Posts

Featured Post

Kritik yang Membangun dan Intrik-Intriknya

Image
Jadi hari ini ceritanya ada artikel soal komentar Bapak Presiden bahwa masyarakat harus aktif sampaikan kritik dan masukan ketika berpidato menyambut peluncuran Laporan Tahunan Ombusdman RI tahun 2020. Pesannya sebenarnya bagus tapi dengan sejarah banyaknya laporan ajaib soal kritik yang kemudian berubah menjadi kasus penghinaan atau pencemaran nama baik entah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, mau tak mau timbul pertanyaan, pesan Presiden di atas itu serius atau tidak? Kritik atas kelenturan pasal-pasal pidana terkait penghinaan/pencemaran nama baik bukan barang baru. Di tahun 2015 misalnya, Menteri Komunikasi dan Informatika periode itu menolak revisi atas Pasal 27 UU ITE yang sudah sering memakan korban (dan masih terus demikian sampai dengan tahun 2021 dan entah sampai kapan). Saya juga sudah berkali-kali menulis soal ini dan bisa dibaca di sini (soal kepatutan untuk memidanakan kasus penghinaan), di sini (soal is

Kesetaraan Gender dan Industri Hukum

Image
Pengumuman pengangkatan 2 Senior Partner baru di UMBRA , Melati Siregar dan Poppy Cut Rahmasuci , merupakan momen yang tepat untuk mengangkat kembali tema kesetaraan gender, khususnya dalam industri hukum. Bagi pembaca blog ini dan khususnya yang sudah kenal saya lumayan lama, harusnya tahu posisi saya soal kesetaraan gender: saya menolak segala bentuk pengaturan soal pembagian peran pria dan wanita selain dari apa yang masing-masing mereka kehendaki sendiri secara sadar dan berdasarkan pengetahuan yang cukup. Artikel lama saya soal ini bisa dibaca misalnya di: Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup serta Absurdnya Ide Pengurangan Jam Kerja Wanita .  Posisi saya di atas belum berubah sama sekali, dan karena kebetulan sekarang saya sudah memiliki institusi sendiri, saya bisa lebih bebas mengimplementasikan visi misi tersebut. Sejak dahulu kala, industri hukum memang tidak terkenal sebagai industri yang ramah bagi perempuan. Menariknya, jika diperbandingkan, Indonesia mung

Happy New Year 2021!

Image
I officially closed 2020 with UMBRA’s M&A and Restructuring PG Annual Dinner on 19 December. Thanks to the superb dinner set from @august_jkt (which is simply the best private dining organizer in Indonesia for me to date), we had a very enjoyable evening.  Given the hassle of running any gathering (testing every participants, setting the open air place, enforcing the safety protocol, you name it), it was the only event that I could have with my kids in 2020 since the start of our WFH in mid March 2020. Indeed, it was also the first time for me to physically see some of my new recruits during the pandemic. So I am glad that despite the herculean efforts, it could still be done 🥵🥵🥵. I have to admit that running the whole firm from home is a new experience, it’s unprecedented for a law firm even in all of my personal collection of general and law firm management books (what, you think you can manage a big business only by intuition without learning the materials? I take my job ser

Do Judges Play by the Rules? - A Reply to ''Playing by The Rules''

Image
Jurisprudence and legal interpretation are two themes that are dear to me. As such, I was quite ecstatic  when I received a copy of a book chapter titled: "Playing by the rules: the search for legal grounds in homosexuality cases - Indonesia, Lebanon, Egypt, Senegal" from Sam Ardi last week, especially because the front page mentions the terms "positivist" and "realism" in law and the chapter itself seems to discuss the role of interpretation in dealing with concrete legal problems. While the paper is indeed interesting and informative for a descriptive work on how different jurisdictions interpret their laws on homosexuality cases, I find that the core analysis lacks a coherent theme from jurisprudential and social science perspectives and this will be the focus of my comments today.

Hukum dan Imajinasi - Sebuah Surat Cinta Bagi Ilmu Hukum

Image
Di penghujung artikel saya minggu lalu mengenai kemungkinan sesuatu mengada dari ketiadaan, saya menyampaikan bahwa salah satu alasan penting untuk menunjukkan bahwa keberadaan Causa Prima atau Tuhan bukan merupakan suatu keniscayaan secara logika maupun ilmiah adalah supaya orang memahami bahwa hal tersebut merupakan perkara iman dan keyakinan pribadi yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Dalam artikel hari ini, saya ingin menyampaikan satu alasan lainnya yang tak kalah penting terkait pemahaman di atas, yaitu pentingnya berimajinasi. 

Apakah Mungkin Sesuatu Mengada dari Ketiadaan?

Image
  Gara-gara menemukan twit imut di atas, saya jadi teringat salah satu diskusi beberapa bulan lalu soal apakah keberadaan causa prima (yang biasanya diterjemahkan menjadi Tuhan) itu suatu keniscayaan secara logika ( logical necessity ), dan oleh karena itu harus benar adanya dalam setiap keadaan. Pendek kata, dalam diskusi tersebut saya menyampaikan bahwa keberadaan causa prima tidak niscaya secara logika dan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibuktikan baik secara logika maupun empiris, dan oleh karenanya ada peran yang besar dari iman dalam beragama, khususnya untuk hal-hal yang ujungnya memang sesederhana percaya ga percaya.

On Finding a Successor

Image
I recently found another gem of a slice-of-life manga titled Sota's Knife ( Souta no Houchou ) and boy, what a page turner! The manga tells the story of Sota Kitaoka, a young man from Hokkaido, that pursues the art of classical Japanese cuisines at Ginza Tomikyu, a ryotei that is known as one of the best traditional restaurants in Tokyo (all are fictional in case you are wondering). The relationship between Sota and Kyugoro Tomita (his Oyakata a.k.a boss/owner chef/master), his colleagues (including his love interest, Tomita's daughter), his growth from a kitchen helper to the top level, his dream of opening his own restaurant versus continuing the legacy of his boss, the hyper competitive environment of restaurants in Tokyo, and the passion and dedication of a true Shokunin shown throughout the series, are simply beautiful and full of emotions. Not only that they remind me of all the restaurants and chefs in Japan that I love so much (and sadly I could not visit until God k