diskriminasi terhadap sesama manusia. Kalau
ternyata bahkan masih ada manfaatnya untuk pertumbuhan ekonomi, itu namanya bonus.
Alih-alih suatu hal yang buruk, Fithra justru mengkonfirmasikan sendiri mengapa
dukungan publik terhadap LGBT perlu, karena ada efek positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, walaupun mungkin jumlahnya kecil.<br />
<br />
Klaim Fithra bahwa hal ini merupakan sesuatu yang buruk baru masuk akal kalau
Fithra bisa menunjukkan bahwa ada aktivitas lainnya dari figur publik yang bisa
memberikan dukungan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi. Pertanyaannya,
apa aktivitas publik yang diusulkan oleh Fithra? Tidak jelas. Atau mungkin
sebenarnya sudah ditulis di makalah ilmiahnya yang sedang dibuat dalam
pikirannya, tetapi kebetulan lupa dimuat. Bisa jadi, bisa jadi. <br />
<br />
Komentar terakhir yang spesifik dari Fithra adalah sebagai berikut:<br />
<br />
"</span><span style="color: #3c3c3c; line-height: 107%;">Beda
antara korelasi dan regresi Pram. Korelasi menunjukkan arah, sementara regresi
menunjukkan hubungan fungsional antar variabel. Tapi berikutnya saya akan
memperhatikan wording sebagaimana saran anda. Variabel saya apa saja?
Masih dalam proses tapi sedikit banyak bisa dilihat dalam Berggren dan
Elinder (2012). Kedepan, jika versi artikel ilmiahnya sudah terbit saya akan
berikan ke anda</span><span style="line-height: 107%;">."<br />
<br />
Alhamdulillah, saya masih tahu bedanya korelasi dan analisis regresi. Yang saya
tanyakan dari awal bukan bedanya mereka itu apa, yang saya tanyakan itu adalah
mengapa Fithra menggunakan kata penghubung "maka" dalam kalimat ini:
"</span><span style="color: #3c3c3c; line-height: 107%;">Namun
jika melihat faktor pemerintah, setiap 1 persen kenaikan kecenderungan pro
LGBT, maka terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1 persen</span><span style="line-height: 107%;">"? Kita tidak perlu
bersembunyi dalam bahasa logika yang membedakan antara penggunaan kata <i>if</i> dengan <i><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/205003266697303483">iff
(alias if and only if)</a></i>. Kita gunakan analisis bahasa Indonesia
sederhana saja: jika X, maka Y. Tanpa kualifikasi dan penjelasan tambahan
apapun, mudah bagi setiap orang yang pernah lulus SD untuk menyimpulkan bahwa
hubungan kata jika dan maka adalah hubungan sebab akibat. Ditambah lagi kalimat
ini diperkuat dengan pernyataan lanjutan: "</span><span style="color: #3c3c3c; line-height: 107%;">Di sini, dapat dilihat bahwa peran
pemerintah selaku pembuat kebijakan adalah cukup krusial, baik itu bersifat pro
maupun kontra terhadap LGBT. Dari sini pula, kita dapat melihat bahwa kebijakan
pemerintah yang memiliki kecenderungan pro terhadap LGBT dapat meng-constraint pertumbuhan
ekonomi</span><span style="line-height: 107%;">."
Kalau asumsinya benar bahwa tak ada hubungan kausal, untuk apa melanjutkan
dengan kalimat peranan krusial pemerintah? Tanpa ada kausalitas, sulit
berargumen bahwa pemerintah punya peranan krusial, secara sebenarnya kebijakan
pemerintah tidak relevan. Jadi?<br />
<br />
Ini bukan jenis kesalahan menulis yang bisa mudah dikoreksi dengan pernyataan
bahwa Fithra akan memperbaiki kalimatnya di masa depan. Anda telah menyampaikan
usulan kebijakan publik yang berpotensi mendiskriminasi sebagian orang dengan
kalimat yang lugas dan mudah dimengerti sementara anda sendiri mengakui
variabelnya belum selesai diproses. Saya kagum bagaimana caranya orang bisa
selugas itu mengakui di muka umum bahwa pekerjaannya belum selesai tetapi
sebelumnya tak kalah lugas juga untuk mengklaim di muka umum yang sama bahwa
temuannya benar dan bisa dijadikan pijakan kebijakan publik yang rasional dan
jernih. <br />
<br />
Terakhir, Fithra mengklaim sebagai berikut: "</span><span style="color: #3c3c3c; line-height: 107%;">Ada beberapa bagian
lain dari artikel Pram yang mungkin tidak perlu saya tanggapi disini karena
sifatnya sangat minor, mudah-mudahan balasan artikel ini dapat menjawab
pertanyaan dari anda sebelumnya.</span><span style="line-height: 107%;">" Sangat minor? I find this response to be
highly invigorating, intellectually stimulating, and exceedingly rigorous, just
by virtue of reading it, I think I am now entitled to receive my PhD degree,
a.k.a, Permanent Head Damage! SERIOUSLY, this is your best response? How
about if you just shoot me in the head twice, burn my body and throw it to the
sea? Because my dear friend, that's how you torture other people. God, and they
call me brutal, this response is beyond brutal, it should earn a place among
the list of UN's major human rights violations. Please pardon the use of
English, my dear readers, it brings a lot of memories when I still write all of
my articles in English. <br />
<br />
Dengan sedemikian banyaknya pertanyaan atas klaim-klaim yang telah dibuat oleh
Fithra dalam tulisan sebelumnya: (i) soal kausalitas antara posisi pemuka agama
dengan pertumbuhan ekonomi, (ii) kausalitas pemuka agama dengan ketaatan
masyarakat, (iii) kausalitas ketaatan masyarakat dengan pertumbuhan penduduk,
(iv) kausalitas pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi di Eropa, Cina,
dan Indonesia, dan (v) bentuk kebijakan kontra LGBT yang hendak diusulkan,
jawaban terbaik dari Fithra Faisal PhD adalah bahwa isu ini isu yang sangat
minor? Dan saya diminta untuk percaya bahwa yang menyusun respon ini adalah
Fithra Faisal yang asli? Saya bahkan saat ini bisa menyusun teori konspirasi
bahwa satu-satunya alasan yang layak bagi Fithra Faisal untuk menyusun 2
artikel yang sangat mengguncang iman ini adalah karena dia kangen saya menulis
lagi. <br />
<br />
Atau katakanlah bahwa semua unsur kausalitas itu tak penting menurut Fithra,
paling tidak tolonglah jelaskan kebijakan kontra LGBT yang hendak anda usung
itu apa? Masa 2 artikel sudah lewat dan itu tak dijawab juga? Para dukun dan
peramal saja paling tidak masih berminat memberikan kisi-kisi dari prediksi
mereka soal masa depan dan tindakan apa yang harus dilakukan pelanggannya.
Bayangkan kalau saya bertanya kepada mereka seperti ini: "apa yang anda
lihat dari masa depan saya?" dan kemudian dijawab oleh mereka: "saya
melihattttt: MASA DEPAN!!!!" Ya, saya cukup yakin anda bisa menebak
perasaan saya. <br />
<br />
Sebagai penutup, saya ingin menanggapi 1 komentar yang sempat saya baca terkait
artikel pertama saya dan menurut saya cukup penting untuk dibahas secara khusus
(sisanya sudah saya masukkan sekalian di tulisan saya di atas), yaitu mengapa
saya harus sebegitunya menanggapi artikel Fithra, apalagi Selasar bukan media
ilmiah dan tidak menuntut persyaratan akademik yang luar biasa. Sebenarnya
jawaban atas pertanyaan tersebut sekilas sudah dibahas di pembukaan artikel
saya yang terdahulu, karena yang menulisnya mengaku sebagai Fithra Faisal dan
ia membubuhi tulisan itu dengan gelar dan posisi akademiknya. PhD, Manajer
Riset dan Pengabdian Masyarakat FEUI. <br />
<br />
Saya sudah katakan dari awal, kalau yang menulis artikel kemarin saya
kategorikan dalam daftar tukang obat atau analis abal-abal, artikel itu pasti
sudah saya hiraukan dan saya akan terus menikmati makan siang saya yang nikmat.
Masalahnya yang menulis bukan orang sembarangan. Some people actually take his
opinion seriously. Saya tidak heran, posisi dan gelar akademiknya cukup mentereng.
Tetapi posisi dan gelar akademik yang mentereng bukan berarti anda kemudian
bebas berbicara tanpa pertanggungjawaban. Ini dunia akademik, hanya karena anda
punya gelar, lantas ketika anda menulis ABC, saya bisa tiba-tiba diminta
otomatis percaya bahwa ABC dari anda sudah dibuat dengan benar, hati-hati, dan
rasional? Kalau begitu caranya, dunia akademik sudah runtuh dari jaman baheula.<br />
<br />
Apalagi ketika pernyataan itu dibalut dalam bentuk yang seakan-akan
"ilmiah" dan ditawarkan sebagai usulan kebijakan publik yang patut
diambil oleh Pemerintah. Tunggu dulu, pernahkah terpikir bahwa usulan anda
dapat mempengaruhi atau bahkan mengacaukan hidup orang lain? Pernahkah terpikir
bahwa ketika anda akan mengacaukan hidup orang lain, anda sudah memikirkan
apakah anda memiliki justifikasi yang cukup untuk itu? Saya penganut garis
keras teori <i>welfare maximization</i>, for the benefit of the many,
sometimes some people must be sacrificed. Itulah dunia nyata, tetapi saya juga
tahu bahwa konsekuensinya aturan itu suatu hari juga bisa merugikan saya.
Makanya dibutuhkan sistem <i>check and balance</i>, dan harus ada
justifikasi, harus ada pemikiran mengenai kompensasi, bahwa ketika orang lain
dirugikan, sekurang-kurangnya kerugiannya bisa diminimalisasi, lebih bagus lagi
kalau bisa mencapai </span><a href="https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/34250119/205003266697303483"><i><span style="line-height: 107%;">Pareto Optimum</span></i></a><span style="line-height: 107%;">.<br />
<br />
Ini kan konsep sederhana yang seharusnya diketahui oleh semua orang yang pernah
kuliah mikroekonomi. Saya kecewa dengan artikel pertama Fithra yang menurut
saya tidak dibuat dengan bertanggung jawab, tetapi saya lebih kecewa lagi
ketika saya melihat tanggapannya yang kini jelas mengkonfirmasikan dengan tegas
tanpa perlu analisis semiotika ala ala bahwa dia memang belum melakukan
pekerjaan rumahnya dengan benar. Saya tidak perlu jauh-jauh mengutip tradisi
akademik di University of Chicago, saya akan mengingat kembali momen-momen 12
tahun yang lalu ketika saya sedang mengerjakan makalah saya untuk kompetisi
Mahasiswa Berprestasi Utama FHUI dan menyampaikan hasil riset saya ke profesor
pembimbing saya.<br />
<br />
Waktu itu saya merasa sudah bekerja keras, riset berhari-hari di perpustakaan,
dan waktunya tinggal seminggu lagi sementara makalah belum bisa dibuat karena
pembimbing saya masih tak setuju dengan ide dasarnya. Saya kemudian berdebat
dengan dia, disaksikan pula oleh murid dan profesor lain. Setelah sekian lama
saya berhasil menjawab, ada satu pertanyaan yang saya tak mampu menjawab dengan
lugas, pembimbing saya itu kemudian menyatakan makalah saya belum siap dan saya
harus riset ulang.<br />
<br />
Bayangkan rasa frustrasi saya, saya sudah capek menulis dan riset dan orang ini
cuma nanya-nanya saja. Saya bilang, "prof, ini waktunya tinggal seminggu
lagi, kapan saya akan bikin paper-nya?" Tanggapan dia dengan suara menggelegar,
"Saya ini Guru Besar, tanda tangan saya tidak bisa sembarangan, kalau kamu
tidak bisa menyelesaikan makalah kamu, itu masalah kamu atau masalah
saya?!!!" Saya kesal dan malu, tapi pernyataan pembimbing saya 100% benar,
itu masalah saya bukan masalah dia. Untungnya saya tak menyerah hari itu (dan
kemudian hampir tak tidur selama beberapa hari kemudian) dan akhirnya menang di
FHUI. Tapi pengalaman saya itu tak akan pernah saya lupakan, your words,
unfortunately, are your liability.<br />
<br />
Sarkasme saya khusus dibuat untuk hiburan saya dan pembaca, tetapi saya serius
mempertanyakan kualitas artikel yang telah dibuat oleh Fithra. Kalau anda tak
mau menyampaikan motif di belakangnya, itu terserah anda, tapi kalau saya jadi
anda, saya lebih baik akan membuang jauh-jauh ide meneruskan makalah LGBT itu.
Tak penting. Anda bisa jadi suatu hari nanti menang Nobel Ekonomi dan masih ada
banyak hal yang bisa diteliti untuk kemajuan ekonomi Indonesia, untuk apa
membuang-buang waktu meneliti hal yang efeknya tak jelas dan kemungkinan besar
tak seberapa? Kecuali CBA dan prioritas anda memang bukan untuk menjadi ekonom
kelas dunia. If that's the case, I rest my case. Good luck.
<br />
<br />
PS: Let me put my professional consultant hat and give you a free advice. Just
stay low for a couple of weeks, or even days. Indonesian people often forget
easily (no statistical data to support though, it's just a hunch). Feel free to
ignore, after all, this is just a free advice. Caveat: this advice is not a
legal advice and does not create any attorney-client relationship in whatsoever
way, and by reading this caveat, you acknowledge that you fully understand it
and agree with its provisions. </span></span><o:p></o:p><p></p><p></p> Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com179tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-86722644218493529802016-02-14T11:36:00.005+07:002020-12-22T16:01:10.510+07:00LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa? Suatu Ide yang Diada-adakan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGcwBmTug1Waw7_Kb7_JKiE5aOW0JJd62GoadvoyHhOcej42s1NxtYvxwnJCw7DtqXISgXpBgKkbpdYXFLEW2qpU55bg-KX-IJSu9Xm66izc_KNTdNOl6_IPEVzZ_wRLv2PGc_/s1920/andrea-cau-nV7GJmSq3zc-unsplash.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="1920" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGcwBmTug1Waw7_Kb7_JKiE5aOW0JJd62GoadvoyHhOcej42s1NxtYvxwnJCw7DtqXISgXpBgKkbpdYXFLEW2qpU55bg-KX-IJSu9Xm66izc_KNTdNOl6_IPEVzZ_wRLv2PGc_/s320/andrea-cau-nV7GJmSq3zc-unsplash.jpg" width="320" /></span></a></div><span style="font-family: inherit;"><br /></span><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><span style="font-family: inherit;">Ketika saya membaca artikel dari Fithra Faisal berikut ini: <a href="https://www.selasar.com/ekonomi/lgbt-dan-kegagalan-sebuah-bangsa" target="_blank">LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa</a> (yang dikirimkan melalui Grup WA Selasar), saya sedang duduk menikmati Chutoro Sushi di restoran Sushi favorit saya, Sushi Masa. Beberapa hari sebelumnya, saya baru saja menolak tawaran untuk menjadi pengisi blog reguler di sebuah surat kabar berbahasa Inggris. Saya katakan bahwa saya sudah berbulan-bulan tidak menulis dan pada dasarnya ingin pensiun dari dunia tulis menulis sampai suatu hari nanti minat saya muncul kembali (yang sempat saya prediksikan tidak akan muncul dalam waktu dekat).<br />
<br />
Rupa-rupanya petunjuk dari langit tiba dengan sekejab setelah penolakan itu. Saya yang sudah lama bahkan tidak berminat untuk debat melalui artikel pun tak kuasa menolak gejolak di hati untuk memberikan tanggapan atas artikel tersebut. Sempat terpikir apakah saya akan kembali menikmati sushi yang sangat lezat itu dengan tenang sambil menutup mata dan menikmati hidup seperti biasanya atau haruskah saya menyampaikan ke grup Selasar bahwa saya akan menanggapi artikel itu (yang berarti memberikan komitmen untuk menulis)? Sesaat menimbang melalui <i>Cost Benefit Analysis</i> sebagaimana biasanya saya praktekkan dalam hidup sehari-hari, akhirnya saya putuskan untuk menanggapi artikel tersebut. Bukan apa-apa, kalau yang menulis artikel barusan adalah tipikal tukang obat atau analis abal-abal yang mudah ditemukan di pinggir jalan sedang menawarkan dagangannya, saya akan hiraukan dengan seketika, tapi kali ini penulisnya adalah ekonom muda yang saya anggap punya kualitas mumpuni, dan seharusnya tulisannya berbobot tinggi, apalagi mengusung usulan kebijakan publik.<br />
<br />
Sayangnya sebagaimana akan saya uraikan dengan lebih rinci di bawah ini, artikel di atas seharusnya tidak layak tayang dan tidak pantas dijadikan usulan kebijakan. Saya juga sangat mempertanyakan apakah artikel itu sedang ditulis oleh Fithra sebagai seorang ekonom serius atau jangan-jangan ditulis oleh orang lain yang menyaru menjadi Fithra, seorang moralis yang berpikir bahwa dia bisa menyembunyikan identitasnya (yang sebenarnya bukan Fithra) dengan memberikan sedikit bubuhan ilmu ekonomi dalam analisisnya (itu pun kalau bisa disimpulkan bahwa analisisnya memenuhi kaidah ilmu ekonomi yang ajeg). Supaya saya tak dituduh bertele-tele dengan pendahuluan saya di atas, marilah kita masuk ke pokok perkara tentang artikel Fithra, paragraf per paragraf yang relevan.<br />
<br />
Mulai dari bagian awal artikelnya terlebih dahulu:<br />
<br />
"<i><span style="color: #3c3c3c; display: inline; float: none; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;">Yang ingin saya lihat adalah bagaimana pengaruh dari sikap pro LGBT sebuah negara terhadap pertumbuhan ekonominya. Dari beragam variabel dalam survey tersebut, saya mengkonstruksi tiga hal yang paling relevan, diantaranya adalah: i) dukungan figur publik (baik politikus maupun artis); ii) dukungan pemerintah dan; iii) dukungan pemuka agama. Model yang dibangun didasarkan pada teori pertumbuhan ekonomi klasik, di mana ekonomi dapat tumbuh dengan dengan bantuan modal dan tenaga kerja, di mana kecenderungan LGBT yang semakin besar di sebuah negara akan berdampak kepada kondisi kependudukan yang memburuk. Hal ini dapat dijelaskan dari fakta terang benderang bahwa pasangan LGBT tidak dapat menghasilkan keturunan (Bukankah gembok harus bertemu kunci dan sendok bertemu garpu? Coba bayangkan kalau anda membuka gembok dengan gembok, mana bisa terbuka?). Kondisi kependudukan yang memburuk tersebut pada gilirannya akan menghambat ekonomi untuk terus tumbuh.</span></i>" <br />
<br />
Ada banyak isu dari paragraf di atas, tetapi mungkin yang pertama kali harus dipertanyakan adalah klaim bahwa kecenderungan LGBT yang semakin besar akan berdampak pada kondisi kependudukan yang memburuk dimana hal ini disebabkan oleh fakta yang terang benderang bahwa kaum LGBT tidak dapat memiliki anak. Darimana asalnya klaim dan fakta yang katanya terang benderang ini? Faktanya kaum LGBT dapat memiliki keturunan. Di negara-negara maju, konsep <i>surrogate parent</i> adalah suatu hal yang mungkin terjadi untuk kemudian dipadukan dengan aturan hukum terkait adopsi atau pengurusan anak. Pasangan LGBT dapat meminta pihak lain untuk menjadi donor sperma atau donor telur atau meminjamkan rahimnya guna mendapatkan keturunan. Memangnya setiap pasangan LGBT pasti tak menginginkan keturunan? Bayangkan juga kalau teknologi kloning sudah berjalan. <br />
</span><span id="fullpost"><span style="font-family: inherit;">
<br />
Yang lebih penting lagi, ada semacam lompatan ide yang terlampau jauh, yaitu ide bahwa seakan-akan bertambahnya LGBT akan menimbulkan krisis kependudukan. Apakah memang benar demikian adanya? Bagaimana dengan pasangan heteroseksual yang memilih untuk tidak memiliki keturunan? Salah satu konsep mendasar dalam ilmu ekonomi adalah Biaya Kesempatan (<i>Opportunity Costs</i>). Memiliki keturunan bukannya tanpa biaya. Ini bukan dunia fantasi dimana semua anak terlahir langsung dewasa, sopan, pintar, dan bisa mengurus diri sendiri tanpa bantuan orang tuanya.<br />
<br />
Kenyataannya, biaya investasi anak bisa jadi sangat tinggi dan membutuhkan banyak pengorbanan baik dalam bentuk materi maupun waktu. Tidak semua orang menempatkan prioritasnya untuk memiliki anak khususnya ketika mereka melihat kesempatan lain yang lebih baik (apalagi investasi dalam bentuk anak belum tentu selalu memberikan hasil di masa depan, namanya juga investasi). Krisis kependudukan di <a href="http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-10-21/abe-s-options-for-halting-japan-s-looming-demographic-crisis" target="_blank">Jepang</a> dan <a href="http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-08-16/korea-comes-full-circle-in-one-generation-as-aging-crisis-looms" target="_blank">Korea</a> misalnya seringkali diatribusikan kepada isu ketimpangan perlakuan gender dimana wanita yang hamil atau memiliki anak sangat dipersulit untuk mempertahankan karirnya atau bahkan memperoleh promosi. Karena ketimpangan tersebut, kaum wanita akhirnya memutuskan untuk menunda usia perkawinan atau bahkan tidak memiliki keturunan sama sekali demi mempertahankan karir mereka. Krisis itu juga dapat diperparah dengan kebijakan yang anti imigran asing guna menopang jumlah penduduk.<br />
<br />
Ketika kita bicara kebijakan publik, kita tentunya harus bicara analisis untung rugi (CBA). Tidak pantas kalau ekonom dan penyusun kebijakan publik menggunakan pendekatan "pokoknya", pokoknya begini atau begitu tanpa alasan memadai. Pertanyaan mendasarnya, dibandingkan dengan sekian banyak faktor lainnya dalam krisis kependudukan di negara-negara maju (yang sangat kompleks), seberapa besar kasus kaum LGBT menyumbang masalahnya (itu pun dengan asumsi bahwa kemungkinan kaum LGBT memiliki keturunan adalah nol seperti diandaikan oleh Fithra)? Apakah ada data yang mendukung bahwa dikarenakan LGBT, jumlah penduduk
manusia berkurang drastis? Apakah jumlah kaum LGBT telah mengalami pertumbuhan yang
sangat pesat sedemikian rupa sehingga keberadaannya menyumbang secara
signifikan terhadap isu kependudukan dan oleh karenanya membutuhkan
intervensi pemerintah? Tanpa bisa menjawab pertanyaan tersebut, saya khawatir inti artikel Fithra tak lebih dari sekedar mencari justifikasi ilmiah ala-ala atas ide yang ditulisnya dengan gamblang di bawah ini:<br />
<br />
"<i><span style="color: #3c3c3c; display: inline; float: none; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;">Dalam artikel ini, saya tidak akan menjelajahi data kaum Sodom dan Gomorah serta melampirkan ayat betapa Tuhan membenci kaum ini sehingga memberikan azab yang ganas. Biarlah para ustadz yang bercerita</span></i>.<span style="color: #3c3c3c; display: inline; float: none; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;"><span class="Apple-converted-space"></span></span>"<br />
<br />
Mudahnya, sebagai penyusun kebijakan publik, untuk apa meributkan kasus hipotetis yang sebenarnya tidak memiliki efek berat terhadap isu kependudukan? Ibarat kata, kita meributkan dan menyiapkan diri habis-habisan untuk menghadapi jatuhnya peristiwa meteor raksasa yang mungkin tak akan pernah jatuh ke bumi padahal ada lebih banyak isu krusial lainnya yang harus ditangani dengan keterbatasan sumber daya yang ada di planet bumi (misalnya pemanasan global, ketimpangan ekonomi, perang, dan sebagainya). Tidak masuk akal kan? Akan aneh kalau kita menghabiskan biaya untuk "menghilangkan" kaum LGBT guna menuntaskan permasalahan kependudukan (ini hanya contoh mengingat sampai akhir artikelnya, Fithra tidak pernah menjelaskan kebijakan apa yang hendak dia usung, kita akan bahas isu ini lebih mendalam di bawah ini), sementara isu lainnya yang kemungkinan besar lebih penting malah dibiarkan saja tanpa solusi. Dimana letak pertanggungjawaban publiknya?<br />
<br />
Paragraf berikutnya dari artikel Fithra juga tak kalah unik: "<span style="color: #3c3c3c; display: inline; float: none; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;">Hasil bercerita bahwa persentase dukungan figur publik terhadap LGBT yang semakin besar ternyata tidak berdampak signifikan tehadap pertumbuhan ekonomi. Dari sini, tersirat bahwa meski figur publik berkoar-koar mendukung LGBT, hanya sedikit dari masyarakatnya yang betul-betul terpengaruh sehingga efek tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi tidak terlalu kentara.</span>"<br />
<br />
Saya bingung kenapa Fithra menjadikan variabel ini sebagai variabel yang relevan untuk pro atau kontra atas LGBT. Apakah sekarang kita hendak mulai mengatur isu apa yang sebaiknya dibahas dan didukung oleh figur publik? Kita sekarang lebih tahu soal mana yang seharusnya ditwit atau diunggah ke Facebook oleh para aktor dan aktris kita? Apa definisi figur publik? Yang <i>follower</i>-nya lebih dari sejuta per orang? Apakah hanya di sosial media atau meliputi semua jenis media? Cukup aktor dan aktris layar kaca atau sekalian aktor politik? Lebih penting lagi, memangnya sungguh-sungguh ada kausalitas antara <i>trending topic</i> dengan pertumbuhan ekonomi? Bagaimana caranya? Karena kalau demikian adanya, semua permasalahan ekonomi kita bisa diselesaikan dengan hashtag #hashtagsolusipertumbuhanekonomi #lifeisgood #LOL.<br />
<br />
Ataukah jangan-jangan efek dari dukungan figur publik tersebut tidak terasa karena jumlah kaum LGBT terlalu sedikit untuk menimbulkan riak gelombang pertumbuhan ekonomi? Asumsinya, dukungan figur publik ternyata membuat kaum LGBT rajin dan semangat bekerja demi masa depan yang lebih baik. Tetapi kalau demikian adanya, bukankah Fithra sudah menjawab sendiri mengapa kita tak perlu ambil pusing memikirkan kebijakan publik apa yang perlu dilakukan atas LBGT, wong jumlahnya sedikit. Mungkin aktivitas figur publiknya yang perlu ditambah, kali ini dengan memanas-manasi kaum heteroseksual untuk bekerja giat mengalahkan kaum LGBT dalam persaingan sehat. Siapa tahu dengan itu kita akan berhasil mewujudkan #hashtagsolusipertumbuhanekonomi. <br />
<br />
Adapun hal yang paling cepat membuat saya mendelik ketika saya menelusuri artikel Fithra adalah dahsyatnya klaim Fithra bahwa kenaikan kebijakan pro LGBT akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Saya kutip langsung kalimatnya di bawah ini:<br />
<br />
"<span style="color: #3c3c3c; display: inline; float: none; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;">Namun jika melihat faktor pemerintah, setiap 1 persen kenaikan kecenderungan pro LGBT, maka terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1 persen. Di sini, dapat dilihat bahwa peran pemerintah selaku pembuat kebijakan adalah cukup krusial, baik itu bersifat pro maupun kontra terhadap LGBT. Dari sini pula, kita dapat melihat bahwa kebijakan pemerintah yang memiliki kecenderungan pro terhadap LGBT dapat meng-</span><i style="-webkit-text-stroke-width: 0px; box-sizing: border-box; color: #3c3c3c; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; orphans: auto; text-align: start; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">constraint<span class="Apple-converted-space"> </span></i><span style="color: #3c3c3c; display: inline; float: none; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;">pertumbuhan ekonomi.</span>" <br />
<br />
Ini klaim yang sangat berani (dan mungkin juga sangat jenius). Tanpa memberikan referensi data secara rinci, dasar perhitungan korelasi, bahkan tanpa kejelasan dengan apa yang dimaksud dengan kebijakan pro LGBT, Fithra menyimpulkan bahwa kebijakan pro LGBT (apapun itu) memperlambat pertumbuhan ekonomi. Bagaimana cara menghitungnya sementara variabelnya saja tidak jelas? Seyakin apa Fithra sehingga bahasa yang digunakan mengacu kepada kausalitas (dengan menggunakan kata "maka") dan bukan sekedar korelasi (ini dengan asumsi bahwa hitung-hitungannya benar menunjukkan ada korelasi)?<br />
<br />
Sederhana saja isunya, apa yang dimaksud dengan kebijakan pro LGBT? Apakah pernyataan seorang menteri di suatu negara tentang perlunya perlindungan hak-hak kaum LGBT dapat dianggap sebagai komponen dari kebijakan pro LGBT? Ataukah kebijakannya harus dalam bentuk tegas macam pemberian dana untuk program pendidikan pro LGBT atau bahkan legalisasi perkawinan sesama jenis? Apakah kebijakannya harus dinyatakan secara tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan? Harus di level legislatif atau cukup di level eksekutif? Harus di level pusat atau cukup di level regional? Ataukah kebijakan tersebut dapat dalam bentuk tidak tertulis/informal? Bagaimana apabila suatu Pemerintah mendiamkan aktivitas LGBT, apakah itu bisa otomatis dianggap pro LGBT karena tidak secara aktif menentang? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan untuk memastikan bahwa batasan dan definisi kebijakan pro LGBT dapat diukur. Tanpa batasan yang jelas, data bisa mudah dimanipulasi. Masih bagus kalau ada yang cukup kritis untuk menanyakan dasar analisisnya, tapi kalau kemudian klaim di atas diterima mentah-mentah oleh masyarakat pembaca (karena yang menulis dianggap tahu apa yang dibicarakan), pertanggungjawaban ilmiahnya bagaimana?<br />
<br />
Tapi tidak cukup sampai di sana, Fithra memberikan klaim lainnya yang tak kalah bombastis:<br />
<br />
"<span style="color: #3c3c3c; display: inline; float: none; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;">Sementara itu, pengaruh yang lebih besar didapat dari faktor pemuka agama, yaitu setiap 1 persen kenaikan kecenderungan pemuka agama yang pro terhadap LGBT maka pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 0.12 persen dengan tingkat signifikansi yang lebih besar dari dua faktor yang disebut sebelumnya. Temuan ini tentunya menyiratkan bahwa pemuka agama adalah gerbang terakhir penjagaan sebuah negara terhadap LGBT. Jika para pemuka agama kontra terhadap LGBT, sebagian besar masyarakat akan taat dan kecenderungan masyarakat yang berketurunan akan semakin banyak. Hal ini tentu pada gilirannya akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sebaliknya, semakin banyak pemuka agama yang pro LGBT, atau bahkan menjadi pelaku LGBT itu sendiri (kalau ini yang terjadi niscaya jamaah di masjid bakal kocar-kacir), maka potensi 'hilang generasi' akan semakin besar.</span>" <br />
<br />
Saya kesulitan mengungkapkan dengan tepat perasaan saya selain bahwa saya merinding ketika membaca klaim di atas, entah bagaimana caranya telah tercipta suatu kausalitas yang kompleks dan pasti bahwa pemuka agama (saya bahkan tidak akan menanyakan lagi apa yang dimaksud dengan definisi pemuka agama, melelahkan mengulang-ulang kritik yang sama) adalah gerbang terakhir penjagaan negara terhadap LGBT, bahwa kalau mereka kontra LGBT maka masyarakat akan taat dan oleh karenanya kecenderungan berketurunan juga bertambah. Semua ini disimpulkan dengan dasar klaim bahwa kalau pemuka agama cenderung pro-LGBT maka pertumbuhan ekonomi akan menurun.<br />
<br />
Oke lah, pertama-tama ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ingat bahwa negara-negara yang dijadikan contoh utama oleh Fithra adalah
negara-negara Uni Eropa. Stagnasi pertumbuhan ekonomi adalah salah satu
ciri negara maju yang digadang sebagai akibat dari <i>diminishing marginal rate of return</i>. Ini pun baru satu kemungkinan penjelasan dari sekian ribu penjelasan. Faktor pertumbuhan penduduk pun juga hanyalah salah satunya.<br />
<br />
Kita perlu bicara terus terang, kecuali Fithra bisa menunjukkan secara gamblang proses perhitungannya, saya khawatir semua klaim di atas lebih layak untuk masuk ke daftar koleksi <i>Spurious Correlation</i> yang bisa diakses sebagian di <a href="http://www.tylervigen.com/spurious-correlations" target="_blank">sini</a>. Sebagai contoh, tahukah anda bahwa tingkat pemberian gelar doktor di bidang teknik sipil berkorelasi 95% dengan konsumsi keju mozzarella per kapita? Mungkin ini dikarenakan lulusan doktor teknik sipil perlu banyak makan keju supaya bisa berpikir lebih jernih (kalau ini benar, lulusan doktor teknik sipil terbaik seharusnya berasal dari Italia). Atau tahukah anda bahwa tingkat pendapatan toko dingdong (ketahuan kalau saya generasi 90-an) berkorelasi 98% dengan jumlah pemberian gelar doktor ilmu komputer? Kalau tidak ada doktor ilmu komputer, siapa yang akan membuat mesin dingdong? <br />
<br />
Yang lebih lucu lagi adalah klaim bahwa pemuka agama adalah gerbang terakhir anti LGBT dan bahwa sebagian besar masyarakat akan taat dan oleh karenanya akan cenderung untuk berketurunan. Tahu dari mana bahwa pemuka agama adalah gerbang terakhir dan sebagian besar masyarakat taat pada pemuka agama? Datanya dari mana? Banyak contoh bertebaran, apakah bisa dibuktikan ada kausalitas antara kerajinan orang shalat dan bayar zakat dengan jumlah ceramah agama yang dia dengar atau jumlah ustaz di masjid? Ini bisa jadi bahan penelitian yang menarik.<br />
<br />
Contoh yang lebih gamblang, soal bunga bank yang dikategorikan sebagai riba. Saya tidak akan membahas di sini tentang soal apakah bunga bank layak dikategorikan sebagai riba atau riba harus diharamkan tanpa kecuali (untuk membahas ini butuh satu disertasi dan masih dalam proses). Kita anggap saja bahwa pendapat mayoritas ulama di Indonesia (termasuk fatwa MUI) mengenai keharaman riba adalah final. Dalam hadis Bukhari, riba termasuk satu dari 7 dosa besar yang sama dengan dosa syirik, murtad dan membunuh orang tanpa hak. Di hadis lainnya, dosa riba disamakan dengan 36x dosa zina atau setara dengan dosa hubungan incest dengan ibu kandung. Faktanya, aset bank syariah tak seberapa dibandingkan dengan aset bank konvensional di Indonesia (dengan kata lain, jumlahnya kecil). Demo terhadap tempat lokalisasi dan perjudian gampang untuk dicari, tetapi demo menentang bank konvensional dan pengusiran bank konvensional dari wilayah Indonesia? Sama susahnya seperti mencari tuyul atau Nyi Roro Kidul. Jadi apakah kita masih bisa dengan gampang mengklaim bahwa apa yang disampaikan pemuka agama akan mayoritas diikuti oleh masyarakat kebanyakan? Jawabannya tergantung, tergantung dengan kepentingan masing-masing anggota masyarakat. Mereka juga bukan orang bodoh dan bisa melakukan CBA mereka sendiri.<br />
<br />
Begitu pula dengan klaim bahwa karena masyarakat akan mendengarkan pemuka agama, maka kecenderungan berketurunan akan jadi semakin tinggi. Selain saya cukup yakin bahwa klaim ini belum ada data validnya, memangnya selama ini orang memiliki keturunan semata-mata karena perintah agama? Atau jangan-jangan itu semua karena desakan orang tua yang ingin menimang cucu ditambah budaya yang cukup lazim di Asia bahwa anak pada akhirnya akan mengurus orang tuanya sehingga anak secara tak langsung dianggap sebagai investasi asuransi masa depan? Saya tidak mengklaim ini satu-satunya penjelasan. Saya hanya hendak menyampaikan bahwa ada terlalu banyak penjelasan soal alasan mengapa orang mau berketurunan!<br />
<br />
Jangan lupa juga klaim Fithra bahwa jumlah pertumbuhan penduduk akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Apakah memang jumlah pertumbuhan penduduk akan selalu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan? Negara seharusnya kan bukan skema Ponzi yang hanya bisa hidup dengan mengandalkan pertambahan jumlah peserta. Satu isu yang tidak dibahas dengan gamblang oleh Fithra adalah sebenarnya dia sedang mengkhawatirkan Eropa, Cina atau Indonesia? Apakah Indonesia sedang mengalami krisis pertumbuhan penduduk? Apakah Indonesia akan mendapatkan lebih banyak manfaat dari kontrol jumlah penduduk atau malah sebaliknya? Apakah Indonesia akan mengalami krisis penurunan jumlah penduduk dalam waktu dekat atau kita malah akan memiliki terlalu banyak tenaga kerja yang tak produktif? <br />
<br />
Secara implisit, Fithra sendiri mengklaim bahwa kebijakan pro-LGBT akan menjadi mekanisme kontrol kependudukan yang berlebihan sebagaimana ia katakan di sini: "<span style="color: #3c3c3c; display: inline; float: none; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;">Memang ada beberapa artikel ilmiah yang menunjukkan bahwa LGBT dapat mendorong<span class="Apple-converted-space"> </span></span><i style="-webkit-text-stroke-width: 0px; box-sizing: border-box; color: #3c3c3c; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; orphans: auto; text-align: start; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 1; word-spacing: 0px;">population control</i><span style="color: #3c3c3c; display: inline; float: none; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;"><span class="Apple-converted-space"> </span>yang kemudian dianggap penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun alih-alih memajukan sebuah bangsa, kontrol yang berlebihan seperti ini justru akan menghancurkan potensi masa depan negara tersebut</span>." Tetapi tentu saja untuk bisa memberikan klaim seperti ini, Fithra harus bisa menunjukkan bahwa keberadaan LGBT dengan sangat efektif dan secara berlebihan telah mengontrol jumlah penduduk di Indonesia (sehingga perlu dikurangi atau dibasmi). Kalau benar, mungkin praktisi dan peneliti efek kebijakan KB dan demografi di Indonesia perlu belajar dari kaum LGBT karena nampaknya kebijakan KB yang diusung mereka selama ini masih belum cukup efektif untuk meredam laju pertumbuhan penduduk Indonesia (tentunya saya bercanda, saya bisa dikutuk oleh almarhum Prof. Widjojo Nitisastro, sang maestro demografi dan begawan ekonomi Indonesia, kalau saya menawarkan kebijakan asal-asalan seperti itu). <br />
<br />
Di bagian penutup artikelnya, Fithra menyampaikan sebagai berikut: "<span style="color: #3c3c3c; display: inline; float: none; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; letter-spacing: normal; line-height: 24px; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; word-spacing: 0px;">Jika ustadz dan pendeta tidak dapat meyakinkan para pemangku kebijakan, mudah-mudahan tulisan ini dapat menuntun mereka untuk dapat berpikir lebih jernih dan rasional, bukan sekedar pakai ilmu kira-kira.</span>" Misteri terbesar dari artikel Fithra adalah saya tidak tahu kebijakan apa yang hendak dia usung. Yang lebih misterius lagi adalah dengan rekomendasinya untuk berpikir jernih dan rasional bukan sekedar pakai ilmu kira-kira, mengapa saya mendapati bahwa artikelnya tersebut memuat terlalu banyak perkiraan yang jatuh dalam ranah ilmu kira-kira? Mungkin perkiraan saya salah, mungkin semuanya memang cuma kira-kira belaka. Kira-kira menurut anda bagaimana?<br />
<br />
Secara Fithra tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebijakan pro-LGBT, saya juga sulit memprediksikan kebijakan anti atau kontra LGBT yang hendak digadang Fithra supaya pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap sehat dan tidak mengalami masalah seperti di Eropa dan Cina (terlepas adanya perbedaan signifikan dalam tingkat kemajuan teknologi, institusi dan pertumbuhan ekonomi, karena itu semua nampaknya tidak penting untuk dipikirkan). Tentunya perlu diingat bahwa kaum LGBT juga manusia yang dapat menjadi faktor produksi. Mengingat sejauh ini belum ada temuan yang menunjukkan bahwa kaum LGBT bekerja dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kaum heteroseksual dan Fithra nampak sangat mementingkan pertumbuhan ekonomi, saya berasumsi bahwa usulan kebijakannya tidak akan melibatkan diskriminasi di lapangan pekerjaan maupun genosida.<br />
<br />
Apa mungkin kebijakannya hendak dibuat dalam bentuk terapi normalisasi? Eugenics? Diskriminasi dalam segala aspek lainnya yang tidak terkait dengan pertumbuhan ekonomi? Mungkin larangan memegang jabatan politik atau menjadi figur publik, dan sebagainya? Tak tahu lah saya apa yang mau diusung supaya kebijakannya bisa dianggap sebagai kebijakan kontra LGBT. Saya cuma berharap Fithra akan membaca lagi artikelnya sendiri tentang <a href="https://www.selasar.com/ekonomi/ekonomi-diskriminasi" target="_blank">Ekonomi Diskriminasi</a> yang baru ditulisnya bulan Oktober tahun lalu supaya nanti proposal kebijakannya tidak bertentangan dengan ide indah yang ia tulis di artikel itu.<br />
<br />
Saya juga tertarik untuk tahu lebih jauh dari Fithra kalau seandainya semua alasan efek LGBT terhadap pertumbuhan ekonomi ini hanya angan-angan belaka, maka bahaya laten apa yang sebenarnya akan kita hadapi dari keberadaan LGBT dan mengapa kita butuh kebijakan kontra LGBT? Sekali lagi saya ingatkan, kita sedang bicara kebijakan publik, bukan isu moral benar atau salah seperti yang diklaim sendiri oleh Fithra. Ada banyak isu moral lain selain LGBT yang bisa jadi punya efek juga ke pertumbuhan ekonomi, kenapa harus ribut sekali soal LGBT ini sampai-sampai mengada-adakan masalah yang kemungkinan besar tidak ada? Atau karena sementara ini LGBT memang sedang jadi trending topic saja sampai nanti diganti dengan isu yang lain? Pantas pertumbuhan ekonomi kita sedang kurang bagus, mungkin bukan karena ekonomi global sedang memburuk atau kebijakan investasinya plin plan, tetapi karena trending topic-nya tidak fokus! Sedikit-sedikit berganti bergantung minat masyarakat sedang kemana. <br />
<br />
Sebagai penutup, saya mencoba membayangkan seandainya artikel LGBT di atas dibawa untuk dibahas dalam workshop di University of Chicago Law School atau Departemen Ekonomi UChicago (tentu saja ini hipotetis belaka, kemungkinan artikel seperti itu dibahas di workshop tersebut adalah nol besar), entah seperti apa ladang pembantaiannya. Saya sudah sering menyaksikan profesor-profesor kelas wahid yang dibantai di workshop-workshop tersebut, padahal klaim mereka tak terlalu bombastis dan datanya segudang, tetapi tetap saja celahnya ada dimana-mana, mulai dari teknik pengumpulan data, kualitas sampel, bias dari sampel, sampai filosofi dari idenya itu sendiri. Apalagi kalau makalah/artikelnya hanya didasarkan pada klaim pribadi penulisnya bahwa penelitiannya bersifat empiris dan datanya valid. Klaim seperti ini sama nilainya dengan klaim bahwa sebetulnya saya adalah Batman.<br />
<br />
Saya juga masih sulit untuk percaya bahwa artikel LGBT di atas ditulis oleh Fithra, khususnya menimbang reputasi dan artikel-artikelnya selama ini yang menurut saya selalu berkualitas. Bagaimana mungkin artikel ini ditulis oleh orang yang sama yang menulis artikel tentang <a href="https://www.selasar.com/ekonomi/ekonomi-diskriminasi" target="_blank">bahaya diskriminasi</a> dan <a href="https://www.selasar.com/ekonomi/strategi-pembangunan-indonesia" target="_blank">strategi pembangunan Indonesia</a>? Oleh karena itu, setelah menimbang berbagai potensi skenario, dan dengan mengandalkan prinsip <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Occam's_razor" target="_blank">Occam's Razor</a>, saya berkesimpulan bahwa penjelasan yang paling masuk akal mengapa artikel itu muncul adalah karena Fithra Faisal kemungkinan besar telah diculik dan seseorang saat ini sedang mencatut namanya untuk menulis artikel tersebut. Where's Liam Neeson when we need him the most? Bring the real Fithra back! </span><br />
</span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-29707526626239912112015-07-07T11:33:00.003+07:002020-12-22T16:00:57.402+07:00Gojek, Ojek Pangkalan dan Kapitalisme<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhZ1OVd2fNth5tL379_Sw2ZsQKA-0CxUWCdr-mFgIFqIFv0YJR37ZhnDZ5J4i2NR4XX4YbFsLBIIIxfpXKFBaBeUQZoctJzhSeYE6ysyC6jUTVtnVHyDDv2Ib4l6ke9Vryfrht/s2048/afif-kusuma-eHOmKhovImw-unsplash.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhZ1OVd2fNth5tL379_Sw2ZsQKA-0CxUWCdr-mFgIFqIFv0YJR37ZhnDZ5J4i2NR4XX4YbFsLBIIIxfpXKFBaBeUQZoctJzhSeYE6ysyC6jUTVtnVHyDDv2Ib4l6ke9Vryfrht/s320/afif-kusuma-eHOmKhovImw-unsplash.jpg" width="320" /></span></a></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><span style="font-family: inherit;">Selama sumber daya terbatas, manusia harus memilih, dan itu berarti menemukan kebijakan yang memuaskan semua pihak belum tentu akan selalu tercapai. Ambil contoh kisah Gojek versus Ojek Pangkalan. Saya sudah membaca beragam artikel terkait hal ini mulai dari yang membela Gojek, <a href="https://www.selasar.com/kreatif/memori-ojek-pangkalan-dan-monopoli-gojek" target="_blank">mempertanyakan nasib supir ojek pangkalan yang katanya mulai tersingkir akibat "kapitalisme" ala Gojek</a>, sampai <a href="https://aichiros.wordpress.com/2015/06/20/tiada-rotan-uber-pun-jadi/" target="_blank">potensi efek samping dari keberadaan Gojek, GrabBike dan variannya terhadap keberlanjutan transportasi publik</a>. Tulisan ini tidak akan membahas kepentingan kelompok mana yang harus didahulukan. Saya jauh lebih tertarik untuk membahas insentif dari masing-masing grup dan dinamika yang mungkin terjadi.<br />
<br />
Seperti biasa, saya beranjak dari asumsi ilmu ekonomi mengenai perilaku manusia rasional yang senantiasa mengutamakan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Saya cukup yakin bahwa semua supir Gojek dan ojek pangkalan sama-sama suka dengan profit (tentu tak ada yang melarang anda untuk berimajinasi kalau kebanyakan dari mereka bekerja jadi supir ojek sekedar demi memenuhi hobi bertualang di rimba jalanan Jakarta atau memenuhi idealisme mereka menolong rakyat Jakarta yang seringkali kesusahan menemukan sarana transportasi). Permasalahannya, kedua grup usaha ini memiliki model bisnis yang berbeda. Gojek bertindak sebagai broker dengan menggunakan jaringan teknologi untuk memudahkan hubungan antara supir ojek dan konsumen sehingga lokasi keberadaan ojek menjadi lebih fleksibel dan waktu tunggu bagi konsumen menurun. Harganya juga sangat murah walaupun setahu saya masih disubsidi untuk perkenalan. Bisa jadi minat konsumen akan berubah apabila harga Gojek sudah mencerminkan harga aslinya.<br />
<br />
Sementara itu, Ojek pangkalan jelas sangat mengandalkan penumpang dari lokasi tempat mereka mangkal. Secara probabilistik, kemungkinan mendapatkan pelanggan akan sangat bergantung pada lokasi pangkalan yang bersangkutan. Bisa jadi ada pangkalan yang selalu penuh pelanggan dan ada pangkalan yang sepi pelanggan. Ini berbeda dengan Gojek yang pelanggannya seharusnya terdistribusi secara lebih merata. Kalau pelanggannya banyak, harga ojek pangkalan yang bersangkutan bisa jadi ditekan lebih murah. Kalau lebih sedikit, harga bisa jadi dinaikkan.<br />
<br />
Tapi ada cara yang lebih mudah untuk memastikan keuntungan yang lebih besar. Para supir tersebut bisa berkumpul bersama dan menggunakan sistem antrian (atau sistem sopan santun, kulo nuwun, atau apa pun lah itu). Dengan sistem seperti ini, pangkalan memiliki kuasa yang lebih besar untuk menentukan harga yang mereka inginkan karena persaingan antar supir dieliminasi. Konsekuensi lebih lanjutnya, para supir tidak perlu terlalu sering menarik asalkan mereka bisa mendapatkan pelanggan yang mau membayar lebih mahal. Mereka kemudian bisa menggunakan waktu yang tersisa untuk berdiskusi membicarakan nasib negara ini sambil minum kopi dan main catur. Sayangnya model bisnis ini perlu memastikan bahwa tidak ada saingan yang berdekatan. Karena kalau ada saingan yang mau memberikan harga yang lebih murah, pelanggan tentunya juga akan malas menggunakan ojek pangkalan dan sistem antrian mereka juga akan kehilangan daya tarik bagi para pesertanya.<br />
</span><span id="fullpost"><span style="font-family: inherit;">
<br />
Dalam konteks ini, apa bedanya bisnis ojek pangkalan dengan kartel monopolistik yang saling membagi-bagi wilayah kekuasaan? Skalanya mungkin akan lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan besar atau organisasi besar semacam OPEC, tetapi intinya sama. Kalau anda tak suka menggunakan istilah kartel karena kesannya kapitalis sekali, boleh saja kita gambarkan kartel ini sebagai konstruksi sosial tentang relasi wilayah, kuasa dan budaya atau sistem gotong royong supaya kelihatan lebih merakyat. Ketika saya melihat ada foto spanduk ojek pangkalan yang menolak kehadiran Gojek atau GrabBike di suatu apartemen, yang pertama kali terbayang di pikiran saya bukanlah kaum bodoh termarjinalkan yang sedang berusaha mengais sedikit rezeki melainkan pebisnis pintar yang paham konsep monopoli tanpa harus capek-capek mengenyam pendidikan tinggi di bidang ekonomi. Siapa yang tak senang jadi pelaku monopoli? Harga bisa dipatok lebih tinggi, kualitas layanan bisa diturunkan, kapasitas produksi juga tak perlu produktif-produktif amat. Yang penting profit minimum yang diinginkan sudah tercapai. <br />
<br />
Apakah kemudian pelaku ojek pangkalan tak rasional ketika menolak uluran kerja sama dari Gojek? Belum tentu. Isu alokasi waktu antara kerja dan bersantai-santai sudah lama dibahas dalam ilmu ekonomi. Saya beberapa kali membaca kisah tentang tingginya pendapatan supir Gojek. Tetapi dalam kisah itu selalu ada catatan: supir yang bersangkutan rajin kerja seharian. Ini bisa jadi eksperimen yang menarik. Mengingat ada beberapa supir pangkalan yang kemudian pindah ke sistem Gojek, dapat ditanyakan kepada mereka, apa alasan utamanya? Ingat, bersantai-santai tak selalu irasional. Ada kenikmatan tersendiri dalam bersantai-santai sebagaimana ada kenikmatan dalam menghasilkan uang yang lebih banyak. Yang paling enak tentunya adalah banyak santainya sekaligus banyak uangnya. Maka bayangkan kalau anda memiliki bisnis demikian dan kemudian muncul orang yang mengganggu. Apabila analisis ini benar, maka uluran tangan dari Gojek kemungkinan besar tak akan efektif selama jumlah supir ojek (atau minimal pemimpin-pemimpinnya) yang menikmati model bisnis lamanya lebih banyak dari model bisnis ala Gojek.<br />
<br />
Lalu apakah potensi konflik ini akan terus membesar? Ini belum bisa diprediksi. Seperti saya sampaikan di atas, harga Gojek nampaknya belum merepresentasikan harga aslinya sehingga masih ada ruang perubahan permintaan dari para konsumen. Kita juga belum mengetahui data pasti minat kebanyakan supir ojek, model bisnis apa yang mereka lebih sukai? Bagi yang suka model lama, berapa "harga" yang mereka tetapkan sebelum mereka bersedia untuk menggunakan model baru? Apakah kemudian ojek pangkalan juga masih akan mempertahankan suasana konflik tersebut? Kekuatan monopolistik per pangkalan mereka yang kini sedang diuji dan ini akan sangat bergantung dengan relasi mereka dengan konsumen.<br />
<br />
Naif kalau kita berasumsi bahwa konsumen akan luar biasa peduli dengan nasib para supir dari masing-masing kubu. Kisah perjuangan tiap supir memang indah kalau dituangkan dalam artikel berita atau buku. Siapa tahu bisa jadi <i>the next best seller</i> dalam kategori buku <i>self-help</i>. Namun demikian, isu utama bagi kebanyakan konsumen adalah soal harga dan kemudahan akses transportasi. Ojek pangkalan bisa jadi akan mengupayakan supaya persaingan bisa dihindari, misalnya dengan jalan intimidasi dan kekerasan, tapi tentunya menjalankan praktek demikian butuh biaya. Harus ada yang sibuk berjaga-jaga. Kekerasan bisa masuk ranah pidana dengan sanksi penjara. Kemudian harus dihitung sejauh mana area mereka harus dijaga karena bisa jadi konsumen memilih untuk berjalan lebih jauh guna menemui supir Gojek mereka. Mau tak mau, ini juga akan berpengaruh ke harga ojek pangkalan. Mereka harus memastikan bahwa harga mereka setidaknya merefleksikan harga Gojek ditambah ongkos konsumen untuk berjalan sedikit lebih jauh. Belum lagi ongkos yang timbul apabila aksi mereka tidak simpatik bagi konsumen dan semakin mengurangi minat konsumen. Seperti kata Gary Becker, semua aksi irasional (kalau kita masih bersikeras menganggap para supir ojek pangkalan sebagai manusia irasional) pada akhirnya akan tunduk pada kekuatan paling absolut di dunia ini, kelangkaan. <br />
<br />
Bagaimana dengan Gojek? Terlalu cepat untuk mengklaim bahwa Gojek telah menjadi pelaku monopoli yang mendominasi seluruh pasar ojek. Kalau memang ini bisnis yang menarik, pemain baru juga akan tertarik untuk menangkap pasar yang masih tersedia dan ini akan mempengaruhi kekuasaan Gojek (yang saat ini saja sudah disaingi oleh GrabBike). Apalagi kalau minat yang tinggi terhadap Gojek saat ini dikarenakan Gojek masih menggunakan harga promo. Kalau harga asli Gojek ternyata jauh lebih tinggi dan pelayanannya tak cukup untuk menarik minat konsumen untuk berpaling dari ojek pangkalan, maka kekhawatiran bahwa ojek pangkalan akan musnah juga terlalu prematur. Memangnya dipikir membuat bisnis sukses itu gampang? Bisnis ada dan jatuh bangun, apalagi bisnis yang mengandalkan jaringan teknologi. Siapa yang dulu percaya Google akan menghabisi Yahoo atau Microsoft menghabisi IBM. Kita butuh data akurat untuk mengetahui apakah Gojek saat ini memang benar-benar berkuasa secara ekonomi atau semua ini cuma ilusi di sosial media. <br />
<br />
Yang pasti, saya belum melihat adanya kebutuhan mendesak akan intervensi dari pemerintah. Pasar ojek sedang mencari titik ekuilibrium baru dan sebaiknya dibiarkan saja dulu untuk sementara ini. Yang lebih penting untuk disadari, setelah kita kupas bungkusnya, baik Gojek maupun ojek pangkalan adalah grup kepentingan (<i>interest group</i>) yang saling bersaing dalam sistem ekonomi yang kapitalistik. Kita sudah lihat bagaimana kepentingan ini bermain dalam bisnis taksi versus Uber yang sebenarnya sama persis model bisnisnya dengan ojek pangkalan versus Gojek. Jangan terpana dengan kisah pertentangan antar kelas. Ujung-ujungnya tak pernah jauh dari profit dan kompetisi untuk mendapatkan profit lebih banyak dengan cara yang lebih mudah. Jangan lupa juga bahwa masih ada kubu konsumen yang kepentingannya pun berbeda dengan kepentingan para produsen ini. <br />
<br />
Penyakit yang sering saya lihat di sini adalah <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Availability_heuristic" target="_blank"><i>availability heuristic</i></a>. Ketika suatu isu sedang trendi dibahas, maka seakan-akan isu ini menjadi penting dan kritis. Tak heran bangsa ini sedikit-sedikit mengalami "darurat" ini dan itu. Asal masuk berita, dan kemudian disebarkan di beberapa situs berita lainnya, tiba-tiba suatu isu yang bisa jadi sudah lama ada dan tak tersentuh menjadi isu krusial yang dapat mengguncang keutuhan bangsa dan negara (padahal sebelumnya tak ada yang peduli karena memang tidak krusial). Namun karena naiknya juga sekejab, tak lama kemudian isu itu pun sudah ditelan dengan isu lainnya.<br />
<br />
Untuk kepentingan media, sah-sah saja. Namanya juga bisnis yang mengandalkan minat pembaca. Kalau tak bombastis, mau dapat uang dari mana? Tapi pemerintah? Masa kita biarkan pemerintah tak fokus dan bingung sendiri dengan kebijakan yang hendak disusun karena sibuk mengandalkan riak informasi dari masyarakat yang suka meributkan apa pun yang bisa diributkan? Secara normatif, tentu ini harus dihentikan, tak semua isu cukup penting untuk ditangani oleh pemerintah. Sebagaimana tak bosan-bosannya saya sampaikan, pemerintah perlu melakukan analisis untung rugi (CBA) secara hati-hati. Masih banyak isu lain yang lebih penting daripada persaingan antar tukang ojek. Yang berbahaya adalah ketika pemerintahnya sendiri menyadari minat masyarakatnya terkunci pada hal-hal yang bombastis saja. Kalau demikian, yang kita dapatkan adalah lingkaran setan, masyarakatnya gemar meributkan hal yang tidak perlu, pemerintahnya sibuk pencitraan karena pencitraan lebih gampang daripada kerja dengan serius.</span><br />
</span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-2459680903486437282015-05-22T07:30:00.003+07:002020-12-22T16:00:33.185+07:00Tafsir Realistis atas Hari Kebangkitan Nasional<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgc8M58fVErYgMwM0kmxuNrVtezcXCTmEnjlT1FgVPWx_1OkzpRlh18e09knqROVa5WVxwOW1bTEjK4KcgqUguDiVMHysrlt-JWWxikHG0Kj9SzxaIF_7IAiSD-RO3leaf1Ktu4/s2048/nick-agus-arya-5i3oyOrojvk-unsplash.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgc8M58fVErYgMwM0kmxuNrVtezcXCTmEnjlT1FgVPWx_1OkzpRlh18e09knqROVa5WVxwOW1bTEjK4KcgqUguDiVMHysrlt-JWWxikHG0Kj9SzxaIF_7IAiSD-RO3leaf1Ktu4/s320/nick-agus-arya-5i3oyOrojvk-unsplash.jpg" width="320" /></span></a></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><span style="font-family: inherit;">Sehari yang lalu, saya membaca 2 artikel yang bertemakan Hari Kebangkitan Nasional. Artikel pertama berbicara soal <a href="https://www.selasar.com/budaya/kemunduran-bangsa" target="_blank">banalitas (kedangkalan) masyarakat Indonesia</a>, dan yang kedua soal <a href="http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/05/18/050000626/Mereka.Cari.Jalan.Bukan.Cari.Uang" target="_blank">pentingnya mencari "jalan", bukan uang</a>. Walau ditulis oleh 2 orang yang berbeda, nuansa isinya sama, intinya: bangsa kita kehilangan jati diri, suka dengan hal yang remeh temeh, dan berpikir jangka pendek atau bahkan malas berpikir sama sekali, dan oleh karenanya, dibutuhkan revolusi mental dan revolusi-revolusi lainnya yang tanggap dan membahana. Saya setuju dengan premis awalnya, namun saya kecewa dengan tawaran solusinya yang menurut saya tak realistis dan cenderung elitis.<br />
<br />
Artikel soal banalitas dibuka dengan kisah para mahasiswa pemikir yang mengaku kesepian karena tak punya lawan bicara, bacaannya terlalu "berat" dan akhirnya mereka terpinggirkan dari pergaulan karena rekan-rekannya banal. Ini menimbulkan satu pertanyaan fundamental: kalau para mahasiswa tersebut benar-benar cerdas dan luas bahan bacaannya, bagaimana mungkin dia hanya sanggup berbicara dalam bidangnya yang itu-itu saja? Lebih naif lagi kalau dia berharap bahwa orang lain akan menghargai bahan bacaannya yang kesannya sangat intelek tersebut. Siapa juga yang akan peduli? Kesan yang saya tangkap, orang-orang ini sakleg, tidak pragmatis, elitis, dan lebih parah lagi, belum punya kemampuan untuk berdikari.Tak heran kalau akhirnya mereka justru tersingkir.<br />
<br />
Saya pribadi menikmati melahap buku-buku soal hukum, agama, ekonomi, filsafat, politik dan ilmu sosial lainnya, tapi hal tersebut tidak membuat saya lupa untuk menyempatkan diri melahap ribuan komik-komik dari mulai karya Tatang S. sampai Eichiro Oda dan Kentaro Miura. Sampai saat ini pun saya masih berlangganan majalah mingguan Donal Bebek (tradisi yang sudah saya jalani selama kurang lebih 25 tahun). Saya bisa menikmati menonton kuliah online dari <a href="https://www.youtube.com/playlist?list=PL9334868E7A821E2A" target="_blank">Gary Becker</a> dan <a href="https://www.youtube.com/playlist?list=PLptOcZu9Tc4juecHpsTNmAtdCFEscH0Pe" target="_blank">akademisi-akademisi terkemuka lainnya</a>, tapi di sisi lain, saya juga konsisten melakukan riset serius untuk menemukan video-video lucu di Youtube (<a href="https://www.youtube.com/watch?v=HYZ0ec648Mw" target="_blank">Jagung Rebus </a>mungkin layak menjadi juara dalam hal ini). Dan sebagaimana saya bisa menghabiskan waktu untuk membaca beragam artikel jurnal ilmiah di HeinOnline dan JSTOR, tidak ada alasan kuat untuk kemudian mengesampingkan kesempatan membaca postingan absurd di 9gag yang sangat menghibur. Fakta bahwa kita bisa mendalami hal-hal intelek tidak harus membuat kita jadi manusia yang sok intelek (yang saya khawatir malah sebenarnya tidak intelek-intelek amat). Yang pasti, saya belum pernah kehabisan bahan pembicaraan dengan
rekan-rekan saya sampai-sampai saya harus teralienasi dari manusia
lainnya, terlepas kita mau bicara serius, atau hal-hal yang katanya
"remeh-temeh".<br />
<br />
Isu sok intelek ini membuat saya teringat kisah lucu dari adik saya soal kesalnya ia dengan seorang mahasiswa lulusan fakultas sastra (ini cuma anekdot, bukan data statistik yang merepresentasikan mahasiswa fakultas sastra) yang telat untuk menghadiri pertemuan sampai 2-3 jam. Ketika ditanya mengapa terlambat sedemikian rupa, dengan santainya ia beralasan: "memangnya konsep waktu itu apa?" Jawaban yang sangat "intelek", dan layak disambut dengan geledek ke mukanya. Adik saya hanya geleng-geleng kepala, tetapi kalau pemuda ini anak buah saya, saya tak akan sungkan menjejalkan buku Martin Heidegger, <i>Being & Time</i>, yang tebal itu ke mulutnya karena banyak lagak dan bertanya apakah buku di mulutnya itu benar-benar ada atau hanya rekaan konseptual semata.<br />
</span><span id="fullpost"><span style="font-family: inherit;">
<br />
Lagipula, apa kriteria yang tepat dalam menentukan bacaan yang intelek dan berkualitas dan yang harus diprioritaskan waktunya diantara beragam bahan bacaan lain? Mungkin ada yang beranggapan novel-novel karya sastra adalah karya agung yang luar biasa dan layak dibaca semua umat manusia. Saya berbagi nama yang sama dengan Pramudya Ananta Toer, tapi saya sama sekali tak suka membaca novel (termasuk novel Pramudya), 5 halaman pertama sudah cukup untuk membuat saya tertidur. Jauh lebih menarik membaca <i>Economic Analysis of Law</i>-nya Richard Posner atau <i>Bidayatul Mujtahid</i>-nya Ibn Rushd, atau <i>Long Hu Men</i>-nya Tony Wong. <br />
<br />
Bagi mereka yang beranggapan bahwa buku filsafat perlu dibaca semua orang, saya sendiri malah berpendapat kebanyakan buku filsafat hanya membuang-buang waktu karena tak terpakai dalam praktek dan kebanyakan bidangnya sudah diambil alih oleh sains (disebut juga pendekatan naturalisme). Lalu, jenis bacaan mana yang lebih layak diutamakan? Sejujurnya saya tak tahu pastinya karena melibatkan bahan bacaan multi disiplin (jauh lebih mudah bicara penilaian buku-buku dalam satu disiplin ilmu), dan saya tak yakin bisa menjawab itu semua hanya dalam satu artikel blog. Minat dan fungsi masing-masing bacaan akan berperan penting. Kita akan bahas isu ini di lain kesempatan. <br />
<br />
Ketika saya belajar ekonomi dan soal rasionalitas manusia, pencerahan pertama yang saya dapat dan masih saya jaga sampai sekarang adalah bahwa manusia memiliki prioritas yang berbeda-beda dalam memaksimalkan manfaat bagi dirinya. Kalau kita mau mengubah atau mengarahkan mereka untuk tujuan tertentu, hal pertama yang harus dipahami adalah apa insentif mereka? Insentif yang tepat sayangnya tidak bisa dideduksi dari prinsip-prinsip normatif yang mengawang-awang, melainkan harus diteliti secara empiris. Sebagai contoh, saya percaya bahwa prinsip normatif yang paling penting di dunia adalah memaksimalkan kesejahteraan manusia dengan cara yang paling efisien dan optimal, tapi saya tahu tak semua orang sepakat, dan bahkan masih ada yang berpikir bahwa pendekatan ekonomi adalah produk Barat dan harus dilawan di Indonesia. Tentu saja itu ide yang konyol, tapi orang tidak akan berubah hanya karena saya menyatakan bahwa ide mereka konyol, saya harus menunjukkan dengan rinci mengapa pemikiran mereka konyol, itu pun belum tentu juga mereka akan sepakat, banyak orang keras kepala di dunia ini (<a href="http://www.washingtonpost.com/news/morning-mix/wp/2015/05/20/co-author-disavows-highly-publicized-study-on-public-opinion-and-same-sex-marriage/" target="_blank">penelitian empiris terbaru soal bagaimana cara mempengaruhi opini orang lain secara mudah dengan pendekatan personal ternyata didasarkan pada data fiktif</a>). Salah satu alasan mengapa saya sering menulis soal pendekatan ekonomi dalam hukum dan kebijakan publik adalah karena saya ingin menguji ide saya tersebut, saya ingin tahu mengapa orang tidak setuju dan apa jenis argumen yang tepat untuk meyakinkan mereka. Lihat misalnya 2 debat terakhir saya tentang ilmu ekonomi di <a href="http://www.pramoctavy.com/2015/01/gagal-paham-rasionalitas-manusia-dalam.html" target="_blank">sini</a> dan di <a href="http://www.pramoctavy.com/2015/01/gagal-paham-rasionalitas-ekonomi-jilid-2.html" target="_blank">sini</a>.<br />
<br />
Contoh lainnya, saya menganggap bahwa buku <i>self-help</i> adalah musuh umat manusia, tetapi mengapa begitu banyak orang yang suka? Kalau kita tidak paham mengapa buku-buku ini diminati, bagaimana kita bisa kemudian mengarahkan orang-orang untuk tidak lagi atau setidaknya mengurangi konsumsi buku-buku tersebut? Sekedar menyatakan bahwa buku filsafat adalah buku intelek yang lebih layak dibaca menurut saya tidak akan banyak membantu, apalagi kalau orang tidak dididik untuk tahu fungsi dan manfaat dari belajar hal tersebut. Pernah dipikirkan bahwa buku-buku njelimet itu mungkin tak laku karena orang-orang tak mengerti apa yang ditulis oleh para penulis buku tersebut? Tak ada gunanya memunculkan konsep yang keren kalau tak ada yang paham. Ibarat pertanyaan filosofis, apabila sebatang pohon tumbang di hutan dan tidak ada yang mendengarnya, apakah tumbangnya pohon tersebut masih berbunyi? Duaarrr!!! <br />
<br />
Kenyataannya, munculnya buku-buku sains atau ekonomi populer tak bisa dilepaskan dari adanya minat dan permintaan dari orang awam. Para penulisnya paham bahwa kalau mereka ingin menjangkau lebih banyak pembaca, mau tak mau harus mengikuti selera pasar sampai derajat tertentu. Saya ambil contoh buku-buku filsafat bahasa karya Ludwig Wittgenstein yang sangat sulit untuk dibaca. Di Amerika, Saul Kripke dari Princeton University menjadi semacam penerjemah informal dari karya-karya Wittgenstein, menjelaskan ulang buku-bukunya dalam bahasa yang lebih sederhana (itu pun masih tergolong cukup rumit menurut saya). Berharap tiba-tiba semua orang akan mau berinvestasi untuk membaca buku-buku berat tanpa bantuan sama sekali adalah mimpi di siang bolong. Tidak semua orang berminat untuk menjadi akademisi. Tapi kalau akademisinya betul-betul intelek dan peduli, dia akan berupaya untuk memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat awam terhadap kajian ilmu pengetahuan yang luas dan sebenarnya sangat menarik itu. <br />
<br />
Saya bisa memahami kekhawatiran si penulis artikel banalitas, saya pun merasakan hal yang sama, tapi saya bingung dengan tawaran menyelami budaya sendiri sebagai solusi. Ini butuh penelitian mendalam sebenarnya. Apa yang menyebabkan kita menjadi dangkal? Pengaruh luar atau justru budaya lokal yang kita anggap agung itu? Mengapa misalnya yang trendi dari Jepang dan Korea hanyalah impor Manga dan K-Pop (saya penggemar <a href="https://www.youtube.com/playlist?list=PLBi9Se79Gf9szDYr6Jxh7d6YcBXJzPG0R" target="_blank">G-Dragon</a>, ngomong-ngomong)? Mengapa etos kerja dan belajar mereka yang gila-gilaan itu tidak sampai di sini? Mengapa impor dari Arab (atau Islam) yang sukses hanya hal-hal yang remeh temeh semacam masalah pakaian, kemenyan, atau konsep yang terlalu disederhanakan padahal banyak kelemahannya semacam ide khilafah (saya sudah membahas soal kemalasan berinvestasi dalam bidang agama di <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/12/kartun-isis-dan-kemalasan-dalam-beragama.html" target="_blank">sini</a>). Mengapa pemikiran pragmatis khas hukum Islam klasik malah dianggap angin lalu, sementara konsep fatalis malah lebih laku?<br />
<br />
Atau soal Barat dan definisi kemajuan peradaban. Memangnya definisi Indonesia yang maju berdasarkan budaya kita yang adiluhung itu seperti apa? Kalau benar kita dijajah dengan budaya Barat, mengapa taraf kesejahteraan kita tak semaju Amerika Serikat atau industri kita seefisien Jerman? Mengapa pengadilan kita tak dipercaya seperti layaknya di negara-negara Eropa Barat dan Amerika? Mengapa birokrasi kita sedemikian lambat dan koruptif? Mengapa kita tidak kritis terhadap ragam pemikiran yang ada di dunia ini? Apanya yang maju di Indonesia? Standar apa yang sedang dipakai saat ini? Kalau misalnya indikator ekonomi tidak disepakati, alternatifnya apa? Tidak lucu apabila kita tidak setuju dengan suatu indikator kuantitatif kemudian menawarkan indikator lainnya yang lebih tak bisa diukur atas nama kearifan lokal yang sangat amat abstrak. <br />
<br />
Ide bahwa kita sedang dijajah secara budaya itu lebih pantas dikategorikan sebagai wujud nyata mental inlander. Mungkin kita sendiri yang sedang mengalami krisis mental dan kebudayaan. Namun karena selalu lebih mudah untuk menyalahkan orang lain, budaya luar yang kemudian jadi sumber masalahnya. Saya misalnya selalu tertawa terbahak-bahak tiap kali mendengar ada orang yang sibuk mengklaim bahwa Amerika sudah hancur karena mengalami krisis moral (tentunya tanpa data apapun). Saya masih bingung dimana krisisnya dan apa dampak buruknya yang nyata bagi Amerika? Taraf hidupnya jauh lebih baik dari Indonesia, kualitas pendidikan tingginya bagaikan surga dan neraka apabila dibandingkan dengan Indonesia (minimal yang saya alami di University of Chicago), dan sistem hukumnya juga dipercaya oleh masyarakatnya. Krisis moral apa jadinya? Atau soal moral ini maksudnya cuma terbatas di selangkangan di Indonesia? Ini kan namanya delusional, merasa diri superior (karena merasa lebih "bermoral") sementara sebenarnya belum ada yang pantas dibanggakan. Isunya, ini pengaruh siapa? Pengaruh budaya luar, atau justru isu internal kita sendiri sebagai bangsa? <br />
<br />
Saya jadi teringat sebuat artikel konspiratif yang mengklaim bahwa isu pelemahan KPK adalah isu untuk membuka pintu gerbang neoliberalisme ke Indonesia karena nantinya ini akan jadi alasan untuk melakukan privatisasi atas BUMN dan sebagainya. Terlepas dari logika lawakan tersebut, ada isu mendasar yang tersirat dari ide artikel di atas, yaitu bahwa pemerintah pasti baik dan mengurus masyarakat. Kok ya bisa-bisanya orang berpikir bahwa pemerintah itu diisi oleh orang-orang bijak tanpa kepentingan, bahwa seakan-akan privat/swasta pasti buruk sehingga apa-apa harus dijaga oleh pemerintah. Ini konsepsi jaman baheula dan hanya cocok dipegang oleh kaum feodal yang percaya para priyayi dan bangsawan memiliki kearifan yang bersumber dari cahaya Ilahi. Semuanya cuma ilusi. Privat dan pemerintah bisa sama-sama buruk, bisa sama-sama baik. Di level internasional, debat negara versus swasta adalah debat abad ke-20, ketinggalan jaman. Sekarang jamannya kolaborasi sinergis antara lembaga publik dan privat. Institusi dan desain pemerintahan akan berperan penting dalam menentukan kesuksesan negara.<br />
<br />
Ini membawa kita ke salah satu contoh budaya lokal yang menurut saya sangat tak arif, yaitu konsep ratu adil yang pada prinsipnya adalah seorang <i>benevolent dictator</i>, diktator yang baik hati. Konsep ini begitu kuat mengikat di negeri kita dan tercermin sekali dalam pemilihan presiden 2014 kemarin. Seorang diktator memang bisa jadi akan bermanfaat bagi masyarakat, tetapi ia juga punya kesempatan yang sama untuk menciptakan neraka dunia kalau tidak ada yang bisa mencegah dia berlaku semena-mena. Budaya feodalisme tidak bisa melihat hal ini karena berasumsi atau diberikan ilusi bahwa raja adalah absolut. Saya tidak perlu jauh-jauh menelusuri budaya klasik kita sekedar untuk menyatakan bahwa feodalisme adalah konsep yang sangat bermasalah. Jangan berbohong dengan menyatakan bahwa feodalisme bukan bagian dari budaya kita yang sangat berbobot ini. Jadi? Kembali ke budaya sendiri atau perlu seleksi ulang? Kalau seleksi ulang, kriterianya apa? Ini mengapa saya lebih suka menggunakan indikator kuantitatif. Tidak sempurna tentunya, tapi kalau tak ada alternatif lain yang lebih baik, ya jangan ngasal.<br />
<br />
Solusi lainnya yang juga saya pertanyakan adalah ajakan untuk melihat dan merenungi diri sendiri, bekerja bukan karena <i>passion</i>, tapi karena panggilan jiwa dan komitmen. Idenya bagus, tapi eksekusinya kemungkinan besar gagal. Ide ini senada dengan ide dalam artikel kedua: bekerjalah bukan sekedar karena mencari uang, tapi mencari makna, <i>meaning</i>, atau apapun lah itu. Coba tanyakan kepada orang-orang di luar sana, apa iya mereka punya waktu untuk merenungi diri sendiri guna mencari makna kehidupan? Kemungkinan besar tidak. Kalau semua orang melakukan hal tersebut dan kemudian mereka semua sukses besar, niscaya bisnis <i>self-help</i> tidak akan laris manis di berbagai belahan dunia.<br />
<br />
Bagian yang saya paling saya permasalahkan dari artikel kedua adalah narasi bahwa seakan-akan mencari makna dalam pekerjaan senantiasa berkorelasi positif dengan kesuksesan pribadi dan bahwa mencari uang atau hal-hal banal lainnya akan berujung pada kesengsaraan. Ini klaim yang sangat bombastis dan modal datanya adalah, ...<i>wait for it</i>..., pengalaman pribadi! Saya kebetulan termasuk golongan orang yang beruntung mendapatkan pekerjaan yang penuh makna sekaligus menghasilkan uang. Kata kuncinya: "beruntung." Tentu saya juga bekerja keras, tetapi itu tak lepas dari keberuntungan yang sayangnya seringkali berada di luar kendali kita. Masalahnya, siapa yang bisa menjamin kita akan selalu beruntung? Mereka yang bekerja demi uang tidak lantas jadi manusia kelas dua yang akan gagal dalam hidupnya. Tolonglah hindari gejala elitis ini. Sekali lagi, menjadi elit sangat berbeda dengan elitis.<br />
<br />
Penulis artikel kedua berargumen, tak ada yang bisa menjamin bahwa bagi mereka yang bekerja demi uang, nantinya bos mereka atau pekerjaan mereka akan tetap ada. Hal yang sama 100% pun berlaku untuk mereka yang katanya mengutamakan mencari makna. Banyak contoh orang sukses di luar sana, dan kebanyakan dari mereka mengklaim kesuksesan mereka berasal dari pencarian makna kehidupan dan hal-hal indah lainnya. Ya, ya, ya, tentu saja, semua orang suka cerita kesuksesan yang indah. Bagaimana dengan jutaan manusia lainnya yang gagal dan tak pernah menjadi bagian dari sejarah? Tak ada yang tahu karena mereka tak layak jadi bahan pembicaraan. Bisa jadi seorang pengamen memiliki kualitas suara yang setara dengan bintang musik kelas dunia. Sayangnya karena tak ada yang memberikan kesempatan kepada si pengamen dan si pengamen tak punya akses ke dunia perbintangan, akhirnya dia hanya jadi pengamen miskin bersuara indah di jalanan.<br />
<br />
Sekarang saya tanya: apa bedanya mencari makna dalam pekerjaan, mencari jati diri, komitmen, dan sebagainya dengan semua nasihat dalam buku-buku <i>self-help</i>? Tak jauh berbeda, bahkan mungkin intinya sama: percayalah pada diri sendiri, hanya kita yang bisa mengubah nasib sendiri, mencari makna hidup adalah kunci kesuksesan, salam super, salam hangat, salam sukses, salam sejahtera, dll, dsb. Bukannya ini sama banalnya dengan buku <i>self-help</i>? Kenyataannya: kalau anda tak punya modal pendidikan yang bermutu, atau koneksi yang kuat, atau kemampuan/bakat tertentu yang bisa menjual, atau murni keberuntungan (semacam menemukan mentor yang tepat atau waktu yang tepat untuk masuk dunia kerja), kemungkinan besar anda tak akan jadi siapa-siapa, terlepas anda punya sejuta "makna" dan "impian". Anda tak bisa mencari makna tanpa punya kemampuan dan kesempatan. Apa yang mau dicari? Apa yang mau dibangkitkan? Ini dunia nyata, bukan sinetron.<br />
<br />
Lalu soal komitmen. Saya lebih yakin bahwa bekerja karena senang terhadap pekerjaannya akan lebih efektif dibandingkan dengan bekerja karena komitmen yang mendalam. Kesenangan mengindikasikan manfaat bagi pribadi, komitmen mengindikasikan biaya, upaya, kerja keras. Hal yang kita senang lakukan saja belum tentu membuat kita jadi rajin melakukannya, bayangkan beban mental yang diperlukan untuk senantiasa istiqamah menjalani komitmen kita hanya karena kita berkomitmen untuk mencapainya? Kalau berkomitmen itu merupakan hal yang mudah, bisnis kebugaran jasmani sudah lama tutup karena dunia dipenuhi oleh orang-orang sehat dan fit. Saya tidak bilang bekerja atas nama komitmen merupakan hal yang buruk. Hanya saja tidak realistis kalau kita berharap mayoritas penduduk Indonesia akan menjadi manusia paripurna seperti demikian. Apabila komitmen kita anggap sebagai komoditas, maka ini adalah jenis komoditas yang makin lama akan makin mahal. Ketika masih muda, mungkin hasrat masih menggebu-gebu bekerja atas nama komitmen atau idealisme. Tapi seiring bertambahnya usia dan tanggungan, seberapa jauh kita akan sanggup menjaga komitmen itu, khususnya ketika menjalankan komitmen tersebut tidak berkorelasi dengan penghasilan yang memadai? Mengapa tidak lebih pragmatis dan mencari keseimbangan antara memenuhi komitmen dan mencari penghasilan? Tidak perlu muluk-muluk. <br />
<br />
Solusi yang akan saya sampaikan mungkin klise tapi bagi saya hanya ini solusi yang memungkinkan. Kalau anda mau mengubah masyarakat yang katanya dangkal, perubahannya harus dilakukan dari skala terkecil, dan itu membutuhkan kaum pendidik yang tepat. Harus ada yang memulai kan? Toh semua kebudayaan bermula dari anomali, riak-riak kecil di dalam suatu masyarakat. Mustahil tiba-tiba semua manusia berubah karena sepenggal kisah penuh inspirasi di sebuah blog. Proses perubahan butuh waktu lama. Masalahnya, pendukung semangat kebangkitan dan intelektualitas ini lebih sering tak mau menggunakan inteleknya secara seksama untuk memahami bahwa kaum pendidik itu juga manusia yang butuh insentif yang tepat. Saya sudah bicara panjang lebar tentang hal ini di artikel saya: <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/12/mendidik-bukan-sekedar-pengabdian.html" target="_blank">Mendidik Bukan Sekedar Pengabdian</a>. Ringkasnya, kalau kaum pendidiknya saja diperlakukan semena-mena dan dianggap bagaikan pandita tanpa hasrat, jangan banyak berharap bahwa masyarakat kita akan bangkit. Bisa jadi hal itu tidak akan tercapai sampai matahari terbit dari Barat. Pendekatan insentif berbasis komitmen, kesadaran pribadi yang kuat, atau nilai-nilai normatif abstrak sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan di Indonesia. Mau sampai kapan kita menggunakannya? Katanya jangan bersikap banal, tetapi kok memilih solusi yang dangkal??? <br />
<br />
Anda bebas untuk percaya dengan nilai-nilai normatif yang hendak anda perjuangkan, tetapi anda tidak bisa lari dari konsekuensi memperjuangkan ide-ide itu. Kita bisa terus bermimpi suatu hari nanti Indonesia akan dipenuhi generasi pemikir yang tak dangkal, terpelajar dan penuh minat akan ilmu pengetahuan. Tapi kalau kita tak juga mau beranjak melihat insentif mereka (dan para pendidiknya) dan masih terus memaksakan nilai-nilai yang diklaim adiluhung ke semua orang atas nama intelektualitas, kearifan lokal, dsb, silakan lanjutkan saja mimpi indah itu. Maaf, saya tak bisa ikut bermimpi bersama-sama anda karena daripada melakukan proyek raksasa berbiaya dahsyat yang saya tahu akan sama sia-sianya dengan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=hrs8omWYN_0" target="_blank">diam menatap dinding selama 4 jam</a>, lebih baik saya meneruskan "riset" penting saya di youtube. Sia-sia juga mungkin pada akhirnya bagi publik, tapi paling tidak biaya yang saya keluarkan cuma biaya koneksi internet, tidak makan hati, dan tentunya saya juga akan jauh lebih terhibur. <br /></span>
<br />
</span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-30180589849949171162015-02-24T15:18:00.005+07:002020-12-22T15:45:55.261+07:00Sekali Lagi Soal Praperadilan Terhadap Penetapan Status Tersangka<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg50woV0KQefEp2E2TjpU8aB93L_0xXmBscv-VNqSsWa3SIOuJEvMw0Pg-84FeNFAKF89zCcfv384RrRD20utSM3dSCPciwbbBZou4_HhdOxkI-QnrDM8P_IbKHLsYZuN7C_dqh/s2048/chris-brignola-X2CxUXFqKcM-unsplash.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg50woV0KQefEp2E2TjpU8aB93L_0xXmBscv-VNqSsWa3SIOuJEvMw0Pg-84FeNFAKF89zCcfv384RrRD20utSM3dSCPciwbbBZou4_HhdOxkI-QnrDM8P_IbKHLsYZuN7C_dqh/s320/chris-brignola-X2CxUXFqKcM-unsplash.jpg" width="320" /></span></a></div><div><span style="font-family: inherit;"><br /></span></div><span style="font-family: inherit;">Berhubung Putusan Praperadilan terhadap penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka sudah bisa diakses di <a href="http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/1eeb7fe61dd08810bb67d41a5ae67ebc" target="_blank">sini</a>, saya perlu memperbaharui analisis yang saya buat sebelumnya di <a href="http://www.pramoctavy.com/2015/02/solusi-pragmatis-untuk-praperadilan.html" target="_blank">sini</a> (dimana analisisnya dibuat berdasarkan ringkasan berita). Harus diakui, walaupun saya tidak sepenuhnya setuju dengan isi putusan Hakim Sarpin, ini tetap merupakan putusan yang menarik dan pertimbangannya tidak tampak dibuat asal jadi. Saya akan memfokuskan pembahasan saya pada 5 isu yang sedang ramai dibicarakan.<br />
<br />
Pertama, sejauh mana penafsiran hukum diperbolehkan dalam kasus seperti ini? Kedua, apakah benar penetapan status tersangka tidak menciderai hak seseorang? Ketiga, apakah pemeriksaan terhadap penetapan status tersangka pada prinsipnya sudah memasuki ranah materi perkara sehingga tidak bisa diselesaikan melalui praperadilan? Keempat, apa sebenarnya yang dimaksud dengan penegak hukum dan bagaimana hubungannya dengan kewenangan penyidik untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka? Terakhir, langkah apa yang sebaiknya diambil oleh KPK? <br />
<br />
Sebagaimana sudah diduga sebelumnya, Hakim Sarpin menggunakan Pasal 5 dan 10 UU Kekuasaan Kehakiman tentang kewajiban hakim untuk tidak menolak suatu perkara karena belum ada aturannya serta kewajiban hakim untuk menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat sebagai dasar untuk membuka kemungkinan adanya mekanisme praperadilan terhadap penetapan status tersangka.<br />
<br />
Penggunaan alasan ini sah-sah saja, tetapi perlu elaborasi lebih lanjut. Tidak bisa menolak perkara tidak berarti harus serta merta membuka mekanisme praperadilan terhadap status tersangka yang memang tidak diatur secara eksplisit dalam KUHAP. Hakim tetap bisa menerima perkara tersebut dan kemudian menyatakan bahwa mekanisme Praperadilan tidak bisa digunakan untuk memeriksa keabsahan penetapan tersangka. Selain itu, apa pula yang dimaksud dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat? Pasal tersebut merupakan pasal karet dan bisa digunakan untuk memberikan justifikasi atas banyak hal, baik positif maupun negatif kecuali hakim-hakim di Indonesia sudah siap menggunakan data empiris. <br />
</span><span id="fullpost"><span style="font-family: inherit;">
<br />
Alasan yang lebih tepat untuk membuka pintu penafsiran menurut saya adalah karena KUHAP sendiri tidak tegas melarang penggunaan mekanisme praperadilan terhadap penetapan status tersangka. Apakah pembatasan dalam KUHAP tersebut bersifat mutlak atau tidak? Apakah kalau ada orang yang dirugikan haknya karena dinyatakan sebagai tersangka maka dia tidak memiliki sarana apapun untuk memperjuangkan haknya di muka pengadilan? Tentu akan ada yang berpendapat bahwa pembatasan ruang lingkup kewenangan praperadilan bersifat absolut. Tetapi secara tekstual, ada 2 jawaban rasional yang dimungkinkan dan itu berarti bahwa hakim perlu melihat alasan lainnya untuk mengambil keputusan dan juga perlu membuat isu ini menjadi jelas. Seandainya KUHAP tegas melarang digunakannya praperadilan untuk hal-hal selain yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP, saya bisa dengan mudah menyatakan bahwa Hakim Sarpin gagal total dengan putusannya.<br />
<br />
Saya perhatikan bahwa Hakim Sarpin juga menggunakan ide bahwa karena tidak ada yurisprudensi yang berlaku mengikat dalam sistem hukum Indonesia, maka kalaupun putusannya berbeda atau sama dengan putusan sebelumnya, hal tersebut tidaklah terlalu relevan. Walaupun saya menyayangkan pola pikir seperti ini, tetapi argumen Hakim Sarpin ada benarnya. Daripada meributkan fakta bahwa hakim yang pernah mengabulkan praperadilan untuk penetapan status tersangka di masa lalu pernah terkena sanksi administratif oleh Mahkamah Agung (untuk menunjukkan bahwa putusan tersebut tidak disetujui MA secara implisit), akan lebih baik apabila para pihak saling mencari dalil teoritis yang kuat untuk menunjukkan mengapa praperadilan bisa digunakan untuk memeriksa keabsahan penetapan tersangka atau tidak. <br />
<br />
Berikutnya isu kedua, benarkah penetapan status tersangka tidak menciderai hak seorang warga negara sebagaimana diargumenkan salah satu saksi ahli KPK? Saya tidak sepakat. Penetapan status tersangka jelas menciderai hak seseorang. Ada stigma terhadap dirinya dan sewaktu-waktu ia bisa dikenakan upaya paksa yang pelaksanaannya sangat subjektif. Ia juga bisa dicekal sehingga tidak dapat bebas berpergian. Dalam beberapa kasus, status tersangka bisa menyebabkan seseorang kehilangan jabatan. Contoh gampangnya adalah Bambang Widjojanto dan Abraham Samad yang kini diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai komisioner KPK. Sekalipun belum ditahan, pemeriksaan sebagai tersangka juga jelas akan memakan waktu si tersangka. Masih ingat kasus Benhan? Dia tidak ditahan, tetapi harus bolak balik luar kota - Jakarta karena memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik.<br />
<br />
Tentu saja tidak semua beban terhadap tersangka memberikan legitimasi kepada tersangka untuk meminta pencabutan statusnya sebagai tersangka. Kalau alasan penolakan penetapan tersangka adalah semata-mata karena si tersangka merasa dibebani, tentu semua tersangka akan menggunakan mekanisme praperadilan. Ini mengapa sebenarnya perlu dielaborasi lebih lanjut soal pencideraan hak macam apa yang dapat membuka pintu peradilan bagi penetapan tersangka. Apakah hanya dalam hal penetapan tersangka tersebut sudah berlarut-larut dalam jangka waktu tertentu yang menyebabkan tersangka kehilangan mata pencaharian? Atau dalam hal ada aturan UU yang menyebabkan tersangka tidak bisa mengambil jabatan tertentu? Bisa juga dinyatakan bahwa unsur pencideraan hak semata tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak penetapan tersangka. Artinya, pencideraan hak hanya membuka pintu untuk praperadilan sementara penolakan status tersangka akan bergantung pada aspek-aspek lainnya semisal kelemahan bukti permulaan atau masalah wewenang penyidik untuk menyidik perkara tersebut. <br />
<br />
Ini membawa kita kepada isu ketiga. Apakah pemeriksaan praperadilan soal penetapan status tersangka bisa dianggap merupakan pemeriksaan materi pokok perkara yang sebenarnya menjadi wewenang peradilan? Tidak otomatis demikian. Sebagaimana diatur dalam KUHAP, penetapan tersangka bertumpu pada bukti permulaan yang cukup. Definisi bukti permulaan yang cukup inilah yang kemudian menjadi permasalahan karena tidak didefinisikan secara jelas dalam KUHAP. Walaupun dalam prakteknya, bukti permulaan yang cukup didefinisikan sebagai 1 alat bukti yang berdasarkan KUHAP ditambah laporan polisi. Dasar definisi tersebut bisa dilihat di <a href="http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5073b4c6c99ba/bukti-permulaan-yang-cukup-sebagai-dasar-penangkapan" target="_blank">sini</a>. <br />
<br />
Definisi tersebut sangat rawan penyalahgunaan. Hanya dengan mengandalkan satu alat bukti dan laporan polisi, seseorang bisa dengan mudah dinyatakan sebagai tersangka! Ini mengapa penggunaan lembaga praperadilan menjadi semakin krusial untuk pemeriksaan bukti permulaan yang cukup. Karena sifatnya permulaan, seharusnya tidak bisa dianggap sebagai pemeriksaan pokok perkara. Penyidik sendiri tidak harus khawatir bahwa karena bukti permulaan tidak cukup kemudian tersangka bisa sepenuhnya bebas dari jerat hukum (seandainya memang benar tersangka itu adalah pelaku kejahatan).<br />
<br />
Dalam hal ini, pernyataan tidak sahnya suatu penangkapan tidak berarti bahwa penyidik tidak bisa lagi menetapkan kembali seorang mantan tersangka sebagai tersangka. Kuncinya adalah menemukan alat bukti yang lebih kuat untuk dianggap sebagai bukti permulaan yang cukup. Bahwa kemudian ada resiko nantinya tersangka akan kabur duluan sudah merupakan bagian dari resiko pekerjaan. Sudah seharusnya penyidik tidak sembarangan menetapkan seseorang menjadi tersangka untuk kemudian membiarkan kasus tersebut terbengkalai sambil menyandera si tersangka terus menerus. Saatnya mengakhiri kekuasaan mutlak penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka!<br />
<br />
Namun demikian, ada juga kemungkinan dimana penyidik tidak bisa lagi menetapkan si tersangka sebagai tersangka di kemudian hari dalam hal ternyata penyidik tidak berwenang untuk memeriksa si tersangka. Ini isu keempat yang juga terkait dengan pertanyaan soal definisi penegak hukum. Dalam putusan Hakim Sarpin, KPK dianggap tidak berwenang untuk menyidik Budi Gunawan karena jabatan yang dipegang oleh Budi Gunawan terkait tuduhan korupsi yan dilekatkan kepadanya tidak memenuhi definisi pejabat negara maupun penegak hukum, pun kasusnya tidak dianggap meresahkan masyarakat, ataupun menyangkut kerugian negara.<br />
<br />
Masalah kewenangan ini adalah isu yang paling berat bagi KPK karena apabila memang KPK tidak dianggap berwenang menyidik Budi Gunawan, maka KPK sama sekali tidak dapat menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dan putusan Hakim Sarpin juga menyatakan demikian. Hakim Sarpin nampaknya berpendapat bahwa definisi penegak hukum adalah terbatas hanya pada penyidik dan penyelidik saja. Apakah ini definisi yang tepat? UU KPK memang tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan penegak hukum. Ketentuan tentang hal tersebut tersebar di berbagai undang-undang. Dan kalau bicara secara luas, advokat pun termasuk penegak hukum.<br />
<br />
Yang menarik adalah, apakah istilah penegak hukum yang dimaksud dalam UU KPK itu merujuk kepada jabatan yang melekat pada seseorang atau hanya pada fungsi jabatan yang sedang dijalankannya? Apabila kita menyatakan bahwa definisi ini melekat pada jabatan, maka Budi Gunawan otomatis dikategorikan sebagai penegak hukum karena dia menjabat sebagai polisi. Apabila terbatas pada fungsi, bisa jadi Budi Gunawan memang tidak dikategorikan sebagai penegak hukum dalam kapasitasnya selaku Kepala Biro Pembinaan Karier Staf Deputi Sumber Daya Manusia Polri ("<b>Karo Binkar</b>").<br />
<br />
Sayangnya, dalam jawabannya, KPK tidak memberikan bantahan terhadap pengertian penegak hukum yang didalilkan oleh Budi Gunawan. Menurut saya, bahkan seandainya kita menganggap bahwa istilah penegak hukum adalah terbatas pada fungsi, sebenarnya masih tetap terbuka kemungkinan bagi KPK untuk menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Konteksnya, apakah dengan menjadi Karo Binkar, Budi Gunawan kemudian kehilangan status dan wewenangnya sebagai polisi yang notabene merupakan penegak hukum? Karena kalau tidak, perlu dilihat lebih lanjut apakah penerimaan suap yang dituduhkan itu murni terkait dengan jabatannya sebagai Karo Binkar, atau dalam kapasitasnya sebagai penegak hukum.<br />
<br />
Yang pasti, saya menyadari bahwa definisi penegak hukum dalam UU KPK masih membuka ruang interpretasi dan besar kemungkinannya bahwa argumen Hakim Sarpin dapat dibantah. Dengan demikan, terdapat permasalahan hukum yang masih perlu ditegaskan oleh Mahkamah Agung sehingga tidak ada kerancuan lagi di masa depan.<br />
<br />
Terakhir, langkah apa yang perlu diambil oleh KPK? Sebagaimana saya sampaikan di atas, dampak putusan praperadilan adalah bukan berarti Budi Gunawan kebal hukum dan tidak bisa dinyatakan sebagai tersangka lagi di masa depan. Aturan <i>nebis in idem</i> (perkara yang sama tidak boleh diadili 2 kali) tidak berlaku di sini karena kita belum memasuki pokok materi perkara. Seandainya isunya adalah terbatas soal lemahnya bukti permulaan yang cukup, KPK bisa dengan mudah memperbaharui buktinya dan menetapkan kembali Budi Gunawan sebagai tersangka. Namun, putusan Hakim Sarpin juga menyatakan bahwa KPK tidak berwenang menyidik Budi Gunawan.<br />
<br />
Untuk itu, KPK bisa memilih untuk melimpahkan perkara ini kepada kepolisian atau kejaksaan. Apabila dirasa kedua institusi tersebut terlalu bias terhadap Budi Gunawan, langkah lainnya adalah mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung mengingat masih ada isu hukum yang perlu diklarifikasikan kembali. Saya tahu KPK bersikeras ingin mencegah adanya mekanisme praperadilan bagi tersangka, tapi kalau KPK peduli pada hak tersangka-tersangka lainnya yang seringkali dicederai dengan rekayasa kasus dan sekaligus juga membantu mencegah kriminalisasi terhadap pejabat-pejabat KPK, KPK dapat memfokuskan permohonan peninjauan kembalinya pada aspek wewenang KPK untuk menyidik Budi Gunawan (khususnya soal definisi penegak hukum). Hal tersebut sudah cukup sebenarnya bagi KPK untuk tetap bisa melanjutkan kasus ini.<br />
<br />
Saya pribadi berharap kasus ini tidak ditinjau kembali dan menjadi putusan yang sudah benar-benar berkekuatan hukum tetap. Polisi sendiri sekarang sudah mengakui adanya mekanisme praperadilan terhadap penetapan status tersangka karena mereka secara terbuka menggunakan mekanisme ini untuk urusan mereka. Ini momen langka, sampai-sampai dalam kasus Abraham Samad, polisi saja mempersilakan Samad untuk mengajukan praperadilan (dan sayangnya <a href="https://www.selasar.com/politik/abraham-samad-tidak-akan-ajukan-gugatan-praperadilan?utm_content=buffera5d54&utm_medium=social&utm_source=twitter.com&utm_campaign=buffer" target="_blank">Samad tetap tidak mau mengajukan praperadilan</a>). <br />
<br />
Kalau dikatakan bahwa membuka pintu praperadilan untuk penetapan tersangka akan merusak hukum Indonesia, saya sangat meragukannya. Pintunya tidak tertutup secara mutlak dalam KUHAP dan senjata ini bisa digunakan untuk hal yang baik maupun yang buruk. Mengapa tidak kita gunakan untuk sebanyak-banyaknya kepentingan yang positif? Atau ini semua cuma masalah gengsi belaka? Tunggu sampai semua yang katanya "orang baik" dinyatakan sebagai tersangka dengan tuduhan kejahatan yang culun? Percayalah, jadi baik saja tidak cukup di dunia ini, anda juga harus jadi orang pintar. Kecuali anda serius berpikir doa dan teriak-teriak di media saja cukup untuk mengubah status tersangka tersebut. Semoga KPK mengambil langkah yang tepat. </span><br />
</span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-35926328685824865742015-02-23T12:13:00.002+07:002020-12-08T10:42:07.818+07:00Plt Pimpinan KPK dan Hak Pembelaan Hukum oleh Advokat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhaZQYhsu7YaPgo-lukF95us2Dh-oMaJTS8uVoIqFcJ4EjmQT-IjD4r2j_GiIoOGNFJGnaAk1NBa6zPtxMd_2aCovRcOD1CPdHqU80u4st_f0wgjDryP85IU9q1oUlmYDbas5pZ/s2048/low-angle-photography-of-high-rise-buildings-2697050.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhaZQYhsu7YaPgo-lukF95us2Dh-oMaJTS8uVoIqFcJ4EjmQT-IjD4r2j_GiIoOGNFJGnaAk1NBa6zPtxMd_2aCovRcOD1CPdHqU80u4st_f0wgjDryP85IU9q1oUlmYDbas5pZ/s320/low-angle-photography-of-high-rise-buildings-2697050.jpg" width="320" /></a></div><div><br /></div>Akhirnya Presiden Jokowi memutuskan untuk menunjuk 3 pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK melalui Perpu guna menggantikan Busyro Muqoddas yang habis masa jabatannya dan Bambang Widjojanto dan Abraham Samad yang kini telah berstatus tersangka. Patut disayangkan sampai detik ini baik Bambang Widjojanto maupun Abraham Samad belum juga mau mengajukan praperadilan atas penetapan mereka sebagai tersangka. Walaupun kita semua bisa berasumsi bahwa ini semua hanya rekayasa dan bentuk kriminalisasi yang keji, nyatanya, status tersangka tersebut sudah melekat secara hukum dan tidak akan hilang begitu saja kalau cuma dibalas dengan koar-koar di media atau jalanan.<br />
<br />
Saya juga menyayangkan tindakan penetapan Perpu Plt Pimpinan KPK oleh Presiden. Selain sosialisasinya tak jelas, fungsi Perpu juga makin kacau kalau sedikit-sedikit negara dinyatakan berada dalam keadaan darurat. Apalagi ketika masih ada jalan lain seperti mekanisme praperadilan yang sudah digunakan oleh Budi Gunawan. Terakhir saya baca di berita <a href="http://m.detik.com/news/read/2015/02/22/235921/2839499/10/pn-jaksel-tolak-kasasi-kpk-soal-putusan-praperadilan-komjen-budi-gunawan" target="_blank">ini</a>, pengajuan kasasi oleh KPK sudah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ini berarti fungsi praperadilan masih sangat terbuka untuk digunakan dan karena waktunya singkat (hanya seminggu) kenapa tidak menunggu sampai permohonannya dimasukkan saja? Kita lihat apakah nantinya DPR akan menerima Perpu ini atau menolaknya. <br />
<br />
Terlepas dari keabsahan Perpu tersebut, saya tertarik dengan <a href="http://www.akukpk.com/2015/02/batalkan-pelantikan-indrianto-seno-aji-sebagai-plt-pimpinan-kpk/" target="_blank">pernyataan sikap</a> dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengenai pengangkatan Indrianto Seno Adji sebagai salah satu Plt pimpinan KPK. Dalam pernyataan sikap tersebut, Indrianto dianggap tidak layak menjabat karena komitmennya terhadap pemberantasan korupsi diragukan dan rawan konflik kepentingan. Hal tersebut dikarenakan Indrianto sering sekali mewakili tersangka kejahatan korupsi, HAM dan industri ekstraktif, dan bahkan pernah mewakili Suharto dan keluarganya. Selain itu, Indrianto juga pernah menjadi saksi ahli dalam perkara pengujian UU KPK terkait pengurangan wewenang KPK sehingga dapat melemahkan KPK.<br />
<br />
Walaupun alasan-alasan tersebut tampaknya logis, ada beberapa hal yang penting untuk diluruskan. Mengapa seorang advokat yang membela tersangka korupsi dan berbagai kejahatan lainnya otomatis dianggap tak layak memimpin KPK? Apa hubungannya antara membela tersangka korupsi dengan kelemahan dalam komitmen pemberantasan korupsi? Mungkin inilah salah satu sesat pikir yang paling berbahaya di masa kini, bahwa seakan-akan seorang tersangka sudah pasti merupakan pelaku kejahatan dan pembelanya juga pasti sama jahatnya. Logikanya, kalau anti korupsi harusnya tak bersedia untuk membela tersangka korupsi. Ini logika yang absurd.<br />
<span id="fullpost">
<br />
Kita ambil dasar hukum yang paling sederhana dulu. Berdasarkan Pasal 56 KUHAP, setiap tersangka yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara minimal 15 tahun, atau apabila yang bersangkutan tidak mampu dan diancam dengan pidana penjara minimal 5 tahun, wajib didampingi oleh penasihat hukum. Jadi jelas bahwa ini merupakan hak dari setiap tersangka, apalagi ancaman penjara untuk kejahatan korupsi umumnya memang di atas 15 tahun. Kemudian Pasal 8 Ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa setiap tersangka wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan menyatakan kesalahannya.<br />
<br />
Tak peduli apapun dakwaannya, dari mulai mencuri ayam sampai mencuri harta negara melalui korupsi, hak tersangka untuk dianggap tak bersalah dan mendapatkan konsultan hukum adalah hak yang berlaku absolut dan wajar untuk diberlakukan secara mutlak. Bukan apa-apa, anda yakin kita bisa mempercayakan tersangka kepada para penyidik dengan kewenangan yang begitu perkasa di KUHAP? Dengan pola pikir masyarakat kita yang gila pidana, saya kagum penyusun undang-undang tidak "lupa" memasukkan Pasal 56 KUHAP. Saya sudah tegaskan berkali-kali dalam artikel-artikel saya bahwa kita butuh mekanisme <i>check and balances</i> dalam sistem penegakan hukum. Masa hal seperti ini saja tak bisa paham juga?<br />
<br />
Bagaimana kalau ternyata tersangka memang tak bersalah, atau kasusnya hanya rekayasa. Apakah setiap orang tahu bagaimana cara menghadapi rimba hukum yang tak mudah dilalui oleh orang awam? Bagaimana kalau anda sendiri yang menjadi tersangka dan kemudian tak ada satupun yang mau membela anda semata-mata karena anda sudah dicap menjadi penjahat? Kalau anda sendiri saja pasti ingin dibela, kenapa anda meributkan hak orang lain untuk dibela? Apalagi kalau yang membayar pembelaan orang lain itu bahkan bukan anda sendiri. <br />
<br />
Sebagai advokat, saya memang tak pernah mewakili kasus korupsi dan kejahatan lainnya. Keahlian saya bukan di situ dan bisa jadi saya tak akan pernah mewakili kasus demikian. Tetapi menuduh rekan saya sebagai pro koruptor karena membela tersangka korupsi? Apa kemudian pembela tersangka pembunuhan dan pencurian adalah pembela pembunuh dan pencuri? Jangan pakai standar seenak perutnya saja! Lain perkara kalau si advokat kemudian melanggar hukum dalam proses pembelaannya, seperti misalnya memalsukan barang bukti, menyuap hakim, dan sebagainya. Hal tersebut tak layak dilakukan dan kalau sampai ketahuan jelas harus dihukum. Kalau dia hanya menjalankan pekerjaannya sehari-hari sesuai dengan kapasitasnya secara profesional? Masa disalahkan atau dicap buruk? Tidak masuk akal. <br />
<br />
Saya ingat beberapa waktu lalu bahkan pernah ada gagasan agar pengacara tersangka korupsi diminta untuk melaporkan kliennya sendiri kalau menerima uang hasil korupsi. Ini gagasan yang konyol. Selain merusak sistem kerahasiaan antara pengacara dan kliennya, gagasan itu juga sama saja dengan pemaksaan secara terselubung kepada tersangka untuk melakukan pengakuan atas tindak kejahatan dan tentunya sangat rentan disalahgunakan. Bahkan dengan sistem seperti itu, tidak perlu bersusah payah menjalani proses pemeriksaan di pengadilan. Semua orang bisa ditangkap dan dijatuhi hukuman dengan modal pengakuan belaka atau pengkhianatan dari pengacaranya.<br />
<br />
Anda boleh tidak percaya atau merasa ini tidak adil, tetapi kerahasiaan antara pengacara dan kliennya adalah modal utama agar sistem peradilan kita bisa berjalan. Kalau pembelanya sendiri tak bisa dipercaya, kepada siapa lagi seorang tersangka bisa bertumpu? Jangan menggunakan kaca mata kuda dan berpikir bahwa hak ini bisa dikesampingkan semudah itu. Fakta bahwa kita tidak suka dengan kejahatan korupsi bukan berarti kita tidak peduli implikasi dari pengesampingan hak tersebut bagi kejahatan lainnya. Inilah pentingnya untuk selalu mengingat bahwa tersangka tidak sama dengan pelaku kejahatan. Tulisan saya soal kerahasiaan dan masalah penerimaan uang korupsi bisa dilihat di <a href="http://www.pramoctavy.com/2012/01/on-why-lawyers-should-never-be-required.html" target="_blank">sini</a> dan di <a href="http://www.pramoctavy.com/2012/03/corruption-money-and-lawyers-fee.html?showComment=1417433442959" target="_blank">sini</a>.<br />
<br />
Bagaimana dengan isu konflik kepentingan? Apakah Indrianto bisa dikenakan isu ini? Bergantung apakah saat ini dia sedang aktif mewakili klien dalam kasus yang sedang diperiksa oleh KPK. Apabila ada kasus demikian, jelas dia akan memiliki konflik kepentingan dan dia tidak bisa lagi mewakili kliennya. Tetapi apabila saat ini tidak ada kasus tersebut, saya ragu ada alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa Indrianto mengalami konflik. Pertanyaan yang lebih penting adalah apakah tidak ada calon lain yang lebih baik dari Indrianto? Apa boleh buat, dengan sistem Perpu yang tidak transparan, kita tidak bisa berharap banyak. Namun tidak berarti kita bisa serta merta mendiskreditkan Indrianto karena pelaksanaan profesinya di masa lalu, khususnya kalau tak ada bukti bahwa ia pernah melakukan pelanggaran pidana terkait pelaksanaan profesinya tersebut.<br />
<br />
Mungkin sampai tahap ini, masih ada yang berpikir bahwa saya mengada-ngada dan sedang membela seorang pembela koruptor. Buktinya sudah sejelas
matahari terik di siang hari tak berawan kalau orang-orang yang dibela
oleh Indrianto adalah sebenar-benarnya penjahat sehingga dari awal mereka semua tak layak dibela. Kalau mereka tak layak mendapat pembelaan hukum karena anda sudah yakin mereka bersalah berdasarkan media, gosip, dan informasi lainnya, untuk apa ada sistem peradilan sedari awal? Apa asas praduga tak bersalah itu memang cuma ide klise tak bermakna? Anda percaya bahwa pengadilan rakyat adalah pengadilan yang paling benar di muka bumi ini karena dipenuhi dengan orang-orang yang pasti terpelajar, bersih dan independen? Tahu dari mana? Saya bergidik membayangkannya. <br />
<br />
Lalu selanjutnya bagaimana dengan nasib KPK? Kalau memang tak puas dengan Plt saat ini, langkah terbaik adalah secepatnya menuntaskan isu status tersangka Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Pilihan taktisnya adalah melakukan praperadilan. Buka faktanya di persidangan dan tuntut hakim untuk memberikan pertimbangan yang memadai dan rasional sehingga kita bisa menilai dengan sungguh-sungguh apakah memang perkara tersebut adalah rekayasa atau bukan. Kalau memang rekayasa, selain bisa membersihkan nama BW dan AS, kita juga bisa menciptakan preseden yang lebih kuat untuk perlindungan hak tersangka. Dan kalaupun misalnya nanti kita temui bahwa ternyata mereka tidak diperlakukan dengan adil, kekuatan masyarakat untuk menolak hasilnya juga akan lebih dahsyat karena sudah memiliki bukti yang lebih kuat dibandingkan dengan situasi sekarang yang simpang siur. Jadi tunggu apa lagi? <br /> </span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-12281349930325456292015-02-17T13:14:00.004+07:002020-12-08T10:43:48.420+07:00Solusi Pragmatis Untuk Praperadilan Atas Penetapan Status Tersangka<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3QisVOEh92AK1H4UhyXILK0FNOIMV9jRVahXnGD_GqGVjz7PJyxGb5lAfisfKJ5JsPnlRzMsosWIv-2j9KzeCVR9d7qYZ3Hy5X_FCL69_qQ0TrUFW1UIIam2aqJDpcJE87RLT/s2048/Fiducia+%25282%2529.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3QisVOEh92AK1H4UhyXILK0FNOIMV9jRVahXnGD_GqGVjz7PJyxGb5lAfisfKJ5JsPnlRzMsosWIv-2j9KzeCVR9d7qYZ3Hy5X_FCL69_qQ0TrUFW1UIIam2aqJDpcJE87RLT/s320/Fiducia+%25282%2529.jpg" width="320" /></a></div><div><br /></div>Saya tidak akan menulis panjang lebar soal analisis hukum positif terkait kewenangan hakim praperadilan dalam mengadili keabsahan status tersangka. Kajiannya sudah bertebaran dimana-mana dan prinsip saya, kalau pasar sudah melakukan tugasnya secara efisien, untuk apa lagi menambahkan kajian serupa tanpa nilai tambah. Hanya akan buang-buang waktu saya dan para pembaca. Oleh karena itu, kali ini saya akan membahas catatan ringkas atas putusan praperadilan terhadap keabsahan status tersangka Budi Gunawan dan solusi pragmatis yang bisa diambil setelah dijatuhkannya putusan tersebut. Mengingat saya belum menerima salinan resmi putusan tersebut, saya terpaksa mengandalkan ringkasan pertimbangan hukum yang dimuat di <a href="http://www.tempo.co/read/news/2015/02/16/078642823/Lima-Dalil-Hakim-Sarpin-Menangkan-Budi-Gunawan?utm_medium=twitter&utm_source=twitterfeed" target="_blank">sini</a>.<br />
<br />
Pertama-tama perlu saya sampaikan bahwa saya mendukung interpretasi yang membuka kemungkinan pelaksanaan praperadilan atas penjatuhan status tersangka khususnya apabila penjatuhan status tersebut bisa mencederai hak warga negara kita dan dibiarkan terombang-ambing tanpa kepastian. Mungkin penyusun KUHAP di tahun 1981 berpikir bahwa penjatuhan status tersangka tidak akan mengganggu hidup dan pekerjaan seseorang dan bahwa masalah hanya akan timbul apabila upaya paksa telah dijalankan. Masalahnya, hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi fakta bahwa KUHAP memberikan kebebasan yang luar biasa kepada penyidik untuk menjatuhkan status tersangka di Indonesia. Sangat rentan penyalahgunaan. Di Amerika yang sistem hukumnya sudah bagus saja, polisi masih dianggap terlalu sering menyalahgunakan kewenangannya dan hakim masih dianggap pro polisi dalam menjalankan tugasnya, apalagi kalau sistemnya amburadul dan masih banyak membuka ruang diskresi! Apakah akan dibiarkan begitu saja?<br />
<br />
Tentu pertimbangan saya juga berdasarkan analisis untung rugi (<i>cost benefit analysis</i>). Semua harus ada alasannya dan harus dilihat baik buruknya. Kalau mau dicari-cari dasarnya dengan menggunakan UU Kekuasaan Kehakiman, interpretasi hukum oleh hakim masih bisa dilakukan. Pengadilan seharusnya bisa menjadi institusi yang menyeimbangkan penyalahgunaan wewenang oleh institusi penegak hukum. Saya muak melihat kalau ide hukum yang "menyimpang" itu hanya dibiarkan kalau pidana diperberat untuk kasasi dari pihak terdakwa atau hak orang dicederai macam dibolehkannya kasasi atas putusan bebas atau menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang secara seenaknya tanpa ada dasar keadaan darurat sebagaimana pernah saya bahas di <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/12/perpu-bermasalah-tak-layak-dibela.html" target="_blank">sini</a>.<br />
<br />
Ini mengapa saya menyayangkan kurang elaboratifnya pertimbangan Hakim Sarpin Rizaldi dalam kasus praperadilan Budi Gunawan khususnya analisis soal mengapa penetapan status tersangka bisa dianggap sebagai bagian dari upaya paksa. Tentunya tidak cuma sekedar karena penetapan tersangka bisa menjurus ke penangkapan dan penahanan. Syarat pelanggaran haknya harus lebih jelas dan limitatif supaya juga tidak membuka pintu penyalahgunaan yang berlebihan. Mungkin ini dampak buruk sistem dimana putusan pengadilan tidak dianggap sebagai sumber hukum yang mengikat. Karena dianggap tidak mengikat, insentif untuk mempelajari dan membahas putusan menurun. Hakim juga malas menjelaskan opininya panjang-panjang. Untuk apa kalau bisa dikesampingkan? Tapi ini pola pikir yang salah. Bahkan sekalipun putusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat ala preseden di negara-negara <i>common law</i> pun, tidak berarti kita tidak bisa membuat putusan yang bermutu dan diargumentasikan secara profesional dan sistematis. Kalau kita bisa membuat putusan hakim yang persuasif, hakim lainnya juga tidak bisa seenaknya menolak tanpa memberikan analisis yang tak kalah komprehensif. Untuk isu yang satu ini, sayangnya jalannya masih panjang.<br />
<span id="fullpost">
<br />
Namun demikian, terlepas dari minimnya pertimbangan hukum tersebut, putusan Hakim Sarpin bukanlah tanda-tanda kiamat dunia hukum atau pemberantasan korupsi di Indonesia. Terlalu berlebihan itu. Mari kita asumsikan bahwa putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap. Menilik pertimbangannya, saya tidak menyarankan KPK untuk melakukan peninjauan kembali atas putusan tersebut. Biarkan saja. Justru putusan ini sangat membantu KPK karena Hakim Sarpin menyatakan bahwa KPK tidak berwenang untuk menjatuhkan status tersangka kepada Budi Gunawan karena Budi Gunawan bukan pejabat negara sebagaimana didefinisikan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.<br />
<br />
Hal tersebut benar, tetapi masih ada satu celah lagi bagi KPK untuk menjatuhkan status tersangka terhadap Budi Gunawan, yaitu statusnya sebagai polisi yang notabene merupakan penegak hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 11 (a) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, daripada pusing-pusing mengajukan PK, KPK tinggal mengubah surat penetapan tersangka dengan menegaskan bahwa Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka karena ia adalah penegak hukum. Saya cukup yakin bahkan hakim yang paling canggih di dunia pun juga sulit untuk menyatakan bahwa dengan jabatannya di kepolisian, Budi Gunawan tidak bisa dianggap sebagai penegak hukum. <br />
<br />
Tanpa pengajuan PK, putusan praperadilan ini sudah tidak akan diganggu gugat lagi kekuatan hukum tetapnya dan berarti ruang untuk menggunakan praperadilan untuk kasus-kasus lainnya yang penuh rekayasa juga terbuka, termasuk sebenarnya kasus terhadap Bambang Widjojanto (dimana statusnya sebagai tersangka bisa menyebabkan ia kehilangan pekerjaan sebagai komisioner KPK dan hal itu jelas berpengaruh terhadap haknya sebagai warga negara)! Mengapa suka mencari langkah yang menyusahkan diri sendiri? Karena ada kekhawatiran bahwa nantinya akan ada banyak tersangka korupsi yang melakukan tindakan serupa? Hal tersebut belum pasti. Dan kalaupun mereka mengajukan, apa masalahnya? Bagaimana juga dengan nasib orang lain yang dirugikan oleh penetapan status tersangka? Kita biarkan saja tanpa ada solusi sama sekali? Justru sekarang kita bisa gunakan taktik ini untuk menolong mereka yang rentan diperlakukan sewenang-wenang dan jangan sampai kasus ini hanya jadi pengecualian untuk Budi Gunawan.<br />
<br />
Kalau memang ada masalah dengan penetapan tersangka, sudah seharusnya hal tersebut diperiksa di pengadilan. Memangnya ada institusi lain yang bisa dipakai? Saya juga tak sepakat kalau KPK diberikan kewenangan yang terlalu besar. Saya tak percaya dengan lembaga manapun yang punya kekuatan terlalu besar karena manusia bukan malaikat. Justru kita perlu menciptakan situasi dimana ada mekanisme <i>checks and balances</i> antara penegak hukum dan lembaga peradilan. Kalau anda khawatir bahwa peradilan tidak independen, ya bisa kita bantu awasi. Putusan yang tidak bermutu bisa kita kritisi. Itu peranan akademisi sebenarnya, kalau saja mereka lebih produktif menulis kajian hukum terhadap putusan hakim seperti misalnya di Amerika. Kalau putusan tidak pernah dikritisi, saya khawatir kita hanya akan terus menerus menciptakan lingkaran setan sistem hukum yang tidak bermutu. Kapan hal ini akan disudahi?<br />
<br />
Dan menurut saya, menggunakan mekanisme praperadilan ini juga lebih baik dibanding ide lainnya yang jauh lebih absurd lagi seperti menggunakan Perpu untuk memberikan imunitas hukum kepada pemimpin KPK. Kenapa mereka harus diberikan imunitas? Potensi kesalahan selalu ada. Mengapa tidak ada yang melirik institusi peradilan? Apakah lembaga peradilan kita sudah sedemikian buruknya sampai-sampai semua diserahkan kepada intervensi Presiden lewat mekanisme yang lebih mudah lagi disalahgunakan semacam Perpu? <br />
<br />
Dengan demikian saya pikir situasi ini adalah <i>win-win solution</i>. Kemungkinan praperadilan status tersangka sudah dibuka (tentunya dengan catatan bahwa masih perlu diperbaiki syarat-syarat limitatifnya), dan masih terbuka celah bagi KPK untuk kembali menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Mari kita ambil solusi yang paling efisien dan tidak menyulitkan diri sendiri. <br />
</span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-18343241764311140262015-02-06T15:22:00.001+07:002020-12-08T10:46:35.685+07:00Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan? Jangan Berharap Terlalu Banyak!<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0m_h1rGrYfclrcQUr76RMkGZx-OEK2FJZBJFRnxuDwHK5KhYKGWxelHCFjMKqTaBveKqTRtVI0LkK6x8PxbNbOs6mawWpxo7ltfG28LncS1bM86r0xN90fDo7LFdq7gv8Lo-N/s2048/charles-deloye-2RouMSg9Rnw-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0m_h1rGrYfclrcQUr76RMkGZx-OEK2FJZBJFRnxuDwHK5KhYKGWxelHCFjMKqTaBveKqTRtVI0LkK6x8PxbNbOs6mawWpxo7ltfG28LncS1bM86r0xN90fDo7LFdq7gv8Lo-N/s320/charles-deloye-2RouMSg9Rnw-unsplash.jpg" width="320" /></a></div><br /><div>Membaca <a href="https://www.selasar.com/kreatif/kampus-sebagai-kaderisasi-pemimping-bangsa" target="_blank">artikel soal kampus sebagai wahana kaderisasi pemimpin bangsa ini</a> mengingatkan saya ke kejadian di bulan Agustus 2001 ketika saya mengikuti acara orientasi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kejatuhan Suharto di tahun 1998 masih terasa seperti kemarin sore dan Gus Dur juga baru saja tersingkir sebagai Presiden RI. Mahasiswa-mahasiswa senior masih lumayan semangat meributkan soal peranan mahasiswa sebagai agen perubahan dan harus bisa mendidik golongan masyarakat akar rumput.</div>
<br />
Bosan mendengar pidato yang tak berkesudahan itu, saya akhirnya berdiri dan menyatakan: "anda semua ini sedang mempraktekkan kesombongan intelektual, apanya yang agen perubahan sementara sebagian besar dari anda saja masih hidup di bawah lindungan orang tua." Sayang saya tak bisa berlama-lama menyampaikan uneg-uneg saya karena rekan-rekan seangkatan sudah memelototi saya. "Orang macam gini nih yang bikin angkatan bakal dihukum ramai-ramai," mungkin itu yang ada di pikiran mereka. Tapi saya jujur memang tak suka dengan klaim bombastis itu, khususnya ketika mereka mengklaim mahasiswa sebagai pencerah masyarakat akar rumput. Mungkin karena saya salah satu korban krisis 1998, saya tak bisa berleha-leha memikirkan nasib bangsa karena yang saya tahu kalau saya tak cepat-cepat lulus dan punya prestasi, nasib masa depan saya tak akan jelas-jelas amat.<br />
<br />
Saya tak habis pikir, bagaimana caranya orang-orang yang sangat cerdas dan terpelajar ini berpikir bahwa mahasiswa bisa dididik menjadi agen perubahan yang peduli pada nasib rakyat dan sebagainya sementara pola orientasinya sangat feodalistis. Contoh nyatanya? Komisi disiplin, sebuah komisi yang menurut saya tak ada gunanya selain memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang lebih senior untuk memarahi anak-anak juniornya. Dan untuk apa? Menciptakan kedisiplinan? Kedisiplinan macam apa yang akan didapat dari marah-marah tak jelas seperti itu? Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Cocok buat lucu-lucuan setelah selesai, tetapi kalau program ini diharapkan akan mengubah pola pikir mahasiswa secara fundamental, lupakan saja itu.<br />
<br />
Pada saat angkatan saya diminta untuk mengurus acara orientasi untuk mahasiswa angkatan 2002, saya mendapatkan posisi mengurus tim Mentor Akademik. Saya bermimpi bisa menciptakan sistem mentor yang baik dimana mahasiswa junior bisa mendapatkan rekan senior yang akan membantu mereka di bidang akademik, memberikan petunjuk tentang apa saja yang harus dipersiapkan dalam menghadapi kegiatan belajar di kampus dan agar hubungan antara mentor dan adik kelasnya bisa berjalan baik. Tapi sayangnya acara mentoring lebih banyak dipotong dan oleh karenanya menjadi tidak efektif. Untuk apa? Tentu saja untuk acara kedisiplinan yang maha seru itu. <br />
<span id="fullpost">
<br />
Kisah saya belum selesai. Setelah program ospek (versi lebih kasar dan keras dari orientasi) dihilangkan di tahun 2000, tiba-tiba muncul ide jenius dari fakultas untuk mengembalikan ospek terhadap angkatan 2003 dan angkatan saya diminta untuk mengurus acara tersebut. Katanya acara ini diperlukan untuk meningkatkan solidaritas angkatan dan supaya murid tak kurang ajar kepada seniornya. Heh? Ini luar biasa, sudahlah angkatan saya sebenarnya menikmati tak perlu merasakan ospek, sekarang kita akan memulai lagi ritual bodoh itu? Saya hanya bisa menyampaikan kemarahan di forum angkatan, tetapi acara itu pada akhirnya tetap berjalan dan sejauh yang saya tahu masih tetap berlanjut. Dikembalikannya program ospek membuat saya makin bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dimaksud dengan menciptakan mahasiswa sebagai agen perubahan? Apa yang mau diubah kalau tradisi yang buruk saja justru diulang kembali? <br />
<br />
Tahun 2004, saya diminta mengisi acara orientasi untuk mahasiswa baru sebagai pemenang kompetisi Mahasiswa Berprestasi Utama FHUI. Acara yang menyenangkan, kapan lagi saya punya kesempatan untuk menyampaikan kepada para mahasiswa baru bahwa seluruh sistem yang dibangun di kampus adalah sistem feodal? Ekspresi muka komisi disiplin dan beberapa dosen di kursi belakang auditorium ketika saya mengkritik sistem absurd itu tidak akan saya lupakan, <i>priceless</i>. Dan saya tidak menyesali sedikit pun kalimat yang saya sampaikan di forum itu: "Mahasiswa harus ambisius, harus mandiri, dan punya cita-cita jadi orang besar. Lebih penting lagi, hargai rekan yang juga ambisius dan berani untuk mengejar cita-citanya." Saya minta beberapa mahasiswa yang waktu itu berani bicara untuk menyampaikan pandangan mereka, dan kalau bisa, dalam bahasa Inggris. Setelah selesai, tak lupa saya ingatkan untuk memberikan tepuk tangan meriah karena mereka berani bicara. Kenapa tidak?<br />
<br />
Apa yang anda harapkan dari sistem pendidikan yang hanya diwarnai kekerasan dan doktrin-doktrin tak bermutu tanpa memperhatikan insentif manusianya sama sekali? Saya belum pergi ke Amerika saat itu, tapi saya bahkan tak perlu pergi jauh-jauh ke Amerika sekedar untuk menyatakan bahwa sistem orientasi universitas kita sedari awal sudah tak masuk akal dan tidak dibangun berdasarkan data atau pun teori yang valid! <br />
<br />
Tak kalah penting dari isu feodalisme, mana mungkin mahasiswa bisa menjadi agen perubahan kalau etos kerja dan belajarnya culun? Kuliah jaman saya adalah kuliah yang gampang. Saya punya banyak waktu untuk membaca buku-buku lainnya karena untuk kuliah saya hanya perlu belajar diktat. Sebagian besar bahan ajar (kalau bukan 100%) ada di diktat. Bahkan sebenarnya beberapa mata kuliah tidak perlu pertemuan. Untuk apa? Baca saja diktatnya, semua sudah ada di situ. Beberapa mata kuliah juga hanya menguji kekuatan hafalan kita (dan jelas lebih banyak dibandingkan dengan soal yang bersifat analitis). Tidak sulit karena tidak membutuhkan analisis yang mendalam. Apa ini metode belajar yang akan kita terus gunakan untuk menciptakan agen perubahan?<br />
<br />
Saya berani menjamin kalau dulu saya diterima dan mengambil Master dan PhD di University of Chicago segera setelah lulus kuliah, saya kemungkinan besar tak akan lulus. Alasan utama mengapa saya bisa menjalankan tugas membaca paper dan buku ratusan halaman per minggu serta ujian yang sifatnya murni analitis adalah karena saya sudah bekerja bertahun-tahun sebagai konsultan hukum. Kalau tanpa etos kerja sebagai konsultan, bubar jalan dengan beban seberat itu. Tak heran Chicago menyediakan layanan konseling psikologi untuk mahasiswa hukum sekaligus pasangan hidupnya karena tingkat stress mahasiswa bisa berpengaruh ke pasangannya. <br />
<br />
Tentunya saya berpikir positif bahwa pengalaman buruk saya di Indonesia hanya terjadi di jaman saya, dan bahwa kini pandangan saya itu sudah usang dan tidak sesuai fakta. Tetapi ketika saya sempat diberikan kesempatan mengajar di FHUI dan FH UGM di tahun 2013, saya mendapati bahwa ternyata etos belajar mahasiswa belum banyak berubah. Makalah-makalah yang saya bagikan gratis tidak dibaca sama sekali, walaupun sepengetahuan saya, kampus kita di Indonesia belum cukup kaya untuk membeli akses terhadap jurnal-jurnal yang saya bagikan tersebut. Tetapi yang membuat saya lebih kecewa lagi adalah karena bahkan tidak ada perasaan bersalah sama sekali dari para mahasiswa tersebut. Mereka tertawa renyah ketika saya tanya, "kalian semua tidak ada yang baca papernya ya?"<br />
<br />
Oke lah, mungkin saya berharap terlalu jauh kalau etos membaca dan belajar itu bisa dibangun dalam sekejab, tetapi 10 tahun sudah berlalu sejak saya lulus kuliah dan saya masih menemukan kasus seperti ini di 2 universitas yang berbeda? Atau mungkin sampel data saya tak mencukupi karena hanya 2 kelas. Tak representatif sama sekali, cuma anekdot. Sunguh, saya berharap saya 100% salah, bahwa kondisi yang saya temui itu hanya anomali belaka dan bukan kenyataan secara umum. Karena kalau ini berlaku secara umum, negara kita benar-benar berada dalam keadaan darurat, darurat yang serius, bukan darurat yang mengada-ngada yang dibuat demi pencitraan murahan.<br />
<br />
Saya sudah menulis panjang lebar sebelumnya soal isu pendidikan di Indonesia dalam tulisan "<a href="http://www.pramoctavy.com/2014/12/mendidik-bukan-sekedar-pengabdian.html" target="_blank">Mendidik Bukan Sekedar Pengabdian</a>." Kalau tulisan tersebut berbicara soal penawaran (<i>supply</i>) pendidikan (soal bagaimana kita memberikan insentif kepada dosen/pengajar untuk memberikan kinerja terbaiknya), sekarang kita berbicara soal permintaan (<i>demand</i>) terhadap ilmu. Saya tak berbicara tentang bagaimana menciptakan mahasiswa yang siap bekerja. Itu sudah merupakan suatu keharusan, saya berbicara tentang bagaimana caranya agar mahasiswa bisa memiliki etos belajar yang kuat, mencintai ilmunya dan mau berpikir secara analitis dan mendalam. Tidak grasak-grusuk dan tak sabaran.<br />
<br />
Jujur saja, saya melihat ada semacam kecenderungan di negara yang kita cintai ini bahwa intelektualitas itu tidak terlalu dibutuhkan. Bahwa isu intelektualitas cuma berkutat dengan teori. Dan tanpa praktek, teori-teori itu tak ada gunanya. Mau tahu hasilnya seperti apa? Hasilnya seperti yang kita dapat sekarang, ketika gema "kerja, kerja, dan kerja" tidak didukung dengan "riset, data, dan analisis." Ngasal sekali kalau mengklaim orang pintar di Indonesia sudah kebanyakan, dan yang kurang adalah yang mau berpraktek langsung. Kalau benar jumlahnya banyak, bagaimana mungkin kebijakan disusun secara ngasal?<br />
<br />
Atau anda pikir anda sudah jagoan di lapangan, terbiasa berpikir pragmatis dan kreatif? Anda tidak akan bisa jadi orang pragmatis kalau pengetahuan teoretis anda melempem. Saya bicara dari pengalaman saya menjadi konsultan hukum yang menangani beragam transaksi kompleks bernilai ratusan juta dolar. Richard Posner tidak akan bisa mengembangkan filosofi pragmatisme dalam mengadili kasus hukum sebagai hakim seandainya dia bukan salah satu orang paling pintar dan paling banyak baca yang pernah saya lihat di Amerika Serikat. Kalau anda pikir mengurus negara bisa dilakukan dengan modal niat baik dan niat kerja saja, anda tak layak jadi pemimpin. Dan kalau dari kecil anda sudah berpikiran seperti itu, kaderisasi kita berarti gagal total!<br />
<br />
Bagaimana mungkin saya tak khawatir, sebuah lembaga pemberi beasiswa negara sempat berpikiran bahwa cara terbaik untuk melatih para peserta beasiswa adalah dengan jalan latihan baris berbaris dan program motivasi. SALAH! Mereka tak butuh program-program seperti itu. Mereka butuh program yang bisa membuka jaringan baru bagi mereka, yang memberikan panggung bagi mereka untuk menunjukkan bahwa mereka layak dan bermutu untuk menerima beasiswa tersebut. Kalau mereka sudah diterima di universitas top dunia, artinya mereka sudah lulus seleksi, tinggal mengembangkan saja. Untuk apa lagi diberikan program pelatihan yang tak nyambung? Kenapa bisa begini? Ya kalau universitas saja masih membiarkan program orientasi berbasis gaya feodal, jelas saja pemikirannya mandeg sampai usia tua karena sudah dibiasakan feodal sejak kecil. Anti teori pula, cukup pakai wangsit dari alam gaib. <br />
<br />
Kemudian anda pikir isu penyusunan kebijakan publik itu semudah membalikkan telapak tangan? Saya ingat sempat diundang menjadi pembicara untuk acara diskusi di FEUI dengan tema <i>Victimless Crime</i>. Saya sampaikan, judulnya saja sudah salah. Kalau kita menghitung kemaslahatan sosial (<i>social welfare</i>) secara menyeluruh, maka tidak ada yang namanya kejahatan tanpa korban, karena setiap kerugian terhadap satu individu akan berpengaruh terhadap kemaslahatan seluruh masyarakat. Contoh: seks bebas. Apakah seks bebas tidak ada biayanya? Jelas ada, biaya kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular, stigma buruk secara sosial, dan sebagainya. Pertanyaannya, kalau kita disuruh mengurus isu ini, kebijakan apa yang akan diambil? Apakah akan kita hukum pelakunya? Siapa yang melaksanakan pengawasan? Memangnya kita bisa mengawasi seluruh rumah dan hotel di seluruh Indonesia? Atau lebih baik kalau kita misalnya menggunakan pendekatan pendidikan seks dan kontrasepsi? Pendekatan moral tidak akan bisa memberikan solusi karena pendekatan ini cuma bisa bicara "pokoknya."<br />
<br />
Di acara itu juga dibahas soal prostitusi. Beberapa mahasiswa berargumen bahwa prostitusi lebih baik dilegalkan karena akan memberikan pendapatan kepada negara dalam bentuk pajak. Saya katakan bagus, tapi jawaban seperti itu levelnya baru sekedar lulus tahapan pemberantasan buta huruf dalam ilmu ekonomi. Di tahap yang lebih tinggi, kalau kita melegalisasi suatu industri, maka akan ada juga biaya pengawasan untuk memastikan bahwa semua pemain bermain sesuai aturan. Berapa biayanya? Lebih murah dibandingkan dengan seandainya prostitusi tetap ilegal? Lalu katakanlah kita akan memajaki industri prostitusi dan mengumpulkan mereka di satu lokasi. Seandainya pajaknya terlalu tinggi dan harga prostitusi menjadi terlalu mahal di atas harga pasar naturalnya sehingga permintaan menurun, akan ada insentif untuk memunculkan pasar gelap yang menawarkan harga lebih murah supaya industri tersebut tetap bertahan, dan jelas akan ada biaya untuk memastikan bahwa pasar gelap tersebut tidak berjalan. Ini berarti legalisasi saja tidak cukup kecuali kita juga memikirkan efek substitusi dalam bentuk penciptaan kesempatan yang lebih baik bagi pelaku prostitusi.<br />
<br />
Dari 2 isu di atas, sudah bisa dilihat kompleksitas dari permasalahan yang seringkali hanya dilihat hitam-putihnya saja di Indonesia. Ini baru 2 masalah, dan percayalah, masih banyak isu yang lebih penting dan mendesak di Indonesia. Negara kita tak pernah kekurangan masalah. Pertanyaannya, apa mungkin kita bisa memberikan jawaban yang tepat kalau landasan keilmuan kita serta penguasaan sarana teknisnya tidak mencukupi? Jelas tidak! Tanpa pengetahuan teoretis yang cukup, anda cuma akan jadi generasi asal bunyi. Lebih buruk lagi, sudahlah asbun dalam berpikir, lantas merasa bisa mengubah dunia dengan modal niat baik, tak tahunya berhasil mendapatkan jabatan publik dan langsung berpraktek dengan ilmu seadanya. Resep sempurna untuk menciptakan negara odal-adul.<br />
<br />
Teori dan praktek saling membutuhkan! Sebelum aktif berkiprah, inteleknya juga harus mumpuni. Sayangnya saya belum melihat etos untuk mengejar ilmu setinggi-tingginya tersebut sudah berjalan secara maksimal di Indonesia. Semua ingin diburu-buru, serba instan. Yang penting terkenal dulu saja, mikir belakangan. Apakah kita akan mengulangi lagi kesalahan yang sama seperti yang sedang kita lihat saat ini? Merasa bisa memperbaiki bangsa, tak sabar menanti prosesnya, sehingga akhirnya dengan semangat yang meluap-luap yakin bisa menyelamatkan masyarakat akar rumput? Halo, kita semua adalah bagian dari akar rumput tersebut! Sendirian, kita semua bukan siapa-siapa bahkan sekalipun anda masuk daftar 100 orang terkaya Indonesia versi Majalah Globe. Negara ini terlalu besar untuk dipegang satu orang. Lupakan model berpikir dimana kita sendirian bisa menyelesaikan semua
masalah. Anda perlu bagi-bagi tugas. Inilah fungsi pendekatan
multidisipliner. <br />
<br />
Jadi, bagaimana agar ada insentif bagi mahasiswa untuk bisa menjadi kader dan agen perubahan yang diidam-idamkan sejak lama itu? Apakah ada kewajiban moral untuk menjadi agen perubahan? Saya tidak percaya kewajiban moral yang tak jelas, saya lebih percaya bahwa setiap orang ingin memaksimalkan manfaat yang ia terima. Pikirkan kembali insentif dan prioritas anda. Ingin lahir, hidup, dan mati sebagai orang biasa? Atau ingin menjadi orang yang luar biasa? Kalau ingin menjadi luar biasa, sudah dipikirkan bagaimana caranya agar langkah menjadi luar biasa itu akan tercapai? Atau hanya akan menjadi impian omong kosong saja? Apakah cara untuk menjadi luar biasa hanya ada satu atau banyak?<br />
<br />
Satu hal yang pasti, anda tak bisa jadi luar biasa kalau etos belajar saja belum punya. Tanpa rasa keingintahuan yang tinggi, kita akan cepat berpuas diri akan pengetahuan kita, dan tak lama kemudian kita merasa sudah tahu segalanya. Ini mengapa saya bersyukur pergi ke Chicago dan sekali lagi mengalami perasaan frustrasi yang amat sangat ketika saya harus menerima kenyataan bahwa pengetahuan teknis saya masih tertinggal terlalu jauh. Ilmu hukum saja tak cukup ternyata untuk menghadapi kompleksitas permasalahan dunia.<br />
<br />
Saya tak bilang bahwa kemudian mahasiswa tak boleh berpolitik atau berorganisasi. Seperti yang saya sampaikan, anda semua punya prioritas masing-masing. Pesan saya hanya pastikan benar-benar bahwa langkah yang anda ambil itu sudah dipertimbangkan masak-masak. Dunia mahasiswa adalah transisi dari masa remaja ke dunia orang dewasa, pastikan langkah yang akan anda ambil tidak akan anda sesali di kemudian hari. Mulailah bertindak dewasa dengan memilih jalur hidup anda sendiri. Selamat memilih!<br />
</span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-21714579018940024852015-01-27T08:16:00.001+07:002020-12-08T10:49:15.508+07:00Hukuman Mati Tak Bisa Setengah Hati!<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYy8I2gBcPn9bqBivY5kkFaBzeglUOwktVSeU50kiTfq-xHDRbKlAIgB8vAnTR9t-DkUgUra44utj87sJ3MwYcU_IV_bu7ly1Fg8wre05g68b8nqUnkZcxLOO1XZypepFv4gtt/s2048/tingey-injury-law-firm-DZpc4UY8ZtY-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYy8I2gBcPn9bqBivY5kkFaBzeglUOwktVSeU50kiTfq-xHDRbKlAIgB8vAnTR9t-DkUgUra44utj87sJ3MwYcU_IV_bu7ly1Fg8wre05g68b8nqUnkZcxLOO1XZypepFv4gtt/s320/tingey-injury-law-firm-DZpc4UY8ZtY-unsplash.jpg" width="320" /></a></div><div><br /></div>Diskusi tentang hukuman mati sudah sering diulang tetapi isunya tak pernah beres. Mungkin karena terlalu banyak kepentingan dan insentif yang beradu dalam pelaksanaan hukuman mati sehingga langkah yang perlu diambil juga senantiasa setengah hati. Dalam artikel kali ini, saya akan membahas: (i) faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dengan seksama ketika kita ingin menggunakan hukuman mati sebagai bagian dari hukum pidana, dan (ii) prediksi mengapa pelaksanaannya tidak konsisten di Indonesia. Dengan memahami kedua isu di atas, saya berharap pembaca bisa memiliki informasi yang lebih baik dalam menentukan apakah kita memang butuh keberadaan hukuman mati di Indonesia. <br />
<br />
Konsisten dengan pisau analisis saya selama ini, saya akan menggunakan pendekatan ekonomi dan analisis untung rugi terhadap kebijakan hukuman mati. Namun karena sifat hukuman mati yang sangat kontroversial, saya perlu menjelaskan terlebih dahulu mengapa saya tidak sepakat untuk membahas isu ini melalui lensa hak asasi manusia atau filsafat retributif/restoratif.<br />
<br />
Kalau kita percaya dengan ide bahwa tidak pantas manusia menentukan kapan manusia lain mati maka akan ada banyak sekali kebijakan yang tidak boleh diambil oleh Pemerintah. Realitasnya, apakah penentuan hidup mati seseorang hanya terjadi melalui hukuman mati? Hukuman mati hanyalah salah satu bentuk kebijakan yang memiliki efek langsung terhadap nyawa. Banyak kebijakan lainnya yang juga akan memiliki efek terhadap nyawa, misalnya keselamatan transportasi (seberapa jauh kita akan menjamin keamanan setiap moda transportasi?), subsidi kesehatan (berapa banyak alokasi dana Pemerintah yang digunakan untuk perawatan kesehatan dan riset memerangi penyakit berbahaya?), legalisasi industri rokok (sejauh mana kita akan biarkan rokok ada dan merusak kesehatan manusia, sepanjang pendapatan pajaknya masih lebih besar dari biaya kesehatan nasional?), besaran emisi polusi (sejauh mana kadar emisi polusi yang berpengaruh pada kesehatan diperbolehkan untuk ada?), dan masih banyak lagi.<br />
<br />
Perbedaannya dengan hukuman mati? Efeknya tidak langsung dan lebih bersifat jangka panjang. Walaupun tentunya keputusan eksekusi di tiang gantungan atau di lapangan tembak akan jauh lebih dramatis dan menarik untuk dijadikan bahan cerita dibandingkan menentukan berapa banyak emisi asap mobil dan polusi dari cerobong asap pabrik yang diperkenankan untuk mencemari udara kita tahun ini. Kalau ada 2 hak yang saling bertentangan, mana yang harus didahulukan? Hak untuk hidup dengan kata lain tidak absolut kecuali kita siap untuk melakukan perubahan fundamental atas seluruh kebijakan yang mana tidak realistis dan kemungkinan besar akan terjadi hanya ketika kita menemukan sumber daya tak terbatas.<br />
<br />
Saya juga tak mau berpanjang lebar membahas filsafat retributif dan restoratif karena dua-duanya tidak banyak membantu dalam menyusun kebijakan. Hukum pidana memang bisa digunakan untuk balas dendam atau bisa juga dipakai untuk rehabilitasi. Lalu? Terlalu fokus pada balas dendam membuat kita tidak bisa menelusuri lebih jauh apakah keputusan yang kita buat itu ada manfaatnya. Kepuasan dari balas dendam cuma sedikit aspek dari kesejahteraan. Memutuskan bahwa semua narapidana harus direhabilitasi dan dicerahkan jadi manusia yang lebih baik juga tidak gratis dan jelas tidak semua manusia bisa dicerahkan. Lagi-lagi kita harus memilih.<br />
<span id="fullpost">
<br />
Dalam pandangan aliran Hukum & Ekonomi, secara normatif, kebijakan pidana tak bisa lepas dari gagasan memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan keterbatasan sumber daya. Analisis harus dimulai terlebih dahulu dengan menentukan tindakan apa saja yang perlu diatur secara pidana. Ini hal yang sering terlupakan khususnya dalam masyarakat yang gila pidana. Semua aspek kehidupan hendak diatur, dan semua pelanggaran harus dikenakan sanksi. Padahal belum tentu semua kegiatan perlu diatur oleh hukum pidana. <br />
<br />
Setelah kita menentukan tindakan apa saja yang akan masuk kategori pidana, yaitu umumnya tindakan yang menimbulkan kerugian aktual secara sosial dan sulit untuk diselesaikan secara privat (lihat pembahasan lebih jauh di artikel saya di <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/11/perlukan-penghinaan-dipidana.html" target="_blank">sini</a>), kita harus mempertimbangkan bentuk sanksi yang akan digunakan dan ketersediaan serta kualitas penegak hukum yang akan menjalankan hukum tersebut. Mari kita bahas soal sanksi terlebih dahulu.<br />
<br />
Dalam aliran Hukum & Ekonomi, fungsi sanksi pidana ada dalam 2 bentuk. Dalam bentuk negatif, sanksi
diciptakan untuk meningkatkan biaya melakukan kejahatan. Pelaku
kejahatan rasional hanya akan melakukan aksi kriminal apabila ia
memperkirakan (ingat, memperkirakan bukan memastikan 100%) bahwa
kejahatannya tersebut akan memberikan keuntungan yang lebih besar
dibandingkan dengan ongkos yang harus ia keluarkan. Ibarat investasi,
orang tentu ingin untung. Semakin besar probabilitas untuk mendapatkan keuntungan melalui aksi kriminal, semakin besar jumlah keuntungan yang akan didapat, dan semakin kecil biaya untuk mendapatkan keuntungan tersebut,
semakin besar pula insentif untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks
ini, ongkos melakukan kejahatan meliputi biaya operasional kejahatan dan
potensi sanksi yang akan ia terima dikalikan dengan probabilitas
dijatuhkannya sanksi tersebut.<br />
<br />
Dalam bentuk positif, sanksi pidana bisa digunakan untuk program
yang bersifat rehabilitatif. Kadang kala, meningkatkan biaya melakukan kriminal tidak selalu cukup. Bisa jadi karena sanksinya tidak cukup keras, ataupun sanksinya tidak komprehensif, ini khususnya dalam kasus sistem pemenjaraan yang tidak memikirkan bagaimana nanti ketika narapidana kembali ke masyarakat. Apabila mereka tidak memiliki kesempatan yang lebih baik di luar sana ditambah dengan level penerimaan yang rendah dari masyarakat, mantan narapidana akan memiliki insentif yang lebih besar untuk menjadi residivis. Silakan baca artikel <a href="http://news.uchicago.edu/article/2015/01/16/uchicago-crime-lab-event-tackles-challenges-life-after-prison" target="_blank">ini</a> untuk memahami lebih lanjut isu rehabilitasi.<br />
<br />
Tentu saja pelaksanaan program rehabilitasi harus dilakukan secara
selektif. Bagaimanapun juga, ongkos operasional mendidik umumnya selalu lebih mahal dibandingkan menyiksa atau menyengsarakan orang, dan efek yang diharapkan juga belum tentu tercapai khususnya apabila stigma narapidana di masyarakat tidak berubah secara signifikan. Sia-sia mendidik narapidana kalau setelah keluar dari penjara, mereka tetap dikucilkan dan tidak diterima masyarakat. Artinya untuk menyukseskan program ini, kita juga harus memperhitungkan biaya mendidik masyarakat secara keseluruhan.<br />
<br />
Ini mengapa menentukan sanksi pidana yang tepat sebenarnya sangat sulit. Sebagaimana
seringkali saya sampaikan, prioritas orang berbeda-beda. Implikasinya,
insentif mereka pun juga akan berbeda-beda. Pelaku pembunuhan karena
balas dendam akan memiliki insentif yang berbeda dengan pembunuh
profesional yang melakukan aktivitasnya karena bayaran, begitu juga akan
berbeda insentif seorang pencuri ayam dengan koruptor kelas kakap. Belum lagi relasi dengan masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap narapidana setelah selesai menjalani hukuman juga akan berpengaruh dalam mengukur efektivitas sanksi. Saya perkirakan bahwa hal ini khususnya sangat menyulitkan narapidana dari kelas ekonomi yang lemah dibandingkan dengan narapidana kaya raya. <br />
<br />
Sayangnya, negara kita masih malas memikirkan sanksi pidana yang tepat.
Kebanyakan sanksi dipukul rata dalam bentuk penjara, denda, atau hukuman
mati. Penjatuhannya juga tampak tidak dipikirkan secara sistematis tapi lebih cenderung mengikuti kemana angin berlalu. Padahal kita butuh penelitian empiris dan eksperimen untuk mengetahui sanksi yang tepat! Kalau kita memilih program rehabilitasi misalnya, kita perlu mengukur sejauh apa kesuksesan program tersebut dengan melihat kontribusi narapidana kepada masyarakat setelah bebas dan tingkat pengurangan aksi residivisme. Kalau kita memilih sanksi dalam bentuk negatif, selain pengurangan residivisme, kita juga perlu melihat seberapa jauh korelasi keberadaan sanksi dengan penurunan aksi kriminal yang kita teliti, atau sebagaimana sering didengung-dengungkan, keberadaan efek jera dari sanksi tersebut. <br />
<br />
Berhubung penentang hukuman mati sering meributkan isu efek jera, perlu saya sampaikan bahwa kita perlu berhati-hati dalam menyatakan bahwa suatu jenis sanksi tidak memiliki efek jera. Suatu sanksi bisa jadi kurang efektif karena bentuk sanksinya sendiri tidak memberikan insentif yang tepat kepada pelaku kejahatan. Saya misalnya pernah membahas di <a href="http://www.pramoctavy.com/2012/04/impoverishing-corruptors-why-not.html" target="_blank">sini</a> mengapa sanksi penjara bukan jenis sanksi yang tepat untuk kejahatan korupsi. Kemungkinan lainnya adalah karena minimnya tingkat penegakan hukum atau kelemahan dalam prosedur penegakan hukum. Dan menurut saya, isu yang kedua ini lebih relevan bagi hukuman mati. <br />
<br />
Penegakan hukum adalah aspek yang tak bisa dipisahkan dari hukum pidana. Salah satu penyakit kronis dari masyarakat gila pidana adalah percaya bahwa dengan memidanakan sebagian besar aspek kehidupan, maka secara ajaib semua manusia akan taat hukum dan menjadi manusia yang baik-baik. Ini delusional. Kalau tidak ada yang menegakkan hukum, hukum hanya akan jadi macan kertas. Sekalipun kita bisa menciptakan sanksi pidana yang paling mengerikan di alam semesta ini tetapi probabilitas dijatuhkannya mendekati nol, pelaku kriminal kemungkinan besar hanya akan mentertawakan aturan tersebut. Tanpa menelaah probabilitas penjatuhan sanksi hukuman mati, percaya bahwa hukuman mati pasti efektif mengurangi tingkat kejahatan sama sesat pikirnya dengan percaya bahwa hukuman mati tidak efektif sama sekali. <br />
<br />
Berhubung penegakan hukum butuh biaya dan sumber daya kita terbatas, mau tak mau kita harus memilih. Terciptalah hubungan yang rumit antara jenis tindakan yang perlu dipidanakan, sanksi yang akan dijatuhkan, penentuan jumlah penegak hukum yang optimal, dan efek positif sanksi yang diharapkan melalui pengurangan tingkat kejahatan dan penciptaan nilai tambah bagi masyarakat, semuanya dengan memperhatikan berapa besar jumlah yang harus dibayar oleh masyarakat untuk membiayai keseluruhan sistem tersebut! Perlu diingat bahwa biaya yang harus dibayar masyarakat bukan saja biaya operasional sistem hukum pidana, tetapi juga biaya terhadap anggota masyarakat yang terkena sanksi pidana, bersalah ataupun tidak bersalah, karena mereka semua merupakan komponen dari masyarakat secara keseluruhan (ingat kembali konsep sanksi dalam bentuk negatif yang ditujukan untuk menambah biaya pelaksanaan tindakan kriminal). <br />
<br />
Setelah memahami konsep-konsep dasar di atas, barulah kita bisa membahas apakah kita membutuhkan hukuman mati di Indonesia. Apa keunggulan hukuman mati? Dari segi biaya operasional, jelas lebih murah dibandingkan dengan biaya operasional penjara. Mematikan orang tidak akan semahal memelihara narapidana dalam penjara apalagi melatih mereka. Sifatnya yang sangat dahsyat juga dapat menciptakan biaya yang sangat mahal bagi pelaku kejahatan (walaupun tentu bergantung pada probabilitas dikenakannya hukuman tersebut). Untuk pelaku kriminal yang sangat berbahaya, mungkin akan lebih baik bagi masyarakat apabila mereka dihilangkan dibanding dengan mengurung mereka untuk memenuhi nilai moral tertentu. Ini mengapa saya tak suka ide moral Batman yang sok tak ingin membunuh Joker walaupun keberadaan Joker sangat berbahaya bagi masyarakat dan selalu bisa kabur dari penjara (penjelasan lainnya adalah kalau Joker dibunuh, cerita Batman juga akan berakhir lebih cepat sehingga ada insentif untuk memperpanjang relasi yang absurd itu).<br />
<br />
Kelemahannya? Penjatuhan hukuman mati tidak bisa memberikan ganti rugi secara moneter kepada korban kejahatan. Padahal bisa jadi bagi korban, penerimaan ganti rugi plus denda jauh lebih bermanfaat. Memangnya seberapa besar nilai balas dendam dari segi moneter untuk kebanyakan orang? Kemudian karena hukuman mati tidak bisa dikoreksi setelah dijatuhkan, biaya administrasi proses penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan penjara. Proses pembuktian akan lebih sulit, proses banding dan grasi juga diprioritaskan. Ini dengan asumsi penegak hukum peduli untuk memastikan bahwa mereka yang dihukum memang benar-benar bersalah dengan tingkat keyakinan mendekati kepastian (<i>beyond reasonable doubt</i>). Harus diingat bahwa menjatuhkan hukuman kepada orang yang salah berarti menciptakan biaya yang tidak perlu bagi masyarakat dan juga mengurangi probabilitas dijatuhkannya hukuman pada pelaku sebenarnya. Setiap kesalahan penegakan hukum pada prinsipnya mengurangi biaya melakukan kejahatan! <br />
<br />
Ini berarti hukuman mati hanya akan memberikan manfaat bersih apabila manfaat yang diperoleh masyarakat dari tingkat pengurangan kejahatan dan penghematan biaya penegakan hukum (karena kejahatan berkurang) lebih tinggi dibandingkan ongkos yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai proses hukuman mati. Untuk mencapai hal tersebut, hukuman mati harus dijatuhkan dengan cepat dan tak bertele-tele, proses pembuktian berjalan efisien dan terpercaya (sehingga prosesnya tak berlarut-larut) dan kemungkinan penjatuhan sanksi kepada orang yang salah juga minim (karena tak mungkin juga penegakan hukum berjalan benar 100%). <br />
<br />
Pertanyaan besarnya, apakah syarat dan kondisi di atas terpenuhi di Indonesia? Kemungkinan besar tidak. Contoh gampangnya adalah soal Peninjauan Kembali yang baru-baru ini menjadi kontroversi. Kejaksaan Agung menunda-nunda eksekusi pidana mati karena takut perkaranya bisa ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung. Katanya tidak ada kepastian hukum. Bagaimana ini? Penegak hukumnya saja tidak percaya dengan sistem hukum yang mereka jalankan! Lalu untuk apa pula menuntut hukuman mati kalau tidak yakin? Belum lagi fakta bahwa banyak sekali eksekusi hukuman mati yang terkatung-katung. Padahal selama eksekusi tertunda, narapidana tentu harus dipenjara. Penghematan biaya operasional pun menjadi omong kosong belaka.<br />
<br />
Isu lainnya tentunya adalah konsistensi penjatuhan hukuman mati. Siapa yang menjadi target dari hukuman ini? Jelas saja tidak ada efek jera kalau yang dikenakan hukuman umumnya hanya level kroco. Suplai kroco akan selalu lebih banyak dari bos-bos besar pelaku kejahatan, yang artinya posisi mereka gampang digantikan dengan orang lain. Ditambah dengan carut marutnya penegakan hukum kita yang tak jelas administrasinya, probabilitas pelaksanaan hukuman mati juga menjadi semakin rendah. Lalu apa gunanya hukuman mati dalam kondisi seperti ini?<br />
<br />
Walaupun bisa jadi hukuman mati sebenarnya tidak efisien di Indonesia, ada fungsi lain dari hukuman mati yang diminati oleh Pemerintah dan aparat hukum: pencitraan. Tak perlu pusing bahwa biaya administrasinya mahal dan sistemnya carut marut. Yang penting hukuman ini dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan yang dipersepsikan sangat berbahaya. Misalnya narkoba. Berita hukuman mati adalah ladang berita yang selalu menarik kontroversi dan minat pemirsa. Dan selama ia masih jadi sumber berita yang efektif untuk menunjukkan ketegasan pemerintah, selama itu juga tak ada insentif signifikan untuk mengubah sistem.<br />
<br />
Mengapa tidak fokus dengan yang riil-riil saja? Daripada sibuk berfilsafat soal nyawa dan sebagainya, kita bisa bicara aspek yang paling jelas, biaya yang harus ditanggung masyarakat! Kita sekarang membiayai sebuah sistem yang dampaknya relatif rendah, tak murah juga, rentan disalahgunakan dan jadi ajang pencitraan. Kalau mau serius menggunakan hukuman mati, sudah ada resep yang perlu diperhitungkan di atas, tinggal kita kuantifikasi dengan menggunakan data yang solid. Masih mau asyik beretorika atau mulai menyusun kebijakan publik berbasis data? Jangan setengah-setengah kalau mau maju!<br /> </span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-66811982216207563382015-01-15T09:13:00.004+07:002020-12-23T09:05:11.441+07:00Gagal Paham Rasionalitas Ekonomi Jilid 2<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMkWpKu490MpyLDPwUU3r1JZB_LffWzlY6hYRqxZz-GqhYIJI2ltKaHqyKz30RzGFyDuhNl0tu09_Lki02bvw4CY3ppRzTM5JPZrhfCEMnsiAfqLa6guMkkI0uUYnygolCjuve/s2048/64999.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1485" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMkWpKu490MpyLDPwUU3r1JZB_LffWzlY6hYRqxZz-GqhYIJI2ltKaHqyKz30RzGFyDuhNl0tu09_Lki02bvw4CY3ppRzTM5JPZrhfCEMnsiAfqLa6guMkkI0uUYnygolCjuve/s320/64999.jpg" width="320" /></a></div><div><br /></div>Dalam artikel saya sebelumnya, <a href="http://www.pramoctavy.com/2015/01/gagal-paham-rasionalitas-manusia-dalam.html" target="_blank">Gagal Paham Rasionalitas Manusia dalam Pendekatan Ekonomi</a>, saya menyampaikan beberapa tanggapan atas kritik rekan Muhammad Kholid terhadap pendekatan ekonomi yang mengasumsikan rasionalitas manusia sebagai landasan analisis kebijakan publik dan juga hukum. Sempat saya sampaikan bahwa kritik Kholid ini adalah bagaikan memukuli kuda mati (<i>beating a dead horse</i>), alias mengulang-ulang yang tidak perlu. Kholid kemudian membalas artikel saya tersebut di <a href="https://www.selasar.com/ekonomi/apakah-manusia-selalu-berpikir-dan-bertindak-rasional-bagian-ii" target="_blank">sini</a>.<span><a name='more'></a></span><br /><br />
Membaca tulisan terbarunya ini, komentar singkat saya, entah Kholid ini penikmat sadomasokis yang memang benar-benar suka memukuli kuda yang sudah mati itu atau mungkin kuda yang bersangkutan sudah menjadi zombie sehingga perlu dipukuli terus menerus. Saya juga bingung apakah sebenarnya Kholid sendiri sepenuhnya paham konsep apa yang sedang ia kritik? Artikelnya penuh dengan kontradiksi pemahaman, campur aduk antara menjadi rasional dengan menjadi manusia paripurna nan cendekia, serta contoh-contoh yang tidak nyambung tapi dipaksakan untuk masuk. <br />
<br />
Tapi tidak masalah, saya dengan senang hati menanggapi kritik Kholid karena hal tersebut memberikan ruang kepada kepada saya untuk mengelaborasi lebih jauh tentang pendekatan rasionalitas dan mengapa pendekatan tersebut lebih superior dibandingkan pendekatan lainnya. Artikel seperti ini mungkin bukan tipe artikel yang akan banyak dibaca orang tetapi kalau suatu hari nanti ada yang bertanya lagi tentang mengapa saya begitu gencar menggunakan pendekatan ekonomi, saya tinggal merujuk ke artikel saya hari ini. Lebih efisien dibandingkan saya harus menjelaskan isu yang sama berkali-kali. <br />
<br />
<b>Memahami Konsep Rasionalitas Dalam Ekonomi</b> <br />
<br />
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan asumsi rasionalitas dalam ekonomi? Ilmu ekonomi sudah menjabarkannya dengan sederhana, yaitu bahwa setiap orang akan berusaha memaksimalkan utilitas atau manfaat sesuai dengan preferensinya dan dengan senantiasa memperhatikan keterbatasan sumber daya (yang dapat meliputi anggaran, pengetahuan, dan waktu). Selama masih ada kelangkaan dan ada banyak aktivitas yang harus dipilih, selama itu juga analisis untung rugi atau <i>cost benefit analysis </i>(CBA) diperlukan. Kalau tidak, bagaimana kita bisa memilih? Hanya saja mohon dengan amat sangat diperhatikan bahwa asumsi ini tidak sama dengan asumsi bahwa semua manusia memiliki pengetahuan sempurna untuk menentukan mana yang terbaik bagi dirinya, kita semua hanya bisa berusaha semampu kita untuk mengejar apa yang kita mau. Jadi kalau Kholid masih bersikeras bahwa asumsi kesempurnaan ini seharusnya ada dalam asumsi rasionalitas, sebaiknya dia kembali belajar ilmu ekonomi dari nol.<br />
<br />
Mengapa menggunakan pendekatan ekonomi dengan aksiom rasionalitas? Dari segi positif, pertama, sifatnya intuitif dan mudah untuk diaplikasikan. Kedua, aksiom rasionalitas juga tidak kemudian berarti bahwa semua kebijakan menjadi mudah untuk disusun atau memiliki kekuatan prediktif 100%. Sebaliknya, aksiom rasionalitas menuntut kerja keras dari kita semua untuk mencari tahu apa manfaat yang dikejar oleh kebanyakan manusia. Insentif apa yang paling tepat bagi mereka ketika kita sedang menyusun kebijakan mengingat setiap orang bisa jadi memiliki prioritas yang berbeda? Bagaimana kira-kira mereka akan menanggapi suatu kebijakan? Apakah suatu kebijakan akan berjalan efektif dan efisien?<br />
<span id="fullpost">
<br />
Dan sebagaimana sudah saya ulang berkali-kali, aksiom rasionalitas dan konsep preferensi tidak mengasumsikan bahwa manusia hanya suka dengan insentif finansial. Insentif finansial penting, tetapi jelas bukan keseluruhan. Saya ingin menekankan hal ini karena ini merupakan konsep yang paling sering disalahpahami. Seakan-akan ketika kita menggunakan pendekatan ekonomi, kita hanya akan peduli dengan uang. Salah 100%. Ini mengapa ketika ada beberapa orang yang mengklaim bahwa permainan ultimatum (<i>ultimatum game</i>) merupakan contoh tidak rasionalnya manusia, saya menyimpulkan bahwa orang-orang yang bersangkutan tidak benar-benar paham ekonomi.<br />
<br />
Permainan ultimatum adalah permainan yang melibatkan 2 orang dimana satu orang akan diberikan sejumlah uang dan kemudian si penerima uang diminta untuk membagi uang tersebut kepada peserta lainnya. Jumlah yang akan dibagi terserah. Apabila peserta lainnya menerima tawaran si penerima uang, maka masing-masing memperoleh jumlah yang sudah dibagi tersebut. Tetapi apabila peserta lain menolak, maka seluruh uang harus dikembalikan. Ada sebagian ekonom berpendapat bahwa seharusnya peserta kedua menerima berapapun yang ditawarkan oleh peserta pertama karena bagaimanapun, dia mendapatkan uang secara gratis. Tetapi dalam kenyataanya, ketika jumlah yang dibagi oleh peserta pertama terlalu kecil, maka peserta kedua menolak uang tersebut.<br />
<br />
Dari sudut pandang rasionalitas, penolakan peserta kedua atas jumlah yang kecil atau yang dianggap tidak adil bukanlah bukti bahwa mereka irasional. Konteks dan kondisi akan sangat berpengaruh. Berapa jumlah uang yang dipertaruhkan? Sebesar apa kebutuhan uang dari pihak kedua dan juga pihak pertama? Asumsikan bahwa uang yang dibagi berjumlah US$100. Kalau saya peserta kedua dan benar-benar miskin dan US$1 pun sudah cukup, saya dengan senang hati akan memilih untuk mendapatkan US$1 dollar dan membiarkan peserta pertama mengambil US$99. Kalau saya lebih kaya dan tidak terlalu butuh uang itu, saya punya kemampuan untuk membayar pemenuhan rasa "keadilan" saya dengan tidak menerima tawaran dari peserta pertama yang hanya mau memberikan US$1. Mungkin saya akan lebih tergerak kalau dia mau memberikan US$10.<br />
<br />
Dan kalau saya benar-benar kaya dan tidak membutuhkan uang itu sama sekali, saya bisa dengan mudah menolak berapapun tawarannya bahkan jika sekalipun tawarannya lebih dari 50%. Mengapa? Karena mungkin saya menikmati saja orang ini tidak mendapatkan uang tersebut. Orang Jerman punya istilah yang bagus untuk situasi barusan: <i>schadenfreude</i>. Apakah sikap senang pada penderitaan orang lain itu irasional? Tidak harus. Psikopat mungkin, tapi rasional. Ini mengapa kita butuh penelitian empiris lebih dalam untuk tahu mana yang benar-benar penting bagi orang kebanyakan. Aksiom rasionalitas hanyalah pembuka awal untuk ditelusuri lebih jauh, bukan akhir dari analisis! Paling tidak pahamilah konsep yang terakhir ini supaya jangan mengulang-ulang kritik yang mulai terdengar seperti kaset rusak. Ini jaman mp3, <i>ipod</i> dan <i>smartphone</i>, bukan periode 80-an. <br />
<br />
Adapun dari segi normatif, pendekatan ekonomi ingin mencari kebijakan yang bisa memaksimalkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dengan biaya yang paling rendah. Di sini muncul peranan CBA dalam bentuk yang lebih formal yang sudah melibatkan monetisasi dari kebijakan yang akan diambil. Banyak yang mengkritik pendekatan CBA formal karena katanya tidak bisa menangkap semua aspek. Lucunya, tidak ada yang bisa menjelaskan pendekatan apa yang lebih baik. Eric Posner dan Matthew D. Adler sudah membahas panjang lebar dalam buku mereka <i>The New Foundations of Cost-Benefit Analysis</i> bahwa CBA memang bukan metode yang sempurna, tetapi ini tetap merupakan metode terbaik dibandingkan dengan metode-metode lainnya. Saya menyarankan semua pembaca artikel ini untuk membaca buku tersebut, khususnya terkait konsep maksimalisasi kepentingan pribadi.<br />
<br />
Steven Shavell dan Louis Kaplow dalam bukunya, <i>Fairness versus Welfare</i>, juga menjelaskan mengapa pendekatan yang berbasis <i>welfare</i> atau kesejahteraan lebih baik dibandingkan dengan pendekatan berbasis <i>fairness</i> atau keadilan, yaitu khususnya karena pendekatan <i>welfare</i> memasukkan komponen <i>fairness</i> dalam mempertimbangkan apakah masyarakat mendapatkan kesejahteraan yang mereka inginkan karena kita semua tahu orang tidak cuma peduli soal uang belaka! Sementara konsep <i>fairness</i> belum tentu memasukkan komponen <i>welfare</i>. Penganut konsep egalitarian mutlak akan lebih menyukai situasi dimana semua orang sama rasa dan sama rata dalam seluruh aspek kehidupannya sekalipun mereka semua sama-sama hidup miskin dibandingkan dengan konsep dimana ada orang kaya dan orang miskin sekalipun orang miskin dalam kondisi ini lebih baik daripada kondisi dimana semua orang sama rasa.<br />
<br />
Saya bahkan sudah panjang lebar menulis soal mengapa pendekatan normatif berbasis <i>welfare</i> ini juga ada landasanya dalam agama Islam dan hukum Islam. Anda bisa melihat lebih jauh pembahasan tersebut di <a href="http://www.pramoctavy.com/2015/01/bolehkah-membunuh-penghina-nabi.html" target="_blank">sini</a> yang membahas soal pendekatan ekonomi terhadap kasus penghinaan Nabi Muhammad. Boleh dibilang, pendekatan ekonomi ini sudah ada justifikasi religiusnya!<br />
<br />
<b>Rasionalitas = Sempurna = Paripurna?</b> <br />
<br />
Tetapi perlu pula dicatat bahwa pendekatan normatif ini juga tetap perlu tunduk pada pendekatan positif yang sebelumnya saya sampaikan. Mengapa? Karena yang akan melaksanakan pendekatan tersebut adalah manusia juga dengan kepentingan pribadi yang berbeda-beda. Aksiom rasionalitas memegang peranan penting di sini. Ekonom sejati tidak akan naif berpikir bahwa karena ia ingin menggunakan pendekatan yang memaksimalkan kesejahteraan maka dalam prakteknya ada jaminan 100% bahwa pendekatan itu akan sukses. Pendekatan normatif hanyalah pedoman dalam mengambil keputusan. Tanpa adanya institusi dan mekanisme <i>checks and balances</i>, pendekatan normatif juga bisa disalahgunakan. <br />
<br />
Tidak percaya? Ambil contoh Krisis 98 yang dibahas oleh Kholid. Ia mempertanyakan mengapa pemerintah tidak rasional dalam mengambil kebijakan tersebut? Bukankah seharusnya pemerintah yang rasional akan senantiasa mengejar maksimalisasi kesejahteraan dan meminimalkan resiko? Mengapa justru kemudian pemerintah malah mengambil kebijakan yang tidak berhati-hati? Contoh irasionalitas? Mungkin, tetapi di dimensi lain yang sedang diimajinasikan oleh Kholid sepanjang artikelnya tersebut, bukan di planet Bumi.<br />
<br />
Oh, andai saja semua pejabat pemerintah kita benar-benar akan bekerja demi rakyat semata tanpa ada unsur kepentingan pribadi sedikit pun. Lupa dengan asumsi rasionalitas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya akan memaksimalkan kepentingan dirinya sendiri?! Tidak pernah ada jaminan bahwa kepentingan diri pejabat pemerintah akan sinkron dengan kepentingan orang lain, apa lagi kalau tidak ada insentif yang tepat supaya ia bertindak dengan tidak merugikan orang lain. Saya jadi bertanya-tanya, Kholid ini sedang membahas manusia rasional atau manusia paripurna ala nabi, pandita atau malaikat?<br />
<br />
Deregulasi perbankan di jaman Suharto adalah opsi yang sangat rasional bagi Suharto dan kroni-kroninya. Mengapa tidak? Tidak ada sistem demokrasi, tidak ada mekanisme <i>checks and balances</i>, semua dikuasai oleh bos besar dan kawan-kawannya. Untuk apa peduli dengan suara rakyat kalau seorang penguasa tak bisa diminta pertanggungjawabannya sama sekali? Apalagi ketika Suharto merasa bahwa kekuasaannya didukung oleh pihak militer dan pengusaha kaya. Hidup tanpa beban, kredit bank pun lancar dikucurkan untuk para kroninya. Karena Suharto irasional dan bodoh? Jelas tidak!<br />
<br />
Suharto itu sangat pintar, dia bahkan tahu cara terbaik untuk melaksanakan perampokan secara masif dan sistematis. Legalkan saja segala tindakannya! Buat dasar hukum terlebih dahulu untuk monopoli cengkeh dan tanaman rempah-rempah lainnya, jalankan program mobil nasional berdasarkan Keputusan Presiden, dan tentunya tak lupa deregulasi bank guna menghapuskan aturan soal <i>legal lending limit</i> dan rasio modal minimum. Tak ada yang berani melawan. Siapa yang berani? Sudah siap hilang nyawa? Atau minimal kehilangan harta yang berlimpah dan kebebasan pribadi?<br />
<br />
Justru kita sedikit banyak harus berterima kasih pada Krisis 98! Suharto tak akan kehilangan legitimasi dan tersingkir seperti itu tanpa adanya kejutan ekonomi yang luar biasa dahsyat sampai-sampai ia kehilangan dukungan dari rekan-rekannya sendiri dan militer. Kelangkaan memang kekuatan yang paling dahsyat untuk mengubah perilaku seseorang, persis seperti ketika Sukarno jatuh setelah sebelumnya menghadiahkan inflasi 600% bagi masyarakat Indonesia. <br />
<br />
Kholid juga bertanya, mengapa produk investasi yang jelek bisa dijual dan diberikan rating yang tinggi (Dia tidak menyebut dalam kasus apa, tapi saya asumsikan terkait krisis <i>Subprime Mortgage </i>tahun 2008). Katanya, ini juga bukti irasionalitas. Salah, sesalah menyatakan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi! Siapa yang membuat regulasinya? Siapa yang melobi pemerintah agar peraturan itu dibuat atau tidak diatur? Apakah pemerintah dan pengusaha irasional ketika mereka melobi dan dilobi dengan kesadaran penuh? Kenapa kemudian perusahaan rating juga bisa memberikan nilai yang tinggi terhadap produk yang bermasalah? Salah satunya karena produk itu dijamin oleh perusahaan asuransi yang berating AAA.<br />
<br />
Tapi dilain pihak, berapa banyak perusahaan rating internasional yang menguasai dunia rating saat ini? Hanya ada 3: Fitch, Moody's, dan Standard & Poor. Sedikit sekali sebenarnya untuk industri keuangan yang sedemikian besar. Lebih dahsyat lagi, mereka menerima bayaran yang tinggi untuk jasa mereka. Tanpa ada kompetisi berarti dan permintaan yang selalu ada dari pasar untuk rating, apa iya mereka akan memberikan nilai jelek pada bisnis yang jelas-jelas menguntungkan bagi mereka? Irasional? Saya pikir perusahaan-perusahaan ini sangat rasional. Justru karena rasionalitas mereka inilah kita mengalami kerugian secara kolektif. <br />
<br />
<b>Pemerintah = Solusi Kegagalan Pasar Yang Tak Rasional?</b> <br />
<br />
Teori Adam Smith tentang <i>invisible hand</i> mungkin tak sempurna. Contoh rasionalitas individual yang merugikan secara kolektif sudah sering terjadi dan sudah lama dibahas (jadi tolong jangan diulang-ulang terus soal bahwa kesalahan ide bahwa pasar dan rasionalitas akan senantiasa menghasilkan hasil yang efisien, kita semua sudah tahu itu). Tetapi lebih naif lagi orang-orang yang berpikir bahwa Pemerintah adalah solusi untuk segala permasalahan pasar. Seakan-akan ada 2 jenis manusia yang berbeda drastis, manusia-manusia di pasar yang katanya tidak rasional dan bodoh-bodoh, dan manusia-manusia cemerlang tanpa tanding di pemerintahan. Halo, kemana saja anda? Tidur atau bertapa di Gunung Kawi selama masa Orde Baru? Orde Baru itu contoh sempurna pemerintah yang sibuk menjadi parasit bagi bangsanya sendiri. Institusinya dibuat sedemikian buruk sampai-sampai dampak negatifnya masih terasa sampai sekarang. Anda pikir demokrasi itu apa? Tak lain dari melaksanakan konsep kompetisi ekonomi dalam pasar politik! Sistem <i>checks and balances</i>? Kompetisi dalam institusi pemerintahan karena kekuasaan di tangan satu orang cenderung korup! Kenapa cenderung korup? Karena manusia rasional bukan malaikat! Masa hal sesederhana ini saja tak paham-paham juga? <br />
<br />
Tentu bicara pemerintahan, tak mungkin kita tak membahas soal John Maynard Keynes dan teori ekonominya yang juga sempat disinggung oleh Kholid. Saya tidak akan secepat Kholid mengklaim bahwa teori Keynes merupakan solusi yang menyelamatkan Amerika dari Depresi Besar. Banyak penjelasan tentang Depresi Besar dan tentang siapa yang sebenarnya salah dalam menyebabkan krisis tersebut, misalnya di <a href="http://www.econlib.org/library/Enc/GreatDepression.html" target="_blank">sini</a> dan juga di <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/New_Deal#Recovery_2" target="_blank">sini</a>. Kholid mungkin bilang, "ah penjelasan alternatif ini akal-akalan teori Neoklasik saja." Bisa jadi. Secara rasional, tentu saja kaum Neoklasik akan berusaha membela akar ilmunya, dan demikian juga penganut Keynesian juga akan melakukan hal yang sama! Justru kaum Keynesian tidak rasional kalau mereka tidak mau membela sedikitpun alirannya.<br />
<br />
Karena dua-duanya sama-sama punya landasan teoretis, bagaimana kita mengukur mana yang lebih oke? Saya akan mengusulkan dari segi persaingan di pasar ide. Kenyataannya, ide Keynes sudah lama mati sejak tahun 1970-an. Sempat muncul kembali ketika Amerika mengalami krisis tahun 2008, tetapi
kali ini nampaknya teori tersebut tidak bertahan lama, khususnya ketika
kondisi ekonomi Amerika sudah jauh lebih membaik di tahun 2014 ini.
Teori apa yang masih bertahan? Pendekatan Neoklasikal yang terus menerus
diperkuat dengan kemajuan ilmu pengetahuan!<br />
<br />
Atau mungkin Kholid akan menyatakan bahwa masih ada kaum Neo Keynesian? Boleh, tetapi banyak ekonom yang menyatakan bahwa kaum Neo Keynesian bukanlah penerus sejati Keynes. Mereka menggunakan pendekatan mikro juga untuk menganalisis isu makro dan lebih penting lagi, asumsi dasar yang mereka pakai sama, bahwa manusia adalah makhluk yang rasional. Bahwa kemudian usulan kebijakannya bisa berbeda dengan kaum Neoklasikal adalah 2 hal yang terpisah. Mengapa? Karena Kholid selalu meributkan asumsi dasar itu, dan entah bagaimana caranya percaya bahwa pendekatan rasional pasti hanya akan menghasilkan satu solusi saja. Ini belajar ekonomi di mana??? <br />
<br />
Coba kita tengok lebih dalam usulan Keynes soal kebijakan fiskal yang ekspansif untuk menyelesaikan krisis. Kebijakan seperti ini jelas akan bergantung pada stimulus yang akan digunakan. Tahu dari mana bahwa stimulus yang digunakan adalah stimulus yang tepat? Proyek macam apa yang harus didahulukan? Pernah dengar istilah <i>building a bridge to nowhere</i>? Siapa yang menentukan dimana proyek-proyek stimulus ini akan dijalankan? Siapa yang bisa menjamin bahwa proyek ini menguntungkan semua orang, atau hanya sebagian pihak dengan lobi politik yang lebih kuat? <br />
<br />
Kemudian anggaran defisit itu akan dibiayai darimana? Mencetak uang terus menerus jelas bukan pilihan yang tepat sebagaimana sudah berkali-kali ditunjukkan oleh sejarah. Surat utang negara? Siapa yang akan membeli surat utang kalau konsumsi saja megap-megap? Akhirnya berujung pada pajak. Seseorang pasti harus membayar karena uang tidak turun dari langit. Benar bahwa kebijakan stimulus tersebut seakan-akan meningkatkan permintaan dan menciptakan pekerjaan, tetapi pernah dipikirkan biaya kesempatan yang juga hilang karena pajak bertambah yang tentunya secara tidak langsung juga mengurangi pendapatan? Jadi jangan terburu-buru mengklaim bahwa kebijakan Keynes adalah solusi. Lebih jauh lagi, dengan contoh Keynes in, Kholid sendiri mengkonfirmasikan bahwa pemerintah pun tak akan bisa lari dari CBA.<br />
<br />
Lagipula, apabila kita telisik lebih mendalam analisis Keynes yang menyatakan bahwa penyebab depresi adalah soal <i>aggregate demand</i>, apakah memang analisis tersebut dibuat dengan berasumsi bahwa produsen dan konsumen tidak rasional? Keluarga saya pernah mengalami Krisis 98 dan saya sempat merasakan sedikit imbas Krisis 2008 ketika permintaan jasa hukum sempat menurun drastis. Dalam situasi yang tak jelas dan permintaan yang relatif rendah, sangat wajar kalau pengusaha juga tak mau giat berekspansi. Bagaimana ia bisa memastikan bahwa ia akan memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk mengembalikan investasinya atau membayar pinjaman? Apakah ekpektasi mereka yang mungkin cenderung pesimis itu tidak rasional? Saya pikir tidak.<br />
<br />
Dengan demikian, konsep Keynes beranjak dari asumsi fundamental yang sama dengan ekonomi Neoklasik, rasionalitas individual yang kemudian bermasalah secara kolektif. Isunya kemudian adalah kebijakan mana yang lebih tepat untuk dipakai? Memberikan stimulus dalam bentuk suku bunga rendah atau melakukan proyek-proyek publik? Wajar-wajar saja kalau ada yang berpendapat bahwa usulan Keynes bermasalah dan tak rasional. Karena pembiayaan usulan Keynes tak gratis dan sebagaimana masih didebatkan sampai sekarang, efeknya juga tak benar-benar jelas. Satu yang pasti, kebijakan Keynes pada prinsipnya tak lebih dari redistribusi secara masif (menggunakan pajak masyarakat untuk kemudian digunakan untuk proyek tertentu yang jelas tak bisa mencakup seluruh anggota masyarakat). Lihat misalnya artikel <a href="http://www.cato.org/publications/commentary/how-fdrs-new-deal-harmed-millions-poor-people" target="_blank">ini</a> untuk penjabaran lebih lanjut. <br />
<br />
Lebih penting lagi, dalam prakteknya, katakanlah episode krisis adalah pengecualian dan tidak terjadi setiap saat secara terus menerus, sekali suatu kekuasaan dipegang oleh Pemerintah, sulit untuk melepaskannya kembali. Mengapa seorang penguasa yang rasional mau melepaskan kekuasaannya dengan mudah? Semakin gendut suatu pemerintahan, semakin sulit untuk mengontrol mereka. Untuk menambah lapangan pekerjaan, pemerintah misalnya mendirikan lembaga-lembaga baru untuk menciptakan permintaan tambahan pekerja. Setelah krisis usai (dengan asumsi bahwa kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang menolong), apakah lembaga-lembaga yang sebenarnya tidak diperlukan itu akan dibubarkan? Jarang sekali terjadi. Siapa yang harus membayar keberadaan lembaga itu? Masyarakat melalui pajak!<br />
<br />
<b>Analisis Untung Rugi Dalam Kehidupan Sehari-hari</b><br />
<br />
Sekarang kita masuk ke babak baru, soal penggunaan CBA dalam kehidupan sehari-hari. Kholid nampaknya berasumsi bahwa pendekatan ekonomi dan analisis untung rugi ini adalah mainan baru bagi saya sehingga saya dianggap masih sedang berbulan madu dengannya. Mungkin asumsi ini muncul karena kita baru bertemu beberapa bulan yang lalu. Tapi realitasnya, pendekatan ini sudah saya ikuti lebih dari 13 tahun semenjak saya belajar hukum Islam dan <i>Ushul Fiqh</i>. Keyakinan saya soal pendekatan ini bukan cuma bersumber dari teknis ilmu ekonomi tetapi juga dari ajaran agama Islam. Saya justru melihat Kholid seperti anak kecil yang iri mengapa ia tak menemukan mainan ini sejak dulu, ketinggalan terlalu jauh, dan akhirnya menggerutu sambil berkeluh kesah dengan omongan yang sering kali tak nyambung. <br />
<br />
Saya senang Kholid juga membahas soal aplikasi pendekatan ekonomi dan analisis untung rugi dalam berbagai aspek kehidupan seperti seks dan pernikahan, sampai soal korupsi. Pertanyaan yang ia ajukan sudah tepat. Secara pribadi, apakah saya melakukan analisis untung rugi dalam segala aspek kehidupan saya? Saya jawab ya. Dan mengapa tidak? Selama alokasi anggaran dan waktu saya terbatas, saya pasti harus memilih. Apakah hari ini saya akan membaca buku atau artikel jurnal ilmiah? Bermain game? Bercengkerama dengan istri? Berkumpul dengan teman-teman? Masak makanan malam? Atau menulis artikel di blog ini guna membalas tulisan Kholid? Sadar atau tidak sadar, kita pasti melakukan analisis tersebut, terlepas anda mau memakai sistem 1 atau sistem 2 ala Kahneman. Tidak ada yang bisa lari dari analisis untung rugi dalam hidupnya kecuali anda punya sumber daya tak terbatas.<br />
<br />
Bohong kalau misalnya orang yang mau kawin tak akan berpikir sedikit pun tentang masa depannya sama sekali. Sedikit banyak ia akan berpikir soal biaya hidup, rumah, anak, dan sebagainya. Sebagian bahkan akan lebih pusing soal berapa besar biaya pesta yang harus ia bayar guna menyenangkan orang tuanya. Dan kalaupun ia mengaku semuanya Lilahi Ta'ala saja, kalau anggarannya terbatas, sedikit banyak kelangkaan akan memanggil-manggilnya untuk berhenti sejenak dan memikirkan dengan lebih seksama lagi apakah langkah yang ia ambil sudah tepat. Ini akal sehat biasa tanpa perlu analisis yang luar biasa jenius.<br />
<br />
Kholid kemudian mencoba mengaplikasikan lebih jauh soal analisis untung rugi ini ke dalam soal ibadah dengana argumentasi bahwa kalau umat beragama rasional, pasti mereka akan banyak berinvestasi belajar agama dan mendulang pahala sebanyak-banyaknya. Ini menunjukkan bahwa Kholid rupanya masih tak paham juga tentang pengertian rasionalitas bahkan ketika sudah sampai di bagian pertengahan artikelnya.<br />
<br />
Padahal di artikel saya tentang <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/11/ibadah-itu-soal-untung-rugi.html" target="_blank">Untung Rugi dalam Beribadah</a>, saya sudah mengingatkan bahwa prioritas masing-masing orang berbeda karena melakukan aktivitas-aktivitas ini tidak gratis. Sebagaimana saya sampaikan dalam artikel sebelumnya, mengapa tidak semua orang menjalankan gaya hidup sehat? Karena tidak ada hal yang instan, anda perlu berinvestasi waktu untuk berolah raga, mengurangi kenikmatan makanan dengan hanya makan salad dan sebagainya. Apakah anda mau menukar kenikmatan hari ini dengan kenikmatan masa depan? Prioritasnya ada di tangan anda.<br />
<br />
Pertanyaan Kholid soal orang yang mengaku beragama tetapi masih sering berbuat dosa sudah saya jawab tuntas 3 tahun lalu dalam artikel <a href="http://www.pramoctavy.com/2011/11/on-why-religiosity-is-not-translated.html" target="_blank">ini</a> yang membahas soal mengapa religiusitas tidak berkorelasi erat dengan ketaatan hukum. Jawabnya mudah, karena sanksi akhirat adanya di masa depan, tak jelas kapan munculnya, tak jelas pula apakah akan terjadi atau tidak. Sebagai akibatnya, insentif untuk berbuat baik dan menghindari dosa tidaklah selalu kuat kecuali anda benar-benar beriman selevel Nabi Ayub dan Nabi Ibrahim. Ditambah dengan konsep tobat yang bisa diulang-ulang sebelum maut menjemput, semakin memberikan insentif besar kepada orang untuk melupakan akhirat. Tak heran bahwa selain insentif imbalan dan siksa di akhirat, Islam juga mengatur soal aturan hukum untuk berbagai jenis tindakan tertentu.<br />
<br />
Kalau cinta kepada Tuhan saja sudah cukup untuk membuat manusia menjadi manusia paripurna, Qur'an tak perlu sibuk menggambarkan soal surga dan neraka. Dan apabila surga dan neraka saja cukup, tak perlu ada aturan potong tangan untuk pencurian atau <i>qisas</i> untuk pembunuhan dan penganiayaan. Justru adanya aturan-aturan itu menunjukkan bahwa Allah maha paham bahwa manusia itu rasional dan butuh insentif dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Masih tak percaya juga bahwa analisa ekonomi itu inheren dalam kehidupan kita?<br />
<br />
Ketika saya menulis fenomena kemalasan dalam beragama, saya tidak menyatakan bahwa orang-orang malas ini irasional atau bahkan bodoh. Saya hanya menyatakan bahwa mereka punya prioritas yang berbeda. Dan berhubung di Indonesia, norma sosial masih mendukung situasi dimana tampak religius adalah hal yang baik, tak heran kajian-kajian tak bermutu dan ngasal (tapi terlihat penuh kebenaran) juga sekalian ikut laris. Suplai orang malas akan mendapatkan suplai kajian yang tak mendalam. Berapa banyak yang mau riset membaca hadis Bukhari satu-satu? Saya bahkan tak heran kalau misanya level religiusitas orang Indonesia sebenarnya setara dengan di Amerika Serikat. Bedanya cuma di sini masih malu-malu mengakui, di sana mereka sudah tak ambil pusing lagi. <br />
<br />
Berikutnya adalah soal tebak-tebakan perilaku manusia dengan menggunakan <i>Cost Benefit Analysis</i>. Saya tidak tahu apakah Kholid sebenarnya membaca artikel saya atau tidak karena saya sudah tekankan berkali-kali bahwa pendekatan ekonomi bukan pendekatan yang mau menggampangkan segala sesuatunya, tetapi justru mau bersusah payah untuk tahu insentif apa yang tepat bagi setiap penerima kebijakan! CBA yang serius memerlukan perhitungan yang matang dan tak lantas berasumsi bahwa semua manusia pasti sama. Apalagi berasumsi bahwa dengan CBA dan pendekatan rasionalitas hanya akan ada satu solusi untuk semua perkara. Kata siapa? Mbah Dukun? Yang sebenarnya sedang dikritik Kholid ini siapa sih? Kalau dalam hidupnya selama ini hanya bertemu dengan "ekonom jadi-jadian", jangan kemudian samakan mereka dengan ekonom beneran yang serius menganalisis kebijakan. Saya serius menyarankan Kholid pergi ke Chicago supaya tak gegabah mengulang kritik yang membosankan ini.<br />
<br />
<b>Informasi Sempurna Prasyarat Rasionalitas?</b> <br />
<br />
Saya perhatikan juga bahwa salah satu kesukaan Kholid adalah menggunakan contoh-contoh terkait pasar modal. Konsep <i>animal spirit</i>, <i>irrational exuberance</i>, <i>information assymetry</i>
memang terlihat asik dibahas untuk mengkritik pendekatan rasionalitas.
Tetapi apakah kemudian orang-orang benar-benar tidak rasional ketika
mereka melihat harga suatu saham naik drastis dan kemudian tertarik
untuk membeli karena takut ketinggalan kereta? Atau ketika harga saham turun drastis mereka tidak takut untuk menjual? Bisa jadi mereka salah
berhitung, tetapi konsep rasionalitas dalam ekonomi memang tidak menutup
kemungkinan orang salah berhitung! Yang perlu diperhatikan adalah bahwa
apakah landasan mereka salah berhitung itu karena didukung asumsi rasionalitas?<br />
<br />
Saya
pernah bermain saham, pernah untung besar dan juga rugi besar.
Permainan ini memang melibatkan banyak adrenalin. Tetapi saya tak bisa
bilang bahwa orang-orang yang tertarik untuk membeli saham dengan
kenaikan harga luar biasa cepat itu adalah orang-orang yang tak
rasional. Siapa yang bisa menduga bahwa saham itu akan berhenti naik,
turun atau justru naik terus menerus? Menunggu informasi lebih lengkap
bisa jadi membuat si pemain saham benar-benar ketinggalan kereta. Tetapi
kita semua tahu bahwa keputusannya diambil karena ia memang ingin
meningkatkan kesejahteraannya. Ia percaya bahwa keputusan yang ia ambil akan menguntungkan dirinya! Bahwa kemudian perhitungannya salah adalah suatu hal yang tak bisa dijamin oleh siapa pun.<br />
<br />
Tapi Kholid kemudian bersikeras bahwa karena informasi belum tentu
sempurna, maka asumsi rasionalitas juga menjadi buyar. Menurutnya, orang rasional hanya mengambil keputusan kalau informasinya lengkap. Ini tidak bisa lebih ngawur lagi? Sudah saya
sampaikan sebelumnya bahwa biaya mengambil keputusan tidak gratis. Mencari informasi yang akurat pasti memakan biaya. Menggunakan otak untuk melakukan analisis juga pasti butuh energi. <br />
<br />
Justru karena orang rasional, ia tak akan menghabiskan waktunya untuk
mencari informasi terus menerus demi mengambil keputusan yang katanya
efisien karena bisa jadi ongkos mencari informasi tersebut malah membuat
pengambilan keputusan menjadi tidak efisien. Rumus sederhananya, biaya
marginal pengambilan keputusan sekurang-kurangnya sama dengan keuntungan marginal yang diharapkan.<br />
<br />
Contoh
dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita sedang mencari mebel atau perabotan baru
untuk rumah kita, seberapa banyak kita berpindah-pindah ke berbagai
penjual untuk mencari harga yang paling murah? 1 lokasi saja? 3? Atau
10? Atau ketika kita sedang berada di kawasan yang dipenuhi dengan
jajaran restoran padang, apakah kita akan menghabiskan waktu kita untuk
menanyai satu-satu restoran itu untuk membandingkan harga dan
cicip-cicip rasanya? Bagaimana dengan perjalanan mencari rumah idaman?
Berapa kali anda pergi menemui berbagai penjual guna menemukan rumah
yang pas dengan selera dan anggaran anda? Saya jamin bahwa kemungkinan besar, waktu yang akan anda habiskan untuk riset mencari informasi mengenai hal-hal di atas akan berbeda, bergantung pada seberapa penting hal yang akan anda beli itu menurut anda, anggaran anda, waktu yang anda miliki, dan kesempatan lainnya.<br />
<br />
Contoh paling gampang buat saya adalah ketika
saya membeli game untuk PS3 saya. Karena PS3 sebelumnya tak bisa
dibajak dan game-nya original semua, saya tak mau membeli game secara
sembarangan seperti jaman ketika semua game PS1 dan PS2 adalah bajakan
di Indonesia. Saya akan berinvestasi waktu untuk minimal melihat review
game tersebut di situs-situs game terkemuka sebelum saya memutuskan
untuk membeli. Tidak heran. Game bajakan harganya Rp10.000 sementara
game original berkisar Rp450.000 sampai Rp600.000. Bedanya puluhan kali
lipat! <br />
<br />
Malah akan lebih menarik untuk melakukan
penelitian tentang apakah perilaku orang akan berubah ketika biaya untuk
mengakses informasi menjadi lebih murah seperti di jaman internet ini?
Sekarang untuk mengecek harga barang, bisa langsung cek secara online.
Tidak perlu lagi sibuk berjalan-jalan dari satu pasar ke pasar lain.
Ibu-ibu pasti senang kalau mereka belajar dan bisa mengakses teknologi
tersebut. Lebih jauhnya, George Stigler sudah lama membahas soal <i>Economics of Information</i> di <a href="http://home.uchicago.edu/~vlima/courses/econ200/spring01/stigler.pdf" target="_blank">sini</a>.<br />
<br />
Kembali ke pasar modal, jadi apakah saya sudah menemukan formula canggih yang bisa mengalahkan semua pemain pasar? Jelas tidak. Tapi saya cukup yakin Warren Buffet memegang teguh prinsip rasionalitas dalam metode investasinya. Sayangnya, untuk memegang disiplin sekuat Warren Buffet memang tidak gampang. Berapa banyak investor yang akan benar-benar mau membeli saham berdasarkan pembacaan secara mendalam terhadap prospektus dan laporan keuangan? Sebagai konsultan hukum di bidang pasar modal, membaca dan menyusun prospektus ratusan halaman saja sangat melelahkan, padahal saya konsultan hukum yang pekerjaan sehari-harinya seperti itu. Apalagi kalau orang awam disuruh membaca dari awal sampai akhir!<br />
<br />
Kalau semua orang rasional ala penjelasan menyesatkan Kholid, profesi analis dan manajer investasi tidak akan pernah muncul. Semua orang akan tekun duduk membaca prospektus dan menganalisis laporan keuangan sendirian. Nyatanya tidak. Ada yang memilih menggunakan jasa laporan analis untuk mengambil keputusan, ada yang menyerahkan dananya kepada manajer investasi untuk diolah, dan ada yang sibuk mengandalkan rumor di pasar gelap soal saham apa yang besok akan digoreng. Semuanya bersumber dari rasionalitas dan CBA mereka masing-masing. Justru dunia ini beragam karena CBA tidak menghasilkan satu solusi. Paham? Atau mungkin sudah paham tetapi karena sudah kadung terlanjur menyerang asumsi rasionalitas akhirnya tetap meneruskan konsep yang salah itu. Tidak apa-apa, sikap anda rasional kok untuk mengutamakan harga diri. Harga diri memang sangat mahal untuk sebagian orang.<br /><br />
<b>Kebijakan Publik yang Rasional itu Seperti Apa?</b> <br />
<br />
Akhirnya kita sampai di penghujung artikel kali ini. Kalau anda masih mengikuti, saya ucapkan selamat, Insya Allah anda memperoleh ilmu yang berguna. Sebagai usaha terakhir untuk membela konsepnya soal irasionalitas, Kholid menggunakan kebijakan penyelamatan Bank Century. Menurutnya, apabila kita hanya menggunakan pendekatan rasional semata, maka Bank Century tak akan diselamatkan. Justru karena kita menggunakan pendekatan psikologi pasar maka akhirnya Bank Century diselamatkan. Ini bukti pendekatan rasional tak cukup. Komentar singkat saya: Heh?<br />
<br />
Debat kebijakan publik berlandaskan pada CBA dan ketika kita membahas CBA dalam bentuk formal, unsur yang dipertimbangkan akan berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil. Saya juga mengikuti kasus Bank Century sejak lama dan justru karena saya belajar ekonomi dan tak cuma hukum doang seperti hakim-hakim yang mengadili kasus Budi Mulia, saya tak heran dengan pertimbangan Boediono dan Sri Mulyani. Kalau politisi dan <i>pundits</i> tertawa terbahak-bahak, saya tak heran. Ekonom kritis? Benarkah itu?<br />
<br />
Industri perbankan pada dasarnya adalah industri yang sangat rawan dan sangat bermodalkan dengan kepercayaan masyarakat. Bagaimana tidak, meminjamkan uang dalam jangka panjang, tapi modalnya sendiri sebagian besar pinjaman dari orang lain dengan jangka pendek. Jelas faktor psikologi masyarakat akan sangat berpengaruh. Tahu kenapa? Karena orang rasional! Ini contoh dasar strategi <i>Prisoner's Dilemma</i>! Kalau tidak ada masyarakat yang <i>rush</i> terhadap bank, dana masyarakat akan aman-aman saja. Tetapi siapa yang bisa menjamin tak akan terjadi <i>rush</i>? Mengingat dana bank tak akan pernah 100% menutup dana masyarakat (karena sebagian lagi diolah), siapa pun yang lebih cepat mengambil uang dari bank akan menang. Dengan situasi demikian, tak heran kalau begitu <i>rush</i> dimulai, semuanya ikutan <i>rush</i>, itu strategi yang paling masuk akal. Kejar uang anda, atau anda akan ketinggalan kereta.<br />
<br />
Jadi pendekatan Boediono dan Sri Mulyani juga bersumber dari asumsi rasionalitas tersebut. Isunya tinggal perbedaan pendapat apakah memang apabila Bank Century dilikuidasi, maka akan merusak situasi pasar? Dalam hal ini, CBA yang dilakukan ekonom bisa jadi menghasilkan hasil yang berbeda. Dan sebagaimana saya menganggap bahwa pendekatan Boediono wajar, saya juga bisa menganggap bahwa ekonom yang menyatakan bahwa Bank Century sebenarnya tak perlu diselamatkan juga memiliki dasar yang masuk akal.<br />
<br />
Yang menjadi masalah adalah ketika kasus ini dipolitisasi. Pengambilan kebijakan tak mungkin 100% benar. Bisa jadi ekonom yang mendukung <i>bail out</i> benar, bisa jadi juga ekonom yang menolak <i>bail out</i> benar. Apakah kita bisa benar-benar menjamin bahwa Indonesia selamat dari Krisis 2008 gara-gara penyelamatan Bank Century? Saya tidak berani membuat klaim sedahsyat itu.<br />
<br />
Yang paling penting adalah apakah keputusan yang diambil itu sudah melalui proses yang benar dan tidak melawan hukum? Kalau sudah dijalankan dengan benar dan diambil, konsekuensinya ya kita jalani. Dalam kapasitas saya sebagai ahli hukum, ketika saya mengadili perkara seperti Century, saya tidak akan membuang-buang waktu saya untuk menentukan apakah kebijakan ini pasti benar secara ekonomi atau finansial, saya akan melihat apakah kebijakan ini diambil dengan itikad baik dan prosedur yang benar, apakah ada unsur melawan hukum di dalamnya, misalnya dana yang dicairkan itu ternyata bukan digunakan untuk memperkuat modal bank tetapi digunakan untuk korupsi atau kepentingan pribadi pengambil keputusan? <br />
<br />
Sayangnya entah bagaimana, hakim-hakim dalam kasus itu bukannya fokus pada kasus suap Budi Mulya malah sibuk turut serta dalam debat ekonominya sehingga publik pun juga dibuat bingung. Siapa yang membahas bagaimana kemudian restrukturisasi Bank Century dijalankan dan bagaimana penyertaan dana itu diolah? Ironisnya, justru karena kasus ini dipolitisasi (yang mana menurut saya rasional juga bagi negara dimana mencari sensasi sangat dianjurkan untuk mendapatkan popularitas dari masyarakat yang malas riset), akhirnya penjualan penyertaan Pemerintah di Bank Mutiara (hasil restrukturisasi Bank Century) juga tertunda-tunda sampai baru selesai akhir tahun kemarin. Padahal seandainya orang tak perlu ribut-ribut, bank itu mungkin sudah dijual dengann harga yang lebih tinggi dan pemerintah untung.<br />
<br />
Maaf saya jadi malah membahas soal Bank Century secara panjang lebar, tetapi menggunakan kasus itu sebagai contoh irasionalitas hanya menunjukkan bahwa yang memberikan contoh memang benar-benar tak paham konsep rasionalitas.<br />
<br />
Hal yang sama juga berlaku untuk contoh Kholid terkait Krisis 98. Isunya bukan karena pemerintah atau IMF tidak rasional. Isunya adalah kebijakan tersebut ternyata tidak tepat. Bukankah sudah saya sampaikan bahwa tidak ada jaminan bahwa kebijakan yang akan kita ambil itu pasti 100% tepat? Kalau semua CBA pasti menghasilkan hasil yang 100% benar, kita semua sudah bisa jadi Tuhan baru. Nyatanya kan tidak. Justru karena itu kita belajar dari Krisis sebelumnya untuk memperbaiki masalah di masa depan.<br />
<br />
<i>Behavioral Economics </i>juga menarik bagi saya, dan sebenarnya sudah saya bahas beberapa kali di blog saya. Tapi alih-alih menggantikan pendekatan Neoklasik, fungsi <i>Behavioral Economics</i> adalah catatan kaki. Fungsi cabang ilmu ekonomi ini adalah membantu agar manusia bisa lebih baik lagi dalam menggunakan kekuatan kognitifnya selaku makhluk rasional. Justru karena kita tahu bahwa mengumpulkan informasi itu sulit dan butuh biaya maka kita butuh bantuan ilmu yang bisa mengurangi biaya pengumpulan informasi tersebut. Dan ini semua bisa dilakukan tanpa perlu mengubah aksiom rasionalitas sebagaimana sudah sering saya bahas dalam tulisan-tulisan saya. <br />
<br />
Maka oleh karena itulah saya sampaikan sekali lagi, kritik Kholid ini sudah lama dibahas di Amerika, minimal di Chicago. Mungkin di Indonesia belum dapat update terbaru sehingga masih berpikir bahwa menjadi rasional itu adalah fokus dengan pendekatan buku teks, bahwa hanya akan ada satu solusi (kalau anda hanya memberikan satu solusi untuk soal ujian Price Theory di Chicago, niscaya anda akan mendapat nilai yang sangat rendah karena cuma melihat masalah dari satu sisi, jaminan 100%), bahwa semua orang itu sempurna dan jenius. Anda kurang update. Sesederhana itu.<br />
<br />
Kemudian masalah yang dibahas dan solusinya pun juga sama tidak updatenya. Masih saja berkutat di ide bahwa pasar itu tidak sempurna. Halo, kita sudah tahu itu. Masih saja berargumen bahwa kalau manusia rasional, pasti alokasi aset akan senantiasa efisien. Hmm, mungkin ketika jaman Adam Smith masih berjaya tanpa tanding, tapi ekonom serius masa kini tidak akan segegabah itu mengklaim hal demikian. Paling banter, yang diklaim adalah bahwa alokasi aset via pasar masih tetap lebih baik dibanding dengan pemerintah.<br />
<br />
Dan tentunya solusi paling mutakhir adalah pemerintah harus mengoreksi pasar ala Stiglitz. Manusia itu rakus kalau dibiarkan saja kata mereka. Ya, kita tahu itu, yang ngomong-ngomong sama saja mengkonfirmasikan asumsi rasionalitas ekonomi Neoklasik. Cuma jangan lupa, pemerintah juga isinya manusia dengan asumsi rasional pula. Jangan naif, itu saja. Saya sarankan anda membaca buku bagus ini: <i>Government Versus Markets - The Changing Economic Role of the State</i> oleh Vito Tanzi. Pendekatannya kritis dan didukung data. Karena jaman sekarang sudah bukan jamannya lagi ribut antara pemerintah versus pasar ala <i>liberal</i> dan <i>conservative pundits</i>. Sekarang jamannya bagaimana memformulasikan kebijakan yang efisien dan bisa memakmurkan kesejahteraan masyarakat! <br />
<br />
Terakhir, saya sarankan dengan amat sangat, jangan buang-buang waktu lagi menulis kritik soal asumsi rasionalitas ini. Tak enak juga saya kalau harus menulis Gagal Paham Rasionalitas Jilid 3 setelah ini. Atau mungkin sebaiknya Kholid mencari target lain saja, "ekonom-ekonom" yang mungkin masih bergaya seperti dalam benak Kholid di atas. Saya lebih memilih <i>move on</i> ke soal-soal lain yang lebih penting. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih sekali lagi kepada Kholid karena memberikan kesempatan kepada saya untuk menulis soal ini. Lain kali kalau ada yang masih gengges membahas soal rasionalitas dalam ekonomi, saya cukup memberikan tautan artikel ini kepada dia.<br />
</span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-8201541545149827872015-01-10T13:29:00.002+07:002020-12-09T15:56:29.286+07:00Bolehkah Membunuh Penghina Nabi?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEju7YCi3EsNo2FkBhwFpsSe08TmBP2stk5C1RRBMNOJKmkcZJdPKyRe_BWXOTqZvE6hKhtfbruOi4g1oM3CR8hAUbmaWYYMPqKi7vkvRTLD_sovtyR9ZTHHv6hg-yK8C6vgx-DW/s2048/haidan-jQUB81i93po-unsplash.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1356" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEju7YCi3EsNo2FkBhwFpsSe08TmBP2stk5C1RRBMNOJKmkcZJdPKyRe_BWXOTqZvE6hKhtfbruOi4g1oM3CR8hAUbmaWYYMPqKi7vkvRTLD_sovtyR9ZTHHv6hg-yK8C6vgx-DW/s320/haidan-jQUB81i93po-unsplash.jpg" width="320" /></a></div><br /><div>Saya umumnya ingin menghindari pembahasan yang agak teknis dalam artikel blog namun nampaknya kali ini tak bisa dihindari lagi. Bagaimanapun juga, kalau kita mau serius mendalami hukum Islam, mau tidak mau kita harus menghadapi berbagai sumber hukum yang bisa jadi saling bertentangan dan oleh karenanya membutuhkan interpretasi lebih lanjut. Pembahasan kali ini terkait kasus pembantaian pengurus dan kartunis majalah Charlie Hebdo di Perancis. Dari segi hukum positif di Perancis atau misalnya di Indonesia, masalahnya sudah jelas, pembunuhan demikian sudah pasti melanggar hukum positif. Tetapi bagaimana dalam tinjauan hukum Islam klasik? Apakah perbuatan tersebut diperkenankan? <span><a name='more'></a></span></div>
<br />
Berbeda dengan kebanyakan penulis yang bersifat apologetik tentang Islam (Islam agama damai mutlak) atau malah mendiskreditkan Islam sepenuhnya (Islam agama kekerasan mutlak), penelitian saya tentang hukum Islam mengambil jalur pendekatan ekonomi. Saya tidak melihat konstruksi hukum Islam sebagai semata-mata rekaan budaya Arab atau pun sebagai ketentuan mutlak yang tak bisa berubah sama sekali. Dari kaca mata ekonomi, hukum Islam, khususnya yang diambil langsung dari Qur'an, saya asumsikan sebagai aturan yang disusun oleh penyusun yang rasional (memperhatikan insentif manusia dan konsisten) dengan tunduk pada batasan-batasan keadaan pada saat hukum itu berlaku. Dalam bahasa ekonomi, hukum Islam pada prinsipnya mencoba memaksimalkan kesejahteraan dengan tunduk pada kelangkaan sumber daya (baik sumber daya manusia, waktu, anggaran, kekuasaan politik, dan sebagainya).<br />
<br />
Dengan demikian, hukum Islam bersifat pragmatis. Sekalipun ada berbagai nilai moral yang diusung oleh agama Islam, ketika nilai moral tersebut hendak diterjemahkan menjadi kebijakan publik, pendekatan yang ditempuh bisa jauh berbeda walaupun secara moral nilainya sama. Contoh yang sering saya gunakan adalah ketentuan mengenai riba. Merujuk ke Hadis Bukhari Volume 4, Buku 51, Nomor 28, riba dinyatakan sebagai salah satu dari 7 dosa besar yang setara dengan menyekutukan Allah, praktek sihir, membunuh orang lain tanpa alas hak yang sah, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan (desersi), dan menuduh wanita suci berzina (tuduhan palsu). Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya, <i>Fiqh Islam Wa Adillatuhu</i>, bahkan mengutip satu hadis yang menyatakan bahwa melakukan transaksi riba sama dengan bersetubuh dengan ibu kandung.<br />
<br />
Ketentuan moral dan hukum mengenai riba ini sangat unik. Tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa hukum murtad karena menyekutukan Tuhan atau pindah agama adalah dibunuh (walaupun dasarnya masih sangat dipertentangkan). Hukuman mati bagi pembunuhan juga sesuatu yang dianggap lumrah dalam hukum Islam. Tetapi saya belum pernah menemukan adanya ulama yang sepakat bahwa pelaku riba harus dihukum mati atau dibantai. Nabi memang mengutuk pelaku riba (misalnya Hadis Muslim No. 3880 dan 3881), tetapi tidak pernah ada bahasan soal sanksi hukuman mati tersebut. Mengapa tidak? Kalau dosanya dianggap sama dan setara (dengan asumsi hadis Bukhari di atas valid dan 7 dosa besar di atas bersifat transitif sebagai bagian dari asas rasionalitas), mengapa aturan hukumnya dibuat berbeda? Ini baru satu saja teka-teki dalam hukum Islam yang menurut saya penting untuk ditelusuri lebih jauh selain misalnya hukum perbudakan yang juga sering saya bahas.<br />
<span id="fullpost">
<br />
Masyarakat Islam bisa sangat heboh dengan kasus penghinaan Nabi, perzinahan, minuman keras, jilbab, aliran sesat, dan sebagainya, tetapi ketika berbicara soal ekonomi dan transaksi komersial semacam riba yang katanya termasuk 7 dosa besar versi Bukhari, tiba-tiba mereka menjadi sangat permisif. Kita sering melihat demonstrasi menentang akidah sesat, tapi saya belum pernah melihat demo menentang pendirian bank konvensional (padahal hampir seluruh ulama di planet Bumi ini sepakat bahwa bunga bank sama dengan riba), atau ulama yang sibuk berdakwah setiap hari mengingatkan bahwa mayoritas dari penduduk Indonesia terkutuk dan akan masuk neraka karena menggunakan jasa bank konvensional. Mungkin karena isu ini tidak seksi untuk dijual?<br />
<br />
Mengapa Malaysia dengan tenang misalnya menghalalkan <i>Bai al-Inah</i> (jual beli barang secara fiktif untuk kemudian dibeli kembali dengan harga tambahan) untuk keperluan perbankan syariah Malaysia padahal transaksi ini disepakati haram oleh mayoritas ulama di negeri lain, tetapi ribut sekali soal hal-hal yang menurut saya malah tidak krusial macam standar pakaian wanita? Atau pernah ada yang menganalisis lebih lanjut bahwa pembiayaan berbasis jual beli macam <i>murabahah</i> atau sewa semacam <i>ijarah</i> sebenarnya tak berbeda jauh dengan pembiayaan berbasis hutang plus bunga? Bedanya hanya soal bunganya digantikan dengan <i>fee</i> (<i>ujrah</i>) atau profit yang bersifat tetap dan harus ada aset yang melatarbelakangi transaksi. Untuk transaksi <i>ijarah</i> misalnya bahkan sudah lebih canggih lagi, dengan adanya sebagian komisi fatwa dalam penerbitan sukuk internasional yang memperbolehkan penyesuaian terhadap tingkat <i>fee</i> sewa dalam periode tertentu sepanjang sudah disepakati di awal (dan formula <i>fee</i> merujuk ke LIBOR). Tahu darimana? Karena saya pernah mengerjakan transaksi-transaksi demikian sebagai konsultan hukum.<br />
<br />
Melalui contoh-contoh di atas, saya ingin menunjukkan bahwa pendekatan hukum Islam tak bisa dipisahkan dari ilmu ekonomi. Untuk tiap jenis aktivitas, hukum Islam nampaknya memberikan insentif yang berbeda. Bukan apa-apa, saya bisa bayangkan apa yang akan terjadi dengan perkembangan Islam seandainya dulu Nabi menyatakan bahwa semua pemakan riba harus dihukum mati. Alih-alih berkembang, kemungkinan besar agama kita sudah lama hilang sejak dulu kala karena tidak ada yang mau mengikutinya atau mungkin akan lebih banyak lagi perang mengingat yang diatur adalah aktivitas komersial yang terhitung cukup kompleks, masif, dan memiliki banyak mekanisme untuk melakukan penyelundupan hukum (tidak sulit untuk membuat struktur transaksi yang seakan-akan tidak melibatkan riba, bahkan dari 1.500 tahun lalu).<br />
<br />
Saya akan sudahi dulu diskusi tentang riba ini (walaupun masih ada banyak aspek menarik lainnya untuk dibahas) karena saya hanya ingin memberikan pengantar tentang bagaimana hukum Islam menghadapi keterbatasan sumber daya dan bagaimana pragmatisme hukum Islam dijalankan terlepas dari nilai moral yang hendak diusung. Sekarang kita masuk ke topik utama, soal pembunuhan terhadap penghina Nabi.<br />
<br />
Dalam tulisan saya sebelumnya, <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/12/kartun-isis-dan-kemalasan-dalam-beragama.html" target="_blank">Karikatur ISIS dan Kemalasan Dalam Beragama</a>, saya sudah mengutipkan beberapa hadis Nabi terkait perlakuan Nabi terhadap orang-orang yang menghina Nabi, yaitu memaafkan mereka dan mencegah terjadinya kekerasan. Saya sengaja tidak mengutipkan hadis-hadis yang bisa menjadi amunisi untuk melakukan kekerasan demi menghindari kebingungan, tetapi sekarang kita akan membahas hadis-hadis tersebut.<br />
<br />
Kisah pertama bersumber dari kitab Bukhari dan sangat terkenal, yaitu tentang bagaimana Nabi meminta kepada para sahabat untuk membunuh Ka'b bin Ashraf, seorang Yahudi, yang menurut Nabi telah menyakiti Allah dan Nabi. Untuk dapat membunuh Ka'b, para sahabat Nabi, Muhammad bin Maslama dan beberapa rekannya, harus menipu Ka'b terlebih dahulu (dengan persetujuan Nabi) sehingga ia keluar dari bentengnya untuk kemudian dipenggal oleh para Sahabat Nabi. Kisah rincinya terdapat dalam Hadis Bukhari Vol. 5, Buku 59 (tentang peperangan), No. 369.<br />
<br />
Kisah kedua dan ketiga dibahas dalam Sunan Abu Daud No. 4348 dan 4349. Hadis No. 4348 membahas tentang seorang pria buta yang membunuh mantan budak wanitanya (non muslim) dengan cara ditusuk karena si mantan budak sering kali menghina Nabi. Adapun Hadis No. 4349 membahas tentang seorang wanita yahudi yang dibunuh dengan cara dicekik karena terus menerus menghina Nabi. Walaupun diperdebatkan apakah kasus ini sebenarnya 2 kasus yang sama, isunya tak berubah, dalam kedua hadis tersebut, pelaku dimaafkan oleh Nabi dan tidak diwajibkan untuk membayar <i>diyat</i> atau uang ganti rugi.<br />
<br />
Dengan hanya membaca ketiga kisah di atas dan dengan asumsi bahwa seluruh hadis di atas sahih atau valid, banyak orang yang mungkin tak bisa menerima atau bahkan akan segera menyatakan bahwa hadis-hadis ini adalah kabar bohong belaka. Tetapi hadis dari Bukhari di atas diulang berkali-kali di berbagai tempat dalam kitab Bukhari dengan jalur periwayatan yang berbeda-beda sementara 2 hadis Abu Daud tersebut disahihkan oleh banyak ulama terkenal, termasuk Ibnu Taimiyah dan Nashiruddin Al-Albani. Di tangan orang yang salah, hadis-hadis di atas memberikan landasan yang sangat kuat untuk membunuh semua penghina Nabi.<br />
<br />
Tetapi tentunya kita tidak akan berhenti di situ bukan? Kaidah fikih bahwa keumuman lafaz mengalahkan kekhususan sebab (yaitu ketentuan umum dari suatu aturan dianggap berlaku terlepas dari sebab diturunkannya aturan tersebut) tidak akan membantu analisis kita karena saya sudah pernah mengutipkan hadis-hadis yang menunjukkan Nabi justru melarang perilaku kekerasan terhadap penghinanya (yang juga bersumber dalam Bukhari dan Muslim). Bagaimana menyelesaikan pertentangan tersebut? Ini berarti kita wajib menelusuri konteks kisah-kisah di atas.<br />
<br />
Dalam kasus Ka'b, isunya cukup jelas. Nabi dan kaum Muslim sedang berada dalam situasi perang dan Ka'b adalah salah satu propaganda handal yang terus menerus menguatkan serangan kaum kafir terhadap Islam. Saya cukup yakin Nabi sedang menggunakan kiasan ketika ia menyatakan bahwa Ka'b menyakiti Allah karena tidak mungkin ada makhluk di alam semesta yang bisa menyakiti Allah. Interpretasi yang lebih tepat adalah Ka'b adalah musuh negara dan oleh karenanya perlu dihabisi. Dalam konteks ini, kasus Ka'b menjadi dapat dipahami. Ini bukan cuma penghinaan biasa yang bermain kata-kata, tetapi sudah menimbulkan kerugian aktual terhadap harta dan nyawa karena terus menerus mengobarkan perang.<br />
<br />
Kasus mantan budak dan wanita Yahudi jauh lebih sulit. Penelusuran saya menunjukkan bahwa kasus ini timbul karena masyarakat non-Muslim menuntut keadilan dalam kasus tersebut karena melihat adanya darah yang ditumpahkan tanpa hak. Orang tidak bisa main hakim sendiri menurut mereka. Penjelasan lebih lanjutnya adalah bahwa pada saat itu sudah terdapat perjanjian antara kaum Yahudi dan Muslim bahwa penghinaan terhadap Nabi tidak diperkenankan sehingga kasus ini merupakan kasus pelanggaran terhadap perjanjian antar kaum yang mengikat secara sah. Sayangnya tidak jelas bagaimana isi perjanjian itu sebenarnya dan tindakan apa yang dilakukan oleh wanita-wanita itu, apakah cuma bermain kata atau sudah terkait fitnah dan lain sebagainya.<br />
<br />
Sebagian ulama berpendapat bahwa tindakan pembunuhan tersebut bukan main hakim sendiri karena kemudian pelakunya disidang oleh Nabi sebagai hakim tertinggi pada masa itu dan dimaafkan sehingga dengan demikian, tindakan mereka memiliki legitimasi secara hukum. Lebih jauh, mereka berpendapat bahwa hadis-hadis dimana Nabi memaafkan pelaku penghinaan sudah tidak berlaku dengan wafatnya Nabi, sehingga karena Nabi sudah tidak ada, maka hukumnya adalah penghina Nabi harus dibunuh.<br />
<br />
Saya tidak sepakat dengan pendekatan di atas yang menurut saya konyol dan malah menjelekkan nama Nabi sebagai pecinta kekerasan. Selain karena ada preseden yang lebih baik dari Nabi sendiri dimana Nabi mau memaafkan orang yang menuduh Nabi tak adil di muka banyak orang, apabila kita merujuk kepada hadis Abu Daud No. 4350 yang tepat berada di bawah kisah-kisah hadis mengenai mantan budak dan wanita yahudi, ada kisah yang menegaskan bahwa pendapat ulama-ulama di atas tak berdasar. Dalam hadis tersebut, dikisahkan bahwa Abu Bakar (setelah menjadi Khalifah) dihina oleh seseorang dan murka pada orang tersebut. Salah seorang sahabat Nabi meminta izin kepada Abu Bakar untuk memenggal kepala orang tersebut (serius, orang-orang Arab jaman dulu emosinya pendek-pendek sekali nampaknya). Abu Bakar kemudian berujar, hal itu terlarang karena tidak ada lagi yang boleh melakukan pembunuhan atas nama penghinaan seperti itu setelah Nabi wafat.<br />
<br />
Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa keputusan yang diambil oleh Nabi juga bersifat pragmatis. Pelaku penghinaan dalam kasus hadis Abu Daud adalah kaum non-Muslim yang hidup di tengah-tengah kaum Muslim berdasarkan perjanjian tertentu. Dengan level pengendalian emosi yang sangat rendah itu, menghukum si pelaku pembunuhan bisa jadi menimbulkan masalah yang tak kalah peliknya dan berpotensi menambah konflik antar kaum. Patut disayangkan memang karena konteks kisahnya tak benar-benar jelas dan Abu Daud sendiri tidak memberikan komentar atau penjelasan apapun atas 2 hadis yang sangat mencolok itu. Mau tak mau, kita harus menerimanya sebagai bagian dari dinamika perkembangan Islam awal.<br />
<br />
Mungkin ada yang berpendapat bahwa dengan kisah-kisah di atas, Islam kok terkesan mengambil posisi yang sangat utilitarian? Pendapat itu tidak sepenuhnya salah (walau secara teknis, istilah yang lebih tepat adalah <a href="https://books.google.com/books?id=XtSUwrY7vwsC&pg=PA53&lpg=PA53&dq=weak+welfarism&source=bl&ots=59QMv1gu92&sig=KUqhD43D6uyfV2nKLqTpr4MkzhA&hl=en&sa=X&ei=HcWwVMXaGtCwyATKnYCwBQ&ved=0CD4Q6AEwBQ#v=onepage&q=weak%20welfarism&f=false" target="_blank"><i>weak welfarism</i></a>). Analisis untung rugi dan maksimalisasi kesejahteraan sudah lama dibahas dalam Qur'an Surah Al-Kahfi ayat 60-82 yang menceritakan pertemuan Nabi Musa dengan Khidir, orang yang diceritakan telah menerima ilmu spesial dari Allah (Qur'an tak pernah menyebutkan nama resmi Khidir sebenarnya). Kisah Khidir mungkin merupakan kisah paling penting bagi saya untuk menunjukkan bahwa pendekatan hukum Islam memang menggunakan pendekatan ekonomi sebagai prinsip utama.<br />
<br />
Ada 3 kisah menarik dalam pertemuan Nabi Musa dan Khidir, tetapi saya akan fokus di dua kisah saja, yaitu soal perusakan kapal orang miskin dan pembunuhan seorang anak oleh Khidir. Nabi Musa murka luar biasa atas perbuatan Khidir tersebut karena menganggap perbuatan Khidir melanggar hukum dan nilai-nilai moral. Sebagai Nabi yang rasional, kemurkaan Musa sangat wajar, apa alasan moral merusak properti pribadi orang lain dan membunuh anak kecil?<br />
<br />
Namun di akhir kisah, Khidir menjelaskan bahwa perusakan kapal itu dilakukan karena Khidir mengetahui bahwa ada seorang raja yang lalim yang akan mengambil setiap kapal dalam kondisi baik. Padahal kapal itu milik orang miskin yang akan kehilangan mata pencahariannya seandainya kapal itu dirampas. Adapun pembunuhan itu dilakukan karena Khidir memperkirakan bahwa anak itu akan menyengsarakan orang tuanya dunia dan akhirat (kalimat yang digunakan dan penjelasan dalam tafsir-tafsir tidak
menunjukkan kepastian 100%, jadi ada probabilitas kecil bahwa bisa jadi anak
itu tidak menyengsarakan orang tuanya) dan karena Khidir mengharapkan Allah akan mengganti anak tersebut dengan anak yang lebih baik (dalam salah satu riwayat di Tafsir At-Tabari, anak itu memang benar digantikan dengan anak baru).<br />
<br />
Melalui kisah di atas, secara spektakuler Islam menunjukkan bahwa anak adalah barang yang bisa digantikan dan bersifat <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Normal_good" target="_blank"><i>normal goods</i></a> jauh sebelum Gary Becker dan ekonom Chicago memperkenalkan konsep analisis ekonomi dalam memahami keluarga dan perkawinan. Qur'an juga konsisten soal ini karena dalam kisah mengenai Nabi Ayub, disebutkan bahwa setelah mengalami penderitaan panjang (termasuk hilangnya seluruh hartanya dan meninggalnya seluruh anaknya), Allah memberikan kompensasi atas kesabaran Ayub dengan harta dan anak dalam jumlah 2 kali lipat (ulama tafsir berbeda pendapat apakah anak-anak yang menggantikan anak-anak nabi Ayub itu benar-benar baru atau dihidupkan kembali, tetapi mereka bersepakat bahwa jumlahnya berlipat 2). Kompensasi finansial wajar-wajar saja atas pengabdian dalam Islam (yang mana juga terkandung dalam inti kisah ketiga Khidir, lebih lanjutnya silakan baca surah Al-Kahfi).<br />
<br />
Lebih jauh lagi, kisah-kisah tersebut memberikan pelajaran penting bahwa sepanjang pengambil kebijakan memiliki informasi cukup dan analisis untung ruginya menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan bersifat efisien baik secara <a href="https://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/Pareto_efficiency.html" target="_blank"><i>Pareto</i></a> (contoh anak yang dibunuh oleh Khidir karena dalam teologi Islam, anak yang belum berdosa otomatis masuk surga, sehingga secara ekonomi tidak ada yang dirugikan) maupun <i><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Kaldor%E2%80%93Hicks_efficiency" target="_blank">Kaldor-Hicks</a> </i>(contoh kasus nelayan yang perahunya dirusak oleh Khidir supaya tidak diambil oleh raja yang lalim), tindakan-tindakan yang bisa jadi dianggap melanggar prinsip-prinsip moral tertentu, dapat dibenarkan karena memaksimalisasikan kesejahteraan.<br />
<br />
Penting sekali untuk diingat bahwa kata kuncinya adalah informasi yang cukup dan analisis yang mendalam. Qur'an tidak memberikan pembenaran untuk bertindak seenaknya! Analisis untung rugi tidak bisa dilakukan secara sembarangan! Allah memberikan contoh yang sempurna dalam kasus Nabi Ibrahim dan Ismail. Dalam kasus tersebut, Nabi Ibrahim melakukan tindakan pengorbanan anaknya kepada Allah tanpa informasi secuil pun dan hanya berbasis iman. Di saat-saat akhir, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba. Banyak yang menganggap bahwa kasus ini adalah soal ketundukan pada iman dan pengorbanan yang mendalam. Menurut saya itu tafsiran yang tidak lengkap. Kasus ini justru menunjukkan bagaimana Allah tidak membiarkan seseorang mengambil keputusan besar hanya dengan bermodalkan percaya dan iman saja! Saya jamin, kisahnya akan menjadi sangat berbeda seandainya Allah benar-benar membiarkan Nabi Ibrahim menyembelih anaknya tanpa alasan selain iman, karena dengan demikian agama Islam tidak akan berbeda dengan agama pagan yang melakukan penyembelihan terhadap manusia untuk dikorbankan kepada dewa.<br />
<br />
Sampai di sini mungkin ada yang bertanya, masa Islam membolehkan pembunuhan atas nama efisiensi? Saya pikir Islam hanya memberikan contoh ekstrim untuk menunjukkan fokus Islam pada kesejahteraan dan analisis untung rugi. Dalam prakteknya, pemerintah dan kita semua juga sering mengambil kebijakan yang berimplikasi pada nyawa manusia baik langsung maupun tak langsung. Contoh kebijakan soal hukuman mati untuk kejahatan tertentu. Atau contoh kebijakan soal rokok dan polusi. Rokok dan polusi kemungkinan besar akan memperpendek hidup kita. Tetapi Pemerintah membiarkan industri rokok dan otomotif merajalela. Mengapa? Bisa jadi karena Pemerintah lebih mendahulukan pendapatan pajak yang diperoleh dari kedua industri tersebut yang kemudian digunakan untuk mendanai aktivitas pemerintahan.<br />
<br />
Pun juga tidak ada jaminan bahwa analisis untung rugi yang kita lakukan akan selalu menghasilkan hasil yang tepat. Saya cukup yakin pemerintah melakukan kesalahan dengan membiarkan industri rokok dan otomotif berjalan terus tanpa memperhitungkan apakah manfaat yang didapat dari pajak itu lebih banyak dari ongkos kesehatan masyarakat. Semuanya kembali ke informasi yang cukup. Apakah kita cukup berani untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang akan berimplikasi pada kehidupan orang banyak? Islam memberikan landasan moralnya melalui kisah Khidir. Khidir menerima informasi dari Tuhan, kita tidak menerima informasi langsung dari Tuhan, kita hanya bisa berusaha semampu kita, mau tidak mau, kita juga harus jauh lebih berhati-hati dan tidak gampang mengambil langkah seekstrim Khidir.<br />
<br />
Alih-alih berusaha lari dari kenyataan hidup yang tak jarang melibatkan pilihan sulit dalam pengambilan kebijakan, Islam justru meminta penganutnya untuk secara berani berpikir secara serius tentang untung rugi dari tindakannya, untuk memperhitungkan dengan seksama apakah tindakannya akan memberikan manfaat atau hanya akan merugikan sesama. Selama masih ada kelangkaan, hidup adalah soal memilih! <br />
<br />
Setelah anda paham bahwa Islam menggunakan pendekatan ekonomi, kita sampai pada bagian penutup soal hukum terhadap penghina Nabi. Apa kebijakan yang perlu diambil? Ambil contoh yang baik atau contoh yang mengandalkan kekerasan? Pendekatan mana yang akan kita pilih? Kembali pada prinsip ekonomi, membunuh penghina Nabi di era modern seperti ini hanya akan merusak citra Islam.<br />
<br />
Benar bahwa di dunia ini banyak standar ganda. Orang yang sibuk membela kebebasan berpendapat dalam kasus Charlie Hebdo mungkin kemarin pun ikut mem-<i>bully</i> Justine Sacco karena twit sembarangannya. Anda tidak tahu siapa dia? Lihat beritanya di <a href="http://gawker.com/justine-sacco-is-good-at-her-job-and-how-i-came-to-pea-1653022326" target="_blank">sini</a>. Dunia seenaknya menghakimi dia karena satu omongannya sampai-sampai dia kehilangan pekerjaannya dan stress karena diintimidasi. Saya tidak tahu apakah secara moral tindakan penghakiman sosial seperti itu sah-sah saja sementara membunuh tidak. Saya sudah lama tidak percaya dengan pendekatan moral yang abal-abalan seperti itu. Dari sudut ekonomi, membunuh dan mem-<i>bully</i> sama saja, dua-duanya menimbulkan biaya kepada korban, hanya beda di angka, dan saya yakin bahwa keduanya tidak pantas untuk dilakukan gara-gara ucapan atau karikatur bodoh (lebih besar biaya dibanding manfaat). <br />
<br />
Ini juga mengapa saya katakan berkali-kali, sebagai umat Islam, kita juga perlu berhenti berpikir dan bertindak dengan gaya retaliasi. Kalau menurut anda orang-orang Barat punya standar ganda, ya itu urusan mereka. Lagipula, standar ganda tidak cuma berlaku di Barat, kita pun juga sering tak lepas dari standar ganda. Contoh gampangnya sudah saya sampaikan di awal artikel ini.<br />
<br />
Oleh karenanya, kenapa tidak fokus menciptakan standar baru sendiri yang lebih elegan dibandingkan orang-orang lain? Saya tidak sedang bicara kepada kaum garis keras yang "aktif" di medan perang, hati mereka sudah layaknya Fir'aun. Saya berbicara kepada mereka yang mungkin bersimpati pada tindakan garis keras itu walaupun tak pernah membayangkan dirinya akan terlibat dalam aksi kekerasan seumur hidupnya. Mereka inilah yang akan lebih sering merepresentasikan Islam, bukan teroris yang kita bisa asumsikan sudah tak lagi bersama jamaah Islam.<br />
<br />
Benar bahwa dengan situasi seperti saat ini, tindakan Charlie Hebdo adalah tindakan yang cari gara-gara sendiri. Siapa pula sih yang bisa benar-benar paham satir? Justine Sacco pun mengaku dia sedang melakukan satir melalui twitnya itu. Hanya saja kita tidak bisa berhenti di situ, ada cara yang jauh lebih mudah, lebih efisien, lebih elegan dan lebih memberikan pencitraan yang baik, hiraukan saja debu-debu tak berarti seperti Charlie dan kawan-kawannya. Semut kecil tak bisa melukai ikan Paus di laut. Setiap kali kita berikan ruang dan panggung untuk ide-ide bodoh, kita sendiri yang dengan culunnya menyusahkan diri sendiri.<br />
<br />
Dan dengan sejarah 1.500 tahun Islam, sampai kapan kita mau dikerjai terus oleh orang-orang seperti itu? Jaman sudah berubah, Islam bukan lagi koloni kecil yang diisi oleh sekelompok orang-orang dalam jalinan hubungan sosial yang ketat yang sedang menghadapi banyak musuh bersama. Islam sekarang terdiri atas 1,5 milyar manusia lebih yang tersebar di seluruh muka bumi. Masa kita masih berpikir seperti kaum yang terisolasi 1.500 tahun yang lalu? Saya sih tak sudi. Saya tak merasa dikelilingi musuh dimana-mana dalam bentuk kaum dengan agama atau budaya lain, atau sedang berada dalam medan pemikiran yang bisa merusak iman, justru saya merasa kita bisa banyak belajar bersama dari masyarakat global yang semakin terintegrasi. Masa depan ada di kerja sama antar bangsa, dan mungkin suatu hari nanti, antar galaksi.<br /> </span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-34250119.post-62431554826500136562015-01-09T17:01:00.001+07:002020-12-08T10:52:57.536+07:00Gagal Paham Rasionalitas Manusia Dalam Pendekatan Ekonomi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwKhKB-rFsKw8voCUPCybVNvsdx1f1Bdc37DV6AitkrXkWE27jx430tTP2612zGLE7Y1QKozKR4EMnheEtaltbmRu_PlJNfgAuRY96cMOJTI-esAUnJH_JVIclzXhkRKN85RGQ/s646/lt5e78768dc8259.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="431" data-original-width="646" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwKhKB-rFsKw8voCUPCybVNvsdx1f1Bdc37DV6AitkrXkWE27jx430tTP2612zGLE7Y1QKozKR4EMnheEtaltbmRu_PlJNfgAuRY96cMOJTI-esAUnJH_JVIclzXhkRKN85RGQ/s320/lt5e78768dc8259.jpg" width="320" /></a></div><div><br /></div>Steven Levitt, Profesor di Chicago dan penulis buku Freakonomics dan Super Freakonomics, pernah suatu hari stress luar biasa karena seringkali dikritik orang gara-gara idenya yang dianggap kontroversial dan ia akhirnya meminta nasihat kepada Gary Becker. Saran Gary Becker sederhana: "bersyukurlah kamu karena ada yang mengkritik. Tahu yang lebih parah? Kamu dianggap angin lalu. Itu yang saya lebih tidak tahan lagi." Dalam konteks ini, saya senang akhirnya ada yang mau menulis panjang lebar dalam menanggapi ide-ide saya soal penggunaan analisis ekonomi dan rasionalitas melalui tulisan rekan Kholid Muhammad di <a href="https://www.selasar.com/ekonomi/apakah-manusia-selalu-berpikir-dan-bertindak-rasional-bagian-1" target="_blank">sini</a>. Berikut tanggapan saya.<br />
<br />
Kritik Kholid merupakan kritik standar terhadap pendekatan rasionalisme dalam ekonomi. Sayangnya ini tipe kritik yang menurut saya ketinggalan jaman dan banyak salah pahamnya, mungkin karena literatur yang ia baca dan sampaikan di artikelnya berfokus pada "lawan-lawan" pendekatan rasionalisme dan bukan tulisan resmi macam dari Gary Becker sendiri atau Richard Posner misalnya. Saya tahu ini dengan segera ketika dia menulis bahwa pendekatan rasional berasumsi bahwa selain fokus pada maksimalisasi kepentingan pribadi dan transitif, manusia juga memiliki kemampuan psikologi yang sempurna dan mampu memperhitungkan untung dan rugi secara sempurna pula (khususnya dengan asumsi bahwa ada informasi yang sempurna). Ini penggambaran teori yang luar biasa salah. Mengapa demikian?<br />
<br />
Becker dan Posner sendiri sudah menulis berkali-kali dalam buku mereka (misalnya dalam <i>The Economic Approach to Human Behavior</i> dan <i>Economic Theory</i> dari Becker dan juga dalam <i>Economic Analysis of Law</i>-nya Richard Posner) bahwa asumsi rasionalitas tidak menganggap bahwa manusia pasti sempurna dalam mengambil setiap keputusan, fokusnya adalah cukup bertumpu pada maksimalisasi kepentingan pribadi dan konsistensi dalam mengambil keputusan (transitif). Kalau mau yang lebih formal secara matematis, anda bisa menemukannya dalam buku Philip J. Reny (Profesor di Chicago), <i>Advance Microeconomics</i>. Isunya sederhana, mengambil keputusan pun perlu biaya! Tidak mungkin setiap keputusan diambil dengan seksama dan susah payah karena masing-masing orang memiliki prioritas yang berbeda.<br />
<br />
Maka ketika membaca buku Kahneman, <i>Thinking Fast and Slow</i>, dan idenya soal sistem 1 dan sistem 2 dalam berpikir yang membedakan antara keputusan yang diambil dengan cepat berdasarkan intuisi dan kebiasaan, serta keputusan yang diambil berdasarkan pemikiran mendalam, saya tak heran atau lantas menjadi berasumsi bahwa manusia tidak rasional. Justru karena ia rasional dan memahami konsep untung rugi, ia tak bisa membagi waktunya secara merata untuk mengambil setiap keputusan. Ambil contoh mudah, total waktu yang akan saya gunakan untuk menentukan apakah hari ini saya akan makan ramen atau nasi padang akan jauh berbeda dengan waktu yang saya gunakan untuk menentukan apakah saya mau melanjutkan jenjang pendidikan saya dengan mengorbankan karir saya. Saya bisa memutuskan makan apa hari ini semudah membalikkan telapak tangan (apalagi kalau harga makanannya tak mahal). Menentukan langkah karir saya? Mikirnya berbulan-bulan sebelum akhirnya mengambil keputusan.<br />
<span id="fullpost">
<br />
Lebih penting lagi, kalau pun kita mau menerima ide bahwa manusia tak selalu rasional sebagaimana diargumenkan oleh Kholid, Gary Becker sudah lama menulis soal itu dalam artikelnya, <i><a href="http://mcadams.posc.mu.edu/econ/Becker,%2520Irrational%2520Behavior.pdf" target="_blank">Irrational Behavior and Economic Theory</a></i>. Ada satu kekuatan besar dalam ilmu ekonomi yang pada akhirnya akan mengoreksi setiap bentuk irasionalitas, kelangkaan (<i>scarcity</i>)! Tidak ada manusia dengan anggaran yang tak terbatas, dan ketika saya bicara anggaran, ini tidak melulu soal uang, tapi juga waktu atau hal-hal lain yang melekat pada diri setiap orang (<i>endowment</i>) seperti misalnya kesehatan atau kemampuan intelektual.<br />
<br />
Ambil contoh kebiasaan-kebiasaan buruk yang sering dianggap sebagai bukti tak rasionalnya manusia semacam kemalasan dalam berolah raga, makan kebanyakan dan tak sehat, atau merokok. Secara ilmiah, hal-hal tersebut diyakini dapat berkontribusi untuk memendekkan umur seseorang. Orang yang tak paham ekonomi mungkin akan cepat berujar bahwa orang-orang yang melakukan hal di atas adalah orang-orang yang tidak rasional, bukankah seharusnya semua manusia mau panjang umur? Apakah ini contoh manusia bodoh yang tidak memperdulikan peningkatan resiko kematian di masa depan bahkan setelah ia mengetahui resikonya?<br />
<br />
Kalau kita setuju bahwa hal-hal di atas adalah contoh irasionalitas, akan ada kekuatan yang mengkoreksinya, misalnya penyakit serangan jantung yang jelas menurunkan sumber daya kesehatan. Selanjutnya bisa kita teliti apakah akan ada perubahan sikap setelah seseorang mengalami penyakit demikian. Saya sudah berkali-kali melihat teman-teman dan anggota keluarga saya yang mengubah total gaya hidupnya setelah selamat dari pengalaman penyakit yang bisa mematikan.<br />
<br />
Tapi kita juga bisa melihat mereka sebagai manusia rasional. Mereka pada dasarnya menukarkan kenikmatan masa kini dengan masalah/biaya di masa depan. Olah raga ada manfaatnya, tapi melakukannya melibatkan biaya dan waktu (termasuk kelelahan fisik). Banyak orang yang gagal diet dan menurunkan berat badan melalui olah raga karena tak sabar menunggu hasilnya. Salad organik nampak sehat, tapi percayalah, nasi padang dan steak umumnya jauh lebih enak dibanding dengan salad organik mana pun. Saya tidak tahu soal rokok karena tidak pernah merokok, tapi saya tahu orang-orang yang merokok karena menurut mereka itu memberikan kenikmatan. Mengapa anda bisa dengan gagah berani menyatakan bahwa orang-orang ini tidak rasional? Bisa jadi prioritas mereka berbeda. Mungkin bagi mereka kenikmatan makanan lebih bernilai dibanding biaya menyeret badannya yang kelebihan berat.<br />
<br />
Saya bisa berbicara seperti itu karena saya sendiri pernah kelebihan berat badan bertahun-tahun gara-gara berlebihan makan setelah bekerja dan punya uang (maklum, dulunya saya kurus kering ketika masih menjadi mahasiswa miskin). 2 tahun lalu saya memutuskan bahwa saya lelah menyeret badan saya dan menjadi tidak produktif. Ditambah taruhan dengan istri saya dalam jumlah besar, akhirnya saya punya motivasi untuk berolah raga dan mengurangi asupan makanan saya. Alhamdullilah, sukses. Dan sejak itu, saya tak mau lagi menukar jumlah asupan makanan dengan tambahan berat badan. Prioritas saya berubah. Sesederhana itu.<br />
<br />
Sama pula dengan sebagaimana saya argumenkan dalam tulisan saya sebelumnya soal <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/11/ibadah-itu-soal-untung-rugi.html" target="_blank">untung rugi dalam beribadah</a> atau <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/12/kartun-isis-dan-kemalasan-dalam-beragama.html" target="_blank">kemalasan dalam berinvestasi soal agama</a>. Kalau orang menganggap penting surga dan neraka, ia akan beribadah untuk memperoleh surga. Kalau aktivitas hidupnya tidak mencerminkan perilaku surgawi, bisa jadi ia memang tidak benar-benar peduli soal surga dan neraka. Jangan kemudian menyalahkan orang lain yang mau beribadah demi surga dan mencap mereka sebagai pedagang. Lihat dulu konsistensi perilakunya. Kalau ada orang yang malas berinvestasi soal agama, jangan percaya klaim mereka bahwa mereka cinta agamanya. Itu hanya pencitraan belaka supaya tidak dianggap buruk-buruk amat, yang mana merupakan tindakan rasional juga. <br />
<br />
Intinya dalam ilmu ekonomi, rasionalitas menguji seberapa penting orang menilai suatu objek atau aktivitas tertentu dalam hidupnya. Semakin penting objek atau aktivitas tersebut, maka semakin besar juga kemungkinan ia mau berinvestasi untuk mendapatkan objek atau menjalankan aktivitas tersebut. Melalui teori pilihan rasional ini, pembuat kebijakan diminta untuk memeriksa dengan seksama apakah kebijakan yang disusunnya sudah memperhatikan insentif dari mereka-mereka yang akan menjadi subjek dari kebijakan tersebut. Alih-alih bermain dengan teori saja, teori rasionalitas ekonomi justru meminta kita untuk meneliti secara empiris bagaimana efek suatu kebijakan dan tidak gampang menyatakan bahwa seseorang tidak rasional. Inilah pendekatan Chicago yang sudah lama didengung-dengungkan oleh Milton Friedman dan Gary Becker sejak jaman dahulu kala. Anda bisa membaca manifesto Chicago yang menggabungkan teori dan praktek ekonomi demi kesejahteraan ekonomi di <a href="http://bfi.uchicago.edu/about-us" target="_blank">sini</a>. <br />
<br />
Yang saya khawatir, orang-orang seperti Kholid ini bukan saja salah paham soal pengertian rasionalitas, tetapi juga mencampuradukkan konsep bahwa rasionalitas yang diterjemahkan menjadi maksimalisasi utilitas itu berarti bahwa insentif manusia seakan-akan hanyalah soal uang belaka atau bahwa rasionalitas individual akan menyelesaikan semua masalah melalui teori <i>invisible hand</i>. Saya mengundang Kholid untuk pergi ke Chicago dan mengambil kelas Price Theory supaya tidak terus menerus gagal paham. Kritik Stiglitz yang dikutip Kholid soal bahwa maksimalisasi kesejahteraan individual tidak akan mensejahterakan semua orang bagi saya lebih pantas jadi argumen politik dibanding argumen ekonom sejati. Mengapa?<br />
<br />
Karena isu ini sudah lama dibahas di Chicago dan buku standar teks ekonomi. Kita sering mendengar soal <i>Tragedy of the Common</i>s, permasalahan yang terjadi ketika aksi rasional dari masing-masing individu berakhir merugikan semua orang dalam kasus konsumsi barang publik yang kepemilikannya tidak jelas (contoh, <i>overfishing</i> ikan tuna). Ada pula kebalikannya, yaitu <i>Tragedy of the Anti Commons</i> ketika 1 properti dimiliki oleh terlalu banyak orang yang kemudian menimbulkan <i>Hold Up Problem</i>. Saya sudah menulis soal itu di <a href="http://www.pramoctavy.com/2009/11/gridlock-economy-when-too-much.html" target="_blank">sini</a>, di <a href="http://www.pramoctavy.com/2010/08/gridlock-economy-when-too-much.html" target="_blank">sini</a> dan juga di <a href="http://www.pramoctavy.com/2011/11/hold-up-problem-and-chicken-game-why.html" target="_blank">sini</a> bagi mereka yang ingin mendalami secara lebih teknis. Penyebabnya juga lagi-lagi rasionalitas di level individual. <br />
<br />
Atau Kholid sudah pernah mendengar soal <i>Public Choice</i>? Salah satu pendiri aliran ini, Gordon Tullock juga berasal dari Chicago, tepatnya Chicago Law School. <i>Public Choice</i> yang menggabungkan ilmu politik dan ekonomi untuk menganalisis kebijakan publik dan hukum adalah kelas yang selalu diajarkan di Chicago. Selain mendalami <i>Arrow's Impossibility Theorem</i> dan <i>Game Theory</i>, kita juga mendalami mengenai teori grup kepentingan dan bagaimana efeknya terhadap pengambilan keputusan kolektif. Anda bisa membaca makalah sederhana saya mengenai <i>Public Choice Theory</i> di <a href="http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2158542" target="_blank">sini</a>. Intinya, potensi irasionalitas dalam pengambilan keputusan kolektif (sebagai akibat rasionalitas individual) itu sangat tinggi dan ada banyak mekanisme yang bisa digunakan untuk menyabotase demokrasi dengan mekanisme diktatorial yang bisa jadi susah untuk dicermati karena sangat samar.<br />
<br />
Maka saya bertanya, kritik "keren" dari Stiglitz itu ditulis sebagai ekonom atau politisi? Saya sudah lama membaca buku-buku Stiglitz, dari SMA malah. Awalnya menarik macam kritiknya terhadap neoliberalisme dan kerakusan korporasi. Saking tertariknya, saya bahkan mengambil kelas <i>Neoliberalism and Its Critiques</i> di Chicago yang diajar oleh Prof. Bernard Harcourt (Harcourt ini pemikir garis kiri yang juga menunjukkan bahwa di Chicago, semua ide bisa hidup dengan bebas). Kesimpulan saya setelah mengambil kelas itu? Yang mengkritik tampaknya tak paham konsep kapitalisme murni dan mencampuradukkannya dengan konsep kapitalisme kroni atau korporasi. Anda bisa baca tulisan saya soal itu di <a href="http://www.pramoctavy.com/2012/01/neoliberalism-and-fallacy-of-shock.html" target="_blank">sini</a> dan juga di <a href="http://www.pramoctavy.com/2012/05/human-capital-and-neoliberalism.html" target="_blank">sini</a>.<br />
<br />
Ide bahwa pasar akan menyelesaikan semua masalah adalah ide yang ketinggalan jaman. Ide Chicago generasi masa kini adalah fokus di efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan. Kita paham bahwa rasionalitas individual bisa bermasalah di level kolektif dan kita juga paham bahwa Pemerintah isinya bukan malaikat. Justru karena kita paham bahwa pemerintah isinya manusia-manusia yang rasional, kita menjadi semakin berhati-hati dalam membangun institusi politik dan membuat aturan main yang tepat. Memangnya anda pikir Ronald Coase yang juga merupakan salah satu pendiri <i>Institutional Economics</i> asalnya dari mana? Chicago!<br />
<br />
Lagipula, apa solusi Stiglitz? Pemerintah dan regulasi. Tapi kalau dia belajar <i>Public Choice</i>, menyerahkan semua isu kepada pemerintah juga sama bermasalahnya. Siapa yang bisa menjamin bahwa pemerintah akan dipenuhi oleh manusia-manusia suci yang sudah menjadi wali atau pandita? Memangnya manusia yang menjadi direktur perusahaan dan yang menjadi pejabat di pemerintah berasal dari planet yang berbeda? Apakah pernah dipikirkan bahwa dengan kekuatan pemerintah yang demikian besar, kebijakan yang salah juga bisa menimbulkan bahaya yang tak kalah dahsyatnya? Baru-baru ini saya menghadiri diskusi di kampus soal inovasi dalam kebijakan publik di negara berkembang. Salah satu kisah menariknya adalah bahwa anda tak bisa berasumsi bahwa pemerintahan pasti baik. Ada contoh-contoh dimana kebijakan yang tepat menciptakan pertumbuhan yang dahsyat. Tetapi ada juga negara seperti Somalia dimana penelitian menunjukkan bahwa setelah negara itu memiliki pemerintah, hidupnya makin sengsara!<br />
<br />
Atau seperti krisis 2008 atau bahkan Depresi Besar di masa lampau. Apa penyebabnya? Ada yang mengklaim bahwa ini kegagalan pasar. Ada juga yang mengklaim bahwa ini kesalahan kebijakan pemerintah. Teori rasional pun bisa menjelaskan mengapa krisis 2008 terjadi. Karena rumah bukan saja dijadikan tempat tinggal tapi juga investasi, ditambah dengan pembiayaan kredit rumah yang terlalu murah, orang-orang pun berbondong-bondong hendak membeli rumah, termasuk mereka yang sebenarnya tidak pantas diberi kredit seandainya bunganya tidak disubsidi. Apakah ini contoh irasionalitas? Saya pikir lebih pantas jadi contoh aksi rasional di level individual yang kemudian menciptakan masalah kolektif. <br />
<br />
Harus diakui bahwa di level makro, sebagaimana sering dikutip oleh Kholid, ilmu ekonomi sifatnya masih gaib. Tapi pendekatan yang saya bicarakan selama ini berfokus pada level mikro dan lebih penting lagi, perbedaan pendapat yang disampaikan oleh Kholid bukan bukti bahwa ilmu ekonomi gagal! Justru kalau kita serius bertumpu pada asumsi rasionalitas, tidak ada satu pun ekonom yang akan puas begitu saja dengan modelnya. Ketika ia melihat modelnya tidak menyelesaikan masalah, ia harus berpikir, apa komponen yang harus diperbaiki. Saya pikir ini norma umum yang berlaku di kalangan ekonom profesional dan yang saya tangkap di Chicago (ngomong-ngomong, Lucas dan Fama juga dikritik oleh ekonom Chicago lainnya. Anda bisa baca artikelnya di <a href="http://www.newyorker.com/news/john-cassidy/interview-with-richard-posner" target="_blank">sini</a> dan di <a href="http://www.newyorker.com/magazine/2010/01/11/after-the-blowup" target="_blank">sini</a>. Kritik itu sudah disampaikan tahun 2010, jadi anda ketinggalan 4 tahun lebih).<br />
<br />
Tapi kritik yang paling menarik dari Kholid adalah bahwa seakan-akan saya berpikiran bahwa pendekatan ekonomi yang digunakan untuk menyusun kebijakan ini adalah pendekatan absolut yang tak mungkin salah. Ini menurut saya klaim paling bombastis yang lagi-lagi menunjukkan kesalahpahaman yang akut. Saya tidak pernah bilang pendekatan ekonomi sempurna. Yang saya tekankan adalah bahwa pendekatan ekonomi adalah yang terbaik di antara pendekatan-pendekatan lainnya karena menurut saya pendekatan ekonomi lebih mau bekerja keras untuk memahami manusia dan penyusunan kebijakan secara realistis.<br />
<br />
Karena sekalipun kita berasumsi bahwa manusia selalu memaksimalkan manfaat bagi dirinya, kita tidak bisa menyamaratakan semua manusia. Perhitungan untung rugi tiap orang bisa jadi berbeda, dan yang menantang adalah bagaimana mengetahui cara tiap-tiap orang berpikir dalam mengambil keputusan sehingga formulasi insentif dan kebijakan yang kita ambil juga tepat. Ambil contoh tulisan saya soal <a href="http://www.pramoctavy.com/2014/12/mendidik-bukan-sekedar-pengabdian.html" target="_blank">mendidik bukan sekedar pengabdian.</a> Ketika ada pengajar yang bersedia untuk bekerja dengan gaji kecil, saya tidak lantas menyatakan bahwa dia tidak rasional. Saya cukup yakin dia sudah melakukan analisis untung rugi atas pilihan hidupnya. Bisa jadi dia tidak punya kesempatan yang lebih besar diluar menjadi dosen, bisa jadi dia senang mengabdi dan bersedia membayar mahal dengan melepaskan kesempatan yang lebih baik.<br />
<br />
Isu pentingnya, adalah seberapa banyak orang-orang seperti ini? Bisakah kita menemukan manusia paripurna dalam jumlah yang banyak? Atau jangan-jangan kita cuma mendapatkan orang dengan kualitas buruk? Pernahkah dipikirkan bagaimana efeknya kalau insentif finansial kurang diperhatikan karena hanya berfokus pada insentif penghormatan atas pengabdian? Pernahkah penyusun kebijakan pendidikan kita membandingkan institusi pendidikan kita dengan institusi pendidikan yang memberikan kompensasi menawan kepada pengajarnya dan bagaimana efeknya terhadap kualitas pendidikan? Pendekatan ekonomi yang benar memaksa kita untuk berpikir secara serius soal insentif tersebut bukan malah asik berteori sendiri tanpa melihat realitas! <br />
<br />
Kholid sempat menyampaikan bahwa pendekatan ekonomi itu berguna, sebelum kemudian menyampaikan permasalahan-permasalahanya. Pertanyaan saya, apa alternatif pendekatan yang lebih baik terhadap pendekatan yang saya gunakan khususnya dengan memperhatikan kelengkapan alat analisis yang sudah saya sampaikan di atas? Misalnya saya ingat ada yang mendebat bahwa kita bisa menggunakan pisau analisis nilai sosial di masyarakat untuk memahami perilaku manusia. Oke, menarik, tetapi menurut saya masih kurang tajam. Kita bisa tarik lebih jauh lagi melalui pendekatan ekonomi, seperti mengapa orang mau mengikuti nilai sosial itu? Apakah nilai sosial itu efisien? Memberikan kesejahteraan? Apakah kita akan terus mendukung nilai-nilai sosial yang misalnya mendiskriminasi kaum minoritas dan perempuan semata-mata karena nilai sosial itu sendiri?<br />
<br />
Saya senang karena Kholid mengkritik metodologi pendekatan saya, tetapi saya khawatir kritik ini akan berujung sia-sia, khususnya karena kritik-kritik yang dia sampaikan sudah lama dibahas di dunia profesional dan juga di Chicago. Semboyan Chicago: "<i>here, only your idea matters</i>." Di sini adalah tempat dimana sesama kolega tak akan sungkan untuk saling membantai dalam setiap workshop. Dogma terdalam di Chicago adalah bahwa tidak ada ide yang cukup suci untuk tidak bisa dikritik. Tinggal kemudian apakah kita bisa benar-benar menyampaikan kritik yang tepat atau cuma asal bunyi? Tadi sudah sempat saya sampaikan soal Bernard Harcourt. Anda kenal juga Richard Thaler? Salah satu ekonom yang bisa dianggap sebagai pendiri Behavioral Economics? Anda pikir dia darimana? Chicago! Kritik-kritik terdalam Chicago hidup di Chicago karena kita semua tahu ide yang tak terasah tak akan bisa jadi ide yang dahsyat.<br />
<br />
Saya tidak tahu kalau di Indonesia. Pengalaman saya sebagai sarjana hukum di Indonesia, Indonesia selalu ketinggalan jauh dari perkembangan ilmu terkini. Saat ini Indonesia sedang agak ramai membahas teori hukum progresif yang dulu sempat ramai juga di tahun 20-an di Amerika sampai kemudian di tahun 70-an ada Critical Legal Studies. Bagaimana nasib pemikiran itu sekarang di Amerika? Hampir mati, karena secara metodologis gagal dan tak jelas juga kriteria progresifnya seperti apa, belum lagi dilibas dengan pendekatan <i>Law and Econ</i> yang kini mendominasi. Padahal dua-duanya mulainya sama-sama di tahun 70-an. Jangan sampai kritik Kholid muncul karena perkembangan terkini di ilmu ekonomi belum mendarat dan tersebar luas di Indonesia.<br />
<br />
Meminjam istilah Barat, yang sedang dilakukan oleh Kholid saat ini adalah <i>beating a dead horse</i>. Krugman dan Stiglitz memang ekonom handal di masa lalu, tetapi sekarang mereka lebih sering jadi <i>political pundits</i>. Yang namanya <i>pundits</i> umumnya lebih terkenal dibandingkan dengan ekonom yang serius riset di kampus. Mengulang kritik yang sama saya pikir tak produktif. Oleh karenanya saya mengusulkan kepada Kholid untuk mengkritik lebih jauh tawaran kebijakan yang pernah saya sampaikan. Kalau memang ide saya kurang tepat, saya ingin tahu apa tawaran yang lebih baik. Karena bagi saya, ilmu ekonomi tidak berguna kalau tidak ada manfaatnya buat penyusunan kebijakan publik dan hukum.<br />
<br />
Akhirul kata, saya kembali ucapkan terima kasih kepada Kholid yang sudah meluangkan waktunya untuk menulis kritik atas pemikiran saya dan saya tunggu lanjutan artikelnya. </span>Pramudya A. Oktavinandahttp://www.blogger.com/profile/12155548682068314306noreply@blogger.com1