THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Kasus Florence Sihombing dan Kegagalan Nalar Hukum

    Kasus Florence Sihombing dan Kegagalan Nalar Hukum


    Saya kecewa luar biasa ketika membaca berita ini dan juga berita ini. Bukan saja perkara "penghinaan" Jogja oleh Florence Sihombing masih tetap akan dilanjutkan, Florence juga dikenakan skors 1 semester oleh UGM karena pernyataannya di Path. Saya tidak habis pikir mengapa langkah ini perlu ditempuh? Skorsing 1 semester saja menurut saya sudah tidak masuk akal, apalagi kalau diteruskan sampai ke level pidana!
     
    Apa pernyataan Florence yang menimbulkan dampak sedemikian dahsyatnya itu? Kutipan dari Path-nya adalah sebagai berikut: "Jogja miskin, tolol dan tak berbudaya, teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja" dan "Orang Jogja bangsat. Kakak mau beli Pertamax 95 mentang-mentang pake motor harus antri di jalur mobil trus ga dilayani. Malah disuruh antri di jalur motor yang stuck panjangnya gak ketulungan. Diskriminasi. Emangnya aku ga bisa bayar apa. Huh. KZL."

    Konteksnya tidak terlalu sulit dicerna. Bayangkan ada 2 produk, X dan Y. X lebih mahal daripada Y tetapi proses untuk mendapatkan Y lebih lama karena anda harus mengantri (barang lebih murah, peminat lebih banyak, antrian lebih panjang). Anda memiliki dana yang cukup untuk membeli produk X dan memutuskan untuk membeli X yang harganya lebih mahal karena anda lebih menghargai nilai waktu anda. Tetapi ketika kemudian sampai di kasir untuk membeli X, anda diminta pindah ke barisan pembeli Y yang panjangnya sungguh keterlaluan. Alasannya anda tidak boleh membeli X? Karena baju anda jelek.

    Bagaimana tanggapan anda atas kasus di atas? Apakah tindakan penjual tersebut wajar? Apakah ini contoh tindakan diskriminatif tanpa alasan yang kuat? Dalam situasi serupa, apakah anda akan menghela nafas anda dalam-dalam? Atau anda akan marah-marah sambil bersumpah serapah? Kalau anda Paman Gober, mungkin yang akan anda lakukan adalah membeli perusahaan yang bersangkutan dan memecat semua karyawannya yang menyebalkan itu (sebagaimana sering kita lihat dalam komik Donal Bebek). Itu juga yang akan saya lakukan kalau uang saya berlimpah.

    Ada yang bisa melarang saya untuk melakukan hal tersebut? Ya mungkin karyawan-karyawan dari perusahaan yang saya beli ini akan mencoba menggugat hak pesangon mereka. Bisa jadi saya harus membayar hak pesangon mereka yang cukup mahal di pengadilan. Tetapi karena selain kaya, saya juga paham hukum, saya putuskan saja untuk memailitkan perusahaan ini, melikuidasi semua asetnya, dan memberikan uang pesangon yang tak seberapa kepada karyawan saya. Kalau pun mereka mau menuntut di masa depan, perusahaannya sudah tidak ada, dan pemegang saham dan perusahaan adalah dua entitas yang berbeda. Apakah ada yang bisa menghalangi skema saya ini? Kemungkinan besar, tidak ada.

    Apakah saya bisa ditahan karena pada prinsipnya saya sudah menyakiti hidup para karyawan yang membuat saya sebal itu? Hampir pasti tidak ada alasan untuk menahan saya. Yang saya lakukan sah secara hukum dan walaupun skemanya rumit, karena uang saya banyak, manfaat yang saya dapat dari membubarkan perusahaan dan melihat karyawan-karyawan itu menangis di tepi jalan tetap memberikan nilai manfaat pribadi yang lebih besar dibandingkan biaya yang saya keluarkan.

    Sayangnya Florence tidak punya dana sebanyak Paman Gober. Dia cuma mahasiswi UGM yang naik motor sebagai kendaraan pribadinya. Dia tidak bisa menggunakan skema saya di atas. Paling-paling dia hanya bisa menghela nafas, atau marah-marah. Bisa jadi dia khawatir sebagai wanita untuk marah-marah langsung di depan petugas SPBU. Maka pilihan akhirnya adalah marah-marah di Path yang dikenal sebagai media sosial untuk hal-hal yang lebih privat (walaupun memang sulit di masa kini untuk membedakan hal mana yang privat dan publik).

    Yang memilukannya adalah: kemarahan Florence dan konteksnya yang sebenarnya cukup wajar itu dibesar-besarkan sampai kemudian dianggap melanggar ketentuan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE"). Dalam hal ini, Florence dituduh melanggar Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, yaitu dengan sengaja dan tanpa hak: (i) mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, atau (ii) menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

    Ini kasus yang sangat menarik dan juga penting. Kalimat pasal yang begitu sederhana seperti di atas membuka banyak kemungkinan interpretasi. Pertama, bisa jadi bukan Florence yang harusnya dihukum karena ia tidak dapat dianggap dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi yang memuat penghinaan. Apa yang dimaksud dengan tanpa hak? Bagaimana kalau misalnya kita menganggap bahwa Path adalah media yang digunakan untuk keperluan diseminasi informasi secara terbatas, katakanlah hanya untuk teman-teman terdekat. Bisa jadi saya akan menyampaikan penghinaan yang keras terhadap orang lain ketika saya sedang berbicara dengan teman-teman dekat saya tetapi saya tidak akan omongkan penghinaan itu di depan muka target saya, atau di depan publik. Ini kan wajar. Kalau anda merasa tidak pernah melakukan hal serupa, saya ucapkan selamat karena anda layak jadi wali atau nabi.

    Dengan pembacaan di atas, malah seharusnya orang-orang yang ditangkap adalah mereka yang kemudian justru membagi-bagikan pernyataan Florence ke khalayak ramai. Orang-orang ini yang pantas ditangkap karena tanpa hak membagikan informasi yang selayaknya tidak disampaikan ke muka umum dan menimbulkan kontroversi yang tidak perlu. Bayangkan berapa banyak sumber daya yang dihabiskan untuk membahas kasus seremeh ini? Polisi yang menangkap Florence, Jaksa dan Hakim untuk menjalankan persidangan, UGM yang sampai sibuk harus menjalankan rapat etika, dan publik yang harus ikut berkomentar, termasuk saya. Semua hanya karena ada beberapa orang yang tidak cukup cerdas untuk bisa membedakan informasi mana yang patut dibawa keluar dan mana yang harus disimpan baik-baik.

    Isi dari Path pada dasarnya terkunci untuk dapat dilihat oleh orang lain kecuali orang tersebut sudah menjadi teman dari pemilik akun Path yang bersangkutan. Benar bahwa isi dari Path dapat diunggah juga ke Facebook dan Twitter sepanjang dipilih oleh si pemilik. Pertanyaannya, apakah Florence sengaja mengunggah amarahnya itu di media sosial lainnya? Atau kemudian hal ini dilakukan oleh orang lain? Ahli hukum yang baik harus memahami setiap fungsi media sosial dan tidak menyamaratakan mereka semua, apalagi dalam kasus yang melibatkan hidup orang semacam kasus Florence ini.

    Berikutnya adalah soal definisi penghinaan itu sendiri dan target dari penghinaan. Ini masalah yang rumit karena melibatkan banyak unsur subjektif. Saya belum pernah mendengar suatu kota atau suatu wilayah bisa menyatakan dirinya dihina. Misalnya saya menghina Jogja, apakah kemudian satu warga Jogja dapat mewakili Jogja untuk menuntut saya? Atas dasar apa? Bagaimana kalau warga yang lain kemudian memutuskan bahwa saya tidak menghina Jogja? Lalu apa harus dilakukan musyawarah atau voting terlebih dahulu oleh seluruh warga Jogja untuk menentukan: (i) apakah saya menghina Jogja, dan (ii) siapa yang nantinya berwenang dari warga Jogja untuk menyampaikan laporan atas penghinaan yang saya lakukan? Anda bisa lihat betapa absurdnya pemikiran ini kan?

    Bandingkan kasus ini dengan Jakarta. Keruwetan dan keparahan kota Jogjakarta tidaklah seberapa dibandingkan dengan Jakarta. Anda mau adu kota mana yang lebih ribet? Anda pasti kalah dengan Jakarta. Mereka yang tinggal di Jogja mungkin tidak bisa membayangkan berapa banyak umpatan yang berseliweran di kalangan warga Jakarta atas kota dan sesama penduduknya. Bahkan ketika Fauzi Bowo masih menjadi Gubernur Jakarta, tidak terhitung banyaknya umpatan yang muncul atas dirinya di media sosial.  Korban penghinaan lainnya tentu saja para pengendara sepeda motor yang merasa jalanan adalah milik nenek moyang mereka. Saya masih menanti adanya paguyuban pesepeda motor Jakarta yang akan mengajukan laporan atas penghinaan yang rutin mereka terima sehari-hari di media sosial.

    Atau kita pakai kasus terbaru: Bekasi. Bekasi sempat menjadi permainan dan lawakan di media sosial karena kemacetan yang luar biasa dan penderitaan yang dialami warganya setiap pergi dan pulang ke Bekasi. Tentu ada yang pro dan kontra soal kondisi Bekasi. Ada yang setuju dengan lawakan tersebut, ada yang berpendapat bahwa orang-orang yang menghina Bekasi itu sebenarnya tidak pantas menghina Bekasi dan sebagainya. Tetapi yang jelas tidak ada satu pun orang yang ditahan hanya karena ia mengunggah meme-meme yang menghina Bekasi itu di muka umum.

    Sekarang saya tanya, apa bedanya menyatakan Jogja tolol dan menyatakan bahwa untuk ke Bekasi anda harus naik roket karena lokasinya berada di luar planet Bumi? Dua-duanya sama-sama penghinaan. Yang satu langsung pada pokoknya, yang satu berbentuk lawakan (yang bisa jadi lucu menurut saya tetapi dianggap langsung menghina bagi para warga Bekasi yang cinta mati terhadap Bekasi), tetapi menurut saya esensinya sama saja: MENGHINA. Lalu? Kenapa tidak ada LSM atau siapa pun lah dari Bekasi yang kemudian menindaklanjuti kasus ini?

    Apa karena kali ini pelakunya banyak? Dan karena kalau tidak setuju dengan pelakunya yang banyak ini, nanti si pelapor akan dicap sebagai orang yang tidak punya selera humor dan sebagainya, dan mungkin nanti malah akan di-bully ramai-ramai? Penegakan hukum macam apa yang akan kita lakukan kalau standarnya tidak jelas seperti ini? Sepanjang pelakunya banyak, lalu kasus ditiadakan karena polisinya juga takut? Bagaimana mungkin orang tidak berpikiran bahwa kasus Florence adalah bentuk diskriminasi hanya karena dia sendirian? Bagaimana dengan semua orang yang menyebarkan amarah Florence di Path? Kenapa tidak sekalian ditangkap?       

    Mungkin ini lah salah satu aspek yang masih menyedihkan di negara kita. Ketika kasusnya heboh, semua orang ribut soal Florence. Entah marah-marah, entah memberikan dukungan, sehingga akhirnya membuat kasus sederhana ini menjadi konsumsi publik yang berlebihan. Tetapi pada akhirnya, setelah hingar bingar itu selesai dan kita semua sudah puas menyampaikan penilaian moral kita macam bagaimana harusnya berbicara di media sosial, yang menjalani konsekuensi hidupnya adalah Florence Sihombing. Dan kini dia diskors satu semester dan akan menghadapi persidangan di muka pengadilan negeri. Untuk apa? Untuk hal yang secara rutin juga dilakukan oleh banyak orang di Indonesia dan juga planet Bumi ini melalui beragam media lainnya!

    Saya pernah beberapa kali mengajar di UGM dan juga menikmati liburan di Jogja, tetapi bagi saya kasus ini terlalu menyakitkan hati. Tidak pantas dan juga tidak efisien menghukum seseorang untuk sesuatu yang sebenarnya remeh temeh dan tidak berakibat negatif secara signifikan kepada masyarakat (kalau bukan karena dibesar-besarkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab). Pada akhirnya ini soal analisis untung rugi. Kecuali Florence dinyatakan tidak bersalah, atau tidak dihukum, atau jaksanya memutuskan untuk menghentikan kasus absurd ini, saya tidak akan lagi mau mengajar di UGM. UGM seharusnya bisa melakukan hal yang lebih baik dari ini. Dan percayalah, yang akan rugi karena saya tidak mengajar di UGM bukan saya.  
  • Pesta Kemenangan dan Etika Pemimpin

    Pesta Kemenangan dan Etika Pemimpin


    Kemarin, saya menemukan artikel singkat di Selasar, Menang Tanpa Bersorak-Sorai, yang intinya kurang lebih mengkritik adanya "pesta rakyat" di saat selisih kemenangan Jokowi tidak terlampau besar (8 juta suara memang bisa jadi banyak, bisa jadi sedikit, tergantung anda membandingkannya dengan apa), soal etika antara pihak yang menang dan pihak yang kalah dalam pemilu, dan soal kebutuhan untuk bekerja sama antar para pihak selepas pemilu. Berhubung artikel ini banyak memuat unsur yang menurut saya "lucu", boleh lah saya berikan beberapa tanggapan singkat.

    Pertama, soal istilah pesta rakyat. Penulis artikel di atas memulai artikelnya dengan pertanyaan utama: ini pesta siapa sebenarnya, rakyat yang mana? Pertanyaannya bagus, tetapi jawaban si penulis yang secara implisit menyatakan bahwa pesta ini utamanya diadakan bagi pendukung Jokowi (dan bahwa ada banyak rakyat lain yang mempertanyakan pesta tersebut) mengindikasikan dia sendiri belum cukup lapang dada menerima hasil pemilu kemarin. Mengapa? Karena setahu saya, untuk menghadiri pesta kemarin malam, anda tidak disyaratkan untuk menjadi pendukung Jokowi. Acara tersebut terbuka untuk siapa saja. Artinya terlepas anda pendukung Jokowi atau bukan, kalau mau menghadiri ya silakan.

    Dengan demikian, kalau ditanya ini pesta siapa, jawabannya sederhana: pesta bagi rakyat yang mau hadir dalam acara tersebut, karena bagaimana pun juga, Jokowi adalah Presiden dari seluruh rakyat Indonesia, bukan sebagian rakyat Indonesia yang memilih Jokowi. Begitu anda menjawab bahwa acara pesta ini esensinya hanya untuk pendukung Jokowi, tendensinya sudah kelihatan dengan tegas.

    Berikutnya adalah soal apa iya harus diadakan pesta setelah pelantikan? Ini pertanyaan standar. Jawabannya mudah: prakteknya sendiri seperti apa di negara kita yang tercinta ini? Apakah ada memang di Indonesia ini pemimpin macam Umar bin Khatab yang super sederhana? Karena jujur saja, kalau semua pemimpin di Indonesia mengikuti gaya Umar bin Khatab, saya jamin tidak ada satu pun pemimpin yang akan sujud syukur ketika dia tahu kalau dia terpilih, atau minimal "merasa" terpilih menjadi pemimpin rakyat.

    Bagaimana mungkin dia sujud syukur kalau dia tahu sebentar lagi dia akan masuk golongan orang-orang yang jauh lebih gampang masuk neraka tetapi susah masuk surga? Apa yang mau disyukuri? Mungkin harusnya para pemimpin yang baru terpilih itu langsung duduk menangis sesenggukan di pinggir jalan sambil menyesali kenapa dia lahir di dunia ini. Kalau tidak salah, Abu Bakar Ash-Shidiq pernah berucap bahwa lebih baik ia menjadi batang pohon saja karena batang pohon tidak diminta pertanggungjawabannya di akhirat.

    Tapi tentunya kita tidak ingin jadi orang yang merusak kegembiraan bersama dengan menangis ramai-ramai di pinggir jalan. Hidup tidak perlu dibuat terlalu pesimis. Nyatanya secara umum, orang yang memenangkan sesuatu akan mengadakan perayaan. Syukur-syukur kalau perayaannya mengundang semua orang, lebih baik lagi kalau pakai modal sendiri. Saya tidak tahu apakah rata-rata pemimpin di Indonesia mengadakan pesta dengan biaya negara, biaya daerah, atau biaya sendiri.  Moga-moga biaya sendiri.

    Lebih penting lagi adalah siapa saja pihak yang diundang? Semua orang atau orang tertentu saja? Kalau semua orang diundang, bukankah ini namanya berbagi kebahagiaan, semacam walimah yang menurut Nabi dianjurkan mengundang sebanyak-banyaknya selama mampu. Kalau kemudian ternyata yang diundang tidak datang, itu salah dan penyesalan dari yang mengundang atau yang diundang? Saya pikir pertanyaan ini juga mudah dijawab. Kalau mau pakai analisis ekonomi, biaya untuk datang ke pesta lebih besar dari manfaatnya atau tidak? Kalau biayanya lebih besar, jangan datang. Kalau manfaatnya lebih besar, ya datang. Dan agar perhitungannya lebih canggih, jangan lupa memperhitungkan opportunity cost anda supaya keputusannya benar-benar objektif.

    Pertanyaan berikutnya adalah, kapan pesta itu tepat untuk diadakan? Tepatkah pesta diadakan ketika sedang ada yang berkabung atau bersedih? Umumnya ya, tetapi harus kita perhatikan waktu dan lokasi. Kalau kita menafsirkan secara literal ide bahwa setiap muslim belum menjadi muslim kalau tidak bisa berempati dengan penderitaan saudaranya, maka semua pesta di dunia oleh orang muslim harus dilarang selama masih ada penderitaan di Palestina dan Irak (dan ini hanyalah 2 tempat dari sekian banyak tempat di dunia ini yang bermasalah) karena kita tidak boleh bersenang-senang ketika saudara kita menderita. Walaupun nampaknya keren karena saya terkesan penuh empati, saya cukup yakin saya akan dicap tidak waras kalau saya kemudian melarang tetangga saya mengadakan pesta pernikahan karena di Palestina sedang kesusahan.

    Jadi? Ya gunakan standar akal sehat saja. Kalau tetangga dekat sedang berkabung karena orang tuanya meninggal, tidak masuk akal saya mengadakan pesta merayakan kematian orang tuanya karena kebetulan saya bermusuhan dengan orang tuanya. Ini soal analisis untung rugi, mana yang lebih besar, manfaat pesta saya secara sosial atau kerugian kepada orang lain yang mungkin terganggu dengan pesta saya itu (khususnya kalau yang bersangkutan tidak saya undang). Mungkin pesta kemarin tampak menyebalkan. Bagi siapa? Bagi pihak yang masih merasa kesal dengan kemenangan Jokowi kemarin. Kalau bukan soal itu, apa lagi justifikasinya untuk marah-marah atau paling tidak membungkus kekesalan itu dengan gaya bijak? Oke, mungkin yang terakhir ini sudah terlalu spekulatif. Tapi harusnya anda paham maksud saya.  

    Mari kita sudahi soal pesta ini dan beranjak ke isu etika pihak yang menang dan kalah. Soal etika ini unik, karena tentunya melibatkan unsur subjektif, dan juga prakteknya bisa macam-macam. Berhubung standarnya banyak, tiap orang bisa angkat bicara. Si penulis artikel berargumen, wajar kalau yang kalah merasa canggung dan yang menang seharusnya bisa merangkul. Ya wajar-wajar saja itu. Tetapi contoh dimana pihak yang kalah langsung menyatakan siap mendukung yang menang dan akan bersama-sama bahu membahu mendukung kepentingan rakyat juga banyak. Tidak perlu jauh-jauh ke jaman Abraham Lincoln seperti disampaikan si penulis, tengoklah John McCain setelah dia tahu dia kalah dari Obama di 2008. Atau contoh dari Amerika kurang pas karena berasal dari Barat? Mungkin baiknya kita pakai contoh Indonesia saja, misalnya ya Fauzi Bowo ketika dia dengan cepat mengaku kalah dari Jokowi di pemilihan gubernur 2012 kemarin.

    Apakah kalah berarti harus jadi kikuk? Bisa jadi, tidak semua orang bisa langsung menerima kekalahan, ada yang harus melalui perjalanan panjang untuk menerima kekalahan dan sebelumnya harus melalui periode marah-marah, kesedihan dan penolakan realitas. Saya pernah mengalami hal itu kok. Manusiawi. Tapi tentunya pantas juga saya berargumen kalau anda bercita-cita mau jadi pemimpin bangsa, anda harus bisa lebih baik daripada jadi sekedar si penggerutu di balik panggung.Yang menang merangkul, yang kalah merapat, kira-kira seperti itu.

    Terakhir, saya pikir tidak ada yang menyatakan bahwa pihak yang kalah otomatis dianggap ingin memperkeruh suasana dan menghancurkan Indonesia. Oke, mungkin masih masuk kategori memperkeruh suasana kalau masih terus-terusan menggerutu sampai akhir jaman. Tetapi menghancurkan Indonesia? Tentu tidak. Tidak mungkin itu. Mustahil. Ya kan?

    Dengan asumsi yang kalah masih tetap ingin berkontribusi, apakah kemudian semua orang dari pihak yang kalah harus diambil juga masuk ke pemerintahan? Tidak harus. Pemerintahan yang baik tidak terdiri dari satu warna. Saya lebih khawatir dengan pemerintahan yang isinya selalu mufakat dibandingkan dengan pemerintah yang punya oposisi dalam dosis sehat. Tentu mendefinisikan oposisi yang sehat tidak mudah, tetapi bagaimana pun juga, oposisi itu perlu ada dalam kehidupan berdemokrasi karena konflik kepentingan akan selalu ada. Memangnya semua manusia punya minat dan keinginan yang sama?

    Jadi bagi pihak yang belum menang, mereka masih bisa berkontribusi maksimal dengan menjadi pihak oposisi. Kritiklah kebijakan pemerintahan yang baru kalau memang dirasa tidak benar. Kekuasaan yang absolut punya insentif besar untuk disalahgunakan. Nah, soal mengkritik itu tidak ada hubungannya dengan dulu anda memilih siapa. Sejak kapan pula hak kritik diatur-atur. Ini kan bagian dari kebebasan berbicara. Sama seperti ada yang mengkritik pesta rakyat dan kemudian ada yang membalas kritikan itu.  Dunia jadi lebih berwarna karena adanya perspektif lain. Yang penting, jangan sampai kita jadi pihak otoriter yang maunya memberangus pendapat orang lain, dan juga jangan jadi pembohong, apalagi jadi tukang fitnah dalam adu argumen.

  • Frekuensi Sebagai Barang Publik? (Bagian 2)

    Frekuensi Sebagai Barang Publik? (Bagian 2)


    Sehubungan dengan artikel saya sebelumnya mengenai konsep frekuensi sebagai barang publik, saya menerima beberapa tanggapan. Pertama dalam bentuk video sebagai berikut. Kedua, tanggapan bahwa karena kita merupakan pembayar pajak, maka kita berhak untuk mendapatkan tayangan bermutu tanpa harus membayar lagi (misalnya tayangan untuk anak-anak). Berikut adalah tanggapan dan elaborasi lebih lanjut mengenai ide frekuensi sebagai barang publik.

    Kesan pertama yang saya tangkap dari penyusun dokumenter tersebut ketika saya menonton video di atas adalah betapa terpenjaranya kita karena frekuensi yang seharusnya digunakan untuk kepentingan terbaik masyarakat ternyata didominasi penggunaannya oleh segelintir konglomerasi dengan menyuguhkan acara yang tidak bermutu. Kesan berikutnya, frekuensi dianggap sebagai sumber daya alam yang seharusnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konstitusi (setidaknya itu pesan penutup dari video dokumenter tersebut). Pesannya dibungkus dengan baik, tetapi bagi saya tidak meyakinkan.

    Video dokumen tersebut tidak menjelaskan dengan baik sejauh mana peranan negara diharapkan dalam "menguasai" frekuensi. Apakah sekedar terkait alokasi frekuensi dan perijinan? Atau kah harus sampai mengatur isi program yang boleh disiarkan, termasuk menentukan mana program yang berkualitas? Mari kita mulai terlebih dahulu dengan definisi program yang berkualitas.

    Apa definisi program siaran yang berkualitas? Program yang  mendidik? Program yang menghibur? Program yang membuat kita semua menjadi manusia terpelajar, tercerahkan dan baik budi? Visi misinya baik, kalau televisi bisa digunakan untuk menciptakan manusia-manusia paripurna ini, mungkin kita tidak butuh sekolah dan universitas lagi. Semua orang cukup menonton televisi saja.

    Sebagaimana bisa anda lihat, standar acara bermutu itu mau tidak mau akan selalu memasukkan unsur subjektif dari para pemirsanya. Bahkan kalau pun kita bisa menentukan definisi acara bermutu secara objektif, memangnya semua orang pasti hanya mau menonton acara-acara bermutu?

    Sebagai contoh, saya menikmati video-video kuliah online dari University of Chicago of Law School yang menurut saya tidak akan bisa ditandingi dengan kualitas pengajaran hukum di Indonesia saat ini atau mungkin sampai belasan tahun kemudian kalau kita tidak serius meningkatkan kualitas pendidikan hukum kita. Untuk bisa mendengarkan secara langsung di kampus, mahasiswa harus membayar biaya kuliah sekitar 600 juta Rupiah setahun. Bermutu, saya jamin. Dan kalau saya bisa memaksa semua mahasiswa fakultas hukum di Indonesia untuk menonton kuliah-kuliah ini, mungkin akan saya lakukan, minimal sebagai tugas kuliah. Tetapi di youtube, jumlah penonton video bermutu ini tak pernah mencapai angka 100. Bandingkan dengan video tentang kucing main piano dan bayi yang sedang tertawa, jutaan yang menontonnya. Video yang paling banyak ditonton di dunia saja saat ini adalah sebuah video lagu konyol yang nyatanya memang menghibur, Gangnam Style.

    Ada yang suka menonton film dokumenter alam dan margasatwa? Selamat untuk anda, karena saya tidak tertarik sama sekali. American Top Model dan Master Chef jelas lebih menyenangkan untuk ditonton. Atau ada yang suka dengan film drama penuh makna kehidupan? Boleh saja, tetapi kalau saya disuruh memilih, saya lebih suka menonton The Raid dan The Raid 2 berkali-kali dibandingkan dengan menonton film drama macam The Butler atau Lincoln (saya bahkan langsung tertidur ketika film Lincoln baru saja dimulai).

    Sampai di sini, mungkin akan ada yang bertanya, semua acara di atas kan tidak menggunakan frekuensi publik, tetapi menggunakan internet, televisi berbayar, bioskop dan sebagainya? Salah besar! Internet tidak hanya disediakan melalui kabel serat optik, tetapi juga dapat disediakan melalui frekuensi. Memangnya anda pikir industri telekomunikasi tidak menggunakan alokasi spektrum frekuensi yang terbatas? Alokasi frekuensi untuk jaringan telekomunikasi selalu diperebutkan antar penyedia jasa telekomunikasi dengan harga mahal justru karena mereka terbatas.

    Apakah pendukung frekuensi sebagai barang publik akan berargumen karena internet menggunakan frekuensi dan frekuensi adalah barang publik, maka konten internet juga harus diatur sehingga isinya harus bermutu semua? Kalau benar, saya mau minta semua video kucing dan bayi-bayi itu dilarang tayang di youtube oleh pemerintah karena sama sekali tidak bermutu sehingga orang bisa fokus hanya menonton video edukasi tanpa gangguan.

    Hal lain yang ingin saya sampaikan dari contoh-contoh program di atas adalah: selalu ada ALTERNATIF. Sengaja saya tulis dalam huruf besar semua agar anda paham bahwa dunia tidak runtuh dan semua orang jadi bodoh ketika sebuah televisi menyiarkan acara perkawinan selebritis berjam-jam di televisi. Mengapa? karena ada ALTERNATIF acara lainnya untuk ditonton dan aktivitas lainnya untuk dilakukan. Berapa banyak orang yang protes terhadap acara perkawinan yang tidak bermutu tersebut dan kemudian berjam-jam menonton acaranya sampai selesai? Saya belum melakukan survei, tetapi saya cukup yakin, mereka-mereka yang tidak suka dengan acara tersebut tidak menonton acara itu. Mengapa? Karena anda-anda semua punya ALTERNATIF kegiatan dan acara lainnya! Bayangkan, 3 kali saya mengulang kata tersebut supaya masuk ke alam bawah sadar anda.   

    Faktor adanya alternatif kegiatan ini sangat penting untuk dipahami karena selama ada alternatif tersebut, ide bahwa konten televisi harus diatur negara secara ketat dan menyeluruh itu sebenarnya tidak masuk akal. Dan saya berbicara seperti ini bukan karena saya sudah berlangganan televisi berbayar. Faktanya saya bahkan tidak sempat menonton televisi. Saya lebih banyak mencari berita dan hiburan dari internet dan saya juga menghabiskan banyak waktu untuk bekerja, menulis dan membaca buku dan jurnal. Televisi pada dasarnya hanyalah salah satu media di antara sekian banyak media di muka bumi ini.

    Dan ini membawa kita ke pertanyaan berikutnya, sebenarnya yang diributkan itu soal konten atau soal karena frekuensi dikuasai oleh hanya beberapa konglomerasi dan ada lembaga-lembaga seperti lembaga penyiaran komunitas yang kesulitan untuk mendapatkan jatah? Mari kita kembali ke Pasal 33 Konstitusi, sumber daya alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.

    Apa arti pasal itu ketika kita membahas mengenai frekuensi? Apakah maksudnya pemerintah mengatur bagaimana frekuensi digunakan (termasuk konten acara televisi dan konten isi internet)? Atau mengatur alokasi frekuensi sehingga frekuensi bisa dijatah secara efisien dan tidak terjadi interferensi yang memang membahayakan? Yang terakhir ini sudah dijalankan di Indonesia dan memang demikian pula prakteknya di negara-negara maju.

    Anda pikir frekuensi itu diperoleh dengan gratis? Ketika pemerintah Inggris dan Amerika melelang alokasi frekuensi mereka kepada pihak swasta, mereka mendapatkan harga yang sangat amat mahal, sedemikian mahalnya sehingga beberapa perusahaan hampir bangkrut untuk bisa memperoleh alokasi frekuensi tersebut. 

    Di Indonesia pun setiap pihak tidak dapat menggunakan alokasi frekuensi kalau mereka tidak membayar BHP frekuensi yang wajib dibayarkan setiap tahun. Untuk industri penyiaran, ada juga BHP kegiatan penyiaran. Keduanya dikategorikan sebagai pendapatan negara bukan pajak. Jadi seperti anda lihat, negara sudah "memanfaatkan" frekuensi, mereka mendapatkan uang yang tidak sedikit dari alokasi frekuensi tersebut. Bahwa apakah kemudian uangnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, saya tidak tahu pastinya, tapi bagi para pendukung ide frekuensi sebagai barang publik yang ingin pemerintah turun tangan secara mendalam, seharusnya anda-anda semua percaya dana hasil alokasi frekuensi itu sudah dikelola dengan penuh amanah bukan?  Karena kalau untuk mengelola dananya saja tidak bisa dipercaya, apalagi disuruh mengatur konten.

    Pun kalau kita percaya bahwa pemerintah seharusnya mengatur konten siaran televisi. Bentuknya seperti apa? Memeriksa setiap program dan menggunakan standar yang sangat ketat? Bayangkan berapa besarnya biaya pengawasan tersebut dan entah sebesar apa manfaatnya bagi kita semua, khususnya ketika kita sedang berbicara mengenai selera para pemirsa.

    Itu sebabnya sistem pengawasannya lebih mudah dilakukan dengan lebih banyak menggunakan aturan "negatif", yaitu pedoman penyiaran tidak mengatur siaran macam apa yang wajib disiarkan, tetapi lebih ke siaran seperti apa yang sebaiknya tidak disiarkan. Dan penegakan terhadap sistem seperti ini dilakukan setelah acara disiarkan bukan sebelum acara disiarkan. Coba bayangkan kalau semua program yang akan ditayangkan wajib diperiksa pemerintah dulu, apa bedanya dengan sensor? Dan siapa yang bisa menjamin bahwa standar mutu acara pemerintah akan sama dengan standar mutu kita? Dan "kita" itu siapa? Standar anda? Standar saya? Standar teman-teman dan keluarga anda yang trendi, terpelajar, berbudaya dan keren?   

    Argumen frekuensi sebagai sumber daya alam terbatas juga semakin lemah, khususnya dengan teknologi digital. Saya sudah sempat membahas ini sebelumnya dan menurut saya penting sekali untuk diperhatikan karena dengan sistem digital ini sebenarnya ada kesempatan yang sangat besar bagi semua pihak untuk melakukan penataan ulang terhadap kanal frekuensi. Dengan puluhan kanal frekuensi yang dapat digunakan di satu wilayah, berapa banyak pemain baru yang bisa masuk, termasuk yang sebelumnya mungkin terlantar?

    Jadi apakah ini masih soal konten dan kemanfaatan publik? Atau pendukung frekuensi sebagai barang publik ingin menyampaikan dengan halus: mohon berikan subsidi kepada lembaga-lembaga yang tidak punya uang agar bisa mendirikan lembaga penyiaran juga? Karena jujur saja, dengan sistem digital ini, bagaimana caranya orang masih bisa beragumen mengenai konsentrasi kepemilikan? Satu alokasi frekuensi sudah cukup untuk satu televisi.

    Dari sudut pandang ekonomi, memiliki terlalu banyak televisi justru kontraproduktif. Untuk apa memiliki terlalu banyak televisi kalau pemirsanya sama? Sama saja memakan sendiri bisnis dari grup perusahaannya. Kecuali apabila setiap televisi memiliki segmen yang sangat unik dan berdiri sendiri. Apakah masyarakat kita sudah sedemikian tersegmentasi? Dan dengan sistem digital, mustahil satu konglomerasi akan mencoba untuk memiliki puluhan alokasi frekuensi itu sendirian. Selain dilarang secara hukum, insentif ekonominya juga kecil.

    Ketika alokasi frekuensinya sudah ada, maka isu utama bagi lembaga yang lebih kecil semacam lembaga penyiaran komunitas adalah soal dana karena investasi di bidang penyiaran jelas tidak murah. Mungkin sekarang saatnya orang tidak lagi meributkan konten di televisi tidak berbayar, tetapi mulai mencari investor atau mungkin melobi pemerintah untuk mendapatkan subsidi (yang ngomong-ngomong, dibayar dari pajak anda dan saya) sehingga bisa mendirikan stasiun televisi dengan visi misi yang agung: mendidik dan mencerdaskan bangsa. 

    Dan karena kita mulai bicara pajak, mari kita beranjak ke isu berikutnya, yaitu soal apakah karena kita sudah membayar pajak, maka kita berhak mengatur isi program yang kita inginkan dalam televisi tak berbayar? Agak aneh memang argumen ini. Kita tidak membayar sepeser pun kepada televisi tak berbayar, pemilik televisi tak berbayar menyumbang pendapatan negara bukan pajak kepada pemerintah, tetapi kita ingin memiliki hak untuk mendapatkan program yang kita mau dalam televisi tak berbayar. Ini dasarnya apa ya?

    Seandainya televisi tak berbayar menerima alokasi frekuensi secara gratis dari pemerintah, saya 100% paham dan setuju dengan gerakan frekuensi sebagai barang publik. Karena itu artinya kita yang mensubsidi perusahaan-perusahaan tersebut, tapi nyatanya kan tidak? Jadi? Apa dasarnya? Karena harus digunakan untuk kemakmuran rakyat? Mungkin anda salah alamat, pertanyaan itu lebih baik diajukan kepada pemerintah, dana hasil BHP Frekuensi dan BHP Penyiaran sudah digunakan untuk kemakmuran rakyat belum? 

    Argumen yang sama juga bisa diajukan kepada televisi berbayar dan penyedia internet melalui jaringan frekuensi. Kalau seandainya mereka menggunakan frekuensi sebagai medium dari jasa mereka, maka harusnya mereka tidak boleh menuntut bayaran dari kita. Kan kita sudah bayar pajak? Semua konten mereka harusnya gratis karena mereka menggunakan frekuensi yang kita biayai dengan darah dan keringat kita! Paham kan mengapa ide ini begitu absurd?

    Jadi setelah pembahasan panjang lebar ini, apa kesimpulannya? Pertama, kalaupun kita sepakat frekuensi adalah barang publik, tidak ada justifikasi bagi pemerintah untuk mengambil posisi sebagai pengatur konten yang ketat, kita tidak butuh lembaga sensor baru. Kalau anda mau kritis, kritisi pengelolaan dana BHP Frekuensi dan BHP Penyiaran oleh pemerintah. Kedua, sistem digital membuka peluang bisnis yang baru dan mematahkan konsep frekuensi sebagai sumber daya alam terbatas, carilah investor untuk membiayai visi televisi yang anda idam-idamkan dan kalau bisa, usahakan jangan minta subsidi. Ketiga, fakta anda sudah membayar pajak tidak berarti anda bisa meminta konten siaran sesuai kemauan anda. Jasa yang kita bayar saja kadang susah kita atur, apalagi barang gratisan. Terakhir, televisi hanyalah salah satu media untuk mencari informasi dan hiburan. Alternatif lainnya begitu banyak. Sekarang coba anda berhenti lihat monitor komputer dan telepon anda, berdiri, hirup udara segar, dan berjalan keluar. Di luar sana masih ada banyak aktivitas menyenangkan. Selamat beraktivitas dan salam dari Chicago!

  • Frekuensi Sebagai Barang Publik? (Bagian 1)

    Frekuensi Sebagai Barang Publik? (Bagian 1)


    Ide bahwa frekuensi merupakan barang publik dan oleh karenanya tidak boleh dikuasai segelintir orang atau disalahgunakan sudah sering diulang di berbagai media. Saya bahkan sempat menemukan pendukung ide ini yang menyatakan bahwa seharusnya penggunaan frekuensi untuk keperluan siaran televisi perlu dikontrol oleh pemerintah secara mendalam, termasuk acara-acara yang akan disiarkan supaya mutu acara bisa menjadi lebih baik. Biasanya isu ini ramai kembali dibicarakan ketika publik menemukan acara televisi yang wajar untuk dikritik, misalnya sinetron yang tidak bermutu dan acara talkshow yang tidak mendidik atau menghina orang banyak. Isu terbaru? Tentu saja soal televisi yang seharian menayangkan acara perkawinan seorang selebriti Indonesia.

    Bagi saya pribadi, tidak mengherankan kalau keberadaan acara di atas dikecam. Memangnya tidak ada acara lain yang lebih baik untuk ditonton? Untuk apa pernikahan selebritis Indonesia ditayangkan berjam-jam? Apa hebatnya selebritis tersebut dibandingkan dengan misalnya pernikahan keluarga kerajaan di Inggris (mulai jaman Pangeran Charles sampai jaman Pangeran William?) Atau mungkin akan lebih menarik kalau misalnya selebritis itu diganti dengann David dan Victoria Beckham?

    Sebagaimana bisa anda lihat, ini lebih ke masalah selera. Saya tidak berminat dengan selebritis Indonesia apalagi menonton mereka di televisi Indonesia, tetapi apakah kemudian semua orang lain setuju dengan selera saya tersebut? Apakah kemudian karena frekuensi merupakan barang publik, maka saya punya hak untuk menentukan acara apa yang boleh ditayangkan di televisi? Kalau acara itu bermutu menurut standar saya, maka barulah acara itu pantas ditayangkan dan negara akan memastikan bahwa hanya acara-acara seperti itu saja yang layak untuk ditayangkan? Inilah isu pertama yang harus dijawab oleh semua orang yang sibuk mengklaim bahwa frekuensi merupakan barang publik (beserta dengan segala konsekuensinya).    

    Selanjutnya, saya juga sering membaca atau mendengar klaim bahwa televisi di Indonesia terlalu komersial, terlalu menghamba pada iklan, sehingga memberikan kontribusi buruk kepada kualitas acara mereka. Kalau ini benar, dan saya yakin stasiun televisi lebih sering melakukan survei terhadap minat para pemirsa dibandingkan dengan saya, kemungkinan besar hal tersebut dikarenakan mayoritas penonton acara televisi, khususnya televisi tak berbayar (free-to-air tv), menyukai acara-acara yang tak bermutu itu. Logikanya, kalau tidak banyak yang menonton, untuk apa pengusaha berlomba-lomba membeli slot iklan yang mahal di saat acara-acara tersebut berlangsung?

    Kita juga perlu memperhatikan model bisnis dari televisi tak berbayar, televisi ini gratis bagi pemirsanya tetapi selaku pemegang ijin penyiaran, mereka wajib membayar biaya hak penggunaan frekuensi kepada Pemerintah. Siaran seperti apa yang anda harapkan dari perusahaan yang tidak menuntut bayaran dari anda? Kemudian sejauh mana kita ingin Pemerintah "mengelola" frekuensi?

    Bagi saya, terdengar menyeramkan ketika ada orang yang menginginkan Pemerintah bertindak sebagai "pengelola" frekuensi. Hal itu sama saja dengan membuka peluang Pemerintah untuk kembali menjadi tukang sensor. Lebih ironis lagi, sebenarnya Pemerintah juga sudah punya stasiun televisi yang mungkin menyiarkan program-program yang masih bisa masuk kategori "bermutu". Kalau anda tidak tahu, namanya adalah Televisi Republik Indonesia (TVRI). Mengapa anda bisa tidak tahu? Mungkin karena tidak ada lagi orang yang menonton TVRI mengingat pangsa pasarnya bahkan tak sampai 1% dari jumlah penonton di Indonesia!

    Keberadaan TVRI dan posisinya yang sangat tak berarti itu sebenarnya membantah habis semua ide soal perlunya frekuensi "dikelola" oleh Pemerintah secara keseluruhan. Faktanya, pengelolaan itu sudah dijalankan melalui TVRI dan tidak laku. Salah siapakah ini? Apakah karena TVRI tidak laku walaupun katakanlah acaranya sungguh bermutu dan tiada tanding di dunia ini maka semua stasiun TV lain harus menutup usahanya dan menyerahkan pemirsa mereka kepada TVRI karena acara mereka tidak bermutu? Kalau iya, Indonesia tidak layak lagi menyebut dirinya sebagai negara demokrasi. Mungkin kita bisa jadi kandidat terbaru untuk menggantikan Rusia atau Cina, atau mungkin juga Korea Utara.

    Saya memahami bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam yang terbatas, dalam artian bahwa slot frekuensi yang bisa digunakan untuk penyiaran bersifat terbatas. Dengan sistem analog, maksimum slot siaran adalah sekitar 8-9. Khusus di Jakarta, seingat saya mencapai 12. Dalam sistem demikian, mungkin orang khawatir bahwa penguasaan televisi di tangan segelintir orang akan berbahaya. Tapi apakah ini benar?

    Dengan berubahnya sistem televisi dari analog menjadi digital, jumlah slot siaran bertambah berkali-kali lipat, dimana di satu wilayah siaran, slot-nya bisa diisi puluhan siaran televisi. Ini contoh bagaimana perkembangan teknologi mematahkan konsep sumber daya alam yang terbatas sekaligus memperkecil kemungkinan dikuasainya frekuensi oleh segelintir orang saja. Perubahan ini juga membuka kembali penataan ulang atas penjatahan frekuensi dan saya memahami bahwa hal tersebut sudah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

    Dengan adanya penataan ulang tersebut dan juga dibukanya pintu bagi para pemain baru, fungsi Pemerintah seharusnya lebih ke menjaga aturan permainan yang sehat antar kompetitor (misalnya jangan sampai ada halangan yang berat untuk masuk ke dalam pasar televisi tak berbayar), bukan memaksakan acara seperti apa yang wajib ditayangkan di televisi. Toh fungsi tersebut juga sudah ditangani oleh Komisi Penyiaran Indonesia yang bersifat independen (karena kita sudah punya banyak pengalaman buruk ketika Pemerintah masih menguasai penyiaran di Indonesia). Institusinya sudah ada, jadi mau tambahan seperti apa lagi?

    Terakhir, kalau memang tidak suka dengan acara televisi anda, ada alternatif lain yang mungkin jauh lebih mudah dan murah untuk anda lakukan, tonton TVRI (dan jangan lupa promosikan TVRI kepada sanak saudara dan teman-teman anda supaya lebih banyak lagi orang yang menonton TVRI) atau berlangganan televisi berbayar, yang dapat kita asumsikan akan menawarkan lebih banyak program yang menarik untuk ditonton karena sifatnya yang berbayar tersebut. Lupakanlah tendensi untuk ingin mengatur segalanya atau ingin menyerahkan semuanya kepada Pemerintah. Selain kontraproduktif, apa juga jaminannya bahwa Pemerintah akan menjadi penyedia acara yang baik bagi kita semua?             

  • Sekali Lagi soal Penolakan Perpu yang Mencabut Undang-Undang (Tanggapan kepada Mahfud MD)

    Sekali Lagi soal Penolakan Perpu yang Mencabut Undang-Undang (Tanggapan kepada Mahfud MD)


    Minggu lalu, saya sempat mengkritik pendapat Moh. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Konstitusi, mengenai akibat hukum ditolaknya suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") yang sebelumnya mencabut keberlakuan suatu Undang-Undang ("UU"). Ternyata cukup banyak yang melontarkan kritik yang serupa sehingga akhirnya Prof. Mahfud mencoba mengelaborasi pendapatnya tersebut melalui artikel di Koran Sindo.  

    Elaborasi yang ditawarkan oleh Prof. Mahfud menurut saya tidak tepat dan justru semakin menambah kerumitan yang tidak perlu. Pertama-tama, dia berargumen bahwa UU yang dicabut oleh Perpu tidak otomatis berlaku kembali apabila Perpu ditolak oleh DPR, karena Perpu tersebut bukannya tidak sah, melainkan ditolak untuk menjadi UU. Prof. Mahfud juga menambahkan bahwa pandangan UU yang dicabut oleh Perpu akan otomatis berlaku kembali apabila Perpu ditolak ini mungkin hanya akan benar dalam bidang hukum perdata, tetapi kurang tepat apabila diberlakukan untuk hukum tata negara.

    Pertanyaannya adalah, apa perbedaan mendasar antara Perpu yang dianggap tidak sah dengan Perpu yang ditolak oleh DPR? Bukankah artinya sama saja? Apabila Perpu ditolak oleh DPR, maka secara logika hukum, Perpu tersebut menjadi tidak memiliki kekuatan hukum secara keseluruhan, termasuk ketentuan dalam Perpu tersebut yang mencabut UU yang lama. Kita memahami dalam ilmu perundang-undangan bahwa suatu UU hanya bisa dicabut oleh UU atau peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan setara dengan UU (dalam hal ini, Perpu yang syarat penerbitannya terbatas). Apabila UU yang mencabut suatu UU dinyatakan tidak berlaku, mengapa kemudian UU yang sebelumnya dicabut itu menjadi hilang begitu saja?    

    Kemudian teori hukum mana yang menyatakan bahwa konsep pembatalan ini hanya berlaku untuk hukum perdata tetapi tidak untuk hukum tata negara? Saya khawatir bahwa Prof. Mahfud sendiri yang sebenarnya sedang mencampuradukkan konsep hukum perdata dengan hukum tata negara. Apa arti suatu pembatalan atas perjanjian dalam hukum perdata? Apakah perjanjian yang dapat dibatalkan sama artinya dengan batal demi hukum? Menurut saya sama saja dampak hukumnya. Apabila suatu perjanjian "dibatalkan" maka perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, dan para pihak dikembalikan kepada status semula sepanjang memang memungkinkan secara aktual.

    Kemungkinan lainnya adalah perjanjian diakhiri (bukan dibatalkan), dalam hal ini, pengakhiran perjanjian tidak serta merta menyebabkan para pihak dikembalikan ke keadaan semula. Bisa jadi para pihak masih harus menyelesaikan beberapa kewajiban yang masih terhutang sebelum perjanjian diakhiri. Yang pasti, kewajiban para pihak yang baru akan muncul setelah perjanjian diakhiri menjadi tidak ada lagi, jadi sifatnya adalah berlaku ke depan.

    Yang saya tangkap dari Prof. Mahfud, suatu Perpu yang ditolak seakan-akan berarti bahwa Perpu tersebut diakhiri, bukan dibatalkan, sehingga akibatnya hanya akan ke depan saja, dan UU yang dicabut oleh Perpu tetap tidak berlaku sekalipun Perpu yang mencabutnya sudah tidak berlaku lagi. Entah ini memang pendapat serius atau pendapat yang dikeluarkan karena sudah terlanjur menyatakan di Twitter bahwa akan terjadi kekosongan hukum apabila Perpu ditolak.

    Prof. Mahfud juga kurang teliti karena sebenarnya solusi untuk permasalahan ini sudah diatur dengan jelas dalam Pasal 52 Ayat (5), (6), (7) dan (8) dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ("UU 12/2011"). Pasal 52 Ayat (5) UU 12/2011 menyatakan apabila Perpu tidak disetujui oleh DPR dalam rapat paripurna, maka Perpu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya Pasal 52 Ayat (6) dan (8) UU 12/2011 menyatakan bahwa karena Perpu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, maka diperlukan RUU pencabutan terhadap Perpu yang selanjutnya akan disahkan dalam rapat paripurna yang sama (saya berasumsi ini karena penyusun UU mencoba taat asas dengan teori bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya bisa dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang setara levelnya).

    Terakhir berdasarkan Pasal 52 Ayat (7) UU 12/2011, RUU di atas akan mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perpu yang dimaksud. Artinya, tidak mungkin akan ada kekosongan hukum sebagaimana dilansir oleh Prof. Mahfud. Apabila ada keragu-raguan, maka UU yang mencabut Perpu dapat mengatur bagaimana nantinya akibat hukum dari dicabutnya Perpu tersebut dan sah-sah saja tentunya apabila kemudian UU ini menyatakan bahwa UU yang sebelumnya dicabut oleh Perpu akan berlaku kembali. Teori hukum mana yang menyatakan hal ini tidak dimungkinkan? 

    Bahkan seandainya pun ternyata DPR diam saja dan UU yang mencabut Perpu tersebut hanya menyatakan bahwa Perpu tidak lagi berlaku secara hukum, maka tidak akan ada kekosongan hukum karena dengan dicabutnya Perpu, dasar hukum pencabutan dari UU oleh Perpu tersebut juga menjadi tidak ada (ingat, Perpu dinyatakan tidak berlaku, dan tidak berlaku artinya tidak memiliki kekuatan hukum), dan dengan demikian, UU yang dicabut oleh Perpu akan berlaku kembali secara otomatis. Hal ini tidak membutuhkan putusan pengadilan. Pendapat Prof. Mahfud bahwa kasus uji materil atas UU Ketenagalistrikan tidak dapat digunakan untuk menjawab permasalahan penolakan Perpu ini juga menurut saya tidak ada dasarnya. Secara analogis, isunya sangat mirip dan prinsip hukumnya sama.

    Kalau kita mau serius, sebenarnya ada isu yang seharusnya jauh lebih genting bagi para ahli hukum tata negara kita yang sangat cemerlang dan cendekia, yaitu mengenai penafsiran atas Pasal 71 Ayat (3) dari UU 12/2011. Pasal ini mengatur bahwa RUU yang mencabut keberlakuan Perpu harus disetujui secara bersamaan dalam rapat paripurna DPR yang menyatakan bahwa Perpu tidak disetujui oleh DPR. Isunya adalah, kalimat dalam Pasal tersebut tidak menjelaskan apakah RUU tersebut hanya perlu disetujui oleh anggota DPR atau harus disetujui secara bersama oleh DPR dan Presiden (karena Presiden seharusnya juga hadir dalam rapat tersebut dan juga berhak mengajukan RUU pencabutan Perpu).

    Untuk pembahasan UU biasa, rapat paripurna pada prinsipnya dihadiri oleh wakil Pemerintah dan DPR dan UU tersebut perlu disetujui bersama oleh mereka. Pasal 71 Ayat (2) menyatakan bahwa pembahasan RUU yang mencabut Perpu dilakukan secara berbeda dengan proses RUU biasa, tetapi sebagaimana saya sampaikan di atas, tidak jelas persetujuan siapa yang dibutuhkan.

    Secara teoretis, dari sudut pandang mekanisme check and balance, seharusnya persetujuan Presiden tidak dibutuhkan bagi RUU yang akan mencabut Perpu. Mengapa demikian? Karena apabila persetujuan Presiden dibutuhkan maka Presiden akan memiliki kekuatan tak terbatas untuk menciptakan peraturan setingkat UU semaunya sendiri. Presiden akan memiliki kewenangan untuk menyusun Perpu setiap saat dan apabila DPR tidak menyetujui hal tersebut, maka Presiden hanya tinggal menolak RUU atas pencabutan Perpu sehingga Perpu akan terus berlaku (mengingat UU 12/2011 mensyaratkan bahwa Perpu hanya bisa dicabut oleh UU).

    Mungkin akan ada yang berargumen bahwa persetujuan Presiden tetap dibutuhkan atas RUU yang mencabut Perpu karena dengan demikian, DPR bisa menentukan sendiri isi dari RUU yang akan mencabut Perpu dan nanti justru DPR yang akan dapat bertindak seenaknya. Pendapat ini menurut saya berlebihan. DPR mengambil keputusan secara kolektif dan melibatkan banyak pihak. Hal itu saja sebenarnya sudah menciptakan semacam mekanisme check and balance secara internal dalam tubuh DPR sehingga seharusnya tidak mudah bagi DPR untuk bisa bertindak semaunya (saya tidak percaya suatu koalisi multi partai dapat berjalan dengan solid secara terus menerus). Bandingkan dengan Presiden, satu orang yang memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan laju pemerintahan (bahwa kalau kemudian Presidennya sendiri memutuskan untuk tidak mengambil sikap dalam banyak hal, itu bukan salah sistemnya, itu salah Presidennya sendiri).

    Selain itu, karena Perpu awalnya disusun dan disahkan oleh Presiden sendiri, tentunya tidak masuk akal apabila kemudian Presiden juga berhak menelaah isi aturan yang mencabut Perpu yang dibuatnya. Apabila keputusan penolakan serta penyusunan isi RUU pencabutan Perpu ditentukan sepenuhnya oleh DPR, maka Presiden akan memiliki tambahan insentif untuk lebih berhati-hati dalam menerbitkan Perpu sehingga tidak membuka kesempatan kepada DPR untuk memasukkan RUU yang mereka rancang dan setujui sendiri sebagai pengganti dari Perpu yang dimaksud.

    Ini isu yang menurut saya lebih riil dan krusial bagi sistem pemerintahan kita daripada isu soal kemungkinan terjadinya kekosongan hukum yang mustahil, saya ulangi sekali lagi, mustahil terjadi apabila Perpu yang mencabut UU ditolak oleh DPR. Sebagai ahli hukum, kita harus jujur. Kita menjual kemampuan kita, bukan menjual keyakinan kita (selling our skills, not our faith). Kita bisa menggunakan peluang dan celah yang ada, tetapi semua itu ada batasnya, karena ini hukum, bukan sulap atau sihir.

  • Akibat Hukum dari Ditolaknya Perpu yang Mencabut Undang-Undang

    Akibat Hukum dari Ditolaknya Perpu yang Mencabut Undang-Undang


    Jangan tertipu dengan judul artikel ini yang terlihat rumit. Isunya sebenarnya sangat sederhana. Apabila suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") yang mencabut keberlakuan suatu Undang-Undang ("UU") ternyata ditolak oleh DPR, maka otomatis Perpu itu menjadi batal demi hukum dan UU yang dicabut oleh Perpu akan kembali berlaku. Mengapa demikian? Karena aturan yang mencabutnya lenyap dan dianggap tidak pernah ada, dengan sendirinya UU yang bersangkutan pun juga dianggap tidak pernah dicabut. Ini logika hukum mendasar yang wajib dipahami semua sarjana hukum semester pertama di Indonesia.

    Makanya saya luar biasa terkejut ketika kemarin membaca pendapat dari Mahfud MD di Twitter yang menyatakan bahwa dalam kasus UU Pilkada, apabila Perpu Pencabutan UU Pilkada ditolak oleh DPR, maka akan terjadi kekosongan hukum karena Perpu dan UU Pilkada sama-sama tidak berlaku lagi. Lebih lucu lagi, Mahfud MD menyatakan bahwa para ahli hukum tata negara juga belum dapat memberikan solusi atas isu kekosongan hukum tersebut dan bahwa ini merupakan kasus pertama di Indonesia. Berlebihan kalau pertanyaan semudah ini tidak bisa dijawab oleh para ahli hukum tata negara. Kalau mereka tidak mampu menjawabnya, seharusnya mereka bahkan tidak lulus jadi sarjana hukum.

    Yang lebih ironis lagi, Mahkamah Konstitusi ("MK") sendiri sebenarnya sudah pernah menjawab isu hukum sederhana di atas dengan tegas melalui Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 tanggal 1 Desember 2004 tentang Uji Materil terhadap UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan ("UU No. 20/2002"). Putusan tersebut membatalkan secara keseluruhan isi dari UU No. 20/2002 karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi.

    Apakah kemudian tiba-tiba terjadi kekosongan hukum di bidang ketenagalistrikan karena UU No. 20/2002 dicabut? Sama sekali tidak. Dalam pertimbangan hukumnya (lihat halaman 350 dari putusan), MK menyatakan: "guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."

    Dengan membaca pertimbangan putusan di atas, permasalahan hukum ini menjadi sejelas matahari terik di siang hari tak berawan. Jangan membuat orang awam bingung. Kekosongan hukum hanya mungkin timbul apabila peraturan perundang-undangan yang dicabut ternyata mengandung suatu norma hukum yang sebelumnya belum pernah diatur. Lebih jauh lagi, kekosongan hukum juga tidak selalu berarti buruk, tidak semua hal di dunia ini perlu diatur oleh hukum! Artikel dari Tim Harford ini bisa menjadi contoh bagus mengapa tidak semua hal perlu diatur oleh hukum.

    Yang pasti, Perpu yang dikeluarkan oleh SBY bukan langkah yang akan menghentikan keberlakuan UU Pilkada secara efektif. DPR cukup menyatakan tidak setuju terhadap Perpu tersebut dan UU Pilkada akan kembali berlaku secara otomatis (tidak perlu DPR dan Pemerintah kemudian sibuk menyusun UU Pilkada baru).

    Secara terpisah, saya juga mengkritik keras dikeluarkannya Perpu Pilkada. Ini contoh yang sangat buruk bagi hukum tata negara kita, khususnya karena besar kemungkinan penerbitan Perpu Pilkada tidak memenuhi persyaratan utama dari penerbitan suatu Perpu, yaitu kegentingan yang memaksa (apanya yang genting dan memaksa saat ini?). Selain itu, sudah ada mekanisme hukum lainnya yang bisa digunakan untuk melawan UU Pilkada bagi mereka yang tidak setuju dengan isinya, yaitu melakukan uji formil dan materil ke MK. Kalau memang niatnya benar dari awal, kenapa tidak fokus saja menjalani aturan yang sudah cukup jelas ini?

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.