THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Islamic Law. Show all posts
Showing posts with label Islamic Law. Show all posts
  • Islam dan Kebhinekaan - Sebuah Tanggapan Untuk Sohibul Iman


    Saya tertarik membaca opini pagi ini di Republika dari Mohamad Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, dengan judul: Islam, Kebinekaan dan NKRI. Walaupun judulnya terkesan mengusung pentingnya kebhinekaan dan kerja sama antar anggota masyarakat dalam kerangka NKRI, ada beberapa bagian yang saya rasa perlu sekali dikritisi. Untuk itu akan saya mengutip beberapa paragraf dari artikel tersebut yang saya anggap penting untuk dianalisis lebih jauh.

    Pertama, Sohibul Iman menulis: "Ada anggapan bahwa menghormati kebinekaan hanya diartikan sebagai sikap merayakan perbedaan, tapi kurang mengindahkan hak setiap warga memeluk dan menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi dan aturan perundang-undangan yang berlaku... ...Kebinekaan terawat bukan karena klaim sepihak, melainkan karena adanya sikap jujur, terbuka, tanggung jawab, dan adil. Jika ada pemikiran yang mencoba membenturkan antara Islam, kebinekaan, dan NKRI, pemikiran itu harus diluruskan karena berbahaya dan ahistoris. Islam, kebinekaan dan NKRI adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Menjadi seorang muslim yang lurus maka secara aksiomatis juga menjadi seorang nasionalis sejati dan pluralis seutuhnya."  

    Saya mendukung pernyataan normatif di atas. Di atas kertas, ini adalah nilai-nilai yang sangat pantas untuk diusung di Indonesia dan saya pikir sebagian besar bangsa Indonesia (kalau bukan seharusnya seluruhnya) akan menerima ide-ide tersebut. Tetapi tentunya kita tidak bisa bicara kisah-kisah yang indah saja, kita juga perlu berbicara tentang kasus-kasus dimana ada nilai-nilai yang saling berbenturan, karena dalam demokrasi, perbedaan adalah keniscayaan, isunya adalah bagaimana menjaga keutuhan masyarakat sebagai akibat dari perbedaan tersebut. Sebagai contoh, ketika suatu umat memiliki hak untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, mana yang harus didahulukan ketika kemudian nilai ajaran tersebut tidak 100% sesuai dengan nilai moral lainnya (misalnya nilai kebangsaan atau nasionalisme), adat istiadat, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku? Apakah mungkin semuanya bisa berjalan beriringan, atau kita harus memilih salah satu? Kalau harus memilih, bagaimana caranya supaya tidak timbul konflik yang lebih jauh?

    Sebagaimana kita ketahui bersama, perkara hukum terkait penodaan agama yang kemudian menyulut aksi dari sebagian masyarakat beberapa minggu terakhir ini bukanlah perkara sederhana. Ayat Qur'an yang dipermasalahkan sangat terkait dengan isu politik, soal siapa yang bisa diangkat dan tidak bisa diangkat menjadi pemimpin umat Muslim di Indonesia. Pembahasan tafsir dan fikih terkait Al-Maidah: 51 sudah saya bahas panjang lebar sebelumnya dalam artikel saya di sini dan di sini. Intinya ada ragam perbedaan pendapat, dimana setidaknya ada satu pendapat yang menyatakan bahwa pemimpin non-Muslim seharusnya haram (terlepas apa jabatannya dan bagaimana cara diangkat atau dipilihnya).

    Konteks keberadaan ayat ini seharusnya tidak dipisahkan dengan inti perkara hukum yang sedang berjalan. Saya memahami adanya beberapa pihak yang mencoba memisahkan kedua hal tersebut, seakan-akan ada sebuah kasus penodaan agama yang berdiri sendiri. Tapi bagaimana mungkin ada kasus penodaan agama yang berdiri tanpa konteks apapun? Ketika orang ingin menodai, mengungkapkan rasa kebencian atau permusuhan, tentunya harus ada latar belakang yang mendasari hal tersebut. Kalau tanpa alasan, pelakunya bisa jadi gila, dan justru akan lepas dari hukuman karena orang yang sakit jiwa umumnya dilepaskan dari pidana. Harus ada latar belakang, dan latar belakang itu yang kemudian harus diperiksa lebih jauh karena berhubungan sangat amat erat dengan inti dari artikel Sohibul Iman.

    Kalau klaim Sohibul Iman benar, yaitu bahwa umat Islam di Indonesia secara aksiomatis sudah pasti nasionalis dan pluralis, bagaimana caranya kita menjelaskan adanya fenomena menolak pemimpin non-Muslim semata-mata karena agamanya, terlepas dari hasil kinerja, moralitas, kemampuan memimpin dan faktor-faktor lainnya yang umumnya diharapkan dari seorang pemimpin yang berkualitas? Dalam versi tafsir yang paling masyhur, urusan agama ini adalah faktor yang menutup faktor-faktor lainnya. Non-Muslim tidak bisa jadi pemimpin kecuali untuk jabatan dengan wewenang yang sangat minim dan terbatas. Titik. Apakah tafsir tersebut kemudian bisa dianggap sebagai bentuk pluralisme atau dukungan atas NKRI?

    Ada yang mencoba mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa umat Islam sudah menerima bentuk NKRI yang memungkinkan kaum non-Muslim untuk menjadi pemimpin, tetapi umat Islam tidak bisa dipaksa memilih dan tetap berhak mengajarkan dimana-mana bahwa kaum non-Muslim tidak bisa menjadi pemimpin. Kalau demikian adanya, sejauh mana hal tersebut diperbolehkan? Kapan batasannya antara diskusi ilmiah tentang keharaman memilih pemimpin non-Muslim dan ujaran kebencian kepada pihak lain yang berbeda?

    Ambil contoh kasus Rhoma Irama di tahun 2012 yang sempat tersandung isu SARA ketika memberikan ceramah pada musim Pilkada. Dalam ceramahnya yang bisa dilihat di sini, Rhoma menyampaikan bahwa apabila Ahok yang non-Muslim, yang cina, yang Kristen sampai jadi Gubernur pemimpin ibu kota, maka umat Islam menanggung aib bersama di dunia internasional, innalilahi. Tutur kalimat Rhoma disampaikan dengan santun, tetapi apakah isinya damai dan tidak menyakiti hati orang lain? Sebagaimana pernah saya bahas pula di artikel-artikel saya sebelumnya, pembahasan dalam tafsir-tafsir klasik terkait isu pemimpin non-Muslim pun juga sangat konfrontatif karena non-Muslim dicap sebagai kaum yang tak bisa dipercaya dan senantiasa menginginkan keburukan untuk kaum Muslim. Apakah pernyataan seperti ini sah-sah saja disampaikan di muka umum sepanjang katanya hanya dikonsumsi untuk umat Islam di masjid, sekolah, atau pondok pesantren, terlepas apakah kalimat itu juga sangat menuduh, sangat tendensius, dan menyakiti hati orang lain? Jangan lupa juga bahwa ketentuan Pasal 156 dan 156a KUHP terkait penodaan terhadap golongan dan agama tidak memberikan pengecualian bahwa hal itu boleh sepanjang dilakukan di muka orang-orang yang seide (atau paling tidak dianggap seide), yang penting dilakukan di muka umum dan pengertian "di muka umum" sangat luas.

    Saya juga ingat ada yang menggugat Ahok secara perdata gara-gara ada kutipan berita bahwa Ahok menuduh peserta aksi bela Islam pada tanggal 4 November 2016 menerima uang Rp500.000. Walaupun faktanya masih diperdebatkan, tetapi sudah dijadikan dasar bahwa pernyataan menerima uang itu menghina dan menyakiti hati peserta aksi, karena mereka dituduh tidak tulus, sekedar orang bayaran. Kalau pernyataan yang ambigu saja sudah bisa dijadikan dasar untuk menyakiti hati dan orang ternyata bisa tersinggung karena dituduh kurang tulus, apalagi kalau suatu kaum ramai-ramai dituduh penipu, tak bisa dipercaya dan gemar berkonspirasi untuk menjatuhkan orang lain? Bukannya ini seperti sedang menanam bom waktu? Konflik tidak meledak semata-mata karena kebetulan kaum yang dituduh belum bereaksi dengan keras?

    Fenomena kasus Rhoma Irama di atas juga bukan yang pertama kalinya, nuansa khotbah demikian terkait relasi kaum Muslim dan non-Muslim sudah sering saya baca dan dengar (khususnya melalui khotbah Shalat Jumat). Saya bersyukur paling tidak Rhoma Irama akhirnya tak sampai dipenjara dan saya juga tak akan menyarakan agar pelaku-pelaku lainnya dipenjara karena sedari dulu saya meyakini penjara bukan solusi efektif untuk kasus-kasus seperti ini. Tetapi kita harus sadari bahwa fenomena itu ada, dan sangat sulit untuk menyatakan bahwa fenomena tersebut sesuai dengan nilai kebhinekaan dan pluralisme yang menurut Sohibul Iman sudah diadopsi dengan tegas oleh umat Islam di Indonesia.

    Saya juga heran dengan kalimat Sohibul Iman terkait hak mayoritas untuk dihormati, yang ia ulang setidaknya 3 kali termasuk kalimat di atas yang saya kutip, yaitu: "...Ki Bagus Hadi Kusumo sebagai pokok pimpinan Muhammadiyah bersama tokoh umat Islam lainnya yang berbesar hati mengesampingkan aspirasi umat Islam, dengan merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya dengan sila pertama Pancaila..." dan "...Kebinekaan tercermin ketika kelompok mayoritas mampu menghargai dan mengayomi minoritas. Di saat yang sama, kelompok minoritas juga bisa memosisikan diri dan bersikap hormat serta toleran kepada kelompok mayoritas."

    Dengan kalimat di atas, Sohibul Iman seakan memberikan isyarat bahwa kaum mayoritas sudah beberapa kali mengalah, itu bonus bagi yang minoritas, oleh karena itu sebaiknya yang minoritas harus tahu diri dan lebih hormat kepada yang mayoritas. Untuk keperluan diskusi ini, saya akan berasumsi bahwa mayoritas dalam pandangan Sohibul Iman maksudnya merujuk kepada kaum Muslim Indonesia, dan kalau saya salah, silakan dikoreksi.

    Inilah alasan mengapa saya heran. Kalau benar bangsa ini pluralis, nasionalis dan berkebhinekaan, mengapa masih mengkotak-kotakkan mayoritas versus minoritas? Dalam kebhinekaan, seharusnya kita tidak lagi mempersoalkan mayoritas versus minoritas tetapi kepentingan bersama sebagai satu bangsa. Akan sangat berbahaya kalau kemudian kaum mayoritas merasa bahwa keamanan dan penerimaan terhadap kaum minoritas adalah sebuah privilege khusus bagi yang minoritas, suatu hak yang bisa diambil sewaktu-waktu kalau kaum mayoritas sudah merasa gerah dengan minoritas.

    Ambil kembali kasus Rhoma Irama. Suka tidak suka, fakta bahwa Rhoma adalah seorang Muslim dan juga cukup dikenal sebagai penyanyi religius berkorelasi positif dengan lepasnya ia dari jerat hukum. Ketika saya menonton acara TV terkait pembelaan bagi Rhoma (yang bisa dilihat di sini), pembelaan yang saya tangkap bagi Rhoma adalah bahwa ia hanya menyampaikan ajaran agama semata dan dikhususkan bagi umat Islam, dan oleh karena itu tidak bisa dianggap SARA. Anda juga bisa membaca artikel ini sebagai basisnya. Kalau dicermati lebih jauh isi artikel itu, tampak sekali sikap yang plin-plan. Tindakan Rhoma bukan SARA, tetapi negara Indonesia diakui bukan negara Islam melainkan negara demokrasi sehingga sebaiknya kampanye jangan menggunakan unsur SARA. Ibarat kata, di lubuk hati masing-masing, orang-orang ini mengakui bahwa apa yang disampaikan tidak baik, tapi sudah kadung kejadian, dan berjalan di masyarakat, jadi ya apa boleh buat. Dari kasus ini dan bagaimana ia berakhir, terdapat suatu pesan implisit bagi kaum minoritas: yang mayoritas berhak untuk menyampaikan ajaran agama, termasuk menjelekkan yang minoritas, dan yang minoritas harus tahu diri, jangan balik mengkritik, jangan marah atau menyinggung yang mayoritas, karena nanti bisa dilibas. Dimana kebhinekaan, nasionalisme, dan pluralismenya?

    Saya tidak heran kemudian contoh-contoh yang diberikan oleh Sohibul Iman terkait kontribusi umat Islam di masa lalu tidak nyambung dengan konsep kebhinekaan yang diusungnya sendiri. Contoh yang diberikan terkait perjuangan tokoh-tokoh Muslim Indonesia dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa. Apa hubungannya? Penjajahan tidak enak buat sebagian besar masyarakat Indonesia, jelas banyak yang berminat untuk melawan. Mayoritas penduduk pada masa itu pun juga orang Islam, secara statistik wajar kalau tokoh Islam juga lebih banyak yang muncul. Justru akan sangat memalukan kalau umat Islam mayoritas namun ternyata lebih banyak tokoh perjuangan non-Muslim yang muncul di permukaan. Alih-alih prestasi luar biasa, kontribusi umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan. Dan yang lebih penting lagi, kalau kita sepakat ini semua demi NKRI, maka kontribusi itu seharusnya juga bebas dari pamrih. Lagi-lagi ini bukan privilege yang diberikan oleh kaum mayoritas, ini juga bukan soal siapa yang lebih banyak berkontribusi. Dalam perjuangan kemerdekaan serta membangun dan merawat bangsa ini, kita semua setara dan sederajat. Yang ahistoris itu justru sikap mengklaim bahwa NKRI muncul karena kontribusi umat Islam semata atau minimal didominasi oleh umat Islam sehingga yang lainnya sebenarnya cuma penggembira yang keberadaannya cuma buih tak bermakna.

    Saya juga harus mempertanyakan usulan Sohibul Iman terkait solusi bagi NKRI berikut: "Adalah sunnatulah untuk membangun bangsa ini harus dengan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling bekerja sama. Kita tidak bisa membangun Republik ini hanya dengan melibatkan golongan dan kelompok tertentu, tanpa bantuan dan kerja sama elemen bangsa lainnya. Bangsa ini lahir dan bisa tetap tumbuh berdiri tegak hingga saat ini karena rasa kebersamaan yang terus terjalin." Dalam artikel itu Sohibul Iman juga menekankan pentingnya rasa saling memiliki dan saling mempercayai di antara masyarakat Indonesia. Bagaimana caranya kita membangun rasa kebersamaan ketika kita menanamkan doktrin bahwa satu kaum seharusnya dikeluarkan dari garis kepemimpinan? Bagaimana caranya menanamkan kepercayaan kalau diajarkan satu kaum tak bisa dipercaya sama sekali? Bagaimana caranya mengajarkan saling memiliki kalau kaum minoritas tahu bahwa kaum mayoritas sudah diajarkan untuk senantiasa menghalangi kaum minoritas untuk terjun dalam pemerintahan dan politik?

    Rasanya terkesan formalistik sekali (for lack of a better word secara orang gampang sekali tersinggung) ketika orang dengan santai berbicara bahwa mereka tidak menghalangi orang non-Muslim jadi pemimpin, mereka hanya tidak akan memilih saja sekaligus menyampaikan kepada publik seluas-luasnya bahwa orang non-Muslim tidak layak jadi pemimpin. Ibarat kata kita sampaikan kepada seseorang, "saya tidak akan menghalangi anda untuk maju, tetapi saya akan habisi anda di segala tahap setelah anda coba-coba maju supaya semua upaya anda itu sia-sia." Kalau cara demikian bisa efektif menimbulkan kebersamaan, saling percaya dan saling memiliki di antara kita, tolong hubungi saya, kita mungkin bisa menyusun teori ilmu sosial baru dan siapa tahu menang Nobel Perdamaian.

    Tidak mengherankan juga aksi-aksi belakangan ini sangat peduli dengan jumlah. Angka-angka berseliweran dari ratusan ribu sampai jutaan dengan segala dalilnya. Selama ini acara doa bersama dan demo-demo jarang ada penghitungan resmi, kita tahunya ramai atau tidak ramai. Tapi kali ini isunya sensitif. Sohibul Iman di pembukaan artikelnya menulis: "Ketika jutaan umat Islam berjuang membela martabat agamanya secara damai dan konstitusional karena merasa kesucian kitab sucinya dinodai oleh ucapan seorang pejabat publik, tiba-tiba ada sebagian kelompok yang justru menstigmanya sebagai sikap anti kebinekaan dan anti-NKRI." Harusnya kita bertanya, mengapa tuduhan itu sampai muncul? Mengapa ada yang mempertanyakan hubungan aksi keagamaan dengan isu kebhinekaan? Kita harus jujur dan adil sejak dalam pikiran kalau kita ingin menjawab pertanyaan ini dengan serius.

    Sebagaimana saya sampaikan di atas, isu penodaan agama ini tidak bebas konteks, ada isu yang jauh lebih besar di belakangnya. Selama para pemuka agama Islam masih tanggung-tanggung dalam menentukan batasan soal pemimpin Muslim ini, maka selama itu juga akan ada konflik karena jujur saja, bahkan dengan menggunakan standar logika yang paling rendah sekalipun, sulit sekali menyatukan konsep larangan memilih/mengangkat pemimpin non-Muslim dengan nilai-nilai nasionalisme dan pluralisme. Sedikit banyak, hal ini bisa menjelaskan mengapa aksi-aksi belakangan ini berfokus pada isu penistaan agama dan jumlah massa dan juga mengapa MUI tidak menjelaskan sedikitpun soal apa yang dimaksud dengan pemimpin dan apa batasannya ketika menyatakan Ahok sudah menista agama.

    Mungkin karena kalau ditelusuri lebih jauh sampai ke inti permasalahan, seluruh bangunan kasus penodaan agama bisa runtuh dan secara politis, isu ini tidak akan lagi seksi. Apabila kita membawa kasus ini ke sekedar penodaan agama, terlepas apa alasan dibelakang penodaan itu, saya tidak heran kalau ada banyak umat Islam yang berminat turut serta. Judulnya saja bela Qur'an dan bela Islam. Kadang keimanan memang tidak harus didukung analisis mendalam, judul itu sudah cukup untuk memanggil banyak orang untuk datang. Tapi ketika kita tekan soal ayat yang diributkan, kita akan sadar, bahwa praktek seperti ini memang sudah lama berjalan dan dibiarkan walaupun bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

    Gerakan kebhinekaan juga nampaknya tidak bisa mengartikulasikan isu ini dengan baik, mungkin takut dianggap mempertanyakan keyakinan sebagian umat Islam (saya sebut sebagian karena umat Islam pun juga sebenarnya terdiri dari beragam faksi dan keyakinan, mengklaim umat Islam sebagai hanya satu kesatuan adalah upaya yang ahistoris), sehingga akhirnya terjebak dalam nuansa yang sama, sekedar balas berbalas aksi, berharap jumlahnya akan lebih besar. Tapi debat dan perang tanding jumlah massa ini tidak substantif. Might does not make right, kalau cuma sekedar banyak-banyakan saja sudah dianggap benar, negara dan sistem demokrasi akan bubar. Salah besar kalau demokrasi dipikir hanya soal siapa yang lebih banyak. Inti dari demokrasi ada di check and balance. Pemikir demokrasi tahu bahayanya tirani mayoritas maupun tirani minoritas. Ini mengapa diperlukan sistem yang bisa menjaga jangan sampai ada tirani, sistem yang bisa membawa kita bisa menyelesaikan perselisihan dengan cara yang damai dan beradab.

    Dalam konteks Indonesia, kita perlu menyudahi unjuk kekuatan ini, kita juga tidak bisa berhenti sekedar dengan slogan kebersamaan dan saling memahami. Demokrasi tidak bisa berjalan dengan slogan, kita harus berani melihat inti permasalahan yang sebenarnya dan berani mengambil sikap dengan segala konsekuensinya. Kalau Sohibul Iman konsekuen dengan kalimatnya ini: "Tindakan yang merusak kebinekaan dan persatuan bangsa oleh siapa pun, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya, apa pun partai dan posisi jabatannya, maka harus diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law)," maka kita harus jelas mendefinisikan, yang dimaksud dengan merusak kebhinekaan itu seperti apa? Bagaimana caranya mendefinisikan kesetaraan di hadapan hukum, khususnya dengan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dan nilai-nilai kebangsaan yang sedang kita anut?

    Kalau sebagian dari kita begitu bersemangat ingin menyelesaikan perkara penodaan agama ini melalui sistem pidana, apa mereka juga siap apabila hal yang sama diterapkan kepada mereka? Atau kita masih akan berargumen bahwa apabila yang berbuat adalah kaum mayoritas, maka tidak ada masalah dan tidak merusak kebhinekaan seperti dalam kasus Rhoma? Kalau demikian, sebenarnya kita sedang bicara nilai macam apa? Saya sangat berharap agar permasalahan krusial ini tidak lagi sekedar dibahas di level kulitnya, ada banyak hal yang dipertaruhkan. Naif kalau kita melihat ini hanya sekedar perkara penodaan agama oleh pejabat publik, kita saat ini sebenarnya sedang memperdebatkan konsep kebangsaan kita sendiri, soal nilai mana yang akan lebih diutamakan.

    Saya tidak tahu apakah kita berani membuka pintu untuk perdebatan itu lagi. Tapi kalau kita setuju NKRI harga mati dan konsep final, kita juga harus menerima konsekuensinya seutuhnya, dan kemungkinan besar hanya ada 2 konsekuensi logis. Pertama, konsep menghalangi orang dipilih hanya karena agama semata tak bisa hidup dalam NKRI, atau kedua, kalaupun kita akan membiarkannya hidup karena alasan kebebasan berpendapat, maka kritik dan otokritik terhadap konsep itu juga harus dibuka sebebas-bebasnya, dan isu penodaan agama kali ini juga harus ditutup sebagai bagian dari kritik yang valid.

    Kalau kita berharap demokrasi bisa hidup cuma dengan kesantunan, kemungkinan besar kita akan kecewa. Kesantunan, sekalipun merupakan sikap yang baik, tidak menyelesaikan perbedaan, hanya menekan sementara perbedaan keyakinan yang ada di masyarakat. Kalau kita hanya mengajarkan kesantunan dan represi penyampaian ide, di satu titik, ia akan meledak, dan kita akan terlambat untuk mencegahnya karena akumulasi kekesalan yang selama ini tidak ditunjukkan ke permukaan. Demokrasi lebih butuh keterbukaan dan untuk bisa terbuka, setiap pihak harus dijamin terlebih dahulu bahwa ia bisa menyampaikan pendapatnya dengan aman dan jauh dari ancaman kekerasan dan pidana. Hanya dalam situasi demikian, dialog bisa berjalan, dan kita bisa sama-sama lebih memahami poin masing-masing pihak, sekaligus lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Setidaknya saya meyakini bahwa kondisi ini bukan suatu hal yang mustahil untuk tercapai di Indonesia, sekecil apapun probabilitasnya. Hidup Indonesia!                    

  • Menyingkap Logika Kalimat Dibohongi Pakai Al-Maidah: 51



    Melanjutkan artikel saya mengenai tafsir atas Al-Maidah:51 dan politik Islam di Indonesia serta konsep penodaan agama di Indonesia, artikel ini akan membahas lebih jauh mengenai salah satu isu yang paling diributkan dalam kasus tuduhan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yaitu pengertian kalimat "dibohongi pakai Al-Maidah 51...". Kalimat inilah yang dianggap menjadi dasar utama penghinaan/penodaan atas agama Islam dan para ulama, setidaknya menurut fatwa MUI (atau mungkin lebih tepatnya disebut sebagai pernyataan sikap MUI dikarenakan belum ada fatwa dari komisi fatwa MUI).
  • Memahami Penodaan Agama Seutuhnya


    Setelah keluarnya artikel saya yang berjudul Al-Maidah:51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas, saya menerima beberapa pertanyaan yang intinya kira-kira seperti ini: memperhatikan ragam diskusi tentang surah Al-Maidah: 51, apakah kasus pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (atau lebih sering disebut Ahok) di Kepulauan Seribu dapat dianggap sebagai penistaan terhadap agama Islam yang merupakan suatu tindak pidana berdasarkan hukum Indonesia? Artikel ini akan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.
  • Al-Maidah: 51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas


    Minggu lalu saya diminta untuk memberikan komentar atas artikel berjudul "Politik Islam di Indonesia: Ideologi, Transformasi, dan Prospek dalam Proses Politik Terkini" yang ditulis oleh Muhammad Zulifan. Karena menurut saya artikelnya juga berhubungan dengan artikel Zulifan lainnya tentang Tafsir atas Al-Maidah Ayat 51, maka saya akan menggabungkan komentar saya atas kedua artikel tersebut dalam tulisan kali ini.
  • Bolehkah Membunuh Penghina Nabi?


    Saya umumnya ingin menghindari pembahasan yang agak teknis dalam artikel blog namun nampaknya kali ini tak bisa dihindari lagi. Bagaimanapun juga, kalau kita mau serius mendalami hukum Islam, mau tidak mau kita harus menghadapi berbagai sumber hukum yang bisa jadi saling bertentangan dan oleh karenanya membutuhkan interpretasi lebih lanjut. Pembahasan kali ini terkait kasus pembantaian pengurus dan kartunis majalah Charlie Hebdo di Perancis. Dari segi hukum positif di Perancis atau misalnya di Indonesia, masalahnya sudah jelas, pembunuhan demikian sudah pasti melanggar hukum positif. Tetapi bagaimana dalam tinjauan hukum Islam klasik? Apakah perbuatan tersebut diperkenankan? 
  • Karikatur ISIS dan Kemalasan Dalam Beragama.


    Ketika saya membaca berita ini (yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama berdasarkan Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana gara-gara dimuatnya karikatur ISIS di koran tersebut), saya tahu sudah saatnya saya menulis mengenai isu kemalasan dalam beragama yang nampaknya sudah keterlaluan di Indonesia.

    Kepolisian mengaku sudah memeriksa saksi ahli pidana, ahli agama, dan Dewan Pers sebelum menetapkan Meidyatama sebagai tersangka. Saya serius ingin tahu darimana asalnya ahli-ahli yang dihubungi oleh kepolisian karena ini benar-benar tak masuk akal. Coba kita baca bunyi pasal yang dituduhkan: "dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

    Pasal tersebut pada prinsipnya mirip dengan konsep pasal penghinaan. Dalam beberapa artikel saya sebelumnya di sini dan di sini, saya sudah menyampaikan mengapa kasus penghinaan sebaiknya tidak dibawa ke ranah pidana. Analisis yang sama juga berlaku untuk kasus ini. Pertama, siapa yang dapat mewakili suatu agama untuk menyatakan bahwa seseorang sudah menistakan agamanya? Bagaimana kalau misalnya pendapat umat terpecah belah? Ada yang menyatakan agama tidak dihina dan ada yang menyatakan agamanya telah dihina. Pendapat siapa yang mesti kita ambil? Perlu voting terlebih dahulu atau musyawarah mufakat?  

    Kedua, apa yang dimaksud dengan perbuatan atau pernyataan permusuhan atau penodaan? Ambil contoh konsep agama Islam dan Kristen saja. Agama Kristen jelas tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi dan menganggap Yesus sebagai Tuhan. Sebaliknya Agama Islam juga jelas tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Secara konseptual, kita bisa menyatakan bahwa inti ajaran Kristen sudah menghina doktrin paling fundamental Islam tentang ketunggalan Allah (Islam menyatakan bahwa salah satu dosa terbesar adalah menuhankan apapun selain Allah) dan kenabian Muhammad, dan demikian pula doktrin Islam tentang Yesus juga menolak doktrin utama Kristen. Dengan logika demikian, semua kegiatan dakwah seharusnya dilarang karena kalau tidak, baik umat Muslim maupun Kristen harus masuk penjara karena sudah saling menodai agama masing-masing. Absurd kan?

    Ini mengapa konsep penistaan agama rawan penyalahgunaan. Standarnya tidak akan pernah jelas, dan umumnya dikontrol oleh pihak mayoritas. Lebih parah lagi, karikatur yang diributkan itu sebenarnya menggunakan bendera ISIS yang faktanya memang merupakan organisasi yang biadab. Kalau mau konsisten, yang seharusnya ditangkap oleh polisi adalah orang yang pertama kali membuat bendera ISIS, karena selain mencatut kalimat suci agama Islam, bendera itu juga merusak nama baik umat Islam. Dalam hal ini, orang-orang yang mendukung ISIS dan membawa-bawa bendera ISIS di Indonesia juga seharusnya ditangkap karena sudah menodai Islam di muka umum. 

    Ironisnya, karikatur itu sebenarnya dicomot oleh Jakarta Post dari koran di Timur Tengah. Malahan di Timur Tengah, ISIS seringkali diolok-olok, misalnya bisa dilihat di berita ini. Dan olok-olok itu juga memuat bendera ISIS yang mencomot kalimat suci syahadat. Apakah kemudian orang-orang Timur Tengah ini sudah menistakan agama Islam? Saya pikir jawabannya cukup jelas. Yang disayangkan adalah bahwa orang-orang di sini nampaknya tidak ingin berpikir panjang kalau sudah terkait isu agama.  

    Ingat kasus kartun Nabi Muhammad oleh kartunis Denmark yang sempat heboh di tahun 2005? Kaum muslim gampang sekali marah. Mau bagaimana lagi, Nabi sudah wafat, dan kemungkinan besar tidak akan ada lagi yang bisa menenangkan umat dengan efektif dan efisien selain Nabi sendiri. Padahal kalau orang-orang ini mau sebentar saja memeriksa kumpulan Hadis Bukhari dan Muslim, sudah ada banyak pedoman yang bisa dipelajari dalam menyikapi kasus penghinaan.

    Hadis Bukhari No. 122 dalam Bab 8, Buku 73 mengenai Adab mengisahkan tentang seorang pria dari kaum Anshar yang terang-terangan menuduh Nabi tidak memperhatikan kehendak Allah dalam pembagian rampasan perang (walaupun dia tidak berbicara secara langsung kepada Nabi melainkan kepada salah satu Sahabat Nabi). Ini tuduhan yang sangat serius, lebih serius dari kartun konyol manapun karena sama saja pria itu menuduh Nabi tidak adil. Ketika berita ini disampaikan kepada Nabi, raut muka Nabi sempat terlihat marah, namun beliau kemudian berujar bahwa Nabi Musa pernah disakiti dengan cara yang lebih parah oleh kaum Yahudi, dan Nabi Musa tetap bersabar.

    Dalam Hadis Bukhari No. 184 di Bab dan Buku yang sama, seseorang dari Bani Tamim menuduh Nabi tidak adil di muka umum ketika harta rampasan sedang dibagikan, dan kemudian ia meminta Nabi untuk segera bertindak adil. Umar bin Khatab yang sudah panas langsung meminta izin kepada Nabi untuk memotong leher pria itu. Anda semua tentu tahu kelanjutannya bukan? Nabi melarang Umar melakukan hal tersebut dan hanya memarahi si pria.  

    Terakhir dalam Hadis Muslim No. 5853 dan 5854, seorang Yahudi dan Sahabat Nabi bertengkar dan saling adu mulut, ketika kemudian si Yahudi mengucapkan "demi Tuhan yang sudah menunjuk Musa". Sahabat Nabi tersebut merasa si Yahudi telah menghina Nabi karena masih berani bersumpah dengan merujuk kepada Nabi Musa sementara sudah ada Nabi Muhammad, dan kemudian ia memukul si Yahudi. Si Yahudi melapor kepada Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad pun murka kepada si Sahabat karena berani membanding-bandingkan Nabi Musa dengan Nabi Muhammad. Menurut Nabi Muhammad, tahu darimana nantinya Nabi Muhammad yang lebih baik dari Nabi Musa di hadapan Allah pada saat kiamat?

    3 Hadis di atas saya pikir sudah cukup menjelaskan langkah apa yang perlu diambil terkait penistaan agama. Tidak perlu lebay. Kalau si penghina bermain dengan kata-kata, anda bisa bersabar atau juga membalas dengan kata-kata. Tentu tidak ada yang melarang anda untuk marah atau emosi, tapi kemudian membawa negara ikut serta dalam konflik tersebut? Nampaknya kita hanya akan membuang-buang sumber daya saja. Saya tidak habis pikir bagaimana mungkin begitu banyak orang Muslim yang harus marah-marah dan kemudian merusak nama baik Islam gara-gara kartun yang digambar oleh beberapa orang tak bermakna dari Denmark? Apalah artinya mereka dihadapan kebesaran Nabi? Tapi tidak, hal-hal kecil ini justru dibuat menjadi bola panas, dipolitisasi sampai akhirnya menjadi kasus tenar. Saya sudah bosan melihat orang-orang bodoh dibuat menjadi tenar. 

    Pernah tidak dipikirkan apa dampak sikap yang keras dan seakan haus darah itu terhadap citra Islam? Jelas bukan citra yang baik. Padahal dalam Hadis Bukhari No. 131 Buku 8 Bab 73, Nabi sudah memperingatkan tentang bahaya orang-orang yang membuat umat lari dari agama. Contoh yang dipakai Nabi adalah orang yang memperpanjang bacaan shalat sehingga membuat umat malas shalat berjamaah. Bayangkan, sebegitu pentingnya citra agama sehingga memperpanjang bacaan shalat (yang sebenarnya bukan hal yang buruk juga) dipermasalahkan oleh Nabi. Apalagi kalau kita malah mencitrakan diri kita sebagai umat barbar!

    Pertanyaan terbesar saya adalah mengapa kebodohan dan kemalasan dalam berinvestasi untuk mempelajari agama ini begitu dahsyat? Jujur sajalah, kasus remeh temeh macam karikatur ISIS di Jakarta Post ini tidak akan terjadi kalau kita mau sedikit usaha berpikir dan riset internet melalui google. Apa yang menghalangi orang-orang untuk melakukan hal tersebut?

    Lebih jauh lagi, lihat hal-hal yang paling sering muncul dan dikaji di dunia media sosial. Tak jauh-jauh dari masalah pluralisme, liberalisme, dan toleransi. Kadang-kadang ribut soal moralitas dan perang pemikiran. Kemudian yang sekarang sedang trendi, isu khilafah. Tak lupa sesekali muncul berita-berita hoax seperti misalnya masalah nasab nama istri kepada suami (seakan-akan Indonesia menganut sistem patrilineal seperti di Timur Tengah), atau soal transliterasi kalimat Insya Allah versus Insha Allah, atau juga keburukan arti singkatan Assalamualaikum dalam bahasa Aramaic (yang entah darimana asalnya). Bagi saya, ini semua isu remeh temeh dibandingkan dengan kajian yang sebenarnya lebih penting, khususnya andai kata orang-orang ini bisa memahami tradisi Hukum Islam dan Teori Hukum Islam yang agung.  

    Saya memiliki penjelasan dari sudut ekonomi atas fenomena di atas, tetapi sebelum kita masuk ke sana, saya akan bercerita sedikit dulu tentang bagaimana saya sendiri berinvestasi dalam mempelajari Islam dan hukum Islam. Di kelas 2 SMP, saya pertama kali membaca buku serius saya, Khilafah dan Kerajaan yang dikarang oleh Abu A'la al-Maududi (kalau anda tidak tahu, Al-Maududi adalah seorang tokoh Islam garis keras dari Pakistan yang getol ingin menerapkan syariat Islam di Pakistan).

    Dari membaca buku itu saya kemudian mengetahui sejarah Khilafah yang berdarah-darah, khususnya mulai dari jaman Ustman bin Afffan sampai kemudian khilafah berubah menjadi kerajaan di tangan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sumber Al-Maududi bukan sumber orientalis, dia menggunakan kitab sejarah At-Thabari (kalau anda tidak tahu, At-Thabari adalah mufasir dan sejarawan yang sangat terkenal dari dunia Islam. Kitab tafsirnya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, silakan beli kalau anda mau belajar lebih banyak).

    Dari pengalaman itu, saya menjadi bersemangat untuk tahu lebih banyak soal Islam, Negara Islam, dan Hukum Islam. Di masa SMA, saya kemudian tertarik dengan tasawuf dan sempat bereksperimen dengan sufisme sampai tahun pertama kuliah. Buku-buku seperti Minhajul Abidin dari Al-Ghazali, Al-Hikam dari Ibn Athoillah, sampai buku-buku karangan Ibnu Qayyim al Jauziyah dan Ibnu Taimiyah yang terkait ibadah sudah saya lahap semua. Buku-buku pemikiran pergerakan Islam karangan Yusuf Qardhawi juga banyak yang sudah saya sempat baca ditambah semua buku serial Filsafat Islam terbitan Mizan.

    Oh ya, SMP dan SMA saya adalah sekolah Katolik. Dan selama sekolah itu, saya orang yang pertama kali mendapatkan nilai 10 untuk ujian hafalan ayat Alkitab ditambah ujian menjelaskan 3 konsep suara hati nurani dalam tradisi katolik. Di masa itu, buku-buku karangan Ahmad Deedat tentang Kristologi juga habis saya lahap semua. Tak lupa pula saya yang mengembangkan konsep dialog antar agama untuk keperluam tugas akhir mata pelajaran agama dimana kita berdebat dengan keras tentang isu-isu macam ketuhanan Yesus dan konsep Tuhan dalam Islam.

    Ketika masuk kuliah di FHUI, minat saya semakin kuat terhadap hukum Islam, kali ini saya merambah ke buku-buku fikih dan fatwa kontemporer yang dikarang Yusuf Qardhawi. Gara-gara ledekan sahabat saya (yang tahu kalau saya gampang ditantang), saya kemudian terjerumus mempelajari Ushul Fiqh (Teori Hukum Islam). Di awal masa kuliah, saya menjadi pelanggan tetap perpustakaan Masjid UI. Perpustakaan yang sunyi karena nampaknya pengunjungnya hanya saya seorang dan petugas perpustakaan yang tampak kesepian.

    Perpustakaan Mesjid UI ternyata memiliki banyak koleksi bagus. Saya belajar sendiri Ushul Fiqh, menyalin dan membuat ringkasan sendiri dari buku-buku yang saya baca macam karangan Mustafa Az-Zahra dan Abdul Wahab Khalaf. Saya juga berkenalan dengan kitab-kitab klasik yang masih saya sering rujuk untuk penelitian seperti Bidayatul Mujtahid-nya Ibn Rusyd, Kifayatul Akhyar, dan al-Muwatta Imam Malik. Tidak lupa pula membaca semua buku terkait ekonomi Syariah terbitan Gema Insani Press yang dikarang Umer Chapra, Muhammad Syafi'i Antonio dan Adiwarman Karim.

    Dengan minat besar itu, saya mengambil seluruh mata kuliah terkait hukum Islam di FHUI dan tidak ada satu pun yang nilainya bukan A. Bagaimana tidak, ketika rekan-rekan saya masih kesulitan membedakan Mudharabah dan Musyarakah, serta masih salah mengeja Murabahah menjadi Mubarahah, saya sudah memahami semua jenis bentuk pembiayaan syariah (pernah dengar Ijarah Mausufah Fi Zhimmah? Itu konsep pembiayaan yang lebih menarik dibanding pembiayaan standar macam Ijarah Muntahia Bi Tamlik. Silakan di-google). Dalam kelas Waris Islam, saya memperbaiki kesalahan dosen yang kurang tepat dalam menjelaskan konsep Kalalah. Referensi saya dalam buku Waris Islam lebih banyak dibanding si dosen.

    Dan buku-buku tentang Islam saya juga semakin bertambah, Teori Politik Islam Dhiaddudin Rais, Al Ahkam Al Sulthaniyah dari al-Mawardi, buku-buku Hukum Islam karangan sarjana Indonesia seperti A. Hanafi, Hazairin dan T.M. Hasby Ash-Shidiqie. Dengan menggunakan teori Istislah dari Ushul Fiqh, saya menulis makalah yang membuat saya menjadi pemenang lomba karya tulis nasional bidang hukum dan kompetisi mahasiswa berprestasi utama FHUI. Teori yang sama saya kembangkan lebih jauh untuk keperluan skripsi saya dalam menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Terorisme.

    Ketika sudah bekerja, dengan penghasilan yang jauh lebih memadai, saya bisa membeli lebih banyak buku lagi. Dari ribuan koleksi buku saya, buku-buku tentang pemikiran Islam, hukum Islam, hadis, ushul hadis, tafsir, ushul quran, dan teori hukum Islam menempati urutan nomor 2 terbanyak setelah buku-buku tentang hukum positif. Singkat kata, saya cukup yakin bahwa akumulasi pengetahuan saya sudah hampir pasti jauh di atas rata-rata kebanyakan orang Indonesia. Apakah saya puas? Sama sekali tidak.

    Merasa sudah tidak ada lagi yang bisa diserap di Indonesia, saya memutuskan untuk mendalami lebih jauh mengenai Hukum dan Ekonomi dan untuk itu saya harus pergi ke University of Chicago sebagai pendiri aliran tersebut. Gara-gara belajar Ushul Fiqh, khususnya teori Istislah, saya menjadi semakin tertarik dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum yang akhirnya membuat saya mencintai ilmu ekonomi. Malah boleh dibilang, saya tergila-gila dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum, efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan bukan karena saya pergi ke Chicago, tetapi melainkan karena saya belajar Ushul Fiqh selama bertahun-tahun. Pergi ke Chicago adalah untuk mendalami ilmu teknis yang belum saya kuasai dan memperkuat keyakinan saya akan keunggulan analisis ekonomi. Saya sudah melahap buku-buku yang mengkritik pendekatan pasar sejak SMA macam buku-buku Stiglitz dan kawan-kawannya, di Chicago saya mengambil kelas teori politik tentang kritik terhadap neoliberalisme dan membaca literatur terkait Behavioral Econ. Semua untuk menguji keyakinan saya agar semakin terasah.

    Dan sekarang ketika saya sedang mengerjakan disertasi saya pun, saya masih berpikir bahwa kemampuan teknis saya masih kurang. Di Chicago, saya melihat profesor yang sudah membaca lebih banyak lagi buku dan makalah dibanding saya, profesor dan murid-murid dengan kemampuan teknis yang jauh lebih mumpuni dari saya. Dan saya senang luar biasa, akhirnya saya menemukan tempat di mana saya bisa mempelajari hal baru, ada orang-orang yang bisa mengajari saya, ada tempat dimana saya bisa tertantang lagi. Saya teringat dulu pernah sempat ikut acara tarbiyah dan setelah pertemuan kedua, saya tak pernah hadir lagi karena mentor yang ditunjuk untuk saya tidak bisa mengajarkan satu pun yang belum saya ketahui.

    Kenapa saya bercerita panjang lebar tentang investasi saya? Saya ingin menunjukkan bahwa bahkan setelah belasan tahun belajar dan menyerap ilmu sedemikian banyaknya, saya merasa masih belum bisa menguasai semua aspek yang saya perlukan untuk menyusun magnum opus saya dalam hukum Islam. Namun lucunya, banyak sekali orang-orang dengan pengetahuan cetek (ya, cetek), dengan jumlah bacaan yang tak seberapa, dan konsep yang tak jelas, meributkan tentang hal-hal remeh temeh dalam Islam, merasa tahu segalanya, dan diikuti oleh banyak orang pula. Ini sungguh mengenaskan.   

    Tahukah anda bahwa seandainya Ushul Fiqh tidak mandeg di abad pertengahan dan umat Islam mau berfokus pada hal-hal yang penting, saya cukup yakin aliran Hukum dan Ekonomi tidak akan diciptakan oleh University of Chicago. Aliran itu akan muncul di dunia Islam dan pendirinya adalah Umar bin Khatab, bukan Richard Posner. Ini bukan omong kosong ala Erdogan yang menyatakan bahwa benua Amerika ditemukan oleh orang Islam. Ini hasil mempelajari berbagai putusan hukum yang dibuat oleh Umar.

    Begitu banyak kajian menarik di dunia klasik Islam yang terbengkalai karena tidak ada lagi yang mau mengangkatnya. Bayangkan seandainya hukum Islam kembali berfokus pada efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan tapi dengan menggunakan ilmu dan sarana teknis yang belum ada pada jaman Umar bin Khatab. Akan sedahsyat apa kekuatan analisisnya? Mengapa perbudakan tak pernah tegas diharamkan? Mengapa mabuk dihukum cambuk tetapi makan babi tidak padahal status keharaman babi lebih absolut dibandingkan dengan keharaman alkohol? Mengapa zina dibebani hukuman tetapi syarat pembuktiannya begitu keras ditambah pula dengan aturan bahwa dilarang mengintip ke dalam rumah orang lain? Tidak percaya? Lihat Hadis Muslim No. 5366.

    Begitu banyak pertanyaan dan juga informasi yang menarik. Misalnya tahukah anda bahwa aturan yang mewajibkan suami harus menceraikan istri melalui pengadilan diadopsi dari fikih Syiah? Anda bisa membaca ini dalam buku Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Indentity, yang membahas mengenai debat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Saya juga sudah memeriksa hal tersebut di jurnal hukum lainnya. Tahukah anda bahwa Islam tidak pernah mempunyai konsep khilafah secara resmi dalam Al-Quran? Kajian Al-Mawardi itu dilakukan ratusan tahun kemudian setelah masa Khulafaur Rasyidun, ketika institusinya sudah dibangun berdasarkan praktek di lapangan. Sekarang saya sedang meneliti sejarah Ottoman terkait bagaimana Ottoman menerapkan aturan hukum yang pluralistik. 

    Tapi tidak, umat lebih suka dengan tawaran mimpi-mimpi yang enak didengar semacam hukum Islam pasti menyelesaikan semua masalah (nyatanya tidak, studi Tahir Wasti di Pakistan menunjukkan bagaimana aplikasi hukum pidana Islam malah memperkuat institusi pembunuhan terhadap perempuan), atau khilafah adalah solusi atas segala permasalahan di muka bumi, tata surya, galaksi bima sakti, alam semesta, dan 17 dimensi lainnya. Sumber daya habis tiap tahun untuk membahas isu tak berguna macam hukum mengucapkan selamat Natal dan hari Valentine. Luar biasa!

    Beberapa orang yang tak jelas keilmuannya bahkan sudah lebih jagoan lagi dalam menuduh sesat orang lain, bahkan ulama terkenal sekalipun. Quraish Shihab misalnya sempat dituduh sebagai Syiah. Dasarnya apa? Sebuah artikel internet yang tak bisa diverifikasi kebenarannya. Untungnya Quraish Shihab adalah mufasir yang paham Quran dan Hadis, beliau tak permasalahkan terlalu jauh tuduhan dari manusia yang tak bermakna.

    Secara ekonomi saya bisa menduga mengapa kajian-kajian tanpa keilmuan ini dan hal-hal remeh temeh ini laku keras. Mengapa orang tidak berminat untuk berinvestasi dalam suatu kegiatan? Mudah, karena kegiatan itu tak diberikan prioritas. Opportunity Cost-nya mahal untuk melakukan kegiatan lain. Kebanyakan orang nampaknya secara tak sadar sudah melakukan analisis untung rugi  dalam hidupnya dan mereka berkesimpulan bahwa mendalami agama memang bukan prioritas dalam hidup dibanding aktivitas lainnya. Tentu saja saya tak akan menyalahkan mereka. Setiap orang punya prioritasnya masing-masing. Alasan saya mendalami hukum Islam juga tidak muluk. Saya senang dan menikmatinya, saya senang mengajar dan gampang gregetan melihat ide bodoh (dan rasa gregetan itu saya tuangkan dalam artikel). Tidak rumit kan?

    Tapi tentu tak elok rasanya kalau kita terang-terangan menunjukkan bahwa investasi mendalami agama sudah tak penting lagi dalam hidup kita, kita masih perlu simbol yang tepat untuk menunjukkan seakan-akan kita peduli. Ah gampang, main di isu akidah saja. Goreng terus ide ini karena walaupun hidupnya amburadul dan pengetahuan agamanya minim, minimal dia tahu Allah itu Tuhan dan Muhammad adalah Nabi.

    Dan ketika permintaan akan kajian simbolik ini makin keras, akan selalu ada wiraswasta handal yang siap mengambil keuntungan. Tidak heran kajian simbolik modal buku Ahmad Deedat atau mungkin buku-buku propaganda lainnya, serta rasa percaya diri yang kuat, sangat diminati. Jualan buku, acara seminar, video, dan sebagainya. Semua senang. Modal awal yang dibutuhkan untuk retorika memang rasa percaya diri. Persetan dengan logika dan pengetahuan. Kalau orang sudah puas dengan retorika omong kosong dan hal itu memberikan penghasilan yang cukup, untuk apa bersusah payah belajar lebih banyak? 

    Saya ucapkan selamat kepada orang-orang ini. Mereka berbakat untuk mendalami ilmu ekonomi lebih jauh dan sudah pandai melakukan analisis untung rugi. Siapa tahu, suatu hari nanti mereka mungkin akan diterima di University of Chicago dan menjadi pemenang Nobel Ekonomi selanjutnya. Oke, saya berlebihan untuk yang satu ini. Mustahil akan terjadi sampai unta masuk ke dalam lubang jarum.

    Sesungguhnya, saya tak ingin percaya dengan prediksi Nabi dalam hadis Abu Daud tentang masa depan umat Islam yang banyak tapi lemah seperti buih kotor di lautan. Tapi mungkin prediksi Nabi benar. Umat Islam sudah jauh lebih banyak dibanding di masa lalu, tetapi nilainya nol besar. Persis seperti ratusan kultwit yang tiap hari muncul untuk kemudian hilang esok hari, tak bermakna, tak bernilai, dan sia-sia belaka.

    Sebagai penutup, saya tidak akan menilai bagaimana anda menempatkan prioritas hidup anda, karena semua orang punya perhitungan untung rugi sendiri, bahkan sekalipun anda tak ingin mengakuinya. Tetapi jangan terlalu lama menipu diri sendiri. Kalau anda memang tidak peduli dengan agama anda dan tidak ingin berinvestasi, minimal tidak perlu berperilaku berlebihan dalam menunjukkan simbol agama. Karena walaupun anda bukan representasi resmi agama anda, orang akan selalu mengasosiasikan anda dengan agama anda tersebut, dan kelak anda akan dimintai pertanggungjawaban atas pencitraan anda yang bermasalah itu.
  • Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup


    Pernyataan Presiden Turki, Tayipp Erdogan, di artikel BBC dan Kompas tentang tidak setaranya wanita dengan pria karena kodratnya menentukan demikian bisa menjadi contoh nyata bagaimana ide pembagian tugas yang mutlak antara wanita dan pria masih saja mendominasi pemikiran di kalangan masyarakat, minimal di Turki. Mengapa demikian?

    Erdogan sendiri mungkin tidak percaya dengan apa yang dia sampaikan dan bisa jadi juga kebijakan riil yang dia ambil di Turki tidak bersifat misoginis. Tetapi Erdogan adalah politisi dan politisi rasional selalu berusaha untuk mendapatkan suara dari mayoritas pemilihnya. Dan seperti layaknya kebanyakan pasar dalam kehidupan sehari-hari, seorang penjual (Erdogan) tentunya harus menjual barang/jasa yang diminati oleh mayoritas pembeli (pemilih) kalau ia ingin menjadi penjual yang sukses (dengan asumsi jumlah pemilih yang mendukung ide Erdogan lebih banyak daripada yang menentang).

    Apalagi kalau ide ini dibungkus dengan isu agama dan kodrat biologis. Seakan-akan tak mungkin salah. Salah satu rekan saya misalnya menafsirkan bahwa pernyataan Erdogan tidak bermaksud untuk merendahkan wanita, tetapi justru ingin menunjukkan betapa berharganya nilai ibu dan betapa pentingnya seorang ibu bagi anak-anaknya. Meyakinkan? Sama sekali tidak bagi saya.

    Isu terbesar dari pembagian tugas antara pria dan wanita ini adalah karena kita merasa bahwa diri kita atau pemerintah memiliki pengetahuan yang mendalam, sempurna dan menyeluruh atas fungsi dan peranan tiap individu dalam satu negara. Kita merasa paham sekali bahwa pria cocok untuk pekerjaan x, sementara wanita cocok untuk pekerjaan y. Dan berdasarkan pemahaman kita yang spektakuler ini, kita putuskan pria harus melakukan x dan wanita melakukan y. Masalahnya adalah: tahu dari mana bahwa seseorang lebih cocok untuk melakukan pekerjaan tertentu? Lebih penting lagi, kalau pun mereka lebih cocok untuk melakukan sesuatu, kenapa mereka harus melakukan hal tersebut?

    Sebagai penganut garis keras aliran efisiensi dan analisis untung rugi, ide bahwa setiap orang harus bekerja sesuai dengan bakatnya sehingga bisa memaksimalkan potensi diri masing-masing terkesan sangat menarik. Tapi saya tidak akan mau terburu-buru mengambil kesimpulan dan kemudian terjebak dalam sesat pikir.

    Ingat film Superman yang terbaru? Film itu menceritakan bahwa Planet Krypton sudah berhasil menemukan kode genetika setiap bayi dan mengetahui sedari awal, bahkan memprediksikan dengan akurat apa bakat dari bayi tersebut dan apa nantinya peran si bayi ketika dia menjadi dewasa. Ada bayi yang diplot menjadi ilmuwan (seperti misalnya Jor-El, ayah Superman), ada yang diplot menjadi tentara (seperti misalnya Jenderal Zodd). Dan tidak ada satu pun yang boleh melawan peran yang sudah digariskan itu.

    Hal pertama yang bisa kita lihat dari kisah di atas? Orang-orang Krypton nampaknya tidak bahagia (lihat saja tampang Zodd yang terkesan stress secara berkesinambungan tanpa henti sepanjang film). Dan mungkin itu bukan cuma sekedar aksi di film. Bayangkan sendiri apabila misalnya anda berminat menjadi seorang pengacara, tetapi kemudian setelah ditelaah oleh suatu mesin super canggih, anda dinyatakan tidak cocok jadi pengacara, anda lebih cocok jadi arsitek dan oleh karenanya anda wajib menjadi arsitek terlepas anda suka atau tidak dengan profesi itu. Bagaimana perasaan anda? Saya cukup yakin bahwa sebagian besar orang akan menolak pemaksaan profesi tersebut, apalagi kalau kita tidak punya suara sama sekali dalam kasus tersebut.

    Dan banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Misalnya, apakah mesin tersebut bisa menghitung dengan objektif seluruh preferensi kita atau hanya melihat satu unsur tertentu saja? Analisis untung rugi meliputi banyak aspek. Kekayaan finansial hanyalah salah satunya, rasa bahagia, kepuasan batin dan sebagainya, dapat menjadi bagian yang valid dari analisis untung rugi, dan banyak ahli yang berusaha untuk terus menyempurnakan analisis untung rugi agar dapat menangkap aspek-aspek tersebut.

    Kalau pun kita bersikeras mengkhususkan analisis untung rugi hanya atas hal-hal yang bisa dikuantifikasi, kita dapat menyimpulkan bahwa ketidakbahagian dalam bekerja juga dapat menurunkan produktivitas. Si mesin bisa jadi memperhitungkan bahwa bakat arsitektur kita berpotensi menciptakan pendapatan US$1 juta per tahun dibandingkan dengan profesi pengacara yang berpotensi menciptakan pendapatan US$750 ribu per tahun.

    Akan tetapi, ketidaksenangan kita terhadap profesi arsitektur juga berpotensi menyebabkan jumlah pendapatan kita menurun drastis di bawah potensi yang diperkirakan si mesin karena kita tidak melakukan pekerjaan kita dengan sungguh-sungguh. Tidak ada jaminan bahwa prediksi si mesin akan menghasilkan hasil yang efisien. Isunya sederhana. Pertama, tidak ada yang bisa memprediksikan masa depan apalagi mengatur masa depan akan menjadi seperti apa. Ketidakpastian dalam hidup ini sudah merupakan suatu keniscayaan. Kedua, manusia tidak bisa dipaksa untuk menyukai apa yang ia tidak suka. Melakukan sesuatu yang tidak disukai pasti ada biayanya dan akan ada konsekuensinya. Kita bisa menutupi masalah ini dengan bilang: "ya, tidak semua orang tahu apa yang baik bagi dirinya." Tapi hal itu tidak akan tiba-tiba mengubah orang menjadi suka atas apa yang tidak dia sukai. Sesederhana itu. Pertanyaan utamanya, dengan situasi seperti ini, apa kita benar-benar memiliki justifikasi yang kuat untuk memaksa orang melakukan suatu profesi tertentu sekalipun ia tidak menyukainya? 

    Coba kita renungkan baik-baik, apabila kita tidak bisa sepenuhnya percaya bahwa pembagian tugas antar manusia bisa dipaksakan ketika teknologi pendukungnya ada, bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa pembagian tugas tersebut dapat dipaksakan ketika teknologinya tidak ada dan pemerintah serta masyarakatnya masih bias gender?  Kalau kita sendiri tidak suka dipaksa oleh negara untuk menjalankan profesi tertentu, mengapa kita malah meminjam tangan negara untuk memaksa orang lain? Dari sudut analisis untung rugi, ini jelas bukan opsi yang menggiurkan.

    Fakta bahwa secara biologis wanita adalah satu-satunya jenis manusia yang bisa melahirkan anak tidak serta merta berarti bahwa semua wanita pasti ingin punya anak, pasti ingin menghabiskan waktunya untuk mengurus anak, dan pasti lebih mampu mengurus anak dibandingkan dengan pria. Bisa jadi ada wanita yang lebih senang untuk menjadi ibu rumah tangga, bisa jadi ada wanita yang lebih senang untuk menjadi wanita karir, dan bisa jadi ada yang ingin menggabungkan keduanya. Demikian juga dengan pria. Pilihannya bukan ditentukan oleh negara. Pilihannya ada pada wanita tersebut dengan tunduk pada kelangkaan waktu dan sumber daya.           

    Apa maksudnya? Anak hanyalah salah satu opsi dalam kehidupan berkeluarga. Ada yang berpikir meneruskan keturunan genetis itu penting, ada yang tidak. Kesenangan hidup berkeluarga juga tidak hanya muncul dari anak. Mengurus anak juga bukan tanpa biaya. Kesenangan yang didapat dari kehadiran anak akan dikompensasikan dengan biaya dalam bentuk waktu yang bisa digunakan untuk aktivitas lain dan uang yang digunakan untuk mendidik dan menciptakan anak yang bermutu.

    Orang mungkin berpikir, tidak baik melakukan analisis untung rugi terhadap urusan keluarga, termasuk anak. Ini seperti berharap bahwa masalah yang ada di depan mata akan hilang hanya dengan menutup mata kita. Pepatah "banyak anak banyak rezeki" saja sebenarnya mengindikasikan bahwa nenek moyang kita sudah lama berpikir bahwa anak adalah investasi. Dan kenapa tidak? Dalam budaya Asia, anak sangat diharapkan menjadi tulang punggung keluarganya ketika nanti ia sudah besar. Semakin banyak anak, maka seharusnya semakin makmur hidup orang tua (dengan asumsi mereka berhasil mendidik anaknya). Kebanyakan orang mungkin tidak suka mendengar kenyataan ini. Namun demikianlah kenyataannya.        

    Oleh karenanya, wajar-wajar saja kalau kemudian ada wanita yang memutuskan untuk tidak punya anak atau membatasi jumlah anaknya dengan melakukan analisis untung rugi. Penelitian menarik di negara-negara maju misalnya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan semakin besar pendapatan suatu pasangan suami istri, jumlah anak dalam keluarga juga menurun. Salah satu penjelasannya adalah karena biaya kesempatan (opportunity cost) dari orang tua juga naik drastis, yaitu waktu mereka untuk melakukan aktivitas lainnya menjadi lebih berharga. Apakah hal ini salah? Menurut saya tidak. Ini cuma masalah prioritas bukan masalah moralitas. Yang memutuskan untuk punya anak tidak lebih baik dari yang tidak menginginkan anak dan demikian sebaliknya.      

    Bagaimana dengan profesi lainnya? Dengan anatomi tubuh wanita yang umumnya lebih lemah dari pria, tentunya ada beberapa pekerjaan yang seakan-akan tidak cocok untuk wanita secara umum. Tapi itu juga tidak berarti bahwa kemudian wanita perlu dilarang atau dipersulit untuk melakukan profesi tertentu. Kembali ke pertanyaan awal, mengapa hal tersebut mesti pusing-pusing diatur oleh negara? Apa justifikasinya?

    Saya sudah berkali-kali menyampaikan bahwa di era modern, seluruh kebijakan publik wajib tunduk pada analisis untung rugi dengan memperhatikan data dan penelitian empiris. Kebijakan publik juga wajib tunduk pada mekanisme checks & balances karena kita tahu bahwa manusia bukan malaikat dan rentan melakukan kesalahan. Sudah bukan jamannya lagi berargumen hanya mengandalkan doktrin tertentu. Prinsip agama yang paling penting adalah maksimalisasi kesejahteraan masyarakat. Dan hal itu hanya bisa dilakukan kalau kita berhitung dengan hati-hati, bukan berkhayal.

    Permasalahannya ada di kerangka berpikir secara absolut. Ya atau tidak sama sekali. Salah atau benar sama sekali. Tidak ada jalan tengah. Kalau wanita harus jadi ibu berdasarkan doktrin agama, maka hal itu mutlak pasti benar sekarang dan selama-lamanya. Padahal sebagaimana saya bahas di atas, kenyataannya berkata lain, menjadi ibu bisa jadi efisien, bisa jadi tidak. Melakukan pemaksaan secara masif terhadap anggota masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan cenderung tidak efisien karena kemungkinan kesalahannya sangat besar dan tidak memedulikan unsur preferensi manusia.

    Mulailah berpikir secara marjinal. Sebagaimana saya pernah bahas di artikel ini, yang merupakan pengantar ringkas dari disertasi saya, hukum Islam tidak berpikir dalam kerangka absolut. Kalau iya, perbudakan seharusnya sudah haram mutlak sejak 1.500 tahun yang lalu dan tidak menunggu secara bertahap sampai awal abad ke-20. ISIS saja sekarang melakukan perbudakan terhadap kaum Yazidi. Karena mereka salah memahami kitab suci? Mungkin, tetapi secara doktrin agama, perbudakan memang tidak pernah dikategorikan haram mutlak. Dalam situasi perang misalnya, Wahbah Az-Zuhaili, ulama kontemporer yang sangat terkenal, juga memperbolehkan perbudakan atas tawanan perang (cek Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 8, bab Jihad, terbitan Gema Insani Press). Ini baru satu contoh dimana doktrin saja tidak cukup untuk menganalisis suatu masalah. Sisanya bisa dibaca dalam artikel saya tersebut.

    Saya berharap bahwa kita bisa mengurangi kecenderungan berpikir secara absolut ini sedikit demi sedikit. Saya sepenuhnya paham bahwa kalau perbudakan saja butuh ribuan tahun untuk dianggap buruk, berharap semua orang tidak lagi berpikir absolut dalam sekejab tentunya cuma angan-angan belaka. Tapi ini harus dimulai dari sekarang. Erdogan tidak akan mengeluarkan ide yang tidak masuk akal kalau tidak ada pendukung ide serupa di antara para pemilihnya dan oleh karena itu, konsep yang salah ini harus kita lawan terus.

  • Tentang Hukum Islam dan Penafsirannya (Bagian 1)


    Sebenarnya sudah cukup lama saya berpikir menulis dalam Bahasa Indonesia, tetapi karena sejak awal blog saya ditulis dalam Bahasa Inggris, saya sering kali mengalami dilema kalau harus menulis dalam Bahasa Indonesia. Namun demikian, setelah saya pikir-pikir lagi dari analisis untung rugi, saya melihat kalau tulisannya difokuskan untuk kasus atau masalah khusus di Indonesia, sebaiknya memang ditulis dalam Bahasa Indonesia agar bisa menarik lebih banyak Pembaca.
  • Does Islamic Law Deal With Minimum Wage?


    There is a fundamental problem when I read this paper titled: Islamic Commercial Law and Social Justice: Shari'ah Compliant Companies, Worker's Rights and the Living Wage (written by Susan C. Hascall), namely, the fact that she argues that some of the Prophet's Hadiths can be used to support the existence of minimum wage for employees and the notion that a company cannot claim itself to be Shari'a compliant without complying with minimum wage requirement. 

    Why? Let us read first the Hadiths used by Ms. Hascall below:

    "Give a servant his fee before his sweat dries"

    "God Most High said: I shall be the opponent of three people on the day of judgment: the man to whom I gave generously but then he cheated; the man the man who sold a freeman into slavery and ate up its price, and the man who hired a worker and took his due measure from him but did not pay him for his (fair) wages"

    The word "fair" that I underline above is an additional language used by her. I have to disagree with Ms. Hascall because from the very beginning, these Hadiths do not deal with the fair amount of wages to be given to a worker. It is true that some Islamic scholars tried to argue in such a way, but I do no think that their interpretation is correct.

    In my view, these Hadiths deal with the obligation of an employer to honor his contract with his worker, i.e. to pay his employee's salary/fee for the work that has been done and that he should not postpone such payment without a valid reason. No words on fair amount. Therefore, this is about the sanctity of contract not minimum wages.

    As I have argued several times in my blog and in my paper here, Islamic Law (as a concept and not in the context of Legal Positivism) separates moral and legal issues and also puts efficiency and the general welfare maximization as the main principles in building its legal system. This is why Islamic Law does not prohibit or even condemn pre-existing slavery, condemns riba but does not provide any sanction even though God says that the sin of committing riba is equal to murdering a man or having an incestual relationship with our own mother. When dealing with economic/commercial issues, we have to admit that Islamic Law is very flexible, namely it does not criminalize the violation of provisions relating to commercial issues.

    This is also in line with the fact that God does not prescribe an absolute value of minimum wage and cannot be expected to do so. Once we deal with fairness issue, there is no single clear answer. Saying that Islamic Law compliance can only be done once you pay your worker with a fair amount of salary creates too much ambiguity. It also transforms a moral issue into a complicated legal issue.  As an example: if an employer pays his worker too small, does it mean that he violates the law? Would that mean that the contract is invalid? What would be the consequences?

    Of course you can always say that it would be good if employers pay attention to the overall well being of his employees and should pay good salaries to them. But that should stay as a moral issue rather than a legal issue with all of its consequences. Because payment of salary is also subject to many factors and the law of supply and demand. As there is a fairness aspect relating to the employee, there is also a fairness aspect relating to the employer.

    I think that is why Islamic Law focuses more on the enforcement of the contract to protect the rights of the worker and the Hadiths are more consistent with this approach. As I argued here, I believe that the best way of promoting the interest of the workers is by making policies that are correlating with the supply and demand of manpower.       
  • Once Again On Blasphemy


    Suppose you believe in Religion X and A is your God, and someone comes to tell you that your belief is false — A is a mere human and therefore he is not worthy to be worshiped. Would you call the scenario as a blasphemy to your religion?

    If the answer is yes, then we have a problem because in reality, most religions — if not all — claim other religions are false or misleading. As you can probably tell, the above scenario is about Jesus. In Christianity, Jesus is God. In Islam, Jesus is not God: He is a human, one of the prophets sent by the almighty God.

    In my previous post, 'The Law and Economics of 'Innocence of Muslims,' I argued that defining religious blasphemy is very difficult from the perspective of freedom of speech. Now I would like to emphasize the logical problem of having anti-blasphemy laws when we have so many religions in this planet. Thus, another reason why we should not support the existence of such law.

    Why do we have so many religions? If it is true that all religions are the same, surely we have already converged all of them into a single faith a long time ago. But no, we know that will never happen because each religion claims the truth for itself.

    Even in case where a religion accepts the possibility of having truth from other religions, it does not change the fact that such religion still claims the truth of its own teaching. I dare say that the policy of recognizing the truth of other religions is just a way to maintain stability rather than an actual confession of faith.
     
    Why? Because it is simply illogical. A Christian can't say Jesus is God and at the same time accept the possibility that Muslim's claim that Jesus is not a god is true.

    Or you may want to say that at the basic level, all religions teach the same things despite the differences of gods. But that would be another problem. Why bother having religion if the concept of God no longer matters?

    The most important thing I want to show here is that there will always be a friction between different religions. It might be slight, but it might also be very sharp. Combine that with religion followers who have low tolerance level and we would have a great recipe for disaster.

    Would anti-blasphemy law help? It depends. If we are talking about a law that will punish people who are considered as blasphemers, such law will not help at all. Even worse, it might be counterproductive.

    An easy example would be the story of early Islam development. Prophet Muhammad must had spent years of his life in Mecca teaching Islam in the underground because his teaching was considered as a blasphemy among the Arabs at that time.

    If not, why bother migrated from Mecca to Medina? Because Medina's citizen was more tolerant? Because it did not have the crazy people who will kill you because you are considered as a blasphemer?

    How many early Muslims were killed arbitrarily in Mecca? How many of the killers were judged and deemed criminal for killing the early Muslims? We are quite lucky that the history changed and later on Islam became the religion of the majority in the Middle East.

    Nowadays, Muslims can easily claim that those Arabs who worshiped stone gods are stupid and irrational. But the main reason why we can safely make that claim is because we are in the majority, not because we are absolutely correct or because those stone worshippers were indeed really stupid. That's the harsh truth.

    This is why I don't support anti-blasphemy laws, because it brings us back precisely to the jahiliyyah era or pre-Islamic period. As long as you are in the majority, you will be fine. But not when you are in the minority.

    Furthermore, there is no guarantee that we will always be in the majority nor that we will always be able to protect our minority brothers and sisters out there in case the other majority group decides to retaliate against them.

    My suggestion is still the same. Don't waste our time fighting due to badmouthing. We can simply avoid conflicts by letting people choose what they want to believe and what they want to share with everyone else, provided that no elements of violence is involved during the process. 

    If in the end you are still suggesting people to fight back all bad mouthing using violence, then I'm afraid we have not evolved to be better men during the last 1,500 years.
  • The Law and Economics of 'Innocence of Muslims'


    I'll admit it: I have not watched "Innocence of Muslims," the anti-Islam film that has been blamed for causing ruckus around the world. Why? Well, I have more important things to do, one of them involves an amateur cooking competition with my friends.

    Personally, in terms of importance, such movie sits in the category of "absolutely not important that even staring at the wall for 2 hours would still be better." The problem is, not everyone shares the same view. But before we discuss why Muslims are against the film, we should first study why some people are still trying to make a movie like this.

    From economics perspective, the reason might be very simple: because with such a minimum cost, the movie can maximize the damages caused to the world, which I assume will also maximize the makers' own pleasure or benefit.

    Why are the costs so low? Based on the comments of those who have seen it, "Innocence of Muslims" was a low-budget movie (bad editing, amateur actors, etc). And it is unlikely that the filmmaker - who, according to Wikipedia, resides in California - will face legal penalty in the United States.

    The first reason might be the protection of free speech, though this is debatable. The second reason might be the fact that the United States does not want to show any weaknesses toward the demand of the Muslim worlds, including the terror they received in Libya which caused the death of the US ambassador and three other Americans.

    On the first reason, the protection of free speech is indeed complicated. People may argue the movie is a hate speech. But what would be the correct standard? I mean, I've seen a lot of movies and jokes harassing Jesus in such a really bad way and yet, I have not heard any case in the United States sanctioning the makers. Should we measure hate speech from objective or subjective requirements?

    The second reason is even more problematic. The movie undoubtedly triggers heavy protests from Muslim communities around the world. And within the protesters, some of them may use the event to promote their own idea of violence and war. Perfect timing indeed.

    If the United States penalizes the filmmaker, it can be assumed by terrorists and war mongers that the United States is bowing down to their threat and thus, in the future, it would be easier for them to demand things from the United States as long as they kill certain US citizens.

    In other words, the United States would also have difficulties in punishing the stupid filmmaker based on political reasons. I borrow this analysis from Prof. Eugene Volokh, a law professor from UCLA, and I agree with the basic premise.

    If the filmmaker realizes the above facts (and I assume he was not stupid enough to bring the video online without thinking the consequences), it would be rational for him to actually publish the video since his own personal benefits outweigh his costs.

    Unfortunately, this is inefficient and bad to the overall welfare of the society. Currently, triggering protests from the Muslim world using cheap tactics (such as this movie) has a success rate of almost 100 percent - if not 100 percent. And it is most likely that the protest can turn into a riot.

    This is completely different if the movie is directed to, say, Christians. As I've said above, there are so many jokes and movies depicting Jesus in such a bad way that I am certain if you change the character into Muhammad, the makers will not live long enough to see another day. Heck, we even have a Jesus parody in Twitter.

    Why do Muslims and Christians have such a different approach in handling these kind of issues? Could it be that it has something to do with education and living standards?

    But as long as most Muslims continue to retaliate, I believe the cycle would never end. The supply of people similar to the above filmmaker might be endless and they will definitely take the advantages they currently have, i.e. free speech protection and political reasons.

    The most efficient solution is of course ignoring these buffoons. After all an ant can't cause harm to a blue whale. The problem is, it will take a long time to reach that stage (if ever).  

    I can only hope the majority of Muslims will follow the Prophet basic rule in dealing with bad mouthing: Just ignore those people. Good for your health, good for your image, and less trouble for all of us. We still have many urgent matters which are more important than a stupid movie.
  • A Guideline on Conducting Survey for Shari'a Implementation


    I always want to do a survey on how Indonesian people perceive the implementation of Shari’a as a part of positive laws. Many surveys have been done on this issue. The problem is, either the questions are too general or only deal with the “famous” provisions of Islamic law.

    By general, I mean that the question only asks whether a person accepts the implementation of Shari’a without knowing whether he would agree entirely with any kind of implementation or only to a certain degree.

    By famous, I mean that the question only deals with classical provisions that are well known by many people such as hand cutting for thievery, stoning for adultery, etc.

    I believe that this kind of survey cannot be used to know precisely whether the respondent fully understand his answer, that he gives his responses based on a good understanding of Shari’a and not just because he doesn’t want to be considered as a religious blasphemer.

    In this article, I will provide certain guidelines of questions that can be considered when we are doing the above survey. First, do not start by asking the general question. Rather the survey must start with questions on specific provisions of Islamic law without any reference that such provision of law is a part of Islamic law.

    The first set of questions should deal with slavery issues. Here we test whether the respondent would agree with the legality of slavery and whether they perceive slavery as a bad thing. Classical Islamic law permits slavery for more than a thousand of years. If people disagree with such notion, their belief on the supremacy of Islamic law should be questionable.

    The second set of questions deal with economic issues. In this part we ask the respondents on whether they would agree to lend money to other people without any interest at all time, even for business purposes. And then we ask them whether they perceive bank interest as something bad, or just business as usual.

    Classical Islamic laws stipulate that bank interest should be prohibited because it resembles "riba," that the sin of charging "riba" is equal to killing a person or having incest relationship with your own mother. Interestingly, for such type of sin, no criminal punishment is available (making me to believe that in terms of economic matters, Islamic law is pro capitalism).

    Third, we deal with family law issues. The questions should be, among others, whether they agree that divorce rights should stay exclusively with the husband and that courts should not interfere at all (so husbands can divorce their wives as they wish) and whether husbands can do polygamy without requiring any approval from his first wife.

    Here I primarily want to see how women respondents will react. The above provisions are parts of classical Islamic law which is not even implemented under Indonesian Islamic law. Yet, if we are staying with the tradition we should go with the old ones, unless you want to say that Islamic law is not eternal and its provisions can be changed in accordance with the relevant situation.

    Fourth, we go with the criminal law issues, we can ask the usual famous questions with some twists. We should ask whether respondents would agree that any murderer can be released from punishment as long as he pay a decent amount of compensation to the victim’s family.

    If they say yes, we can ask them whether they would agree that a thief can also be forgiven if he pay additional compensation to his victims along with returning the stolen goods. Such concept does not exist in classical Islamic law.
     
    What I want to test here is whether people would agree that Islamic criminal law is good for the rich but not for the poor since the poor has no money to pay their way out from punishment, whether they will perceive this as a fair law or not. 

    Finally, we ask them about procedural law issues. Would they agree that a woman’s value of testimony will only be considered half of a man? Would they agree that non Muslims cannot testify in a case and if there are no Muslim witnesses for an important case, what would they do?

    Would they agree that any witnesses must satisfy the strict requirement of Islamic law, meaning that such witness is close to a perfect human being, e.g. consistently maintain 5 times prayer a day and any other type of worshiping activities, never lie, maintain body cleanliness all the time, nice to other people, etc.  

    All these questions test the respondents believe on whether the above requirements (which no longer work in actual practice due to their inefficiencies) should be accepted as a part of positive law.

    The final goal of these questions is to test the respondents consistency, especially when we close the survey with this question: would you agree that Indonesia should implement Islamic law in entirety because it is God’s law?

    If they still say yes in the end, we should see whether they accept everything from the beginning or whether they agree to certain parts only. If they only accept certain parts, we can ask them whether they truly believe that Islamic law is perfect and thus should be implemented without any further questions.

    Once we go with these kind of questions, I doubt that the number of people who vote for complete Shari’a implementation would be many. But this is still a prediction.

    So, is there anyone who want to try conducting this survey and find out the real answer?
  • Do Eternal Holy Laws Exist?


    The title of this article is the main question generated by people who believe that there are certain laws which are derived from God or basic moral principles. Thus, these laws would have a holy status and will be perfect and remain unchanged for eternity.
      
    Unfortunately for them, the answer is no. There is no such thing as a holy law and there is no record that a law can be applied without any changes within the past 2,000 years. Law is a social fact and is always evolving. That’s the reality.  

    By social fact, I mean that the basic validity of the law is solely determined by social acceptance, namely that the people within a territory, including their legal officials, accept from their internal point of view that a norm has valid authoritative power as a law.

    How can we know that such acceptance exists? First, we can see such acceptance from how legal officials (such as judges) express the normative aspect of such rules within their opinions/statements. For example, they say that judges ought to adhere to certain norms in deciding cases, that it is the right thing to do, etc.

    Second, we can also see the acceptance of such norm through critical evaluation, meaning that judges who accept such rules criticize others, even themselves, for failing to conform to the norm. Not only do deviations from the norm produce criticism, but such criticism is deemed to be legitimate and made with good reason.

    Based on the above standards, no holy law would exist simply because it is holy or derived from the sky. All “holy” laws receive their holiness status because people treat them as such. And if people cease to treat them as a holy law, such law would also cease to become holy -- and lose its authoritativeness.

    This understanding is very important. In any part of this world, we can say that no laws receive their authoritative status automatically. In modern world, there is certain exhaustive process (ultimately through democracy) that must be done before certain norm can be regarded as a law and enforced by the state/legal officials.

    This might include election of officials by the people, promulgation of the laws by the legislators via voting process, and enforcement of the laws by legal officials (including interpretation of the laws by judges). It is a complex yet necessary process since laws affect how people behave in their day-to-day life.

    However, there is also a twist here. Since law is a social practice, people who believe that certain laws should be treated as holy may gain power through the democratic process. I do not know and cannot predict whether they might ever win, at least in Indonesia, but that should always be taken into our consideration whenever we go to the general election. 

    Next on eternally unchanged laws: if they do exist, there would be no need for interpretation. There would be no exception to the law unless the law says that it can be exempted. More importantly, it will also contradict the practices that have been done by various legal officials and scholars in implementing the law for centuries.

    There are two examples of this: first, the classical Islamic laws on slavery. Some people claim that slavery is entirely prohibited by Islamic law. This is mistaken. Various archaic sources indicate clearly that slavery was a usual practice even hundreds of years after the birth of Islam. You can have sex with your slaves and you are not permitted to release them if your debts exceed your assets.

    Islamic law encourages people to free their slaves, but it does not say that slavery is a prohibited action that will send the owners to hell. Surely if we say that the law should be unchanged, this practice of slavery should also stay provided that you treat your slaves nicely.

    Second is the law on divorce. In classical Islamic law, men can divorce their wives directly without any interference from the court. Yet, Indonesian Islamic law limits such absolute right. A divorce by men will only be valid when the religious court has decided so. Interestingly, the Indonesian Islamic scholars use the sources from Shia schools to back up their opinion.

    The two issues above are just small samples of an even bigger discrepancy between theory and practice. This is a deep theoretical challenge upon those who believe that the law should be applied as it is for eternity. If you accept that the law is perfect, how can you justify any changes to such law? 

    In short, making the claim for an eternal law is easy, but when you face the actual cases in real life, you will soon realize that such law is merely an illusion.
  • The Validity of Slavery under Islamic Law (A Short Review of Bidayatul Mujtahid)


    As previously mentioned in my post, I've been doing a research on the validity of slavery under Islamic Law as a part of establishing a general theory of Islamic Law. While I have collected many new books and law journal articles on this issue, trying to find empirical evidence of how classical Islamic legal scholars took it, I've just realized that I missed one of my important sources that has stayed with me for years, Bidayatul Mujtahid, a superb comparative fiqh book written by Ibn Rusyd, a prolific and famous Islamic legal scholar (though most western people know him as a philosopher rather than a jurist). The book is considered as a masterpiece and is still used in various Shari'a faculties around the world as teaching materials, even though it was written around 800 years ago (or around 600 years after the birth of Islam).

    So a couple of days ago, I read again the Indonesian and English versions of Bidayatul Mujtahid and I found out in the Jinayat (penal offenses) section, Zina (unlawful intercourse) sub section, that having an intercourse with your own slave (whether you're marrying or not marrying the slave) is not considered as a penal offense. In fact, Ibn Rusyd states in such sub section that this has been agreed by all of the Islamic legal scholars (as of his time). The sub section also discusses certain other issues such as the legality of having a sexual intercourse with other person's slave (with the master's consent), or whether a father is free to have a sexual intercourse with his son's slaves or a man to have a sexual intercourse with his wife's slaves. Although Ibn Rusyd recorded that Islamic legal scholars were still in debates on the validity of these actions, several of them have already considered those acts as permissible without the necessity of imposing any penal sanctions.

    Upon reading this, I quickly understand that slavery is indeed not prohibited under classical Islamic Law. The legal logic is simple: you can't validly have a sexual intercourse with your slave if slavery is legally prohibited. This is also supported with the fact that some scholars allow a person to enjoy other person's slaves with prior approval on the basis of asset's transfer! On technical legal issues, I salute these classical scholars for being innovative, but isn't that mean that slavery still existed even 600 years after the birth of Islam and people still think it as an ordinary legal action? 

    Now I wonder, if we know that slavery is  valid and permissible under Islamic Law, and the Koran never says that it is prohibited, nor condemns the act, can we now prohibits slavery? Under what basis? That this is a law that should be changed in accordance with the situations and conditions? Why can't we do the same with other Islamic law subjects? If we prohibit slavery, can we be considered as breaching God's rules by prohibiting things that have been declared as permissible?

    As a separate note, you might be interested to know that modern scholar like Wahbah Az-Zuhaili still allows slavery of women and children in terms of war prisoner to the extent that they can be distributed as war's spoil (ghanimah). You can refer to his discussion in Fiqih Islam Wa Adillatuhu, General Fiqh Section, Jihad - War Prisoner sub section (it's in the 8th book of his book's Indonesian version).

    Interesting issues to be followed up. Let's see whether I can finish my research during my study at University of Chicago.
  • Toward a General Theory of Islamic Law (Work in Progress)


    Islamic Law is one of my most cherished fields as a lawyer and during my 10 years experience in the art of law, I have done a lot of research and read hundreds of books on Islamic law. Nevertheless, until today, I have not found a general theory of Islamic law that can answer these ultimate questions in a satisfactory way:
    1. Are Islamic laws (specifically those stated in the Koran and Hadith) opened to any changes in the society?
    2. Should Islamic laws be applied as they are, without any consideration of the situation and condition?
    3. Suppose they can be changed in accordance with the situation and condition, what part of the laws that are immutable and those that can be considered as changeable?
    4. Are there any consistent methods of interpretation to be used in applying Islamic laws in accordance with the situation and condition?
    In reality, there is no unity in the application of Islamic law in any part of this world except for certain undisputable items such as syahadat as the first requirement to enter Islam, 5 times a day prayer obligation, mandatory ramadhan fasting period, mandatory zakat payment, and hajj. You can call yourself a moslem if you perform those basic obligations, but I can assure you that there are many specific legal issues relating to such obligations that are still being disputed until today, and this is only for the Ibadah aspects. In muamalah aspects, you will see countless arguments and counter arguments on whether a law should be applied as it is or not. Different countries have different interpretation of the application of Islamic law, and most of the time, it is hard to assess whether the argument used to interpret the law in one case is consistent with the argument used to interpret another case. The actual implementation depends on many factors, such as political will, the applicable majority Islamic legal school, acceptance by the society, etc.

    The above fact is very interesting. It is easy to find people out there who claim that good moslems must follow the Islamic laws as directed by God and the Prophet Muhammad. Some even going further by declaring those that oppose the implementation of Islamic law as followers of heresy. This is an absurd claim. As evidenced by more than 1,500 years of history, people are still arguing and will always argue on what laws to be followed. If you can't reach an agreement on the law to be applied, how can you force someone to follow such law?

    It is my dream that someday I can build a general theory of Islamic law that will solve the problem of unity and consistency within the Islamic legal system and legal interpretation. However, in order to achieve such hard task, I refuse to use the standard deductive reasoning used in classical Islamic legal theories book (ushul fiqh). With new development in social sciences and abundant database of cases and precedents all around the world, this is the right time to build a whole new level of Islamic legal theory which will work in practice.  You would be surprised to find that for the last 1,000 years, there aren't many developments in the art of ushul fiqh.

    Most books that I read still use the similar pattern: definition of ushul fiqh, the 4 main sources of Islamic law: Koran, Hadith, 'Ijma (the collective agreement of the ulemas), Qiyas (analogical reasoning). Then we go with some standards Islamic legal interpretation methods whose validity are still being debatable such as: istihsan (juristic preference), istislah/maslahah mursalah (application of law based on the needs of the society, similar to welfarism), 'urf (customary practices) and syar'u man qablana (the law of generations before Islam). Further, we will have some basic grammatical interpretation methods for the Koran, some basic sciences of Hadith, i.e. analyzing the validity of the Hadith through link of narrators, and simple methods to analyze cases where there are conflicting legal norms. Books that discuss these legal interpretation method in depth are very rare to find, at least that's my experience.

    Some of you may think, why the hell a corporate lawyer like me would like to spend his time discussing Islamic laws? Well, to be honest, when I'm still an undergrad student, I focused my research on Islamic legal theories, specifically istislah. I wrote many papers using istislah as my basic legal theory, including my own thesis and a paper that won a national legal writing competition. So yes, I can say that I have sufficient exposures to say that there aren't many developments in the field of Islamic legal theories. I would welcome any different view on this particular issue though.

    So what should we do about this? As I said above, it's my dream to build a general theory of Islamic law. The process should be started by first collecting the different trends of interpretation of Islamic laws used in various cases and countries around the world which is essential in knowing whether the laws are applied as they are or with any modification. Next, we need to find the reasoning behind those interpretations and analyze whether such interpretations have been used consistently for all similar cases. We would also need to analyze the effect of such laws to the society, i.e. does the law work? Does it promote the betterment of the society? Hopefully, from these various data, we can start to establish a general legal theory that will work across the world.

    Some interesting samples worth to think about that I found during my research:

    1. Under classical Islamic laws, divorce is the right of men and can be done directly without having to wait a court order. This is not the case in Indonesian Islamic law as a divorce can only be done through a court process.
    2. Under classical Islamic inheritance laws, the existence of female children does not block the rights of the deceased's brothers and sister, and commonly, the rest of the inheritance assets will go to the father as an ashabah (since a female child only receive half of the assets) if there are no other family members. Under Indonesian Islamic law, children, female or male, close the rights of the deceased's brother and sister, and the remaining assets will be shared equally.
    3. An empirical research on the application of Pakistan criminal laws for homicide (see The Application of Islamic Law Criminal Law in Pakistan by Tahir Wasti) shows that such implementation does not reduce the crime rate, and in practice allows murderer to be free through diyat (blood money) mechanics, especially powerful people who can buy their freedom by paying the victim's family.
    4. Ever wonder whether slavery is strictly prohibited under the Koran? Yes, freeing a slave can be a way to purchase a seat in the heaven, but there is no verse in the Koran that declares slavery as an evil act or considers slavery as a criminal activity with penal sanctions. More on this after I finished my readings on various literature about Islamic law and slavery.
    I must admit that I am on crossroads with my research focus, should I choose Islamic law as my primary interest instead of corporate law and law & economics? Whatever my final decision would be, this is still in my agenda, a work in progress. Currently, I'm still in the process of collecting the data. The plan is to spend some of my time in Chicago to finish the rough manuscript. I would expect that the process may take years before I can be satisfied with the results, so wish me luck :).

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.