THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Philosophy. Show all posts
Showing posts with label Philosophy. Show all posts
  • Apakah Mungkin Sesuatu Mengada dari Ketiadaan?

     

    Gara-gara menemukan twit imut di atas, saya jadi teringat salah satu diskusi beberapa bulan lalu soal apakah keberadaan causa prima (yang biasanya diterjemahkan menjadi Tuhan) itu suatu keniscayaan secara logika (logical necessity), dan oleh karena itu harus benar adanya dalam setiap keadaan. Pendek kata, dalam diskusi tersebut saya menyampaikan bahwa keberadaan causa prima tidak niscaya secara logika dan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibuktikan baik secara logika maupun empiris, dan oleh karenanya ada peran yang besar dari iman dalam beragama, khususnya untuk hal-hal yang ujungnya memang sesederhana percaya ga percaya.
  • Moralitas dan Pasar (Atau Mengapa Michael Sandel Tidak Paham Ekonomi)


    Kemarin saya menerima tautan artikel yang ditulis oleh Michael Sandel dengan judul "The Moral Limits of the Market". Singkat cerita, Sandel ingin menunjukkan bahwa tidak semua hal bisa diatur oleh pasar dan tidak semua hal bisa dibeli serta bahayanya apabila semua aspek kehidupan tunduk pada pasar. Saya selalu tertarik dengan kritik yang bermutu terhadap Law & Economics. Sayangnya ketika saya membaca artikel ini, kesan utama yang saya tangkap adalah Sandel tidak paham ilmu ekonomi.

    Pertama-tama, Sandel memberikan 3 contoh kasus yang menurutnya bermasalah dari sudut pandang moralitas: (i) aturan penjara di Santa Barbara, California, yang memperbolehkan narapidana untuk membeli akomodasi yang lebih baik dengan harga US$90 per malam, (ii) program sumbangan US$300 bagi wanita pecandu narkoba yang bersedia untuk disterilisasi guna mencegah lahirnya anak  dari wanita pecandu tersebut, dan (iii) perusahaan yang menyediakan joki antrian untuk menghadiri acara tertentu dengan menyewakan tuna wisma atau pengangguran untuk mengantri.

    Saya sulit memahami mengapa hal ini bisa dianggap salah. Mungkin karena Sandel sendiri tidak menjelaskan dengan rinci dalam artikelnya nilai-nilai moral mana saja yang harus didahulukan. Alih-alih berbicara dengan sistematis, Sandel malah melantur kemana-mana seperti membahas soal nilai kemanusiaan, harga diri, ketimpangan sosial akibat pasar, dan korupsi, sambil berbicara tentang pentingnya masyarakat membahas hal ini secara mendalam.

    Dalam ekonomi normatif, nilai utama yang dianggap penting adalah efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Ambil contoh soal ketimpangan yang diributkan oleh Sandel. Menjelaskan mengapa ketimpangan itu buruk berdasarkan moralitas tidak terlalu sulit, anda tinggal mengklaim bahwa ketimpangan itu buruk secara moral. Anda bisa menambahkan bahwa hal ini benar secara intuitif atau ada nilai moral yang lebih tinggi yang menunjukkan bahwa ketimpangan itu buruk. Apanya yang mendalam? Justru berbicara apakah ketimpangan buruk dari sudut pandang efisiensi dan totalitas kesejahteraanlah yang bisa melatih kita untuk berpikir secara lebih mendalam, karena kita harus bisa berpikir bagaimana menghubungkan isu ketimpangan tersebut dengan kesejahteraan total.

    Ketimpangan sampai level tertentu pasti dibutuhkan. Tanpa ada ketimpangan sama sekali, tidak ada insentif untuk maju. Kalau semua orang menerima upah yang sama, terlepas apapun produktivitasnya, untuk apa bekerja keras? Kalau semua orang akan menerima ranking yang sama di kelas atau cukup sekedar lulus saja tanpa nilai, untuk apa susah payah belajar? Tidak usah jauh-jauh, dalam Islam pun konsep surga bertingkat-tingkat. Surga Islam tidak egaliter dimana semua orang akan berada dalam posisi yang sama. Semakin tinggi amal dan ketakwaannya, semakin tinggi derajatnya di hadapan Tuhan. Ketimpangan mau tidak mau harus ada demi kemajuan. Kurang intuitif apa lagi?

    Tetapi ketimpangan yang berlebihan juga akan bermasalah. Masyarakat yang terlalu timpang akan lebih rawan konflik. Sederhananya, orang tak akan pernah bisa lepas dari rasa iri. Menjadi miskin itu menderita (saya tahu karena sudah pernah mengalami), dan penderitaan cenderung berubah menjadi kemarahan ketika tak kunjung usai. Kebijakan distributif menjadi masuk akal dalam konteks pengurangan konflik tersebut. Kalau orang yang lebih miskin bisa dibuat lebih senang tanpa harus membebani yang lebih kaya terlalu berat, mengapa tidak? Kalau anda tidak suka dengan istilah ini, anda bisa menggantinya dengan konsep Islam tentang adanya hak orang miskin dalam harta anda. Apapun namanya, konsepnya sama. Kuncinya ada di keseimbangan. Toh pemerintah dan pajak adalah 2 hal yang sudah tidak bisa dihindari di dunia modern. Daripada sibuk berbicara soal kebebasan mutlak, lebih baik berbicara soal bagaimana agar kebijakan distributif tersebut dijalankan secara efisien. Ini tentunya kalau kita mau serius bicara secara mendalam, bukan mengawang-awang.

    Kembali lagi ke 3 contoh yang sempat kita bahas di atas. Karena Sandel tidak menjelaskan dengan rinci apa masalah dari 3 kebijakan tersebut, saya akan mencoba berpikir seperti Sandel dan menggunakan nilai-nilai yang ingin dia pertahankan. Pertama soal akomodasi penjara. Apa yang akan Sandel katakan? Tidak adil? Kebijakan ini mendukung mereka yang lebih kaya dibandingkan dengan yang lebih miskin? Atau apakah dengan kebijakan seperti ini orang kaya menjadi tidak menghargai nilai-nilai luhur hukum pidana karena berpikir hukum bisa dibeli?

    Mengapa tidak adil? Tidak adil adalah apabila orang kaya boleh meminta kenaikan akomodasi tanpa perlu membayar sedikitpun. Siapa yang bisa bilang bahwa definisi tidak adil saya salah? Siapa juga yang bisa bilang bahwa definisi Sandel benar? Apakah karena diperbolehkan untuk membeli akomodasi maka orang kaya diberikan prioritas secara tidak adil terhadap orang miskin? Ukurannya tidak jelas.

    Kalau anda khawatir bahwa efek jera berkurang karena orang kaya menganggap hukum bisa dibeli, isunya bukan soal pembelian akomodasi penjara, isunya di harga yang perlu diterapkan. Kalau suatu barang dihargai terlalu murah, ya nilainya juga menjadi tidak seberapa. Atau Sandel khawatir, hal ini akan dikorupsi? Tanpa ada aturan itupun, jual beli akomodasi penjara sudah lazim ada. Kita bisa mengambil kebijakan untuk melarangnya secara total, atau kita bisa menggunakannya untuk mendapatkan manfaat dalam bentuk lain. Intinya ada di kreativitas kita dalam menyusun kebijakan.

    Pertanyaan yang hilang dari artikel Sandel adalah uang yang diterima untuk membayar kenaikan akomodasi itu akan digunakan untuk apa? Kalau uangnya digunakan untuk memperbaiki kualitas penjara bagi mereka yang lebih miskin, apa bedanya dengan kebijakan distribusi yang diidam-idamkan Sandel? Apabila Sandel memahami ilmu ekonomi, pertanyaannya tidak berhenti pada apakah kebijakan akomodasi penjara adil atau tidak adil, tetapi bagaimana agar kebijakan itu bermanfaat bagi semua orang. Itu pertanyaan yang menurut saya lebih tepat guna untuk ditanyakan.

    Analisis ekonomi juga tidak akan berhenti di satu titik, tetapi akan terus kritis terhadap aspek-aspek yang paling relevan terhadap isu akomodasi penjara. Kalau misalnya kita perbolehkan narapidana untuk membeli akomodasi yang lebih baik, apakah pasti dana tersebut aman? Bagaimana caranya agar dana tersebut tidak disalahgunakan oleh sipir penjara? Itu berarti kita juga harus memikirkan insentif dari sipir. Apa sebaiknya dana tersebut diserahkan sebagian kepada sipir? Dan sebagainya.

    Selanjutnya mengenai wanita yang disterilkan. Apakah ini isu harga diri? Atau isu soal bayi yang tak akan pernah dilahirkan? Kalau Sandel mau berpikir lebih mendalam, ia juga harus berpikir mengenai bagaimana nantinya kalau si wanita pecandu tetap dibiarkan memiliki anak. Apakah nasib anak itu tak penting? Apakah Sandel yakin wanita pecandu itu akan bisa menjadi ibu yang baik? Apakah kemudian harga diri si wanita menurun? Dia tidak dipaksa untuk disterilkan. Bukankah itu tetap menghargai kebebasan individu yang setahu saya umumnya dianggap penting oleh para filosof moralis? Lebih penting lagi, bagaimana mengukur nilai dari bayi yang bahkan tak pernah muncul ke dunia?

    Coba kalau kita lihat ini dari sudut ekonomi, saya akan terlebih dahulu berfokus pada teknologi sterilisasi. Apakah permanen atau tidak? Kalau tidak permanen, ini kebijakan yang peduli baik pada ibu maupun anaknya. Tidak ada yang dirugikan. Kalau permanen, perlu dipastikan apakah si wanita menerima informasi yang tepat ketika ia mengambil keputusan agar jangan sampai harga yang ditawarkan terlalu murah. Bukan apa-apa, walau tidak semua wanita menginginkan anak, bukan berarti kehadiran anak tidak bernilai sama sekali. Ekonom yang peduli pada kesejahteraan akan memikirkan bagaimana caranya menyeimbangkan antara harga sterilisasi dan keinginan untuk memiliki anak di masa depan. Apa yang bisa ditawarkan oleh Sandel dalam menjawab isu seperti ini? Sekedar bahwa sterilisasi tidak bermoral? Lalu? Seterusnya apa?

    Isu joki antrian bahkan lebih absurd lagi untuk digunakan sebagai contoh oleh Sandel. Dia nampaknya lupa membandingkan bagaimana nasib tuna wisma dan pengangguran ketika mereka tidak punya penghasilan. Tanpa penghasilan dan pekerjaan, ujung-ujungnya mereka akan menjadi pengemis. Dimana letak harga diri dari mengemis? Bagaimana mungkin secara moral kita bisa membiarkan tuna wisma mengemis (dan menjual harga dirinya) sementara kita mempertanyakan tindakan si tuna wisma sebagai joki antrian? Analisis macam apa itu? Saya bahkan tidak perlu panjang lebar membahas isu joki antrian dari sudut ekonomi, ini contoh usaha yang brilian dan menguntungkan para pihak yang terlibat tanpa harus merugikan pihak lain.     

    Terakhir, Sandel ingin menunjukkan contoh kuat bahwa tidak semua bisa diserahkan kepada pasar melalui isu jual beli voting. Menurut Sandel, mengapa jual beli voting tidak dilakukan saja? Kalau seseorang tidak ingin melaksanakan hak votingnya, dia bisa menjual haknya itu kepada orang lain yang menginginkan dan semua akan sama-sama untung. Nyatanya hal itu dilarang. Sandel lalu melompat dengan menyatakan bahwa argumen terbaik untuk tidak menjual hak voting adalah karena voting merupakan tanggung jawab publik. Saya tidak tahu darimana Sandel bisa menyatakan bahwa argumen barusan adalah argumen yang terbaik, tetapi saya sudah benar-benar yakin kali ini kalau Sandel harus belajar ekonomi.

    Saya sudah panjang lebar membahas mengenai isu jual beli voting di artikel ini, ini, dan ini. Permasalahan utama dari pola pikir macam Sandel adalah karena ia seakan-akan berpikir bahwa isu jual beli voting akan selesai hanya dengan melarang jual beli voting dan mendidik moral semua manusia di planet Bumi ini. Kenyataannya, jual beli voting akan selalu ada. Ketika politikus berjanji macam-macam kepada calon pemilihnya, bukankah itu sama saja dengan jual beli? Politikus menjual janjinya kepada pemilih, dan pemilih membeli janji tersebut dengan memilih si politikus. Kita tidak bisa lari dari mekanisme pasar di situ.

    Dalam artikel saya di atas, saya mendukung legalisasi jual beli voting. Bukan karena saya ingin agar voting benar-benar diperjualbelikan, tetapi agar jual beli voting menjadi tidak menarik lagi untuk dilaksanakan. Jual beli voting belum tentu efisien, tanpa persyaratan yang pas, mekanismenya bisa disalahgunakan. Tapi bukan berarti bahwa kemudian jual beli voting menjadi 100% salah dan tidak berguna. Argumen Sandel yang menyatakan bahwa seharusnya jual beli dilakukan saja karena menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat membuktikan ia tak tahu kalau ilmu ekonomi tidak bicara melulu soal transaksi antar 2 pihak, tetapi juga eksternalitas dari transaksi tersebut kepada pihak ketiga (yang bisa jadi positif atau negatif). 

    Banyak ekonom yang melakukan riset dalam menyusun sistem voting yang lebih baik, yang lebih sulit untuk disalahgunakan oleh satu pihak tertentu. Tapi untuk menyusunnya, kita butuh kajian yang serius dan data empiris yang memadai. Pendekatan Sandel tidak akan banyak membantu. Katakanlah secara moral Sandel benar bahwa jual beli voting tidak sesuai dengan nilai moralitas yang baik. Lalu? Apakah kemudian semua politikus dan pemilih akan berhenti melakukan jual beli voting begitu saja? Atau memang seperti ini tugas filosof? Menyatakan mana yang salah dan benar,  tetapi sehabis itu tidak memikirkan bagaimana caranya menyusun sistem agar yang menurutnya benar bisa tercapai di dunia nyata?

    Sandel menutup artikelnya dengan mengajak pembacanya untuk berpikir secara serius mengenai isu kapan pasar mendukung kebaikan publik, dan kapan pasar tidak mendukungnya. Saya sepakat dengan Sandel. Itu pertanyaan yang baik dan patut ditanyakan. Sayangnya Sandel sendiri kemungkinan besar tidak akan bisa menjawab hal itu karena ia tidak memiliki pisau analisis yang tepat.
  • Is There any Relationship Between God's Wrath and Natural Disaster?


    Natural disasters are without a doubt a powerful force in this world. They destroy many lives and cause great losses not only to a particular area but also a nation as a whole. However, the fact that most people do not learn from the various occurrence of these disasters truly enrages me. Well, saying that people haven't learned anything might be exaggerating, they did learned something, but not in the right thing as we shall see further below. In Indonesia, whenever a disaster occurs, what would be the first thing to expect by us to see? Yes, statements that the disaster came because of God's wrath. The fact that some of the biggest disasters occurred in areas inhabited mostly by moslems also supports the claim that the disasters are actually a form of punishment from God because Indonesian moslems have not lived in accordance with God's laws or the Shari'a (maybe these people forget that moslems are indeed the majority of Indonesian citizens and therefore they are also the majority in the most parts of Indonesian territories). With respect to the recent West Sumatra's earthquake, some people even connect the occurrence time of such earthquake (and the subsequent earthquakes) with some verses in the Koran which coincidentally talk about God's punishment for the sin of men. To what extent can people make this kind of scary correlation? This is not funny anymore, this is dangerous. I have three simple arguments why there shouldn't be any relationship between the wrath of God and natural disasters:
    • If the disasters came because of men's sins, then using such logic, non moslem countries such as the United States of America and Israel must have been wiped off from the map a long, long time ago as most of them are unbelievers and their policies have hurted many moslems. But, apparently, they are not and in fact they are two of the most powerful countries in the Earth.
    • If the disasters came as a warning for Indonesian's moslem wrongdoings, then we are in a danger of having a very cruel and childish god (note that I'm not using the capital "G") who love to crush its beings for simple reasons. I simply don't buy this crazy idea.
    • No one could ever know what is in God's mind, so why even bother to make any relationship between God's wrath and natural disaster? Aren't we having a bad prejudice to our God?
    Further, have you ever imagined that this fatalistic kind of thought is not efficient at all? By thinking that natural disaster is a part of God's punishment, people will believe that disasters cannot be avoided by any means whatsoever, it will then create pessimistic people who would surrender themselves to the oblivion without doing anything much. There would be no incentives to make better technologies to prevent disasters, minimize the damages, and save lives if people are thinking that they are facing with God's wrath and its inevitable destruction. For these pessimistic guys, all efforts would be useless. My God, is this the path that we will take? Will we let some irresponsible people use religion to scare the society? Religion should provide comfort to the people, to help them believe on the future, not to let them down and feel sorry about themselves. I guess this is the right time for us to really consider the fact that we live in a country which has a huge risk for earthquakes. Natural scientists have warned us and it is quite easy to find the data on this matter. Why don't we learn? I see history is repeating itself. We experience disasters, then we try to help the victims and discuss the ways to prevent these disasters to happen or at least minimize the damages, but after some times, we eventually forget them and you know what, before we can make a decent preparation, disasters have knocked ours door again. Absurd, simply absurd. If I'm the Government, apart from conducting any necessary real actions to help the victims, I would quickly release a statement saying that there is no relationship between natural disaster and God's wrath. I will not go to the mosque to pray and ask God why these disasters occur in my term and not others. What I will say are: the victims shall be taken care of, preventing actions shall be considered and conducted, and the reconstruction shall be done by paying attention to the potential risks of disasters in Indonesia. We need to ensure that the victims are still sane and that they can move on with their lives! My deepest sympathy to the victims and I hope that they can move on with their life. Disasters might crush our assets and some of our beloved ones. But as long we still alive, we will show that humans' determination will crush any limitation.
  • Statistics and Facts: Any Correlation?


    All right, this is indeed a hilarious post from Greg Mankiw. The statistics show that children from higher income families are getting higher average SAT scores, and some people claim that there is a correlation between income and better result of tests. However, Mr. Mankiw theorizes that the correlation is not on the income rate, but on the fact that smart people are making more money and these people pass their genes to their children, thus smart children comes from smart parents not from rich parents. Okay, I'm not a professional statistician, but when dealing with statistics, I always remember what David Hume, a Scottish philosopher, has taught us on making a conclusion from our experience: just because in your experience an act is always followed by the second act does not mean that there is a causality between the first act and second act.

    In Nassim Nicholas Taleb's wisdom (taken from his book "Fooled by Randomness"): "no amounts of observations of white swans can allow the inference that all swans are white, but the observation of a single black swan is sufficient to refute that conclusion." If translated: even after going through 1,000 successfull experiments, you will never be able to claim that a hypothesis is correct with 100% degree of certainty, but it will only need one failed experiment to reject such hypothesis. I agree with both of Hume and Taleb.

    Previously, I have made some hypotheses with certain logical reasoning in my blog. Will it always be correct? Of course not! Situation and condition may change or maybe I haven't considered all of the relevant issues and facts, or maybe there is a fallacy within my seemingly fine argument. Mr. Mankiw is correct in saying that the ones who conclude that there is a relationship between family income and better test results might be wrong, but I also dare to say that his conclusion might not be correct either. Are there any relationship between smart people and their incomes, i.e. the smarter you are, the higher your income? I don't know, though I do know some rich stupid people and some poor to average smart people. Further, how many data should we collect before we can make such conclusion? Again, I don't know. My advice is simple, be very careful when we are dealing with statistics as people can always make different conclusions and interpretations from such statistics. When you think that a correlation between facts exists based on a result of a statistic, you better think it through again.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.