THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Religion. Show all posts
Showing posts with label Religion. Show all posts
  • Karikatur ISIS dan Kemalasan Dalam Beragama.


    Ketika saya membaca berita ini (yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama berdasarkan Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana gara-gara dimuatnya karikatur ISIS di koran tersebut), saya tahu sudah saatnya saya menulis mengenai isu kemalasan dalam beragama yang nampaknya sudah keterlaluan di Indonesia.

    Kepolisian mengaku sudah memeriksa saksi ahli pidana, ahli agama, dan Dewan Pers sebelum menetapkan Meidyatama sebagai tersangka. Saya serius ingin tahu darimana asalnya ahli-ahli yang dihubungi oleh kepolisian karena ini benar-benar tak masuk akal. Coba kita baca bunyi pasal yang dituduhkan: "dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

    Pasal tersebut pada prinsipnya mirip dengan konsep pasal penghinaan. Dalam beberapa artikel saya sebelumnya di sini dan di sini, saya sudah menyampaikan mengapa kasus penghinaan sebaiknya tidak dibawa ke ranah pidana. Analisis yang sama juga berlaku untuk kasus ini. Pertama, siapa yang dapat mewakili suatu agama untuk menyatakan bahwa seseorang sudah menistakan agamanya? Bagaimana kalau misalnya pendapat umat terpecah belah? Ada yang menyatakan agama tidak dihina dan ada yang menyatakan agamanya telah dihina. Pendapat siapa yang mesti kita ambil? Perlu voting terlebih dahulu atau musyawarah mufakat?  

    Kedua, apa yang dimaksud dengan perbuatan atau pernyataan permusuhan atau penodaan? Ambil contoh konsep agama Islam dan Kristen saja. Agama Kristen jelas tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi dan menganggap Yesus sebagai Tuhan. Sebaliknya Agama Islam juga jelas tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Secara konseptual, kita bisa menyatakan bahwa inti ajaran Kristen sudah menghina doktrin paling fundamental Islam tentang ketunggalan Allah (Islam menyatakan bahwa salah satu dosa terbesar adalah menuhankan apapun selain Allah) dan kenabian Muhammad, dan demikian pula doktrin Islam tentang Yesus juga menolak doktrin utama Kristen. Dengan logika demikian, semua kegiatan dakwah seharusnya dilarang karena kalau tidak, baik umat Muslim maupun Kristen harus masuk penjara karena sudah saling menodai agama masing-masing. Absurd kan?

    Ini mengapa konsep penistaan agama rawan penyalahgunaan. Standarnya tidak akan pernah jelas, dan umumnya dikontrol oleh pihak mayoritas. Lebih parah lagi, karikatur yang diributkan itu sebenarnya menggunakan bendera ISIS yang faktanya memang merupakan organisasi yang biadab. Kalau mau konsisten, yang seharusnya ditangkap oleh polisi adalah orang yang pertama kali membuat bendera ISIS, karena selain mencatut kalimat suci agama Islam, bendera itu juga merusak nama baik umat Islam. Dalam hal ini, orang-orang yang mendukung ISIS dan membawa-bawa bendera ISIS di Indonesia juga seharusnya ditangkap karena sudah menodai Islam di muka umum. 

    Ironisnya, karikatur itu sebenarnya dicomot oleh Jakarta Post dari koran di Timur Tengah. Malahan di Timur Tengah, ISIS seringkali diolok-olok, misalnya bisa dilihat di berita ini. Dan olok-olok itu juga memuat bendera ISIS yang mencomot kalimat suci syahadat. Apakah kemudian orang-orang Timur Tengah ini sudah menistakan agama Islam? Saya pikir jawabannya cukup jelas. Yang disayangkan adalah bahwa orang-orang di sini nampaknya tidak ingin berpikir panjang kalau sudah terkait isu agama.  

    Ingat kasus kartun Nabi Muhammad oleh kartunis Denmark yang sempat heboh di tahun 2005? Kaum muslim gampang sekali marah. Mau bagaimana lagi, Nabi sudah wafat, dan kemungkinan besar tidak akan ada lagi yang bisa menenangkan umat dengan efektif dan efisien selain Nabi sendiri. Padahal kalau orang-orang ini mau sebentar saja memeriksa kumpulan Hadis Bukhari dan Muslim, sudah ada banyak pedoman yang bisa dipelajari dalam menyikapi kasus penghinaan.

    Hadis Bukhari No. 122 dalam Bab 8, Buku 73 mengenai Adab mengisahkan tentang seorang pria dari kaum Anshar yang terang-terangan menuduh Nabi tidak memperhatikan kehendak Allah dalam pembagian rampasan perang (walaupun dia tidak berbicara secara langsung kepada Nabi melainkan kepada salah satu Sahabat Nabi). Ini tuduhan yang sangat serius, lebih serius dari kartun konyol manapun karena sama saja pria itu menuduh Nabi tidak adil. Ketika berita ini disampaikan kepada Nabi, raut muka Nabi sempat terlihat marah, namun beliau kemudian berujar bahwa Nabi Musa pernah disakiti dengan cara yang lebih parah oleh kaum Yahudi, dan Nabi Musa tetap bersabar.

    Dalam Hadis Bukhari No. 184 di Bab dan Buku yang sama, seseorang dari Bani Tamim menuduh Nabi tidak adil di muka umum ketika harta rampasan sedang dibagikan, dan kemudian ia meminta Nabi untuk segera bertindak adil. Umar bin Khatab yang sudah panas langsung meminta izin kepada Nabi untuk memotong leher pria itu. Anda semua tentu tahu kelanjutannya bukan? Nabi melarang Umar melakukan hal tersebut dan hanya memarahi si pria.  

    Terakhir dalam Hadis Muslim No. 5853 dan 5854, seorang Yahudi dan Sahabat Nabi bertengkar dan saling adu mulut, ketika kemudian si Yahudi mengucapkan "demi Tuhan yang sudah menunjuk Musa". Sahabat Nabi tersebut merasa si Yahudi telah menghina Nabi karena masih berani bersumpah dengan merujuk kepada Nabi Musa sementara sudah ada Nabi Muhammad, dan kemudian ia memukul si Yahudi. Si Yahudi melapor kepada Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad pun murka kepada si Sahabat karena berani membanding-bandingkan Nabi Musa dengan Nabi Muhammad. Menurut Nabi Muhammad, tahu darimana nantinya Nabi Muhammad yang lebih baik dari Nabi Musa di hadapan Allah pada saat kiamat?

    3 Hadis di atas saya pikir sudah cukup menjelaskan langkah apa yang perlu diambil terkait penistaan agama. Tidak perlu lebay. Kalau si penghina bermain dengan kata-kata, anda bisa bersabar atau juga membalas dengan kata-kata. Tentu tidak ada yang melarang anda untuk marah atau emosi, tapi kemudian membawa negara ikut serta dalam konflik tersebut? Nampaknya kita hanya akan membuang-buang sumber daya saja. Saya tidak habis pikir bagaimana mungkin begitu banyak orang Muslim yang harus marah-marah dan kemudian merusak nama baik Islam gara-gara kartun yang digambar oleh beberapa orang tak bermakna dari Denmark? Apalah artinya mereka dihadapan kebesaran Nabi? Tapi tidak, hal-hal kecil ini justru dibuat menjadi bola panas, dipolitisasi sampai akhirnya menjadi kasus tenar. Saya sudah bosan melihat orang-orang bodoh dibuat menjadi tenar. 

    Pernah tidak dipikirkan apa dampak sikap yang keras dan seakan haus darah itu terhadap citra Islam? Jelas bukan citra yang baik. Padahal dalam Hadis Bukhari No. 131 Buku 8 Bab 73, Nabi sudah memperingatkan tentang bahaya orang-orang yang membuat umat lari dari agama. Contoh yang dipakai Nabi adalah orang yang memperpanjang bacaan shalat sehingga membuat umat malas shalat berjamaah. Bayangkan, sebegitu pentingnya citra agama sehingga memperpanjang bacaan shalat (yang sebenarnya bukan hal yang buruk juga) dipermasalahkan oleh Nabi. Apalagi kalau kita malah mencitrakan diri kita sebagai umat barbar!

    Pertanyaan terbesar saya adalah mengapa kebodohan dan kemalasan dalam berinvestasi untuk mempelajari agama ini begitu dahsyat? Jujur sajalah, kasus remeh temeh macam karikatur ISIS di Jakarta Post ini tidak akan terjadi kalau kita mau sedikit usaha berpikir dan riset internet melalui google. Apa yang menghalangi orang-orang untuk melakukan hal tersebut?

    Lebih jauh lagi, lihat hal-hal yang paling sering muncul dan dikaji di dunia media sosial. Tak jauh-jauh dari masalah pluralisme, liberalisme, dan toleransi. Kadang-kadang ribut soal moralitas dan perang pemikiran. Kemudian yang sekarang sedang trendi, isu khilafah. Tak lupa sesekali muncul berita-berita hoax seperti misalnya masalah nasab nama istri kepada suami (seakan-akan Indonesia menganut sistem patrilineal seperti di Timur Tengah), atau soal transliterasi kalimat Insya Allah versus Insha Allah, atau juga keburukan arti singkatan Assalamualaikum dalam bahasa Aramaic (yang entah darimana asalnya). Bagi saya, ini semua isu remeh temeh dibandingkan dengan kajian yang sebenarnya lebih penting, khususnya andai kata orang-orang ini bisa memahami tradisi Hukum Islam dan Teori Hukum Islam yang agung.  

    Saya memiliki penjelasan dari sudut ekonomi atas fenomena di atas, tetapi sebelum kita masuk ke sana, saya akan bercerita sedikit dulu tentang bagaimana saya sendiri berinvestasi dalam mempelajari Islam dan hukum Islam. Di kelas 2 SMP, saya pertama kali membaca buku serius saya, Khilafah dan Kerajaan yang dikarang oleh Abu A'la al-Maududi (kalau anda tidak tahu, Al-Maududi adalah seorang tokoh Islam garis keras dari Pakistan yang getol ingin menerapkan syariat Islam di Pakistan).

    Dari membaca buku itu saya kemudian mengetahui sejarah Khilafah yang berdarah-darah, khususnya mulai dari jaman Ustman bin Afffan sampai kemudian khilafah berubah menjadi kerajaan di tangan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sumber Al-Maududi bukan sumber orientalis, dia menggunakan kitab sejarah At-Thabari (kalau anda tidak tahu, At-Thabari adalah mufasir dan sejarawan yang sangat terkenal dari dunia Islam. Kitab tafsirnya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, silakan beli kalau anda mau belajar lebih banyak).

    Dari pengalaman itu, saya menjadi bersemangat untuk tahu lebih banyak soal Islam, Negara Islam, dan Hukum Islam. Di masa SMA, saya kemudian tertarik dengan tasawuf dan sempat bereksperimen dengan sufisme sampai tahun pertama kuliah. Buku-buku seperti Minhajul Abidin dari Al-Ghazali, Al-Hikam dari Ibn Athoillah, sampai buku-buku karangan Ibnu Qayyim al Jauziyah dan Ibnu Taimiyah yang terkait ibadah sudah saya lahap semua. Buku-buku pemikiran pergerakan Islam karangan Yusuf Qardhawi juga banyak yang sudah saya sempat baca ditambah semua buku serial Filsafat Islam terbitan Mizan.

    Oh ya, SMP dan SMA saya adalah sekolah Katolik. Dan selama sekolah itu, saya orang yang pertama kali mendapatkan nilai 10 untuk ujian hafalan ayat Alkitab ditambah ujian menjelaskan 3 konsep suara hati nurani dalam tradisi katolik. Di masa itu, buku-buku karangan Ahmad Deedat tentang Kristologi juga habis saya lahap semua. Tak lupa pula saya yang mengembangkan konsep dialog antar agama untuk keperluam tugas akhir mata pelajaran agama dimana kita berdebat dengan keras tentang isu-isu macam ketuhanan Yesus dan konsep Tuhan dalam Islam.

    Ketika masuk kuliah di FHUI, minat saya semakin kuat terhadap hukum Islam, kali ini saya merambah ke buku-buku fikih dan fatwa kontemporer yang dikarang Yusuf Qardhawi. Gara-gara ledekan sahabat saya (yang tahu kalau saya gampang ditantang), saya kemudian terjerumus mempelajari Ushul Fiqh (Teori Hukum Islam). Di awal masa kuliah, saya menjadi pelanggan tetap perpustakaan Masjid UI. Perpustakaan yang sunyi karena nampaknya pengunjungnya hanya saya seorang dan petugas perpustakaan yang tampak kesepian.

    Perpustakaan Mesjid UI ternyata memiliki banyak koleksi bagus. Saya belajar sendiri Ushul Fiqh, menyalin dan membuat ringkasan sendiri dari buku-buku yang saya baca macam karangan Mustafa Az-Zahra dan Abdul Wahab Khalaf. Saya juga berkenalan dengan kitab-kitab klasik yang masih saya sering rujuk untuk penelitian seperti Bidayatul Mujtahid-nya Ibn Rusyd, Kifayatul Akhyar, dan al-Muwatta Imam Malik. Tidak lupa pula membaca semua buku terkait ekonomi Syariah terbitan Gema Insani Press yang dikarang Umer Chapra, Muhammad Syafi'i Antonio dan Adiwarman Karim.

    Dengan minat besar itu, saya mengambil seluruh mata kuliah terkait hukum Islam di FHUI dan tidak ada satu pun yang nilainya bukan A. Bagaimana tidak, ketika rekan-rekan saya masih kesulitan membedakan Mudharabah dan Musyarakah, serta masih salah mengeja Murabahah menjadi Mubarahah, saya sudah memahami semua jenis bentuk pembiayaan syariah (pernah dengar Ijarah Mausufah Fi Zhimmah? Itu konsep pembiayaan yang lebih menarik dibanding pembiayaan standar macam Ijarah Muntahia Bi Tamlik. Silakan di-google). Dalam kelas Waris Islam, saya memperbaiki kesalahan dosen yang kurang tepat dalam menjelaskan konsep Kalalah. Referensi saya dalam buku Waris Islam lebih banyak dibanding si dosen.

    Dan buku-buku tentang Islam saya juga semakin bertambah, Teori Politik Islam Dhiaddudin Rais, Al Ahkam Al Sulthaniyah dari al-Mawardi, buku-buku Hukum Islam karangan sarjana Indonesia seperti A. Hanafi, Hazairin dan T.M. Hasby Ash-Shidiqie. Dengan menggunakan teori Istislah dari Ushul Fiqh, saya menulis makalah yang membuat saya menjadi pemenang lomba karya tulis nasional bidang hukum dan kompetisi mahasiswa berprestasi utama FHUI. Teori yang sama saya kembangkan lebih jauh untuk keperluan skripsi saya dalam menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Terorisme.

    Ketika sudah bekerja, dengan penghasilan yang jauh lebih memadai, saya bisa membeli lebih banyak buku lagi. Dari ribuan koleksi buku saya, buku-buku tentang pemikiran Islam, hukum Islam, hadis, ushul hadis, tafsir, ushul quran, dan teori hukum Islam menempati urutan nomor 2 terbanyak setelah buku-buku tentang hukum positif. Singkat kata, saya cukup yakin bahwa akumulasi pengetahuan saya sudah hampir pasti jauh di atas rata-rata kebanyakan orang Indonesia. Apakah saya puas? Sama sekali tidak.

    Merasa sudah tidak ada lagi yang bisa diserap di Indonesia, saya memutuskan untuk mendalami lebih jauh mengenai Hukum dan Ekonomi dan untuk itu saya harus pergi ke University of Chicago sebagai pendiri aliran tersebut. Gara-gara belajar Ushul Fiqh, khususnya teori Istislah, saya menjadi semakin tertarik dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum yang akhirnya membuat saya mencintai ilmu ekonomi. Malah boleh dibilang, saya tergila-gila dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum, efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan bukan karena saya pergi ke Chicago, tetapi melainkan karena saya belajar Ushul Fiqh selama bertahun-tahun. Pergi ke Chicago adalah untuk mendalami ilmu teknis yang belum saya kuasai dan memperkuat keyakinan saya akan keunggulan analisis ekonomi. Saya sudah melahap buku-buku yang mengkritik pendekatan pasar sejak SMA macam buku-buku Stiglitz dan kawan-kawannya, di Chicago saya mengambil kelas teori politik tentang kritik terhadap neoliberalisme dan membaca literatur terkait Behavioral Econ. Semua untuk menguji keyakinan saya agar semakin terasah.

    Dan sekarang ketika saya sedang mengerjakan disertasi saya pun, saya masih berpikir bahwa kemampuan teknis saya masih kurang. Di Chicago, saya melihat profesor yang sudah membaca lebih banyak lagi buku dan makalah dibanding saya, profesor dan murid-murid dengan kemampuan teknis yang jauh lebih mumpuni dari saya. Dan saya senang luar biasa, akhirnya saya menemukan tempat di mana saya bisa mempelajari hal baru, ada orang-orang yang bisa mengajari saya, ada tempat dimana saya bisa tertantang lagi. Saya teringat dulu pernah sempat ikut acara tarbiyah dan setelah pertemuan kedua, saya tak pernah hadir lagi karena mentor yang ditunjuk untuk saya tidak bisa mengajarkan satu pun yang belum saya ketahui.

    Kenapa saya bercerita panjang lebar tentang investasi saya? Saya ingin menunjukkan bahwa bahkan setelah belasan tahun belajar dan menyerap ilmu sedemikian banyaknya, saya merasa masih belum bisa menguasai semua aspek yang saya perlukan untuk menyusun magnum opus saya dalam hukum Islam. Namun lucunya, banyak sekali orang-orang dengan pengetahuan cetek (ya, cetek), dengan jumlah bacaan yang tak seberapa, dan konsep yang tak jelas, meributkan tentang hal-hal remeh temeh dalam Islam, merasa tahu segalanya, dan diikuti oleh banyak orang pula. Ini sungguh mengenaskan.   

    Tahukah anda bahwa seandainya Ushul Fiqh tidak mandeg di abad pertengahan dan umat Islam mau berfokus pada hal-hal yang penting, saya cukup yakin aliran Hukum dan Ekonomi tidak akan diciptakan oleh University of Chicago. Aliran itu akan muncul di dunia Islam dan pendirinya adalah Umar bin Khatab, bukan Richard Posner. Ini bukan omong kosong ala Erdogan yang menyatakan bahwa benua Amerika ditemukan oleh orang Islam. Ini hasil mempelajari berbagai putusan hukum yang dibuat oleh Umar.

    Begitu banyak kajian menarik di dunia klasik Islam yang terbengkalai karena tidak ada lagi yang mau mengangkatnya. Bayangkan seandainya hukum Islam kembali berfokus pada efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan tapi dengan menggunakan ilmu dan sarana teknis yang belum ada pada jaman Umar bin Khatab. Akan sedahsyat apa kekuatan analisisnya? Mengapa perbudakan tak pernah tegas diharamkan? Mengapa mabuk dihukum cambuk tetapi makan babi tidak padahal status keharaman babi lebih absolut dibandingkan dengan keharaman alkohol? Mengapa zina dibebani hukuman tetapi syarat pembuktiannya begitu keras ditambah pula dengan aturan bahwa dilarang mengintip ke dalam rumah orang lain? Tidak percaya? Lihat Hadis Muslim No. 5366.

    Begitu banyak pertanyaan dan juga informasi yang menarik. Misalnya tahukah anda bahwa aturan yang mewajibkan suami harus menceraikan istri melalui pengadilan diadopsi dari fikih Syiah? Anda bisa membaca ini dalam buku Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Indentity, yang membahas mengenai debat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Saya juga sudah memeriksa hal tersebut di jurnal hukum lainnya. Tahukah anda bahwa Islam tidak pernah mempunyai konsep khilafah secara resmi dalam Al-Quran? Kajian Al-Mawardi itu dilakukan ratusan tahun kemudian setelah masa Khulafaur Rasyidun, ketika institusinya sudah dibangun berdasarkan praktek di lapangan. Sekarang saya sedang meneliti sejarah Ottoman terkait bagaimana Ottoman menerapkan aturan hukum yang pluralistik. 

    Tapi tidak, umat lebih suka dengan tawaran mimpi-mimpi yang enak didengar semacam hukum Islam pasti menyelesaikan semua masalah (nyatanya tidak, studi Tahir Wasti di Pakistan menunjukkan bagaimana aplikasi hukum pidana Islam malah memperkuat institusi pembunuhan terhadap perempuan), atau khilafah adalah solusi atas segala permasalahan di muka bumi, tata surya, galaksi bima sakti, alam semesta, dan 17 dimensi lainnya. Sumber daya habis tiap tahun untuk membahas isu tak berguna macam hukum mengucapkan selamat Natal dan hari Valentine. Luar biasa!

    Beberapa orang yang tak jelas keilmuannya bahkan sudah lebih jagoan lagi dalam menuduh sesat orang lain, bahkan ulama terkenal sekalipun. Quraish Shihab misalnya sempat dituduh sebagai Syiah. Dasarnya apa? Sebuah artikel internet yang tak bisa diverifikasi kebenarannya. Untungnya Quraish Shihab adalah mufasir yang paham Quran dan Hadis, beliau tak permasalahkan terlalu jauh tuduhan dari manusia yang tak bermakna.

    Secara ekonomi saya bisa menduga mengapa kajian-kajian tanpa keilmuan ini dan hal-hal remeh temeh ini laku keras. Mengapa orang tidak berminat untuk berinvestasi dalam suatu kegiatan? Mudah, karena kegiatan itu tak diberikan prioritas. Opportunity Cost-nya mahal untuk melakukan kegiatan lain. Kebanyakan orang nampaknya secara tak sadar sudah melakukan analisis untung rugi  dalam hidupnya dan mereka berkesimpulan bahwa mendalami agama memang bukan prioritas dalam hidup dibanding aktivitas lainnya. Tentu saja saya tak akan menyalahkan mereka. Setiap orang punya prioritasnya masing-masing. Alasan saya mendalami hukum Islam juga tidak muluk. Saya senang dan menikmatinya, saya senang mengajar dan gampang gregetan melihat ide bodoh (dan rasa gregetan itu saya tuangkan dalam artikel). Tidak rumit kan?

    Tapi tentu tak elok rasanya kalau kita terang-terangan menunjukkan bahwa investasi mendalami agama sudah tak penting lagi dalam hidup kita, kita masih perlu simbol yang tepat untuk menunjukkan seakan-akan kita peduli. Ah gampang, main di isu akidah saja. Goreng terus ide ini karena walaupun hidupnya amburadul dan pengetahuan agamanya minim, minimal dia tahu Allah itu Tuhan dan Muhammad adalah Nabi.

    Dan ketika permintaan akan kajian simbolik ini makin keras, akan selalu ada wiraswasta handal yang siap mengambil keuntungan. Tidak heran kajian simbolik modal buku Ahmad Deedat atau mungkin buku-buku propaganda lainnya, serta rasa percaya diri yang kuat, sangat diminati. Jualan buku, acara seminar, video, dan sebagainya. Semua senang. Modal awal yang dibutuhkan untuk retorika memang rasa percaya diri. Persetan dengan logika dan pengetahuan. Kalau orang sudah puas dengan retorika omong kosong dan hal itu memberikan penghasilan yang cukup, untuk apa bersusah payah belajar lebih banyak? 

    Saya ucapkan selamat kepada orang-orang ini. Mereka berbakat untuk mendalami ilmu ekonomi lebih jauh dan sudah pandai melakukan analisis untung rugi. Siapa tahu, suatu hari nanti mereka mungkin akan diterima di University of Chicago dan menjadi pemenang Nobel Ekonomi selanjutnya. Oke, saya berlebihan untuk yang satu ini. Mustahil akan terjadi sampai unta masuk ke dalam lubang jarum.

    Sesungguhnya, saya tak ingin percaya dengan prediksi Nabi dalam hadis Abu Daud tentang masa depan umat Islam yang banyak tapi lemah seperti buih kotor di lautan. Tapi mungkin prediksi Nabi benar. Umat Islam sudah jauh lebih banyak dibanding di masa lalu, tetapi nilainya nol besar. Persis seperti ratusan kultwit yang tiap hari muncul untuk kemudian hilang esok hari, tak bermakna, tak bernilai, dan sia-sia belaka.

    Sebagai penutup, saya tidak akan menilai bagaimana anda menempatkan prioritas hidup anda, karena semua orang punya perhitungan untung rugi sendiri, bahkan sekalipun anda tak ingin mengakuinya. Tetapi jangan terlalu lama menipu diri sendiri. Kalau anda memang tidak peduli dengan agama anda dan tidak ingin berinvestasi, minimal tidak perlu berperilaku berlebihan dalam menunjukkan simbol agama. Karena walaupun anda bukan representasi resmi agama anda, orang akan selalu mengasosiasikan anda dengan agama anda tersebut, dan kelak anda akan dimintai pertanggungjawaban atas pencitraan anda yang bermasalah itu.
  • Ibadah Itu Soal Untung Rugi


    "Beribadah kok seperti jual beli, mikirin untung rugi, beribadah itu kan harusnya ikhlas karena mengharap ridha Tuhan semata." Ini pernyataan yang sering saya dengar tiap kali ada yang bertengkar soal agama, apapun agamanya. Secara tersirat, kalimat di atas mengandung 2 ide mendasar. Pertama, beribadah layaknya pedagang itu sesuatu yang salah atau minimal merefleksikan pemikiran warga kelas dua. Kedua, beribadah secara ikhlas adalah suatu upaya yang sudah disucikan dari segala macam perhitungan untung rugi karena dilakukan semata hanya untuk Tuhan.

    Melalui tulisan ini, saya ingin menunjukkan bahwa konsep pemikiran di atas tidak tepat. Pertama, tidak ada salahnya beribadah ala pedagang. Kedua, konsepsi beribadah secara ikhlas juga tidak bisa melarikan diri dari analisis untung rugi. Bahkan boleh dikata bahwa perbedaan utama dari beribadah ala pedagang dan secara ikhlas hanyalah soal motivasi dan keduanya bisa menjadi strategi ibadah yang rasional bagi setiap orang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

    Apa definisi beribadah ala pedagang? Umumnya orang mendefinisikannya sebagai ibadah yang dilakukan karena seseorang berharap masuk surga dan keluar dari ancaman neraka. Level imannya dianggap rendah karena beribadah hanya demi mengharap imbalan dan takut ancaman sanksi. Bagi saya ironis kalau seseorang dianggap lebih rendah level imannya cuma karena takut neraka dan mengharap surga. Umar bin Khatab dan Abu Bakar As-Shidiq, dua manusia yang level imannya tidak akan pernah bisa ditandingi lagi di muka bumi ini, sering kali berkomentar tidak ingin menjadi manusia dan lebih suka menjadi sebatang pohon. Alasannya? Mereka takut dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini contoh orang yang beribadah karena takut kepada Tuhannya. Lantas apakah hal ini menjadikan Abu Bakar dan Umar bin Khatab orang rendahan? Semua sufi digabung jadi satu pun mungkin cuma butiran debu dibanding mereka berdua.

    Dan tidak hanya soal Umar dan Abu Bakar. Kalau memang ada masalah dengan ibadah level pedagang, maka dari awal juga tidak diperlukan konsep surga dan neraka. Untuk apa? Kenapa Allah tidak berfirman saja: "wahai manusia, beribadahlah kalian semua demi ridha-Ku semata. Tidak ada balasannya kelak, yang penting kalian semua melakukannya semata untuk-Ku." Kenyataannya firman demikian tidak ada. Justru Al-Quran penuh sekali dengan ayat-ayat yang senantiasa mengingatkan kenikmatan surga dan kejelekan neraka (silakan anda google sendiri ayat-ayatnya). Menyatakan atau berasumsi bahwa ibadah ala pedagang sebagai ibadah kelas dua bagi saya sama saja dengan mengejek cara Tuhan mengatur insentif. Dipikirnya Tuhan bodoh apa karena menciptakan sistem seperti itu?

    Tuhan paham betul bahwa manusia merupakan makhluk yang butuh insentif. Dan insentif ini merajalela dalam semua aspek kehidupan kita. Tidak percaya? Mari kita jawab pertanyaan ini: apa yang dimaksud dengan beribadah demi ridha Tuhan semata. Apakah artinya kita benar-benar terbebas dari segala macam perhitungan untung rugi? Apakah perhitungan untung rugi itu menjadi hilang kalau kita beribadah tanpa mengharap imbalan apapun? Hati-hati, jangan sampai terjebak kesalahan logika berpikir.

    Pada saat seseorang memutuskan untuk beribadah secara ikhlas, dia sebenarnya sudah melakukan analisis untung rugi dan sudah memikirkan imbalan yang akan dia terima. Semua tindakan ibadah ada biayanya, minimal anda akan menghabiskan sebagian waktu anda untuk beribadah. Selain itu juga ada biaya kesempatan (opportunity cost) untuk melakukan aktivitas lainnya, termasuk bekerja, liburan, sekolah, dan sebagainya. Seseorang tidak akan begitu saja menghabiskan waktunya untuk melakukan suatu aktivitas tanpa merasakan manfaat dari aktivitas tersebut, karena apabila suatu aktivitas dirasakan tidak atau kurang bermanfaat, dia akan memilih alternatif kegiatan lainnya yang dirasa lebih bernilai atau bermanfaat untuk dilakukan dalam waktunya yang terbatas.

    Dalam hal ini manfaat atau imbalan beribadah secara ikhlas bagi seseorang bisa bermacam-macam: kesenangan atau kenikmatan yang didapat dari  beribadah dengan "ikhlas", keinginan agar mendapatkan ridha Allah, atau keinginan untuk menyenangkan hati pihak yang ia cintai (dalam hal ini Allah). Seperti yang bisa anda lihat, perbedaannya dengan ibadah ala pedagang hanyalah soal motivasi: sebelumnya berharap surga, sekarang berharap ridha Tuhan (terlepas nanti ditempatkan di mana). Sebelumnya berharap tak masuk neraka, sekarang sekedar ingin membuat Tuhan senang dengan ketaatan pribadi, dimana senang dan ridha-nya Tuhan adalah senang dan ridha-nya kita. Tidak perlu pakai contoh yang rumit, bayangkan saja anda sedang jatuh cinta dengan seseorang dan anda menyatakan: "bahagiamu adalah bahagiaku."

    Ikhlas itu pun juga banyak tingkatan.  Mungkin ada yang merasa sudah ikhlas beribadah, tapi dalam hati kecilnya berharap supaya ia tak pernah dirundung malang. Ini sudah pasti gagal, karena Allah sendiri sudah berfirman bahwa semua orang yang mengaku beriman itu pasti diuji. Dan semakin anda berharap anda bisa mencapai derajat yang lebih tinggi di hadapan Tuhan, anda juga harus bersiap menerima ujian yang lebih berat. Ibarat kata: kalau mau dapat penghargaan yang lebih besar, usahanya juga perlu lebih keras. Tapi tunggu dulu, bukankah ini mengembalikan kita kepada konsep analisis untung rugi?

    Saya ceritakan sedikit kisah pribadi saya di awal masa kuliah 13 tahun yang lalu. Saat itu saya sedang gencar mendalami sufisme dan ingin sekali bisa menjadi orang yang dekat dengan Tuhan. Puasa sunnah hampir tiap hari dan tak lupa selama 8 bulan non-stop, saya khatam Al-Quran 2 kali setiap bulannya. Rasanya nikmat luar biasa. Tapi di akhir bulan kedelapan, saya gagal dalam ujian keimanan. Ketika seorang teman berkata: "tahu ga, si anu itu tiap hari baca 1 juz Quran lho," saya tak tahan untuk memberitahukan dia bahwa saya juga melakukan hal yang sama, bahkan lebih. Dan akhirnya saya pun berucap: "ah, memangnya kenapa, saya juga kok tiap hari." Dan dengan satu perkataan bodoh itu, 8 bulan usaha saya berakhir sia-sia belaka. Habis, musnah, tidak ada sisanya. Menjadi ikhlas itu susah luar biasa dan saya membuang waktu saya yang tidak sedikit selama 8 bulan karena tidak berhitung untung dan rugi dengan baik.
       
    Ini mengapa menurut saya, penting sekali untuk senantiasa mengingat bahwa kita tidak akan pernah bisa lepas dari analisis untung rugi. Hal inilah yang justru akan membuat seseorang tak lantas menjadi arogan atau berpuas diri karena merasa sudah mampu beribadah tanpa mengharap surga dan neraka. Dari sudut pandang analisis untung rugi, levelnya sesungguhnya tak jauh berbeda dengan ibadah ala pedagang. Bahkan bisa jadi lebih aman beribadah ala pedagang sederhana dibanding mencoba beribadah secara "ikhlas" karena yang satu motivasinya jelas menghitung berapa banyak amal baik yang sudah dilakukan dan berapa banyak amal buruk yang sudah dihindari ketimbang sok-sokan merasa bisa ikhlas.

    Saya masih cukup beruntung cuma membuang waktu 8 bulan. Bayangkan kalau anda Barsisha, alim ulama yang ceritanya sudah taat beribadah selama 200 tahun lebih dan hidupnya berakhir masuk neraka karena terkena godaan setan di akhir hayatnya (silakan google juga soal Barsisha yang sering masuk literatur sufi). Siapa yang bisa menjamin level ikhlas anda adalah level tahan banting? Salah-salah anda lebih cepat masuk neraka dibandingkan dengan orang yang anda anggap hanya beribadah layaknya pedagang. Dengan demikian, sebagaimana sempat saya singgung di atas, daripada sibuk menilai mana alternatif yang lebih superior, saya lebih cenderung menilai dua aktivitas ini sebagai 2 metode investasi yang sama-sama valid. Yang satu mungkin tidak memberikan imbal hasil terlalu banyak tetapi lebih mudah dilakukan. Yang satu bisa jadi memberikan imbal hasil yang lebih tinggi, tetapi banyak jebakannya yang bisa menghapus semua investasi anda. Anda masuk profil resiko yang mana? Suka resiko atau tidak? Siap dengan segala godaan karena sudah merasa ikhlas? Atau mau pilih jalur sederhana yang sudah disampaikan dengan gamblang oleh Tuhan dalam Quran?

    Katakanlah sampai disini, anda masih saja percaya bahwa beribadah secara ikhlas bisa dilakukan tanpa berhitung untung dan rugi. Kalau begitu sekarang saatnya kita membahas sedikit teori ekonomi tentang alokasi waktu supaya tidak ada lagi keraguan di hati anda.

    Kita semua tahu manusia memiliki waktu 24 jam dalam satu hari. Waktu itu tidak akan berubah kecuali anda mendekati kecepatan cahaya. Dan dalam waktu 24 jam tersebut, kita dihadapkan pada beragam pilihan. Bekerja, belajar, beribadah, bermain, berinteraksi dengan teman, tidur, dan masih banyak lagi. Setiap aktivitas anda ada nilainya. Dan cara paling sederhana untuk mengukur nilai aktivitas itu adalah dengan jalan mengukur nilai penghasilan rata-rata dan penghasilan marginal anda (memang bukan perhitungan yang paling sempurna, tetapi ini perhitungan yang paling bisa dikuantifikasi).

    Katakanlah anda diwajibkan bekerja 8 jam sehari dan anda menerima gaji Rp400.000 sehari. Berarti rata-rata gaji anda Rp50.000 sejam. Katakanlah juga kalau anda lembur, maka anda akan menerima upah lembur senilai Rp60.000 sejam. Ini berarti upah marginal anda (yaitu jumlah tambahan penghasilan yang akan anda dapatkan untuk bekerja dalam satu unit waktu) untuk 8 jam pertama adalah Rp50.000 per jam dan untuk setiap jam di atas 8 jam adalah Rp60.000.

    Asumsikan bahwa anda tak punya pilihan untuk 8 jam kerja karena sudah menjadi jam kerja minimum. Tetapi anda punya pilihan setiap harinya untuk lembur. Berarti sekarang anda sudah bisa menilai nilai waktu anda per jam: Rp60.000. Pertanyaannya tinggal: apakah menurut anda Rp60.000 itu cukup untuk memberikan insentif kepada anda untuk menambahkan satu jam atau lebih lama lagi terhadap keseluruhan waktu bekerja anda, atau lebih baik anda menghabiskan waktu anda untuk melakukan aktivitas lainnya?

    Semakin besar nilai penghasilan marginal anda, maka semakin mahal nilai alternatif aktivitas yang akan anda lakukan. Akan berbeda tentunya apabila lembur anda dihargai Rp1.000.000 per jam dibanding Rp60.000 per jam. Dan dari situ pun kita bisa memperkirakan bahwa waktu yang anda alokasikan untuk beribadah, bahkan kalaupun anda beribadah murni atas dasar ikhlas, juga tunduk pada nilai yang saya sampaikan. Mudahnya, berapa banyak anda akan mengalokasikan waktu untuk beribadah? Satu jam? Dua jam? Atau 10 jam sehingga anda menghabiskan sebagian besar waktu anda untuk bekerja dan beribadah (dan hanya menghabiskan 6 jam untuk tidur dan makan)?

    Alokasi waktu anda untuk ibadah saja secara implisit sudah menunjukkan bahwa anda menghitung untung dan rugi, terlepas anda ikhlas atau hanya mengejar surga. Mengapa demikian? Karena anda juga menghitung waktu yang akan anda pakai untuk aktivitas lainnya (termasuk manfaat dari aktivitas tersebut bagi anda). Bisa jadi anda hanya ikhlas untuk 2 jam ibadah, bisa jadi untuk 5 jam ibadah. Bisa jadi juga anda ingin beribadah 12 jam sehari dan karena anda tidak bisa mengurangi jangka waktu tidur dan makan, anda kemudian memilih untuk mencari pekerjaan baru dengan jam kerja yang lebih sedikit dari 8 jam (yang artinya nilai ibadah anda menjadi lebih mahal lagi karena pendapatan rata-rata anda menurun di bawah Rp50.000). Dengan demikian, selama ada pilihan aktivitas dalam hidup anda, anda akan menghitung untung dan rugi dari tindakan anda.

    Ibrahim bin Adam, sufi terkenal dalam kitab Minhajul Abidin, setiap harinya shalat minimum 1.000 rakaat. Dia menghabiskan semua waktunya untuk beribadah. Apakah kemudian Ibrahim bin Adam lebih baik dari orang yang hanya sanggup menghabiskan waktunya 1 jam saja sehari untuk beribadah? Bisa jadi Ibrahim bin Adam memang tidak punya tanggungan dalam hidupnya sehingga dia bisa menikmati setiap harinya beribadah. Bisa jadi pula orang yang hanya sanggup beribadah 1 jam sehari memiliki banyak aktivitas lainnya yang menurut dia tak kalah penting dari ibadah resmi. Keduanya sah-sah saja. Penilaian akan mana yang lebih baik dikembalikan kepada Tuhan sebagai penghitung amal yang paling terpercaya. Dan percayalah, fakta bahwa amal dihitung oleh Tuhan saja sebenarnya sudah menunjukkan bahwa analisis untung rugi itu bukan cuma konsep dunia tapi juga konsep akhirat.

    Setelah kita berpanjang lebar membahas soal analisis untung rugi dalam soal ibadah ini, saya ingin menutup artikel ini dengan menyampaikan bahwa analisis untung rugi sebenarnya meliputi semua aspek kehidupan kita. Alih-alih bergaya bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dihitung dan nantinya bingung sendiri, saya justru menganjurkan semua orang berhitung baik-baik dengan hidupnya. Ingat, berhitung, bukan jadi perhitungan. Orang perhitungan justru adalah orang yang tidak jago berhitung (dan saya akui, saya sendiri juga sering jatuh ke dalam kategori orang yang perhitungan).

    Mengapa saya menganjurkan kita untuk berhitung untung rugi? Karena dengan demikian kita juga menjadi lebih disiplin dan lebih mudah dalam mengambil keputusan. Contoh sederhana: waktu untuk keluarga dan teman. Kalimat-kalimat bijak di luar sana bilang: keluarga dan teman itu tidak bisa dinilai dengan uang. Saya 100% tidak setuju. Keluarga dan teman bisa dinilai dengan uang. Anda tinggal merujuk kepada pendapatan marginal anda sebagaimana saya sampaikan di atas. Setelah anda tahu pendapatan marginal anda, anda tinggal bertanya: apakah saya menghargai keluarga dan teman-teman saya lebih besar dibanding pendapatan marginal saya atau tidak? Anda sendiri yang menentukan apakah keluarga anda bernilai mahal atau murah. Dan dengan demikian anda juga akan lebih bertanggung jawab dalam menentukan alokasi waktu anda.

    Masih banyak aplikasi lainnya dari analisis untung rugi dalam kehidupan sehari-hari (dan anda akan sering melihat unsur ini dalam tulisan-tulisan saya, baik di masa lalu maupun di masa depan). Tidak ada jaminan bahwa perhitungan untung rugi kita pasti benar dan sempurna, setiap orang bisa melakukan kesalahan. Tetapi perhitungan untung dan rugi adalah mekanisme terbaik yang kita punya saat ini karena ia bisa dihitung, bisa diuji, dan bisa difalsifikasi. Pendek kata, berhitung untung rugi adalah menjadi seutuhnya manusia sebagai makhluk yang tidak lepas dari kesalahan.
  • Using Religion for Political Campaign, Why Not?


    For a couple of weeks, we have been bombarded by news on the use — or misuse — of religion as a part of Jakarta's gubernatorial election campaign. Even the Islamic Council of Ulema's (MUI) Jakarta branch joined the fray by issuing a fatwa that people have the obligation to choose their leaders based on their religion.

    This, of course, attracts a lot of comments. Some view such attempt as stupid or hypocrite, others view it as acceptable and necessary in accordance with their religious practice.

    From political and economics point of view, using this strategy seems rational. Like it or not, this is a sensitive issue where opinions might be fairly distributed between the pros and cons. If you can use it to gain more voters from certain side, why not?
      
    But, from legal point of view, should we prohibit the use of this strategy? I don't think so. Not only that it would be a very paternalistic policy, there are hundreds of other reasons that can be used by a candidate to attack other candidates. Why should we pay more attention to religion?

    I don't think it would be efficient for governmental authorities to prohibit issues that can be discussed and used in a political campaign. It would be costly and we would have difficulties in justifying the reasons. Do we have a rational reason to do so or is it merely a problem of taste?

    If we can say to other people that they should not vote for stupid people, why couldn't we do the same for religion?

    What I think that is most important in a political campaign is candidates must speak the truth and only the truth. This is to ensure that there is no misleading information in the campaign and the democratic process can work smoothly.

    This means that political candidates can say and encourage people to vote solely based on religion or ideology or ethnicity. That would be acceptable as long as they don't commit fraud or hide material information. An example: Spreading bad rumors about the other candidate who has a different religion or ideology that he is planning to destroy the voters once elected without any solid evidence.

    I understand that looking at such a shallow political campaign might shock some of us. How could people blatantly accept that kind of campaign? But this is a part of democracy and freedom of speech. It is an inherent risk in a society whose people are not mature enough to focus on political programs instead of trivial things.

    But don't be disappointed too much, because we can still find this joke even in a country like United States. I know that some people there — albeit minority — believe that Barack Obama is actually an Islamic agent with a mission to destroy the United States.

    While the rumor is of course laughable and wrong, it shows that religious sentiments still hold certain power in a first world country. Honestly speaking, I don’t think that United States citizens would be ready to accept a Muslim as their president.

    In a case like this, my recommendation would always be: fight idea with idea. If some political candidates say that religious aspect should be considered as the decisive factor in voting, other candidates must show that such idea is bad and encourage voters to do otherwise.

    Later on, the market of information will eventually determine the winner of the election. And from such information we can also see whether Indonesian people still take religion issues seriously or not. 

    If we still want to punish these political candidates, punish those who spread false information because they might cause baseless distortion in the market which would create losses to all of us. However, how they want to shape the language of their own campaign, including choosing the ideas to discuss, should not be our concern.
       

  • Moral Violation and God's Punishment: The Missing Link


    The argument that moral violations invite God’s punishment (such as in the form of natural disaster) is a famous one. In a way, this argument is usually used by its proponents to support moral enforcement. Since God’s punishment will be very costly to all of us, it would be better if we spend our resources to maintain the good morality of society.

    The question is: Is this a plausible argument? The quick answer would be no. Some of the arguments against moral enforcement have already been set out in my previous article. This time around, we will try to take a look at this famous religious foundation of moral enforcement.   

    Saying that God might punish the people for misbehavior and moral violations is not necessarily incorrect. There are certain instances in the Holy Book that give us examples of God’s harsh punishment to those who oppose God’s rules. So we have some precedents here.

    But we need to dig deeper and try to understand the major aspects of those precedents, at least from Islamic point of view. All of those cases happen in the distant past where the prophets and their supporters are minorities, they involve a situation where the prophets have directly informed the people about the possible punishment from God, and there are also preliminary warnings from the nature indicating the coming of a disaster.    

    What can we derive from such cases? God practically works in accordance with modern legal conceptions, i.e. no law shall be enforced to the people without proper and timely public disclosure. By proper, I mean that the law has been disseminated in a way that is understandable to the public. After all, you cannot expect someone to follow your order if they do not have any capacity to understand such order.

    Of course this will be problematic for our modern age since the last prophet of Islam died more than 1,400 years ago. There are no longer direct messenger of God that can actually inform us precisely what God really wants.

    Now, some might argue that the existence of prophet is no longer necessary since the prophet has left us the Holy Book. That might be plausible but not sufficient. Based on the precedents provided by the Koran, God’s punishment was enforced to society where no record of systematic holy book was available. Interestingly, for societies that received a systematic holy book, there is also no record of direct punishment from God.   

    One then can argue that when a society have a systematic rules of moral values, God gives the chance to such society to settle their own problems. Whether they will follow such rules or whether they will prosper or not is simply another case.

    Notice also that once we discussed the history of Islam, we no longer see any threats of punishment from God and the history of Islamic civilization works in accordance with the laws of nature. Some existed for a long time and prospered, some were crushed. But at all time, the civilizations depend entirely on how good they cope with the situation and condition, including in this case, how they apply and enforce the rules.

    And I think this is the correct interpretation. In a world where a prophet still exists and can directly deliver the heavenly message to all of us, people can easily understand what God wants. Then it would be logical for the people to comply with God rules of morality and for God to gives punishment based on a fair warning mechanism.

    But without a prophet, rules become rationally indeterminate, namely that there are various ways to read the provisions of such rules and how to enforce them in practice (i.e. whether they should stay as moral rules or whether they should be formally turned into laws).

    Without any practical authority to determine the absolutely correct interpretation (since no one can speak on behalf of God), how can we expect a fair God to impose punishment in the form of disasters against indeterminate moral violations?          

    Furthermore, there is no way we can actually know whether a disaster is a part of God’s punishment. First, without any authority from God, making the claim that a disaster is a form of God’s punishment is as easy as making the claims that cats and dogs are spies from Mars.

    Second, we can actually say that in terms of fairness, the overall distribution of natural disaster might be fair enough, i.e. that no one in this planet is completely safe from the power of nature. This means that whether you are good or bad, disaster may always occur against you. So how should we interpret that?

    Thus, we should stick with such fact and accept the notion that there is indeed a missing link between moral violations and God’s punishment. Sure, you can always make your own claim, but it is not good enough to justify any moral enforcement attempt.
  • Religion and Economics Rationality


    A couple of days ago, a notorious organization disrupted a health charity event, demanding the event be stopped on the basis that it might be related to the spreading of a certain religion. Their claim was simple, if the event was made to spread religious beliefs, it will cause social unrest within the nearby community.

    I find such arguments to be completely unreasonable. It not only shows that the organization does not understand the basic concept of spreading of religion, it also interferes with events that might increase the welfare of society and therefore are beneficial from a legal and economic perspective.

    Under Islamic law, one of the valid recipients of "zakat" is "muallaf." These are the people who have just converted to Islam and therefore need to be given more incentives to maintain their faith. In other words, Islam publicly recognizes and validates the use of economic incentives to gain more followers.

    The fact that Islam allows the use of economic incentives means that other religions should also be permitted to do the same, and in case Muslims are concerned with the spreading of other religions via economic means, they should also fight back using the same measures. It would be very beneficial to people who are in need if religious organizations compete among themselves to increase their charity spending in order to gain new followers.

    Interestingly, people often want to separate economics from religion, fearing that combining them will taint the religion’s sanctity and that it will look very bad in front of God. Again, that is nonsense. In reality, every religion always plays with incentives. And I am quite confident that the general concept of religion is compatible with the notion that humans are rational and will always try to maximize their self-interests, even though they might not be very good in assessing the costs and benefits of their actions and in assessing future risks.

    Let us first begin with the concept of heaven and hell. All major religions have such a concept in their teachings. If you always act good or at least the amount of your good deeds outweighs your bad deeds, you will go to heaven with all of its benefits. Meanwhile, if you end up doing more bad deeds, you will go to hell with all of its scary tortures. Like it or not, heaven and hell are the perfect examples of how religions use economic incentives to shape people preferences.

    There is a follow-up question though: if people are really rational, how could they still do bad deeds? I have discussed this issue in my previous article, “On Why Religiosity Has not Translated Into Better Legal Compliance,” so I will not discuss it here. But you don’t need to worry, it won’t change my analysis in this article.

    Some religious followers believe that the highest level of piety is to act not because of the promise of benefits and punishment by God, but simply because they love God and they want to receive the grace of God. However, it does not necessarily mean that such courses of action are free from economic realities.

    These people realize that doing the above will increase their level of religiousness in front of God. Furthermore, the satisfaction that they receive from reaching such a level also maximizes their value. In short, to the extent the benefits outweigh the costs (since it is not easy to reach this level), it is absolutely rational for religious people to chase the grace of God.

    Sufi followers desperately train themselves to get rid of individualism by doing religious activities. Yet, I have not uncovered any successful incidents of cleansing our minds of the idea of getting maximum rewards for pleasing God. Deep in our minds, we realize that if we can please God, it will be beneficial to us, even if we don’t expect heaven. We are still bound by our interest in maximizing our rewards.

    And there are many good examples of economic incentives and the notion of individuality in religion. Helping other people is not mandatory, it is encouraged unless you are talking about people that are legally dependent on you. Islamic law also recognizes the concept of "fardu kifayah" for more urgent issues that need collective action. This means that the responsibilities of the faithful of a religion are collective. Once one person satisfies the required obligation, the others will be released from any liability of sin.

    Having said that, I think religious people should embrace economic realities in their lives and start to contribute to the betterment of society. It is the original goal of religion anyway and would produce the best result for all of us.
  • On Why Religiosity is not Translated Into Better Legal Compliance


    Today's news indicates that the Department of Religion is considered as the worse governmental department in terms of corruption level. That's not so surprising, considering the fact that similar problem has occurred numerous times in the past. As an example, see this news from 2002. Our main question for today's post is: why religiosity is not translated into better legal compliance? Shouldn't religion help a person to be a better person and therefore religion can assist us in creating a community that has better legal compliance? I will argue that religiosity per se does not help in pursuing higher rate of legal compliance. In fact, the case is universal even for a person who denies the validity of any religion and instead claims that he is a moralist.

    As I have argued in one of my previous posts, Knowing the Law vs Complying With The Law, people respond to incentives. You cannot expect that people will comply with the law simply because they know the law. To the extent that the benefit of doing a crime is higher than the costs, it is most likely that a criminal will conduct his crime. Thus, in law and economics view, we need legal enforcement to impose sanctions to criminals with a hope that such sanctions will increase the costs of doing criminal activities and can induce the criminals to reduce their negative activities.

    Based on the above insight, no wonder that religion, standing alone, cannot be expected to significantly reduce the level of criminal activities simply because religion does not impose any sanction in the current life. You may be aware that certain religions offer a terrible afterlife sanctions for whoever dare to violate religion rules. While we can always debate on what constitutes religions rules, the issue is clear, although the sanctions are so vicious (burned alive and might be for an eternity too) that they cannot be comprehended by any ordinary human beings, they will only happen in the after life.

    Some behavioral law and economic researches show that in general, people tend to discount the occurrence of bad things in the future even though they know that their current actions can increase the likelihood of those bad things. Good example: we know that overeating and less body exercise can be translated into higher probability of various nasty sickness, including heart attack, stroke, and diabetes. Yet, most people tend to discount that probability by staying with their unhealthy lifestyle (shamefully, I am also in the same category). It is also usual that significant changes in behavior will only occur after these people experience the problem by themselves. As an example, rate of doing healthy lifestyle activities will increase for people who have experienced heart attack and survive. That kind of experience will most likely leave a scar (or in economic terms, huge costs) in their life and they will have strong incentives to alter their behavior.

    Returning to religiosity, not only that afterlife sanctions will be hugely discounted in considering them as a cost of doing criminal activities, there are several concepts in religion that can significantly reduce the value of such afterlife sanctions. Consider the concept of repentance of sins (taubat) that exist in any type of religion. This concept allows all believers to be forgiven by God from all of their sins to the extent they faithfully stop all of their previous heinous activities and do many good things as a repayment to the society. You can say from law and economics perspective that this is in line with the principle that criminals should compensate the society for the costs that these criminals impose to the society due to their criminal activities. That's true, but you must also consider the fact that the concept of repentance is not as effective as you think would be.

    First, there is an issue on when should a person commit repentance? Since this can be done in any time before he dies and if we assume that people also discount the possibility of them dying at a time nearby, you can bet that most criminals will choose to repent far far away in the future. Even worse, since there is no minimum standard repayment for repentance, there is a possibility that such repayment activities are not suffice to cover the costs of their previous criminal activities. Obviously, that is not efficient for crime preventing. We are happy that religion provides an incentive for criminals to repay their sins in this world but without any clear enforcement mechanism, the repayment can be too late or not enough at all.

    Second, since there is a possibility for multiple offenses and also multiple repentance, there are no strong incentives for religious people to comply with the law. They can always say that they are weak, that God is forgiven and all is well. Yes, we can argue that God might not agree with these people in relation to the faithfulness and intensity of their repentance, but no ones know what God really thinks. Uncertainties in this type of case increase the discount of afterlife sanctions, rendering their effectiveness into a new low level.

    Having said that, the case is also similar for any moralists out there. We learn from one of US founding fathers, James Madison, that people are not angels. According to him, if people are angels, we do not need government, but since we know that they are not, we need a government to supervise them, and we also need further mechanism to check and balance the government since they consist of people too. You can claim that righteousness can come from many different ways, but you are just an ordinary human, and not all human can resist temptations.

    Let me give you a simple example on insider trading cases. In the US, it is not unusual to find lawyers who still conduct insider trading cases even though they know the law and the severe punishment that will be imposed to them for doing such activities. Yet, some lawyers fall under insider trading cases. How could that be? Because the temptation is very high, we are talking about millions and millions of dollars here! And it is so easy to do insider trading that unless you can find a good way to remind yourself of the risks, you will most likely do it. And when they actually do it, you should ask why? Because again, they discount the probability of them getting caught because they know the law and they feel that they can avoid liability through their legal skills. Try to compare this with the fact that the Department of Religion handles an excessive amount of money from the government for hajj purposes. Do you think they are mentally strong enough to fight their temptations? 

    As you can see, even in the case of clear and severe punishments, some people cannot resist the temptations and end up doing their criminal activities. They might have already calculated the costs and benefits of their actions, where higher risks are translated into higher return. So, what can you expect from severe sanctions that will only occur in the future, the possibilities of them happening are pretty much uncertain, and there are many ways to avoid those sanctions with low costs(i.e. repentance)? The end result is clear, religion or morality, standing alone, is not effective to prevent people from doing criminal activities.

    To close this post, I disagree that people are using this fact to blame religion as a source of evil. While religion and morality are not effective when they are standing alone, they can become a nice addition for strong legal enforcement. In his book, Predictably Irrational, Dan Ariely, a famous behavioral economist, shows that religion and morality can be useful tools in increasing the commitment of people to walk in the right path (especially by repeating such moment of commitments every day), i.e. as a method to increase their awareness that what they are doing is bad. But remember, they are only additional psychological tools, and effective strong legal enforcement would always be mandatory and necessary if we want to effectively reduce the rate of criminal activities.
  • Is There any Relationship Between God's Wrath and Natural Disaster?


    Natural disasters are without a doubt a powerful force in this world. They destroy many lives and cause great losses not only to a particular area but also a nation as a whole. However, the fact that most people do not learn from the various occurrence of these disasters truly enrages me. Well, saying that people haven't learned anything might be exaggerating, they did learned something, but not in the right thing as we shall see further below. In Indonesia, whenever a disaster occurs, what would be the first thing to expect by us to see? Yes, statements that the disaster came because of God's wrath. The fact that some of the biggest disasters occurred in areas inhabited mostly by moslems also supports the claim that the disasters are actually a form of punishment from God because Indonesian moslems have not lived in accordance with God's laws or the Shari'a (maybe these people forget that moslems are indeed the majority of Indonesian citizens and therefore they are also the majority in the most parts of Indonesian territories). With respect to the recent West Sumatra's earthquake, some people even connect the occurrence time of such earthquake (and the subsequent earthquakes) with some verses in the Koran which coincidentally talk about God's punishment for the sin of men. To what extent can people make this kind of scary correlation? This is not funny anymore, this is dangerous. I have three simple arguments why there shouldn't be any relationship between the wrath of God and natural disasters:
    • If the disasters came because of men's sins, then using such logic, non moslem countries such as the United States of America and Israel must have been wiped off from the map a long, long time ago as most of them are unbelievers and their policies have hurted many moslems. But, apparently, they are not and in fact they are two of the most powerful countries in the Earth.
    • If the disasters came as a warning for Indonesian's moslem wrongdoings, then we are in a danger of having a very cruel and childish god (note that I'm not using the capital "G") who love to crush its beings for simple reasons. I simply don't buy this crazy idea.
    • No one could ever know what is in God's mind, so why even bother to make any relationship between God's wrath and natural disaster? Aren't we having a bad prejudice to our God?
    Further, have you ever imagined that this fatalistic kind of thought is not efficient at all? By thinking that natural disaster is a part of God's punishment, people will believe that disasters cannot be avoided by any means whatsoever, it will then create pessimistic people who would surrender themselves to the oblivion without doing anything much. There would be no incentives to make better technologies to prevent disasters, minimize the damages, and save lives if people are thinking that they are facing with God's wrath and its inevitable destruction. For these pessimistic guys, all efforts would be useless. My God, is this the path that we will take? Will we let some irresponsible people use religion to scare the society? Religion should provide comfort to the people, to help them believe on the future, not to let them down and feel sorry about themselves. I guess this is the right time for us to really consider the fact that we live in a country which has a huge risk for earthquakes. Natural scientists have warned us and it is quite easy to find the data on this matter. Why don't we learn? I see history is repeating itself. We experience disasters, then we try to help the victims and discuss the ways to prevent these disasters to happen or at least minimize the damages, but after some times, we eventually forget them and you know what, before we can make a decent preparation, disasters have knocked ours door again. Absurd, simply absurd. If I'm the Government, apart from conducting any necessary real actions to help the victims, I would quickly release a statement saying that there is no relationship between natural disaster and God's wrath. I will not go to the mosque to pray and ask God why these disasters occur in my term and not others. What I will say are: the victims shall be taken care of, preventing actions shall be considered and conducted, and the reconstruction shall be done by paying attention to the potential risks of disasters in Indonesia. We need to ensure that the victims are still sane and that they can move on with their lives! My deepest sympathy to the victims and I hope that they can move on with their life. Disasters might crush our assets and some of our beloved ones. But as long we still alive, we will show that humans' determination will crush any limitation.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.