THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Constitutional Law. Show all posts
Showing posts with label Constitutional Law. Show all posts
  • Islam dan Kebhinekaan - Sebuah Tanggapan Untuk Sohibul Iman


    Saya tertarik membaca opini pagi ini di Republika dari Mohamad Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, dengan judul: Islam, Kebinekaan dan NKRI. Walaupun judulnya terkesan mengusung pentingnya kebhinekaan dan kerja sama antar anggota masyarakat dalam kerangka NKRI, ada beberapa bagian yang saya rasa perlu sekali dikritisi. Untuk itu akan saya mengutip beberapa paragraf dari artikel tersebut yang saya anggap penting untuk dianalisis lebih jauh.

    Pertama, Sohibul Iman menulis: "Ada anggapan bahwa menghormati kebinekaan hanya diartikan sebagai sikap merayakan perbedaan, tapi kurang mengindahkan hak setiap warga memeluk dan menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi dan aturan perundang-undangan yang berlaku... ...Kebinekaan terawat bukan karena klaim sepihak, melainkan karena adanya sikap jujur, terbuka, tanggung jawab, dan adil. Jika ada pemikiran yang mencoba membenturkan antara Islam, kebinekaan, dan NKRI, pemikiran itu harus diluruskan karena berbahaya dan ahistoris. Islam, kebinekaan dan NKRI adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Menjadi seorang muslim yang lurus maka secara aksiomatis juga menjadi seorang nasionalis sejati dan pluralis seutuhnya."  

    Saya mendukung pernyataan normatif di atas. Di atas kertas, ini adalah nilai-nilai yang sangat pantas untuk diusung di Indonesia dan saya pikir sebagian besar bangsa Indonesia (kalau bukan seharusnya seluruhnya) akan menerima ide-ide tersebut. Tetapi tentunya kita tidak bisa bicara kisah-kisah yang indah saja, kita juga perlu berbicara tentang kasus-kasus dimana ada nilai-nilai yang saling berbenturan, karena dalam demokrasi, perbedaan adalah keniscayaan, isunya adalah bagaimana menjaga keutuhan masyarakat sebagai akibat dari perbedaan tersebut. Sebagai contoh, ketika suatu umat memiliki hak untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, mana yang harus didahulukan ketika kemudian nilai ajaran tersebut tidak 100% sesuai dengan nilai moral lainnya (misalnya nilai kebangsaan atau nasionalisme), adat istiadat, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku? Apakah mungkin semuanya bisa berjalan beriringan, atau kita harus memilih salah satu? Kalau harus memilih, bagaimana caranya supaya tidak timbul konflik yang lebih jauh?

    Sebagaimana kita ketahui bersama, perkara hukum terkait penodaan agama yang kemudian menyulut aksi dari sebagian masyarakat beberapa minggu terakhir ini bukanlah perkara sederhana. Ayat Qur'an yang dipermasalahkan sangat terkait dengan isu politik, soal siapa yang bisa diangkat dan tidak bisa diangkat menjadi pemimpin umat Muslim di Indonesia. Pembahasan tafsir dan fikih terkait Al-Maidah: 51 sudah saya bahas panjang lebar sebelumnya dalam artikel saya di sini dan di sini. Intinya ada ragam perbedaan pendapat, dimana setidaknya ada satu pendapat yang menyatakan bahwa pemimpin non-Muslim seharusnya haram (terlepas apa jabatannya dan bagaimana cara diangkat atau dipilihnya).

    Konteks keberadaan ayat ini seharusnya tidak dipisahkan dengan inti perkara hukum yang sedang berjalan. Saya memahami adanya beberapa pihak yang mencoba memisahkan kedua hal tersebut, seakan-akan ada sebuah kasus penodaan agama yang berdiri sendiri. Tapi bagaimana mungkin ada kasus penodaan agama yang berdiri tanpa konteks apapun? Ketika orang ingin menodai, mengungkapkan rasa kebencian atau permusuhan, tentunya harus ada latar belakang yang mendasari hal tersebut. Kalau tanpa alasan, pelakunya bisa jadi gila, dan justru akan lepas dari hukuman karena orang yang sakit jiwa umumnya dilepaskan dari pidana. Harus ada latar belakang, dan latar belakang itu yang kemudian harus diperiksa lebih jauh karena berhubungan sangat amat erat dengan inti dari artikel Sohibul Iman.

    Kalau klaim Sohibul Iman benar, yaitu bahwa umat Islam di Indonesia secara aksiomatis sudah pasti nasionalis dan pluralis, bagaimana caranya kita menjelaskan adanya fenomena menolak pemimpin non-Muslim semata-mata karena agamanya, terlepas dari hasil kinerja, moralitas, kemampuan memimpin dan faktor-faktor lainnya yang umumnya diharapkan dari seorang pemimpin yang berkualitas? Dalam versi tafsir yang paling masyhur, urusan agama ini adalah faktor yang menutup faktor-faktor lainnya. Non-Muslim tidak bisa jadi pemimpin kecuali untuk jabatan dengan wewenang yang sangat minim dan terbatas. Titik. Apakah tafsir tersebut kemudian bisa dianggap sebagai bentuk pluralisme atau dukungan atas NKRI?

    Ada yang mencoba mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa umat Islam sudah menerima bentuk NKRI yang memungkinkan kaum non-Muslim untuk menjadi pemimpin, tetapi umat Islam tidak bisa dipaksa memilih dan tetap berhak mengajarkan dimana-mana bahwa kaum non-Muslim tidak bisa menjadi pemimpin. Kalau demikian adanya, sejauh mana hal tersebut diperbolehkan? Kapan batasannya antara diskusi ilmiah tentang keharaman memilih pemimpin non-Muslim dan ujaran kebencian kepada pihak lain yang berbeda?

    Ambil contoh kasus Rhoma Irama di tahun 2012 yang sempat tersandung isu SARA ketika memberikan ceramah pada musim Pilkada. Dalam ceramahnya yang bisa dilihat di sini, Rhoma menyampaikan bahwa apabila Ahok yang non-Muslim, yang cina, yang Kristen sampai jadi Gubernur pemimpin ibu kota, maka umat Islam menanggung aib bersama di dunia internasional, innalilahi. Tutur kalimat Rhoma disampaikan dengan santun, tetapi apakah isinya damai dan tidak menyakiti hati orang lain? Sebagaimana pernah saya bahas pula di artikel-artikel saya sebelumnya, pembahasan dalam tafsir-tafsir klasik terkait isu pemimpin non-Muslim pun juga sangat konfrontatif karena non-Muslim dicap sebagai kaum yang tak bisa dipercaya dan senantiasa menginginkan keburukan untuk kaum Muslim. Apakah pernyataan seperti ini sah-sah saja disampaikan di muka umum sepanjang katanya hanya dikonsumsi untuk umat Islam di masjid, sekolah, atau pondok pesantren, terlepas apakah kalimat itu juga sangat menuduh, sangat tendensius, dan menyakiti hati orang lain? Jangan lupa juga bahwa ketentuan Pasal 156 dan 156a KUHP terkait penodaan terhadap golongan dan agama tidak memberikan pengecualian bahwa hal itu boleh sepanjang dilakukan di muka orang-orang yang seide (atau paling tidak dianggap seide), yang penting dilakukan di muka umum dan pengertian "di muka umum" sangat luas.

    Saya juga ingat ada yang menggugat Ahok secara perdata gara-gara ada kutipan berita bahwa Ahok menuduh peserta aksi bela Islam pada tanggal 4 November 2016 menerima uang Rp500.000. Walaupun faktanya masih diperdebatkan, tetapi sudah dijadikan dasar bahwa pernyataan menerima uang itu menghina dan menyakiti hati peserta aksi, karena mereka dituduh tidak tulus, sekedar orang bayaran. Kalau pernyataan yang ambigu saja sudah bisa dijadikan dasar untuk menyakiti hati dan orang ternyata bisa tersinggung karena dituduh kurang tulus, apalagi kalau suatu kaum ramai-ramai dituduh penipu, tak bisa dipercaya dan gemar berkonspirasi untuk menjatuhkan orang lain? Bukannya ini seperti sedang menanam bom waktu? Konflik tidak meledak semata-mata karena kebetulan kaum yang dituduh belum bereaksi dengan keras?

    Fenomena kasus Rhoma Irama di atas juga bukan yang pertama kalinya, nuansa khotbah demikian terkait relasi kaum Muslim dan non-Muslim sudah sering saya baca dan dengar (khususnya melalui khotbah Shalat Jumat). Saya bersyukur paling tidak Rhoma Irama akhirnya tak sampai dipenjara dan saya juga tak akan menyarakan agar pelaku-pelaku lainnya dipenjara karena sedari dulu saya meyakini penjara bukan solusi efektif untuk kasus-kasus seperti ini. Tetapi kita harus sadari bahwa fenomena itu ada, dan sangat sulit untuk menyatakan bahwa fenomena tersebut sesuai dengan nilai kebhinekaan dan pluralisme yang menurut Sohibul Iman sudah diadopsi dengan tegas oleh umat Islam di Indonesia.

    Saya juga heran dengan kalimat Sohibul Iman terkait hak mayoritas untuk dihormati, yang ia ulang setidaknya 3 kali termasuk kalimat di atas yang saya kutip, yaitu: "...Ki Bagus Hadi Kusumo sebagai pokok pimpinan Muhammadiyah bersama tokoh umat Islam lainnya yang berbesar hati mengesampingkan aspirasi umat Islam, dengan merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya dengan sila pertama Pancaila..." dan "...Kebinekaan tercermin ketika kelompok mayoritas mampu menghargai dan mengayomi minoritas. Di saat yang sama, kelompok minoritas juga bisa memosisikan diri dan bersikap hormat serta toleran kepada kelompok mayoritas."

    Dengan kalimat di atas, Sohibul Iman seakan memberikan isyarat bahwa kaum mayoritas sudah beberapa kali mengalah, itu bonus bagi yang minoritas, oleh karena itu sebaiknya yang minoritas harus tahu diri dan lebih hormat kepada yang mayoritas. Untuk keperluan diskusi ini, saya akan berasumsi bahwa mayoritas dalam pandangan Sohibul Iman maksudnya merujuk kepada kaum Muslim Indonesia, dan kalau saya salah, silakan dikoreksi.

    Inilah alasan mengapa saya heran. Kalau benar bangsa ini pluralis, nasionalis dan berkebhinekaan, mengapa masih mengkotak-kotakkan mayoritas versus minoritas? Dalam kebhinekaan, seharusnya kita tidak lagi mempersoalkan mayoritas versus minoritas tetapi kepentingan bersama sebagai satu bangsa. Akan sangat berbahaya kalau kemudian kaum mayoritas merasa bahwa keamanan dan penerimaan terhadap kaum minoritas adalah sebuah privilege khusus bagi yang minoritas, suatu hak yang bisa diambil sewaktu-waktu kalau kaum mayoritas sudah merasa gerah dengan minoritas.

    Ambil kembali kasus Rhoma Irama. Suka tidak suka, fakta bahwa Rhoma adalah seorang Muslim dan juga cukup dikenal sebagai penyanyi religius berkorelasi positif dengan lepasnya ia dari jerat hukum. Ketika saya menonton acara TV terkait pembelaan bagi Rhoma (yang bisa dilihat di sini), pembelaan yang saya tangkap bagi Rhoma adalah bahwa ia hanya menyampaikan ajaran agama semata dan dikhususkan bagi umat Islam, dan oleh karena itu tidak bisa dianggap SARA. Anda juga bisa membaca artikel ini sebagai basisnya. Kalau dicermati lebih jauh isi artikel itu, tampak sekali sikap yang plin-plan. Tindakan Rhoma bukan SARA, tetapi negara Indonesia diakui bukan negara Islam melainkan negara demokrasi sehingga sebaiknya kampanye jangan menggunakan unsur SARA. Ibarat kata, di lubuk hati masing-masing, orang-orang ini mengakui bahwa apa yang disampaikan tidak baik, tapi sudah kadung kejadian, dan berjalan di masyarakat, jadi ya apa boleh buat. Dari kasus ini dan bagaimana ia berakhir, terdapat suatu pesan implisit bagi kaum minoritas: yang mayoritas berhak untuk menyampaikan ajaran agama, termasuk menjelekkan yang minoritas, dan yang minoritas harus tahu diri, jangan balik mengkritik, jangan marah atau menyinggung yang mayoritas, karena nanti bisa dilibas. Dimana kebhinekaan, nasionalisme, dan pluralismenya?

    Saya tidak heran kemudian contoh-contoh yang diberikan oleh Sohibul Iman terkait kontribusi umat Islam di masa lalu tidak nyambung dengan konsep kebhinekaan yang diusungnya sendiri. Contoh yang diberikan terkait perjuangan tokoh-tokoh Muslim Indonesia dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa. Apa hubungannya? Penjajahan tidak enak buat sebagian besar masyarakat Indonesia, jelas banyak yang berminat untuk melawan. Mayoritas penduduk pada masa itu pun juga orang Islam, secara statistik wajar kalau tokoh Islam juga lebih banyak yang muncul. Justru akan sangat memalukan kalau umat Islam mayoritas namun ternyata lebih banyak tokoh perjuangan non-Muslim yang muncul di permukaan. Alih-alih prestasi luar biasa, kontribusi umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan. Dan yang lebih penting lagi, kalau kita sepakat ini semua demi NKRI, maka kontribusi itu seharusnya juga bebas dari pamrih. Lagi-lagi ini bukan privilege yang diberikan oleh kaum mayoritas, ini juga bukan soal siapa yang lebih banyak berkontribusi. Dalam perjuangan kemerdekaan serta membangun dan merawat bangsa ini, kita semua setara dan sederajat. Yang ahistoris itu justru sikap mengklaim bahwa NKRI muncul karena kontribusi umat Islam semata atau minimal didominasi oleh umat Islam sehingga yang lainnya sebenarnya cuma penggembira yang keberadaannya cuma buih tak bermakna.

    Saya juga harus mempertanyakan usulan Sohibul Iman terkait solusi bagi NKRI berikut: "Adalah sunnatulah untuk membangun bangsa ini harus dengan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling bekerja sama. Kita tidak bisa membangun Republik ini hanya dengan melibatkan golongan dan kelompok tertentu, tanpa bantuan dan kerja sama elemen bangsa lainnya. Bangsa ini lahir dan bisa tetap tumbuh berdiri tegak hingga saat ini karena rasa kebersamaan yang terus terjalin." Dalam artikel itu Sohibul Iman juga menekankan pentingnya rasa saling memiliki dan saling mempercayai di antara masyarakat Indonesia. Bagaimana caranya kita membangun rasa kebersamaan ketika kita menanamkan doktrin bahwa satu kaum seharusnya dikeluarkan dari garis kepemimpinan? Bagaimana caranya menanamkan kepercayaan kalau diajarkan satu kaum tak bisa dipercaya sama sekali? Bagaimana caranya mengajarkan saling memiliki kalau kaum minoritas tahu bahwa kaum mayoritas sudah diajarkan untuk senantiasa menghalangi kaum minoritas untuk terjun dalam pemerintahan dan politik?

    Rasanya terkesan formalistik sekali (for lack of a better word secara orang gampang sekali tersinggung) ketika orang dengan santai berbicara bahwa mereka tidak menghalangi orang non-Muslim jadi pemimpin, mereka hanya tidak akan memilih saja sekaligus menyampaikan kepada publik seluas-luasnya bahwa orang non-Muslim tidak layak jadi pemimpin. Ibarat kata kita sampaikan kepada seseorang, "saya tidak akan menghalangi anda untuk maju, tetapi saya akan habisi anda di segala tahap setelah anda coba-coba maju supaya semua upaya anda itu sia-sia." Kalau cara demikian bisa efektif menimbulkan kebersamaan, saling percaya dan saling memiliki di antara kita, tolong hubungi saya, kita mungkin bisa menyusun teori ilmu sosial baru dan siapa tahu menang Nobel Perdamaian.

    Tidak mengherankan juga aksi-aksi belakangan ini sangat peduli dengan jumlah. Angka-angka berseliweran dari ratusan ribu sampai jutaan dengan segala dalilnya. Selama ini acara doa bersama dan demo-demo jarang ada penghitungan resmi, kita tahunya ramai atau tidak ramai. Tapi kali ini isunya sensitif. Sohibul Iman di pembukaan artikelnya menulis: "Ketika jutaan umat Islam berjuang membela martabat agamanya secara damai dan konstitusional karena merasa kesucian kitab sucinya dinodai oleh ucapan seorang pejabat publik, tiba-tiba ada sebagian kelompok yang justru menstigmanya sebagai sikap anti kebinekaan dan anti-NKRI." Harusnya kita bertanya, mengapa tuduhan itu sampai muncul? Mengapa ada yang mempertanyakan hubungan aksi keagamaan dengan isu kebhinekaan? Kita harus jujur dan adil sejak dalam pikiran kalau kita ingin menjawab pertanyaan ini dengan serius.

    Sebagaimana saya sampaikan di atas, isu penodaan agama ini tidak bebas konteks, ada isu yang jauh lebih besar di belakangnya. Selama para pemuka agama Islam masih tanggung-tanggung dalam menentukan batasan soal pemimpin Muslim ini, maka selama itu juga akan ada konflik karena jujur saja, bahkan dengan menggunakan standar logika yang paling rendah sekalipun, sulit sekali menyatukan konsep larangan memilih/mengangkat pemimpin non-Muslim dengan nilai-nilai nasionalisme dan pluralisme. Sedikit banyak, hal ini bisa menjelaskan mengapa aksi-aksi belakangan ini berfokus pada isu penistaan agama dan jumlah massa dan juga mengapa MUI tidak menjelaskan sedikitpun soal apa yang dimaksud dengan pemimpin dan apa batasannya ketika menyatakan Ahok sudah menista agama.

    Mungkin karena kalau ditelusuri lebih jauh sampai ke inti permasalahan, seluruh bangunan kasus penodaan agama bisa runtuh dan secara politis, isu ini tidak akan lagi seksi. Apabila kita membawa kasus ini ke sekedar penodaan agama, terlepas apa alasan dibelakang penodaan itu, saya tidak heran kalau ada banyak umat Islam yang berminat turut serta. Judulnya saja bela Qur'an dan bela Islam. Kadang keimanan memang tidak harus didukung analisis mendalam, judul itu sudah cukup untuk memanggil banyak orang untuk datang. Tapi ketika kita tekan soal ayat yang diributkan, kita akan sadar, bahwa praktek seperti ini memang sudah lama berjalan dan dibiarkan walaupun bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

    Gerakan kebhinekaan juga nampaknya tidak bisa mengartikulasikan isu ini dengan baik, mungkin takut dianggap mempertanyakan keyakinan sebagian umat Islam (saya sebut sebagian karena umat Islam pun juga sebenarnya terdiri dari beragam faksi dan keyakinan, mengklaim umat Islam sebagai hanya satu kesatuan adalah upaya yang ahistoris), sehingga akhirnya terjebak dalam nuansa yang sama, sekedar balas berbalas aksi, berharap jumlahnya akan lebih besar. Tapi debat dan perang tanding jumlah massa ini tidak substantif. Might does not make right, kalau cuma sekedar banyak-banyakan saja sudah dianggap benar, negara dan sistem demokrasi akan bubar. Salah besar kalau demokrasi dipikir hanya soal siapa yang lebih banyak. Inti dari demokrasi ada di check and balance. Pemikir demokrasi tahu bahayanya tirani mayoritas maupun tirani minoritas. Ini mengapa diperlukan sistem yang bisa menjaga jangan sampai ada tirani, sistem yang bisa membawa kita bisa menyelesaikan perselisihan dengan cara yang damai dan beradab.

    Dalam konteks Indonesia, kita perlu menyudahi unjuk kekuatan ini, kita juga tidak bisa berhenti sekedar dengan slogan kebersamaan dan saling memahami. Demokrasi tidak bisa berjalan dengan slogan, kita harus berani melihat inti permasalahan yang sebenarnya dan berani mengambil sikap dengan segala konsekuensinya. Kalau Sohibul Iman konsekuen dengan kalimatnya ini: "Tindakan yang merusak kebinekaan dan persatuan bangsa oleh siapa pun, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya, apa pun partai dan posisi jabatannya, maka harus diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law)," maka kita harus jelas mendefinisikan, yang dimaksud dengan merusak kebhinekaan itu seperti apa? Bagaimana caranya mendefinisikan kesetaraan di hadapan hukum, khususnya dengan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dan nilai-nilai kebangsaan yang sedang kita anut?

    Kalau sebagian dari kita begitu bersemangat ingin menyelesaikan perkara penodaan agama ini melalui sistem pidana, apa mereka juga siap apabila hal yang sama diterapkan kepada mereka? Atau kita masih akan berargumen bahwa apabila yang berbuat adalah kaum mayoritas, maka tidak ada masalah dan tidak merusak kebhinekaan seperti dalam kasus Rhoma? Kalau demikian, sebenarnya kita sedang bicara nilai macam apa? Saya sangat berharap agar permasalahan krusial ini tidak lagi sekedar dibahas di level kulitnya, ada banyak hal yang dipertaruhkan. Naif kalau kita melihat ini hanya sekedar perkara penodaan agama oleh pejabat publik, kita saat ini sebenarnya sedang memperdebatkan konsep kebangsaan kita sendiri, soal nilai mana yang akan lebih diutamakan.

    Saya tidak tahu apakah kita berani membuka pintu untuk perdebatan itu lagi. Tapi kalau kita setuju NKRI harga mati dan konsep final, kita juga harus menerima konsekuensinya seutuhnya, dan kemungkinan besar hanya ada 2 konsekuensi logis. Pertama, konsep menghalangi orang dipilih hanya karena agama semata tak bisa hidup dalam NKRI, atau kedua, kalaupun kita akan membiarkannya hidup karena alasan kebebasan berpendapat, maka kritik dan otokritik terhadap konsep itu juga harus dibuka sebebas-bebasnya, dan isu penodaan agama kali ini juga harus ditutup sebagai bagian dari kritik yang valid.

    Kalau kita berharap demokrasi bisa hidup cuma dengan kesantunan, kemungkinan besar kita akan kecewa. Kesantunan, sekalipun merupakan sikap yang baik, tidak menyelesaikan perbedaan, hanya menekan sementara perbedaan keyakinan yang ada di masyarakat. Kalau kita hanya mengajarkan kesantunan dan represi penyampaian ide, di satu titik, ia akan meledak, dan kita akan terlambat untuk mencegahnya karena akumulasi kekesalan yang selama ini tidak ditunjukkan ke permukaan. Demokrasi lebih butuh keterbukaan dan untuk bisa terbuka, setiap pihak harus dijamin terlebih dahulu bahwa ia bisa menyampaikan pendapatnya dengan aman dan jauh dari ancaman kekerasan dan pidana. Hanya dalam situasi demikian, dialog bisa berjalan, dan kita bisa sama-sama lebih memahami poin masing-masing pihak, sekaligus lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Setidaknya saya meyakini bahwa kondisi ini bukan suatu hal yang mustahil untuk tercapai di Indonesia, sekecil apapun probabilitasnya. Hidup Indonesia!                    

  • Perpu Bermasalah Tak Layak Dibela!


    Ketika pertama kali membahas mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") terkait Pemilihan Kepala Daerah ("Pilkada") di sini dan di sini, saya berpikir hanya Prof. Mahfud MD yang berargumen bahwa akan terjadi kekosongan hukum apabila Perpu tersebut ditolak oleh DPR. Saya sudah membahas panjang lebar dalam kedua artikel tersebut mengapa kekosongan hukum tidak mungkin terjadi (karena penolakan wajib dinyatakan dalam bentuk Undang-Undang ("UU") yang akan menyatakan akibat hukum dari penolakan Perpu tersebut) dan bahwa ada potensi permasalahan hukum yang terlewat yaitu terkait kewenangan Presiden dan DPR dalam membahas UU di atas.
  • Sekali Lagi soal Penolakan Perpu yang Mencabut Undang-Undang (Tanggapan kepada Mahfud MD)


    Minggu lalu, saya sempat mengkritik pendapat Moh. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Konstitusi, mengenai akibat hukum ditolaknya suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") yang sebelumnya mencabut keberlakuan suatu Undang-Undang ("UU"). Ternyata cukup banyak yang melontarkan kritik yang serupa sehingga akhirnya Prof. Mahfud mencoba mengelaborasi pendapatnya tersebut melalui artikel di Koran Sindo.  

    Elaborasi yang ditawarkan oleh Prof. Mahfud menurut saya tidak tepat dan justru semakin menambah kerumitan yang tidak perlu. Pertama-tama, dia berargumen bahwa UU yang dicabut oleh Perpu tidak otomatis berlaku kembali apabila Perpu ditolak oleh DPR, karena Perpu tersebut bukannya tidak sah, melainkan ditolak untuk menjadi UU. Prof. Mahfud juga menambahkan bahwa pandangan UU yang dicabut oleh Perpu akan otomatis berlaku kembali apabila Perpu ditolak ini mungkin hanya akan benar dalam bidang hukum perdata, tetapi kurang tepat apabila diberlakukan untuk hukum tata negara.

    Pertanyaannya adalah, apa perbedaan mendasar antara Perpu yang dianggap tidak sah dengan Perpu yang ditolak oleh DPR? Bukankah artinya sama saja? Apabila Perpu ditolak oleh DPR, maka secara logika hukum, Perpu tersebut menjadi tidak memiliki kekuatan hukum secara keseluruhan, termasuk ketentuan dalam Perpu tersebut yang mencabut UU yang lama. Kita memahami dalam ilmu perundang-undangan bahwa suatu UU hanya bisa dicabut oleh UU atau peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan setara dengan UU (dalam hal ini, Perpu yang syarat penerbitannya terbatas). Apabila UU yang mencabut suatu UU dinyatakan tidak berlaku, mengapa kemudian UU yang sebelumnya dicabut itu menjadi hilang begitu saja?    

    Kemudian teori hukum mana yang menyatakan bahwa konsep pembatalan ini hanya berlaku untuk hukum perdata tetapi tidak untuk hukum tata negara? Saya khawatir bahwa Prof. Mahfud sendiri yang sebenarnya sedang mencampuradukkan konsep hukum perdata dengan hukum tata negara. Apa arti suatu pembatalan atas perjanjian dalam hukum perdata? Apakah perjanjian yang dapat dibatalkan sama artinya dengan batal demi hukum? Menurut saya sama saja dampak hukumnya. Apabila suatu perjanjian "dibatalkan" maka perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, dan para pihak dikembalikan kepada status semula sepanjang memang memungkinkan secara aktual.

    Kemungkinan lainnya adalah perjanjian diakhiri (bukan dibatalkan), dalam hal ini, pengakhiran perjanjian tidak serta merta menyebabkan para pihak dikembalikan ke keadaan semula. Bisa jadi para pihak masih harus menyelesaikan beberapa kewajiban yang masih terhutang sebelum perjanjian diakhiri. Yang pasti, kewajiban para pihak yang baru akan muncul setelah perjanjian diakhiri menjadi tidak ada lagi, jadi sifatnya adalah berlaku ke depan.

    Yang saya tangkap dari Prof. Mahfud, suatu Perpu yang ditolak seakan-akan berarti bahwa Perpu tersebut diakhiri, bukan dibatalkan, sehingga akibatnya hanya akan ke depan saja, dan UU yang dicabut oleh Perpu tetap tidak berlaku sekalipun Perpu yang mencabutnya sudah tidak berlaku lagi. Entah ini memang pendapat serius atau pendapat yang dikeluarkan karena sudah terlanjur menyatakan di Twitter bahwa akan terjadi kekosongan hukum apabila Perpu ditolak.

    Prof. Mahfud juga kurang teliti karena sebenarnya solusi untuk permasalahan ini sudah diatur dengan jelas dalam Pasal 52 Ayat (5), (6), (7) dan (8) dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ("UU 12/2011"). Pasal 52 Ayat (5) UU 12/2011 menyatakan apabila Perpu tidak disetujui oleh DPR dalam rapat paripurna, maka Perpu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya Pasal 52 Ayat (6) dan (8) UU 12/2011 menyatakan bahwa karena Perpu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, maka diperlukan RUU pencabutan terhadap Perpu yang selanjutnya akan disahkan dalam rapat paripurna yang sama (saya berasumsi ini karena penyusun UU mencoba taat asas dengan teori bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya bisa dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang setara levelnya).

    Terakhir berdasarkan Pasal 52 Ayat (7) UU 12/2011, RUU di atas akan mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perpu yang dimaksud. Artinya, tidak mungkin akan ada kekosongan hukum sebagaimana dilansir oleh Prof. Mahfud. Apabila ada keragu-raguan, maka UU yang mencabut Perpu dapat mengatur bagaimana nantinya akibat hukum dari dicabutnya Perpu tersebut dan sah-sah saja tentunya apabila kemudian UU ini menyatakan bahwa UU yang sebelumnya dicabut oleh Perpu akan berlaku kembali. Teori hukum mana yang menyatakan hal ini tidak dimungkinkan? 

    Bahkan seandainya pun ternyata DPR diam saja dan UU yang mencabut Perpu tersebut hanya menyatakan bahwa Perpu tidak lagi berlaku secara hukum, maka tidak akan ada kekosongan hukum karena dengan dicabutnya Perpu, dasar hukum pencabutan dari UU oleh Perpu tersebut juga menjadi tidak ada (ingat, Perpu dinyatakan tidak berlaku, dan tidak berlaku artinya tidak memiliki kekuatan hukum), dan dengan demikian, UU yang dicabut oleh Perpu akan berlaku kembali secara otomatis. Hal ini tidak membutuhkan putusan pengadilan. Pendapat Prof. Mahfud bahwa kasus uji materil atas UU Ketenagalistrikan tidak dapat digunakan untuk menjawab permasalahan penolakan Perpu ini juga menurut saya tidak ada dasarnya. Secara analogis, isunya sangat mirip dan prinsip hukumnya sama.

    Kalau kita mau serius, sebenarnya ada isu yang seharusnya jauh lebih genting bagi para ahli hukum tata negara kita yang sangat cemerlang dan cendekia, yaitu mengenai penafsiran atas Pasal 71 Ayat (3) dari UU 12/2011. Pasal ini mengatur bahwa RUU yang mencabut keberlakuan Perpu harus disetujui secara bersamaan dalam rapat paripurna DPR yang menyatakan bahwa Perpu tidak disetujui oleh DPR. Isunya adalah, kalimat dalam Pasal tersebut tidak menjelaskan apakah RUU tersebut hanya perlu disetujui oleh anggota DPR atau harus disetujui secara bersama oleh DPR dan Presiden (karena Presiden seharusnya juga hadir dalam rapat tersebut dan juga berhak mengajukan RUU pencabutan Perpu).

    Untuk pembahasan UU biasa, rapat paripurna pada prinsipnya dihadiri oleh wakil Pemerintah dan DPR dan UU tersebut perlu disetujui bersama oleh mereka. Pasal 71 Ayat (2) menyatakan bahwa pembahasan RUU yang mencabut Perpu dilakukan secara berbeda dengan proses RUU biasa, tetapi sebagaimana saya sampaikan di atas, tidak jelas persetujuan siapa yang dibutuhkan.

    Secara teoretis, dari sudut pandang mekanisme check and balance, seharusnya persetujuan Presiden tidak dibutuhkan bagi RUU yang akan mencabut Perpu. Mengapa demikian? Karena apabila persetujuan Presiden dibutuhkan maka Presiden akan memiliki kekuatan tak terbatas untuk menciptakan peraturan setingkat UU semaunya sendiri. Presiden akan memiliki kewenangan untuk menyusun Perpu setiap saat dan apabila DPR tidak menyetujui hal tersebut, maka Presiden hanya tinggal menolak RUU atas pencabutan Perpu sehingga Perpu akan terus berlaku (mengingat UU 12/2011 mensyaratkan bahwa Perpu hanya bisa dicabut oleh UU).

    Mungkin akan ada yang berargumen bahwa persetujuan Presiden tetap dibutuhkan atas RUU yang mencabut Perpu karena dengan demikian, DPR bisa menentukan sendiri isi dari RUU yang akan mencabut Perpu dan nanti justru DPR yang akan dapat bertindak seenaknya. Pendapat ini menurut saya berlebihan. DPR mengambil keputusan secara kolektif dan melibatkan banyak pihak. Hal itu saja sebenarnya sudah menciptakan semacam mekanisme check and balance secara internal dalam tubuh DPR sehingga seharusnya tidak mudah bagi DPR untuk bisa bertindak semaunya (saya tidak percaya suatu koalisi multi partai dapat berjalan dengan solid secara terus menerus). Bandingkan dengan Presiden, satu orang yang memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan laju pemerintahan (bahwa kalau kemudian Presidennya sendiri memutuskan untuk tidak mengambil sikap dalam banyak hal, itu bukan salah sistemnya, itu salah Presidennya sendiri).

    Selain itu, karena Perpu awalnya disusun dan disahkan oleh Presiden sendiri, tentunya tidak masuk akal apabila kemudian Presiden juga berhak menelaah isi aturan yang mencabut Perpu yang dibuatnya. Apabila keputusan penolakan serta penyusunan isi RUU pencabutan Perpu ditentukan sepenuhnya oleh DPR, maka Presiden akan memiliki tambahan insentif untuk lebih berhati-hati dalam menerbitkan Perpu sehingga tidak membuka kesempatan kepada DPR untuk memasukkan RUU yang mereka rancang dan setujui sendiri sebagai pengganti dari Perpu yang dimaksud.

    Ini isu yang menurut saya lebih riil dan krusial bagi sistem pemerintahan kita daripada isu soal kemungkinan terjadinya kekosongan hukum yang mustahil, saya ulangi sekali lagi, mustahil terjadi apabila Perpu yang mencabut UU ditolak oleh DPR. Sebagai ahli hukum, kita harus jujur. Kita menjual kemampuan kita, bukan menjual keyakinan kita (selling our skills, not our faith). Kita bisa menggunakan peluang dan celah yang ada, tetapi semua itu ada batasnya, karena ini hukum, bukan sulap atau sihir.

  • Akibat Hukum dari Ditolaknya Perpu yang Mencabut Undang-Undang


    Jangan tertipu dengan judul artikel ini yang terlihat rumit. Isunya sebenarnya sangat sederhana. Apabila suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") yang mencabut keberlakuan suatu Undang-Undang ("UU") ternyata ditolak oleh DPR, maka otomatis Perpu itu menjadi batal demi hukum dan UU yang dicabut oleh Perpu akan kembali berlaku. Mengapa demikian? Karena aturan yang mencabutnya lenyap dan dianggap tidak pernah ada, dengan sendirinya UU yang bersangkutan pun juga dianggap tidak pernah dicabut. Ini logika hukum mendasar yang wajib dipahami semua sarjana hukum semester pertama di Indonesia.

    Makanya saya luar biasa terkejut ketika kemarin membaca pendapat dari Mahfud MD di Twitter yang menyatakan bahwa dalam kasus UU Pilkada, apabila Perpu Pencabutan UU Pilkada ditolak oleh DPR, maka akan terjadi kekosongan hukum karena Perpu dan UU Pilkada sama-sama tidak berlaku lagi. Lebih lucu lagi, Mahfud MD menyatakan bahwa para ahli hukum tata negara juga belum dapat memberikan solusi atas isu kekosongan hukum tersebut dan bahwa ini merupakan kasus pertama di Indonesia. Berlebihan kalau pertanyaan semudah ini tidak bisa dijawab oleh para ahli hukum tata negara. Kalau mereka tidak mampu menjawabnya, seharusnya mereka bahkan tidak lulus jadi sarjana hukum.

    Yang lebih ironis lagi, Mahkamah Konstitusi ("MK") sendiri sebenarnya sudah pernah menjawab isu hukum sederhana di atas dengan tegas melalui Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 tanggal 1 Desember 2004 tentang Uji Materil terhadap UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan ("UU No. 20/2002"). Putusan tersebut membatalkan secara keseluruhan isi dari UU No. 20/2002 karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi.

    Apakah kemudian tiba-tiba terjadi kekosongan hukum di bidang ketenagalistrikan karena UU No. 20/2002 dicabut? Sama sekali tidak. Dalam pertimbangan hukumnya (lihat halaman 350 dari putusan), MK menyatakan: "guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."

    Dengan membaca pertimbangan putusan di atas, permasalahan hukum ini menjadi sejelas matahari terik di siang hari tak berawan. Jangan membuat orang awam bingung. Kekosongan hukum hanya mungkin timbul apabila peraturan perundang-undangan yang dicabut ternyata mengandung suatu norma hukum yang sebelumnya belum pernah diatur. Lebih jauh lagi, kekosongan hukum juga tidak selalu berarti buruk, tidak semua hal di dunia ini perlu diatur oleh hukum! Artikel dari Tim Harford ini bisa menjadi contoh bagus mengapa tidak semua hal perlu diatur oleh hukum.

    Yang pasti, Perpu yang dikeluarkan oleh SBY bukan langkah yang akan menghentikan keberlakuan UU Pilkada secara efektif. DPR cukup menyatakan tidak setuju terhadap Perpu tersebut dan UU Pilkada akan kembali berlaku secara otomatis (tidak perlu DPR dan Pemerintah kemudian sibuk menyusun UU Pilkada baru).

    Secara terpisah, saya juga mengkritik keras dikeluarkannya Perpu Pilkada. Ini contoh yang sangat buruk bagi hukum tata negara kita, khususnya karena besar kemungkinan penerbitan Perpu Pilkada tidak memenuhi persyaratan utama dari penerbitan suatu Perpu, yaitu kegentingan yang memaksa (apanya yang genting dan memaksa saat ini?). Selain itu, sudah ada mekanisme hukum lainnya yang bisa digunakan untuk melawan UU Pilkada bagi mereka yang tidak setuju dengan isinya, yaitu melakukan uji formil dan materil ke MK. Kalau memang niatnya benar dari awal, kenapa tidak fokus saja menjalani aturan yang sudah cukup jelas ini?
  • Catatan Singkat Atas Gugatan Prabowo ke MK


    Tadinya saya sempat berpikir bahwa saya sudah tidak perlu menulis lagi soal pemilihan presiden 2014 karena pemenangnya sudah jelas, dan kita bisa berlanjut ke tahapan berikutnya: mengkritisi pemerintahan Jokowi-JK. Tapi seperti sudah diduga sebelumnya, Prabowo memutuskan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tidak heran, toh memang hal tersebut merupakan hak konstitusinya.

    Saya 100% mendukung pengajuan gugatan Prabowo ke Mahkamah Konstitusi. Kita perlu menyudahi pilpres 2014 dengan setuntas-tuntasnya, dan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan berkekuatan hukum tetap akan menuntaskan hal tersebut dengan cantik.

    Melihat kualitas gugatan tim Prabowo sebagaimana terlampir di sini, sebagai ahli hukum, saya sejujurnya tidak khawatir hasilnya akan menyebabkan perubahan signifikan terhadap kemenangan Jokowi. Bagaimana tidak? Yang paling gampang saja, tim Prabowo sendiri mengakui bahwa total penggelembungan suara Jokowi ditambah suara Prabowo yang hilang hanya 2,7 juta suara (lihat halaman 8 butir 4.8). Dengan selisih suara saat ini senilai 8 juta lebih, saya tidak paham buat apa memasukkan pernyataan ambigu tersebut dalam gugatan karena itu sama saja dengan mengatakan bahwa kalau sekalipun tuduhan Prabowo di atas benar dan jumlah perolehan suara harus diperbaiki, kemenangan Jokowi tidak akan berubah.

    Saya tidak tahu apakah bukti-bukti tim Prabowo juga diunggah ke situs Mahkamah Konstitusi, karena kalau melihat klaimnya yang bombastis, mereka akan membutuhkan dukungan bukti yang sangat banyak. Menariknya, dari klaim sebelumnya bahwa terdapat jutaan bukti yang dimuat dalam 10 truk, lalu turun menjadi 15 mobil lapis baja, akhirnya berakhir hanya menjadi 3 bundel dokumen. Entah ini dagelan atau bukan, tapi ini bagus buat saya, karena gugatan tanpa bukti apapun sama dengan omong kosong. Semua sarjana hukum seharusnya paham konsep mendasar ini. Kalau tidak, mungkin kelulusannya dulu perlu dipertanyakan.

    Saya juga bosan mendengar teori-teori konspirasi dan klaim-klaim bodoh macam ada jutaan pemilih fiktif dari Cina daratan, ada hasil rekap TNI/Polri yang memenangkan Prabowo namun tidak diungkap ke publik, lalu kemudian ada 37 hacker dari Cina dan Korea yang menyabotase situs KPU. Mau sampai kapan gosip-gosip tak bermutu seperti ini akan dipertahankan? Dan secara beberapa dari klaim-klaim di atas disampaikan oleh salah satu tim pemenangan Prabowo, saya terkejut kenapa para pengacara Prabowo tidak sekalian memasukkan info-info menarik ini ke dalam gugatannya? Kenapa ya? Oh, mungkin karena semua itu memang cuma OMONG KOSONG dan pengacara Prabowo tidak sebodoh itu juga untuk memasukkan teori konspirasi dalam gugatan resmi!

    Saya tahu bahwa bagi sebagian pendukung Prabowo yang masih delusional, setelah nanti kalah di MK pun mereka akan tetap delusional. Sekarang mereka bilang MK akan membuat Jokowi bertekuk lutut. Nanti setelah kalah di MK, mereka pasti akan bilang MK curang atau bahwa akan ada permainan lainnya. Kenapa saya bisa menebak demikian? Karena orang-orang ini juga yang bilang bahwa Jokowi akan bertekuk lutut di KPU ketika hasil Quick Count pertama kali keluar. Polanya sama persis. Tapi MK adalah jalan final secara hukum, setelah itu, semua klaim-klaim delusional adalah sia-sia belaka dan akan murni jadi lawakan bagi kita semua. Saya cuma berharap orang-orang delusional ini bisa legowo suatu hari nanti. Kasihan juga kalau sampai mati pun mereka masih penasaran karena masih percaya Prabowo seharusnya menang dalam Pilpres 2014.

    Coba lah dipikir baik-baik. Sedari awal, hasil Quick Count dari lembaga-lembaga yang memiliki reputasi baik sudah menunjukkan bahwa Jokowi menang. Ketika kemudian muncul Quick Count tandingan dari lembaga yang tak bermutu (jangan lupa janji Puspkaptis untuk membubarkan diri kalau hasil Quick Count mereka salah dari hasil Real Count KPU), yang mengindikasikan bahwa tim Prabowo bisa jadi akan mencoba untuk main curang, tim Jokowi lebih sigap untuk mengawal, memeriksa, dan mengolah data yang dibuka oleh KPU kepada publik. Hasilnya? Jokowi diindikasikan menang.

    Kemudian tanggal 22 Juli 2014 pun, KPU menetapkan secara resmi bahwa Jokowi menang dalam Pilpres 2014, hasilnya konsisten dengan Quick Count dan hasil hitung yang dilakukan oleh tim dan relawan Jokowi. Yang menjaga proses Pilpres kali ini segambreng. Tapi apa yang dilakukan oleh tim Prabowo? Jumawa dan sibuk menebar teori konspirasi. Mungkin karena sedari awal, cuma itu keahlian mereka. Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Dan karena memang gugatan ini hitungannya dagelan, kita tidak perlu berpanjang-panjang memberikan analisis. Selamat liburan semuanya!
  • Legal Analysis Tool Kit Series: Baselines or Where Should We Start?


    Welcome to the second episode of Legal Analysis Tool Kit Series! Our today's discussion will focus on the concept of Baseline or to put it in a simple way: where should we start before we can impose a law or policy? The concept of Baseline is an interesting one because it deals with the fundamental issue of the original position of certain rights or obligations. Let me give you an example:

    In Indonesia, we have regulations on minimum wage for workers. Suppose that someone goes to the Constitutional Court and demand that such law should be annulled on the basis that it contravenes his constitutional rights of freedom to work (Article 28 D (2) of the Constitution). The basis of the claim? A company rejects him from a working position because it isn't able to pay him the minimum wage and therefore the company refuses to accept him. This is a hypothetical case since I haven't  done or read any research on the actual relationship of minimum wages and the companies' willingness to recruit new workers. For the sake of this post, let us assume that: (i) there is a big fine for companies who do not follow the minimum wage law, (ii) we are dealing with small and medium enterprises where salary of their workers is a major factor, (iii) the administrative costs for getting an exemption for the minimum wage is too high and taking a long time, and (iv) they tend to reduce their recruitment activities rather than paying new workers with the stipulated minimum wage.

    Question 1: Can we say that this minimum wage law contravenes the constitutional right of the unfortunate potential worker?

    Question 2: To what extent can the Government actively limits the rights of freedom of contract of its people? Should the Government leave them alone and deal with this issue by themselves, i.e employers are free to pay their workers provided that the parties mutually agree such arrangement?

    Question 3: What would be the position of the Government in this case? If the policy brings problem to certain members of the society but also good things to other members of the society (such as the current worker which will enjoy the minimum wage), should the Government revise such policy? On what basis? Can it say that since more people enjoy the benefit of the policy then the policy should be maintained? Is it fair for the unfortunate ones?

    The basic problem of all of the questions above is the issue of Baseline, i.e what's the original position of the Government with respect to its citizen rights to obtain work? Should the Government interfere in the first place or not? Dealing with Baseline is difficult since here we are trying to determine the original position of something to which our next actions will be greatly influenced.

    Anyway, let us try to answer the above questions:

    1. Minimum Wage and Constitutional Rights

    Some people will argue that in general, employers' position are stronger than the workers. Thus, the Government should intervene and provide protection to the weaker party. This should be the intention of the Constitution, fairness and equality for all. But will that argument work for our case? A man losing his job opportunity because the company does not want to pay its additional worker with the current minimum salary. Doesn't this fact contradict the original intention of the Constitution to protect the weaker party (if such intention exists)?

    However, with this kind of fact, do you think that we have enough basis to say that the constitutional right of the worker has been jeopardized by the existence of such minimum wage policy? Does the fact that he is actually willing to receive lower wages in order to secure a job but the current law does not permit that and therefore he loses his opportunity to get that job can be considered as a violation to his constitutional rights? In this case we need to go to the second question.
       
    2. The Limits of Government's Intervention

    To what extent can the government limits private mutual arrangements between the parties? I would say that we are now dealing with a Baseline, i.e. should Government leave us alone in our private arrangements? Or should Government intervene whenever there is a possibility that a weaker party can face unfair treatment?

    To answer the above question, I will tell you another case: A man is really in need for money to pay the medical bills for his wife and to get the money he is willing to enter into a contract which he would never enter into if he is not in dire need. Currently, he doesn't have many choices. He has asked for loans from his friends and family members and no one can provide him with the amount. At last, he found a loan shark that is able and willing to provide the loan. The loan shark believes that this man capacity to pay is rather weak and he is out of option, so he imposes an extremely high rate of interest. The man agrees with the condition, and so he receives the money to pay the medical bills.  

    If we believe that our basic rule is to always protect the weaker party, should the Government impose a law prohibiting any person to take advantages from this situation or to impose certain conditions that seem unfair in the loan agreement, whereas, as a result of which, the loan must be renegotiated to reduce the interest rate and to give better payment options for the man? Do you agree with this approach?

    Now, let us change the case a little bit. The above troubled man has a very beautiful house. He also tries to sell his house to raise some funds, but since the market is busted, no one is willing to take the offer. Suddenly, a person comes and knowing that the man is in dire needs, he offers to buy the house for just 10% of the original price. The actual economic effect of accepting this offer would be similar with receiving the highly interest loan from the loan shark. Eventually, the man chooses this option and sell his house with such terrible price. Question, should the Government forces them to renegotiate the price of the house to find a better and fair price under the rule that we must protect the weaker party? Would you support the Government's act to force these consenting parties to renegotiate the house transaction?

    Intriguing isn't it? I would like to know whether your opinion would differ for these 2 cases. To be consistent, the answers for these cases should be the same. Why? Because the economic effects are just the same and both deals are made within an unfair condition, i.e. the man doesn't have many options, is willing to enter into bizarre contracts, the necessity for paying the medical bills is high and he doesn't have much time. But I bet that most of you will say yes for the first case and no for the second case. I would happy to hear other opinion in this matter.

    Anyway, the thing that I want to show you here is the fact that it is really difficult to determine the Baseline for    Government intervention. Deciding the case on a case by case basis would most likely costly, and avoiding such cost is one of the reasons for stipulating a general law that could be applicable for any cases. And speaking of that, it's the right time for us to move on to Question 3.

    3. The Government Option

    For the last question, we understand from the above case that some people will receive benefits from the minimum wage policy (current workers) and some won't (potential workers). If we say that the protection for weaker party is necessary for the sake of fairness and equality, how could we justify the fact that this policy may also hurt the parties that we're supposed to protect?

    More interestingly, if in the end the Government chooses to maintain the policy on the basis that more people are being protected, do you think we can still justify this act under the name of equality and fairness? To be honest, this would be another form of implementing cost and benefit analysis in designing public policy, i.e.: if the overall costs are higher than the overall benefits, the Government should not pursue such policy. Some philosophers attack this approach as something that against the concepts of fairness and equality. If we calculate that the costs of protecting minorities are higher than the benefits, why bother making policies that protect them?

    I would stop at this point as my main purpose with this article is to conduct a training of thought. In public policy and law designing, there are no easy answers and determining the Baseline would always be something that we have to analyze carefully. Hope this is useful.

  • The Illusion of the Islamic State


    I would like to tribute this article to the commemoration of Indonesia's 65th Independence Day. We've seen so many people who try to establish an Islamic state (including in Indonesia) and claim that this state shall be eternally blessed by God and will solve all humankind problems. Not only that this is a false hope, it is also a big blunder. The main question is: does Islam actually recognize a specific legal form of Islamic state? My quick answer would be no. 
     
    Islamic Political Leadership Succession: Lessons from the 4 Great Caliphs

    Before we discuss the evolution of Islamic state throughout the history, let us first see how political leadership was formed and passed during the early era of Islam. When the Prophet Muhammad SAW was still alive, he had two authority within his hands, i.e. religion and politic. However, neither the Koran nor the Prophet ever stipulate any specific form of state to begin with. In any case, it was an informal form of leadership.

    When the Prophet died, a huge debate occurred between his devoted followers ("Sahabat") on who will replace the Prophet's position as the leader of the people of Makkah and Madinah. If there is actually a clear concept of leadership and state in Islam, surely such debate would never happen, but as further recorded in various history books, the debate was so fierce that the Prophet's burial process was delayed for around 3 days. Without a doubt, this was the first political crisis in the moslem history. Many issues were discussed in that debate as people were trying to find the most suitable candidate, including ethnicity, seniority, and also capability of the candidates. You may wish to consider the fact that at that time, tribal issues were quite dominant, and there was a huge risk that our young Islamic community would be shattered due to this leadership succession. Miraculously, the community survived its first political trial.

    When the debate was finally over, the Sahabats who attended the meeting agreed that the first person who converted into Islam, Abu Bakar, should become their first leader, the first caliph of the Islamic society. They also agreed that only political leadership which shall be passed to Abu Bakar, while religious leadership was deemed over with the death of the Prophet. After all, no one would be able to receive directly the wisdom of God other than the Prophet. Abu Bakar led the Islamic community for about 2.5 years. After he died, Umar bin Khatab became the next caliph through a direct appointment from Abu Bakar. Some prominent moslem historians claim that Abu Bakar has discussed Umar's appointment with other respectable Sahabats, and all of them agreed with his appointment. Nevertheless, it was Abu Bakar who directly appointed Umar as his successor. So by now, we could see 2 types of leadership succession. Later on, Ustman bin Affan became the successor of Umar. How did it go?

    Umar appointed 6 members from the Sahabats (the "Council") with the task to elect the next caliph from the Council's own members. Again, another form of leadership succession. In my opinion, Umar was a great leader and he clearly understood that without any clear guidance, Abu Bakar's decision to directly appoint him would be considered as a binding precedent by the Islamic community if he also did the same in appointing his successor. Since he actually opposed the direct appointment mechanism, he decided to create a new mechanism for leadership succession. Then came Ali bin Abu Thalib as the 4th caliph.

    After the death of Ustman due to a coup, Ali was elected as the new caliph through a direct election by the whole people of Madinah, and therefore became the first and also the last caliph who was appointed through a public election. The elections of Ali is a strong evidence that the early Islamic community practiced democracy, though maybe not as complex as today. Despite the inconsistencies in leadership succession mechanism, there is a general rule that we can learn from the above story. All of the 4 caliphs were considered as capable and respected leaders, and none of them were appointed because of family relationship with the previous ones. For such a young community with deep tribal issues, this was a great achievement indeed.

    Unfortunately, this great system ended when Muawiyah bin Abu Sufyan gained the title of caliph. I'll reserve the story on how he got that title for another post (maybe when we discuss the Shia political movement), though I can say it here that it is a controversial one, and many historians are still disputing whether Muawiyah had valid grounds to obtain that title from Ali bin Abu Thalib. How did Muawiyah end the caliphate system of leadership succession? He appointed his own son, Yazid, as his successor, and by such act, he turned the caliphate into an ordinary kingdom. Yes, the Islamic people are still calling their leaders as caliphs, but they are not different from kings who gained their title simply because of family relationship.

    The Evolution of Islamic State: Experience or Religious Doctrine?


    Based on the above story, we can safely conclude that in terms of political leadership succession, the early Islamic community did not have a single established system. Furthermore, the mechanics existing at that time were not simply derived from Godly sources, rather they were created from trials and errors, the experiences of the caliphs and the moslem community as a whole. This is how the concept of Islamic state evolves within more than 1,400 years, experiences rule.

    Under Abu Bakar's leadership, the Islamic community was still very small, and Abu Bakar spent most of his time fighting insurgents, mostly lead by fake prophets who tried to gain control over the moslem community. Thus, you won't find complex state organs under his era as his government mostly resembled tribal leadership. The only thing that may be considered as an evidence of modern state is the existence of baitul-mal, or the state's treasury, though at that time it mostly dealt with war's booty. Nevertheless, it is still a unique concept, as the war's booty is considered as people's assets and managed by the "state" through the baitul-mal It was actually under Umar bin Khatab leadership when Islamic community started to grow into a more formal state. During Umar's period, the Islamic community expanded their power aggressively and they succeeded in controlling many new areas. As more and more areas fell under the control of the moslem community, Umar realized that he was no longer able to directly supervise those areas. As a direct consequence, there is a necessity to appoint representatives of the caliph to lead and supervise those new areas, and suddenly, we have governors position.

    Soon enough, official judges position were also available as the new community need professional lawyers to settle their disputes and uphold the law. In short, Umar fully understood his role as a caliph, administering the government, managing the needs of the people, and establishing a good foundation for a powerful state. He also believed that the caliph position is a political and administrative position. In other words, there's nothing holy about it.

    Sadly, as the caliphate turned into a kingdom, the nature of the caliph's position was also changed. In order to secure the caliphs' power, new doctrines were formulated, they were seen as the representatives of God, their authorities over the people were granted by God. Some prominent scholars rejected this notion, and claimed that this is not the ideal form of Islamic leadership. I share the same view, but then again, it is a logic decision from the caliphs. When you are no longer elected by the people, you absolutely need a good doctrine to support your power, and what would be better than using God's name? These caliphs were not stupid, some of them were also good lawyers and soon they established caliphate's official scholars with the task to formalize the doctrine, changing the status of the caliphate from a mere administrative body of government into a holy state. It should be noted that in those eras, many scholars did not want to cooperate with the caliphs. Those who were willing to cooperate with the caliphate will not be respected as they will be considered as people who sold their soul to the devil.

    The Illusion and Its Grave Consequences


    For the sake of fairness, I won't say that the concept of Islamic kingdom is entirely bad, in fact the caliphate had their good moments in the history of mankind. But the damage has been done, this whole business creates an illusion to the Moslem community that the Islamic state, the caliphate, is a product of God, part of the religion, instead of a product derived from political experiences. There are some grave consequences when the caliphate is deemed as a part of religious doctrine, and we can easily spot one, i.e. the fact that most people who wish to establish an Islamic state focus most of their time in defining the characteristics of the Islamic state instead of how the state can be useful for its people.

    In Umar's era, he did not bother the formal structure of the state, what bothered him the most was his people's prosperity. Another major problem is that this illusion also creates a false hope to many people. From historical perspective, the existence of the Islamic state does not automatically solve all problems. The history is very clear on this subject and it would be a huge lie if Abu Bakar, Umar, Ustman and Ali did not face critical and complex problems during their respective leadership. In some cases, they were successful, in other cases, they faced failures. However, some people buy the lies and completely believe that the establishment of the caliphate will solve all problems. I can only hope that this people could face the cruel reality someday.

    Conclusion


    We have reached an understanding that the concept of Islamic state is mostly derived from experience not religious doctrine. As a consequence, there is no use for discussing the formal structure of the Islamic state. Don't waste our time preaching the greatness of the Islamic state and the promise that it will bring, instead, we should really focus on how we can manage the state to provide better service to the people, and I am certain that this is relevant for the current Indonesia. Hope it's useful :) Happy Independence Day my beloved Indonesia!
  • The Indonesian Cigarettes Chronicles: A Quick Review on the Latest Constitutional Court's Decision


    Today, the Constitutional Court issues its decision on the Judicial Review of Article 46 Paragraph 3 (c) of Law No. 32/2002 on Broadcasting ("Broadcasting Law") which basically deals on the constitutionality of the provision of a Law that allow cigarettes advertisement in broadcasting media. You can see the complete 306 pages decision here. The constitutional claim was made by among others the National Committee of Child Protection and the Child Protection Agency of West Java.

    From my quick reading of the decision, I can conclude that the main target of this claim is to banish all type of cigarettes advertisement in Indonesian broadcasting media by claiming that the above provision of the Broadcasting Law is contravening with Article 28B paragraph (2) (the right of each child to live, grow, and develop, and to earn protection from violence and discrimination), Article 28A (the right of each person to live and maintain its life), Article 28C paragraph (1) (the right of each person to develop himself through satisfaction of basic needs) and Article 28F (the right of each person to communicate and obtain information to develop himself and his society) of the 1945 Constitution.

    In its decision (by 5 to 4 vote, which means that it is a very close decision), the Constitutional Court rejects such claim entirely based on the following reasons: (i) cigarettes industry is still a legal and valid industry in Indonesia and therefore has the same right with other industries to promote and make advertisement on its business activities; (ii) there is already a strict regulation on cigarettes advertisement in Indonesia and therefore, if there is a violation to such regulation, such violation must be handled through the mechanism stated by the relevant regulation, i.e. it is not an issue on the constitutionality of the disputed provision, rather an issue on the implementation of a regulation; (iii) it is not clearly evidenced that there is a causality between cigarettes advertisement and the inability of a person to develop himself and his life; and (iv) even if cigarettes advertisement in broadcasting media is deemed unconstitutional and therefore must be banned, it won't affect the ability of the cigarettes company to use other media and mechanism to promote cigarettes and therefore it would not be effective to deemed such provision as unconstitutional and it wouldn't be fair to the cigarettes industry, i.e. why are they being prohibited to advertise in the broadcasting media only?

    How about the dissenting opinion? It's quite simple, they discuss the danger of cigarettes and their bad effect to the youth and also the fact that while the advertisement of any other addictive substance is prohibited in the broadcasting media, the advertisement of cigarettes (which could definitely be considered as an addictive substance) is not prohibited as long as the advertisement does not involve any visualization of cigarettes. Therefore, in their opinion, advertisement of the cigarettes in the broadcasting media should be deemed unconstitutional and should be prohibited.

    I tend to support the Constitutional Court official decision. However, before I discuss my reasons to support the decision, let me tell you that I'm not a fan of cigarettes, in fact, I hate them. I can't breath normally when cigarettes are all around, they cause bad odors and will definitely ruin your health. I guess everyone knows that, after all each cigarettes advertisement contains a warning on the danger of smoking and its negative effect to human's health.

    So why do I support the Constitutional Court decision? Simply because from legal point of view their analysis is correct. If the Government declares that an industry is legal to be established and operated in Indonesia, why prohibit such Industry to develop its business here, including making advertisements through various broadcasting medias? Such advertisement prohibition would be nonsense and it would be better if from the first place the Government banned the entire cigarettes industry in entirety. Further, it is also correct that rather than arguing the constitutionality of the advertisement of cigarettes in broadcasting media, it would be better to focus on enforcing the regulation on cigarettes advertising. You know, there are already many regulations in Indonesia which deal with the danger of cigarettes and the proper advertising mechanism for cigarettes. Why don't we improve these regulations instead?

    Though I would love to see the banning of cigarettes in Indonesia, we need to look at a bigger picture here, as long as the benefit of having cigarettes industry in Indonesia is higher than the costs of having such industry, there would never be an end to the Indonesian cigarettes industry. The case becomes more difficult since the benefit of having the industry is easier to calculate, i.e. the amount of Government income from cigarettes duty and levies, the huge income of most of the cigarettes companies, and the amount of worker which are involved in this industry, compared to the costs of having such industry, i.e. bad development for the youth and public health which is very hard to calculate.

    If we really want to prevent people from smoking in Indonesia, I would suggest that rather than prohibiting the development of the business which may also negatively affect the whole economy, we should build an industry which can provide the substitution of cigarettes in a more efficient way and can be easily accessed by all people, such as chewing gum or therapic medicines. If the Government really cares with the quality of life of its citizens, it can encourage the development of this cigarettes substitution industry by providing some incentives such as tax cut, subsidy, easier licensing, etc. Of course continuing education for the people on the danger of smoking would be always needed.

    We can also use one of the most famous legal principle, i.e. people must be responsible for the externalities of their acts, or in a less complicated way, if you cause loss to other people, you need to be responsible to such loss and pay the damages. To certain extent, this has been reflected in our current regulation on cigarettes, i.e. this industry pays a huge amount of money to the Government in the form of tax and duties in order to run their business. Further discussion can be made on what kind of policy that need to be established in order to implement this principle.

    In the end, our goal here is to replace the cigarettes industry through several stages in order to ensure that the transition would be smooth and would not adversely affect our economy. Remember, there are many stakeholders in this industry, and there is no easy answer when dealing with cigarettes industry. Let us hope that we can find a better solution in the future.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.