Posts

On Finding a Successor

Image
I recently found another gem of a slice-of-life manga titled Sota's Knife ( Souta no Houchou ) and boy, what a page turner! The manga tells the story of Sota Kitaoka, a young man from Hokkaido, that pursues the art of classical Japanese cuisines at Ginza Tomikyu, a ryotei that is known as one of the best traditional restaurants in Tokyo (all are fictional in case you are wondering). The relationship between Sota and Kyugoro Tomita (his Oyakata a.k.a boss/owner chef/master), his colleagues (including his love interest, Tomita's daughter), his growth from a kitchen helper to the top level, his dream of opening his own restaurant versus continuing the legacy of his boss, the hyper competitive environment of restaurants in Tokyo, and the passion and dedication of a true Shokunin shown throughout the series, are simply beautiful and full of emotions. Not only that they remind me of all the restaurants and chefs in Japan that I love so much (and sadly I could not visit until God k

Islam dan Kebhinekaan - Sebuah Tanggapan Untuk Sohibul Iman

Image
Saya tertarik membaca opini pagi ini di Republika dari Mohamad Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, dengan judul: Islam, Kebinekaan dan NKRI. Walaupun judulnya terkesan mengusung pentingnya kebhinekaan dan kerja sama antar anggota masyarakat dalam kerangka NKRI, ada beberapa bagian yang saya rasa perlu sekali dikritisi. Untuk itu akan saya mengutip beberapa paragraf dari artikel tersebut yang saya anggap penting untuk dianalisis lebih jauh. Pertama, Sohibul Iman menulis: " Ada anggapan bahwa menghormati kebinekaan hanya diartikan sebagai sikap merayakan perbedaan, tapi kurang mengindahkan hak setiap warga memeluk dan menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi dan aturan perundang-undangan yang berlaku... ...Kebinekaan terawat bukan karena klaim sepihak, melainkan karena adanya sikap jujur, terbuka, tanggung jawab, dan adil. Jika ada pemikiran yang mencoba membenturkan antara Islam, kebinekaan, dan NKRI, pemikiran itu harus

Menyingkap Logika Kalimat Dibohongi Pakai Al-Maidah: 51

Image
Melanjutkan artikel saya mengenai tafsir atas Al-Maidah:51 dan politik Islam di Indonesia serta konsep penodaan agama di Indonesia, artikel ini akan membahas lebih jauh mengenai salah satu isu yang paling diributkan dalam kasus tuduhan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yaitu pengertian kalimat "dibohongi pakai Al-Maidah 51...". Kalimat inilah yang dianggap menjadi dasar utama penghinaan/penodaan atas agama Islam dan para ulama, setidaknya menurut fatwa MUI (atau mungkin lebih tepatnya disebut sebagai pernyataan sikap MUI dikarenakan belum ada fatwa dari komisi fatwa MUI).

Memahami Penodaan Agama Seutuhnya

Image
Setelah keluarnya artikel saya yang berjudul Al-Maidah:51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas , saya menerima beberapa pertanyaan yang intinya kira-kira seperti ini: memperhatikan ragam diskusi tentang surah Al-Maidah: 51, apakah kasus pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (atau lebih sering disebut Ahok) di Kepulauan Seribu dapat dianggap sebagai penistaan terhadap agama Islam yang merupakan suatu tindak pidana berdasarkan hukum Indonesia? Artikel ini akan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Al-Maidah: 51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas

Image
Minggu lalu saya diminta untuk memberikan komentar atas artikel berjudul " Politik Islam di Indonesia: Ideologi, Transformasi, dan Prospek dalam Proses Politik Terkini " yang ditulis oleh Muhammad Zulifan. Karena menurut saya artikelnya juga berhubungan dengan artikel Zulifan lainnya tentang Tafsir atas Al-Maidah Ayat 51 , maka saya akan menggabungkan komentar saya atas kedua artikel tersebut dalam tulisan kali ini.

LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa Tolong Berhenti Mengada-ada

Image
Ketika saya membaca artikel balasan dengan judul "LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa, Benarkah Klaim Ini?", saya sebenarnya masih meragukan apakah penulisnya benar-benar Fithra Faisal yang asli. Walaupun demikian, saya memiliki firasat kuat bahwa penulis artikel balasan tersebut (siapapun dia) adalah juga penulis artikel sebelumnya "LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa," mengingat pola penulisannya sama. Artikel pertama berbicara soal usulan kebijakan publik tetapi secara misterius tidak menyebutkan kebijakan apa yang hendak diusulkan, sementara artikel kedua menambahkan suatu pertanyaan di judul namun sampai akhir isi artikelnya, ternyata jawabannya tidak pernah diberikan. Dari sudut pandang cocokologi, ini yang namanya cocok secara alamiah tanpa perlu dicocok-cocokkan lagi karena sama-sama memberikan harapan palsu.

LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa? Suatu Ide yang Diada-adakan

Image
Ketika saya membaca artikel dari Fithra Faisal berikut ini: LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa (yang dikirimkan melalui Grup WA Selasar), saya sedang duduk menikmati Chutoro Sushi di restoran Sushi favorit saya, Sushi Masa. Beberapa hari sebelumnya, saya baru saja menolak tawaran untuk menjadi pengisi blog reguler di sebuah surat kabar berbahasa Inggris. Saya katakan bahwa saya sudah berbulan-bulan tidak menulis dan pada dasarnya ingin pensiun dari dunia tulis menulis sampai suatu hari nanti minat saya muncul kembali (yang sempat saya prediksikan tidak akan muncul dalam waktu dekat). Rupa-rupanya petunjuk dari langit tiba dengan sekejab setelah penolakan itu. Saya yang sudah lama bahkan tidak berminat untuk debat melalui artikel pun tak kuasa menolak gejolak di hati untuk memberikan tanggapan atas artikel tersebut. Sempat terpikir apakah saya akan kembali menikmati sushi yang sangat lezat itu dengan tenang sambil menutup mata dan menikmati hidup seperti biasanya atau haruskah saya men

Gojek, Ojek Pangkalan dan Kapitalisme

Image
Selama sumber daya terbatas, manusia harus memilih, dan itu berarti menemukan kebijakan yang memuaskan semua pihak belum tentu akan selalu tercapai. Ambil contoh kisah Gojek versus Ojek Pangkalan. Saya sudah membaca beragam artikel terkait hal ini mulai dari yang membela Gojek, mempertanyakan nasib supir ojek pangkalan yang katanya mulai tersingkir akibat "kapitalisme" ala Gojek , sampai potensi efek samping dari keberadaan Gojek, GrabBike dan variannya terhadap keberlanjutan transportasi publik . Tulisan ini tidak akan membahas kepentingan kelompok mana yang harus didahulukan. Saya jauh lebih tertarik untuk membahas insentif dari masing-masing grup dan dinamika yang mungkin terjadi. Seperti biasa, saya beranjak dari asumsi ilmu ekonomi mengenai perilaku manusia rasional yang senantiasa mengutamakan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Saya cukup yakin bahwa semua supir Gojek dan ojek pangkalan sama-sama suka dengan profit (tentu tak ada yang melarang anda untuk berimaji

Tafsir Realistis atas Hari Kebangkitan Nasional

Image
Sehari yang lalu, saya membaca 2 artikel yang bertemakan Hari Kebangkitan Nasional. Artikel pertama berbicara soal banalitas (kedangkalan) masyarakat Indonesia , dan yang kedua soal pentingnya mencari "jalan", bukan uang . Walau ditulis oleh 2 orang yang berbeda, nuansa isinya sama, intinya: bangsa kita kehilangan jati diri, suka dengan hal yang remeh temeh, dan berpikir jangka pendek atau bahkan malas berpikir sama sekali, dan oleh karenanya, dibutuhkan revolusi mental dan revolusi-revolusi lainnya yang tanggap dan membahana. Saya setuju dengan premis awalnya, namun saya kecewa dengan tawaran solusinya yang menurut saya tak realistis dan cenderung elitis. Artikel soal banalitas dibuka dengan kisah para mahasiswa pemikir yang mengaku kesepian karena tak punya lawan bicara, bacaannya terlalu "berat" dan akhirnya mereka terpinggirkan dari pergaulan karena rekan-rekannya banal. Ini menimbulkan satu pertanyaan fundamental: kalau para mahasiswa tersebut benar-benar cer