Jangan tertipu dengan judul artikel ini yang terlihat rumit. Isunya sebenarnya sangat sederhana. Apabila suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") yang mencabut keberlakuan suatu Undang-Undang ("UU") ternyata ditolak oleh DPR, maka otomatis Perpu itu menjadi batal demi hukum dan UU yang dicabut oleh Perpu akan kembali berlaku. Mengapa demikian? Karena aturan yang mencabutnya lenyap dan dianggap tidak pernah ada, dengan sendirinya UU yang bersangkutan pun juga dianggap tidak pernah dicabut. Ini logika hukum mendasar yang wajib dipahami semua sarjana hukum semester pertama di Indonesia.
Makanya saya luar biasa terkejut ketika kemarin membaca pendapat dari Mahfud MD di Twitter yang menyatakan bahwa dalam kasus UU Pilkada, apabila Perpu Pencabutan UU Pilkada ditolak oleh DPR, maka akan terjadi kekosongan hukum karena Perpu dan UU Pilkada sama-sama tidak berlaku lagi. Lebih lucu lagi, Mahfud MD menyatakan bahwa para ahli hukum tata negara juga belum dapat memberikan solusi atas isu kekosongan hukum tersebut dan bahwa ini merupakan kasus pertama di Indonesia. Berlebihan kalau pertanyaan semudah ini tidak bisa dijawab oleh para ahli hukum tata negara. Kalau mereka tidak mampu menjawabnya, seharusnya mereka bahkan tidak lulus jadi sarjana hukum.
Yang lebih ironis lagi, Mahkamah Konstitusi ("MK") sendiri sebenarnya sudah pernah menjawab isu hukum sederhana di atas dengan tegas melalui Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 tanggal 1 Desember 2004 tentang Uji Materil terhadap UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan ("UU No. 20/2002"). Putusan tersebut membatalkan secara keseluruhan isi dari UU No. 20/2002 karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi.
Apakah kemudian tiba-tiba terjadi kekosongan hukum di bidang ketenagalistrikan karena UU No. 20/2002 dicabut? Sama sekali tidak. Dalam pertimbangan hukumnya (lihat halaman 350 dari putusan), MK menyatakan: "guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."
Dengan membaca pertimbangan putusan di atas, permasalahan hukum ini menjadi sejelas matahari terik di siang hari tak berawan. Jangan membuat orang awam bingung. Kekosongan hukum hanya mungkin timbul apabila peraturan perundang-undangan yang dicabut ternyata mengandung suatu norma hukum yang sebelumnya belum pernah diatur. Lebih jauh lagi, kekosongan hukum juga tidak selalu berarti buruk, tidak semua hal di dunia ini perlu diatur oleh hukum! Artikel dari Tim Harford ini bisa menjadi contoh bagus mengapa tidak semua hal perlu diatur oleh hukum.
Yang pasti, Perpu yang dikeluarkan oleh SBY bukan langkah yang akan menghentikan keberlakuan UU Pilkada secara efektif. DPR cukup menyatakan tidak setuju terhadap Perpu tersebut dan UU Pilkada akan kembali berlaku secara otomatis (tidak perlu DPR dan Pemerintah kemudian sibuk menyusun UU Pilkada baru).
Secara terpisah, saya juga mengkritik keras dikeluarkannya Perpu Pilkada. Ini contoh yang sangat buruk bagi hukum tata negara kita, khususnya karena besar kemungkinan penerbitan Perpu Pilkada tidak memenuhi persyaratan utama dari penerbitan suatu Perpu, yaitu kegentingan yang memaksa (apanya yang genting dan memaksa saat ini?). Selain itu, sudah ada mekanisme hukum lainnya yang bisa digunakan untuk melawan UU Pilkada bagi mereka yang tidak setuju dengan isinya, yaitu melakukan uji formil dan materil ke MK. Kalau memang niatnya benar dari awal, kenapa tidak fokus saja menjalani aturan yang sudah cukup jelas ini?