THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Law and Religion. Show all posts
Showing posts with label Law and Religion. Show all posts
  • Persaingan Sehat Antar Agama dan Aliran


    Dalam artikel saya sebelumnya, saya membahas fenomena kemalasan dalam beragama, khususnya agama Islam, dan implikasinya terhadap kajian-kajian Islam itu sendiri. Salah satu kritik saya adalah kita terlalu banyak berdebat soal akidah (yang sebenarnya tidak terlalu rumit) dan melupakan bagaimana nilai-nilai agung dalam Islam dan Hukum Islam dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu contoh yang saya bahas adalah kajian mengenai hukum mengucapkan selamat natal yang rutin terjadi setiap tahun, serutin debat soal "kita belum benar-benar merdeka" setiap tanggal 17 Agustus atau "apakah Kartini sebenarnya pembela wanita atau bukan" setiap hari Kartini.

    Tetapi yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa isu akidah ini seringkali dipakai untuk memanaskan situasi dan adu domba antar umat beragama, bahkan pembantaian terhadap umat dengan agama atau aliran lainnya. Seakan-akan kalau sudah soal akidah, menghalalkan darah pun tidak apa-apa. Belum lagi kalau kemudian isu ini diperkeruh dengan aksi retorika yang tidak bertanggung jawab, seakan-akan kita senantiasa berada dalam kondisi siap berperang antar umat beragama. Apa manfaat dari kajian dan retorika seperti itu?   

    Kita harus mengingat kembali bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Fakta bahwa bangsa ini masih bisa bertahan sampai sekarang dengan tingkat keragaman tersebut sebenarnya sudah luar biasa mengingat potensi konflik tentu akan selalu ada dan dalam beberapa kasus, tak bisa dihindari. Dengan situasi seperti itu, kita tidak butuh tambahan bibit-bibit api yang dapat menimbulkan konflik baru, kita justru butuh upaya-upaya yang dapat mengurangi konflik! 

    Isunya sederhana, konflik antar anggota masyarakat tak pernah menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Lebih tepatnya, konflik hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang sementara biayanya ditanggung banyak orang. Contoh konflik di Ambon dan Poso. Berapa banyak nyawa dan harta terbuang? Berapa banyak investasi sosial (termasuk kerukunan) yang sebelumnya sudah ada menjadi hilang? Apakah luka di hati masing-masing pemeluk agama itu sudah sembuh sepenuhnya? Mungkin luka itu akan permanen dan rasa ketidakpercayaan antar warga tidak akan pernah hilang, walaupun bisa jadi sudah berkurang. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

    Belum lagi ongkos yang ditanggung karena agama dicitrakan secara buruk. Saya tidak akan heran kalau ada orang yang memilih lari dari agama atau menolak ide agama secara keseluruhan. Bicara bahwa inti dari semua agama adalah soal kedamaian dan cinta kasih itu gampang. Tapi kalau prakteknya diisi dengan bunuh-bunuhan dan kalimat kebencian, semua omongan tentang kedamaian itu menjadi omong kosong. Bagaimana caranya kita bisa membela kehormatan agama Islam kalau misalnya kasus pembunuhan orang Ahmadiyah di Cikeusik dianggap angin lalu, atau pengusiran terhadap kaum Syiah di Sampang dianggap sah-sah saja?

    Saya bahkan tidak terlalu peduli bagaimana agama lain atau bangsa lain memperlakukan umat Islam. Saya lebih peduli soal bagaimana umat Islam memperlakukan orang lain, khususnya selaku mayoritas. Karena ini soal nama baik umat Islam, yang seharusnya menduduki posisi utama bagi orang Islam (atau yang mengaku ingin membela Islam). Kita bisa bilang bahwa pelaku pembunuhan dan pengusiran itu hanyalah oknum, tapi kalau diam-diam ada orang yang mengaku Islam dan menyetujui tindakan tersebut, misalnya karena itu adalah tindakan retaliasi terhadap perlakuan terhadap umat Islam di belahan dunia lain, agama Islam mungkin sudah berada dalam kondisi gawat darurat.

    Kalau kita benar-benar mau lebih serius menghitung untung rugi tindakan kita, mengurangi konflik antar umat adalah langkah yang paling rasional dan optimal. Analoginya, ada satu perusahaan yang karyawannya selalu bertengkar antar sesamanya padahal secara individu, masing-masing karyawan dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan. Bagaimana kita akan jadi produktif kalau kita tak bisa bekerja sama dan saling percaya?

    Dalam hal ini, saya berpandangan bahwa kajian akidah yang terlalu keras hanya akan menciptakan bibit-bibit konflik. Bayangkan kalau hal yang sama diulang-ulang terus setiap hari. Yang kita ingat cuma konflik di mana-mana. Kita selalu diingatkan dengan luka lama, kita dianjurkan untuk curiga dengan umat agama lain. Untuk apa? Padahal isu akidah itu sangat sederhana, setidaknya untuk umat Islam.

    Sayangnya, selama kondisi masyarakatnya masih malas mempelajari ilmu agama, kajian akidah yang berlebihan ini menjadi sangat menarik. Mengapa demikian? Karena isu akidah memang gampang untuk dibawa kemana-mana dan terkesan sangat penting. Dalam kajian akidah, akidah adalah pilar utama agama. Kalau akidahnya tidak benar, seorang muslim tidak bisa masuk surga. Dan kalau akidahnya sudah benar, maka sekalipun hidupnya begajulan dan tak bermanfaat untuk dunia ini, dia tidak akan di neraka untuk selamanya. Tambahkan pula konsep orang kafir pasti masuk neraka, dan makin jumawalah perasaan orang-orang malas ini.

    Penganjur kajian ini sendiri menurut saya tak bertanggung jawab karena sebenarnya mereka sedang menjerumuskan umatnya sendiri. Bahkan jika seandainya mereka berniat baik pun, niat itu tak mengurangi kadar kebahayaan mereka. Dalam kitab Minhajul Abidin, Imam Al Ghazali mengingatkan bahayanya ahli ibadah yang tak mau belajar dan mendalami agama, dan merasa cukup hanya dengan beribadah secara ritual saja: mereka menjadi gampang ditipu oleh setan.

    Apalagi kalau ternyata dibalik semua itu, hasrat duniawi untuk mendapatkan harta dan ketenaran lebih dominan sebagai dasar untuk terus memberikan kajian yang tak bertanggung jawab. Ya, saya sudah sampaikan bahwa ibadah itu soal untung rugi, dan analisis untung rugi orang-orang ini salah maksimal, anda menjual agama anda terlalu murah kalau anda mau menjerumuskan orang lain dengan imbalan tak seberapa.

    Isu akidah Islam sederhana: Tuhan hanya ada 1, yaitu Allah. Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad. Kitab suci Quran berasal dari Allah. Dan akan ada kiamat suatu hari nanti sebagai hari pengadilan terakhir. Cukup sampai di situ dan menurut saya kajiannya sudah lengkap. Jangan kebablasan seperti ahli teologi yang bertengkar sampai saling membunuh dan menyiksa seperti kaum Mu'tazilah yang tega menggunakan pengaruh politik untuk menyiksa ulama yang tak sependapat dengan konsep kemakhlukan Qur'an dan kemudian ketika situasi politik berbalik, mereka sendiri yang dibantai. Kekerasan agama cuma menciptakan lingkaran balas dendam tak berkesudahan.

    Apakah mengikuti hukum-hukum Tuhan masuk isu akidah? Menurut saya tidak karena isu hukum selalu dapat diinterpretasikan secara berbeda. Kalau kita mau bicara hal-hal apa yang sudah benar-benar disepakati dalam Islam, minimal kaum Sunni, maka hanya ada 5 aspek yang sudah disetujui secara total. Muslim harus membaca syahadat, sholat 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan naik haji apabila mampu. Teknis shalat, puasa, pembayaran dan besaran zakat serta pelaksanaan haji itu penuh debat. Itu saja baru soal ibadah, belum masuk isu muamalah!

    Isu akidah bicara tentang kemutlakan. Dengan demikian, ia harus fokus pada hal yang mutlak-mutlak saja karena ia tak bisa diubah lagi. Hukum bisa berubah, memaksakan isu ini menjadi isu akidah hanya akan menambah konflik baru. Sebagai contoh, karena perbudakan tidak pernah diharamkan secara mutlak, bagaimana kita akan menyatakan bahwa perbudakan haram sementara Allah berkali-kali membahas dalam Quran: jangan mengharamkan apa yang sudah dihalalkan oleh Allah? Menarik ketika Yusuf Qardhawi seakan-akan sudah membahas semua hal di muka bumi ini soal halal dan haram dalam bukunya "Halal dan Haram Dalam Islam", tapi kelupaan membahas soal halal haramnya perbudakan. Faktanya, dalam kitab fikih klasik, berhubungan seksual dengan budak tidak dikategorikan sebagai perbuatan zina. Dengan demikian perbudakan tidak haram dalam konsep fikih klasik karena kalau perbudakan haram, tentunya berhubungan seksual dengan budak pun turut menjadi haram.

    Atau bagaimana misalnya dengan pembatasan hak suami untuk menceraikan istrinya hanya melalui pengadilan. Konsep ini tidak ada dalam hukum Islam klasik, apalagi jaman Nabi. Dulu talak sah seketika setelah diucapkan oleh suami. Apakah kita akan menyatakan bahwa konsep yang sekarang sudah dianut di banyak negara Muslim ini (termasuk di Indonesia) adalah sesat dan ulama-ulama yang mendukungnya kafir? Hanya orang tak berilmu yang gampang mengafirkan orang lain karena berbeda pendapat. Ini mengapa isu hukum sebaiknya tidak dibawa ke dalam ranah akidah.

    Apalagi isu yang sebenarnya sangat remeh temeh seperti mengucapkan selamat natal. Berapa banyak energi terbuang bahkan dari ulama mumpuni untuk membahas pertanyaan-pertanyaan culun ini? Saya teringat Hadis Muslim nomor 5821 dimana Nabi menyatakan bahwa salah satu orang Muslim yang paling berat dosanya adalah dia yang membuat suatu hal yang tadinya tidak diharamkan menjadi haram karena dia terlalu banyak bertanya kepada Nabi. Pesannya jelas, jangan menyusahkan diri sendiri. Kaidah fikih yang terkenal dalam bidang muamalah: secara umum semua hal diperbolehkan kecuali secara tegas dilarang. Quran pun sudah mengingatkan melalui kisah kaum Yahudi dan sapi dalam Al-Baqarah. Mereka awalnya hanya disuruh mencari satu ekor sapi betina, namun mereka terus menerus bertanya dan mempersulit diri mereka sendiri sampai hampir-hampir mereka tidak berhasil menemukan sapi yang dimaksud.

    Isu natal ini kan mudah sekali. Apakah anda menganggap Yesus sebagai Tuhan ketika mengucapkan selamat natal? Tidak? Selesai isunya. Tapi tentu ada saja yang ribut bertanya terus karena tak puas, sampai kemudian kajian merambat kemana-mana, termasuk soal konsep tasyabbuh (menyerupai umat lain). Saya akan bahas lain kesempatan soal tasyabbuh melalui pendekatan ekonomi. Tapi singkat kata, debat seperti ini buang-buang waktu. Pernahkah terpikirkan bahwa orang lain menyaksikan debat kita soal isu ucapan selamat natal? Mungkin mereka bingung, umat Muslim ini sedang ngapain sebenarnya? Mereka meributkan musuh yang sebenarnya tidak ada. Delusional.

    Di tingkat yang lebih buruk, isu yang juga kerap muncul adalah soal penyebaran agama lain. Ucapan natal dan perayaan natal bersama misalnya dianggap sebagai bagian dari upaya kristenisasi. Oleh karenanya, tindakan tersebut harus dilarang. Toleransi standar dianggap sebagai bagian dari perusakan akidah. Apalagi kalau sudah melibatkan aktivitas bantuan sosial. Unsur kristenisasi makin kuat. Jaman saya masih sering membaca majalah Sabili dulu, isu kristenisasi tak pernah usang. Kita semua sedang dalam keadaan perang.

    Saya khawatir orang-orang ini lupa bahwa Islam mungkin adalah agama yang pertama kali mengenalkan konsep insentif ekonomi untuk mencari pengikut baru. Ajaran kristen klasik sangat asketis. Mengikuti Yesus berarti menderita dan hidup sengsara. Islam menolak konsep itu (lihat Hadis Muslim No. 2587 soal larangan ibadah yang menyakiti badan sendiri). Islam bahkan memasukkan mualaf, orang-orang yang baru masuk Islam atau sudah condong untuk masuk Islam, sebagai bagian resmi dari 8 kategori penerima zakat.

    Dalam sejarah Islam pun, kaum-kaum yang ikut berperang bersama Nabi di awal-awal masa penyebaran Islam menerima pembayaran tahunan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berperang setelahnya. Mengapa? Karena mereka yang sudah berjuang lebih lama dan lebih keras dibanding penerusnya lebih berhak menerima upah yang lebih besar.

    Kalau ini bukan penggunaan insentif ekonomi, saya tidak tahu lagi harus menyebutnya sebagai apa. Islam jelas-jelas mengajarkan bahwa untuk menggaet hati anggota umat baru, kita bisa memberikan mereka kompensasi finansial! Islam itu bicara bisnis dan keuntungan. Kalau sampai ada umat Islam yang pindah agama karena urusan harta, yang paling berdosa ya umat Islam sendiri! Sistem zakatnya berarti tidak berjalan dengan baik sampai-sampai ada saudara Muslim yang lolos ke agama lain. Konyol kalau kemudian menyalahkan agama lain karena kita sendiri tidak mampu bersaing dengan sehat.

    Menjadi ironis ketika Islam sudah mengembangkan konsep insentif ekonomi ini jauh sebelum umat kristen menemukan konsep misionaris dengan menggunakan bantuan sosial dan pendanaan yang lebih canggih dan sekarang kita cuma mendapatkan buih-buih kotor dalam kaum kita, tak berduit, tak berdaya, dan hanya bisa minta negara untuk melarang-larang umat lain menyebarkan agamanya. Mungkin memang pantas kita disingkirkan dari tahta kekuasaan jaman dahulu. Bagaimana tidak? Sedikit-sedikit minta bantuan penguasa layaknya anak cengeng yang permennya direbut kemudian melapor ke orang tuanya. Lebih lucu lagi, permennya sebenarnya tidak direbut, dia sendiri yang melempar permen itu, lalu dipungut anak lain.

    Dan yang paling parah dari semua itu, kajian akidah yang kebablasan ini juga membuat sebagian kaum Muslim menjadi permisif terhadap kekerasan terhadap umat lain, atau aliran lain. Katakanlah Ahmadiyah memang seharusnya tidak mengaku-ngaku sebagai bagian dari Islam dengan konsep ajarannya yang tidak sesuai dengan akidah Islam. Lantas kita berhak membunuh mereka? Atau kita juga berhak mengusir kaum Syiah karena mereka percaya soal kekhilafahan Ali dan keturunannya dan kita anggap sesat? Saya tidak tahu orang-orang yang merasa akidahnya sudah sempurna itu belajar dari mana. Dari Nabi atau dari Abu Lahab, Abu Jahal dan konco-konconya?

    Kemungkinan besar yang kedua, karena tingkah laku yang gemar mengusir dan membunuh orang dari aliran lain ini persis seperti apa yang dilakukan oleh kaum penyembah berhala di masa jahiliyah terhadap komunitas Muslim yang merupakan kaum minoritas. Apa bedanya? Menurut kaum penyembah berhala ini, orang-orang yang menyembah Allah itu telah menistakan Latta dan Uzza. Kaum minoritas ini pantas disiksa, dicaci dan dibunuh. Rupa-rupanya bagi orang-orang yang mendukung pengusiran dan pembantaian itu, setelah kaum Muslim menjadi mayoritas, mereka berhak mengikuti gaya kaum jahiliyyah. Saatnya balas dendam.

    Masalahnya lagi-lagi citra umat Islam secara keseluruhan yang terkena dampaknya. Pernahkah kaum pendukung kekerasan ini berpikir kalau tingkah laku mereka itu sama saja menyatakan bahwa Nabi dan para Sahabatnya dulu sebenarnya hanya membuat pencitraan. Nabi pura-pura baik dan ramah ketika masih jadi minoritas dan sedang dalam proses mengembangkan kekuasaan Islam. Tetapi setelah jadi mayoritas, muncul wajah aslinya, wajah kebuasan yang sama yang menyiksa kaum minoritas Muslim ketika mereka masih tinggal di Mekkah selama 13 tahun. Saya sih jelas tidak percaya bahwa pribadi terbaik dalam Islam adalah seorang penipu.

    Anda pikir anda bisa bebas saja merusak nama baik Islam tanpa ada pertanggungjawaban kelak? Anda pikir retorika omong kosong anda soal kemurnian agama itu akan melindungi anda nanti di hari akhir? Saya hanya mengucapkan, semoga anda beruntung kelak, karena tanda-tandanya tak baik. Kita semua tahu Abu Lahab masuk neraka dan namanya diabadikan dalam Al-Quran. Prestasi luar biasa sebagai penjahat. Tak lupa pula istrinya ikut diabadikan sebagai tukang fitnah. Lengkap.

    Sebagai penutup, banyak yang bisa kita pelajari dari kasus kaum jahiliyyah. Sekarang mungkin gampang bagi anda untuk menyatakan betapa bodohnya kaum penyembah berhala itu, kok batu disembah? Masalahnya dulu kaum penyembah berhala itu berkuasa penuh dan mereka juga bisa bilang hal yang sama ke umat Muslim, sesuatu yang tak terlihat kok disembah? Ini mengapa saya khawatir sekali soal Undang-Undang Penistaan Agama, di tangan mayoritas yang bodoh dan kasar, kaum minoritas akan menderita seperti waktu di Mekkah dulu.

    Lebih baik kita bebaskan semua agama untuk bersaing secara sehat dalam menggaet umat. Tidak perlu khawatir. Kalau kita percaya diri dengan kemampuan kita, baik secara keilmuan maupun finansial, kalau kita percaya bahwa Islam seharusnya menjadi pemenang, mau ada "serangan" apapun dari luar, tidak ada yang perlu ditakuti.

    Lagipula, tak ada gunanya juga curiga dengan umat lain atau ketakutan bahwa iman kita akan tergerogoti. Saya 12 tahun bersekolah di sekolah kristen protestan dan katolik, ikut misa, ikut paduan suara dan bahkan jadi solis untuk merayakan 70 tahun sekolah saya dulu. Nilai agama saya juga rata-rata selalu paling tinggi di kelas. Apakah kemudian saya jadi pindah agama? Atau menjadi yakin dengan keimanan kristen? Sama sekali tidak.

    Apakah kemudian saya harus membenci mereka atau perang dengan orang yang beda agama? Kepala keluarga angkat saya di Chicago adalah seorang pendeta. Keluarga mereka mungkin adalah keluarga paling ramah dan baik yang pernah saya temui (jauh lebih baik dibanding kebanyakan orang Indonesia yang saya temui). Kita bisa hidup damai dan bercengkerama dengan baik tanpa perlu meributkan soal akidah masing-masing!

    Saya tidak ambil pusing dengan konsep yang menurut saya salah. Saya juga tidak peduli apakah kelak semua orang kafir akan masuk neraka atau tidak. Karena jujur saja, itu bukan urusan saya. Nilai Islam yang saya pelajari peduli pada isu-isu aktual di masyarakat, soal memajukan kesejahteraan dan menjadi orang yang berguna. Masalah siapa yang masuk surga dan neraka, saya serahkan pada Allah. Lagian, kita sendiri saja tidak tahu kita akan masuk surga atau neraka, kok merasa diri sudah jagoan mengurusi orang lain akan masuk mana, apalagi kalau sampai memanas-manasi orang lain untuk berkonflik ria.

    Ketika kita menyusun kebijakan publik, efeknya riil, bisa diukur walau tak sempurna, dan bisa dilihat apakah ada manfaatnya atau tidak. Bicara akidah? Bicara surga dan neraka? Terlalu jauh dan tak bisa kita kontrol. Jadi untuk apa ribut terus menerus? Jangan dibikin ribet. Waktu kita terbatas, beranjaklah dari soal akidah ke hal-hal lain yang lebih konkrit, semacam soal hukum, ekonomi dan ilmu-ilmu lainnya. Terus menerus berkutat di isu akidah ini ibarat anak SD yang tak ingin lulus dari SD menuju ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, walaupun dia sudah puluhan tahun di sana. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang merugi karena tak mau maju. 
  • Once Again On Blasphemy


    Suppose you believe in Religion X and A is your God, and someone comes to tell you that your belief is false — A is a mere human and therefore he is not worthy to be worshiped. Would you call the scenario as a blasphemy to your religion?

    If the answer is yes, then we have a problem because in reality, most religions — if not all — claim other religions are false or misleading. As you can probably tell, the above scenario is about Jesus. In Christianity, Jesus is God. In Islam, Jesus is not God: He is a human, one of the prophets sent by the almighty God.

    In my previous post, 'The Law and Economics of 'Innocence of Muslims,' I argued that defining religious blasphemy is very difficult from the perspective of freedom of speech. Now I would like to emphasize the logical problem of having anti-blasphemy laws when we have so many religions in this planet. Thus, another reason why we should not support the existence of such law.

    Why do we have so many religions? If it is true that all religions are the same, surely we have already converged all of them into a single faith a long time ago. But no, we know that will never happen because each religion claims the truth for itself.

    Even in case where a religion accepts the possibility of having truth from other religions, it does not change the fact that such religion still claims the truth of its own teaching. I dare say that the policy of recognizing the truth of other religions is just a way to maintain stability rather than an actual confession of faith.
     
    Why? Because it is simply illogical. A Christian can't say Jesus is God and at the same time accept the possibility that Muslim's claim that Jesus is not a god is true.

    Or you may want to say that at the basic level, all religions teach the same things despite the differences of gods. But that would be another problem. Why bother having religion if the concept of God no longer matters?

    The most important thing I want to show here is that there will always be a friction between different religions. It might be slight, but it might also be very sharp. Combine that with religion followers who have low tolerance level and we would have a great recipe for disaster.

    Would anti-blasphemy law help? It depends. If we are talking about a law that will punish people who are considered as blasphemers, such law will not help at all. Even worse, it might be counterproductive.

    An easy example would be the story of early Islam development. Prophet Muhammad must had spent years of his life in Mecca teaching Islam in the underground because his teaching was considered as a blasphemy among the Arabs at that time.

    If not, why bother migrated from Mecca to Medina? Because Medina's citizen was more tolerant? Because it did not have the crazy people who will kill you because you are considered as a blasphemer?

    How many early Muslims were killed arbitrarily in Mecca? How many of the killers were judged and deemed criminal for killing the early Muslims? We are quite lucky that the history changed and later on Islam became the religion of the majority in the Middle East.

    Nowadays, Muslims can easily claim that those Arabs who worshiped stone gods are stupid and irrational. But the main reason why we can safely make that claim is because we are in the majority, not because we are absolutely correct or because those stone worshippers were indeed really stupid. That's the harsh truth.

    This is why I don't support anti-blasphemy laws, because it brings us back precisely to the jahiliyyah era or pre-Islamic period. As long as you are in the majority, you will be fine. But not when you are in the minority.

    Furthermore, there is no guarantee that we will always be in the majority nor that we will always be able to protect our minority brothers and sisters out there in case the other majority group decides to retaliate against them.

    My suggestion is still the same. Don't waste our time fighting due to badmouthing. We can simply avoid conflicts by letting people choose what they want to believe and what they want to share with everyone else, provided that no elements of violence is involved during the process. 

    If in the end you are still suggesting people to fight back all bad mouthing using violence, then I'm afraid we have not evolved to be better men during the last 1,500 years.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.