• Ilusi Pemimpin Tegas


    Kemarin, saya mengomentari sebuah artikel dari salah satu pendukung Prabowo yang berargumen bahwa Prabowo adalah pemimpin yang dibutuhkan oleh Indonesia. Artikel lengkapnya, dan juga tanggapan saya terhadap artikel tersebut dalam bahasa Inggris bisa dibaca di situs ini. Artikel tersebut menginspirasi saya untuk menulis tentang satu isu yang nampaknya sedang laku keras di Indonesia, kebutuhan akan adanya pemimpin yang tegas. Mungkin sebagai antitesis dari gaya kepemimpinan SBY saat ini yang dianggap tidak bisa mengambil keputusan.

    3 ide utama yang diusung dalam artikel tersebut:
    1. Demokrasi Indonesia masih prematur, sehingga untuk menjamin adanya mekanisme akuntabilitas yang kuat dari pejabat publik dan legislator, Indonesia membutuhkan pemimpin seperti Prabowo yang akan memimpin dengan kontrol yang kuat dan tangan besi.  Menurut penulisnya, sekalipun Prabowo berasal dari orde baru dan memiliki rekam jejak yang bermasalah di bidang hak asasi manusia, hanya Prabowo yang dapat menawarkan stabilitas dan petunjuk yang dibutuhkan oleh Indonesia saat ini.
    2. Kepemimpinan Indonesia selanjutnya harus dilandaskan keyakinan/ketegasan (lead by conviction) dan bukan pembangunan konsensus. Menurut penulisnya, gaya kepemimpinan SBY yang mencoba membangun konsensus sudah gagal. 
    3. Gaya kepemimpinan Jokowi yang menunjukkan pemimpin yang bisa didekati (approachable) dan mendengarkan juga tidak cocok di Indonesia karena tidak akan bisa menghadapi pengambilan keputusan yang sulit di Indonesia. Jokowi dalam hal ini belum cocok untuk Indonesia saat ini.   
    Berikut tanggapan saya.

    Apa Sebenarnya yang Dimaksud dengan Pemimpin Tegas?

    Permasalahan utama dengan ide Prabowo sebagai pemimpin tegas adalah karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana Prabowo akan tegas memimpin kita semua, bagaimana dia akan menyelesaikan konflik antar berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang ada di Indonesia, bagaimana dia akan menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah di Indonesia. Yang selalu saya dapatkan dari pendukung Prabowo adalah bahwa dia pokoknya akan tegas dan bertangan besi dalam menghadapi semua permasalahan di atas. Artikel yang saya komentari tersebut pun juga tidak menjelaskan mekanisme apa yang akan ditempuh Prabowo.

    Tentu saja saya sangat bermasalah dengan slogan tak bermakna ini. Tegas ini maksudnya apa? Apakah seperti dalam video ini ketika Prabowo bercerita dengan berapi-api tentang kebocoran Rp1.000 trilyun dalam anggaran negara kita? Dia tampak sangat bersemangat dan juga nampak mampu menggugah semangat penontonnya dengan suara yang keras dan raut muka yang garang. Tetapi kalau saya perhatikan baik-baik selama 35 menit dia berbicara, tidak terdapat penjelasan yang memadai soal klaim adanya kebocoran dari perpajakan (360 trilyun), APBN (500 trilyun) dan subsidi energi (300 trilyun). Angkanya terdengar fantastis, tetapi sumber data tidak terlihat dengan jelas, mekanisme perhitungannya juga tidak jelas, dan lebih lucu lagi, apabila tuduhannya benar, semua isu yang dibawa dalam presentasi itu jelas menyalahkan anggota koalisinya yang merupakan bagian dari pemerintahan saat ini.  Lebih parah lagi, Prabowo menyatakan bahwa subsidi energi adalah bentuk kebocoran, tapi dalam kampanyenya saya baca sendiri dia ingin mempertahankan subsidi BBM dan pupuk. Jadi ini contoh ketegasan atau plin plan, beda forum, beda omongan?

    Saya sangat berharap bahwa definisi pemimpin tegas bukan lah sebagaimana saya sampaikan di atas, karena kalau demikian, tidak perlu Prabowo, saya pun juga sudah bisa jadi Presiden Republik Indonesia dengan modal orasi suara keras dan meyakinkan. Bahkan lebih jauh lagi, banyak khotib Sholat Jumat dengan penampilan yang lebih tegas lagi juga siap jadi Presiden. Saya nominasikan khotib reguler di Mesjid Bursa Efek Indonesia, dijamin Prabowo pun kalah soal suara menggelegar dan berapi-api.

    Lalu apa artinya pemimpin tegas versi Prabowo? Penulis artikel yang saya komentari memberikan contoh bahwa tidak ada wakil parlemen dari Gerindra yang terlibat kasus korupsi (berhubung KPK tidak mengeluarkan data per partai, saya tidak bisa verifikasi soal ini). Menurut si penulis, ini semua adalah karena Prabowo efektif memimpin Gerindra dan akan melibas setiap anggotanya yang terlibat dalam kasus korupsi (masih asumsi karena tidak ada penjelasan mengenai korelasi antara kepemimpinan Prabowo dengan ketaatan hukum anggota partai).

    Tapi asumsikanlah kalau anggota Partai Gerindra taat hukum karena tangan besi Prabowo, lalu apakah kita bisa berasumsi bahwa Prabowo akan mampu menjalankan politik tangan besi kepada semua pihak? Gerindra adalah partai politik buatan Prabowo, beberapa calonnya dibiayai oleh Prabowo (setahu saya), dan jumlah kadernya belum terlalu banyak. Wajar kalau bisa dikontrol oleh Prabowo dengan pendekatan sistem komando. Pertanyaan utamanya, apakah gaya demikian bisa dipergunakan untuk mengontrol seluruh parlemen, birokrasi pemerintahan, dan segenap bangsa Indonesia?

    Apa iya anggota partai politik lain akan manut begitu saja terhadap Prabowo? Bagaimana kalau mereka tidak setuju dengan Prabowo, mereka merasa tidak berhutang budi pada Prabowo, tidak dibayarin oleh Prabowo? Bagaimana kalau mereka merasa Prabowo mengganggu kepentingan politik mereka? Pendekatan tangan besi ala Gerindra (apabila benar demikian) adalah pendekatan  yang sifatnya sangat konfrontatif. Bisa jadi berjalan dengan baik kalau semua setuju sistem komando. Tetapi ini bukan militer. Ini dunia nyata yang isinya orang-orang sipil dengan segala keinginan dan kepentingan pribadi mereka. Bagaimana caranya menyatukan perbedaan kepentingan tersebut sehingga bisa menghasilkan hasil yang maksimal? Ini yang tidak bisa dijawab oleh Prabowo dan pendukungnya.

    Pertanyaan lebih lanjutnya, kalau pendekatan tangan besi tidak diterima oleh pihak lainnya, kelanjutannya akan seperti apa? Ini yang sebenarnya menimbulkan kekhawatiran, dan kekhawatiran itu beralasan. Kalau Prabowo melihat bahwa orang-orang tidak mau menurut pada dirinya setelah dia mencoba menggunakan pendekatan tangan besi, dia punya 2 pilihan. Satu, mencoba mencari konsensus (yang menurut penulis artikel di atas tidak cocok untuk Indonesia masa kini). Dua, menempuh metode yang lebih ekstrim, menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pilihan yang dia ambil.

    Kata beberapa pendukung Prabowo, tidak mungkin Prabowo akan mengambil Opsi 2. Saya senang kalau itu benar, tetapi lalu apa artinya slogan Prabowo adalah pemimpin yang tegas kalau ujung-ujungnya dia harus cari konsensus juga? Apa bedanya dia dengan Jokowi? Kalau dia benar-benar tegas sebagaimana selalu didengung-dengungkan, probabilitas dia mengambil Opsi 2 tentunya menjadi lebih besar.  

    Silakan baca artikel ini. Prabowo mempertanyakan konsep pemilihan langsung, konsep voting dalam demokrasi kita. Dia ingin mengadakan pertemuan besar dalam skala nasional untuk membuat "konsensus" baru. Dia menuduh sistem kita adalah cetakan Barat, dan bahwa pemilihan langsung tidak cocok dengan bangsa Indonesia. Bagaimana caranya saya tidak khawatir bahwa Prabowo memang benar-benar berencana untuk menghancurkan institusi demokrasi yang kita bangun dengan susah payah ketika dia sendiri jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya pada sistem yang kita miliki saat ini. Dan dalam konteks ini, saya sengaja memberikan tanda kutip pada kata konsensus yang digunakan oleh Prabowo, karena saya sangat mempertanyakan apa yang dia maksud dengan konsensus tersebut.

    Saya tidak terlalu heran kalau ada orang yang mendukung ketegasan dan tangan besi ala Prabowo di atas. Institusi demokrasi bagi sebagian orang memang dianggap tidak berguna dan buang-buang uang, membuka lahan korupsi yang lebih luas. Orang-orang mempermasalahkan sulitnya mengambil keputusan saat ini. Sebagai contoh: lambatnya kita dalam melakukan pembebasan tanah untuk proyek kepentingan umum. Bagi orang-orang tersebut, kenapa para pemilik tanah yang bandel itu tidak disingkirkan saja dengan cepat supaya tidak mengganggu laju pembangunan?

    Saya juga pernah berpikiran yang sama. Tahun 1998 ketika saya masih SMP, saya juga berpikiran bahwa Suharto seharusnya tidak dijatuhkan. Apa itu demokrasi yang tak jelas? Siapa pula Gus Dur, kok bisa-bisanya negara kita dipimpin oleh pemimpin yang memiliki cacat fisik yang nyata? Ini hasil demokrasi kita di tahun 1999? Tapi setelah saya belajar lebih jauh, masuk Fakultas Hukum, mendalami Law & Economics (Hukum dan Ekonomi) dan belajar Public Choice, saya sadar, pemikiran jaman SMP saya itu memang pemikiran kelas anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan saya akan sampaikan di bawah ini mengapa ilusi pemimpin tegas adalah suatu hal yang berbahaya dan faktanya juga sudah gagal karena diterapkan bertahun-tahun di Indonesia tanpa ada hasil yang signifikan.

    Kegagalan dan Ilusi Pemimpin Tegas (Kasus Indonesia)

    Permasalahan utama dengan pemimpin bertangan besi adalah karena, seperti disampaikan oleh penulis artikel yang saya tanggapi, manusia bukan malaikat (termasuk Prabowo dan saya). Karena manusia bukan malaikat yang pasti baik dan sempurna, maka kita tidak bisa percaya sepenuhnya pada manusia. Siapa yang tahu bahwa seorang pemimpin pasti akan baik untuk seterusnya, senantiasa bijak setiap saat?

    Mengapa kemudian kita perlu menciptakan institusi demokrasi dan hukum? Jawabannya sederhana, karena kita ingin menciptakan sistem check and balance. Ini bukan sekedar konsep Barat atau apapun lah itu, ini konsep yang logis dan rasional, mencegah jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang oleh satu institusi atau pemimpin kepada masyarakat karena kekuasaan yang terpusat dan tanpa tanggung jawab kepada siapapun akan mudah untuk disalahgunakan. Ingat kata-kata Lord Acton: kekuasaan cenderung koruptif, kekuasaan absolut akan koruptif secara absolut pula.

    Jangan terjebak dengan ide bahwa Lord Acton adalah orang Barat dan kata-katanya di atas hanya pepesan kosong. Saya bahkan tidak perlu bersusah payah memberikan contoh negara yang berantakan macam Mesir. Indonesia sudah punya pengalaman berpuluh-puluh tahun dengan gaya kepemimpinan tegas dan kita bisa lihat sendiri hasilnya seperti apa.

    Sukarno di tahun 1959 meruntuhkan institusi demokrasi dan hukum kita dengan membubarkan parlemen dan mengubah konstitusi kita secara ilegal. Tidak ada yang bisa melawan Sukarno karena dia didukung militer. Bahkan ketika saya membaca buku hukum tahun 1960-an pun, para Guru Besar juga tidak berani mengkritik dekrit Presiden yang jelas-jelas tidak konstitusional! Lalu apa hasil akhirnya?

    Hasil akhirnya buruk sekali. Sukarno menjadikan MPR sebagai tukang stempel kebijakan pribadinya, dia diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup. Kebijakan politik Indonesia makin konfrontatif dengan bangsa lain, kita habiskan anggaran negara untuk program-program yang tidak jelas. Inflasi 600% lebih di tahun 1965-1966 dan akhirnya Sukarno disingkirkan. Ini contoh nyata hasil pemimpin yang memimpin dengan tegas berlandaskan keyakinan pribadi. Orang lapar tidak bisa dikasih slogan dan pidato.

    Lalu kita bertemu dengan Orde Baru. Awalnya cukup sukses, kondisi negara membaik, Presiden Suharto mau mendengarkan (kata kunci: mendengarkan) penasihat ekonominya. Tapi lalu apa hasil akhirnya? Dia berkuasa terlalu lama dan berhenti mendengarkan. 32 tahun berkuasa, Indonesia harusnya lepas landas jadi negara adidaya, Singapura dan Malaysia harusnya bahkan bukan saingan kita. Namun semuanya omong kosong belaka. Di akhir pemerintahan, kita memiliki sistem demokrasi dan hukum yang lemah, birokrasi yang tidak efisien dan mental yang koruptif, krisis ekonomi, dan daya saing yang lemah.

    Bayangkan, selama 32 tahun itu, kebijakan kurang tegas bagaimana lagi? DPR/MPR hanyalah tukang stempel. Atas nama rakyat (entah rakyat yang mana) dan kepentingan umum, semua bisa dilakukan oleh Pemerintah. Tidak ada yang akan melawan karena yang melawan sudah pasti lenyap. Menelurkan suatu undang-undang semudah membalikkan telapak tangan. Biaya pemilu juga tidak besar-besar amat, toh kita semua sudah tahu siapa pemenangnya setiap 5 tahun sekali.

    Dan selama 32 tahun itu, Pemerintah dan Propinsi-Propinsi mayoritas dipimpin Jenderal (gubernur di Jakarta juga mayoritas Jenderal). Orang-orang berargumen kita butuh kembali dipimpin militer yang kuat (kasihan SBY, dia mantan Jenderal juga, tapi tidak dianggap representasi militer). Lah, selama 32 tahun itu mereka melakukan apa? Kenapa tidak ada yang melaksanakan pembangunan infrastruktur ketika semua masih gampang untuk dilakukan?

    Lihat Jakarta, tidak ada yang pernah menjalankan pembangunan MRT di masa lalu padahal orang-orang bisa memperkirakan bahwa Jakarta akan menjadi kota megapolitan dengan memperhitungkan tingkat pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia, level urbanisasi dan ketimpangan pembangunan di daerah. Kota seperti itu sudah pasti butuh sistem transportasi massal untuk mencegah kemacetan. Lebih ironis lagi, Jerman dan konsultannya sudah menawarkan program serupa sejak 1969! Tapi tidak jalan sampai baru di tahun 2013 ini akhirnya dimulai. Lalu fungsi pemimpin tegas itu apa?

    Di jaman Orde Baru, kita sudah punya yang disebut sebagai Program Pembangunan Lima Tahunan dan Program Pembangunan Jangka Panjang. Isinya bagus dan rinci. Di atas kertas, dengan program demikian, harusnya kita sudah betul-betul jadi negara adidaya setara Jepang dan Amerika Serikat. Tetapi kenapa tidak terlaksana dengan benar padahal Indonesia dipimpin oleh orang paling tegas di planet Bumi ini? Sekarang, bahkan kita tidak pantas dibandingkan dengan Jepang dan Amerika. Bandingkan saja dulu dengan Singapura dan Malaysia, bagaimana status kita?

    Kenapa Indonesia bermasalah seperti itu walaupun sudah dipimpin pemimpin tegas? Jawabannya sederhana, karena sistem check and balance tidak jalan. Tidak ada mekanisme kontrol dari masyarakat terhadap kinerja Pemerintah karena tidak ada yang berani untuk melakukan hal itu. Saya sudah sering sampaikan di blog saya bahwa manusia adalah makhluk rasional yang mengutamakan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Kalau orang jadi pemimpin yang bisa bebas melakukan apa pun termasuk memperkaya diri sendiri tanpa perlu dimintai pertanggungjawaban, jelas orang tersebut akan memiliki insentif untuk berbuat seenaknya. Maka tidak heran program-program itu cuma jadi macan kertas dan institusi kita berantakan.

    Sekarang saya tanyakan kepada orang-orang yang mengklaim bahwa kita butuh menyelamatkan Indonesia dengan pemimpin tegas. Apa yang mau diselamatkan? Bagaimana nanti si pemimpin tegas ini akan menyelamatkan kita semua? Apa jaminannya dia bisa menyelamatkan kita? Lebih penting lagi, cara dia untuk menyelamatkan kita itu akan menyelesaikan masalah atau justru menimbulkan masalah baru yang lebih berat lagi bagi kita? Bisa tidak tim Prabowo menjelaskan dengan lebih baik, lebih rinci, visi misi mereka tentang pemimpin tegas itu seperti apa. Karena kalau mengandalkan informasi yang ada sejauh ini, penjelasannya tidak memuaskan.

    Selain itu, visi adanya pemimpin tegas yang akan menyelamatkan satu negara ini mungkin lebih tepat disebut sebagai mimpi belaka. Karena dalam kenyataannya, tidak ada orang yang bisa memimpin negara ini sendirian, orang tidak bisa bertarung sendirian sehebat apapun dia karena pada akhirnya kita butuh kerja sama.

    Saya sudah sering melihat contoh pemimpin bisnis tangguh yang gagal membangun institusi dan penerus sehingga ketika dia meninggal atau pensiun, maka bisnis yang sebelumnya kuat berjalan menjadi tinggal kenangan saja. Mengapa? Karena dia tidak bisa mendidik generasi penerusnya. Mereka cuma jadi orang-orang yang tidak bisa berdiri dan berjalan sendiri, selalu menunggu untuk diberi instruksi dan akhirnya bagai anak ayam kehilangan induknya ketika si pemimpin lenyap.

    Orde Baru juga salah satu contohnya. Dulu katanya kasus intoleransi di negara kita rendah, dan kemudian baru banyak tercatat di masa reformasi. Mengapa demikian? Saya pikir bukan karena pendidikan di masa reformasi ini salah, tetapi justru karena sedari awal sikap intolerasi hanya ditekan saja keberadaannya. Kita tidak dididik dengan benar untuk bisa menerima perbedaan, menerima konsep Bhineka Tunggal Ika secara menyeluruh. Kita taat saat itu hanya karena takut bukan karena kita benar-benar percaya bahwa toleransi itu penting. Hasilnya? 32 tahun yang sia-sia karena manusia kita tidak tercerahkan. Dan anda masih percaya bahwa sistem tangan besi akan memberikan hasil yang maksimal?

    Alternatif Dari Pemimpin Tegas: Membangun Konsensus dan Ketegasan Berdasarkan Check and Balance

    Sebenarnya ada alternatif lain yang lebih tepat untuk diterapkan di negeri kita, yaitu pendekatan konsensus. Kita bukan bangsa Cina atau Jepang yang sangat homogen. Mereka tidak bisa dibandingkan dengan kita yang terdiri atas ribuan suku dan etnis dengan ragam agama dan budaya yang begitu banyak. Mau menggunakan pendekatan top down lagi? Berjalan 40 tahun lebih dan terbukti gagal. Mengapa kita justru tidak membina dan memperbaiki lagi institusi demokrasi dan hukum kita, mengedepankan pendekatan berbasis konsensus?

    Saya hampir 10 tahun menjadi corporate lawyer menangani ratusan negosiasi untuk transaksi bisnis dan berdasarkan pengalaman tersebut, pendekatan yang diperlukan ketika kita ingin menutup suatu transaksi adalah dengan jalan mencari konsensus, mencari pendekatan yang sebisa mungkin memuaskan semua pihak dan akan selalu ada proses give & take. Ini adalah bagaimana dunia aktual berjalan karena kita tidak bisa memaksakan semua keinginan kita kepada pihak lain.

    Pendekatan berbasis konsensus juga membutuhkan dialog dan dialog ini lah yang akan membuat para pihak bisa saling menyadari manfaat yang dapat diambil dari suatu keputusan, biaya keputusan itu serta kompensasi yang diharapkan. Sebagai lawyer, saya lebih memilih untuk ribut di awal ketika kita bernegosiasi dan menyusun kontrak, tetapi kemudian pada saat pelaksanaannya nanti, semua berjalan dengan baik karena semua pihak sudah tahu hak dan kewajibannya dan sudah dijaga supaya tidak mudah melenceng. Potensi konflik masa depan menurun karena sudah ada dialog. Kalau saya cuma bisa memaksa, bukan saja konflik di awal, tetapi juga akan konflik di akhir!

    Kalau Pemerintah perlu mengambil suatu keputusan demi kepentingan umum yang mungkin akan merugikan pihak tertentu, maka pendekatan berbasis konsensus lah yang harus diutamakan baru kemudian bisa diambil langkah lainnya setelah konsensus tidak dapat dicapai. Bukankah pendekatan ala musyawarah mufakat itu yang dianut dalam Sila Keempat Pancasila? Bahkan kalau kita mau bicara jujur, pendekatan ala tangan besi tidak dikenal dalam Pancasila dan UUD 1945 (beserta amandemennya), lalu mengapa kita justru memilih pendekatan tangan besi? Prabowo ini setia pada Konstitusi atau tidak sebenarnya? Jangan lupa bahwa konsep pemilu adalah amanat undang-undang dan Konstitusi!

    Selanjutnya soal ketegasan berbasis check and balance, saya ada contoh menarik. Si penulis artikel yang saya komentari di atas mengkritik kebijakan Jokowi di Jakarta ketika dia menaikkan Nilai Jual Objek Pajak atas tanah dan properti di Jakarta. Selain dituduh kebijakan populis, mekanisme yang ditawarkan kepada masyarakat yang menolak kenaikan NJOP, yaitu banding ke Pemda DKI, dinilai oleh si penulis sebagai menambah birokrasi yang tidak perlu dan menyusahkan. Saya sungguh bingung dengan contoh yang diberikan oleh penulis ini. Mengapa demikian?

    Karena justru program itu menunjukkan bahwa Jokowi tetap ingin menjalankan sistem check and balance dalam menjalankan kebijakannya yang belum tentu disetujui semua orang. Kalau kita pakai logika si penulis soal pemimpin tegas ala Prabowo, bahkan mekanisme banding itu tidak akan diperlukan seandainya Prabowo yang memutuskan untuk menaikkan NJOP. Buat apa ada mekanisme banding? Kan memimpin berdasarkan keyakinan? Saya sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa NJOP perlu naik, buat apa saya memberikan forum untuk banding, saya tidak perlu mendengarkan masukan orang lain. Ini kalau kita pakai logika si penulis.

    Lebih lanjut lagi, program itu justru bukti nyata bahwa Jokowi berani mengambil posisi yang tegas dalam pengambilan kebijakan. Saya jujur saja. saya benci pajak karena saya harus bayar mahal untuk pajak saya. Dan dalam bidang pajak, saya tidak suka dengan kebijakan Jokowi maupun Prabowo. Tetapi saya cukup yakin kalau saya perhatikan visi dan misi masing-masing Capres, Prabowo (dengan isu kebocorannya) dan Jokowi akan sama-sama meningkatkan pendapatan pajak, dan ada kemungkinan besaran pajak akan naik lagi bagi orang-orang seperti saya. Masalahnya, Jokowi tegas menyatakan dan sudah berani melakukan kebijakan yang membuat orang mungkin tidak suka dengan dia. Dan dia bersedia dikritik dan membuka ruang kepada orang yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Prabowo? Sejauh ini masih bersembunyi dibalik isu kebocoran, dan juga tidak jelas bagaimana caranya dia akan menghadapi orang yang tidak setuju. Lalu siapa sebenarnya pemimpin yang tegas itu? Jawab dengan jujur, bukan dengan retorika omong kosong.

    Contoh juga program menaikkan upah minimum di Jakarta oleh Jokowi. Diberlakukan untuk semua perusahaan di Jakarta. Ada yang menolak? Jelas sekali ada. Saya juga tidak setuju. Namun diberikan mekanisme banding serta mekanisme pengesampingan pemberlakuan kewajiban UMP kalau ternyata mereka belum siap untuk menaikkan UMP. Ini contoh pemimpin yang berani bersikap tegas menjalankan kebijakannya tetapi terbuka untuk kritik. Ini contoh ketegasan yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.  Dan ini yang perlu kita jaga di Indonesia kalau kita sungguh ingin lepas landas.

    Kesimpulan Sementara

    Saya sudah sampaikan alasan-alasan saya bahwa saya tidak tertarik dengan pemimpin bertangan besi dan bahwa dalam prakteknya, keberadaan pemimpin bertangan besi sudah gagal di Indonesia, membuka pintu yang terlalu besar bagi penyalahgunaan, dan kemungkinan besar tidak akan sukses mendidik generasi baru Indonesia yang berdikari dan siap bersaing dengan bangsa lainnya. Saya berharap sebenarnya ada orang yang bisa menjelaskan dengan lebih baik lagi soal ketegasan ini, namun sayangnya orang tersebut tidak ada.

    Oleh karenanya, dengan hanya adanya 2 calon, dan dengan memperhatikan hasil debat presiden bidang hukum dan ekonomi (yang saya tulis sebelumnya) serta konsepsi pemimpin tegas, sejauh ini dukungan saya masih tetap saya berikan kepada Jokowi. Dan saya sampaikan di sini, dengan skor 3-0 seperti ini, sudah kecil kemungkinan saya untuk memindahkan dukungan kepada Prabowo kecuali dia berani janji bahwa rate pajak turun jadi maksimal 10%. Baru lah dia pantas didukung.
  • 40 comments:

    Unknown said...

    ow..tak kirain itu penilaian seorang analis non partisan...selama masih memiliki kecenderungan dengan seseorang yg sedang berkompetisi...tulisan ini jadi kurang menarik buat pembelajaran saya...maaf ya

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Kalau orang sudah membuat perbandingan antar para capres, artinya dia perlu membuat kesimpulan. Kesimpulannya bisa memilih atau tidak memilih. Sekarang calonnya hanya ada 2. Salah satu akan jadi Presiden bagaimana pun juga. Lalu fungsinya saya netral buat apa? Mau tidak mau saya harus membuat pilihan dong?

    Terus diminta buat netral non partisan? Anda pikir saya nulis ini mau ngapain tanpa tujuan? Saya kan sudah sering bilang di sini kalau pendekatan saya pragmatis. Saya sudah buat pertimbangan dan sejauh ini, opsi memilih Jokowi masih tetap lebih unggul. Ya logikanya saya akan pilih yang menurut pertimbangan saya lebih baik lah. Ini namanya rasional dan logis. Kalau sudah tahu mau milih apa dan sudah cukup pertimbangannya kemudian masih ribut netral, namanya saya buang-buang waktu menulis ini. Ini kok bikin pernyataan ga pake mikir???

    Anonymous said...

    Haduh dik... anda ini baru calon Ph.d tp sudah merasa lebih hebat dari para professor dan pengamat politik, pengamat tata negara dan pengamat lainnya yang jelas jelas karir mereka sudah lama dan lebih berpengalaman. Memang skor debat kemaren 3 - 0 telak untuk prabowo itu bukan kata saya tapi sebagian besar pengamat pun mengatakan demikian malah ada yang bilang kalau jokowi itu seorang manager. Jadi menurut saya analisa anda masih berdasarkan kecenderungan anda karena faktor pilihan anda kepada jokowi. Jika bicara masalah fakta banyak yang sudah diberitakan oleh media (bukan kampanye hitam) seperti kebocoran penggunaan anggaran sewaktu jokowi menjabat sebagai gubernur (sumber BPK), saksi para bawahan jokowi waktu di solo maupun di jakarta bahwa kinerja jokowi hanya parsial dan lebih ke pencitraan, bahkan ahok pun meminta jokowi untuk menjadi gubernur karena dia tidak sanggup untuk melanjutkan menjadi gubernur sementara dikarenakan banyaknya kebijakan yang telah dibuat jokowi yang membingungkan sehingga ahok tidak mau disalahkan. Lalu saya juga heran kenapa jika memang dia tulus untuk memajukan bangsa dengan mencalonkan diri menjadi presiden kenapa dia tidak melepas jabatannya sekarang? dengan begitu dia bebas nyapres dan tugas gubernur pun bisa dilanjutkan oleh orang lain tidak seperti skr jadi terhambat seolah tidak mau rugi jika tidak terpilih jadi presiden ya balik lagi jd gubernur....
    Berbicara masalah kebocoran, pa prabowo berbicara masalah kebocoran secara global mana mungkin kebocoran kita lebih besar dari APBN tp jika kita hitung semua potensi yang bocor maka bisa lebih dari itu. Sebagai contoh : suatu perusahaan mempunyai pengeluaran tetap sebesar 100JT tapi karena banyak karyawan yang tidak disiplin dan masuk seenaknya lalu penggunaan properti yang seenaknya sehingga menimbulkan kerusakan dan pemborosan. Disini yang dimaksud sebagai kebocoran, potensi kerugian perusahaan bisa lebih besar dari pengeluaran tetap tiap bulannya. Seperti penjarahan hasil hutan kita oleh negara tetangga mengakibatkan kerugian negara serta pulau pulau yang direbut itu juga merupakan kerugian negara.
    Menurut saya pribadi jelas kita harus memperkuat perekonomian terlebih dahulu sehingga dengan adanya finansial yg cukup dan kuat kita bisa membangun sektor sektor yang diperlukan, daripada jokowi yang tetap jualan kartu padahal sudah ada program BPJS dan jamsostek. Buktinya dia sendiri tidak tahu kalau selama ini sudah ada program BPJS (atau pura pura tidak tahu) supaya seolah - olah dia pencetus ide tersebut. Kita berhitung lagi kalau kemarin saja untuk kartu jakarta sehat ternyata anggaranya tidak mencukupi karena banyaknya masyarakat yang ke rumah sakit bagaimana seluruh Indonesia? Makanya betul yang dikatakan oleh prabowo kita harus mencegah dan memperbaiki kebocoran baru memperbaiki bangsa. Ibarat atap rumah yang bocor hanya ditambal terus tanpa diperbaiki suatu saat akan ambruk serta pengeluaran semakin besar tapi jika atap tersebut diperbaiki mungkin akan mahal biayanya tapi selanjutnya aman dan nyaman.
    Setiap orang memang tidak sempurna semua ada kekurangannya karena memang begitulah sifat manusia. Prabowo juga banyak jasanya dan prestasinya hanya saja tidak digembor gemborkan seperti jokowi yang seolah olah setiap langkah keberhasilnnya selalu disorot media. Berikut prestasi prabowo menurut Nanik S Deyang, seorang jurnalis senior : silahkan lihat http://goo.gl/gksZ4z

    Anonymous said...

    #pramudya. Hati hati kang jika berargumentasi..minimal kelebihan dan kekurangan lawan harus diukur, minimal data pendukung. Jika hal tsb tidak anda lakukan, bumerang terhadap nilai dan bobot intelektualitas anda. Baiknya diam dan amati, kadang kepintaran seseorang jk tdk dilandasi kecerdasan lingkungan jadi berkesan keminter. Mkasih #anonymous

    Airini Sirait said...

    Setuju dengan tulisan ini, saya juga mencari ketegasan dengan cara kerja yg bagaimana yg dimaksud bapak prabowo tapi saya tidak mendengar dalam pidatonya maupun dalam berita mengenai detail program kerja bapak prabowo. Bahkan dalam debat capres pun yg saya dengar slogan-slogan tanpa rincian program kerja yg akan dilakukan.

    Ijin share tulisan kamu ya.

    Thank u

    Anonymous said...

    Salah satu kriteria pemimpin yang baik adalah yang mampu memilih orang-orang yg tepat untuk bekerja di bawahnya. Sejauh ini kita melihat pemilihan anggota koalisi Prabowo orang-orang yang bermasalah semua.

    Bahkan ormas-ormas anarkis pun dirangkul, diajak bekerja sama. Yang akhirnya kita bisa memprediksi akan difungsikan sebagai "tukang pukul" utk melibas lawan-lawan politik atau siapapun yg tidak setuju dgn dia. Bagian dari policy kepemimpinan tangan besi kah?

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Terima kasih atas komentarnya. Berikut tanggapan saya.

    Pertama untuk anonim yang memanggil saya Dik. Saya tidak terlalu heran kalau anda mendukung prabowo karena belum apa-apa anda sudah mencoba menggunakan argument of authority di sini. Begini saja lah, Profesor2 saya di University of Chicago yang kualitasnya bagaikan bumi dan langit dibandingkan dengan "ahli"2 di sini saja sangat amat malu kalau mereka berargumen dengan murid2nya semata-mata mengandalkan otoritas dan jabatan mereka. Mereka berargumentasi dengan fakta dan logika. Dan memang argumen dengan fakta dan logika itu yang akan saya hargai.

    Kenapa bangsa ini ga bisa berpikir kritis, skor PISA rendah? Ya karena belum apa-apa mengklaim kalau ada otoritas sudah pasti benar. Kalau anda serius mau berargumen dengan saya secara rasional, setidaknya anda kasih link ke analisis mereka sehingga bisa kita nilai.

    Lalu buat apa anda bilang yang menyampaikan argumen soal debat jokowi-Prabowo bukan anda tapi profesor? Kalau argumen anda bagus akan saya nilai bagus terlepas anda profesor atau bukan siapa2. Dan kalau argumen si profesor jelek, maka akan saya nilai jelek, tidak peduli dia profesor. Jadi kita skip saja bagian yang klaim2 ini ya karena tidak layak dijadikan bahan argumentasi. Mari kita masuk ke substansi dari apa yang anda sampaikan saja karena itu yang saya lebih hargai.

    Argumen pertama anda soal ada kebocoran anggaran Jakarta, klaim saksi-saksi petugas, dan klaim Ahok lelah dan ingin Jokowi jadi Gubernur. Aneh, karena setahu saya, Ahok sendiri yang bilang di berita ini kalau kasus-kasus tersebut adalah utamanya salah dia (http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/06/24/183229/2618152/1562/dprd-dki-puji-era-foke-soal-audit-bpk-ahok-ini-gara-gara-pilpres-saja-heboh dan http://news.metrotvnews.com/read/2014/06/24/256886/ahok-yang-paling-salah-saya-bukan-jokowi). Lebih penting lagi, kalau anda baca tulisan-tulisan saya, saya tidak beranggapan Jokowi pasti sempurna. Mana ada pemimpin sempurna, kan saya tegaskan di atas, kita bukan malaikat dan kita semua butuh check and balance. Banyak program baru di Jakarta dan jelas butuh pengawasan. Memangnya di bawah Presiden SBY juga ga banyak masalah dalam praktek administrasi negara? Di level BUMN? Banyak, maka fungsi pengawasan oleh BPK menjadi perlu dan wajar. Yang tidak wajar adalah kalau Jokowi ternyata melanggar hukum atau korupsi. Dan seperti saya sampaikan di 2 tulisan sebelumnya, dukungan akan saya cabut. Semudah itu. Kita milih berlandaskan asas pragmatisme bukan sekedar kagum ini itu.

    Kedua, soal ketulusan. Saya agak bingung dengan logika argumen anda. Kalau dia tulus, kenapa dia harus mundur? Kalau dia sukses terpilih jadi Presiden, dia bisa tetap mengurus Jakarta dan seluruh Indonesia. Kalau dia tidak terpilih, ya dia harus menjalankan kembali pekerjaan dia, khusus di Jakarta. Aneh dong kalau orang klaim Jokowi suruh amanah Jakarta, tapi dia malah disuruh mundur? Jadinya bagaimana? Justru kalau dia tetap mempertahankan posisinya sekarang maka jadi atau tidak jadi sebagai Presiden, dia akan tetap bisa menjalankan amanat untuk Jakarta. Ini logis kan? Lebih penting lagi, UU Pemilu juga tidak mensyaratkan dia mundur. Coba anda pikirkan kenapa pembuat UU tidak mensyaratkan hal tersebut? Karena Gubernur juga dipilih langsung oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan! Justru tidak bertanggung jawab sekali kalau karena dia mau maju jadi Capres (yang akan ngurus seluruh Indonesia termasuk daerah asalnya), lalu dia mundur dari jabatannya, terus kalau kalah, dia berhenti ngurus daerahnya begitu? Tidak masuk akal.

    Jangan bicara tulus2an. Kita bicara realistis. Mau Jokowi dan pemimpin daerah lainnya tetap amanah dan bisa bekerja di daerahnya masing2? Jangan suruh mereka mundur seenaknya. Mereka hanya bisa mundur kalau menerima amanah yang lebih tinggi lagi bukan malah turun pangkat. Pembuat UU tahu itu. Atau anda meragukan pembuat UU?

    Lanjut di bagian berikutnya.

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Ketiga, soal kebocoran. Begini, soal kebocoran ini makin lama makin tak jelas. Waktu debat Hankam, Prabowo bilang contoh kebocoran adalah soal impor barang jadi dari hasil bahan baku (sudah saya kritik ini bukan kebocoran, melainkan isu keunggulan komparatif). Kemudian di video yang saya kasih link-nya di awal artikel ini, dia jelas2 bilang APBN yang bocor dan bukan soal potential loss, dia sebut angka dari APBN loss 500T. Lalu kemaren Hatta Rajasa bilang, salah itu Prabowo, maksudnya bukan itu. Maksudnya potential loss dan angkanya juga tak jelas. Ini yang benar yang mana? Ini yang ngomong capres-cawapresnya sendiri dan mereka sendiri tidak jelas mendefinisikan kebocoran. Pun kalau ada kebocoran, memangnya ini dipikir seperti akan ada uang tunai masuk? Andai bisa sesederhana itu.

    Saya sepakat2 saja bahwa APBN harus ditambal kebocorannya. Itu artinya kita harus meningkatkan efisiensi birokrasi kita kan? Jokowi menawarkan perbaikan sistem, termasuk secara aktual menggunakan sistem lelang jabatan. Prabowo menawarkan menaikkan gaji PNS, semakin menambah biaya atas birokrasi kita yang sudah gendut ini. Pertanyaan saya, yang benar-benar peduli pada masalah kebocoran dan mencoba untuk mengatasi hal tersebut dengan segala keterbatasannya siapa?

    Lebih penting lagi, dan ini belum pernah dijelaskan oleh Prabowo, kalau ternyata kebocoran itu angkanya ga sampai 1.000T, kalau mereka ga mampu menutup bocor sebesar itu dan tidak ada sumber anggaran lainnya, mereka mau apa? Prabowo hanya mengandalkan angka kebocoran itu. Lalu kalau ga ada bagaimana? Sementara antara dia dan Hatta Rajasa saja belum sepakat soal kebocoran ini. Bahkan kalau mau konsisten, sama saja Prabowo menghina Hatta Rajasa dengan menuduhkan kebocoran APBN sampai 500 Trilyun (lihat video di atas, dan itu dia sendiri yang ngomong bukan orang lain). Ngapain Prabowo mengajak Hatta Rajasa? Sekalian saja diganti semua isi pemerintahan karena yang lama berantakan (kalau versi Prabowo soal kebocoran benar). Apa anda tidak melihat inkonsistensi yang nyata dari Prabowo soal ini?

    Lanjut di bagian berikutnya.

    Pramudya A. Oktavinanda said...


    Keempat. Saya sepakat dengan anda bahwa ide Jokowi soal Kartu Sehat itu ga jelas. Kalau anda baca catatan saya atas debat ekonomi di artikel saya sebelumnya, saya jelas-jelas bilang bahwa ide Jokowi soal kartu sehat dan kartu pendidikan itu ga layak diusung. Jadi soal ini, tidak perlu saya debat lagi. Tetapi dari penilaian saya dalam debat-debat kemaren, walaupun Jokowi memiliki beberapa posisi kebijakan yang lemah, namun secara umum, masih lebih baik dibandingkan dengan apa yang ditawarkan oleh Prabowo. Dan saya sudah merinci hal tersebut satu demi satu dalam artikel saya tersebut. Silakan anda baca dan anda komentari kalau berkenan. Saya ngomong Jokowi menang 3-0 itu bukan cuma modal asal klaim saja tanpa argumen atau sekedar mengandalkan gelar saya sebagai kandidat PhD. Kalau level saya seperti itu saja, dariawal saya ga akan aktif menulis blog. Di sini tempat adu argumentasi bukan adu gelar!

    Kelima, soal baik buruknya manusia. Sepakat sekali. Mana ada manusia sempurna. Dan berhubung anda mengomentari artikel saya di bagian ilusi pemimpin tegas, maka dapat saya sampaikan bahwa berdasarkan penilaian saya, saya tidak bisa memilih prabowo dengan citra ketegasan yang dia usung. Pemimpin "tegas" terbukti gagal memimpin negara ini dan rawan penyalahgunaan, belum lagi komentar2 Prabowo yang terkesan mempertanyakan isi konstitusi soal keabsahan pemilihan langsung. Rinciannya sudah saya tulis di atas.

    Terkait prestasi prabowo yang anda sampaikan dalam link tulisan saya. Sah-sah saja untuk disampaikan. Tetapi apakah itu kriteria pemimpin yang saya cari? Tidak. Saya sudah sampaikan rinci di atas, Prabowo pemimpin militer dan bukan pemimpin sipil. Gaya kepemimpinan militer berbeda dengan sipil dan belum tentu akan berjalan. Sistem Komando juga sudah lama dijalankan di sini dan terbukti gagal. Menyampaikan prestasi di bidang komando sama dengan menyatakan bahwa Prabowo tidak layak menjadi Presiden Indonesia. Kecuali yang anda sampaikan adalah prestasi Prabowo dalam membuat konsensus, menyelesaikan konflik dengan dialog dan sebagainya yang justru diperlukan di Indonesia sebagaimana saya sampaikan di atas. Saran saya, kalau anda tidak setuju dengan tulisan saya, maka perlu disampaikan dengan rinci apa yang anda tidak setujui sehingga debat ini menjadi lebih terarah.

    Terakhir, saya menerima kritik dan masukan, tetapi sifatnya harus substantif! Kita bicara dengan argumen rasional yang diusahakan logis dan sistematis. Saya bukan tipe orang yang sabar menghadapi omongan asbun. Saya menghargai usaha anda untuk menulis di sini walaupun banyak yang tidak saya setujui. Terima kasih

    Anonymous said...

    Saya suka dengan logika berpikirnya...thx

    Anonymous said...

    Banyak hal yang bagus dari tulisan ini, tapi emoticon ':p' diakhir, membuat semua argumen jadi terlihat 'cheesy'. Kecil tapi fatal.

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Sebenernya komentar anda agak ga penting, tapi oke lah, emoticonnya saya hapus supaya terlihat lebih serius. Terima kasih.

    Anonymous said...

    Pendapat yang menarik untuk dikaji lebih dalam, memang sudah menjadi pertanyaan bahwa ketegasan tidak punya korelasi dengan latar belakang profesi (persepsi masyarakat cenderung militer pasti tegas). Siapapun pilihannya, harus dimulai dengan, mengkaji kebijakan yang ditawarkan. Dari kebanyakan org yanf saya tanyakan kenapa memilih salah satu capres, mereka menjawab mengikuti hati nurani.

    Yang menjadi permasalahan hati nurani sangat mudah terpengaruh dengan faktor non rasional. Karena itu sudah saatnya kebijakan capres harus dipikirkan dan dirasionalisasikan. Terima kasih atas tulisannya. Semoga dapat membuka dan memperluas cara pandang terhadap capres.

    Anonymous said...

    ok banget mas
    Saya suka artikel dan cara anda berpikir
    di tambah lagi bagaimana anda mau menjawab comment" yang hanya bisa menjelek"an tanpa bukti
    Good luck untuk PhD anda, sukses selalu

    Unknown said...

    Bung Pramudya Octavinanda,

    Salut atas tulisan & analisis yg begitu panjang lebar, tentu dibutuhkan ketekunan, ketelitian, stamina serta tentu intelektualitas untuk menulisnya.

    Secara jauh lebih singkat saya mengutip perkataan Agum Gumelar (Letnan Jendral Purnawirawan) yg mengatakan tegas adalah berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu, siapapun itu melanggar hukum harus ditindak, entah dia Islam, Kristen, Hindu, entah dia petani, pelukis, menteri atau bahkan presiden.

    Singkat kata saya setuju sekali dengan uraian Anda.

    Masalahnya mungkin, masyarakat kita tidak punya cukup waktu dan energi untuk mengolah tulisan-tulisan yg berisi dan bermutu.

    Masyarakat kita mudah silau oleh apa yg nampak di luar, pidato berapi-api yg berkesan gagah dan tegas padahal tidak didasari argumen yg kuat. Masyarakat juga sudah terdistors dengan macam isu, fitnah dan kampanye hitam.

    Masyarakat juga sepertinya masih terjebak pada sentimen agama, dan bukan pertama-tama mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.

    Semoga banga ini mempunyai cukup kecerdasan untuk memilih pemimpin yang tepat.

    Salam Dua Jari.

    http://peduli-indonesia.blogspot.com

    Anonymous said...

    Terimakasih bung atas tulisannya..
    Setuju? ikut, ga setuju? kita respect..
    Saya bukan orang yang pandai berkata tapi saya bisa memahami tulisan anda dengan baik.

    Pendukung Prabowo jangan cuma bisa mengaum sana sini dan menghina sana sini..
    Tapi buatlah tulisan yang baik yang dapat dipahami orang sehingga orang lain berfikir untuk memilih prabowo.

    GG Tq..

    Anonymous said...

    //Haduh dik... anda ini baru calon Ph.d tp sudah merasa lebih hebat dari para professor dan pengamat politik//

    Haha... emangnya situ udah jadi professor yah?? Gak usah liat gelar-nya, liat aja substansinya, Kritik berdasarkan analisa dan data yang akurat. Anda bilang penulis ini berpandangan subjektif karena memihak Jokowi, tapi Anda sendiri mengatakan secara subjektif kemenangan debat 3-0... Debat itu gak bisa dikuantifikasi wooi, kalo lo emang pinter mana mungkin bisa buat statement seperti itu.

    Anonymous said...

    Bagi saya agama harga mati bung, mungkin bagi anda agama nomor kedua setelah bangsa. Saya lebih memilih orang yg lebih amanah secara agama Islam. Jokowi & JK menunjukkan sifat tidak bisa memegang janji dan kata kata sendiri dan itu menunjukkan bukan seorang pemimpin.

    Anonymous said...

    Bukankah orang yang ingkar janji termasuk golongan munafik, kata rasul. Apakah janji dan sumpah jabatan untuk menyelesaikan amanah hingga tuntas bisa dikualifikasi sebagai ingkar janji bila pada kenyataannya demikian pak joko terpilih RI 1. Come on mas bro, jangan terlalu jauh bicara ilusi ketegasan..justru harusnya ini ilusi pemimpin tak amanah.

    Selesaikan dulu satu urusan maka kerjakan urusan lain berikutnya.

    Saya bukan proprabowo, tapi untuk memilih dengan ilmu,saya fikir...faktor amanah dan janji seseorang lebih prioritas,dan saya tidak akan memilih orang yang bisa dikualifisir munafik.

    Salam

    Anonymous said...

    Memangnya apa yang kamu inginkan dari jokowi dan janjinya? memenuhi janjinya 5 tahun memimpin jakarta kah?

    Berpikir agak luas sedikit , apabila jokowi jadi presiden .. lantas dia meninggalkan jakarta begitu menurut anda?

    kamu sudah lulus sekolah? atau belum? ... mari saya jelaskan yang namanya jabatan PRESIDEN itu bisa menanungi semua wilayah-wilayah termasuk jakarta juga ... kecuali jokowi mencalonkan jadi walikota surabaya dll itu baru namanya tidak menepati janji alias meninggalkan jakarta ..

    please deh , gw udah bosan dengar jokowi tidak menepati janji 5 tahun , jokowi capres boneka dll...

    dari yang gw liat , justru yang bilang seperti itu terlihat bahwa dirinya adalah boneka nya prabowo hahaha ...

    anda bilang selesaikan dulu satu urusan? apakah jokowi nanti jadi presiden gak bisa mengurusi jakarta?

    lah wong selama jokowi jadi gubernur jakarta sudah banyak perubahan kok , anda tinggal di jakarta bukan? saya rasa anda bukan tinggal dijakarta tapi dipedalaman terpencil sehingga anda tidak tahu situasi jakarta yang sudah berubah ..

    pikir 2 kali sebelum bertindak dan berbicara , berbicara tanpa bukti = menunjukan kebodohan anda di khalayak ramai :)

    Anonymous said...

    Walau saya adayg ga setuju pada beberapa topik, tapi ya saya setuju sama inti tulisan anda ini.

    ijin share ya.

    Marchel,
    Komuter Jakarta-Tangsel

    Anonymous said...

    Maaf kenyataannya pendukung jokowi yg maen tangan besi maen keroyok orang hanya karena menggunakan kaos mendukung capres no 1. Itu membuktikan bukan ormas saja, pendukung jokowi pun bermasalah semua : bermasalah dengan kata kata yg tidak bisa dipegang. Semua janji palsu itu menunjukkan karakter orang munafik. Silahkan dicermati kembali...

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Saya tertarik dengan 2 komentar dari pihak anonim mengenai tidak amanahnya Jokowi dan bahwa dari sudut pandang agama Islam, Jokowi tidak layak dipilih. Pertama-tama, saya sebenarnya butuh tahu lebih jauh, bagaimana caranya anda bisa sampai pada kesimpulan bahwa Jokowi adalah pemimpin yang tidak amanah dan kata-katanya tidak bisa dipercaya? Karena soal janji jadi Gubernur 5 tahun? Saya pikir sudah saya jelaskan di atas soal itu. Ngurus Jakarta tidak bisa lepas dari pusat. Logikanya, dengan Jokowi jadi Presiden dan Ahok jadi Gubernur di Jakarta, koordinasi akan lebih mudah untuk memajukan Jakarta. Jadi kalau anda mau menggunakan contoh ini untuk menunjukkan bahwa Jokowi tidak amanah, maka singkat saja, contoh anda salah. Jokowi juga jelas tidak melanggar undang-undang karena memang tidak ada larangan untuk mencalonkan diri menjadi Presiden jika anda sedang menjabat sebagai Gubernur (sebagaimana saya jelaskan dalam salah satu tanggapan saya di atas. Maka perlu saya tanyakan lagi kepada anda, yang tidak amanah itu apa? Tolong berbicara dengan fakta dan logika.

    Lalu anda bicara tentang pentingnya omongan yang bisa dipercaya? Tidak usah jauh2. Omongan soal Kebocoran saja Prabowo tidak bisa dipercaya. Tiap ganti forum, ceritanya berbeda. Di video di atas dia bilang bocor APBN 500T, di debat hankam dia bilang bocor itu soal impor bahan jadi, di debat pendidikan, Hatta Rajasa bilang bocor potential loss. Ini kalau bukan plin plan, namanya apa? Ini contoh omongan yang bisa dipercaya? Anda serius berani mengklaim dengan jujur bahwa omongan ga jelas seperti ini adalah contoh omongan yang bisa dipercaya?

    Anda membawa-bawa nama agama juga kan? Saya mau tanya, memangnya kenapa Prabowo layak disebut pembela Islam? Karena katanya Gerindra mau memurnikan agama? Coba cek lagi manifestonya. Menurut Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo, manifesto itu akan atau bahkan sudah dihapus (http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/02/269581854/Gerindra-Hapus-Manifesto-Pemurnian-Agama). Saya ga tahu kenapa dihapus, tapi kalau katanya Prabowo tegas dan konsisten, ngapain dia hapus, kan dia pemimpin nomor satu tanpa bandingan yang tidak bisa dikontrol oleh siapa pun? Kenapa dia hapus? Bukti ketegasannya seperti apa?

    Saya juga minta anda beri klaim yang menunjukkan bahwa Prabowo layak jadi pemimpin dari segi agama secara dalam artikel ini saja Prabowo sudah mengklaim secara pribadi bahwa dia tidak taat beragama (http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/30/269589149/Prabowo-Saya-Tak-Taat-Menjalankan-Ritual-Agama/Prabowo-Saya-Tak-Taat-Menjalankan-Ritual-Agama). Jadi bagaimana? Anda mau dipimpin Presiden yang shalatnya jarang2 dan bocor? Saya pakai logika anda saja supaya tidak asbun ngomong soal agama.

    Lalu bicara soal omongan yang bisa dipercaya lagi. Prabowo seperti saya disampaikan di atas, jelas-jelas meributkan dan membenci konsep pemilihan langsung. Lha tapi dia sendiri sekarang berusaha untuk menang lewat pemilihan langsung. Munafik dong? Kenapa sekalian saja ga kudeta. Kan katanya dia representasi kebenaran, pemilihan langsung dari Barat katanya. Atau dia konformis, dia tahu ga bener, tapi dia laksanakan juga? Ini namanya kontradiktif.Ini namanya, kalau pakai standar yang anda gunakan di sini, contoh nyata munafik dan omongannya tidak bisa dipercaya.

    Jadi saya ucapkan terima kasih, dengan contoh yang anda berikan itu, anda baru saja menyatakan Prabowo tidak layak dipilih. Saya bahkan ga perlu pake contoh pelanggaran HAM dan penculikan, atau klaim2 orang lain, saya cuma cukup pake kata2 Prabowo sendiri. Sekali lagi, terima kasih.

    Anonymous said...

    Betul saya setuju yg anda katakan, makanya sebaiknya anda juga mencari bukti yg lebih kuat jangan sampai anda termakan omongan anda sendiri berbicara tanpa bukti = menunjukkan kebodohan.
    Bukti kuat BPK dan indikasi korupsi Transjakarta, inikah yg dinamakan berhasil? come on thing smart dont just TALK!!
    Logikanya benar ketika jadi presiden tetap bisa mengurus jakarta tp kenyataannya beda bung, karena yg ngurus bukan dia lagi tentu kebijakannya pun akan beda dan scopenya pun beda apa mungkin seorang presiden masih blusukan.... come on thing SMART!

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Komentar saya untuk kasus ormas Jokowi yang katanya mukulin. Pertama, dimana link beritanya supaya kita bisa tahu faktanya dengan benar. Berhubung saya sudah cape dikasih berita kampanye hitam yang ketika dicek informasinya ternyata sumbernya situs2 ga jelas macam VOA Islam dsb. Kedua, bagaimana logika anda berjalan? Jangan asbun. Apa maksudnya satu ormas mukulin (yang kita juga tidak tahu siapa mereka) dan kemudian tiba2 semua pendukung Jokowi jadi bermasalah semua? Kalau benar ada orang2 seperti itu, maka jelas aksi yang perlu dilakukan. Mereka semua perlu ditangkap dan diproses pidana. Ga akan orang2 seperti itu dibela!

    Ketiga, lucu anda membawa contoh ini kalau tujuan anda membela Prabowo, karena FPI ormas pendukung Prabowo lebih sering lagi terlibat dalam kasus pemukulan dan kerusakan dimana2. Kita hitung2an saja dari jumlahnya, hmm sebentar, terlalu banyak. Anda beri contoh di atas (itu pun kalau benar) memberikan saya keyakinan yang lebih besar lagi untuk tidak mendukung Prabowo. Dia mau menerima ormas yang jelas2 melakukan kekerasan dengan melanggar hukum? Tidak masuk akal dan juga tidak menunjukkan karakteristik tegas. Tolong diperbanyak lagi contoh2 seperti ini supaya makin jelas siapa yang harus kita pilih. Untuk itu, seperti biasa, saya ucapkan terima kasih.

    Anonymous said...

    Berarti kalau memang jokowi terbukti korupsi sesuai dengan tulisan anda akan menarik dukungan anda dan mendukung prabowo dong? karena seperti anda sampaikam sendiri untuk apa menulis panjang lebar jika tidak memilih.:) Salam No. 1!!!

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Soal BPK sudah saya bahas di atas. Ahok juga sudah menyatakan bertanggung jawab. Dan dalam prakteknya, sebagaimana di BUMN, temuan audit BPK perlu klarifikasi lebih lanjut. Kalau ternyata Jokowi terbukti melanggar hukum, sudah saya katakan berkali2, maka dukungan saya cabut.

    Korupsi Transjakarta juga sampai saat ini sudah ditegaskan oleh kejaksaan tidak melibatkan Jokowi atau Ahok. Pertanyaan saya, relevansinya apa untuk dibawa ke sini.

    Lanjut lagi soal berhasil. Saudara bicara 2 masalah dalam Jakarta, pertanyaan saudara juga perhatikan tidak apa yang berjalan di jakarta? Saya sudah sampaikan dalam komentar saya di artikel Debat Hukum bahwa Jokowi pun juga ada keberhasilannya. Saya ulangi lagi disini.

    "Terlepas dari isu BPK di atas, saya juga perhatikan bahwa Jokowi memiliki berbagai prestasi sebagaimana disebutkan di sini: http://www.itsnicky.com/dari-warga-jakarta-utk-saudaraku-se-indonesia. Salah satu yang paling penting sebagaimana diulas di berita ini (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/03/18/1027228/Soal.PAD.Naik.Rp.31.Triliun.Kadin.Pajak.DKI.Ralat.Menkeu?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp) adalah Jokowi meningkatkan PAD Jakarta kurang lebih 10,89 Trilyun Rupiah di 2013.

    Hitung-hitungan saja. Kalau kasus BPK ada potensi kerugian 1,5 trilyun (potensi ya) dibandingkan dengan riil nambah 10,89 trilyun, itu namanya masih sukses. Ibarat kata, tidak ada pemerintahan yang sempurna sebagaimana saya sampaikan berulang kali di atas."

    Ini kan soal cost benefit analysis. Besaran yang mana prestasi atau kegagalan? Lalu dijumlah. Kalau cuma fokus kegagalan, semua pemerintahan ya gagal karena ga ada pemerintahan yang sempurna.

    Soal pengurusan? Yang ngurus bukan dia itu maksudnya apa? Akan beda seperti apa? Ahok itu wagub dia dan mereka koordinasi. Ahok jadi Gubernur, dia bisa langsung koordinasi dengan Presiden. Masalahnya apa? Yang think SMART itu seperti apa jadinya?

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Satu hal lagi. Yang bener itu THINK Smart, bukan THING Smart. Think itu artinya mikir. Kalau Thing artinya sesuatu. Sesuatu banget deh mas. Intermezzo dikit ya supaya jangan terlalu panas :)

    Anonymous said...

    Thanks mas pram atas tulisannya yang bernas. Susah untuk tidak sepakat dengan apa yg mas pram paparkan. Jujur saya masih ragu harus milih siapa, tp setelah membaca banyak tulisan dan berdiskusi dengan teman2 dari dua kubu ttg capres cawapres ini, saya dengan lantang bilang saya pilih no 2. Banyak alasan yg bisa saya kemukakan disini, tapi hampir semuanya sudah mas pram paparkan, hehe. Tapi,setidaknya ada 2 alasan yg bs saya tulis disini. Pertama, saya menilai kubu Prabowo "jual mimpi", knp? Karena era sudah jauh berubah, dimana yang dibutuhkan oleh negara ini bukan jargon nan gigantis dan gaya model lama. Jika mas pram bilang bahwa model kepemimpinan yg "tegas" gagal d negara ini, izinkan saya menmbahkan bahwa model pemimpin yang berjarak dan tak bisa diakses oleh rakyatnya sudah pasti tak berhasil, dan saya melihat potensi itu pada Prabowo dan Hatta. Kedua, Prabowo dengan segala "ke- akuanny", menonton 3 kali debat capres, saya menilai Prabowo hampir gagal secara substansi di setiap debat tersebut, dan just wndering aja sih, apa prabowo tdk didukung oleh tim intinya? Kmngkinannya ada dua, antara tim yang sungkan memberitahu atau si calon yg mrasa akan baik2 saja tanpa bantuan mereka. Saya ga bisa ngebayangin aja kalau sosok demikian akan mempimpin negara dgn 250 jt pdd (krg lebih) mayoritas sipil, dan tengah asyiknya brcngkrama dgn reformasi dan demokrasi. Pastinya arus kritik semkin mengkat. Ya...2 alasan trsbut subjektif memang karena itu pnilaian pribadi dan sah sah saja sih sebenarnya sjauh tdak merambat pd isu yang sensitif. Thanks.

    Anonymous said...

    sepertinya anda masih sekolah dan belum lulus ya? inggris anda masih berantakan nak hehehe..
    ijinkan saya memperbaiki inggris anda terlebih dahulu , THING dan THINK itu berbeda ..
    thing = benda , think = berpikir :)
    back to topic , bukti kuat bpk dan indikasi korupsi transjakarta? yakin anda? ada buktinya ga? kalau memang jokowi sudah diperiksa BPK dan ada indikasi korupsi transjakarta ... lantas kenapa ia tak pernah dipanggil KPK ? hayooo think smart
    yang anda lihat itu cuman berita dari dunia maya saja , kecuali anda aktif / staff di BPK baru saya sujud dihadapan anda atas omongan anda karena itu benar nyata..
    makanya THINK SMART donk , jangan apa-apa didalam berita di dunia maya ditelen mentah-mentah ... harus dicerna dari otak ke mata trus ke mulut trus ke badan deh :)
    saya termakan omongan saya sendiri? oh yang mana ya? bisa di lebih persempit omongan saya yg mana yg salah? hahaha..
    sekarang saya tanya anda , anda tinggal di jakarta tidak? ah saya rasa anda tinggal di desa jauh dari jakarta makanya gak tau kondisi jakarta sebelum kepemimpinan jokowi dan setelah beliau pimpin.

    dan satu lagi , anda mengatakan "Logikanya benar ketika jadi presiden tetap bisa mengurus jakarta tp kenyataannya beda bung, karena yg ngurus bukan dia lagi " << ini saya bingung dengan perkataan anda ...
    anda tau sistem sebuah jabatan kan? oh maaf kalau belom tau biar saya kasih tau mungkin pendidikan anda belum sampe kesana.

    simple saja saya jabarkan , presiden itu mengurus dan mengatur smua wilayah di indonesia ... sedangkan gubernur cuman sebatas wilayah yang diterapkan oleh jabatan itu sendiri ... lantas bagaimana anda bilang yang ngurus bukan dia lagi? memangnya klo jokowi jadi presiden dia gak bisa mengurus bareng bersama ahok ? sekali lagi saya harus bilang disini THINK SMART bukan THING SMART :))

    presiden masih blusukan? anda gak ngikutin jejaknya SBY ya? gak punya tipi? upps maaf keceplosan nih..
    SBY pun blusukan juga nak hahaha , bedanya hanya kapasitasnya tidak se intensif seperti gubernur , karena tugas presiden jauh lebih banyak mengurusi bukan hanya blusukan ...

    kalau tidak blusukan pun tertata rapi , kenapa harus kata "blusukan" lah yang anda permasalahkan? THINK SMART !

    Anonymous said...

    belajar bahasa inggris di mana nak? THING SMART DAN THINK SMART sangat berbeda loh artinya hahaha..
    biar saya ajari terlebih dahulu ya nak , THING = benda ... THINK = berpikir

    ok back to topic ya nak...
    saya termakan omongan saya sendiri? oh ya? yang mana? bisa anda persempit dan anda tunjukan dimana postingan saya yang saya termakan omongan sendiri?

    anda seorang yang suka membaca di dunia maya ya , bagus2 saya apresiasi itu.
    tapi ingat , seseorang yang SMART adalah orang yang tidak menelan mentah-mentah berita dari dunia maya tapi harus diteliti dan dicari dlu kebenarannya..

    sekarang saya kupas ya , anda bilang bahwa bukti kuat BPK dan indikasi korupsi transjakarta? anda yakin? anda kerja di BPK sehingga anda yakin itu ?

    let's THINK SMART not THING SMART , jika jokowi sudah terindikasi korupsi dari BPK ... lantas mengapa dia tidak pernah dipanggil oleh KPK? nah loh pasti anda galau nih cari jawaban balik dari pertanyaan saya..
    tenang gak usah galau cari jawaban balik , jawabannya ada di otak anda sendiri kok hahaha ... anda harusnya BERPIKIR PINTAR .

    loh , siapa bilang itu cuman logika kalau nanti jokowi jadi presiden bukan dia lagi yang ngurus jakarta? duh sekali lagi saya harus bilang disini THINK SMART nak ...

    anda pasti belum lulus sekolah ya? masih menempuh pendidikan jadinya gak tau strata jabatan ..

    mari saya jelaskan dengan sabar kepada anda secara simple saja biar anda mengerti jadi gak error dan konslet otaknya :)

    jabatan PRESIDEN itu bisa mengurusi semua wilayah di indonesia termasuk jakarta juga , sedangkan jabatan GUBERNUR itu terbatas pengurusannya sesuai daerah yang ia tempati ..

    jadi siapa bilang bukan dia yang ngurus lagi ? anda seorang? huahahaha... (ups maaf terbahak2 ketawanya)
    yang namanya presiden itu akan berkordinasi dengan bawahannya di setiap wilayah , termasuk jakarta yang dipimpin ahok nantinya..
    jadi ketika anda bilang bukan dia lagi yang mengurus , anda belom THINK SMART :))

    ok lanjut , anda bilang bahwa apa mungkin seorang presiden masih blusukan ya? saya tanya dlu nih biar enak ke anda.. anda punya tv dirumah? kalau tidak ada maaf kan saya yang sudah menghina otak anda..

    let's THINK SMART again , SBY saya masih blusukan saat menjabat jadi presiden... hanya saja kapasitas nya berbeda yaitu tidak se intensif saat menjabat sebagai gubernur ... SBY ke sekolah2 , SBY terjun ke warga apa namanya bukan blusukan hayoo? THINK SMART donk nak :))

    kebijakan memang berbeda , tapi tetap berdasarkan peraturan pemerintah donk nak ...

    Anonymous said...

    Mas Pram, thanks for your very inspiring blog. Salut atas tulisannya, mencerminkan tingkat intelektualitas yang sangat tinggi (jauh di atas saya).

    Pilpres kali ini memang mencerminkan kemajuan luar biasa dari demokrasi Indonesia, kita punya 2 kandidat yang memang pantas menjadi pemimpin bangsa ini, keduanya fenomenal, keduanya mencerminkan 2 karakter kuat dengan ideologi yang berbeda, tinggal pilihan rakyat mau kemana

    Capres 1 menurut hipotesa saya akan membawa indonesia ke rezim light authoritarian, why? hipotesa ini mutlak karena melihat karakter si capres (oportunis, ambisius, cerdas, backgroundnya militer keras, dan cenderung pembangkang). Kenapa light? karena di zaman sekarang ini pasti ada kompromi atas beberapa hal yang tidak menjadi fokus ambisi beliau. Sayangnya, posisi awal elektabilitas beliau memang jauh lebih lemah dari capres no.2, sehingga mau tidak mau, dia harus menggandeng mesin-mesin politik dari koalisi gemuk dan ormas-ormas + memperjuangkan segala cara guna meningkatkan elektabilitas, termasuk mengedepankan isu agama, dengan tujuan cuma satu, memenangkan pilpres dan mendapatkan tampuk kekuasaan. Pertanyaan berikutnya yang belum bisa saya temukan jawaban rasionalnya adalah, apa yang akan dia lakukan setelah mendapatkan tampuk kekuasaan. Uang tampaknya sudah pasti sebagai konsekuensi demokrasi, nah yang masih saya reserve adalah sifat nasionalis beliau, apakah betul visi beliau menjadikan Indonesia sebagai macan asia (apapun definisinya, saya bacanya Indonesia akan punya pengaruh besar di kancah internasional)...

    Untuk Capres No.2, ga usah ditanya lagi, beliau adalah contoh sukses demokrasi kita, jadi rezim demokrasi pasti akan terus berlanjut dan semakin maju apabila beliau terpilih...hebatnya lagi, dari awal beliau sudah menetapkan tidak mau pakai kontrak politik, even ke PDIP sebagai partai pengusung (katanya), kabinet akan full professional...saya juga setuju kalau beliau tegas. Intinya, capres yang satu ini bagi saya nyaris tanpa cacat sebagai pengusung demokrasi. Masalah ada sponsor, dan potensi kebocoran...lagi2 mnurut saya pasti ada juga, sebagai konsekuensi demokrasi.

    Selanjutnya, bagi saya yang masih swing voter, perang sesungguhnya adalah ya antara 2 rezim tsb: authoritarian vs demokrasi, yang mana yang lebih baik bagi Indonesia.

    Secara jujur, saya masih cenderung mendukung rezim authoritarian. Why? Karena penduduk Indonesia > 200 juta, dan mungkin ga sampe 1% orang-orang dengan tingkat kecerdasan seperti mas Pram, artinya demokrasi kita sangat rentan dirasuki kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok yang bertujuan melemahkan kekuatan bangsa.

    Satu pemikiran lagi yang mendukung kecenderungan saya di atas....menurut saya ada kesamaan modus pada runtuhnya rezim Suharto di 1998, konflik di Mesir, dan Suriah...saya tidak bicara mengenai agama atau yahudi, zionis atau yang semacam itu, tapi rasional saya mengatakan ada 1 grand design di belakang semua ini. Suatu grand design yang memaksakan dunia untuk memiih jalur demokrasi. Suatu grand design yang membrainwash penduduk dunia bahwa rezim authoritarian itu jahat, korup, tidak manusiawi, dsb. Sayangnya, ilmu saya saat ini belum bisa menjawab lebih jauh pertanyaan-pertanyaan terkait hal itu...hasil riset google hanya menemukan zionis, amerika, kapitalis yang merancang semua itu...suatu pendapat yang belum bisa dicerna rasional saya, masih banyak puzzle fakta-fakta yang bolong....

    Mudah-mudahan bisa dapat pencerahan dari Mas Pram

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Terima kasih banyak atas komentarnya, khususnya karena anda sudah mau meluangkan waktu menulis cukup panjang. Kebetulan pertanyaan anda terkait isu demokrasi dan kesejahteraan memang sudah akan saya jadikan tema tulisan berikutnya. Kalau tidak ada halangan, akan saya posting siang atau sore hari ini.

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Terima kasih atas informasinya. Apabila anda baca secara hati-hati beritanya. Berita ini bukan menyatakan bahwa Gubernur harus mengundurkan diri kalau ingin mengajukan diri menjadi Capres, melainkan ada yang berpendapat bahwa Gubernur harus mengundurkan diri. Ketentuan dalam UU Pilpres cukup jelas dan tegas bahwa Gubernur memang tidak perlu mengundurkan diri kalau ingin menjadi calon Presiden. Mohon diperhatikan, saya tidak pernah bilang seseorang tidak perlu mundur. Baca lagi di atas, saya bilang UU Pilpres tidak mewajibkan gubernur untuk mundur dan menurut saya, logika UU-nya sudah benar dan ketentuan itu jelas tertera dalam UU, jadi argumen saya punya dasar hukum.

    Kebetulan karena anda ngasih berita ini, saya baca juga langsung UU Aparatur Negara yang diargumenkan oleh para pemohon. Tidak ada ketentuan dalam UU itu yang bilang bahwa Gubernur harus mundur kalau mau nyapres. Kalau PNS atau Pejabat Aparatur Negara memang perlu mundur kalau mau nyapres atau kalau mau jadi Gubernur, tetapi Gubernur bukan PN atau Pejabat Aparatur Negara. Ingat, bahwa Gubernur dipilih langsung oleh rakyat bukan diangkat oleh Pemerintah seperti Menteri.

    Saran saya kalau anda mau berargumen secara hukum, maka perlu merujuk kepada isi UU-nya itu sendiri dan bukan berita2 seperti ini karena wartawan belum tentu paham isu hukum dan bagaimana cara membaca ketentuan UU yang bersangkutan.

    Anonymous said...

    Kalau Jokowi bisa sampai terbukti korupsi, seharusnya Prabowo sudah terbukti korupsi jauh sebelumnya, berhubung bukti bukti dan potensi kasus korupsi Prabowo jauh lebih banyak (hanya saja tidak ada yang berani mengurus saat itu karena Orde Baru). Maaf pendapat Anda masih tidak kuat untuk dijadikan alasan memilih Prabowo.

    Sasha

    Anonymous said...

    http://lindadjalil.com/2014/07/saat-fitnah-untuk-prabowo-saya-cermati/

    Anonymous said...

    Jokowi boleh jadi presiden, saya setuju2 aja. Tapi saya ingin beliau menyelesaikan dulu masa jabatan 5 tahun sebagai gubernur. Dan kalau yang saya lihat dari debat capres cawapres yang lalu, kemampuan Jokowi mungkin sudah mumpuni. Namun, soal masalah keamanan & pertahanan serta hubungan luar negeri saya rasa Jokowi belum begitu cakap dalam mengatasinya. Seorang presiden bukan hanya mengurusi urusan dalam negerinya tapi juga perlu mengurusi hubungan internasional negerinya. Apa mau kita dijajah lagi ?

    Kalau soal kesejahteraan rakyat kecil, Jokowi mungkin baik. Apalagi dengan macam2 kartu yang telah beliau buat :v

    Kebanyakan orang yg memilih Jokowi dan tidak suka dengan Prabowo karena figur Jokowi yang suka blusukan, lemah lembut, pria jawa banget lah. Sedangkan alasan mereka membenci Prabowo karena masa lalu beliau di tahun 1998, status beliau yang duda dan mantan mantu Soeharto. Sungguh alasan yang sangat disayangkan.

    Perlu diketahui juga, karir Jokowi dari Solo menuju Jakarta juga bantuan dari Prabowo. Prabowo meminta Mega agar memberi izin Jokowi agar maju sebagai gubernur Jakarta. Namun sungguh malang Prabowo. Jokowi yang dulu ia besarkan hingga sampai Jakarta malah jadi lawannya menuju RI 1. Jokowi juga awalnya tidak mau jadi presiden, namun karena ada mandat dari Mega maka jadilah ia capres nomer 2. Anda pasti tahu perbedaan tingkat keseriusan antara "orang yang menjadi sesuatu karena disuruh" dengan "orang yang sudah dari dulu ingin menjadi sesuatu" ?

    Dan satu pertanyaan yang masih terngiang2 di telinga saya. Mengapa JK mau menjadi wakil Jokowi padahal waktu lalu beliau bilang "bisa hancur Indonesia kalau Jokowi jadi presiden." ?
    Kalau ada jawaban "udahlah itu kan omongan JK yang kemaren2" | kemaren ? masa lalu kah ? terus kenapa masalah 98 masih saja dibicarakan ?

    Intinya, Jokowi jadi presiden di periode selanjutnya saja.

    Anonymous said...

    Kocak yang nulis THING SMART. Saat ini sangat menarik untuk disaksikan bagaimana pihak yang kalah sedang memutar otaknya untuk memanipulasi 9 juta suara.

    L said...

    "lud kamaluddinSunday, June 29, 2014 11:49:00 PM

    ow..tak kirain itu penilaian seorang analis non partisan...selama masih memiliki kecenderungan dengan seseorang yg sedang berkompetisi...tulisan ini jadi kurang menarik buat pembelajaran saya...maaf ya"

    Menanggapi Bapak Kamaludin dan semua Anonymous pendukung Prabowo yang saya perhatikan cukup serius menanggapi ide Bapak Pramudya A. Oktavinanda,

    Bersemangat sekali ya kalian.

    Mungkin ada baiknya saudara2 berdiam diri sejenak dan merenung,
    toh seandainya Bapak Joko Widodo yang menjadi Presiden RI,
    mudah-mudahan kalian semua ikhlas menerima nya.

    Kalaupun kalian tidak suka, dan terpaksa memilih untuk menzolimi penulis, atau mencela ide sesama netizen, ataupun menghina gelar PhD yang akan dicapai oleh kawan kita ini. tolong berhenti, karena tulisan kalian tidak enak dipandang mata menurut saya.

    Emosi, jelas berperan didalam menyuarakan prinsip.

    Sebagai individu, setiap orang berhak mengaktualisasikan dirinya.
    Sebagai makhluk sosial, menghargai setiap aspirasi adalah kunci kedamaian.

    Bangsa yang berpikiran maju adalah bangsa yang bisa menghargai perbedaan.
    Jika tidak suka dengan presiden nya, silakan pindah dari Indonesia.
    Jika ok dengan presiden nya, silakan lakukan kewajiban Anda sebagai warganegara, dengan ikhlas dan beritikad baik.

    Semangat ber-api-api dalam menulis opini, menunjukkan sikap dan prinsip Anda. Tidak ada yang salah dengan itu.
    Batasan yang jelas juga diperlukan. Menegur, jangan sampai menghina. Mendidik, jangan sampai memaki.

    Melecehkan semangat untuk mencapai gelar PhD adalah sama dengan tidak menghargai ide seseorang.
    Hargai saja semua ide, dan semua yang halal yang rekan kita berusaha lakukan, dan saya doakan semoga hidup kita semua berbahagia.

    Salam 2 jari.

    -dari orang yang memberikan tabloid "Pelayan Rakyat" kepada Bapak Pramudya A. Oktavinanda di suatu sore di area gedung perkantoran.

    Anonymous said...

    Since you have have} in all probability decided on the net playing website you’re going to make use of, beneath are fast steps to arrange your account and start taking part 카지노 in}. As you’d anticipate, the mobile website looks virtually equivalent to its PC counterpart. However, a couple of of} adjustments have been made to enhance the consumer experience on small touchscreen gadgets. BetOnline offers a completely totally different website on cell phones and tablets.


    The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.