THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Lawyers. Show all posts
Showing posts with label Lawyers. Show all posts
  • Kesetaraan Gender dan Industri Hukum

    Pengumuman pengangkatan 2 Senior Partner baru di UMBRA, Melati Siregar dan Poppy Cut Rahmasuci, merupakan momen yang tepat untuk mengangkat kembali tema kesetaraan gender, khususnya dalam industri hukum. Bagi pembaca blog ini dan khususnya yang sudah kenal saya lumayan lama, harusnya tahu posisi saya soal kesetaraan gender: saya menolak segala bentuk pengaturan soal pembagian peran pria dan wanita selain dari apa yang masing-masing mereka kehendaki sendiri secara sadar dan berdasarkan pengetahuan yang cukup. Artikel lama saya soal ini bisa dibaca misalnya di: Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup serta Absurdnya Ide Pengurangan Jam Kerja Wanita

    Posisi saya di atas belum berubah sama sekali, dan karena kebetulan sekarang saya sudah memiliki institusi sendiri, saya bisa lebih bebas mengimplementasikan visi misi tersebut. Sejak dahulu kala, industri hukum memang tidak terkenal sebagai industri yang ramah bagi perempuan. Menariknya, jika diperbandingkan, Indonesia mungkin justru terhitung lebih progresif dibandingkan dengan dedengkot industri hukum modern berskala besar di Amerika Serikat mengingat di Amerika, perempuan tidak diperkenankan masuk ke sekolah hukum apalagi berpraktek hukum setidaknya sampai dengan akhir abad ke-19/awal abad ke 20 dan efeknya sedikit banyak masih terasa hingga kini, partisipasi perempuan di bidang hukum masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan partisipasi lelaki.

    Jam kerja kantor hukum yang brutal ditambah masih adanya stigma pembagian peranan wanita dan pria baik secara domestik maupun bisnis dalam budaya, agama, dan negara tertentu memang sangat menyulitkan posisi perempuan untuk berkarir sebagai pengacara/advokat. Umumnya, analisis standar (kalau bisa dikategorikan sebagai analisis) dalam mempertimbangkan apakah suatu kantor hukum akan mempekerjakan pengacara perempuan adalah: berapa lama kira-kira ia akan bekerja secara efektif dalam kantor? Apakah ia sudah memiliki pasangan? Apakah ia akan memiliki anak? Kekhawatiran utamanya adalah apabila kantor sudah berinvestasi sedemikian rupa dengan pengacara perempuan tersebut namun di tengah jalan tiba-tiba ia memutuskan berhenti bekerja karena alasan menikah, memiliki anak dan selanjutnya harus fokus mengurusi keluarga. Bagi industri yang sangat mengandalkan kualitas pribadi dari masing-masing talentanya, kehilangan talenta yang bermutu karena urusan seperti ini tentu akan sangat menyakitkan dan kontra produktif.        

    UMBRA sendiri tidak menerapkan kebijakan khusus "pro perempuan" semisal affirmative action. Jadi fakta bahwa saat ini pengacara perempuan mewakili 64% dari total 50 lawyer di UMBRA dan 37,5% di level Senior Partner bukan hasil dari suatu kebijakan khusus yang meminta porsi perempuan ditambahkan dalam jumlah karyawan kantor. Sebagaimana saya sampaikan dalam tulisan-tulisan saya, sebagai penganut kesetaraan garis keras, saya justru tidak mau ada pemberian perlakuan spesial atas dasar gender (selain karena isu biologis semisal hanya perempuan yang sejauh ini bisa hamil dan oleh karenanya wajar diberikan cuti melahirkan). No wonder people consider me as the most unromantic guy, haha.

    Isunya sedari awal memang bukan memberikan kesempatan tambahan kepada perempuan untuk dipekerjakan, tetapi bagaimana kita bisa memberikan edukasi kepada semua pemangku kepentingan yang relevan dengan si calon pengacara (termasuk orang tua, pasangan, dan handai taulan) bahwa seharusnya perempuan tidak dibebani tambahan tanggung jawab untuk mengurus isu-isu domestik yang seakan-akan secara alamiah menjadi bagian dari pekerjaan mereka. Penambahan beban ini yang kemudian sering kali menyebabkan perempuan harus memilih antara karir dan keluarga karena setelah secara ajaib tugas-tugas tersebut dianggap sebagai tugas perempuan, pengerjaan tugas-tugas tersebut oleh kaum lelaki dianggap semacam tindakan yang tidak sesuai dari garis kodrat lelaki (karena memang kalau mau bikin teori absud itu jangan setengah-setengah, harus tekan gas sekencang-kencangnya). Ini bahkan kita baru bicara soal pembagian peran saja, belum lagi stigma-stigma lainnya terkait kepemimpinan dan sifat psikologis perempuan yang akan jadi bahasan di lain waktu. 

    Terkait pembagian peran, selama pemangku kepentingan lainnya tidak secara aktif mendukung peranan perempuan yang lebih fleksibel, menambah porsi keterlibatan perempuan dalam bisnis akan menjadi kesia-sian. Mengapa? Karena terlepas dari promosi yang diberikan kepada mereka, selama beban tambahan di rumah terus ada, perempuan akan terus terpaksa untuk memilih dan belum tentu mereka akan memilih karirnya. Kalau demikian, untuk apa mereka dipromosikan di awal? Justru makin sedikit insentif bagi kantor hukum untuk mempromosikan perempuan karena adanya resiko tinggi dalam memberikan promosi kepada orang yang kemungkinan tidak akan meneruskan keberlangsungan institusi. Oleh karena itu, seperti layaknya kunci berdansa Tango yang indah atau membangun bisnis yang sukses, keberadaan partner yang kolaboratif mutlak ada, tidak bisa dilakukan sendirian.

    Yang mungkin tidak terpikirkan juga oleh penganut pembagian fungsi lelaki dan perempuan adalah bagaimana efek klaim pembagian yang kaku itu berdampak terhadap pilihan hidup kaum perempuan. Contoh di Korea Selatan dan Jepang misalnya ketika tingkat perkawinan dan kelahiran anak terus mengalami tren yang menurun. Yang namanya manusia memang sulit buat dipaksa terus menerus, jadi ketika perempuan tidak bisa melihat lagi fungsi dari pernikahan selain cuma nambah-nambahin kerjaan dia, apa insentif dia untuk masuk ke dalam institusi itu dan mengorbankan karirnya? Ini soal trade-off yang rasional. Pernikahan tentu ada manfaatnya, tetapi juga tidak kalah banyak biaya dan permasalahannya. Ini yang seharusnya juga dipertimbangkan sebelum memaksakan pembagian tugas tersebut dalam hubungan pernikahan atau hubungan-hubungan lainnya yang memerlukan pasangan untuk tinggal bersama. Ada aksi, tentu ada reaksi. Lebih rincinya sudah saya diskusikan di artikel lama saya yang bisa diakses di awal artikel ini. 

    Nah, kembali lagi ke soal edukasi pemangku kepentingan, minimal yang bisa saya sampaikan adalah praktek yang saya jalankan sendiri. Berhubung saya tidak sepakat dengan pembagian tugas domestik, dengan sendirinya, otak saya tidak bisa mengkotak-kotakkan tugas-tugas mana saja yang cocoknya dikerjakan perempuan atau oleh lelaki. Misalnya saya suka mengurus urusan administratif (which is why I act as the Managing Partner) dan memasak. Ya ketika di rumah, saya yang mengerjakan itu semua. Apakah dengan demikian saya tidak lagi menjadi laki-laki atau kelaki-lakian saya berkurang karena mengurusi hal-hal printilan? I dare anyone to make such claim against me. Prinsip saya gampang, serahkan tugas pada orang yang paling efisien untuk mengerjakan tugas itu. Dan karena waktu mahal, apabila ada orang lain yang bisa mengerjakan tugas itu dengan lebih baik dan dengan biaya yang bersaing, ya kasih ke orang itu. Sederhana toh? Ini bukan cuma buat bisnis, tapi juga urusan di rumah. 

    Tentu saja sebagai orang yang berkecimpung dalam hukum Islam, saya hafal semua dalil-dalil yang bisa dipakai untuk memosisikan saya (sebagai lelaki) untuk mendapatkan privilese tambahan, macam mengklaim berhak jadi pemimpin bagi wanita, atau lebih tinggi derajatnya sebagai suami, atau bisa minta jatah hubungan seksual setiap saat dari istri. Tapi seumur-umur saya tidak pernah menggunakan dalil itu dan alasannya sederhana (saya tidak akan membahas interpretasi dan dalil hukumnya dalam artikel ini, karena saya memang tidak sedang menulis soal aspek hukum), harga diri pribadi! Masa untuk menunjukkan bahwa saya lebih superior dari orang lain, saya harus minjam dalil yang sumbernya tidak intrinsik dari diri saya sendiri? Obviously, I want to demonstrate that I am superior against anyone else, but for the love of God, that should be established based on my own personal quality and nothing else

    Isu harga diri buat saya sebagai lelaki bukan level remeh temeh macam ketika saya menggunakan payung warna pink di Depok jaman kuliah dulu. Buat saya isunya segampang: suhunya panas banget, saya ga tahan panas (itulah mengapa saya suka banget musim dingin yang brutal di Chicago, walau kelahiran tropis, saya gagal jadi anak tropis), saya masih harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki (maklum, mahasiswa miskin), dan payung yang tersedia cuma ada yang warna pink. Persetan dengan persepsi terkait korelasi warna pink dan laki-laki atau ide bahwa lelaki seharusnya tahan panas dan ga boleh pakai payung.  

    Isu harga diri saya bahkan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan gender saya, melainkan bersumber dari apakah saya bisa meyakini tanpa ada keraguan bahwa saya sudah mencapai kualitas yang saya inginkan dalam melakukan hal-hal yang saya putuskan sendiri sebagai keahlian saya. Dan menentukan hal-hal yang menjadi keahlian kita akan sangat bergantung dengan pilihan hidup masing-masing. Bebas.

    Aspek berikutnya di kantor yang saya jalankan terkait isu kesetaraan gender adalah kita tidak memasukkan potensi pengacara perempuan untuk suatu hari nanti berhenti bekerja karena urusan keluarga sebagai basis untuk menentukan apakah kita akan mempekerjakan yang bersangkutan atau tidak. Resiko itu selalu ada, tapi kita bertaruh dengan pemberian edukasi sebagaimana saya sampaikan di atas. Karena memang manusia ga bisa dipaksa. Tidak semua orang bisa menerima bahwa pembagian tugas itu hanyalah konstruksi sosial yang bisa jadi pernah efisien di masanya, tapi tidak lagi relevan di masa kini. Yang bisa kita lakukan adalah memfasilitasi supaya kesempatan perempuan tidak lantas berkurang untuk berkarir dan di sisi lainnya, karena tidak ada affirmative action, tidak perlu pusing menganalisis perkembangan karir masing-masing pengacara selain dari kualitas intrinsik mereka sebagai legal experts and rainmaker

    Terakhir, situasi pandemi ini menunjukkan bahwa peluang untuk bekerja secara fleksibel itu sangat memungkinkan (ini juga saya bahas dalam artikel untuk menyambut tahun baru 2021). Dan fakta ini seharusnya bisa memudahkan pilihan karir perempuan (dan sebenarnya juga lelaki, karena berpikir bahwa cuma perempuan saja yang ingin menghabiskan waktu di rumah adalah bentuk sesat pikir dan diskriminasi bagi kaum lelaki). Alih-alih harus mengorbankan salah satu, opsi kerja fleksibel yang bebas dari keterbatasan ruang memungkinkan setiap orang untuk menjalankan peran ganda di rumah dan di luar rumah. Artinya, kemampuan manajemen waktu supaya orang bisa makin produktif di mana pun mereka berada akan makin menjadi krusial. 

    Perlu diingat bahwa kemajuan teknologi tidak menafikan kebutuhan dukungan dari semua pemangku kepentingan. Edukasi ini perlu terus menerus diulang-ulang dan disosialisasikan. Kalau belum punya pasangan, baiknya bertanya soal pilihan masa depan. Dengan situasi persaingan yang makin tinggi, konsepsi pembagian tugas lelaki dan perempuan yang digaungkan dalam Undang-Undang Perkawinan akan makin usang. Realitasnya, apa masih memungkinkan bagi kebanyakan pasangan untuk mengandalkan hanya satu sumber penghasilan? Data empirisnya masih perlu digali lebih jauh, tapi saya sangsi tren single income family bisa bertahan untuk masa depan (kecuali salah satu pasangan kita masuk kategori wong sugih, kalau sobat misqueen, ya sulit). 

    Bagaimana dengan industri hukum sendiri? Bisnis harus terus selalu berkembang dan karena bisnis hukum adalah bisnis orang, membatasi pool kandidat berbasis gender adalah tindakan yang culun. Talenta bisa datang dari mana saja dan adalah pilihan yang rasional untuk membuka keran supply sebesar-besarnya untuk dapat mencari penerus-penerus institusi selanjutnya. Masalah bagaimana kita mendidik mereka dan memastikan mereka akan jadi penerus yang mumpuni adalah tantangan selanjutnya.

    So, congratulations again to Melati and Poppy, a pleasure to welcome you both at the senior partnership table. Cheers to all the female lawyers!     

  • On Finding a Successor


    I recently found another gem of a slice-of-life manga titled Sota's Knife (Souta no Houchou) and boy, what a page turner! The manga tells the story of Sota Kitaoka, a young man from Hokkaido, that pursues the art of classical Japanese cuisines at Ginza Tomikyu, a ryotei that is known as one of the best traditional restaurants in Tokyo (all are fictional in case you are wondering). The relationship between Sota and Kyugoro Tomita (his Oyakata a.k.a boss/owner chef/master), his colleagues (including his love interest, Tomita's daughter), his growth from a kitchen helper to the top level, his dream of opening his own restaurant versus continuing the legacy of his boss, the hyper competitive environment of restaurants in Tokyo, and the passion and dedication of a true Shokunin shown throughout the series, are simply beautiful and full of emotions. Not only that they remind me of all the restaurants and chefs in Japan that I love so much (and sadly I could not visit until God knows when), but also the journey of my own career and what I look forward to for my future.

  • Plt Pimpinan KPK dan Hak Pembelaan Hukum oleh Advokat


    Akhirnya Presiden Jokowi memutuskan untuk menunjuk 3 pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK melalui Perpu guna menggantikan Busyro Muqoddas yang habis masa jabatannya dan Bambang Widjojanto dan Abraham Samad yang kini telah berstatus tersangka. Patut disayangkan sampai detik ini baik Bambang Widjojanto maupun Abraham Samad belum juga mau mengajukan praperadilan atas penetapan mereka sebagai tersangka. Walaupun kita semua bisa berasumsi bahwa ini semua hanya rekayasa dan bentuk kriminalisasi yang keji, nyatanya, status tersangka tersebut sudah melekat secara hukum dan tidak akan hilang begitu saja kalau cuma dibalas dengan koar-koar di media atau jalanan.

    Saya juga menyayangkan tindakan penetapan Perpu Plt Pimpinan KPK oleh Presiden. Selain sosialisasinya tak jelas, fungsi Perpu juga makin kacau kalau sedikit-sedikit negara dinyatakan berada dalam keadaan darurat. Apalagi ketika masih ada jalan lain seperti mekanisme praperadilan yang sudah digunakan oleh Budi Gunawan. Terakhir saya baca di berita ini, pengajuan kasasi oleh KPK sudah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ini berarti fungsi praperadilan masih sangat terbuka untuk digunakan dan karena waktunya singkat (hanya seminggu) kenapa tidak menunggu sampai permohonannya dimasukkan saja? Kita lihat apakah nantinya DPR akan menerima Perpu ini atau menolaknya.

    Terlepas dari keabsahan Perpu tersebut, saya tertarik dengan pernyataan sikap dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengenai pengangkatan Indrianto Seno Adji sebagai salah satu Plt pimpinan KPK. Dalam pernyataan sikap tersebut, Indrianto dianggap tidak layak menjabat karena komitmennya terhadap pemberantasan korupsi diragukan dan rawan konflik kepentingan. Hal tersebut dikarenakan Indrianto sering sekali mewakili tersangka kejahatan korupsi, HAM dan industri ekstraktif, dan bahkan pernah mewakili Suharto dan keluarganya. Selain itu, Indrianto juga pernah menjadi saksi ahli dalam perkara pengujian UU KPK terkait pengurangan wewenang KPK sehingga dapat melemahkan KPK.

    Walaupun alasan-alasan tersebut tampaknya logis, ada beberapa hal yang penting untuk diluruskan. Mengapa seorang advokat yang membela tersangka korupsi dan berbagai kejahatan lainnya otomatis dianggap tak layak memimpin KPK? Apa hubungannya antara membela tersangka korupsi dengan kelemahan dalam komitmen pemberantasan korupsi? Mungkin inilah salah satu sesat pikir yang paling berbahaya di masa kini, bahwa seakan-akan seorang tersangka sudah pasti merupakan pelaku kejahatan dan pembelanya juga pasti sama jahatnya. Logikanya, kalau anti korupsi harusnya tak bersedia untuk membela tersangka korupsi. Ini logika yang absurd.

    Kita ambil dasar hukum yang paling sederhana dulu. Berdasarkan Pasal 56 KUHAP, setiap tersangka yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara minimal 15 tahun, atau apabila yang bersangkutan tidak mampu dan diancam dengan pidana penjara minimal 5 tahun, wajib didampingi oleh penasihat hukum. Jadi jelas bahwa ini merupakan hak dari setiap tersangka, apalagi ancaman penjara untuk kejahatan korupsi umumnya memang di atas 15 tahun. Kemudian Pasal 8 Ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa setiap tersangka wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan menyatakan kesalahannya.

    Tak peduli apapun dakwaannya, dari mulai mencuri ayam sampai mencuri harta negara melalui korupsi, hak tersangka untuk dianggap tak bersalah dan mendapatkan konsultan hukum adalah hak yang berlaku absolut dan wajar untuk diberlakukan secara mutlak. Bukan apa-apa, anda yakin kita bisa mempercayakan tersangka kepada para penyidik dengan kewenangan yang begitu perkasa di KUHAP? Dengan pola pikir masyarakat kita yang gila pidana, saya kagum penyusun undang-undang tidak "lupa" memasukkan Pasal 56 KUHAP. Saya sudah tegaskan berkali-kali dalam artikel-artikel saya bahwa kita butuh mekanisme check and balances dalam sistem penegakan hukum. Masa hal seperti ini saja tak bisa paham juga?

    Bagaimana kalau ternyata tersangka memang tak bersalah, atau kasusnya hanya rekayasa. Apakah setiap orang tahu bagaimana cara menghadapi rimba hukum yang tak mudah dilalui oleh orang awam? Bagaimana kalau anda sendiri yang menjadi tersangka dan kemudian tak ada satupun yang mau membela anda semata-mata karena anda sudah dicap menjadi penjahat? Kalau anda sendiri saja pasti ingin dibela, kenapa anda meributkan hak orang lain untuk dibela? Apalagi kalau yang membayar pembelaan orang lain itu bahkan bukan anda sendiri.     

    Sebagai advokat, saya memang tak pernah mewakili kasus korupsi dan kejahatan lainnya. Keahlian saya bukan di situ dan bisa jadi saya tak akan pernah mewakili kasus demikian. Tetapi menuduh rekan saya sebagai pro koruptor karena membela tersangka korupsi? Apa kemudian pembela tersangka pembunuhan dan pencurian adalah pembela pembunuh dan pencuri? Jangan pakai standar seenak perutnya saja! Lain perkara kalau si advokat kemudian melanggar hukum dalam proses pembelaannya, seperti misalnya memalsukan barang bukti, menyuap hakim, dan sebagainya. Hal tersebut tak layak dilakukan dan kalau sampai ketahuan jelas harus dihukum. Kalau dia hanya menjalankan pekerjaannya sehari-hari sesuai dengan kapasitasnya secara profesional? Masa disalahkan atau dicap buruk? Tidak masuk akal.

    Saya ingat beberapa waktu lalu bahkan pernah ada gagasan agar pengacara tersangka korupsi diminta untuk melaporkan kliennya sendiri kalau menerima uang hasil korupsi. Ini gagasan yang konyol. Selain merusak sistem kerahasiaan antara pengacara dan kliennya, gagasan itu juga sama saja dengan pemaksaan secara terselubung kepada tersangka untuk melakukan pengakuan atas tindak kejahatan dan tentunya sangat rentan disalahgunakan. Bahkan dengan sistem seperti itu, tidak perlu bersusah payah menjalani proses pemeriksaan di pengadilan. Semua orang bisa ditangkap dan dijatuhi hukuman dengan modal pengakuan belaka atau pengkhianatan dari pengacaranya.

    Anda boleh tidak percaya atau merasa ini tidak adil, tetapi kerahasiaan antara pengacara dan kliennya adalah modal utama agar sistem peradilan kita bisa berjalan. Kalau pembelanya sendiri tak bisa dipercaya, kepada siapa lagi seorang tersangka bisa bertumpu? Jangan menggunakan kaca mata kuda dan berpikir bahwa hak ini bisa dikesampingkan semudah itu. Fakta bahwa kita tidak suka dengan kejahatan korupsi bukan berarti kita tidak peduli implikasi dari pengesampingan hak tersebut bagi kejahatan lainnya. Inilah pentingnya untuk selalu mengingat bahwa tersangka tidak sama dengan pelaku kejahatan. Tulisan saya soal kerahasiaan dan masalah penerimaan uang korupsi bisa dilihat di sini dan di sini.

    Bagaimana dengan isu konflik kepentingan? Apakah Indrianto bisa dikenakan isu ini? Bergantung apakah saat ini dia sedang aktif mewakili klien dalam kasus yang sedang diperiksa oleh KPK. Apabila ada kasus demikian, jelas dia akan memiliki konflik kepentingan dan dia tidak bisa lagi mewakili kliennya. Tetapi apabila saat ini tidak ada kasus tersebut, saya ragu ada alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa Indrianto mengalami konflik. Pertanyaan yang lebih penting adalah apakah tidak ada calon lain yang lebih baik dari Indrianto? Apa boleh buat, dengan sistem Perpu yang tidak transparan, kita tidak bisa berharap banyak. Namun tidak berarti kita bisa serta merta mendiskreditkan Indrianto karena pelaksanaan profesinya di masa lalu, khususnya kalau tak ada bukti bahwa ia pernah melakukan pelanggaran pidana terkait pelaksanaan profesinya tersebut.

    Mungkin sampai tahap ini, masih ada yang berpikir bahwa saya mengada-ngada dan sedang membela seorang pembela koruptor. Buktinya sudah sejelas matahari terik di siang hari tak berawan kalau orang-orang yang dibela oleh Indrianto adalah sebenar-benarnya penjahat sehingga dari awal mereka semua tak layak dibela. Kalau mereka tak layak mendapat pembelaan hukum karena anda sudah yakin mereka bersalah berdasarkan media, gosip, dan informasi lainnya, untuk apa ada sistem peradilan sedari awal? Apa asas praduga tak bersalah itu memang cuma ide klise tak bermakna? Anda percaya bahwa pengadilan rakyat adalah pengadilan yang paling benar di muka bumi ini karena dipenuhi dengan orang-orang yang pasti terpelajar, bersih dan independen? Tahu dari mana? Saya bergidik membayangkannya.   

    Lalu selanjutnya bagaimana dengan nasib KPK? Kalau memang tak puas dengan Plt saat ini, langkah terbaik adalah secepatnya menuntaskan isu status tersangka Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Pilihan taktisnya adalah melakukan praperadilan. Buka faktanya di persidangan dan tuntut hakim untuk memberikan pertimbangan yang memadai dan rasional sehingga kita bisa menilai dengan sungguh-sungguh apakah memang perkara tersebut adalah rekayasa atau bukan. Kalau memang rekayasa, selain bisa membersihkan nama BW dan AS, kita juga bisa menciptakan preseden yang lebih kuat untuk perlindungan hak tersangka. Dan kalaupun misalnya nanti kita temui bahwa ternyata mereka tidak diperlakukan dengan adil, kekuatan masyarakat untuk menolak hasilnya juga akan lebih dahsyat karena sudah memiliki bukti yang lebih kuat dibandingkan dengan situasi sekarang yang simpang siur. Jadi tunggu apa lagi? 
  • Corruption Money and Lawyers Fee


    Recently, I saw an interesting question on Twitter: Are lawyers allowed to receive payments from corruption money? My answer is yes, and there is a good reason for that.

    Based on my personal observation, it seems that there is a belief by the public that lawyers should not represent suspects of corruption cases, and should therefore not receive their money, since it might be tainted with the corruption itself.

    I find this argument to be ridiculous. First of all, under the prevailing laws, if you conduct a transaction with a third party, provided that you act in good faith, there is no need for you to know where the money is coming from.

    From an economics point of view, it is an efficient rule. Imagine the costs to society if we need to know the source of income of all parties that transact with us. This kind of know-your-customer rule is generally applicable only for banking and securities transactions, where the potential of money laundering is high; but this rule should not be applied to the general public transactions.

    Second, every criminal suspect has the right to be represented by a lawyer, whatever his criminal activities are, be it murder, rape, thievery, or corruption. Hating corruptors does not mean that lawyers cannot represent them or receive their money for payment of their service.

    In one of my previous articles, I argued that lawyers have an absolute duty of confidentiality in assisting their clients. This means that the lawyer is prohibited from ever betraying his client, or jeopardizing the interest of his clients in any way. It is the only way to ensure that all criminal suspects will have the same position in front of the law to prevent abuse of power by legal enforcers.

    By imposing such duty, even when the lawyer knows that his client is guilty, it does not mean that he can suddenly report his client to the relevant authorities. Once he represents the client, the duty must be applied at all times. It also means that when the lawyer receives the money and knows it’s coming from corruption, the lawyer should not be required to report the source of such payment to any authority, simply because that will defeat the entire purpose of client-attorney confidentiality.

    At this point, readers might voice their protest over the above rule. How could we let corruption suspects use their money lavishly for paying their lawyers, which can also be used as a cheap tactic for money laundering. Don’t give up hope yet. There are many things that we can do to prevent such a thing from happening.

    While the lawyers are not required to report the source of their payments, the authorities can always require them to report the amount of their fee. Doing so will allow the authorities to determine whether the payment is reasonable or whether it is being used for something suspicious. If it is used for a money laundering purposes, we can expect that the amount will be excessive. Furthermore, in the end, such money will still need to be returned to the corruption suspects. Of course, the authorities may interfere during the process of returning the money.

    It is true that the lawyers are entitled to receive payment for their services, but it does not mean that they may assist their clients in another type of crime. At that point, we can impose liabilities upon the lawyers for abetting money laundering. This will provide less incentives for them to assist their clients in doing so, and the clients will also have less incentives to use the lawyers service for money laundering purposes.

    As a result, we can expect that the payment made by the corruption suspects will only represent the lawyers fee. After all, if the lawyers cannot find a way to transfer the money back, the corruption suspects will never transfer an excessive amount of money to their lawyers in the first place.

    I think this is a win-win solution for all parties to ensure that lawyers can represent their clients properly and protect the integrity of the criminal justice system, while also preventing abuse of the lawyer’s position to help the corruption suspects in securing their corruption assets.

    In law and economics terms, we call this as a pareto efficient rule where we can maximize the welfare of the society without having to impose costs to other parties. And in my opinion, we should always strive for achieving that efficiency if we really care about society.
  • On The Future of Lawyering


    Here is a rather gloomy article on the future of lawyering. I would say that while some US and UK law firms might face serious problems, the same thing is not happening in Indonesia, or rather, not happening yet. Will it someday happen? Might be, but I doubt that it will be soon.

    The main issues raised in this article are among others: globalization (i.e. legal outsourcing), super expensive bills, and technology innovation that might reduce lawyers' administrative work. Compared to Indonesia, all of these issues are not relevant.

    There is no incentive in Indonesia to do a legal outsourcing, especially to India, simply because the costs might be very similar. Expensive bills might be a case, but for most of foreign and local clients, Indonesian firm bills are still cheaper compared to international law firms (in terms of sophisticated projects) and surely Indonesian firms have a better understanding about Indonesian law in any case. Technological innovation? Yes it will help lawyer's job. But can it replace the lawyers? I really doubt it. It would be foolish to think that technology will replace lawyers completely or reduce their existence significantly in the future.

    In my opinion, the legal market in Indonesia is strong. There are still a lot of works to do and there are also many types of clients and law firms. In this case, specialization is very important, either you want to focus on administrative tasks or chase the bigger fish and work on sophisticated transactions. In fact, even simple transactions need the expertise of lawyers. I've seen too many examples of poorly drafted contracts which will open an endless debate between the parties whenever their relationship goes sour, and yet, the transactions are not even that complicated.

    One thing to remember though, while Indonesian lawyers might enjoy the current strong legal market, we should always remember that business always evolves. In the end the practice of lawyers will need to go with the applicable market practice and law firms must always be ready for such changes. As the law has evolved for thousands of years, lawyers should also do the same. That's why it is important to build an institution, a firm that will live on even when all of its founding partners have died or left the firm, a firm that can produce the next generation that will maintain the stability of the firm, generate new clients and income, and adapt to the ever changing world. Can Indonesian lawyers do this? Time will tell.
  • Studying Costs at US Law Schools: A Little Comparison with Indonesia


    I've just found this rather gloomy article accusing that some US law schools (mostly third and fourth tiers law schools) were tricking people to think that the super expensive tuition fee of those law schools is a good investment for their future, since in reality, many new law graduates later find out that they are succumbed to excessive amount of debt without any proper job to support the repayment. A pity indeed!

    Based on the data provided in this site and my own personal research, the general annual cost for studying at a US private university law school, whether it is a top tier or low tier one, is around US$65,000-US$70,000 (meaning that a law student needs to spend around US$200,000 to finish a 3 years JD course!). The cost can be cheaper though if it is a public university, but still, it's expensive from any point of view. If you are interested, you can see the data of various US law schools ranking here.

    With such huge amount of tuition fee and living expenses, no wonder law graduates are expecting to find a decent job that can help them to repay the loan as soon as possible. But, with a decline market for lawyers and the economic recession in the US (somehow the case is still the same for 2011), finding jobs are getting harder and harder for law graduates, and the situation is far worse for low tier graduates. Now, what surprises me is the fact that there are many people in the US who actually think that being enrolled in low ranked law schools can actually give them some advantages in competing with top tier graduates, especially when the tuition fees' discrepancy is relatively small. Are these people overestimated themselves, or are they simply the victims of an organized scam by law schools? Time will tell.

    If you ask me, I am more interested to know why US law schools are very expensive and whether the same will someday happen in Indonesia. As a comparison, the total tuition fee of my law education for 3.5 years (2001-2005) at the University of Indonesia, an Indonesian public university, is only US$980 (with an exchange rate of US$1 = Rp9,000). Try to compare this with the current annual tuition fee of the University of Washington School of Law, a public university in the US, which reaches US$22,267 for residents and US$32,777 for non-residents. I know that University of Indonesia's tuition fee has increased significantly for the last few years, but I am certain that the total amount is far cheaper than its counterparts in the US.

    Another interesting question, does the overall quality of top tier US law schools justify the expensive tuition fee? Hopefully yes, since I'll be going to one of them in September. Wish me luck :p
  • Remembering Joe Flom


    A little bit late but still important to be shared in this blog. Joe Flom, the last founding partner of Skadden, Arps, Slate, Meagher and Flom, one of the biggest law firms in the world in terms of size and revenues, passed away on 23 February 2011. Now, every aspiring corporate lawyer should know this guy as he is simply a legend among corporate lawyers, especially those who focus their practice in merger & acquisitions. You can check his profile here or read a beautifully crafted obituary about him from one of his fellow partners, Peter Atkins, here. Goodbye Mr. Flom, I am sure your legacy will continue to live for a very long time. Rest in peace.
  • Tweet Series: My Rants on Lawyering


    I've been twittering for some time and realized that Twitter is a really bad choice for storing your thoughts. So, in order to preserve some of my ideas there, I will post my tweets collection from time to time here, starting with my Lawyering Tweet Series. Enjoy :)
    1. As a lawyer, you can be as smart as possible, but if you can't get the deal done, you're useless. As simple as that.
    2. A partner said that lawyers should have high sense of client belonging. Well, if I get the client credit, I'll treat them as family!
    3. To move to the next level, lawyers should never forget to do good marketing, since partnerships are offered to rain makers.
    4. So we're having a session on being a Happy, Healthy and Ethical Lawyer. I tell you one thing. Stop the crap, and pay us more. Case closed.
    5. Lawyers will never get a balanced life from some trainings, but from proper work distribution and efficient working system.
    6. If you're a good lawyer, client will trust you no matter what. Appearance sure helps, but only for the first meeting.
    7. Any good lawyer knows that the purpose of contract drafting is to reduce or even eliminate any potential dispute, not to create one.
    8. It is a tragedy that qualified lawyers who understand the law must work under laws made by unqualified people.
    9. What is the joy of becoming the best lawyer in town if you are merely a spokesperson of some bad and stupid laws?
    10. A lawyer who can't write properly is like a chef who can't cook.
    11. Being a lawyer requires great intelligence, persistence, and diligence, but none of them would be helpful if you don't have the passion.
    12. Quality of life is a bullshit for lawyers. If you're complaining of not having it, you definitely work in the wrong area.
    13. A lawyer cannot be considered as smart if he cannot produce other smart lawyers.
    14. A lawyer who doesn't know that his job is risky is a dumb, but he is still better than a lawyer who knows the risk and doesn't take it seriously.
    15. What is the first thing to do when a lawyer receives a new assignment? Review it? Make a summary? Nope, request the client matter number!!!
    16. Commercial pragmatists are the future of lawyers: those who can blend smoothly in-depth legal knowledge with practical commercial skills.
    17. To know whether a lawyer is good in making a legal opinion, look not at the content, but on its assumption and qualification.
    18. A little advice to fellow lawyers, never assume that your clients know your assumptions. Assumptions were made to be written not assumed.
    19. As capital market lawyers, our main task is to make proper public disclosure, not fixing all problems. You're not God.
    20. Fellow lawyers, remember this: someday all of our extreme hardship and long hours shall become stories for us to laugh. Be patient!
    21. A first class lawyer is not he who knows everything but he who knows when to stop and say "let me check that again."
    22. Lawyers should be ambitious with their career. Without any ambition, you'll soon forget why you're here in the first place.
    23. Lawyers' dedication comes from belief in excellence. But it must be supported by good rewards. We're not monkeys that you can pay with peanuts.
    24. To be a great lawyer, focus and be an expert in at least 1 particular subject. Being a jack of all trades is only good if you're a clown.
    25. A lawyer needs to maintain his sanity to have a long term career. At certain point, take a nice break and enjoy our life for a while.
    26. For lawyers, clients should always be number one, but don't be naive and make unnecessary sacrifices cause they aren't everything.
    27. A lawyer should master the art of covering-my-own-ass before he can master the art of giving-the-right-solution.
    28. It perfectly makes sense for lawyers to complain on their job. What unusual is the people who think that those lawyers are exaggerating.
    29. In case you have not realized it, there is a limit to which a lawyer can be held responsible for his deeds.
    30. Lawyers are paid to give advices that can be understood by mere mortals. If your lawyer confuses you, you definitely pick the wrong one.
    31. A good lawyer would never choose to advance slowly in his career, as he will always aim for a great leap to fame and fortune. Be ambitious!
    32. Lawyers are problem solver. If you think you're good only for succesfully spotting issues, you're still a half baked lawyer.
    33. Three basic foundations of a law firm: Capital, People, and Reputation. Losing the latter would have the most devastating impact.
    34. A good lawyer knows that the first draft is always a rubbish. It is through continous review and amendment that we produce a masterpiece.
    35. Lawyers' creativity is not granted, it is obtained from countless practices and accumulation of knowledge. There is no short cut!
    36. A good lawyer must be knowledgeable and well versed in many issues, but he understand that it doesn't mean that he knows everything.
    37. A partner might be the most brilliant lawyer in the world, but he is still one person. Without having a solid team, he will certainly fail.
    38. What's the secret of creating the best firm? Recruiting the best people and maintaining them with the best incentives.
    39. I don't care where you come from or your past achievements. What I care is whether you are a good lawyer or not, now and in the future.
    40. For lawyers, the respect from one person is far more valuable than acquaintance with 100 people. Cause the first will be your loyal client.
    41. You work products reflect who you are. While there is always a chance to fix them, why not give a great impression from the first?
    42. Lawyers, your transactions are your portfolios. Make sure that they and your role in them are well recognized by existing and future clients.
    43. A lawyer can't progress to the next level if he can't articulate his ideas in a systematic way.
    44. Lawyers are advisor not decision maker. Our job is to give our best advice and let the client to decide. As simple as that.
    45. What is the biggest asset of a lawyer? A genius mind? Relationship mastery? No! Reputation. Hard to build, easy to lose.
    46. A commercial pragmatist lawyer will try to satisfy the client's commercial needs to the extent possible without breaching the law.
    47. The best part of becoming a lawyer is the fact that the subject of law is pretty much unlimited, there are always new things to learn.
    48. As a lawyer, if we can't do what the client wants, inform them immediately and make them understand. Don't sacrifice the relationship.
    49. In lawyers' job, there is no bullet proof mechanism from making mistakes. Thus, be creative in preparing your ass covering strategy.
    50. Knowing the fee structure of each assignment is essential for lawyers, so they can bill their work efficiently and appropriately.
    51. A lawyer should plan his career from the first day he entered the job. After all, the ending path is always visible, what matters is how?
    52. A good lawyer should know his limit. If you feel you can't handle the workload anymore, do not hesitate to shout it to your boss.
    53. If you're a lawyer, you'll eventually learn that in terms of acquiring knowledge, the sky is the limit.
    54. Clients confidentiality must be maintained by lawyers. If you can't be trusted with their secrets, how can you be trusted for other things?
    55. Actually, lawyers should be prioritized in obtaining scholarship, because a good lawyer is essentially a better legal scholar.
    56. I learn that in term of quality, there is no significant difference between us and foreign lawyers. It's about the correct exposure.
    57. A law firm's opinion must be unanimous, thus no lawyers in such firm can issue a dissenting opinion. I too am obliged to follow that rule.
    58. For some lawyers, lawyering is a way to earn living, but for some others, lawyering is a way of life. I am for the latter.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.