THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Catatan Akhir Pilpres 2014


    Selama masa Pemilihan Presiden 2014 saya sudah menulis beberapa artikel dimana berdasarkan penilaian saya yang saya usahakan serasional dan seobjektif mungkin, saya memutuskan untuk mendukung Jokowi. Berhubung sekarang sudah memasuki masa tenang dan pembahasan visi, misi, serta program sudah tidak diperkenankan, saya ingin menyampaikan alasan personal atas dukungan saya kepada Jokowi.

    Orang yang lama mengenal saya umumnya tahu kalau saya:
    1. tidak suka dengan orang yang mencla-mencle, asbun, yang hanya pandai bermain kata dan berjualan kecap (silakan lihat tulisan-tulisan saya sebelumnya di blog ini sebagai basis dari pernyataan saya supaya jangan dipikir saya hanya omong kosong saja);
    2. tidak pernah tertarik mendukung seseorang hanya karena isu agama, apalagi kalau melibatkan fitnah segala (saya mendalami Hukum Islam 13 tahun lebih dan masih terus mendalami sampai saat ini, saya hitungannya bodoh kalau masih terjebak isu-isu seperti itu); 
    3. tidak tertarik dengan militerisme dan feodalisme (saya lantang dulu berbicara di depan mahasiswa FHUI menentang segala bentuk perploncoan yang menurut saya bentuk jelas dari feodalisme dan saya tidak pernah mau terlibat dalam semua acara seperti itu);  
    4. mendukung kebebasan berpendapat dan pluralitas (cukup jelas karena hal ini bahkan dijamin oleh konstitusi); dan
    5. tidak percaya dengan segala bentuk teori konspirasi, termasuk berita-berita yang tidak bisa diverifikasi atau berita-berita yang sumbernya sudah diketahui sebagai penyebar kebohongan (salah satu hobi favorit saya: memberi tahu teman-teman yang menyebarkan berita atau informasi hoax kalau yang mereka sampaikan itu hoax);
    6. selalu berusaha sebisa mungkin mengambil keputusan berdasarkan cost benefit analysis (saya melihat orang tidak ada yang sempurna, ada baik dan buruknya, maka harus dihitung lebih besar yang mana, baik atau buruknya?); dan
    7. tidak percaya dengan adanya figur penyelamat dunia dan negara ala ratu adil (satu manusia tidak akan bisa menyelesaikan masalah di Indonesia, manusia bukan malaikat dan selamanya wajib tunduk pada mekanisme check and balance).  
    7 alasan di atas sudah cukup sebenarnya bagi saya untuk mendukung Jokowi. Tetapi ada satu lagi alasan yang mungkin lebih menarik buat diri saya pribadi. Seumur-umur, saya tidak pernah tertarik dengan Pemilu, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Jujur saja, saya selalu merasa bahwa perubahan signifikan tidak akan terjadi di negara ini dan apapun nanti hasilnya, kehidupan saya tidak akan terlalu terpengaruh.  Walhasil, saya juga tidak pernah datang ke acara kampanye atau apa pun lah itu, apalagi menulis panjang lebar analisis untuk keperluan pilpres yang jelas menyita waktu saya dan tidak dibayar.

    Tetapi nyatanya, saya mau menulis panjang lebar artikel-artikel itu, dan untuk pertama kalinya juga, saya datang dalam sebuah acara kampanye akbar di GBK sabtu tanggal 5 Juli 2014 kemarin. Mungkin ini pertama kalinya ada politisi yang bisa menggerakan saya untuk melakukan hal itu. Dan buat saya itu luar biasa karena saya sangat amat jarang sekali bisa kagum pada politisi (yang menurut saya pada umumnya tidak akan bisa memenuhi standar intelektual yang saya harapkan).

    Untuk itu, hormat saya buat Jokowi. Saya berharap Jokowi bisa membuka peluang bagi generasi baru di kancah kepemimpinan politik Indonesia di luar kalangan yang sudah eksis dari jaman dahulu kala. Jokowi mungkin bukan kandidat pemimpin terbaik di Indonesia, tetapi setidaknya dia yang terbaik bagi saya di antara 2 opsi yang tersedia saat ini, dan sebagai warga negara Indonesia, saya merasa berhak untuk menyatakan sikap saya tersebut.

    Selamat memilih bagi rakyat Indonesia tanggal 9 Juli nanti! May the best candidate win!
  • Mimpi Negara Kesejahteraan


    Salah satu klaim yang seringkali diajukan oleh pendukung Prabowo adalah bahwa politik tangan besi diperlukan di Indonesia agar Indonesia akan lebih sejahtera. Menurut mereka, demokrasi tidak bisa memberi makan orang lapar. Saya juga menerima komentar anonim di blog saya yang mengaku sebagai swing voter dan masih condong ke Prabowo. Dia mempertanyakan apakah demokrasi itu memang cocok dengan Indonesia? Atau apakah Indonesia akan lebih baik di tangan otoritarianisme?

    Argumen saya tentang ilusi bahwa pemimpin tegas dapat menyelesaikan masalah di Indonesia sudah saya bahas panjang lebar di tulisan saya sebelumnya, Ilusi Pemimpin Tegas. Berikut adalah elaborasi lebih lanjut mengenai isu soal pendekatan mana yang lebih cocok bagi Indonesia? Demokrasi atau otoritarianisme?   

    Sebenarnya cita-cita mendirikan negara kesejahteraan adalah barang lama yang sudah dibahas berulang-ulang. Tidak bisa dipungkiri, sebagian anggota masyarakat tentunya memimpikan adanya negara yang kuat yang dapat mengayomi dan menolong orang-orang yang lemah dan terpinggirkan. Bagi mereka, mungkin demokrasi lebih tepat digunakan ketika masyarakat secara umum sudah makmur. Dan selama kesejahteraan tersebut belum tercapai, kebebasan berpendapat belum terlalu diperlukan. Pengusung gerakan kesejahteraan biasanya akan mengutip contoh kesuksesan di Cina, Singapura atau mungkin juga Malaysia. Di sana kebebasan berpendapat memang tidak terlalu dihargai, yang penting masyarakatnya sejahtera (atau diasumsikan lebih sejahtera dibandingkan dengan Indonesia).

    Dengan demikian, keberadaan benevolent dictator, alias diktator yang baik hati itu sah-sah saja sepanjang memaksimalkan pertumbuhan ekonomi. Isu besarnya, apakah ini fakta atau hanya sekedar asumsi belaka? Apakah diktator yang baik hati pasti menghasilkan hasil yang lebih baik dan bermanfaat dibandingkan dengan penggunaan sistem demokrasi?

    Apa Kriteria Tercapainya Negara Kesejahteraan?

    Sebenarnya, apa kriteria yang diperlukan sehingga negara kesejahteraan dapat berdiri dengan kokoh? Saya mencatat beberapa kriteria yang umumnya dianggap perlu ada bagi cita-cita negara kesejahteraan:
    1. kemudahan pengambilan keputusan dalam kehidupan bernegara dan berpolitik;
    2. koordinasi yang efisien dan terstruktur antar lapisan birokrasi dan antara pusat dan daerah;
    3. birokrasi pemerintahan yang berjalan secara bersih, efisien dan profesional;
    4. kebijakan ekonomi yang jelas, tersentralisasi, dan terpadu.
    Percaya tidak percaya, kriteria-kriteria di atas mirip dengan kriteria untuk membangun bisnis sukses. Ganti saja keputusan dalam kehidupan bernegara/berpolitik menjadi keputusan bisnis yang memaksimalkan profit, birokrasi diganti menjadi direksi, komisaris dan pegawai, serta kebijakan ekonomi menjadi rancangan anggaran tahunan dan rencana bisnis. Mirip kan? Kata kuncinya ada di efisiensi.

    Pendukung otoritarianisme melihat bahwa sistem demokrasi hanya akan menghambat terpenuhinya kriteria-kriteria di atas. Layaknya suatu perusahaan, kenapa tidak biarkan saja direksi, komisaris dan karyawan yang menjalankan kegiatan usaha, sementara rakyat selaku pemegang saham duduk santai dan menikmati hasilnya? Untuk apa masyarakat terlibat aktif dalam pemerintahan dan kehidupan bernegara?
     
    Dalam hal ini, sebenarnya ada perbedaan fundamental antara menjalankan perusahaan dengan menjalankan negara. Benar bahwa dalam suatu perusahaan, kegiatan usaha sehari-hari dijalankan oleh direksi dan pegawai dengan pengawasan dari komisaris. Tetapi pemegang saham masih tetap memegang peranan utama sebagai pengendali perusahaan, dalam artian, pemegang saham berhak setiap saat tanpa harus perlu merinci alasannya, mengganti direksi dan komisaris yang menurut mereka tidak kompeten. Selain itu, direksi dan komisaris juga tidak punya kuasa yang besar untuk melawan pemegang saham kalau pemegang saham tidak menginginkan mereka lagi. Mereka harus tunduk pada keputusan tertinggi dari pemegang saham. Dengan demikian, mereka memiliki banyak insentif untuk memastikan bahwa mereka akan menjalankan tugas mereka dengan baik dan berhati-hati dalam pelaksanaan tugasnya tersebut.

    Bagaimana dengan negara? Negara yang otoriter umumnya tidak bisa dikendalikan oleh masyarakatnya, bahkan sering kali sebaliknya karena negara tersebut memiliki kekuatan senjata dan modal yang lebih besar. Bahkan dalam sistem demokrasi sekalipun, ada batas jangka waktu minimum dimana keberadaan pemerintahan tidak bisa diganggu gugat (yaitu sampai masa akhir jabatan). Tidak heran kalau mekanisme kontrol dan pemberian insentif terhadap pejabat negara akan sangat berbeda dengan pendekatan dalam perusahaan.

    Asumsi-Asumsi yang Perlu Dipenuhi bagi Negara Kesejahteraan

    Untuk bisa memastikan bahwa 4 kriteria di atas terpenuhi dalam suatu negara yang otoriter, harus dipastikan bahwa semua atau kebanyakan pejabatnya akan bersikap bersih dan profesional. Tapi pendekatan seperti ini mengasumsikan bahwa pemimpin tertinggi dari negara tersebut memang benar-benar bersih, profesional dan mengutamakan kemakmuran rakyat, serta memiliki sistem pengawasan yang mumpuni dan berkualitas untuk memastikan bahwa semua anak buahnya berada di jalan yang lurus.  Lebih penting lagi, pendekatan ini juga mengasumsikan bahwa kebijakan ekonomi sentralistis yang akan diambil itu sudah tepat dan akan memakmurkan masyarakat.

    Pertanyaan pertama, siapa yang bisa menjamin bahwa pemimpin tertinggi pasti baik hati dan lurus? Pertanyaan kedua, siapa yang bisa memastikan bahwa biaya pengawasan atas aparatur negara pasti murah? Apakah anda berpikir bahwa tiba-tiba semua aparatur negara akan menjadi bersih dan profesional hanya karena pemimpin di atasnya berlaku demikian? Jelas sekali bahwa itu belum tentu akan terjadi. Pasti akan diperlukan insentif dalam berbagai bentuk dan insentif itu tidak lah gratis.

    Pertanyaan ketiga, siapa yang bisa memastikan bahwa program ekonomi sentralistis itu sudah pasti menguntungkan? Silakan lihat Cina, sebelum beralih ke pendekatan kapitalis, sistem ekonomi yang tersentralisasi di Cina lebih banyak menimbulkan mudarat bagi rakyatnya. Entah berapa banyak rakyatnya yang dulu mati kelaparan karena kebijakan ekonomi yang salah. Butuh waktu lama dari pihak Deng Xiaoping untuk bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada dalam pendekatan ala Maoisme sebelum akhirnya Cina bisa mencapai statusnya saat ini.

    Selain itu, faktanya menunjukkan bahwa suatu perusahaan/bisnis akan semakin sulit untuk dikendalikan dengan semakin besarnya perusahaan tersebut, dan biaya koordinasi antar departemen dan pengawasan karyawan juga akan semakin mahal. Hal yang sama juga berlaku dalam konteks negara. Maka kurang tepat misalnya membandingkan Indonesia dengan Singapura dan Malaysia. Singapura adalah negara kota dengan jumlah penduduk yang bahkan lebih sedikit dibandingkan dengan Jakarta. Malaysia dengan penduduk 1/10 Indonesia yang mengaku multi etnis sebenarnya hanya terdiri atas 3 etnis besar (Melayu, Cina dan India), sehingga memungkinkan sistem politik yang lebih stabil dibandingkan dengan Indonesia yang jumlah penduduknya sangat besar dan wilayahnya terbagi-bagi dalam banyak pulau.

    Perbandingan dengan Cina juga kurang tepat mengingat Cina adalah bangsa yang homogen dan memiliki satu kebudayaan yang sama sejak jaman dahulu kala. Wilayah mereka juga tidak terbagi dalam kepulauan tetapi berbentuk satu daratan yang sangat luas.  Saya jadi teringat presentasi Pak Kuntoro Mangkusubroto bahwa ekonomi negara kepulauan itu berbeda drastis dengan ekonomi bagi negara daratan yang sampai saat ini belum dikaji secara serius.

    Perlu pula dicatat bahwa pemimpin-pemimpin tertinggi di Singapura, Malaysia dan Cina bukan dari kalangan militer, tetapi dari kalangan sipil macam pengacara, ekonom, dan pengusaha. Cara berpikir mereka memang dari awalnya cara berpikir pebisnis. Kebijakan ekonomi mereka sangat liberal dan pro investasi (termasuk investasi asing). Sedikit retorika omong kosong macam nasionalisme dan kekayaan alam, banyak bertumpu pada pemikiran bagaimana seharusnya kita dapat mengejar profit sebanyak-banyaknya.

    Tidak usah jauh-jauh, saya pernah menghadiri seminar di Hong Kong dimana salah satu pesertanya berbicara mengenai perkembangan hak properti di Cina. Ketika Cina memutuskan untuk mengambil jalan kapitalisme dan membuang ide bahwa tanah harus dimiliki secara kolektif, mereka mengadakan pelelangan tanah kepada masyarakat bahkan sebelum konstitusi mereka yang melarang hal tersebut diamandemen. Pola pikir mereka pragmatis. Kalau tidak efisien ya aturan itu disingkirkan.

    Bahaya Pemerintahan Tegas Setengah Hati

    Permasalahan utamanya, apa iya Indonesia siap untuk mengikuti pola pemikiran di atas? Pro kapitalisme, pro bisnis, pro investasi? Siap kah Indonesia mengikuti sistem dimana yang kuat akan selamat dan yang lemah akan tersingkir dengan sendirinya? Yang saya khawatirkan saat ini justru keberadaan pemerintahan otoriter yang setengah hati. Mengaku otoriter dan tegas, tetapi kebijakan ekonominya belum beranjak dari jaman purba. Menilik visi misi Prabowo dan omongannya tentang kebocoran serta larinya kekayaan alam Indonesia ke asing, saya khawatir bahwa pemerintahan tegasnya itu tidak akan membawa perubahan drastis yang menguntungkan kita semua.

    Penting untuk diperhatikan bahwa di Singapura, Malaysia dan Cina, liberalisme ekonomi dijalankan dengan maksimal sehingga dapat menutupi isu otoritarianisme dalam bidang politik. Kalau negara kita ini nantinya akan otoriter baik dalam bidang ekonomi maupun politik, kemungkinan besar hal itu akan sangat bermasalah. Ibarat kata, ketika kita memilih untuk dikendalikan oleh pemerintahan otoriter/tegas, kita berharap bahwa manfaat yang dihasilkan dari keberadaan pemerintahan otoriter tersebut akan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang harus kita keluarkan, termasuk salah satunya kebebasan berpendapat. Apakah kemudian pengorbanan kita sebanding dengan manfaat yang kita harapkan akan diperoleh? Ini yang belum bisa dijawab oleh pendukung Prabowo di Indonesia. Itu pun dengan asumsi kalau Prabowo memang bisa mendirikan pemerintahan tegas, yang sebagaimana akan saya bahas di bawah ini, kemungkinan besar juga tidak akan tercapai.

    Kalau tidak, maka namanya sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ini namanya rugi besar-besaran. Belum lagi fakta bahwa di masa lalu, pemerintahan tegas di Indonesia sudah gagal menunjukkan hasil yang maksimal. Ya mau bagaimana lagi? Namanya juga untung-untungan. Di Orde Lama, hasil kepemimpinan tegas oleh orang yang tidak paham ekonomi macam Bung Karno menghasilkan inflasi ratusan persen dan rakyat yang kelaparan. Anda bilang demokrasi tidak bisa memberi makan orang lapar? Saya sepakat, begitu pula dengan slogan dan retorika dalam pidato.

    Di Orde Baru, kita juga memiliki pemimpin tegas tetapi karena tidak ada sistem check and balance yang baik dan juga karena tidak mau sungguh-sungguh bertumpu pada sistem ekonomi liberal, akhirnya hasilnya juga tidak maksimal. Diktatornya keenakan memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Industri kita lemah karena dari awal tidak kompetitif dan terlalu dilindungi.

    Sekarang, sistem ekonomi yang mau diusung dalam pemerintahan tegas Prabowo akan seperti apa? Mengikuti gaya Orde Baru yang sudah gagal macam proteksionisme dan fokus di industri yang sudah ketinggalan jaman macam pertanian (Cina saja sudah semakin meninggalkan bidang pertanian)? Atau Prabowo berani bilang dia akan mendukung sistem ekonomi kapitalisme secara tegas? Kalau ya, saya juga akan berpikir ulang untuk memilih dia. Namun kalau dia masih sibuk dengan retorikanya saja, mohon maaf, itu cuma buang-buang waktu saya.         

    Apakah Sistem Ketegasan Ala Prabowo akan Mendukung Terciptanya Negara Kesejahteraan?

    Sulit sebenarnya untuk mengukur apakah sistem pemerintahah Prabowo akan efektif karena sedari awal, dia dan pendukungnya tidak pernah menjelaskan sistem pemerintahan tegas akan dijalankan seperti apa,  dan juga bagaimana sistem pemerintahan tegasnya akan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Sistem Cina bisa berjalan efektif karena Cina hanya memiliki satu partai. Singapura juga hanya ada satu partai yang selalu menang pemilu. Pertanyaannya, implementasi di Indonesia nanti akan seperti apa dengan cukup banyaknya jumlah partai yang ada?

    Partai Gerindra sendiri cuma memegang kurang lebih 11% suara di DPR. Ibarat kata, kalau Prabowo mau jalan sendiri, koalisi partai-partai lainnya akan mudah untuk menyingkirkan dia. Dan sejauh yang kita lihat, setidaknya di masa SBY, saya belum pernah melihat adanya kebijakan yang benar-benar pro rakyat atau efisien yang dicetuskan oleh partai koalisi pendukung Prabowo saat ini.

    Lalu bagaimana nanti Prabowo akan menghadapi koalisinya sendiri? Menggunakan kekerasan atau militerisme? Kemungkinan besar tidak kalau dia benar-benar peduli pada masyarakat Indonesia. Prediksi saya, pemerintahan dia akan adem ayem seperti pemerintahan SBY saat ini, antara ada dan tiada. Mungkin itu baik bagi Indonesia, karena toh sejauh ini Indonesia juga masih baik-baik saja di bawah SBY. Tetapi ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagi saya. Untuk apa saya memilih Prabowo kalau pada akhirnya dia juga tidak bisa melakukan perubahan yang fundamental?

    Mau sok tegas, tetapi kebijakan ekonominya tidak jelas, cara menjalankannya pun juga tidak jelas. Mau kompromistis, lalu dimana letak ketegasannya? Ambil contoh paling gampang: Prabowo tidak bisa menawarkan satu kebijakan konkrit untuk mengatur koordinasi antara daerah dan pusat. Jokowi tegas menyatakan bahwa dia akan menggunakan politik anggaran. Dan politik anggaran itu merupakan kebijakan yang keras karena artinya daerah yang membandel akan mendapatkan lebih sedikit anggaran. Aneh sebetulnya kalau ada yang bilang bahwa Prabowo akan lebih tegas dibandingkan dengan Jokowi soal hubungan pusat-daerah ini.

    Begitu pula soal PNS. Prabowo senantiasa meributkan gaji PNS yang kecil. Sebenarnya gaji PNS sudah mengalami peningkatan yang cukup besar di masa SBY. Memangnya mau ditingkatkan seperti apa lagi? Yang kurang itu justru efisiensi dan profesionalisme dari para PNS. Coba lihat berapa banyak departemen kementerian di negara-negara maju, seperti Amerika dan Jepang. Lihat juga Singapura, dan kemudian bandingkan dengan banyaknya departemen kementerian di Indonesia.

    Prabowo berani tidak memotong departemen yang sedari awal tidak perlu ada kalau dia fokus ingin menciptakan negara kesejahteraan? Justru Jokowi yang selalu meributkan perlunya perbaikan sistem birokrasi, perlunya perekrutan birokrat berbasis kompetensi (sebagaimana sudah dimulai di Jakarta). Lalu yang kemudian sebenarnya bercita-cita memenuhi kriteria negara kesejahteraan itu siapa? Bahkan tidak perlu kita meributkan isu demokrasi di sini, fokus pada birokrasinya saja, siapa yang visinya lebih pro negara kesejahteraan?  

    Memangnya Apa Masalahnya dengan Demokrasi?   

    Terakhir, pertanyaan yang juga tidak pernah bisa dijawab oleh Prabowo dan pendukungnya adalah: memangnya apa yang salah dengan menggunakan sistem demokrasi? Apakah sistem demokrasi kita saat ini sebegitu gagalnya sehingga hasil yang kita peroleh tidak maksimal? Apakah tidak dimungkinkan bagi kita untuk mengembangkan ekonomi negara secara maksimal dengan mempertahankan sistem demokrasi? Bagaimana kalau kita menjalankan demokrasi dan pembangunan ekonomi secara bersama-sama?

    Prabowo mengkritik bahwa biaya pemilihan umum langsung dan pilkada terlalu mahal. Ada solusi yang sudah ditawarkan, diadakan secara serentak. Prabowo mengkritik bahwa karena biaya pemilu terlalu mahal, para pemimpin daerah cenderung korupsi. Dan memang betul, 80% dari pemimpin daerah sekarang ini terlibat dalam kasus KPK. Tapi apakah kemudian memindahkan pemilihan pemimpin daerah melalui mekanisme pemilihan oleh anggota DPRD akan mengurangi kemungkinan korupsi? Atau hal itu hanya memindahkan korupsinya ke level anggota DPRD saja? Apa jaminannya?

    Dan bukankah sekarang juga mulai terlihat tren munculnya pemimpin-pemimpin daerah yang berprestasi sebagai hasil dari pemilihan langsung tersebut? Kenapa meremehkan sekali kualitas masyarakat Indonesia seakan-akan kita semua ini begitu bodohnya? Saya justru melihat keberadaan sistem pemilihan langsung bisa memperkecil kemungkinan politik uang dan membuka kesempatan bagi orang berprestasi untuk maju. Semakin banyak rakyat yang harus dibeli, semakin mahal biaya untuk menang pilkada, sebagai akibatnya, calon pemimpin daerah memiliki insentif untuk bisa menunjukkan prestasinya di lapangan sehingga kans kemenangan lebih tinggi dibandingkan harus membayar satu-satu masyarakat di daerah yang bersangkutan. Hal ini pada akhirnya akan mendorong terpilihnya pemimpin yang bagus secara meritokratis.

    Sementara apabila pemimpin daerah dipilih melalui DPRD, potensi politik uang justru akan lebih mudah terjadi karena jumlah yang perlu disuap lebih sedikit. Alih-alih jadi mekanisme check and balance, jadinya justru mereka semua bersatu dalam kebusukan.

    Saya ingin melihat adanya pemikiran yang lebih mendalam dari kubu Prabowo kalau memang demokrasi kita itu menyusahkan kita saja. Saya juga ingin tahu kalau misalnya kita mengusung gaya kepemimpinan otoriter, bagaimana nantinya Prabowo dan tim memastikan bahwa semua aparat pemerintahan akan berada di jalan yang benar dan bagaimana mekanisme pengawasan akan dijalankan. Mengklaim bahwa demokrasi tidak berjalan itu gampang, yang sulit adalah memberikan alternatif lainnya yang diperkirakan akan lebih efisien dan memakmurkan masyarakat.

    Kesimpulan Sementara

    Saya sudah menulis 4 artikel termasuk artikel ini mengenai pilpres: yaitu Catatan atas Debat Bidang Hukum, Catatan atas Debat Bidang Ekonomi, dan Ilusi Pemimpin Tegas. Sejauh ini, saya masih mempertimbangkan untuk tetap memilih Jokowi dalam pilpres 2014 berdasarkan analisis dan alasan yang telah saya tulis dalam artikel-artikel tersebut. Moga-moga Pilpres 2014 ini akan membawa hasil yang maksimal bagi bangsa Indonesia.

  • Ilusi Pemimpin Tegas


    Kemarin, saya mengomentari sebuah artikel dari salah satu pendukung Prabowo yang berargumen bahwa Prabowo adalah pemimpin yang dibutuhkan oleh Indonesia. Artikel lengkapnya, dan juga tanggapan saya terhadap artikel tersebut dalam bahasa Inggris bisa dibaca di situs ini. Artikel tersebut menginspirasi saya untuk menulis tentang satu isu yang nampaknya sedang laku keras di Indonesia, kebutuhan akan adanya pemimpin yang tegas. Mungkin sebagai antitesis dari gaya kepemimpinan SBY saat ini yang dianggap tidak bisa mengambil keputusan.

    3 ide utama yang diusung dalam artikel tersebut:
    1. Demokrasi Indonesia masih prematur, sehingga untuk menjamin adanya mekanisme akuntabilitas yang kuat dari pejabat publik dan legislator, Indonesia membutuhkan pemimpin seperti Prabowo yang akan memimpin dengan kontrol yang kuat dan tangan besi.  Menurut penulisnya, sekalipun Prabowo berasal dari orde baru dan memiliki rekam jejak yang bermasalah di bidang hak asasi manusia, hanya Prabowo yang dapat menawarkan stabilitas dan petunjuk yang dibutuhkan oleh Indonesia saat ini.
    2. Kepemimpinan Indonesia selanjutnya harus dilandaskan keyakinan/ketegasan (lead by conviction) dan bukan pembangunan konsensus. Menurut penulisnya, gaya kepemimpinan SBY yang mencoba membangun konsensus sudah gagal. 
    3. Gaya kepemimpinan Jokowi yang menunjukkan pemimpin yang bisa didekati (approachable) dan mendengarkan juga tidak cocok di Indonesia karena tidak akan bisa menghadapi pengambilan keputusan yang sulit di Indonesia. Jokowi dalam hal ini belum cocok untuk Indonesia saat ini.   
    Berikut tanggapan saya.

    Apa Sebenarnya yang Dimaksud dengan Pemimpin Tegas?

    Permasalahan utama dengan ide Prabowo sebagai pemimpin tegas adalah karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana Prabowo akan tegas memimpin kita semua, bagaimana dia akan menyelesaikan konflik antar berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang ada di Indonesia, bagaimana dia akan menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah di Indonesia. Yang selalu saya dapatkan dari pendukung Prabowo adalah bahwa dia pokoknya akan tegas dan bertangan besi dalam menghadapi semua permasalahan di atas. Artikel yang saya komentari tersebut pun juga tidak menjelaskan mekanisme apa yang akan ditempuh Prabowo.

    Tentu saja saya sangat bermasalah dengan slogan tak bermakna ini. Tegas ini maksudnya apa? Apakah seperti dalam video ini ketika Prabowo bercerita dengan berapi-api tentang kebocoran Rp1.000 trilyun dalam anggaran negara kita? Dia tampak sangat bersemangat dan juga nampak mampu menggugah semangat penontonnya dengan suara yang keras dan raut muka yang garang. Tetapi kalau saya perhatikan baik-baik selama 35 menit dia berbicara, tidak terdapat penjelasan yang memadai soal klaim adanya kebocoran dari perpajakan (360 trilyun), APBN (500 trilyun) dan subsidi energi (300 trilyun). Angkanya terdengar fantastis, tetapi sumber data tidak terlihat dengan jelas, mekanisme perhitungannya juga tidak jelas, dan lebih lucu lagi, apabila tuduhannya benar, semua isu yang dibawa dalam presentasi itu jelas menyalahkan anggota koalisinya yang merupakan bagian dari pemerintahan saat ini.  Lebih parah lagi, Prabowo menyatakan bahwa subsidi energi adalah bentuk kebocoran, tapi dalam kampanyenya saya baca sendiri dia ingin mempertahankan subsidi BBM dan pupuk. Jadi ini contoh ketegasan atau plin plan, beda forum, beda omongan?

    Saya sangat berharap bahwa definisi pemimpin tegas bukan lah sebagaimana saya sampaikan di atas, karena kalau demikian, tidak perlu Prabowo, saya pun juga sudah bisa jadi Presiden Republik Indonesia dengan modal orasi suara keras dan meyakinkan. Bahkan lebih jauh lagi, banyak khotib Sholat Jumat dengan penampilan yang lebih tegas lagi juga siap jadi Presiden. Saya nominasikan khotib reguler di Mesjid Bursa Efek Indonesia, dijamin Prabowo pun kalah soal suara menggelegar dan berapi-api.

    Lalu apa artinya pemimpin tegas versi Prabowo? Penulis artikel yang saya komentari memberikan contoh bahwa tidak ada wakil parlemen dari Gerindra yang terlibat kasus korupsi (berhubung KPK tidak mengeluarkan data per partai, saya tidak bisa verifikasi soal ini). Menurut si penulis, ini semua adalah karena Prabowo efektif memimpin Gerindra dan akan melibas setiap anggotanya yang terlibat dalam kasus korupsi (masih asumsi karena tidak ada penjelasan mengenai korelasi antara kepemimpinan Prabowo dengan ketaatan hukum anggota partai).

    Tapi asumsikanlah kalau anggota Partai Gerindra taat hukum karena tangan besi Prabowo, lalu apakah kita bisa berasumsi bahwa Prabowo akan mampu menjalankan politik tangan besi kepada semua pihak? Gerindra adalah partai politik buatan Prabowo, beberapa calonnya dibiayai oleh Prabowo (setahu saya), dan jumlah kadernya belum terlalu banyak. Wajar kalau bisa dikontrol oleh Prabowo dengan pendekatan sistem komando. Pertanyaan utamanya, apakah gaya demikian bisa dipergunakan untuk mengontrol seluruh parlemen, birokrasi pemerintahan, dan segenap bangsa Indonesia?

    Apa iya anggota partai politik lain akan manut begitu saja terhadap Prabowo? Bagaimana kalau mereka tidak setuju dengan Prabowo, mereka merasa tidak berhutang budi pada Prabowo, tidak dibayarin oleh Prabowo? Bagaimana kalau mereka merasa Prabowo mengganggu kepentingan politik mereka? Pendekatan tangan besi ala Gerindra (apabila benar demikian) adalah pendekatan  yang sifatnya sangat konfrontatif. Bisa jadi berjalan dengan baik kalau semua setuju sistem komando. Tetapi ini bukan militer. Ini dunia nyata yang isinya orang-orang sipil dengan segala keinginan dan kepentingan pribadi mereka. Bagaimana caranya menyatukan perbedaan kepentingan tersebut sehingga bisa menghasilkan hasil yang maksimal? Ini yang tidak bisa dijawab oleh Prabowo dan pendukungnya.

    Pertanyaan lebih lanjutnya, kalau pendekatan tangan besi tidak diterima oleh pihak lainnya, kelanjutannya akan seperti apa? Ini yang sebenarnya menimbulkan kekhawatiran, dan kekhawatiran itu beralasan. Kalau Prabowo melihat bahwa orang-orang tidak mau menurut pada dirinya setelah dia mencoba menggunakan pendekatan tangan besi, dia punya 2 pilihan. Satu, mencoba mencari konsensus (yang menurut penulis artikel di atas tidak cocok untuk Indonesia masa kini). Dua, menempuh metode yang lebih ekstrim, menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pilihan yang dia ambil.

    Kata beberapa pendukung Prabowo, tidak mungkin Prabowo akan mengambil Opsi 2. Saya senang kalau itu benar, tetapi lalu apa artinya slogan Prabowo adalah pemimpin yang tegas kalau ujung-ujungnya dia harus cari konsensus juga? Apa bedanya dia dengan Jokowi? Kalau dia benar-benar tegas sebagaimana selalu didengung-dengungkan, probabilitas dia mengambil Opsi 2 tentunya menjadi lebih besar.  

    Silakan baca artikel ini. Prabowo mempertanyakan konsep pemilihan langsung, konsep voting dalam demokrasi kita. Dia ingin mengadakan pertemuan besar dalam skala nasional untuk membuat "konsensus" baru. Dia menuduh sistem kita adalah cetakan Barat, dan bahwa pemilihan langsung tidak cocok dengan bangsa Indonesia. Bagaimana caranya saya tidak khawatir bahwa Prabowo memang benar-benar berencana untuk menghancurkan institusi demokrasi yang kita bangun dengan susah payah ketika dia sendiri jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya pada sistem yang kita miliki saat ini. Dan dalam konteks ini, saya sengaja memberikan tanda kutip pada kata konsensus yang digunakan oleh Prabowo, karena saya sangat mempertanyakan apa yang dia maksud dengan konsensus tersebut.

    Saya tidak terlalu heran kalau ada orang yang mendukung ketegasan dan tangan besi ala Prabowo di atas. Institusi demokrasi bagi sebagian orang memang dianggap tidak berguna dan buang-buang uang, membuka lahan korupsi yang lebih luas. Orang-orang mempermasalahkan sulitnya mengambil keputusan saat ini. Sebagai contoh: lambatnya kita dalam melakukan pembebasan tanah untuk proyek kepentingan umum. Bagi orang-orang tersebut, kenapa para pemilik tanah yang bandel itu tidak disingkirkan saja dengan cepat supaya tidak mengganggu laju pembangunan?

    Saya juga pernah berpikiran yang sama. Tahun 1998 ketika saya masih SMP, saya juga berpikiran bahwa Suharto seharusnya tidak dijatuhkan. Apa itu demokrasi yang tak jelas? Siapa pula Gus Dur, kok bisa-bisanya negara kita dipimpin oleh pemimpin yang memiliki cacat fisik yang nyata? Ini hasil demokrasi kita di tahun 1999? Tapi setelah saya belajar lebih jauh, masuk Fakultas Hukum, mendalami Law & Economics (Hukum dan Ekonomi) dan belajar Public Choice, saya sadar, pemikiran jaman SMP saya itu memang pemikiran kelas anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan saya akan sampaikan di bawah ini mengapa ilusi pemimpin tegas adalah suatu hal yang berbahaya dan faktanya juga sudah gagal karena diterapkan bertahun-tahun di Indonesia tanpa ada hasil yang signifikan.

    Kegagalan dan Ilusi Pemimpin Tegas (Kasus Indonesia)

    Permasalahan utama dengan pemimpin bertangan besi adalah karena, seperti disampaikan oleh penulis artikel yang saya tanggapi, manusia bukan malaikat (termasuk Prabowo dan saya). Karena manusia bukan malaikat yang pasti baik dan sempurna, maka kita tidak bisa percaya sepenuhnya pada manusia. Siapa yang tahu bahwa seorang pemimpin pasti akan baik untuk seterusnya, senantiasa bijak setiap saat?

    Mengapa kemudian kita perlu menciptakan institusi demokrasi dan hukum? Jawabannya sederhana, karena kita ingin menciptakan sistem check and balance. Ini bukan sekedar konsep Barat atau apapun lah itu, ini konsep yang logis dan rasional, mencegah jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang oleh satu institusi atau pemimpin kepada masyarakat karena kekuasaan yang terpusat dan tanpa tanggung jawab kepada siapapun akan mudah untuk disalahgunakan. Ingat kata-kata Lord Acton: kekuasaan cenderung koruptif, kekuasaan absolut akan koruptif secara absolut pula.

    Jangan terjebak dengan ide bahwa Lord Acton adalah orang Barat dan kata-katanya di atas hanya pepesan kosong. Saya bahkan tidak perlu bersusah payah memberikan contoh negara yang berantakan macam Mesir. Indonesia sudah punya pengalaman berpuluh-puluh tahun dengan gaya kepemimpinan tegas dan kita bisa lihat sendiri hasilnya seperti apa.

    Sukarno di tahun 1959 meruntuhkan institusi demokrasi dan hukum kita dengan membubarkan parlemen dan mengubah konstitusi kita secara ilegal. Tidak ada yang bisa melawan Sukarno karena dia didukung militer. Bahkan ketika saya membaca buku hukum tahun 1960-an pun, para Guru Besar juga tidak berani mengkritik dekrit Presiden yang jelas-jelas tidak konstitusional! Lalu apa hasil akhirnya?

    Hasil akhirnya buruk sekali. Sukarno menjadikan MPR sebagai tukang stempel kebijakan pribadinya, dia diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup. Kebijakan politik Indonesia makin konfrontatif dengan bangsa lain, kita habiskan anggaran negara untuk program-program yang tidak jelas. Inflasi 600% lebih di tahun 1965-1966 dan akhirnya Sukarno disingkirkan. Ini contoh nyata hasil pemimpin yang memimpin dengan tegas berlandaskan keyakinan pribadi. Orang lapar tidak bisa dikasih slogan dan pidato.

    Lalu kita bertemu dengan Orde Baru. Awalnya cukup sukses, kondisi negara membaik, Presiden Suharto mau mendengarkan (kata kunci: mendengarkan) penasihat ekonominya. Tapi lalu apa hasil akhirnya? Dia berkuasa terlalu lama dan berhenti mendengarkan. 32 tahun berkuasa, Indonesia harusnya lepas landas jadi negara adidaya, Singapura dan Malaysia harusnya bahkan bukan saingan kita. Namun semuanya omong kosong belaka. Di akhir pemerintahan, kita memiliki sistem demokrasi dan hukum yang lemah, birokrasi yang tidak efisien dan mental yang koruptif, krisis ekonomi, dan daya saing yang lemah.

    Bayangkan, selama 32 tahun itu, kebijakan kurang tegas bagaimana lagi? DPR/MPR hanyalah tukang stempel. Atas nama rakyat (entah rakyat yang mana) dan kepentingan umum, semua bisa dilakukan oleh Pemerintah. Tidak ada yang akan melawan karena yang melawan sudah pasti lenyap. Menelurkan suatu undang-undang semudah membalikkan telapak tangan. Biaya pemilu juga tidak besar-besar amat, toh kita semua sudah tahu siapa pemenangnya setiap 5 tahun sekali.

    Dan selama 32 tahun itu, Pemerintah dan Propinsi-Propinsi mayoritas dipimpin Jenderal (gubernur di Jakarta juga mayoritas Jenderal). Orang-orang berargumen kita butuh kembali dipimpin militer yang kuat (kasihan SBY, dia mantan Jenderal juga, tapi tidak dianggap representasi militer). Lah, selama 32 tahun itu mereka melakukan apa? Kenapa tidak ada yang melaksanakan pembangunan infrastruktur ketika semua masih gampang untuk dilakukan?

    Lihat Jakarta, tidak ada yang pernah menjalankan pembangunan MRT di masa lalu padahal orang-orang bisa memperkirakan bahwa Jakarta akan menjadi kota megapolitan dengan memperhitungkan tingkat pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia, level urbanisasi dan ketimpangan pembangunan di daerah. Kota seperti itu sudah pasti butuh sistem transportasi massal untuk mencegah kemacetan. Lebih ironis lagi, Jerman dan konsultannya sudah menawarkan program serupa sejak 1969! Tapi tidak jalan sampai baru di tahun 2013 ini akhirnya dimulai. Lalu fungsi pemimpin tegas itu apa?

    Di jaman Orde Baru, kita sudah punya yang disebut sebagai Program Pembangunan Lima Tahunan dan Program Pembangunan Jangka Panjang. Isinya bagus dan rinci. Di atas kertas, dengan program demikian, harusnya kita sudah betul-betul jadi negara adidaya setara Jepang dan Amerika Serikat. Tetapi kenapa tidak terlaksana dengan benar padahal Indonesia dipimpin oleh orang paling tegas di planet Bumi ini? Sekarang, bahkan kita tidak pantas dibandingkan dengan Jepang dan Amerika. Bandingkan saja dulu dengan Singapura dan Malaysia, bagaimana status kita?

    Kenapa Indonesia bermasalah seperti itu walaupun sudah dipimpin pemimpin tegas? Jawabannya sederhana, karena sistem check and balance tidak jalan. Tidak ada mekanisme kontrol dari masyarakat terhadap kinerja Pemerintah karena tidak ada yang berani untuk melakukan hal itu. Saya sudah sering sampaikan di blog saya bahwa manusia adalah makhluk rasional yang mengutamakan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Kalau orang jadi pemimpin yang bisa bebas melakukan apa pun termasuk memperkaya diri sendiri tanpa perlu dimintai pertanggungjawaban, jelas orang tersebut akan memiliki insentif untuk berbuat seenaknya. Maka tidak heran program-program itu cuma jadi macan kertas dan institusi kita berantakan.

    Sekarang saya tanyakan kepada orang-orang yang mengklaim bahwa kita butuh menyelamatkan Indonesia dengan pemimpin tegas. Apa yang mau diselamatkan? Bagaimana nanti si pemimpin tegas ini akan menyelamatkan kita semua? Apa jaminannya dia bisa menyelamatkan kita? Lebih penting lagi, cara dia untuk menyelamatkan kita itu akan menyelesaikan masalah atau justru menimbulkan masalah baru yang lebih berat lagi bagi kita? Bisa tidak tim Prabowo menjelaskan dengan lebih baik, lebih rinci, visi misi mereka tentang pemimpin tegas itu seperti apa. Karena kalau mengandalkan informasi yang ada sejauh ini, penjelasannya tidak memuaskan.

    Selain itu, visi adanya pemimpin tegas yang akan menyelamatkan satu negara ini mungkin lebih tepat disebut sebagai mimpi belaka. Karena dalam kenyataannya, tidak ada orang yang bisa memimpin negara ini sendirian, orang tidak bisa bertarung sendirian sehebat apapun dia karena pada akhirnya kita butuh kerja sama.

    Saya sudah sering melihat contoh pemimpin bisnis tangguh yang gagal membangun institusi dan penerus sehingga ketika dia meninggal atau pensiun, maka bisnis yang sebelumnya kuat berjalan menjadi tinggal kenangan saja. Mengapa? Karena dia tidak bisa mendidik generasi penerusnya. Mereka cuma jadi orang-orang yang tidak bisa berdiri dan berjalan sendiri, selalu menunggu untuk diberi instruksi dan akhirnya bagai anak ayam kehilangan induknya ketika si pemimpin lenyap.

    Orde Baru juga salah satu contohnya. Dulu katanya kasus intoleransi di negara kita rendah, dan kemudian baru banyak tercatat di masa reformasi. Mengapa demikian? Saya pikir bukan karena pendidikan di masa reformasi ini salah, tetapi justru karena sedari awal sikap intolerasi hanya ditekan saja keberadaannya. Kita tidak dididik dengan benar untuk bisa menerima perbedaan, menerima konsep Bhineka Tunggal Ika secara menyeluruh. Kita taat saat itu hanya karena takut bukan karena kita benar-benar percaya bahwa toleransi itu penting. Hasilnya? 32 tahun yang sia-sia karena manusia kita tidak tercerahkan. Dan anda masih percaya bahwa sistem tangan besi akan memberikan hasil yang maksimal?

    Alternatif Dari Pemimpin Tegas: Membangun Konsensus dan Ketegasan Berdasarkan Check and Balance

    Sebenarnya ada alternatif lain yang lebih tepat untuk diterapkan di negeri kita, yaitu pendekatan konsensus. Kita bukan bangsa Cina atau Jepang yang sangat homogen. Mereka tidak bisa dibandingkan dengan kita yang terdiri atas ribuan suku dan etnis dengan ragam agama dan budaya yang begitu banyak. Mau menggunakan pendekatan top down lagi? Berjalan 40 tahun lebih dan terbukti gagal. Mengapa kita justru tidak membina dan memperbaiki lagi institusi demokrasi dan hukum kita, mengedepankan pendekatan berbasis konsensus?

    Saya hampir 10 tahun menjadi corporate lawyer menangani ratusan negosiasi untuk transaksi bisnis dan berdasarkan pengalaman tersebut, pendekatan yang diperlukan ketika kita ingin menutup suatu transaksi adalah dengan jalan mencari konsensus, mencari pendekatan yang sebisa mungkin memuaskan semua pihak dan akan selalu ada proses give & take. Ini adalah bagaimana dunia aktual berjalan karena kita tidak bisa memaksakan semua keinginan kita kepada pihak lain.

    Pendekatan berbasis konsensus juga membutuhkan dialog dan dialog ini lah yang akan membuat para pihak bisa saling menyadari manfaat yang dapat diambil dari suatu keputusan, biaya keputusan itu serta kompensasi yang diharapkan. Sebagai lawyer, saya lebih memilih untuk ribut di awal ketika kita bernegosiasi dan menyusun kontrak, tetapi kemudian pada saat pelaksanaannya nanti, semua berjalan dengan baik karena semua pihak sudah tahu hak dan kewajibannya dan sudah dijaga supaya tidak mudah melenceng. Potensi konflik masa depan menurun karena sudah ada dialog. Kalau saya cuma bisa memaksa, bukan saja konflik di awal, tetapi juga akan konflik di akhir!

    Kalau Pemerintah perlu mengambil suatu keputusan demi kepentingan umum yang mungkin akan merugikan pihak tertentu, maka pendekatan berbasis konsensus lah yang harus diutamakan baru kemudian bisa diambil langkah lainnya setelah konsensus tidak dapat dicapai. Bukankah pendekatan ala musyawarah mufakat itu yang dianut dalam Sila Keempat Pancasila? Bahkan kalau kita mau bicara jujur, pendekatan ala tangan besi tidak dikenal dalam Pancasila dan UUD 1945 (beserta amandemennya), lalu mengapa kita justru memilih pendekatan tangan besi? Prabowo ini setia pada Konstitusi atau tidak sebenarnya? Jangan lupa bahwa konsep pemilu adalah amanat undang-undang dan Konstitusi!

    Selanjutnya soal ketegasan berbasis check and balance, saya ada contoh menarik. Si penulis artikel yang saya komentari di atas mengkritik kebijakan Jokowi di Jakarta ketika dia menaikkan Nilai Jual Objek Pajak atas tanah dan properti di Jakarta. Selain dituduh kebijakan populis, mekanisme yang ditawarkan kepada masyarakat yang menolak kenaikan NJOP, yaitu banding ke Pemda DKI, dinilai oleh si penulis sebagai menambah birokrasi yang tidak perlu dan menyusahkan. Saya sungguh bingung dengan contoh yang diberikan oleh penulis ini. Mengapa demikian?

    Karena justru program itu menunjukkan bahwa Jokowi tetap ingin menjalankan sistem check and balance dalam menjalankan kebijakannya yang belum tentu disetujui semua orang. Kalau kita pakai logika si penulis soal pemimpin tegas ala Prabowo, bahkan mekanisme banding itu tidak akan diperlukan seandainya Prabowo yang memutuskan untuk menaikkan NJOP. Buat apa ada mekanisme banding? Kan memimpin berdasarkan keyakinan? Saya sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa NJOP perlu naik, buat apa saya memberikan forum untuk banding, saya tidak perlu mendengarkan masukan orang lain. Ini kalau kita pakai logika si penulis.

    Lebih lanjut lagi, program itu justru bukti nyata bahwa Jokowi berani mengambil posisi yang tegas dalam pengambilan kebijakan. Saya jujur saja. saya benci pajak karena saya harus bayar mahal untuk pajak saya. Dan dalam bidang pajak, saya tidak suka dengan kebijakan Jokowi maupun Prabowo. Tetapi saya cukup yakin kalau saya perhatikan visi dan misi masing-masing Capres, Prabowo (dengan isu kebocorannya) dan Jokowi akan sama-sama meningkatkan pendapatan pajak, dan ada kemungkinan besaran pajak akan naik lagi bagi orang-orang seperti saya. Masalahnya, Jokowi tegas menyatakan dan sudah berani melakukan kebijakan yang membuat orang mungkin tidak suka dengan dia. Dan dia bersedia dikritik dan membuka ruang kepada orang yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Prabowo? Sejauh ini masih bersembunyi dibalik isu kebocoran, dan juga tidak jelas bagaimana caranya dia akan menghadapi orang yang tidak setuju. Lalu siapa sebenarnya pemimpin yang tegas itu? Jawab dengan jujur, bukan dengan retorika omong kosong.

    Contoh juga program menaikkan upah minimum di Jakarta oleh Jokowi. Diberlakukan untuk semua perusahaan di Jakarta. Ada yang menolak? Jelas sekali ada. Saya juga tidak setuju. Namun diberikan mekanisme banding serta mekanisme pengesampingan pemberlakuan kewajiban UMP kalau ternyata mereka belum siap untuk menaikkan UMP. Ini contoh pemimpin yang berani bersikap tegas menjalankan kebijakannya tetapi terbuka untuk kritik. Ini contoh ketegasan yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.  Dan ini yang perlu kita jaga di Indonesia kalau kita sungguh ingin lepas landas.

    Kesimpulan Sementara

    Saya sudah sampaikan alasan-alasan saya bahwa saya tidak tertarik dengan pemimpin bertangan besi dan bahwa dalam prakteknya, keberadaan pemimpin bertangan besi sudah gagal di Indonesia, membuka pintu yang terlalu besar bagi penyalahgunaan, dan kemungkinan besar tidak akan sukses mendidik generasi baru Indonesia yang berdikari dan siap bersaing dengan bangsa lainnya. Saya berharap sebenarnya ada orang yang bisa menjelaskan dengan lebih baik lagi soal ketegasan ini, namun sayangnya orang tersebut tidak ada.

    Oleh karenanya, dengan hanya adanya 2 calon, dan dengan memperhatikan hasil debat presiden bidang hukum dan ekonomi (yang saya tulis sebelumnya) serta konsepsi pemimpin tegas, sejauh ini dukungan saya masih tetap saya berikan kepada Jokowi. Dan saya sampaikan di sini, dengan skor 3-0 seperti ini, sudah kecil kemungkinan saya untuk memindahkan dukungan kepada Prabowo kecuali dia berani janji bahwa rate pajak turun jadi maksimal 10%. Baru lah dia pantas didukung.
  • Beberapa Catatan Soal Debat Presiden Bidang Ekonomi


    Melanjutkan serial Catatan Debat Presiden yang sebelumnya membahas debat bidang hukum dan demokrasi, berikut saya sampaikan catatan saya atas debat bidang ekonomi antara Jokowi dan Prabowo pada tanggal 15 Juni 2014.   

    1. Tentang Sumber Daya Alam Negara dan Investasi Asing

    Saya masih tak habis pikir kenapa Prabowo gemar sekali mengulang-ulang soal larinya sumber daya alam Indonesia ke pihak asing. Dia membahas hal ini dalam debat Hukum dan Demokrasi (walaupun menurut saya tidak ada hubungannya dengan isu hukum) dan mengulangi lagi isu ini di pembukaan debat ekonomi. Jujur saja, bagi saya, retorika larinya (atau menggunakan istilah Prabowo, "bocornya") kekayaan Indonesia ke pihak asing adalah retorika yang tidak masuk akal. Mengapa demikian?

    Pertama-tama, sebagai praktisi hukum korporasi dengan pengalaman hampir 10 tahun menangani ratusan perusahaan besar, baik asing, lokal maupun BUMN, saya melihat bahwa semua perusahaan pada dasarnya memiliki sifat yang sama terlepas asalnya dari mana, yaitu bahwa tujuan utama mereka adalah mencari profit. Hal ini bukan karena kerakusan kapitalisme, liberalisme atau segala macam bentuk isme-isme lainnya yang diada-adakan saja. Semua pengusaha yang rasional pasti ingin untung (kalau maunya non-profit, silakan bikin yayasan), tetapi lebih jauh lagi, kewajiban perusahaan untuk mencari untung adalah amanat undang-undang, baik Undang-Undang Perseroan Terbatas (di Indonesia) dan hukum korporasi lainnya yang berlaku di berbagai negara lain (untuk perusahaan asing). Naif jika orang berasumsi bahwa perusahaan lokal akan lebih baik keberadaannya bagi masyarakat Indonesia dibandingkan dengan perusahaan asing dan juga sebaliknya hanya semata-mata karena mereka berasal dari wilayah yang berbeda.

    Apa jaminannya bahwa suatu perusahaan lokal akan memberikan perhatian yang lebih besar kepada masyarakat Indonesia? Sepanjang suatu perusahaan melihat ada keuntungan dari pemberian perhatian yang lebih baik kepada masyarakat di sekitar mereka, maka dengan sendirinya mereka akan memiliki insentif positif untuk melakukan berbagai kegiatan yang memberikan manfaat kepada masyarakat. Ini semua soal analisis untung rugi yang memang mencakup seluruh aspek kehidupan.

    Dalam prakteknya, saya pernah menghadiri pertemuan-pertemuan terkait investasi asing dimana pihak lokal sibuk berbicara tentang nasionalisme dan sebagainya. Kemudian akhirnya setelah dikejar lebih jauh, ternyata mereka hanyalah kedok dari grup kepentingan (interest group) untuk melindungi bisnis mereka sendiri sehingga mereka dapat membebankan harga yang lebih mahal kepada konsumen (dimana konsumennya adalah orang Indonesia juga!). Ini dari segi praktek. Dari segi teori ekonomi dan Public Choice pun, grup kepentingan bisnis umumnya senang menggunakan kartu nasionalisme karena membantu mengurangi persaingan usaha mereka. Saya pendukung kapitalisme, tapi saya bukan pendukung kapitalisme kroni atau kapitalisme korporasi yang tujuannya menguntungkan diri sendiri melalui monopoli atau oligopoli. Lihat tulisan saya di sini soal pengertian yang benar mengenai neoliberalisme sehingga tidak gampang ditipu.

    Ini berarti bahwa baik perusahaan asing maupun perusahaan lokal dapat berkontribusi ke Indonesia dan perusahaan asing maupun perusahaan lokal juga dapat saja melanggar hukum, mencuri kekayaan negara atau merugikan masyarakat Indonesia. Saya ulangi lagi, tidak ada jaminan bahwa perusahaan lokal pasti lebih baik bagi masyarakat dibanding perusahaan asing dan demikian sebaliknya.

    Kalau Prabowo mau serius menunjukkan pemahaman yang baik soal ekonomi, yang seharusnya dia ributkan adalah soal peningkatan investasi secara keseluruhan (baik lokal maupun asing) di tanah air. Ini baru luar biasa. Dikotomi asing-lokal terasa sangat membosankan dan membuat saya meragukan bahwa Prabowo benar-benar serius berbicara kepentingan masyarakat banyak (yang sebenarnya akan lebih diuntungkan oleh penambahan investasi). Benar bahwa bicara nasionalisme memang bisa berguna untuk menarik massa, pertanyaannya, apakah itu baik untuk masyarakat? Kecuali memang ini hanya strategi untuk menarik massa saja.  

    Kedua, retorika larinya kekayaan Indonesia ke pihak asing juga saya rasa tidak jujur. Bagaimana caranya? Tahukah Prabowo soal isi kontrak atau ijin penambangan kekayaan alam? Pada dasarnya Pemerintah cuma perlu duduk diam menunggu royalti dan kontraktor yang bekerja di lapangan. Apakah maksud Prabowo seharusnya Pemerintah memperoleh lebih banyak lagi pendapatan dari kekayaan alam tersebut? Sederhana saja dalam bisnis: untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak tentunya harus lebih banyak memberikan kontribusi. Menggali kekayaan alam tidak lah gratis. Kontraktor harus membayar royalti dan sebagainya kepada Pemerintah.
    Saya akan lebih senang kalau Prabowo bisa lebih kreatif dalam memberikan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan negara dari sudut kekayaan alam. Apakah melalui peningkatan royalti misalnya? Penambahan kontribusi perusahaan kepada masyarakat sekitar? Tentunya harus ada take and give, dalam artian, Pemerintah juga perlu memberikan insentif tambahan sehingga wajar apabila besaran royalti dinaikkan. Kita kan bicara bisnis dan dimana-mana bisnis harus wajar (arm's length). Tidak bisa kita bicara semaunya kita (dengan alasan nasionalisme) karena memang dunia tidak berjalan seperti itu.

    Pun harus dipastikan bahwa kewajiban-kewajiban terhadap investor atau kontraktor itu perlu diberlakukan kepada investor asing maupun lokal, karena dua-duanya perlu berkontribusi. Ini kalau kita serius berbicara peningkatan kemaslahatan masyarakat, bukan retorika!
     
    Ketiga, soal klaim kebocoran 1.000 trilyun Rupiah sebagai akibat dari larinya kekayaan negara ke asing. Sudah cukup jelas bahwa tidak ada bukti pendukung terhadap klaim ini. Bahkan Presiden SBY sampai mempertanyakan hal tersebut. Menurut saya tidak masuk akal dan juga tidak wajar melontarkan klaim yang sangat bombastis tetapi tidak memberikan bukti pendukung sama sekali. Klaim Prabowo bahwa data ini diambil dari KPK pun sudah dibantah oleh KPK karena ternyata merupakan pernyataan pribadi Abraham Samad (angkanya lebih fantastis lagi, 7.200 trilyun).

    Bahkan katakanlah kita anggap benar bahwa data itu diambil dari KPK, pertanyaan mendasarnya, apakah KPK memang punya kemampuan untuk melakukan perhitungan seperti ini? Saya pikir ada lembaga lainnya yang lebih kompeten untuk melakukan perhitungan tersebut dan lebih tepat dijadikan rujukan kalau kita ingin berdebat dengan data. Ini hutang yang perlu dijawab Prabowo di kesempatan lainnya.

    Terakhir soal kekayaan alam negara ini, saya merasa fokus kepada sumber daya alam adalah perwujudan pemikiran ekonomi jaman purba, karena sumber daya alam itu pada akhirnya akan habis. Sumber daya paling penting dari suatu bangsa adalah manusianya (silakan cek ekonom-ekonom serius, termasuk dari Chicago). Indonesia memiliki kurang lebih 240 juta penduduk. Mereka bisa menjadi aset berharga, atau bisa menjadi beban yang akan menyusahkan negara, tergantung pendidikan dan pelatihan mereka.

    Gary Becker dari University of Chicago sudah lama mengingatkan pentingnya human capital. Dan saya juga ingin mengingatkan hal yang serupa. Sudah banyak sekali contoh negara tanpa sumber daya alam yang berlimpah namun bisa sukses luar biasa. Contoh: Jepang dan Singapura. Sumber daya alam hanyalah alat, dan bahkan bisa jadi kutukan (contoh: Nigeria dengan minyaknya).  

    2. Tentang Pembangunan Sumber Daya Manusia (Pendidikan dan Kesehatan)

    Pembukaan Jokowi yang membahas pembangunan ekonomi terkait pembangunan sumber daya manusia jauh lebih menarik bagi saya, khususnya ketika dia menyebutkan bahwa hal tersebut penting bagi peningkatan produktivitas bangsa dan meningkatkan daya saing bangsa. Satu, karena memang pembangunan masa depan bergantung banyak pada pembangunan manusianya. Kedua, karena visi tersebut bagi saya sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi dalam Hukum dan Ekonomi. Secara ide makro, Jokowi lebih unggul di sini dibandingkan dengan Prabowo.

    Tetapi kita juga perlu menelaah beberapa ide Jokowi terkait pembangunan sumber daya manusia ini, khususnya karena Jokowi menyinggung soal pendidikan (sebagaimana ditanyakan oleh Prabowo terkait wajib belajar 12 tahun). Jokowi ingin melakukan revolusi mental dengan jalan melakukan pembangunan karakter yang dimulai dari SD (80% porsi pembangunan karakter di SD, 60% di SMP, dan 20% di SMA). Pembangunan karakter menurut saya ide bagus, tetapi itu kalau visi misinya mengikuti Jerman dan Jepang yang jelas menghasilkan sumber daya manusia tangguh yang berpendidikan tinggi, efisien, dan punya etos kerja.

    Kalau visi pembangunan karakter ini mentok-mentoknya pendidikan agama dan akhlak model madrasah dan PPKN yang kita miliki saat ini, maka saya khawatir pendidikan karakter itu tidak akan memberikan hasil yang memuaskan karena sudah dijalankan juga saat ini dan tidak ada hasilnya. Orang masih sering membuang sampah sembarangan, ugal-ugalan di jalanan, tidak paham tata cara antri, berbicara tanpa berpikir panjang (banyak contohnya di media sosial), etos kerja yang lemah, dan sebagainya.

    Saya berharap Jokowi bisa jauh lebih dalam menjelaskan visinya soal pendidikan karakter ini karena bukan saja soal karakter, pendidikan dasar kita juga ketinggalan. Masih ingat Skor PISA kita yang salah satu paling rendah di dunia (terkait kemampuan matematika, IPA dan bahasa). Benar bahwa ada murid-murid elit di Indonesia yang jadi langganan Olimpiade fisika, matematika, kimia, dan sebagainya. Orang pintar ada, tetapi mereka belum jadi mayoritas. Kalau kita mau menciptakan bangsa tangguh yang tidak akan kalah dari bangsa lain, yang sungguh-sungguh dihargai bangsa lain, orang pintar (dan berkarakter) mutlak harus diperbanyak. Itu tantangan Jokowi. Tetapi setidaknya dari segi konsep, dia lebih paham dari Prabowo soal mana yang perlu diprioritaskan.

    Lanjutan ide Jokowi bahwa untuk membangun sumber daya manusia dibutuhkan kesehatan selain pendidikan juga merupakan masukan yang bagus. Tetapi saya perlu melihat Jokowi mengelaborasi ide ini lebih jauh. Jujur saja, saya tidak paham ketika dia memperlihatkan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Saya tidak paham arahnya mau dibawa kemana, Jokowi juga tidak menjelaskan sumber dananya akan berasal dari mana. Mungkin kita akan melihat penjelasan mengenai hal ini dalam Debat Cawapres tanggal 29 Juni yang memang akan membahas Pembangunan Sumber Daya Manusia. Sampai dijelaskan lebih jauh, saya menganggap ide Jokowi soal kedua kartu tersebut tidak layak diusung.

    3.  Tentang Ekonomi Kerakyatan

    Saat membahas soal ekonomi kerakyatan, Prabowo berbicara dalam skala retorika yang sangat mengawang-awang dan kembali lagi membahas masalah kekayaan alam Indonesia serta pembicaraan mengenai perlindungan terhadap masyarakat ekonomi lemah. Prabowo juga sempat membahas mengenai bolehnya investasi asing walaupun jadi menimbulkan pertanyaan bagi saya karena terkesan kontradiktif. Jadinya investasi asing ini boleh atau tidak? Sebagaimana saya sampaikan di atas, seharusnya dalam menjelaskan ekonomi kerakyatan ini ada pemikiran yang lebih kreatif dan elaboratif dari Prabowo.

    Tanggapan Jokowi soal ekonomi kerakyatan tidak menunjukkan konsep makro, tapi setidaknya Jokowi memperlihatkan pemahaman yang baik soal pengembangan bisnis bagi pengusaha kecil, pedagang kaki lima, dan pasar tradisional yang mana merupakan salah satu bagian dari masyarakat ekonomi lemah. Idenya membuka ruang yang lebih luas dan teratur bagi pedagang kecil dan perbaikan serta zoning pasar tradisional sudah memasuki tahap implementasi konkrit. Dan saya lebih menghargai hal tersebut dibanding retorika mengenai Pasal 33 UUD 1945 dan perlindungan masyarakat ekonomi lemah. 

    4.  Tentang Pengentasan Kemiskinan dan Penciptaan Lapangan Kerja

    Mengenai pengentasan kemiskinan, Jokowi kembali bicara soal pembangunan sistem sebagai tulang punggung kebijakan anggaran. Idenya valid, tetapi penjelasannya melempem karena mengulang-ulang lagi soal kartu kesehatan dan pendidikan yang saya masih belum paham fungsinya apa.

    Mengenai penciptaan lapangan kerja, Jokowi memberikan solusi melalui penggalakan investasi yang berjalan ke daerah khususnya daerah yang tertinggal yang disertai dengan pembangunan infrastruktur. Jokowi juga memberikan contoh dirinya sebagai Gubernur Jakarta yang meningkatkan upah minimum provisi dengan nilai tertinggi (44%). Untuk soal investasi dan pembangunan infrastruktur, jawaban Jokowi sudah sesuai text book. Saya tidak bisa berharap banyak dia bisa menjelaskan lebih jauh dalam tahap ini karena waktunya sangat terbatas, jadi minimal konsep ini bisa dihargai. Soal UMP, saya bukan pendukung UMP karena saya lebih percaya bahwa UMP seharusnya ditentukan oleh kekuatan pasar, tetapi setidaknya Jokowi sudah menunjukkan keberpihakannya pada kaum buruh yang tentunya akan menjadi salah satu basis kuat bagi pemilih Jokowi. Penyampaian informasi tersebut saya pikir merupakan strategi yang cukup baik.   

    Untuk Prabowo, strategi pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja adalah melalui pertanian (menurut Prabowo: mudah menyerap tenaga kerja dengan cepat). Prabowo mengklaim bahwa 77 juta hektar hutan sudah rusak. Sebagian lahan rusak tersebut akan dijadikan pertanian (2 juta hektar) dan sebagiannya lagi menjadi lahan bio etanol (2 juta hektar). Prabowo berasumsi bahwa 1 hektar lahan akan menyerap tenaga kerja 6 orang, sehingga dengan program ini, setidaknya akan ada 24 juta tenaga kerja baru. Saya punya beberapa masalah dengan usulan program ini.

    Pertama, apakah benar lahan hutan rusak itu bisa digunakan untuk pertanian? Kedua, bukankah sebaiknya lahan tersebut dikembalikan menjadi hutan (mengingat tingkat deforestasi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan kerusakan alam tersebut berimplikasi negatif bagi kita semua). Ketiga, sejauh mana tenaga kerja Indonesia akan berminat pada pertanian? Industri pertanian di negara maju berfokus pada bidang padat modal bukan padat karya. Intinya adalah efisiensi pertanian. Kenapa tidak terpikir untuk investasi dalam bentuk lainnya yang benar-benar bisa mengoptimalkan masyarakat Indonesia? Benar bahwa ide Prabowo dalam hal ini disampaikan dengan lebih konkrit dibandingkan Jokowi, tetapi saya khawatir, ide ini sebenarnya tidak banyak bermanfaat juga dalam memajukan Indonesia dan lebih seperti program masa Orba yang sudah kadaluarsa.

    Soal tenaga kerja dan upah. Saya suka dengan ide Prabowo bahwa pertumbuhan ekonomi yang kuat akan dengan sendirinya menaikkan upah. Artinya dikembalikan ke pasar. Tapi apa ini tidak bertentangan dengan konsep ekonomi kerakyatan yang dia usung sendiri? Lagi-lagi idenya terkesan kontradiktif.

    5.  Tentang Pengendalian Penduduk dan Perbaikan Kesehatan Masyarakat 

    Pertama-tama, klaim ledakan penduduk di Indonesia perlu dipertanyakan lagi, apakah memang benar hal itu terjadi? Kedua, kalaupun benar, saya dibuat bingung dengan usulan Prabowo yang berfokus pada pengurangan kebocoran, dimana dari pengurangan tersebut akan diperoleh dana tunai. Definisi kebocorannya sendiri tidak jelas, dan juga tidak jelas darimana dana tunai tersebut akan muncul kalau kebocoran diperbaiki. Soal program keluarga berencana, Prabowo berfokus pada investasi di posyandu, kampanye keluarga berencana, dan menaikkan gaji tenaga kesehatan melalui program Big Push. Saya ingin tahu apa yang sebenarnya dimaksud dengan Big Push. Tapi secara konseptual, apa yang sudah disampaikan Prabowo sudah sesuai standar.

    Jawaban Jokowi adalah menggunakan institusi BKKBN, tetapi secara konseptual ya sama saja dengan Prabowo. Mengenai angka kematian ibu dan layanan kesehatan, Jokowi membicarakan sistem kembali untuk menjaga anggaran. Dan tentunya lagi-lagi membahas Kartu Sehat (yang tidak jelas itu). Bagi saya, penjelasan Jokowi soal ini sama normatifnya dengan Prabowo. Jadi mereka setara dalam soal pengendalian penduduk. 

    6.  Tentang DAU, DAK dan TPID

    Saya berharap Prabowo dapat menunjukkan pemahamannya mengenai konsep Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sehubungan dengan otonomi daerah. Tapi yang saya tangkap, dia tidak terlalu paham, karena lagi-lagi membicarakan soal kebocoran kekayaan alam Indonesia yang menurut dia lari ke investor asing (kontradiksi kembali).

    Ketika membahas soal peningkatan peranan TPID (Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah) pun, tampak jelas Prabowo sama sekali tidak tahu menahu mengenai hal itu. Jadi tidak banyak yang bisa saya bahas dalam isu ini. Jujur, saya juga baru mendengar soal TPID pertama kalinya dalam debat ini dan baru tahu bahwa keberadaannya penting karena sumbangsih daerah yang besar terhadap kenaikan inflasi di Indonesia.  Sedikit banyak, kelemahan Prabowo dalam menjawab 2 isu ini membuat saya bertanya-tanya apakah Prabowo sebenarnya paham isu-isu makro yang selalu diusung oleh pendukungnya.   

    7.  Tentang Target Pertumbuhan Ekonomi

    Target pertumbuhan ekonomi Jokowi yang 7% boleh dibilang sangat berani. Untungnya dia cepat memberikan catatan-catatan yang menurut saya layak dipertimbangkan: penciptaan iklim investasi yang baik bagi para investor dan penyederhanaan sistem perizinan bagi investasi. Hal ini sudah terlihat setidaknya di Jakarta terkait proses pengurusan izin (walaupun masih perlu perbaikan) dan menurut saya merupakan poin yang sangat penting karena proses perizinan yang berlarut-larut di Indonesia adalah salah satu penghambat terbesar untuk pelaksanaan kegiatan investasi (semua corporate lawyer seharusnya tahu soal itu).

    Ide Jokowi lainnya mengenai dukungan insentif untuk kegiatan ekspor dan peningkatan peranan kedutaan dalam mendukung perdagangan Indonesia di luar juga patut dihargai. Saya pikir ini ide konkrit yang bisa didalami lebih jauh dan lebih mengena dibandingkan kalau misalnya pertumbuhan ekonomi cuma dikembalikan ke masalah kebocoran anggaran dan kekayaan alam Indonesia.     

    8.  Tentang Defisit Perdagangan

    Ya, saya sudah lelah menulis di sini karena setiap isu di Indonesia ini bagi Prabowo adalah soal kebocoran anggaran. Prabowo memberikan contoh kebocoran dalam bentuk defisit anggaran impor minyak dimana harga minyak sangat mahal. Tetapi itu bukan kebocoran, itu adalah karena kita menerapkan subsidi untuk impor minyak. Ya jelas saja defisit. Contoh yang menurut saya tidak pas sama sekali. Dan tentunya mengulang kembali soal klaim Ketua KPK soal kebocoran Rp7.200 trilyun yang tidak jelas asalnya darimana. Bagaimana mungkin saya tidak berpikiran bahwa Prabowo memang sengaja mengulang-ulang kasus kebocoran ini sebagai modal kampanye pada konstituen saja.

    Buat modal kampanye, jelas ini efektif bagi kalangan tertentu. Tapi jelas juga ini tidak efektif bagi saya. Bagaimana caranya kita bisa menelaah program Prabowo kalau dia terlalu sering mengulang-ulang isu yang tidak pernah ia definisikan secara jelas? Lalu apa jadinya kalau ternyata kebocoran itu tidak sampai Rp1.000 trilyun? Bubar negara kita karena tidak ada kas yang cukup untuk mendukung program-program Prabowo?

    9.  Tentang Pembangunan Infrastruktur

    Jokowi memperkenalkan konsep Tol Laut. Idenya menarik, menggunakan kapal laut yang berjalan secara reguler dalam lintasan antar pulau guna mengangkut berbagai produk dan menekan biaya transportasi.  Jokowi menunjukkan bahwa biaya suatu barang menjadi jauh berbeda di berbagai daerah di Indonesia karena infrastruktur yang lemah.  Jokowi juga memberikan contoh bagaimana tidak efisiennya transportasi antar pulau di Indonesia dibandingkan dengan transportasi ke luar negeri.

    Bagi saya, dukungan Jokowi pada pembangunan infrastruktur masih bersifat normatif. Walaupun tol laut ini terdengar menarik, tetapi istilahnya ambigu, tidak heran masih saja ada orang yang berpikir bahwa tol laut tersebut adalah membangun jalan tol di atas laut (yang tentu saja tidak masuk akal). Pun perlu dijelaskan, kalau nantinya ada kapal laut yang berjalan secara reguler, bagaimana biayanya akan ditanggung? Apa gunanya kapal laut berjalan kalau barangnya tidak ada yang diantar. Artinya untuk memastikan bahwa sistem ini bisa berjalan lancar, supply & demand di daerah juga perlu dijaga. Mau tidak mau tol laut berkorelasi erat dengan peningkatan pembangunan di daerah yang tertinggal. Walau demikian, saya menghargai adanya ide ini. Minimal ada yang bisa kita beri masukan sehingga ide tersebut bisa berjalan dengan lebih baik.

    10.  Tentang UU Desa dan Anggaran 1 Milyar Rupiah Per Desa

    Sebenarnya Jokowi bisa menyampaikan dengan lebih baik serangan terhadap Prabowo terkait program 1 Milyar Rupiah per desa yang diklaim Prabowo sebagai bagian dari programnya walaupun sudah diamanatkan dalam UU Desa. Menurut saya pribadi, tidak terlalu menarik dan berguna untuk menyerang Prabowo terkait UU Desa sebagai strategi kampanye.  


    11.  Tentang Ekonomi Kreatif

    Isu Ekonomi Kreatif mungkin tidak terlalu seksi karena  pangsa pasarnya belum maksimal di Indonesia dan masih menunggu untuk dikembangkan lebih jauh. Tetapi ketika membicarakan hal ini, saya menangkap Prabowo tidak paham konsep Ekonomi Kreatif sebelum dijelaskan lebih jauh dalam tanggapan Jokowi. Hal mana membuat saya kembali bertanya-tanya soal kemampuan dan wawasan ekonomi Prabowo.

    12.  Tentang ASEAN Free Zone

    Sebaliknya, isu pasar bebas ASEAN jelas terasa seksi dan menarik untuk ditanyakan oleh Prabowo kepada Jokowi karena melibatkan isu nasionalisme dan produk-produk asing. Saya mendukung tanggapan Jokowi bahwa kita tidak perlu takut berkompetisi, justru Jokowi bilang seharusnya kita yang bisa menyerang duluan. Jokowi juga menunjukkan ada komitmen untuk menyusahkan investor asing sepanjang hal itu resiprokal dengan perlakuan terhadap investor Indonesia di luar. Saya pikir ini bisa diterima. Perlakuan resiprokal adalah wajar-wajar saja dalam negosiasi bisnis dan negosiasi politik antar negara, tinggal bagaimana kita memainkan kartu milik kita. 


    13.  Tentang Kontrak dengan Investor

    Terakhir, terkait pertanyaan mengenai kontrak dengan investor asing, isu yang dibawah oleh Prabowo ini juga sangat seksi dan relevan. Apakah Indonesia harus tunduk pada kontrak yang sudah disepakati? Jawaban Jokowi bagus, yaitu kita harus menghargai kontrak yang sudah ditandatangani sebagai bukti komitmen kita, dan bahwa kalau mungkin bisa dilakukan renegosiasi, maka tentu saja hal tersebut bisa dilakukan.

    Prabowo melanjutkan: lalu bagaimana dengan kontrak yang jelas-jelas merugikan? Jawaban Jokowi juga sesuai standar jawaban corporate lawyer, baca dulu kontraknya, cari peluang, baru kita usahakan renegosiasi. Dan dalam prakteknya, kita juga bisa saja memutus perjanjian tersebut sepanjang analisis untung rugi kita mengindikasikan lebih untung untuk mengakhiri kontrak dibandingkan dengan meneruskan kontrak (dengan memperhitungkan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengakhiri kontrak termasuk biaya sengketa).

    Dalam pendekatan Hukum dan Ekonomi dan juga sebagaimana dianut dalam Chicago School, efficient breach of contract itu sah-sah saja. Artinya, kita bisa saja melanggar suatu kontrak sepanjang keuntungan yang didapat dari pelanggaran lebih besar dari kerugian akibat pelanggaran tersebut. Ini cara berpikir rasional dan kalau Jokowi mau menghitung dengan seksama dulu sebelum mengambil keputusan, itu menunjukkan dia mau berpikir.

    Saya tidak akan respek dengan jawaban: pokoknya batalkan saja kontrak dengan pihak asing kalau merugikan negara. Mengapa? Karena artinya orang yang bersangkutan hanya asal ngomong. Jelaskan dulu apa yang dianggap kerugian negara? Sudahkah mereka menghitung biaya pengakhiran sepihak tersebut? Biaya ganti rugi yang perlu dibayarkan, biaya reputasi, biaya sengketa di peradilan/arbitrase? Apakah sepadan dengan keuntungan yang diharapkan oleh negara kita? Jangan cuma asal bunyi dalam isu yang sensitif seperti ini.

    14.  Kesimpulan Sementara

    Bagi saya, dalam debat bidang ekonomi ini, Jokowi masih tetap jadi pemenangnya. Walaupun tentunya ada beberapa nilai yang tidak sempurna dari program-program ekonomi Jokowi, secara umum, Jokowi memberikan paparan program yang lebih jelas, bisa diuji dan diberi masukan, dibandingkan dengan Prabowo yang masih tenggelam dalam lautan retorika. Pertanyaannya: kenapa saya harus memilih retorika yang tidak akan pernah bisa diuji dan diperbaiki isinya, dibandingkan dengan memilih program-program yang bisa kita berikan masukan?

    Demikian kesimpulan sementara ini. Nantikan selanjutnya catatan saya atas Debat Bidang Pertahanan dan Ketahanan Nasional.

  • Beberapa Catatan Soal Debat Presiden Bidang Hukum dan Demokrasi


    Pemilihan Presiden tahun 2014 boleh dibilang sangat terpolarisasi. Mungkin karena calonnya hanya ada 2 pasang dan terlihat sangat kontras dalam pencitraan masing-masing. Yang satu tampil sebagai calon pemimpin perkasa dan tegas, satunya lagi memilih tampil sebagai sosok sederhana yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Semua politisi pada dasarnya harus bisa mencitrakan posisinya secara jelas ke khalayak ramai. Pertanyaannya, apakah pencitraan demikian cukup? Mungkin ya bagi beberapa orang. Bagaimana pun juga, tidak semua orang punya waktu luang untuk membaca dan menelaah seluruh program para capres, mengamati rekam jejak, dan meluangkan waktu menonton debat capres-cawapres.

    Bagi saya, pencitraan tidak lah cukup. Saya tidak peduli apakah presiden punya bakat jadi  pemimpin sangar atau pemimpin yang merakyat. Saya juga jelas bukan target dari kampanye yang basisnya macam: pemimpin ganteng, pemimpin bisa baca Quran, pemimpin dukungan Kristen, pemimpin dukungan Islam, pemimpin keturunan non pribumi, pemimpin galak, pemimpin boneka dan sebagainya. Saya malu dengan gelar pendidikan dan profesi saya, kalau membuat pilihan berdasarkan alasan-alasan di atas mengingat kebanyakan melibatkan teori konspirasi yang tidak bisa dibuktikan.

    Maka, konsisten dengan pendekatan Hukum dan Ekonomi (Law & Economics) yang selalu saya usung di blog ini, pertimbangan saya dikembalikan kepada analisis untung rugi (cost benefit analysis) dan sifatnya pragmatis. Kita memilih calon yang dinilai akan lebih baik dalam memimpin negara ini daripada calon yang lain. Sederhana saja. Namun berhubung saya juga tidak punya waktu untuk memantau semua program capres, saya berharap bisa memilih dengan mengandalkan debat capres-cawapres. 2-3 jam seminggu ditambah membaca komentar-komentar atas debat itu saya pikir sudah cukup bagi saya untuk membantu mengambil keputusan dalam jadwal yang padat.

    Oleh karenanya, saya sangat tertarik dan senang bisa menonton jalannya debat Jokowi-JK versus Prabowo-Hatta dalam acara debat calon presiden 2014. Pertama tentang isu hukum dan demokrasi pada tanggal 9 Juni 2014, lalu isu ekonomi pada tanggal 15 Juni 2014 kemarin. Jujur saja, sebagai orang yang memilih untuk tidak memilih pada saat pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu, dan juga tidak mengikuti debat calon presiden di tahun 2009 dengan seksama, saya belum pernah melihat Prabowo dan Jokowi bicara di publik dalam format debat.

    Berikut adalah catatan saya atas debat tanggal 9 Juni 2014. Selanjutnya di artikel berikutnya, saya akan memberikan catatan atas debat soal ekonomi tanggal 15 Juni 2014.

    1. Soal Kemampuan Berbicara

    Sebelum masuk ke materi perdebatan, saya ingin membahas sekilas soal kemampuan berbicara para kandidat. Dalam debat pertama, Jokowi dan Prabowo nampaknya sama saja. Prabowo tidak tampak seperti orator jagoan yang dikatakan mirip dengan Bung Karno. Jokowi juga ya biasa saja. Dalam debat kedua, Prabowo tampil lebih baik sebagai pembicara dengan retorika-retorika yang umumnya didengar dalam kampanye politik. Jokowi tampil kurang meyakinkan pada awalnya, walaupun kemudian bisa mengejar dalam penyampaian programnya.

    Kemampuan berbicara sebenarnya lebih ke soal mencari massa. Sebagaimana pernah saya sampaikan di sini, kapabilitas untuk dipilih menjadi pemimpin dengan kapabilitas untuk menjadi pemimpin adalah 2 aspek yang sangat berbeda. Orang yang jago berbicara tentunya akan lebih mudah untuk meyakinkan orang lain, terlepas apakah yang disampaikan benar atau tidak. Dan dalam format debat yang waktunya terbatas, bisa jadi persona yang ditampilkan dengan cara meyakinkan akan lebih mengena walaupun isinya omong kosong saja.

    Dalam hal ini, sebagaimana akan saya uraikan lebih jauh di bawah ini, saya menangkap apa yang disampaikan oleh Prabowo kebanyakan hanya retorika yang tidak jelas. Sedangkan Jokowi menampilkan program-program yang bisa lebih saya hargai, namun karena penyampaiannya tidak terlalu bagus, saya menduga tidak banyak orang bisa menangkap maknanya dengan tepat.

    Dalam skala luas, gaya penyampaian Prabowo akan terlihat lebih meyakinkan dan bagi pemilih yang tidak terlalu peduli dengan isi pembicaraan, akan lebih menarik perhatian orang untuk memilih Prabowo (misalnya kalimat-kalimat yang mengusung kepedulian Prabowo akan lapangan pekerjaan bagi rakyat, agar rakyat tidak kelaparan, tidak pusing memikirkan pendapatan, dan sebagainya). Jokowi perlu memperbaiki hal tersebut kecuali dia dan timnya cukup yakin bahwa pasar pemilihnya sudah cukup banyak untuk memenangkan Jokowi. Tapi tidak pernah salah untuk berhati-hati dalam pilpres. Kalau niatnya menang, usahanya tentu perlu lebih keras lagi.   

    2. Penjelasan Konsep Demokrasi

    Ketika menonton debat hukum dan demokrasi, saya langsung kecewa begitu mendengar Prabowo menjawab di awal debat bahwa isu hukum dan demokrasi di Indonesia disebabkan karena larinya kekayaan Indonesia ke asing. Pertanyaan saya, apa hubungannya dan bagaimana caranya larinya kekayaan Indonesia ke asing menyebabkan permasalahan terhadap hukum dan demokrasi di Indonesia? Selanjutnya, penyampaian ide prabowo bahwa demokrasi hanyalah alat bagi saya sah-sah saja. Dalam teori Public Choice, semua kelompok kepentingan (interest group) memiliki agenda sendiri-sendiri dan akan menggunakan berbagai sarana untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Rasional.

    Tetapi penjelasan Jokowi bahwa demokrasi adalah soal mendengar lebih menarik bagi saya. Urusan administrasi negara membutuhkan pemimpin yang bisa mendengar. Dalam skala modern, sistem Command Center atau War Room (yang sudah dimiliki Presiden SBY saat ini), yang memungkinkan seorang Presiden untuk memantau setiap kejadian di Indonesia secara real time seharusnya lebih memudahkan pemimpin untuk mendengarkan keluh kesah masyarakat. Saya sempat menikmati foto-foto real time situasi di Indonesia ketika menyaksikan presentasi Pak Kuntoro Mangkusubroto dalam acara peluncuran Alumnas Scholar Forum beberapa minggu lalu. Jokowi dengan konsep mendengarnya seharusnya bisa memanfaatkan sistem yang sudah ada tersebut. Minimal mengurangi porsi acara "blusukan" yang sering dikritik, toh sudah ada mekanisme yang lebih efisien.

    3. Penunjukan Kabinet

    Selanjutnya, saya mencatat soal isu penunjukan kabinet yang sering memuat politik dagang sapi. Secara umum, kedua belah pihak memberikan jawaban normatif yang sama. Tapi dalam penyampaiannya, tim Jokowi terlihat lebih tegas dan berani menjanjikan bahwa tim kabinetnya akan dipilih berdasarkan profesionalitas. Lebih sulit untuk menangkap ketegasan yang sama dari tim Prabowo, khususnya dengan pemberitaan bahwa Prabowo sempat menawari adanya jabatan Menteri Utama kepada Aburizal Bakrie, dan juga sempat kepada Mahfud MD.

    Penyusunan kabinet berbasis profesionalitas adalah mimpi yang luar biasa, siapa pun yang bisa mewujudkan hal tersebut layak disebut jagoan. Saya setidaknya sudah bisa melihat bibit-bibitnya dari mekanisme yang digunakan oleh Jokowi bersama Ahok dalam susunan kepegawaian di Pemda DKI Jakarta. Saya tidak bisa melihat hal ini dari Prabowo, karena faktanya, tidak ada rekam jejak sama sekali mengenai soal ini. Baru pembicaraan saja.

    4. Komitmen akan Pluralitas

    Isu berikutnya adalah soal pluralitas. Baik Prabowo dan Jokowi memberikan jawaban serupa. Jokowi memberikan contoh lurah Susan, dan Prabowo memberikan contoh Ahok sebagai bukti komitmen dukungan mereka terhadap pluralisme di Indonesia. Dua-duanya contoh yang baik. Sebenarnya latar belakang Prabowo juga adalah keluarga yang pluralis (ayah ibunya nikah beda agama, dan saudara Prabowo beragama Kristen). Tetapi saya punya kekhawatiran yang cukup beralasan bahwa Prabowo didukung oleh grup-grup macam FPI dan juga Partai seperti PKS yang komitmennya terhadap pluralitas Indonesia sejauh ini jelas sangat minim. Harapan saya, dengan merangkul mereka, Prabowo justru bisa mengendalikan mereka, tetapi ini belum bisa diketahui. Denga adanya fakta ini, bagi saya, lebih aman memilih Jokowi terkait komitmen atas pluralitas.

    5. Penegakan Hukum       

    Di awal, tim Jokowi lebih dulu menegaskan dukungannya kepada KPK. Tetapi buat saya, itu standar saja. Saya lebih tertarik seandainya Jokowi berani berbicara penegakan hukum berbasis insentif dan analisis untung rugi. Misalnya fokus penegakan hukum korupsi yang berbasis pengembalian aset negara dan pemberian bonus kepada petugas KPK yang paling sukses dalam mengembalikan aset negara.

    Tim Prabowo berbicara soal penegakan hukum yang lebih merata, supaya tidak tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah. Isu utamanya tentunya soal anak Hatta Rajasa. Sebagai pendukung aliran Hukum dan Ekonomi, saya jelas lebih mendukung penjatuhan pidana dalam bentuk denda dan ganti rugi dibandingkan dengan penjara. Pun sejauh yang saya ketahui, anak Hatta Rajasa dijatuhi hukuman pidana percobaan. Bagi saya itu lebih efisien. Pertanyaannya, bagaimana caranya supaya pendekatan yang lebih efisien ini bisa diaplikasikan untuk semua lapisan masyarakat? Andai pasangan Prabowo berani menjawab soal itu dibandingkan dengan retorika normatif umumnya, maka saya akan lebih teryakinkan. Untuk itu, dalam soal penegakan hukum ini, bagi saya dua-duanya sama saja.


  • Tentang Hukum Islam dan Penafsirannya (Bagian 1)


    Sebenarnya sudah cukup lama saya berpikir menulis dalam Bahasa Indonesia, tetapi karena sejak awal blog saya ditulis dalam Bahasa Inggris, saya sering kali mengalami dilema kalau harus menulis dalam Bahasa Indonesia. Namun demikian, setelah saya pikir-pikir lagi dari analisis untung rugi, saya melihat kalau tulisannya difokuskan untuk kasus atau masalah khusus di Indonesia, sebaiknya memang ditulis dalam Bahasa Indonesia agar bisa menarik lebih banyak Pembaca.
  • Gary Becker and the Development of Law & Economics


    When I left Chicago in 2012, I promised myself that I will do 2 two things once I return there in September 2014. First, I'll attend an event of Ronald Coase and ask him for an autograph. Second, I'll attend Gary Becker's class, Price Theory, since I was not able to take the class in 2012 due to conflicting schedules. I spectacularly failed to do both because both of Coase and Becker have passed away. I'm grateful that I had the chance to attend one of Becker's seminar when he debated Francois Ewald on Foucault thoughts on Becker. But of course that was not enough, it will never be enough. So for me, this is a profound loss. 

    In honor of Gary Becker, I think it would be proper to write a piece of article on his impact to the development of Law and Economics. If Ronald Coase introduces the idea of transaction costs, persuading lawyers to think not only from liability perspective but also transactional perspective in designing regulations, Gary Becker introduces the idea that economics can be used as a tool to analyze almost every aspect of everyday life. This is a very important contribution to economic analysis of law where previously the scope of economic analysis is limited to specific areas of law such as antitrust. 

    Furthermore, before the formal existence of Law and Economics, lawyers are mainly divided in two groups: (i) the natural lawyers who believe that law is derived from higher morality principles (can be God's wisdom, morality of the society, etc), and (ii) the positivist lawyers who believe that law is derived from social facts in which lawyers can know and find valid sources of legal authority (not to be confused with legal formalists).

    For natural lawyers, contents of the law matter and they believe that immoral laws cannot be considered as laws. While their approach creates inconsistencies in practice (immoral laws can actually exists and be enforced), at least they have some criteria for a good law. The problem is reversed for positivist lawyers (including me) that mainly focus with sources and not contents. Since legal positivism is basically a descriptive theory of law, it can describe the requirements for a rule to be considered as a law but it lacks a proper theory in determining the characteristics of a good law.

    Law and Economics (especially the normative one) fills such gap. It provides an alternative theory in analyzing the requirements of a good law. Instead of relying on vague moral principles, we rely instead on cost & benefit analysis, and efficiency and welfare maximization principles. Such idea is foreign to classically trained lawyers. But once they know the gist of it, their view of the world will be significantly changed, hopefully, for the better.

    Let me give an example from one of Becker's most famous article on the economic approach toward crime and punishment. When dealing with criminal laws, classical lawyers tend to think from simple retributive or distributive justice point of view. It's about making a fair punishment, a just desert for the villain. Sometimes, the lawyers would also think about humane sanctions or possible reconciliation between victims and criminals. Unfortunately, to be honest, all of these things are obscure and it is difficult to recommend a satisfying policy because when speaking about morality principles, people tend to disagree based on personal values or preferences.

    With Becker's paper, lawyers are reminded that criminal activities are generally activities that are costly to the society. Furthermore, criminal enforcements also involve costs. Nothing is free and there would always be a trade off. From such a simple idea, one can think of many implications as follows: what activities should be criminalized? What are the most efficient way of imposing sanctions? How to reduce the costs of law enforcement? Should we focus the enforcement on specific criminal actions only? How to introduce sanctions that can improve the welfare of the society? Is prison effective? Any preventive mechanism that can be used to reduce crime other than using traditional criminal laws?

    The last question is very important. Although most criminal lawyers understand that criminal law is ultimum remedium, the last resort to be taken for dealing with harmful activities, in general, common people think that the criminal law is the solution of all ill problems in the society. If you don't like act X, you should criminalize act X, and so on. Of course that does not make any sense from Law and Economics perspective because again, legal enforcement needs money. And who will pay for that? Maybe the public will be more careful in supporting criminalization of acts once they know that they also share the costs instead of maintaining a false sense of justice.

    Now, Becker's analysis can be extended outside the realm of criminal law. That's the beauty of his theory, it can be used for virtually any areas of law, such as: contract law, administrative law, constitutional law, torts, and family law. It can even be used to support the use of cost and benefit analysis in designing and promulgating regulations.  In the modern world, a regulation should not be enacted if it cannot pass a strict cost and benefit analysis. The reality is, a regulation can have a significant impact on the economy. To name a few, the list would include regulations on foreign investment, capital market, banking, environment, and safety. It is simply preposterous if the government or the legislative imposes new laws without considering the above cost and benefit analysis, only relying on petty concepts such as nationalism or self-supporting taglines.

    I believe that thinking using the economic approach is beneficial for lawyers. It trains you to focus on things that really matter, namely, whether the law's provisions are actually good for the society or not, transforming a lawyer from a mere spokesman of the law to become an educated policy maker. The economic approach also allows the lawyers to rationally analyze the provision of a law and provides a basic set of criteria (though not perfect) to assess the quality of such law.  

    I always dream that lawyers can collaborate more with economists in Indonesia. I've seen the great results from such cooperation at the University of Chicago Law School and I think Indonesian lawyers and economists will also benefit from such cooperation. This is now the era where multidisciplinary cooperation among scholars are really needed (not arrogance and exclusivity among scholars). Gary Becker was an excellent example for being a supporter of such cooperation (he also held a position at the Chicago Law School). He will be deeply missed, but the show will go on, and thanks to him, we still have a lot of many exciting issues to be studied and analyzed. Long live Law and Economics!


  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.