THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Hukuman Mati Tak Bisa Setengah Hati!

    Hukuman Mati Tak Bisa Setengah Hati!


    Diskusi tentang hukuman mati sudah sering diulang tetapi isunya tak pernah beres. Mungkin karena terlalu banyak kepentingan dan insentif yang beradu dalam pelaksanaan hukuman mati sehingga langkah yang perlu diambil juga senantiasa setengah hati. Dalam artikel kali ini, saya akan membahas: (i) faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dengan seksama ketika kita ingin menggunakan hukuman mati sebagai bagian dari hukum pidana, dan (ii) prediksi mengapa pelaksanaannya tidak konsisten di Indonesia. Dengan memahami kedua isu di atas, saya berharap pembaca bisa memiliki informasi yang lebih baik dalam menentukan apakah kita memang butuh keberadaan hukuman mati di Indonesia.

    Konsisten dengan pisau analisis saya selama ini, saya akan menggunakan pendekatan ekonomi dan analisis untung rugi terhadap kebijakan hukuman mati. Namun karena sifat hukuman mati yang sangat kontroversial, saya perlu menjelaskan terlebih dahulu mengapa saya tidak sepakat untuk membahas isu ini melalui lensa hak asasi manusia atau filsafat retributif/restoratif.

    Kalau kita percaya dengan ide bahwa tidak pantas manusia menentukan kapan manusia lain mati maka akan ada banyak sekali kebijakan yang tidak boleh diambil oleh Pemerintah. Realitasnya, apakah penentuan hidup mati seseorang hanya terjadi melalui hukuman mati? Hukuman mati hanyalah salah satu bentuk kebijakan yang memiliki efek langsung terhadap nyawa. Banyak kebijakan lainnya yang juga akan memiliki efek terhadap nyawa, misalnya keselamatan transportasi (seberapa jauh kita akan menjamin keamanan setiap moda transportasi?), subsidi kesehatan (berapa banyak alokasi dana Pemerintah yang digunakan untuk perawatan kesehatan dan riset memerangi penyakit berbahaya?), legalisasi industri rokok (sejauh mana kita akan biarkan rokok ada dan merusak kesehatan manusia, sepanjang pendapatan pajaknya masih lebih besar dari biaya kesehatan nasional?), besaran emisi polusi (sejauh mana kadar emisi polusi yang berpengaruh pada kesehatan diperbolehkan untuk ada?), dan masih banyak lagi.

    Perbedaannya dengan hukuman mati? Efeknya tidak langsung dan lebih bersifat jangka panjang. Walaupun tentunya keputusan eksekusi di tiang gantungan atau di lapangan tembak akan jauh lebih dramatis dan menarik untuk dijadikan bahan cerita dibandingkan menentukan berapa banyak emisi asap mobil dan polusi dari cerobong asap pabrik yang diperkenankan untuk mencemari udara kita tahun ini. Kalau ada 2 hak yang saling bertentangan, mana yang harus didahulukan? Hak untuk hidup dengan kata lain tidak absolut kecuali kita siap untuk melakukan perubahan fundamental atas seluruh kebijakan yang mana tidak realistis dan kemungkinan besar akan terjadi hanya ketika kita menemukan sumber daya tak terbatas.

    Saya juga tak mau berpanjang lebar membahas filsafat retributif dan restoratif karena dua-duanya tidak banyak membantu dalam menyusun kebijakan. Hukum pidana memang bisa digunakan untuk balas dendam atau bisa juga dipakai untuk rehabilitasi. Lalu? Terlalu fokus pada balas dendam membuat kita tidak bisa menelusuri lebih jauh apakah keputusan yang kita buat itu ada manfaatnya. Kepuasan dari balas dendam cuma sedikit aspek dari kesejahteraan. Memutuskan bahwa semua narapidana harus direhabilitasi dan dicerahkan jadi manusia yang lebih baik juga tidak gratis dan jelas tidak semua manusia bisa dicerahkan. Lagi-lagi kita harus memilih.

    Dalam pandangan aliran Hukum & Ekonomi, secara normatif, kebijakan pidana tak bisa lepas dari gagasan memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan keterbatasan sumber daya. Analisis harus dimulai terlebih dahulu dengan menentukan tindakan apa saja yang perlu diatur secara pidana. Ini hal yang sering terlupakan khususnya dalam masyarakat yang gila pidana. Semua aspek kehidupan hendak diatur, dan semua pelanggaran harus dikenakan sanksi. Padahal belum tentu semua kegiatan perlu diatur oleh hukum pidana.

    Setelah kita menentukan tindakan apa saja yang akan masuk kategori pidana, yaitu umumnya tindakan yang menimbulkan kerugian aktual secara sosial dan sulit untuk diselesaikan secara privat (lihat pembahasan lebih jauh di artikel saya di sini), kita harus mempertimbangkan bentuk sanksi yang akan digunakan dan ketersediaan serta kualitas penegak hukum yang akan menjalankan hukum tersebut. Mari kita bahas soal sanksi terlebih dahulu.

    Dalam aliran Hukum & Ekonomi, fungsi sanksi pidana ada dalam 2 bentuk. Dalam bentuk negatif, sanksi diciptakan untuk meningkatkan biaya melakukan kejahatan. Pelaku kejahatan rasional hanya akan melakukan aksi kriminal apabila ia memperkirakan (ingat, memperkirakan bukan memastikan 100%) bahwa kejahatannya tersebut akan memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang harus ia keluarkan. Ibarat investasi, orang tentu ingin untung. Semakin besar probabilitas untuk mendapatkan keuntungan melalui aksi kriminal, semakin besar jumlah keuntungan yang akan didapat, dan semakin kecil biaya untuk mendapatkan keuntungan tersebut, semakin besar pula insentif untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks ini, ongkos melakukan kejahatan meliputi biaya operasional kejahatan dan potensi sanksi yang akan ia terima dikalikan dengan probabilitas dijatuhkannya sanksi tersebut.

    Dalam bentuk positif, sanksi pidana bisa digunakan untuk program yang bersifat rehabilitatif. Kadang kala, meningkatkan biaya melakukan kriminal tidak selalu cukup. Bisa jadi karena sanksinya tidak cukup keras, ataupun sanksinya tidak komprehensif, ini khususnya dalam kasus sistem pemenjaraan yang tidak memikirkan bagaimana nanti ketika narapidana kembali ke masyarakat. Apabila mereka tidak memiliki kesempatan yang lebih baik di luar sana ditambah dengan level penerimaan yang rendah dari masyarakat, mantan narapidana akan memiliki insentif yang lebih besar untuk menjadi residivis. Silakan baca artikel ini untuk memahami lebih lanjut isu rehabilitasi.

    Tentu saja pelaksanaan program rehabilitasi harus dilakukan secara selektif. Bagaimanapun juga, ongkos operasional mendidik umumnya selalu lebih mahal dibandingkan menyiksa atau menyengsarakan orang, dan efek yang diharapkan juga belum tentu tercapai khususnya apabila stigma narapidana di masyarakat tidak berubah secara signifikan. Sia-sia mendidik narapidana kalau setelah keluar dari penjara, mereka tetap dikucilkan dan tidak diterima masyarakat. Artinya untuk menyukseskan program ini, kita juga harus memperhitungkan biaya mendidik masyarakat secara keseluruhan.

    Ini mengapa menentukan sanksi pidana yang tepat sebenarnya sangat sulit. Sebagaimana seringkali saya sampaikan, prioritas orang berbeda-beda. Implikasinya, insentif mereka pun juga akan berbeda-beda. Pelaku pembunuhan karena balas dendam akan memiliki insentif yang berbeda dengan pembunuh profesional yang melakukan aktivitasnya karena bayaran, begitu juga akan berbeda insentif seorang pencuri ayam dengan koruptor kelas kakap. Belum lagi relasi dengan masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap narapidana setelah selesai menjalani hukuman juga akan berpengaruh dalam mengukur efektivitas sanksi. Saya perkirakan bahwa hal ini khususnya sangat menyulitkan narapidana dari kelas ekonomi yang lemah dibandingkan dengan narapidana kaya raya.

    Sayangnya, negara kita masih malas memikirkan sanksi pidana yang tepat. Kebanyakan sanksi dipukul rata dalam bentuk penjara, denda, atau hukuman mati. Penjatuhannya juga tampak tidak dipikirkan secara sistematis tapi lebih cenderung mengikuti kemana angin berlalu. Padahal kita butuh penelitian empiris dan eksperimen untuk mengetahui sanksi yang tepat! Kalau kita memilih program rehabilitasi misalnya, kita perlu mengukur sejauh apa kesuksesan program tersebut dengan melihat kontribusi narapidana kepada masyarakat setelah bebas dan tingkat pengurangan aksi residivisme. Kalau kita memilih sanksi dalam bentuk negatif, selain pengurangan residivisme, kita juga perlu melihat seberapa jauh korelasi keberadaan sanksi dengan penurunan aksi kriminal yang kita teliti, atau sebagaimana sering didengung-dengungkan, keberadaan efek jera dari sanksi tersebut. 

    Berhubung penentang hukuman mati sering meributkan isu efek jera, perlu saya sampaikan bahwa kita perlu berhati-hati dalam menyatakan bahwa suatu jenis sanksi tidak memiliki efek jera. Suatu sanksi bisa jadi kurang efektif karena bentuk sanksinya sendiri tidak memberikan insentif yang tepat kepada pelaku kejahatan. Saya misalnya pernah membahas di sini mengapa sanksi penjara bukan jenis sanksi yang tepat untuk kejahatan korupsi. Kemungkinan lainnya adalah karena minimnya tingkat penegakan hukum atau kelemahan dalam prosedur penegakan hukum. Dan menurut saya, isu yang kedua ini lebih relevan bagi hukuman mati.

    Penegakan hukum adalah aspek yang tak bisa dipisahkan dari hukum pidana. Salah satu penyakit kronis dari masyarakat gila pidana adalah percaya bahwa dengan memidanakan sebagian besar aspek kehidupan, maka secara ajaib semua manusia akan taat hukum dan menjadi manusia yang baik-baik. Ini delusional. Kalau tidak ada yang menegakkan hukum, hukum hanya akan jadi macan kertas. Sekalipun kita bisa menciptakan sanksi pidana yang paling mengerikan di alam semesta ini tetapi probabilitas dijatuhkannya mendekati nol, pelaku kriminal kemungkinan besar hanya akan mentertawakan aturan tersebut. Tanpa menelaah probabilitas penjatuhan sanksi hukuman mati, percaya bahwa hukuman mati pasti efektif mengurangi tingkat kejahatan sama sesat pikirnya dengan percaya bahwa hukuman mati tidak efektif sama sekali. 

    Berhubung penegakan hukum butuh biaya dan sumber daya kita terbatas, mau tak mau kita harus memilih. Terciptalah hubungan yang rumit antara jenis tindakan yang perlu dipidanakan, sanksi yang akan dijatuhkan, penentuan jumlah penegak hukum yang optimal, dan efek positif sanksi yang diharapkan melalui pengurangan tingkat kejahatan dan penciptaan nilai tambah bagi masyarakat, semuanya dengan memperhatikan berapa besar jumlah yang harus dibayar oleh masyarakat untuk membiayai keseluruhan sistem tersebut! Perlu diingat bahwa biaya yang harus dibayar masyarakat bukan saja biaya operasional sistem hukum pidana, tetapi juga biaya terhadap anggota masyarakat yang terkena sanksi pidana, bersalah ataupun tidak bersalah, karena mereka semua merupakan komponen dari masyarakat secara keseluruhan (ingat kembali konsep sanksi dalam bentuk negatif yang ditujukan untuk menambah biaya pelaksanaan tindakan kriminal). 

    Setelah memahami konsep-konsep dasar di atas, barulah kita bisa membahas apakah kita membutuhkan hukuman mati di Indonesia. Apa keunggulan hukuman mati? Dari segi biaya operasional, jelas lebih murah dibandingkan dengan biaya operasional penjara. Mematikan orang tidak akan semahal memelihara narapidana dalam penjara apalagi melatih mereka. Sifatnya yang sangat dahsyat juga dapat menciptakan biaya yang sangat mahal bagi pelaku kejahatan (walaupun tentu bergantung pada probabilitas dikenakannya hukuman tersebut). Untuk pelaku kriminal yang sangat berbahaya, mungkin akan lebih baik bagi masyarakat apabila mereka dihilangkan dibanding dengan mengurung mereka untuk memenuhi nilai moral tertentu. Ini mengapa saya tak suka ide moral Batman yang sok tak ingin membunuh Joker walaupun keberadaan Joker sangat berbahaya bagi masyarakat dan selalu bisa kabur dari penjara (penjelasan lainnya adalah kalau Joker dibunuh, cerita Batman juga akan berakhir lebih cepat sehingga ada insentif untuk memperpanjang relasi yang absurd itu).

    Kelemahannya? Penjatuhan hukuman mati tidak bisa memberikan ganti rugi secara moneter kepada korban kejahatan. Padahal bisa jadi bagi korban, penerimaan ganti rugi plus denda jauh lebih bermanfaat. Memangnya seberapa besar nilai balas dendam dari segi moneter untuk kebanyakan orang? Kemudian karena hukuman mati tidak bisa dikoreksi setelah dijatuhkan, biaya administrasi proses penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan penjara. Proses pembuktian akan lebih sulit, proses banding dan grasi juga diprioritaskan. Ini dengan asumsi penegak hukum peduli untuk memastikan bahwa mereka yang dihukum memang benar-benar bersalah dengan tingkat keyakinan mendekati kepastian (beyond reasonable doubt). Harus diingat bahwa menjatuhkan hukuman kepada orang yang salah berarti menciptakan biaya yang tidak perlu bagi masyarakat dan juga mengurangi probabilitas dijatuhkannya hukuman pada pelaku sebenarnya. Setiap kesalahan penegakan hukum pada prinsipnya mengurangi biaya melakukan kejahatan!

    Ini berarti hukuman mati hanya akan memberikan manfaat bersih apabila manfaat yang diperoleh masyarakat dari tingkat pengurangan kejahatan dan penghematan biaya penegakan hukum (karena kejahatan berkurang) lebih tinggi dibandingkan ongkos yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai proses hukuman mati. Untuk mencapai hal tersebut, hukuman mati harus dijatuhkan dengan cepat dan tak bertele-tele, proses pembuktian berjalan efisien dan terpercaya (sehingga prosesnya tak berlarut-larut) dan kemungkinan penjatuhan sanksi kepada orang yang salah juga minim (karena tak mungkin juga penegakan hukum berjalan benar 100%). 

    Pertanyaan besarnya, apakah syarat dan kondisi di atas terpenuhi di Indonesia? Kemungkinan besar tidak. Contoh gampangnya adalah soal Peninjauan Kembali yang baru-baru ini menjadi kontroversi. Kejaksaan Agung menunda-nunda eksekusi pidana mati karena takut perkaranya bisa ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung. Katanya tidak ada kepastian hukum. Bagaimana ini? Penegak hukumnya saja tidak percaya dengan sistem hukum yang mereka jalankan! Lalu untuk apa pula menuntut hukuman mati kalau tidak yakin? Belum lagi fakta bahwa banyak sekali eksekusi hukuman mati yang terkatung-katung. Padahal selama eksekusi tertunda, narapidana tentu harus dipenjara. Penghematan biaya operasional pun menjadi omong kosong belaka.

    Isu lainnya tentunya adalah konsistensi penjatuhan hukuman mati. Siapa yang menjadi target dari hukuman ini? Jelas saja tidak ada efek jera kalau yang dikenakan hukuman umumnya hanya level kroco. Suplai kroco akan selalu lebih banyak dari bos-bos besar pelaku kejahatan, yang artinya posisi mereka gampang digantikan dengan orang lain. Ditambah dengan carut marutnya penegakan hukum kita yang tak jelas administrasinya, probabilitas pelaksanaan hukuman mati juga menjadi semakin rendah. Lalu apa gunanya hukuman mati dalam kondisi seperti ini?

    Walaupun bisa jadi hukuman mati sebenarnya tidak efisien di Indonesia, ada fungsi lain dari hukuman mati yang diminati oleh Pemerintah dan aparat hukum: pencitraan. Tak perlu pusing bahwa biaya administrasinya mahal dan sistemnya carut marut. Yang penting hukuman ini dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan yang dipersepsikan sangat berbahaya. Misalnya narkoba. Berita hukuman mati adalah ladang berita yang selalu menarik kontroversi dan minat pemirsa. Dan selama ia masih jadi sumber berita yang efektif untuk menunjukkan ketegasan pemerintah, selama itu juga tak ada insentif signifikan untuk mengubah sistem.

    Mengapa tidak fokus dengan yang riil-riil saja? Daripada sibuk berfilsafat soal nyawa dan sebagainya, kita bisa bicara aspek yang paling jelas, biaya yang harus ditanggung masyarakat! Kita sekarang membiayai sebuah sistem yang dampaknya relatif rendah, tak murah juga, rentan disalahgunakan dan jadi ajang pencitraan. Kalau mau serius menggunakan hukuman mati, sudah ada resep yang perlu diperhitungkan di atas, tinggal kita kuantifikasi dengan menggunakan data yang solid. Masih mau asyik beretorika atau mulai menyusun kebijakan publik berbasis data? Jangan setengah-setengah kalau mau maju!
  • Gagal Paham Rasionalitas Ekonomi Jilid 2

    Gagal Paham Rasionalitas Ekonomi Jilid 2


    Dalam artikel saya sebelumnya, Gagal Paham Rasionalitas Manusia dalam Pendekatan Ekonomi, saya menyampaikan beberapa tanggapan atas kritik rekan Muhammad Kholid terhadap pendekatan ekonomi yang mengasumsikan rasionalitas manusia sebagai landasan analisis kebijakan publik dan juga hukum. Sempat saya sampaikan bahwa kritik Kholid ini adalah bagaikan memukuli kuda mati (beating a dead horse), alias mengulang-ulang yang tidak perlu. Kholid kemudian membalas artikel saya tersebut di sini.
  • Bolehkah Membunuh Penghina Nabi?

    Bolehkah Membunuh Penghina Nabi?


    Saya umumnya ingin menghindari pembahasan yang agak teknis dalam artikel blog namun nampaknya kali ini tak bisa dihindari lagi. Bagaimanapun juga, kalau kita mau serius mendalami hukum Islam, mau tidak mau kita harus menghadapi berbagai sumber hukum yang bisa jadi saling bertentangan dan oleh karenanya membutuhkan interpretasi lebih lanjut. Pembahasan kali ini terkait kasus pembantaian pengurus dan kartunis majalah Charlie Hebdo di Perancis. Dari segi hukum positif di Perancis atau misalnya di Indonesia, masalahnya sudah jelas, pembunuhan demikian sudah pasti melanggar hukum positif. Tetapi bagaimana dalam tinjauan hukum Islam klasik? Apakah perbuatan tersebut diperkenankan? 
  • Gagal Paham Rasionalitas Manusia Dalam Pendekatan Ekonomi

    Gagal Paham Rasionalitas Manusia Dalam Pendekatan Ekonomi


    Steven Levitt, Profesor di Chicago dan penulis buku Freakonomics dan Super Freakonomics, pernah suatu hari stress luar biasa karena seringkali dikritik orang gara-gara idenya yang dianggap kontroversial dan ia akhirnya meminta nasihat kepada Gary Becker. Saran Gary Becker sederhana: "bersyukurlah kamu karena ada yang mengkritik. Tahu yang lebih parah? Kamu dianggap angin lalu. Itu yang saya lebih tidak tahan lagi." Dalam konteks ini, saya senang akhirnya ada yang mau menulis panjang lebar dalam menanggapi ide-ide saya soal penggunaan analisis ekonomi dan rasionalitas melalui tulisan rekan Kholid Muhammad di sini. Berikut tanggapan saya.

    Kritik Kholid merupakan kritik standar terhadap pendekatan rasionalisme dalam ekonomi. Sayangnya ini tipe kritik yang menurut saya ketinggalan jaman dan banyak salah pahamnya, mungkin karena literatur yang  ia baca dan sampaikan di artikelnya berfokus pada "lawan-lawan" pendekatan rasionalisme dan bukan tulisan resmi macam dari Gary Becker sendiri atau Richard Posner misalnya. Saya tahu ini dengan segera ketika dia menulis bahwa pendekatan rasional berasumsi bahwa selain fokus pada maksimalisasi kepentingan pribadi dan transitif, manusia juga memiliki kemampuan psikologi yang sempurna dan mampu memperhitungkan untung dan rugi secara sempurna pula (khususnya dengan asumsi bahwa ada informasi yang sempurna). Ini penggambaran teori yang luar biasa salah. Mengapa demikian?

    Becker dan Posner sendiri sudah menulis berkali-kali dalam buku mereka (misalnya dalam The Economic Approach to Human Behavior dan Economic Theory dari Becker dan juga dalam Economic Analysis of Law-nya Richard Posner) bahwa asumsi rasionalitas tidak menganggap bahwa manusia pasti sempurna dalam mengambil setiap keputusan, fokusnya adalah cukup bertumpu pada maksimalisasi kepentingan pribadi dan konsistensi dalam mengambil keputusan (transitif). Kalau mau yang lebih formal secara matematis, anda bisa menemukannya dalam buku Philip J. Reny (Profesor di Chicago), Advance Microeconomics. Isunya sederhana, mengambil keputusan pun perlu biaya! Tidak mungkin setiap keputusan diambil  dengan seksama dan susah payah karena masing-masing orang memiliki prioritas yang berbeda.

    Maka ketika membaca buku Kahneman, Thinking Fast and Slow, dan idenya soal sistem 1 dan sistem 2 dalam berpikir yang membedakan antara keputusan yang diambil dengan cepat berdasarkan intuisi dan kebiasaan, serta keputusan yang diambil berdasarkan pemikiran mendalam, saya tak heran atau lantas menjadi berasumsi bahwa manusia tidak rasional. Justru karena ia rasional dan memahami konsep untung rugi, ia tak bisa membagi waktunya secara merata untuk mengambil setiap keputusan. Ambil contoh mudah, total waktu yang akan saya gunakan untuk menentukan apakah hari ini saya akan makan ramen atau nasi padang akan jauh berbeda dengan waktu yang saya gunakan untuk menentukan apakah saya mau melanjutkan jenjang pendidikan saya dengan mengorbankan karir saya. Saya bisa memutuskan makan apa hari ini semudah membalikkan telapak tangan (apalagi kalau harga makanannya tak mahal). Menentukan langkah karir saya? Mikirnya berbulan-bulan sebelum akhirnya mengambil keputusan.

    Lebih penting lagi, kalau pun kita mau menerima ide bahwa manusia tak selalu rasional sebagaimana diargumenkan oleh Kholid, Gary Becker sudah lama menulis soal itu dalam artikelnya, Irrational Behavior and Economic Theory. Ada satu kekuatan besar dalam ilmu ekonomi yang pada akhirnya akan mengoreksi setiap bentuk irasionalitas, kelangkaan (scarcity)! Tidak ada manusia dengan anggaran yang tak terbatas, dan ketika saya bicara anggaran, ini tidak melulu soal uang, tapi juga waktu atau hal-hal lain yang melekat pada diri setiap orang (endowment) seperti misalnya kesehatan atau kemampuan intelektual.

    Ambil contoh kebiasaan-kebiasaan buruk yang sering dianggap sebagai bukti tak rasionalnya manusia semacam kemalasan dalam berolah raga, makan kebanyakan dan tak sehat, atau merokok. Secara ilmiah, hal-hal tersebut diyakini dapat berkontribusi untuk memendekkan umur seseorang. Orang yang tak paham ekonomi mungkin akan cepat berujar bahwa orang-orang yang melakukan hal di atas adalah orang-orang yang tidak rasional, bukankah seharusnya semua manusia mau panjang umur? Apakah ini contoh manusia bodoh yang tidak memperdulikan peningkatan resiko kematian di masa depan bahkan setelah ia mengetahui resikonya?

    Kalau kita setuju bahwa hal-hal di atas adalah contoh irasionalitas, akan ada kekuatan yang mengkoreksinya, misalnya penyakit serangan jantung yang jelas menurunkan sumber daya kesehatan. Selanjutnya bisa kita teliti apakah akan ada perubahan sikap setelah seseorang mengalami penyakit demikian. Saya sudah berkali-kali melihat teman-teman dan anggota keluarga saya yang mengubah total gaya hidupnya setelah selamat dari pengalaman penyakit yang bisa mematikan.

    Tapi kita juga bisa melihat mereka sebagai manusia rasional. Mereka  pada dasarnya menukarkan kenikmatan masa kini dengan masalah/biaya di masa depan. Olah raga ada manfaatnya, tapi melakukannya melibatkan biaya dan waktu (termasuk kelelahan fisik). Banyak orang yang gagal diet dan menurunkan berat badan melalui olah raga karena tak sabar menunggu hasilnya. Salad organik nampak sehat, tapi percayalah, nasi padang dan steak umumnya jauh lebih enak dibanding dengan salad organik mana pun. Saya tidak tahu soal rokok karena tidak pernah merokok, tapi saya tahu orang-orang yang merokok karena menurut mereka itu memberikan kenikmatan. Mengapa anda bisa dengan gagah berani menyatakan bahwa orang-orang ini tidak rasional? Bisa jadi prioritas mereka berbeda. Mungkin bagi mereka kenikmatan makanan lebih bernilai dibanding biaya menyeret badannya yang kelebihan berat.

    Saya bisa berbicara seperti itu karena saya sendiri pernah kelebihan berat badan bertahun-tahun gara-gara berlebihan makan setelah bekerja dan punya uang (maklum, dulunya saya kurus kering ketika masih menjadi mahasiswa miskin). 2 tahun lalu saya memutuskan bahwa saya lelah menyeret badan saya dan menjadi tidak produktif. Ditambah taruhan dengan istri saya dalam jumlah besar, akhirnya saya punya motivasi untuk berolah raga dan mengurangi asupan makanan saya. Alhamdullilah, sukses. Dan sejak itu, saya tak mau lagi menukar jumlah asupan makanan dengan tambahan berat badan. Prioritas saya berubah. Sesederhana itu.

    Sama pula dengan sebagaimana saya argumenkan dalam tulisan saya sebelumnya soal untung rugi dalam beribadah atau kemalasan dalam berinvestasi soal agama. Kalau orang menganggap penting surga dan neraka, ia akan beribadah untuk memperoleh surga. Kalau aktivitas hidupnya tidak mencerminkan perilaku surgawi, bisa jadi ia memang tidak benar-benar peduli soal surga dan neraka. Jangan kemudian menyalahkan orang lain yang mau beribadah demi surga dan mencap mereka sebagai pedagang. Lihat dulu konsistensi perilakunya. Kalau ada orang yang malas berinvestasi soal agama, jangan percaya klaim mereka bahwa mereka cinta agamanya. Itu hanya pencitraan belaka supaya tidak dianggap buruk-buruk amat, yang mana merupakan tindakan rasional juga.

    Intinya dalam ilmu ekonomi, rasionalitas menguji seberapa penting orang menilai suatu objek atau aktivitas tertentu dalam hidupnya. Semakin penting objek atau aktivitas tersebut, maka semakin besar juga kemungkinan ia mau berinvestasi untuk mendapatkan objek atau menjalankan aktivitas tersebut. Melalui teori pilihan rasional ini, pembuat kebijakan diminta untuk memeriksa dengan seksama apakah kebijakan yang disusunnya sudah memperhatikan insentif dari mereka-mereka yang akan menjadi subjek dari kebijakan tersebut. Alih-alih bermain dengan teori saja, teori rasionalitas ekonomi justru meminta kita untuk meneliti secara empiris bagaimana efek suatu kebijakan dan tidak gampang menyatakan bahwa seseorang tidak rasional. Inilah pendekatan Chicago yang sudah lama didengung-dengungkan oleh Milton Friedman dan Gary Becker sejak jaman dahulu kala. Anda bisa membaca manifesto Chicago yang menggabungkan teori dan praktek ekonomi demi kesejahteraan ekonomi di sini.

    Yang saya khawatir, orang-orang seperti Kholid ini bukan saja salah paham soal pengertian rasionalitas, tetapi juga mencampuradukkan konsep bahwa rasionalitas yang diterjemahkan menjadi maksimalisasi utilitas itu berarti bahwa insentif manusia seakan-akan hanyalah soal uang belaka atau bahwa rasionalitas individual akan menyelesaikan semua masalah melalui teori invisible hand. Saya mengundang Kholid untuk pergi ke Chicago dan mengambil kelas Price Theory supaya tidak terus menerus gagal paham. Kritik Stiglitz yang dikutip Kholid soal bahwa maksimalisasi kesejahteraan individual tidak akan mensejahterakan semua orang bagi saya lebih pantas jadi argumen politik dibanding argumen ekonom sejati. Mengapa?

    Karena isu ini sudah lama dibahas di Chicago dan buku standar teks ekonomi. Kita sering mendengar soal Tragedy of the Commons, permasalahan yang terjadi ketika aksi rasional dari masing-masing individu berakhir merugikan semua orang dalam kasus konsumsi barang publik yang kepemilikannya tidak jelas (contoh, overfishing ikan tuna). Ada pula kebalikannya, yaitu Tragedy of the Anti Commons ketika 1 properti dimiliki oleh terlalu banyak orang yang kemudian menimbulkan Hold Up Problem. Saya sudah menulis soal itu di sini, di sini dan juga di sini bagi mereka yang ingin mendalami secara lebih teknis. Penyebabnya juga lagi-lagi rasionalitas di level individual. 

    Atau Kholid sudah pernah mendengar soal Public Choice? Salah satu pendiri aliran ini, Gordon Tullock juga berasal dari Chicago, tepatnya Chicago Law School. Public Choice yang menggabungkan ilmu politik dan ekonomi untuk menganalisis kebijakan publik dan hukum adalah kelas yang selalu diajarkan di Chicago. Selain mendalami Arrow's Impossibility Theorem dan Game Theory, kita juga mendalami mengenai teori grup kepentingan dan bagaimana efeknya terhadap pengambilan keputusan kolektif. Anda bisa membaca makalah sederhana saya mengenai Public Choice Theory di sini. Intinya, potensi irasionalitas dalam pengambilan keputusan kolektif (sebagai akibat rasionalitas individual) itu sangat tinggi dan ada banyak mekanisme yang bisa digunakan untuk menyabotase demokrasi dengan mekanisme diktatorial yang bisa jadi susah untuk dicermati karena sangat samar.

    Maka saya bertanya, kritik "keren" dari Stiglitz itu ditulis sebagai ekonom atau politisi? Saya sudah lama membaca buku-buku Stiglitz, dari SMA malah. Awalnya menarik macam kritiknya terhadap neoliberalisme dan kerakusan korporasi. Saking tertariknya, saya bahkan mengambil kelas Neoliberalism and Its Critiques di Chicago yang diajar oleh Prof. Bernard Harcourt (Harcourt ini pemikir garis kiri yang juga menunjukkan bahwa di Chicago, semua ide bisa hidup dengan bebas). Kesimpulan saya setelah mengambil kelas itu? Yang mengkritik tampaknya tak paham konsep kapitalisme murni dan mencampuradukkannya dengan konsep kapitalisme kroni atau korporasi. Anda bisa baca tulisan saya soal itu di sini dan juga di sini.

    Ide bahwa pasar akan menyelesaikan semua masalah adalah ide yang ketinggalan jaman. Ide Chicago generasi masa kini adalah fokus di efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan. Kita paham bahwa rasionalitas individual bisa bermasalah di level kolektif dan kita juga paham bahwa Pemerintah isinya bukan malaikat. Justru karena kita paham bahwa pemerintah isinya manusia-manusia yang rasional, kita menjadi semakin berhati-hati dalam membangun institusi politik dan membuat aturan main yang tepat. Memangnya anda pikir Ronald Coase yang juga merupakan salah satu pendiri Institutional Economics asalnya dari mana? Chicago!

    Lagipula, apa solusi Stiglitz? Pemerintah dan regulasi. Tapi kalau dia belajar Public Choice, menyerahkan semua isu kepada pemerintah juga sama bermasalahnya. Siapa yang bisa menjamin bahwa pemerintah akan dipenuhi oleh manusia-manusia suci yang sudah menjadi wali atau pandita? Memangnya manusia yang menjadi direktur perusahaan dan yang menjadi pejabat di pemerintah berasal dari planet yang berbeda? Apakah pernah dipikirkan bahwa dengan kekuatan pemerintah yang demikian besar, kebijakan yang salah juga bisa menimbulkan bahaya yang tak kalah dahsyatnya? Baru-baru ini saya menghadiri diskusi di kampus soal inovasi dalam kebijakan publik di negara berkembang. Salah satu kisah menariknya adalah bahwa anda tak bisa berasumsi bahwa pemerintahan pasti baik. Ada contoh-contoh dimana kebijakan yang tepat menciptakan pertumbuhan yang dahsyat. Tetapi ada juga negara seperti Somalia dimana penelitian menunjukkan bahwa setelah negara itu memiliki pemerintah, hidupnya makin sengsara!

    Atau seperti krisis 2008 atau bahkan Depresi Besar di masa lampau. Apa penyebabnya? Ada yang mengklaim bahwa ini kegagalan pasar. Ada juga yang mengklaim bahwa ini kesalahan kebijakan pemerintah. Teori rasional pun bisa menjelaskan mengapa krisis 2008 terjadi. Karena rumah bukan saja dijadikan tempat tinggal tapi juga investasi, ditambah dengan pembiayaan kredit rumah yang terlalu murah, orang-orang pun berbondong-bondong hendak membeli rumah, termasuk mereka yang sebenarnya tidak pantas diberi kredit seandainya bunganya tidak disubsidi. Apakah ini contoh irasionalitas? Saya pikir lebih pantas jadi contoh aksi rasional di level individual yang kemudian menciptakan masalah kolektif. 

    Harus diakui bahwa di level makro, sebagaimana sering dikutip oleh Kholid, ilmu ekonomi sifatnya masih gaib. Tapi pendekatan yang saya bicarakan selama ini berfokus pada level mikro dan lebih penting lagi, perbedaan pendapat yang disampaikan oleh Kholid bukan bukti bahwa ilmu ekonomi gagal! Justru kalau kita serius bertumpu pada asumsi rasionalitas, tidak ada satu pun ekonom yang akan puas begitu saja dengan modelnya. Ketika ia melihat modelnya tidak menyelesaikan masalah, ia harus berpikir, apa komponen yang harus diperbaiki. Saya pikir ini norma umum yang berlaku di kalangan ekonom profesional dan yang saya tangkap di Chicago (ngomong-ngomong, Lucas dan Fama juga dikritik oleh ekonom Chicago lainnya. Anda bisa baca artikelnya di sini dan di sini. Kritik itu sudah disampaikan tahun 2010, jadi anda ketinggalan 4 tahun lebih).

    Tapi kritik yang paling menarik dari Kholid adalah bahwa seakan-akan saya berpikiran bahwa pendekatan ekonomi yang digunakan untuk menyusun kebijakan ini adalah pendekatan absolut yang tak mungkin salah. Ini menurut saya klaim paling bombastis yang lagi-lagi menunjukkan kesalahpahaman yang akut. Saya tidak pernah bilang pendekatan ekonomi sempurna. Yang saya tekankan adalah bahwa pendekatan ekonomi adalah yang terbaik di antara pendekatan-pendekatan lainnya karena menurut saya pendekatan ekonomi lebih mau bekerja keras untuk memahami manusia dan penyusunan kebijakan secara realistis.

    Karena sekalipun kita berasumsi bahwa manusia selalu memaksimalkan manfaat bagi dirinya, kita tidak bisa menyamaratakan semua manusia. Perhitungan untung rugi tiap orang bisa jadi berbeda, dan yang menantang adalah bagaimana mengetahui cara tiap-tiap orang berpikir dalam mengambil keputusan sehingga formulasi insentif dan kebijakan yang kita ambil juga tepat. Ambil contoh tulisan saya soal mendidik bukan sekedar pengabdian. Ketika ada pengajar yang bersedia untuk bekerja dengan gaji kecil, saya tidak lantas menyatakan bahwa dia tidak rasional. Saya cukup yakin dia sudah melakukan analisis untung rugi atas pilihan hidupnya. Bisa jadi dia tidak punya kesempatan yang lebih besar diluar menjadi dosen, bisa jadi dia senang mengabdi dan bersedia membayar mahal dengan melepaskan kesempatan yang lebih baik.

    Isu pentingnya, adalah seberapa banyak orang-orang seperti ini? Bisakah kita menemukan manusia paripurna dalam jumlah yang banyak? Atau jangan-jangan kita cuma mendapatkan orang dengan kualitas buruk? Pernahkah dipikirkan bagaimana efeknya kalau insentif finansial kurang diperhatikan karena hanya berfokus pada insentif penghormatan atas pengabdian? Pernahkah penyusun kebijakan pendidikan kita membandingkan institusi pendidikan kita dengan institusi pendidikan yang memberikan kompensasi menawan kepada pengajarnya dan bagaimana efeknya terhadap kualitas pendidikan? Pendekatan ekonomi yang benar memaksa kita untuk berpikir secara serius soal insentif tersebut bukan malah asik berteori sendiri tanpa melihat realitas! 

    Kholid sempat menyampaikan bahwa pendekatan ekonomi itu berguna, sebelum kemudian menyampaikan permasalahan-permasalahanya. Pertanyaan saya, apa alternatif pendekatan yang lebih baik terhadap pendekatan yang saya gunakan khususnya dengan memperhatikan kelengkapan alat analisis yang sudah saya sampaikan di atas? Misalnya saya ingat ada yang mendebat bahwa kita bisa menggunakan pisau analisis nilai sosial di masyarakat untuk memahami perilaku manusia. Oke, menarik, tetapi menurut saya masih kurang tajam. Kita bisa tarik lebih jauh lagi melalui pendekatan ekonomi, seperti mengapa orang mau mengikuti nilai sosial itu? Apakah nilai sosial itu efisien? Memberikan kesejahteraan? Apakah kita akan terus mendukung nilai-nilai sosial yang misalnya mendiskriminasi kaum minoritas dan perempuan semata-mata karena nilai sosial itu sendiri?

    Saya senang karena Kholid mengkritik metodologi pendekatan saya, tetapi saya khawatir kritik ini akan berujung sia-sia, khususnya karena kritik-kritik yang dia sampaikan sudah lama dibahas di dunia profesional dan juga di Chicago. Semboyan Chicago: "here, only your idea matters." Di sini adalah tempat dimana sesama kolega tak akan sungkan untuk saling membantai dalam setiap workshop. Dogma terdalam di Chicago adalah bahwa tidak ada ide yang cukup suci untuk tidak bisa dikritik. Tinggal kemudian apakah kita bisa benar-benar menyampaikan kritik yang tepat atau cuma asal bunyi? Tadi sudah sempat saya sampaikan soal Bernard Harcourt. Anda kenal juga Richard Thaler? Salah satu ekonom yang bisa dianggap sebagai pendiri Behavioral Economics? Anda pikir dia darimana? Chicago! Kritik-kritik terdalam Chicago hidup di Chicago karena kita semua tahu ide yang tak terasah tak akan bisa jadi ide yang dahsyat.

    Saya tidak tahu kalau di Indonesia. Pengalaman saya sebagai sarjana hukum di Indonesia, Indonesia selalu ketinggalan jauh dari perkembangan ilmu terkini. Saat ini Indonesia sedang agak ramai membahas teori hukum progresif yang dulu sempat ramai juga di tahun 20-an di Amerika sampai kemudian di tahun 70-an ada Critical Legal Studies. Bagaimana nasib pemikiran itu sekarang di Amerika? Hampir mati, karena secara metodologis gagal dan tak jelas juga kriteria progresifnya seperti apa, belum lagi dilibas dengan pendekatan Law and Econ yang kini mendominasi. Padahal dua-duanya mulainya sama-sama di tahun 70-an. Jangan sampai kritik Kholid muncul karena perkembangan terkini di ilmu ekonomi belum mendarat dan tersebar luas di Indonesia.

    Meminjam istilah Barat, yang sedang dilakukan oleh Kholid saat ini adalah beating a dead horse. Krugman dan Stiglitz memang ekonom handal di masa lalu, tetapi sekarang mereka lebih sering jadi political pundits. Yang namanya pundits umumnya lebih terkenal dibandingkan dengan ekonom yang serius riset di kampus. Mengulang kritik yang sama saya pikir tak produktif.  Oleh karenanya saya mengusulkan kepada Kholid untuk mengkritik lebih jauh tawaran kebijakan yang pernah saya sampaikan. Kalau memang ide saya kurang tepat, saya ingin tahu apa tawaran yang lebih baik. Karena bagi saya, ilmu ekonomi tidak berguna kalau tidak ada manfaatnya buat penyusunan kebijakan publik dan hukum.

    Akhirul kata, saya kembali ucapkan terima kasih kepada Kholid yang sudah meluangkan waktunya untuk menulis kritik atas pemikiran saya dan saya tunggu lanjutan artikelnya. 
  • Kecelakaan Air Asia dan Kebijakan yang Asal-Asalan

    Kecelakaan Air Asia dan Kebijakan yang Asal-Asalan


    Berita beberapa hari terakhir soal kasus Air Asia dan kecelakaan Pesawat #QZ8501 sangat membingungkan bagi saya. Simpang siur soal apakah ada pelanggaran izin trayek, hubungan antara izin trayek tersebut dengan potensi kecelakaan, sampai isu remeh temeh semacam apakah Menteri Perhubungan marah-marah di kantor maskapai Air Asia atau tidak. Belum selesai dengan semua isu ini, Menteri Perhubungan kembali membuat gebrakan dengan membatasi besaran tarif bawah yang dapat dikenakan oleh maskapai penerbangan. Alasannya? Demi keselamatan penumpang karena menurutnya, tarif rendah berkorelasi dengan minimnya fitur keamanan maskapai.

    Klaim di atas cukup fantastis tetapi tidak jelas darimana asalnya. Benarkah harga murah berkorelasi dengan fitur keamanan yang buruk dari maskapai penerbangan di Indonesia? Apa definisi maskapai dengan fitur keamanan yang buruk dan bagaimana kita bisa menilainya? Apakah isu kecelakaan pesawat terbang di Indonesia lebih sering disebabkan maskapai, disebabkan oleh kontrol trafik penerbangan, atau justru karena regulatornya sendiri yang tidak kompeten? Lebih penting lagi, dari sudut pandang probabilitas terjadinya kecelakaan, apakah industri penerbangan Indonesia memang dapat dikategorikan sebagai benar-benar tidak aman, khususnya dibandingkan dengan sarana transportasi laut dan darat?

    Tanpa penjelasan yang memadai dari Departemen Perhubungan dan bermodalkan secuil alasan soal keselamatan, sulit melihat kebijakan di atas sebagai kebijakan yang didasarkan pada analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang komprehensif. Kebijakan yang cenderung asal-asalan ini lebih cocok dikategorikan sebagai tipikal alat pencitraan (sebagaimana pernah saya diskusikan di sini). Kalau mau berkonspirasi sedikit, bisa jadi malah kebijakan ini disusun untuk menguntungkan kelompok kepentingan tertentu khususnya maskapai dengan tarif yang lebih mahal. Yang kemungkinan besar akan dirugikan? Konsumen.

    Mengapa? Karena berarti harga tiket pesawat akan menjadi lebih mahal sementara kompensasinya bagi masyarakat tidak jelas. Apakah penumpang akan memperoleh kompensasi dengan tingkat keamanan yang lebih baik? Hanya apabila kita berasumsi bahwa pembatasan tarif bawah akan memberikan insentif kepada maskapai penerbangan untuk meningkatkan fitur keamanan mereka. Itu pun masih bertumpu pada asumsi lanjutan bahwa selama ini maskapai penerbangan murah kurang aman karena harganya ditekan. Kalau ternyata selama ini tidak ada korelasinya dengan keamanan, lalu untuk apa konsumen diminta membayar lebih mahal? Lebih penting lagi, kalau dibandingkan dengan data kecelakaan maskapai penerbangan tarif atas, apakah memang ada korelasi antara tarif mahal dengan level keamanan?

    Walaupun model bisnis antara maskapai penerbangan tarif bawah dan tarif atas pada prinsipnya sangat berbeda, saya cukup yakin dua-duanya peduli pada fitur keamanan karena mereka paham bahwa dibandingkan dengan kecelakaan terhadap sarana transportasi lainnya, kecelakaan penerbangan selalu menjadi sorotan berita utama dan dampaknya terhadap bisnis bisa sangat merugikan. Lihat saja misalnya dampak kecelakaan terhadap Malaysian Airline (yang sebenarnya termasuk kategori maskapai premium). Secara probabilistik, kejadian kecelakaan berturut-turut yang dialami oleh Malaysian Airline sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi dan kemungkinan besar berada di luar kendali mereka (siapa yang bisa menduga ada anggota milisi yang akan menembakkan roket ke pesawat sipil?). Terlepas dari kesialan yang luar biasa tersebut, masyarakat nampaknya tidak peduli dan menganggap bahwa permasalahannya berada pada Malaysian Airline, tak lupa unsur klenik dan religius ikut menyertai. 

    Oleh karenanya, saya sangat meragukan bahwa harga tiket yang lebih rendah dari maskapai penerbangan tarif bawah tersebut disebabkan karena mereka mengkompromikan keselamatan. Belajar dari industri penerbangan di Amerika, harga tiket yang murah tersebut didapat dari penghematan dengan jalan mengurangi kenikmatan penerbangan kepada para penumpangnya. Misalnya dengan memberikan tempat duduk yang lebih sempit, menambah jadwal penerbangan, dan kemudian menjual semua fasilitas penerbangan yang umumnya digratiskan oleh maskapai penerbangan premium seperti bagasi, cemilan, prioritas untuk check-in, atau tempat duduk yang lebih lega. Sejauh yang saya ketahui, modus yang sama juga dipakai di Indonesia.
     
    Jadi, apakah kualitas keamanan penerbangan Indonesia akan menjadi lebih baik karena aturan Menteri Perhubungan itu? Tidak jelas. Yang pasti terlalu banyak angan-angan dan asumsi dalam kebijakan kali ini. Lebih parah lagi, kebijakan pencitraan seperti ini hanya mengalihkan kita dari isu yang lebih krusial dan sudah ada di depan mata selama bertahun-tahun tanpa ada perbaikan yang memadai. 

    Walaupun kematian karena kecelakaan mobil dan motor di jalan raya selalu memakan korban jiwa berkali-kali lipat lebih banyak per tahun dibandingkan dengan kecelakaan pesawat yang jarang terjadi, sebagaimana saya sampaikan di atas, kasus kecelakaan penerbangan selalu menyita porsi berita yang lebih besar. Orang umumnya lebih mudah mengasosiasikan dirinya dengan kasus-kasus besar dibanding dengan kasus yang terkesan biasa-biasa saja seperti meninggal karena kecelakaan motor yang sudah menjadi rutinitas harian. Karena rutin, nilai informasinya juga menjadi lebih rendah. Tak heran kita tak pernah mendengar kisah hidup dan cita-cita dari seorang pengendara motor yang tewas karena sembrono di jalanan. Bandingkan dengan kisah penumpang dari pesawat yang jatuh.

    Jangan salah paham dan cepat-cepat berkomentar bahwa saya sedang membahas tragedi mana yang lebih tragis. Ini bukan soal persaingan drama dan sinetron. Saya juga tidak sedang berargumen untuk menafikan tragedi kecelakaan pesawat. Jelas tetap penting untuk mengetahui apa penyebab kecelakaan tersebut, siapa yang seharusnya bertanggung jawab dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki masalah serupa di masa depan (setelah selesai dipelajari secara seksama). Industri penerbangan menjadi industri transportasi paling aman di dunia karena setiap kecelakaan selalu dipelajari dengan serius. Hanya saja, kalau kita menganggap bahwa nyawa yang hilang di udara setara nilainya dengan nyawa yang hilang di darat, sebenarnya kita sudah berada dalam keadaan gawat darurat terkait dengan moda transportasi darat dan ini yang seharusnya menjadi prioritas Departemen Perhubungan seandainya mereka memang serius mau menjadi regulator yang baik.      

    Pertama-tama, kita perlu berhenti menggunakan retorika tentang pentingnya keselamatan di atas segala-galanya (yang juga dijadikan sebagai alasan untuk mengatur soal harga tiket maskapai). Retorika ini memang terlihat elegan pada saat suatu kecelakaan besar terjadi, tetapi sebenarnya tidak berguna dalam menyusun kebijakan. Pada dasarnya, semua ada harganya sepanjang resiko kematian karena kecelakaan tidak 100%. Tidak percaya?

    Setiap saat kita melakukan analisis biaya manfaat/untung rugi dalam seluruh aspek kehidupan kita. Mengendarai mobil jelas meningkatkan resiko kematian kita, tetapi kita tetap menggunakan mobil karena kenyamanan yang ditawarkan oleh mobil. Kalau benar keselamatan ada di atas segala-galanya, maka tidak ada satu pun metode transportasi yang diperbolehkan beroperasi di muka bumi ini. Kita semua cukup jalan kaki saja, dijamin tidak ada kecelakaan lalu lintas, laut, dan pesawat. Angka kematian karena kecelakaan juga pasti menghilang. Masalahnya kemudian apakah biaya dan waktu yang hilang karena konektivitas kita berkurang drastis dapat menjustifikasi peningkatan keselamatan yang kita dapat karena semua manusia berjalan kaki?

    Dengan kata lain, fitur keamanan penting dan perlu dibayar biayanya sampai titik tertentu, titik yang optimum. Ketika biaya untuk mendapatkan keamanan terlalu tinggi, orang harus memilih apakah mereka akan tetap melakukan aktivitas tersebut atau tidak. Ini berarti bahwa yang saat ini perlu kita ketahui adalah seberapa besar biaya keselamatan yang optimum dan seberapa jauh masyarakat bersedia untuk membayarnya? Kebijakan asal-asalan akan kontra produktif.

    Sebagai contoh, katakanlah demi "keamanan", harga tiket pesawat dipaksa untuk dinaikkan. Karena harganya menjadi terlalu mahal, sebagian konsumen kemudian memutuskan untuk tidak menggunakan pesawat dan beralih ke transportasi darat. Tanpa ada perbaikan di darat, bertambahnya jumlah pengendara kendaraan bermotor berpotensi meningkatkan kecelakaan. Sementara itu, tidak jelas pula apakah ada peningkatan keamanan yang signifikan di industri penerbangan. Lagi-lagi masyarakat yang harus menanggung biaya tambahan itu. Apa ini contoh kepedulian pemerintah terhadap keamanan transportasi?

    Kedua, saya perlu mengingatkan kembali bahwa penyusunan kebijakan publik harus berbasis data, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Prioritas terhadap perbaikan dan regulasi sistem transportasi tidak bisa didasarkan sekedar pada sensasi yang dibuat oleh media. Kasus kecelakaan pesawat memang menyita perhatian dan terkesan lebih menakutkan, tapi secara umum, kondisi transportasi udara masih lebih baik dibanding dengan kondisi di darat dan laut. Ini yang perlu disampaikan sehingga masyarakat juga tidak mengalami ketakutan yang tidak perlu. Masyarakat juga perlu senantiasa mengingatkan pemimpinnya ketika mereka tidak paham prioritas yang benar. Tunjukkan juga bahwa pencitraan yang berlebihan tidak disukai. Kalau pejabat tahu pencitraan tidak lagi disukai, mereka juga memiliki insentif yang lebih tinggi untuk tidak sibuk menjalankan pencitraan.  

    Terakhir, daripada bermain-main dengan ranah yang belum pasti macam hubungan antara tarif dan keselamatan penerbangan, banyak aspek yang bisa menjadi perhatian Departemen Perhubungan dalam menangani isu transportasi darat. Sebagian besar dari isu-isu tersebut sudah saya diskusikan di sini. Pekerjaan rumah kita masih tersisa banyak sekali. Jangan buang-buang waktu dengan retorika dan pencitraan!

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.