THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Broadcasting Law. Show all posts
Showing posts with label Broadcasting Law. Show all posts
  • Frekuensi Sebagai Barang Publik? (Bagian 2)


    Sehubungan dengan artikel saya sebelumnya mengenai konsep frekuensi sebagai barang publik, saya menerima beberapa tanggapan. Pertama dalam bentuk video sebagai berikut. Kedua, tanggapan bahwa karena kita merupakan pembayar pajak, maka kita berhak untuk mendapatkan tayangan bermutu tanpa harus membayar lagi (misalnya tayangan untuk anak-anak). Berikut adalah tanggapan dan elaborasi lebih lanjut mengenai ide frekuensi sebagai barang publik.

    Kesan pertama yang saya tangkap dari penyusun dokumenter tersebut ketika saya menonton video di atas adalah betapa terpenjaranya kita karena frekuensi yang seharusnya digunakan untuk kepentingan terbaik masyarakat ternyata didominasi penggunaannya oleh segelintir konglomerasi dengan menyuguhkan acara yang tidak bermutu. Kesan berikutnya, frekuensi dianggap sebagai sumber daya alam yang seharusnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konstitusi (setidaknya itu pesan penutup dari video dokumenter tersebut). Pesannya dibungkus dengan baik, tetapi bagi saya tidak meyakinkan.

    Video dokumen tersebut tidak menjelaskan dengan baik sejauh mana peranan negara diharapkan dalam "menguasai" frekuensi. Apakah sekedar terkait alokasi frekuensi dan perijinan? Atau kah harus sampai mengatur isi program yang boleh disiarkan, termasuk menentukan mana program yang berkualitas? Mari kita mulai terlebih dahulu dengan definisi program yang berkualitas.

    Apa definisi program siaran yang berkualitas? Program yang  mendidik? Program yang menghibur? Program yang membuat kita semua menjadi manusia terpelajar, tercerahkan dan baik budi? Visi misinya baik, kalau televisi bisa digunakan untuk menciptakan manusia-manusia paripurna ini, mungkin kita tidak butuh sekolah dan universitas lagi. Semua orang cukup menonton televisi saja.

    Sebagaimana bisa anda lihat, standar acara bermutu itu mau tidak mau akan selalu memasukkan unsur subjektif dari para pemirsanya. Bahkan kalau pun kita bisa menentukan definisi acara bermutu secara objektif, memangnya semua orang pasti hanya mau menonton acara-acara bermutu?

    Sebagai contoh, saya menikmati video-video kuliah online dari University of Chicago of Law School yang menurut saya tidak akan bisa ditandingi dengan kualitas pengajaran hukum di Indonesia saat ini atau mungkin sampai belasan tahun kemudian kalau kita tidak serius meningkatkan kualitas pendidikan hukum kita. Untuk bisa mendengarkan secara langsung di kampus, mahasiswa harus membayar biaya kuliah sekitar 600 juta Rupiah setahun. Bermutu, saya jamin. Dan kalau saya bisa memaksa semua mahasiswa fakultas hukum di Indonesia untuk menonton kuliah-kuliah ini, mungkin akan saya lakukan, minimal sebagai tugas kuliah. Tetapi di youtube, jumlah penonton video bermutu ini tak pernah mencapai angka 100. Bandingkan dengan video tentang kucing main piano dan bayi yang sedang tertawa, jutaan yang menontonnya. Video yang paling banyak ditonton di dunia saja saat ini adalah sebuah video lagu konyol yang nyatanya memang menghibur, Gangnam Style.

    Ada yang suka menonton film dokumenter alam dan margasatwa? Selamat untuk anda, karena saya tidak tertarik sama sekali. American Top Model dan Master Chef jelas lebih menyenangkan untuk ditonton. Atau ada yang suka dengan film drama penuh makna kehidupan? Boleh saja, tetapi kalau saya disuruh memilih, saya lebih suka menonton The Raid dan The Raid 2 berkali-kali dibandingkan dengan menonton film drama macam The Butler atau Lincoln (saya bahkan langsung tertidur ketika film Lincoln baru saja dimulai).

    Sampai di sini, mungkin akan ada yang bertanya, semua acara di atas kan tidak menggunakan frekuensi publik, tetapi menggunakan internet, televisi berbayar, bioskop dan sebagainya? Salah besar! Internet tidak hanya disediakan melalui kabel serat optik, tetapi juga dapat disediakan melalui frekuensi. Memangnya anda pikir industri telekomunikasi tidak menggunakan alokasi spektrum frekuensi yang terbatas? Alokasi frekuensi untuk jaringan telekomunikasi selalu diperebutkan antar penyedia jasa telekomunikasi dengan harga mahal justru karena mereka terbatas.

    Apakah pendukung frekuensi sebagai barang publik akan berargumen karena internet menggunakan frekuensi dan frekuensi adalah barang publik, maka konten internet juga harus diatur sehingga isinya harus bermutu semua? Kalau benar, saya mau minta semua video kucing dan bayi-bayi itu dilarang tayang di youtube oleh pemerintah karena sama sekali tidak bermutu sehingga orang bisa fokus hanya menonton video edukasi tanpa gangguan.

    Hal lain yang ingin saya sampaikan dari contoh-contoh program di atas adalah: selalu ada ALTERNATIF. Sengaja saya tulis dalam huruf besar semua agar anda paham bahwa dunia tidak runtuh dan semua orang jadi bodoh ketika sebuah televisi menyiarkan acara perkawinan selebritis berjam-jam di televisi. Mengapa? karena ada ALTERNATIF acara lainnya untuk ditonton dan aktivitas lainnya untuk dilakukan. Berapa banyak orang yang protes terhadap acara perkawinan yang tidak bermutu tersebut dan kemudian berjam-jam menonton acaranya sampai selesai? Saya belum melakukan survei, tetapi saya cukup yakin, mereka-mereka yang tidak suka dengan acara tersebut tidak menonton acara itu. Mengapa? Karena anda-anda semua punya ALTERNATIF kegiatan dan acara lainnya! Bayangkan, 3 kali saya mengulang kata tersebut supaya masuk ke alam bawah sadar anda.   

    Faktor adanya alternatif kegiatan ini sangat penting untuk dipahami karena selama ada alternatif tersebut, ide bahwa konten televisi harus diatur negara secara ketat dan menyeluruh itu sebenarnya tidak masuk akal. Dan saya berbicara seperti ini bukan karena saya sudah berlangganan televisi berbayar. Faktanya saya bahkan tidak sempat menonton televisi. Saya lebih banyak mencari berita dan hiburan dari internet dan saya juga menghabiskan banyak waktu untuk bekerja, menulis dan membaca buku dan jurnal. Televisi pada dasarnya hanyalah salah satu media di antara sekian banyak media di muka bumi ini.

    Dan ini membawa kita ke pertanyaan berikutnya, sebenarnya yang diributkan itu soal konten atau soal karena frekuensi dikuasai oleh hanya beberapa konglomerasi dan ada lembaga-lembaga seperti lembaga penyiaran komunitas yang kesulitan untuk mendapatkan jatah? Mari kita kembali ke Pasal 33 Konstitusi, sumber daya alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.

    Apa arti pasal itu ketika kita membahas mengenai frekuensi? Apakah maksudnya pemerintah mengatur bagaimana frekuensi digunakan (termasuk konten acara televisi dan konten isi internet)? Atau mengatur alokasi frekuensi sehingga frekuensi bisa dijatah secara efisien dan tidak terjadi interferensi yang memang membahayakan? Yang terakhir ini sudah dijalankan di Indonesia dan memang demikian pula prakteknya di negara-negara maju.

    Anda pikir frekuensi itu diperoleh dengan gratis? Ketika pemerintah Inggris dan Amerika melelang alokasi frekuensi mereka kepada pihak swasta, mereka mendapatkan harga yang sangat amat mahal, sedemikian mahalnya sehingga beberapa perusahaan hampir bangkrut untuk bisa memperoleh alokasi frekuensi tersebut. 

    Di Indonesia pun setiap pihak tidak dapat menggunakan alokasi frekuensi kalau mereka tidak membayar BHP frekuensi yang wajib dibayarkan setiap tahun. Untuk industri penyiaran, ada juga BHP kegiatan penyiaran. Keduanya dikategorikan sebagai pendapatan negara bukan pajak. Jadi seperti anda lihat, negara sudah "memanfaatkan" frekuensi, mereka mendapatkan uang yang tidak sedikit dari alokasi frekuensi tersebut. Bahwa apakah kemudian uangnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, saya tidak tahu pastinya, tapi bagi para pendukung ide frekuensi sebagai barang publik yang ingin pemerintah turun tangan secara mendalam, seharusnya anda-anda semua percaya dana hasil alokasi frekuensi itu sudah dikelola dengan penuh amanah bukan?  Karena kalau untuk mengelola dananya saja tidak bisa dipercaya, apalagi disuruh mengatur konten.

    Pun kalau kita percaya bahwa pemerintah seharusnya mengatur konten siaran televisi. Bentuknya seperti apa? Memeriksa setiap program dan menggunakan standar yang sangat ketat? Bayangkan berapa besarnya biaya pengawasan tersebut dan entah sebesar apa manfaatnya bagi kita semua, khususnya ketika kita sedang berbicara mengenai selera para pemirsa.

    Itu sebabnya sistem pengawasannya lebih mudah dilakukan dengan lebih banyak menggunakan aturan "negatif", yaitu pedoman penyiaran tidak mengatur siaran macam apa yang wajib disiarkan, tetapi lebih ke siaran seperti apa yang sebaiknya tidak disiarkan. Dan penegakan terhadap sistem seperti ini dilakukan setelah acara disiarkan bukan sebelum acara disiarkan. Coba bayangkan kalau semua program yang akan ditayangkan wajib diperiksa pemerintah dulu, apa bedanya dengan sensor? Dan siapa yang bisa menjamin bahwa standar mutu acara pemerintah akan sama dengan standar mutu kita? Dan "kita" itu siapa? Standar anda? Standar saya? Standar teman-teman dan keluarga anda yang trendi, terpelajar, berbudaya dan keren?   

    Argumen frekuensi sebagai sumber daya alam terbatas juga semakin lemah, khususnya dengan teknologi digital. Saya sudah sempat membahas ini sebelumnya dan menurut saya penting sekali untuk diperhatikan karena dengan sistem digital ini sebenarnya ada kesempatan yang sangat besar bagi semua pihak untuk melakukan penataan ulang terhadap kanal frekuensi. Dengan puluhan kanal frekuensi yang dapat digunakan di satu wilayah, berapa banyak pemain baru yang bisa masuk, termasuk yang sebelumnya mungkin terlantar?

    Jadi apakah ini masih soal konten dan kemanfaatan publik? Atau pendukung frekuensi sebagai barang publik ingin menyampaikan dengan halus: mohon berikan subsidi kepada lembaga-lembaga yang tidak punya uang agar bisa mendirikan lembaga penyiaran juga? Karena jujur saja, dengan sistem digital ini, bagaimana caranya orang masih bisa beragumen mengenai konsentrasi kepemilikan? Satu alokasi frekuensi sudah cukup untuk satu televisi.

    Dari sudut pandang ekonomi, memiliki terlalu banyak televisi justru kontraproduktif. Untuk apa memiliki terlalu banyak televisi kalau pemirsanya sama? Sama saja memakan sendiri bisnis dari grup perusahaannya. Kecuali apabila setiap televisi memiliki segmen yang sangat unik dan berdiri sendiri. Apakah masyarakat kita sudah sedemikian tersegmentasi? Dan dengan sistem digital, mustahil satu konglomerasi akan mencoba untuk memiliki puluhan alokasi frekuensi itu sendirian. Selain dilarang secara hukum, insentif ekonominya juga kecil.

    Ketika alokasi frekuensinya sudah ada, maka isu utama bagi lembaga yang lebih kecil semacam lembaga penyiaran komunitas adalah soal dana karena investasi di bidang penyiaran jelas tidak murah. Mungkin sekarang saatnya orang tidak lagi meributkan konten di televisi tidak berbayar, tetapi mulai mencari investor atau mungkin melobi pemerintah untuk mendapatkan subsidi (yang ngomong-ngomong, dibayar dari pajak anda dan saya) sehingga bisa mendirikan stasiun televisi dengan visi misi yang agung: mendidik dan mencerdaskan bangsa. 

    Dan karena kita mulai bicara pajak, mari kita beranjak ke isu berikutnya, yaitu soal apakah karena kita sudah membayar pajak, maka kita berhak mengatur isi program yang kita inginkan dalam televisi tak berbayar? Agak aneh memang argumen ini. Kita tidak membayar sepeser pun kepada televisi tak berbayar, pemilik televisi tak berbayar menyumbang pendapatan negara bukan pajak kepada pemerintah, tetapi kita ingin memiliki hak untuk mendapatkan program yang kita mau dalam televisi tak berbayar. Ini dasarnya apa ya?

    Seandainya televisi tak berbayar menerima alokasi frekuensi secara gratis dari pemerintah, saya 100% paham dan setuju dengan gerakan frekuensi sebagai barang publik. Karena itu artinya kita yang mensubsidi perusahaan-perusahaan tersebut, tapi nyatanya kan tidak? Jadi? Apa dasarnya? Karena harus digunakan untuk kemakmuran rakyat? Mungkin anda salah alamat, pertanyaan itu lebih baik diajukan kepada pemerintah, dana hasil BHP Frekuensi dan BHP Penyiaran sudah digunakan untuk kemakmuran rakyat belum? 

    Argumen yang sama juga bisa diajukan kepada televisi berbayar dan penyedia internet melalui jaringan frekuensi. Kalau seandainya mereka menggunakan frekuensi sebagai medium dari jasa mereka, maka harusnya mereka tidak boleh menuntut bayaran dari kita. Kan kita sudah bayar pajak? Semua konten mereka harusnya gratis karena mereka menggunakan frekuensi yang kita biayai dengan darah dan keringat kita! Paham kan mengapa ide ini begitu absurd?

    Jadi setelah pembahasan panjang lebar ini, apa kesimpulannya? Pertama, kalaupun kita sepakat frekuensi adalah barang publik, tidak ada justifikasi bagi pemerintah untuk mengambil posisi sebagai pengatur konten yang ketat, kita tidak butuh lembaga sensor baru. Kalau anda mau kritis, kritisi pengelolaan dana BHP Frekuensi dan BHP Penyiaran oleh pemerintah. Kedua, sistem digital membuka peluang bisnis yang baru dan mematahkan konsep frekuensi sebagai sumber daya alam terbatas, carilah investor untuk membiayai visi televisi yang anda idam-idamkan dan kalau bisa, usahakan jangan minta subsidi. Ketiga, fakta anda sudah membayar pajak tidak berarti anda bisa meminta konten siaran sesuai kemauan anda. Jasa yang kita bayar saja kadang susah kita atur, apalagi barang gratisan. Terakhir, televisi hanyalah salah satu media untuk mencari informasi dan hiburan. Alternatif lainnya begitu banyak. Sekarang coba anda berhenti lihat monitor komputer dan telepon anda, berdiri, hirup udara segar, dan berjalan keluar. Di luar sana masih ada banyak aktivitas menyenangkan. Selamat beraktivitas dan salam dari Chicago!

  • Frekuensi Sebagai Barang Publik? (Bagian 1)


    Ide bahwa frekuensi merupakan barang publik dan oleh karenanya tidak boleh dikuasai segelintir orang atau disalahgunakan sudah sering diulang di berbagai media. Saya bahkan sempat menemukan pendukung ide ini yang menyatakan bahwa seharusnya penggunaan frekuensi untuk keperluan siaran televisi perlu dikontrol oleh pemerintah secara mendalam, termasuk acara-acara yang akan disiarkan supaya mutu acara bisa menjadi lebih baik. Biasanya isu ini ramai kembali dibicarakan ketika publik menemukan acara televisi yang wajar untuk dikritik, misalnya sinetron yang tidak bermutu dan acara talkshow yang tidak mendidik atau menghina orang banyak. Isu terbaru? Tentu saja soal televisi yang seharian menayangkan acara perkawinan seorang selebriti Indonesia.

    Bagi saya pribadi, tidak mengherankan kalau keberadaan acara di atas dikecam. Memangnya tidak ada acara lain yang lebih baik untuk ditonton? Untuk apa pernikahan selebritis Indonesia ditayangkan berjam-jam? Apa hebatnya selebritis tersebut dibandingkan dengan misalnya pernikahan keluarga kerajaan di Inggris (mulai jaman Pangeran Charles sampai jaman Pangeran William?) Atau mungkin akan lebih menarik kalau misalnya selebritis itu diganti dengann David dan Victoria Beckham?

    Sebagaimana bisa anda lihat, ini lebih ke masalah selera. Saya tidak berminat dengan selebritis Indonesia apalagi menonton mereka di televisi Indonesia, tetapi apakah kemudian semua orang lain setuju dengan selera saya tersebut? Apakah kemudian karena frekuensi merupakan barang publik, maka saya punya hak untuk menentukan acara apa yang boleh ditayangkan di televisi? Kalau acara itu bermutu menurut standar saya, maka barulah acara itu pantas ditayangkan dan negara akan memastikan bahwa hanya acara-acara seperti itu saja yang layak untuk ditayangkan? Inilah isu pertama yang harus dijawab oleh semua orang yang sibuk mengklaim bahwa frekuensi merupakan barang publik (beserta dengan segala konsekuensinya).    

    Selanjutnya, saya juga sering membaca atau mendengar klaim bahwa televisi di Indonesia terlalu komersial, terlalu menghamba pada iklan, sehingga memberikan kontribusi buruk kepada kualitas acara mereka. Kalau ini benar, dan saya yakin stasiun televisi lebih sering melakukan survei terhadap minat para pemirsa dibandingkan dengan saya, kemungkinan besar hal tersebut dikarenakan mayoritas penonton acara televisi, khususnya televisi tak berbayar (free-to-air tv), menyukai acara-acara yang tak bermutu itu. Logikanya, kalau tidak banyak yang menonton, untuk apa pengusaha berlomba-lomba membeli slot iklan yang mahal di saat acara-acara tersebut berlangsung?

    Kita juga perlu memperhatikan model bisnis dari televisi tak berbayar, televisi ini gratis bagi pemirsanya tetapi selaku pemegang ijin penyiaran, mereka wajib membayar biaya hak penggunaan frekuensi kepada Pemerintah. Siaran seperti apa yang anda harapkan dari perusahaan yang tidak menuntut bayaran dari anda? Kemudian sejauh mana kita ingin Pemerintah "mengelola" frekuensi?

    Bagi saya, terdengar menyeramkan ketika ada orang yang menginginkan Pemerintah bertindak sebagai "pengelola" frekuensi. Hal itu sama saja dengan membuka peluang Pemerintah untuk kembali menjadi tukang sensor. Lebih ironis lagi, sebenarnya Pemerintah juga sudah punya stasiun televisi yang mungkin menyiarkan program-program yang masih bisa masuk kategori "bermutu". Kalau anda tidak tahu, namanya adalah Televisi Republik Indonesia (TVRI). Mengapa anda bisa tidak tahu? Mungkin karena tidak ada lagi orang yang menonton TVRI mengingat pangsa pasarnya bahkan tak sampai 1% dari jumlah penonton di Indonesia!

    Keberadaan TVRI dan posisinya yang sangat tak berarti itu sebenarnya membantah habis semua ide soal perlunya frekuensi "dikelola" oleh Pemerintah secara keseluruhan. Faktanya, pengelolaan itu sudah dijalankan melalui TVRI dan tidak laku. Salah siapakah ini? Apakah karena TVRI tidak laku walaupun katakanlah acaranya sungguh bermutu dan tiada tanding di dunia ini maka semua stasiun TV lain harus menutup usahanya dan menyerahkan pemirsa mereka kepada TVRI karena acara mereka tidak bermutu? Kalau iya, Indonesia tidak layak lagi menyebut dirinya sebagai negara demokrasi. Mungkin kita bisa jadi kandidat terbaru untuk menggantikan Rusia atau Cina, atau mungkin juga Korea Utara.

    Saya memahami bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam yang terbatas, dalam artian bahwa slot frekuensi yang bisa digunakan untuk penyiaran bersifat terbatas. Dengan sistem analog, maksimum slot siaran adalah sekitar 8-9. Khusus di Jakarta, seingat saya mencapai 12. Dalam sistem demikian, mungkin orang khawatir bahwa penguasaan televisi di tangan segelintir orang akan berbahaya. Tapi apakah ini benar?

    Dengan berubahnya sistem televisi dari analog menjadi digital, jumlah slot siaran bertambah berkali-kali lipat, dimana di satu wilayah siaran, slot-nya bisa diisi puluhan siaran televisi. Ini contoh bagaimana perkembangan teknologi mematahkan konsep sumber daya alam yang terbatas sekaligus memperkecil kemungkinan dikuasainya frekuensi oleh segelintir orang saja. Perubahan ini juga membuka kembali penataan ulang atas penjatahan frekuensi dan saya memahami bahwa hal tersebut sudah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

    Dengan adanya penataan ulang tersebut dan juga dibukanya pintu bagi para pemain baru, fungsi Pemerintah seharusnya lebih ke menjaga aturan permainan yang sehat antar kompetitor (misalnya jangan sampai ada halangan yang berat untuk masuk ke dalam pasar televisi tak berbayar), bukan memaksakan acara seperti apa yang wajib ditayangkan di televisi. Toh fungsi tersebut juga sudah ditangani oleh Komisi Penyiaran Indonesia yang bersifat independen (karena kita sudah punya banyak pengalaman buruk ketika Pemerintah masih menguasai penyiaran di Indonesia). Institusinya sudah ada, jadi mau tambahan seperti apa lagi?

    Terakhir, kalau memang tidak suka dengan acara televisi anda, ada alternatif lain yang mungkin jauh lebih mudah dan murah untuk anda lakukan, tonton TVRI (dan jangan lupa promosikan TVRI kepada sanak saudara dan teman-teman anda supaya lebih banyak lagi orang yang menonton TVRI) atau berlangganan televisi berbayar, yang dapat kita asumsikan akan menawarkan lebih banyak program yang menarik untuk ditonton karena sifatnya yang berbayar tersebut. Lupakanlah tendensi untuk ingin mengatur segalanya atau ingin menyerahkan semuanya kepada Pemerintah. Selain kontraproduktif, apa juga jaminannya bahwa Pemerintah akan menjadi penyedia acara yang baik bagi kita semua?             


  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.