THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Kesetaraan Gender dan Industri Hukum

    Kesetaraan Gender dan Industri Hukum

    Pengumuman pengangkatan 2 Senior Partner baru di UMBRA, Melati Siregar dan Poppy Cut Rahmasuci, merupakan momen yang tepat untuk mengangkat kembali tema kesetaraan gender, khususnya dalam industri hukum. Bagi pembaca blog ini dan khususnya yang sudah kenal saya lumayan lama, harusnya tahu posisi saya soal kesetaraan gender: saya menolak segala bentuk pengaturan soal pembagian peran pria dan wanita selain dari apa yang masing-masing mereka kehendaki sendiri secara sadar dan berdasarkan pengetahuan yang cukup. Artikel lama saya soal ini bisa dibaca misalnya di: Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup serta Absurdnya Ide Pengurangan Jam Kerja Wanita

    Posisi saya di atas belum berubah sama sekali, dan karena kebetulan sekarang saya sudah memiliki institusi sendiri, saya bisa lebih bebas mengimplementasikan visi misi tersebut. Sejak dahulu kala, industri hukum memang tidak terkenal sebagai industri yang ramah bagi perempuan. Menariknya, jika diperbandingkan, Indonesia mungkin justru terhitung lebih progresif dibandingkan dengan dedengkot industri hukum modern berskala besar di Amerika Serikat mengingat di Amerika, perempuan tidak diperkenankan masuk ke sekolah hukum apalagi berpraktek hukum setidaknya sampai dengan akhir abad ke-19/awal abad ke 20 dan efeknya sedikit banyak masih terasa hingga kini, partisipasi perempuan di bidang hukum masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan partisipasi lelaki.

    Jam kerja kantor hukum yang brutal ditambah masih adanya stigma pembagian peranan wanita dan pria baik secara domestik maupun bisnis dalam budaya, agama, dan negara tertentu memang sangat menyulitkan posisi perempuan untuk berkarir sebagai pengacara/advokat. Umumnya, analisis standar (kalau bisa dikategorikan sebagai analisis) dalam mempertimbangkan apakah suatu kantor hukum akan mempekerjakan pengacara perempuan adalah: berapa lama kira-kira ia akan bekerja secara efektif dalam kantor? Apakah ia sudah memiliki pasangan? Apakah ia akan memiliki anak? Kekhawatiran utamanya adalah apabila kantor sudah berinvestasi sedemikian rupa dengan pengacara perempuan tersebut namun di tengah jalan tiba-tiba ia memutuskan berhenti bekerja karena alasan menikah, memiliki anak dan selanjutnya harus fokus mengurusi keluarga. Bagi industri yang sangat mengandalkan kualitas pribadi dari masing-masing talentanya, kehilangan talenta yang bermutu karena urusan seperti ini tentu akan sangat menyakitkan dan kontra produktif.        

    UMBRA sendiri tidak menerapkan kebijakan khusus "pro perempuan" semisal affirmative action. Jadi fakta bahwa saat ini pengacara perempuan mewakili 64% dari total 50 lawyer di UMBRA dan 37,5% di level Senior Partner bukan hasil dari suatu kebijakan khusus yang meminta porsi perempuan ditambahkan dalam jumlah karyawan kantor. Sebagaimana saya sampaikan dalam tulisan-tulisan saya, sebagai penganut kesetaraan garis keras, saya justru tidak mau ada pemberian perlakuan spesial atas dasar gender (selain karena isu biologis semisal hanya perempuan yang sejauh ini bisa hamil dan oleh karenanya wajar diberikan cuti melahirkan). No wonder people consider me as the most unromantic guy, haha.

    Isunya sedari awal memang bukan memberikan kesempatan tambahan kepada perempuan untuk dipekerjakan, tetapi bagaimana kita bisa memberikan edukasi kepada semua pemangku kepentingan yang relevan dengan si calon pengacara (termasuk orang tua, pasangan, dan handai taulan) bahwa seharusnya perempuan tidak dibebani tambahan tanggung jawab untuk mengurus isu-isu domestik yang seakan-akan secara alamiah menjadi bagian dari pekerjaan mereka. Penambahan beban ini yang kemudian sering kali menyebabkan perempuan harus memilih antara karir dan keluarga karena setelah secara ajaib tugas-tugas tersebut dianggap sebagai tugas perempuan, pengerjaan tugas-tugas tersebut oleh kaum lelaki dianggap semacam tindakan yang tidak sesuai dari garis kodrat lelaki (karena memang kalau mau bikin teori absud itu jangan setengah-setengah, harus tekan gas sekencang-kencangnya). Ini bahkan kita baru bicara soal pembagian peran saja, belum lagi stigma-stigma lainnya terkait kepemimpinan dan sifat psikologis perempuan yang akan jadi bahasan di lain waktu. 

    Terkait pembagian peran, selama pemangku kepentingan lainnya tidak secara aktif mendukung peranan perempuan yang lebih fleksibel, menambah porsi keterlibatan perempuan dalam bisnis akan menjadi kesia-sian. Mengapa? Karena terlepas dari promosi yang diberikan kepada mereka, selama beban tambahan di rumah terus ada, perempuan akan terus terpaksa untuk memilih dan belum tentu mereka akan memilih karirnya. Kalau demikian, untuk apa mereka dipromosikan di awal? Justru makin sedikit insentif bagi kantor hukum untuk mempromosikan perempuan karena adanya resiko tinggi dalam memberikan promosi kepada orang yang kemungkinan tidak akan meneruskan keberlangsungan institusi. Oleh karena itu, seperti layaknya kunci berdansa Tango yang indah atau membangun bisnis yang sukses, keberadaan partner yang kolaboratif mutlak ada, tidak bisa dilakukan sendirian.

    Yang mungkin tidak terpikirkan juga oleh penganut pembagian fungsi lelaki dan perempuan adalah bagaimana efek klaim pembagian yang kaku itu berdampak terhadap pilihan hidup kaum perempuan. Contoh di Korea Selatan dan Jepang misalnya ketika tingkat perkawinan dan kelahiran anak terus mengalami tren yang menurun. Yang namanya manusia memang sulit buat dipaksa terus menerus, jadi ketika perempuan tidak bisa melihat lagi fungsi dari pernikahan selain cuma nambah-nambahin kerjaan dia, apa insentif dia untuk masuk ke dalam institusi itu dan mengorbankan karirnya? Ini soal trade-off yang rasional. Pernikahan tentu ada manfaatnya, tetapi juga tidak kalah banyak biaya dan permasalahannya. Ini yang seharusnya juga dipertimbangkan sebelum memaksakan pembagian tugas tersebut dalam hubungan pernikahan atau hubungan-hubungan lainnya yang memerlukan pasangan untuk tinggal bersama. Ada aksi, tentu ada reaksi. Lebih rincinya sudah saya diskusikan di artikel lama saya yang bisa diakses di awal artikel ini. 

    Nah, kembali lagi ke soal edukasi pemangku kepentingan, minimal yang bisa saya sampaikan adalah praktek yang saya jalankan sendiri. Berhubung saya tidak sepakat dengan pembagian tugas domestik, dengan sendirinya, otak saya tidak bisa mengkotak-kotakkan tugas-tugas mana saja yang cocoknya dikerjakan perempuan atau oleh lelaki. Misalnya saya suka mengurus urusan administratif (which is why I act as the Managing Partner) dan memasak. Ya ketika di rumah, saya yang mengerjakan itu semua. Apakah dengan demikian saya tidak lagi menjadi laki-laki atau kelaki-lakian saya berkurang karena mengurusi hal-hal printilan? I dare anyone to make such claim against me. Prinsip saya gampang, serahkan tugas pada orang yang paling efisien untuk mengerjakan tugas itu. Dan karena waktu mahal, apabila ada orang lain yang bisa mengerjakan tugas itu dengan lebih baik dan dengan biaya yang bersaing, ya kasih ke orang itu. Sederhana toh? Ini bukan cuma buat bisnis, tapi juga urusan di rumah. 

    Tentu saja sebagai orang yang berkecimpung dalam hukum Islam, saya hafal semua dalil-dalil yang bisa dipakai untuk memosisikan saya (sebagai lelaki) untuk mendapatkan privilese tambahan, macam mengklaim berhak jadi pemimpin bagi wanita, atau lebih tinggi derajatnya sebagai suami, atau bisa minta jatah hubungan seksual setiap saat dari istri. Tapi seumur-umur saya tidak pernah menggunakan dalil itu dan alasannya sederhana (saya tidak akan membahas interpretasi dan dalil hukumnya dalam artikel ini, karena saya memang tidak sedang menulis soal aspek hukum), harga diri pribadi! Masa untuk menunjukkan bahwa saya lebih superior dari orang lain, saya harus minjam dalil yang sumbernya tidak intrinsik dari diri saya sendiri? Obviously, I want to demonstrate that I am superior against anyone else, but for the love of God, that should be established based on my own personal quality and nothing else

    Isu harga diri buat saya sebagai lelaki bukan level remeh temeh macam ketika saya menggunakan payung warna pink di Depok jaman kuliah dulu. Buat saya isunya segampang: suhunya panas banget, saya ga tahan panas (itulah mengapa saya suka banget musim dingin yang brutal di Chicago, walau kelahiran tropis, saya gagal jadi anak tropis), saya masih harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki (maklum, mahasiswa miskin), dan payung yang tersedia cuma ada yang warna pink. Persetan dengan persepsi terkait korelasi warna pink dan laki-laki atau ide bahwa lelaki seharusnya tahan panas dan ga boleh pakai payung.  

    Isu harga diri saya bahkan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan gender saya, melainkan bersumber dari apakah saya bisa meyakini tanpa ada keraguan bahwa saya sudah mencapai kualitas yang saya inginkan dalam melakukan hal-hal yang saya putuskan sendiri sebagai keahlian saya. Dan menentukan hal-hal yang menjadi keahlian kita akan sangat bergantung dengan pilihan hidup masing-masing. Bebas.

    Aspek berikutnya di kantor yang saya jalankan terkait isu kesetaraan gender adalah kita tidak memasukkan potensi pengacara perempuan untuk suatu hari nanti berhenti bekerja karena urusan keluarga sebagai basis untuk menentukan apakah kita akan mempekerjakan yang bersangkutan atau tidak. Resiko itu selalu ada, tapi kita bertaruh dengan pemberian edukasi sebagaimana saya sampaikan di atas. Karena memang manusia ga bisa dipaksa. Tidak semua orang bisa menerima bahwa pembagian tugas itu hanyalah konstruksi sosial yang bisa jadi pernah efisien di masanya, tapi tidak lagi relevan di masa kini. Yang bisa kita lakukan adalah memfasilitasi supaya kesempatan perempuan tidak lantas berkurang untuk berkarir dan di sisi lainnya, karena tidak ada affirmative action, tidak perlu pusing menganalisis perkembangan karir masing-masing pengacara selain dari kualitas intrinsik mereka sebagai legal experts and rainmaker

    Terakhir, situasi pandemi ini menunjukkan bahwa peluang untuk bekerja secara fleksibel itu sangat memungkinkan (ini juga saya bahas dalam artikel untuk menyambut tahun baru 2021). Dan fakta ini seharusnya bisa memudahkan pilihan karir perempuan (dan sebenarnya juga lelaki, karena berpikir bahwa cuma perempuan saja yang ingin menghabiskan waktu di rumah adalah bentuk sesat pikir dan diskriminasi bagi kaum lelaki). Alih-alih harus mengorbankan salah satu, opsi kerja fleksibel yang bebas dari keterbatasan ruang memungkinkan setiap orang untuk menjalankan peran ganda di rumah dan di luar rumah. Artinya, kemampuan manajemen waktu supaya orang bisa makin produktif di mana pun mereka berada akan makin menjadi krusial. 

    Perlu diingat bahwa kemajuan teknologi tidak menafikan kebutuhan dukungan dari semua pemangku kepentingan. Edukasi ini perlu terus menerus diulang-ulang dan disosialisasikan. Kalau belum punya pasangan, baiknya bertanya soal pilihan masa depan. Dengan situasi persaingan yang makin tinggi, konsepsi pembagian tugas lelaki dan perempuan yang digaungkan dalam Undang-Undang Perkawinan akan makin usang. Realitasnya, apa masih memungkinkan bagi kebanyakan pasangan untuk mengandalkan hanya satu sumber penghasilan? Data empirisnya masih perlu digali lebih jauh, tapi saya sangsi tren single income family bisa bertahan untuk masa depan (kecuali salah satu pasangan kita masuk kategori wong sugih, kalau sobat misqueen, ya sulit). 

    Bagaimana dengan industri hukum sendiri? Bisnis harus terus selalu berkembang dan karena bisnis hukum adalah bisnis orang, membatasi pool kandidat berbasis gender adalah tindakan yang culun. Talenta bisa datang dari mana saja dan adalah pilihan yang rasional untuk membuka keran supply sebesar-besarnya untuk dapat mencari penerus-penerus institusi selanjutnya. Masalah bagaimana kita mendidik mereka dan memastikan mereka akan jadi penerus yang mumpuni adalah tantangan selanjutnya.

    So, congratulations again to Melati and Poppy, a pleasure to welcome you both at the senior partnership table. Cheers to all the female lawyers!     

  • Happy New Year 2021!

    Happy New Year 2021!


    I officially closed 2020 with UMBRA’s M&A and Restructuring PG Annual Dinner on 19 December. Thanks to the superb dinner set from @august_jkt (which is simply the best private dining organizer in Indonesia for me to date), we had a very enjoyable evening. 

    Given the hassle of running any gathering (testing every participants, setting the open air place, enforcing the safety protocol, you name it), it was the only event that I could have with my kids in 2020 since the start of our WFH in mid March 2020. Indeed, it was also the first time for me to physically see some of my new recruits during the pandemic. So I am glad that despite the herculean efforts, it could still be done 🥵🥵🥵.

    I have to admit that running the whole firm from home is a new experience, it’s unprecedented for a law firm even in all of my personal collection of general and law firm management books (what, you think you can manage a big business only by intuition without learning the materials? I take my job seriously). While I've always envisioned a flexible working arrangement where lawyers can work from any place and any time (the last part is probably frightening for some people), prior to the pandemic there was always a big question mark on three issues: (i) how can we ensure that people will actually work at home, (ii) how can we do proper quality control, and (iii) how can we convince the client to avoid physical meetings?

    Luckily, when everyone is forced to work from home, it becomes clear that there are ways to do things more efficiently. Without the hassle of rumbling traffic and waiting for late people, we could manage to perform additional tasks and have more meetings in a single day. I thought I was damn busy in 2019, but 2020 showed that I was wrong. 

    Of course, physical gathering would still be important, especially to build trust among peers and clients. Had we started UMBRA during a pandemic, the results would probably be ugly for us. It is precisely because we had the chance to make our presence known to the clients prior to the pandemic that we could turn the challenges to become opportunities. And I am extremely grateful for having the right timing. I know that hard work is essential, but you can’t deny the role of chance and luck in doing a business. Understanding this iron law would help you to have a realistic and pragmatist perspective, for each optimism, one must always be cautious. And while planning does not always yield successful results, we plan to fail when we fail to plan.

    Yes, not be able to going anywhere and meeting anyone freely still sucks. I miss Japan and all the chefs there. I miss the United States and my beloved family and law school there. But at the same time, I am still grateful that I have a firm with resilient and hard working people, managed to close super interesting and historical deals for my clients, won multiple prestigious awards for the firm, had the time to read and do more research for my planned book, was able to actually finish FF VII Remake (and got Platinum Trophy), One Piece Pirate Warriors 4, and The Last of Us 2 (only 3 games this year (4 if I counted Hades, but it's still ongoing), but hey, given my workload, I call that an achievement 😊), had the chance to improve my cooking skills, and finally, after waiting for more than 10 years, being officially admitted as an indoor disciple of Wu Tang school of martial arts (what a joy!!!). 

    Now, if only I could cure my blocked nose that has haunted me for the past 8 months, I would give 2020 a perfect score! Let’s make new history in 2021! Bismillah.


  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.