THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Solusi Pragmatis Untuk Praperadilan Atas Penetapan Status Tersangka


    Saya tidak akan menulis panjang lebar soal analisis hukum positif terkait kewenangan hakim praperadilan dalam mengadili keabsahan status tersangka. Kajiannya sudah bertebaran dimana-mana dan prinsip saya, kalau pasar sudah melakukan tugasnya secara efisien, untuk apa lagi menambahkan kajian serupa tanpa nilai tambah. Hanya akan buang-buang waktu saya dan para pembaca. Oleh karena itu, kali ini  saya akan membahas catatan ringkas atas putusan praperadilan terhadap keabsahan status tersangka Budi Gunawan dan solusi pragmatis yang bisa diambil setelah dijatuhkannya putusan tersebut. Mengingat saya belum menerima salinan resmi putusan tersebut, saya terpaksa mengandalkan ringkasan pertimbangan hukum yang dimuat di sini.

    Pertama-tama perlu saya sampaikan bahwa saya mendukung interpretasi yang membuka kemungkinan pelaksanaan praperadilan atas penjatuhan status tersangka khususnya apabila penjatuhan status tersebut bisa mencederai hak warga negara kita dan dibiarkan terombang-ambing tanpa kepastian. Mungkin penyusun KUHAP di tahun 1981 berpikir bahwa penjatuhan status tersangka tidak akan mengganggu hidup dan pekerjaan seseorang dan bahwa masalah hanya akan timbul apabila upaya paksa telah dijalankan. Masalahnya, hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi fakta bahwa KUHAP memberikan kebebasan yang luar biasa kepada penyidik untuk menjatuhkan status tersangka di Indonesia. Sangat rentan penyalahgunaan. Di Amerika yang sistem hukumnya sudah bagus saja, polisi masih dianggap terlalu sering menyalahgunakan kewenangannya dan hakim masih dianggap pro polisi dalam menjalankan tugasnya, apalagi kalau sistemnya amburadul dan masih banyak membuka ruang diskresi! Apakah akan dibiarkan begitu saja?

    Tentu pertimbangan saya juga berdasarkan analisis untung rugi (cost benefit analysis). Semua harus ada alasannya dan harus dilihat baik buruknya. Kalau mau dicari-cari dasarnya dengan menggunakan UU Kekuasaan Kehakiman, interpretasi hukum oleh hakim masih bisa dilakukan. Pengadilan seharusnya bisa menjadi institusi yang menyeimbangkan penyalahgunaan wewenang oleh institusi penegak hukum. Saya muak melihat kalau ide hukum yang "menyimpang" itu hanya dibiarkan kalau pidana diperberat untuk kasasi dari pihak terdakwa atau hak orang dicederai macam dibolehkannya kasasi atas putusan bebas atau menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang secara seenaknya tanpa ada dasar keadaan darurat sebagaimana pernah saya bahas di sini.

    Ini mengapa saya menyayangkan kurang elaboratifnya pertimbangan Hakim Sarpin Rizaldi dalam kasus praperadilan Budi Gunawan khususnya analisis soal mengapa penetapan status tersangka bisa dianggap sebagai bagian dari upaya paksa. Tentunya tidak cuma sekedar karena penetapan tersangka bisa menjurus ke penangkapan dan penahanan. Syarat pelanggaran haknya harus lebih jelas dan limitatif supaya juga tidak membuka pintu penyalahgunaan yang berlebihan. Mungkin ini dampak buruk sistem dimana putusan pengadilan tidak dianggap sebagai sumber hukum yang mengikat. Karena dianggap tidak mengikat, insentif untuk mempelajari dan membahas putusan menurun. Hakim juga malas menjelaskan opininya panjang-panjang. Untuk apa kalau bisa dikesampingkan? Tapi ini pola pikir yang salah. Bahkan sekalipun putusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat ala preseden di negara-negara common law pun, tidak berarti kita tidak bisa membuat putusan yang bermutu dan diargumentasikan secara profesional dan sistematis. Kalau kita bisa membuat putusan hakim yang persuasif, hakim lainnya juga tidak bisa seenaknya menolak tanpa memberikan analisis yang tak kalah komprehensif. Untuk isu yang satu ini, sayangnya jalannya masih panjang.

    Namun demikian, terlepas dari minimnya pertimbangan hukum tersebut, putusan Hakim Sarpin bukanlah tanda-tanda kiamat dunia hukum atau pemberantasan korupsi di Indonesia. Terlalu berlebihan itu. Mari kita asumsikan bahwa putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap. Menilik pertimbangannya, saya tidak menyarankan KPK untuk melakukan peninjauan kembali atas putusan tersebut. Biarkan saja. Justru putusan ini sangat membantu KPK karena Hakim Sarpin menyatakan bahwa KPK tidak berwenang untuk menjatuhkan status tersangka kepada Budi Gunawan karena Budi Gunawan bukan pejabat negara sebagaimana didefinisikan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

    Hal tersebut benar, tetapi masih ada satu celah lagi bagi KPK untuk menjatuhkan status tersangka terhadap Budi Gunawan, yaitu statusnya sebagai polisi yang notabene merupakan penegak hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 11 (a) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, daripada pusing-pusing mengajukan PK, KPK tinggal mengubah surat penetapan tersangka dengan menegaskan bahwa Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka karena ia adalah penegak hukum. Saya cukup yakin bahkan hakim yang paling canggih di dunia pun juga sulit untuk menyatakan bahwa dengan jabatannya di kepolisian, Budi Gunawan tidak bisa dianggap sebagai penegak hukum. 

    Tanpa pengajuan PK, putusan praperadilan ini sudah tidak akan diganggu gugat lagi kekuatan hukum tetapnya dan berarti ruang untuk menggunakan praperadilan untuk kasus-kasus lainnya yang penuh rekayasa juga terbuka, termasuk sebenarnya kasus terhadap Bambang Widjojanto (dimana statusnya sebagai tersangka bisa menyebabkan ia kehilangan pekerjaan sebagai komisioner KPK dan hal itu jelas berpengaruh terhadap haknya sebagai warga negara)! Mengapa suka mencari langkah yang menyusahkan diri sendiri? Karena ada kekhawatiran bahwa nantinya akan ada banyak tersangka korupsi yang melakukan tindakan serupa? Hal tersebut belum pasti. Dan kalaupun mereka mengajukan, apa masalahnya?  Bagaimana juga dengan nasib orang lain yang dirugikan oleh penetapan status tersangka? Kita biarkan saja tanpa ada solusi sama sekali? Justru sekarang kita bisa gunakan taktik ini untuk menolong mereka yang rentan diperlakukan sewenang-wenang dan jangan sampai kasus ini hanya jadi pengecualian untuk Budi Gunawan.

    Kalau memang ada masalah dengan penetapan tersangka, sudah seharusnya hal tersebut diperiksa di pengadilan. Memangnya ada institusi lain yang bisa dipakai? Saya juga tak sepakat kalau KPK diberikan kewenangan yang terlalu besar. Saya tak percaya dengan lembaga manapun yang punya kekuatan terlalu besar karena manusia bukan malaikat. Justru kita perlu menciptakan situasi dimana ada mekanisme checks and balances antara penegak hukum dan lembaga peradilan. Kalau anda khawatir bahwa peradilan tidak independen, ya bisa kita bantu awasi. Putusan yang tidak bermutu bisa kita kritisi. Itu peranan akademisi sebenarnya, kalau saja mereka lebih produktif menulis kajian hukum terhadap putusan hakim seperti misalnya di Amerika. Kalau putusan tidak pernah dikritisi, saya khawatir kita hanya akan terus menerus menciptakan lingkaran setan sistem hukum yang tidak bermutu. Kapan hal ini akan disudahi?

    Dan menurut saya, menggunakan mekanisme praperadilan ini juga lebih baik dibanding ide lainnya yang jauh lebih absurd lagi seperti menggunakan Perpu untuk memberikan imunitas hukum kepada pemimpin KPK. Kenapa mereka harus diberikan imunitas? Potensi kesalahan selalu ada. Mengapa tidak ada yang melirik institusi peradilan? Apakah lembaga peradilan kita sudah sedemikian buruknya sampai-sampai semua diserahkan kepada intervensi Presiden lewat mekanisme yang lebih mudah lagi disalahgunakan semacam Perpu?  

    Dengan demikian saya pikir situasi ini adalah win-win solution. Kemungkinan praperadilan status tersangka sudah dibuka (tentunya dengan catatan bahwa masih perlu diperbaiki syarat-syarat limitatifnya), dan masih terbuka celah bagi KPK untuk kembali menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Mari kita ambil solusi yang paling efisien dan tidak menyulitkan diri sendiri.
  • Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan? Jangan Berharap Terlalu Banyak!


    Membaca artikel soal kampus sebagai wahana kaderisasi pemimpin bangsa ini mengingatkan saya ke kejadian di bulan Agustus 2001 ketika saya mengikuti acara orientasi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kejatuhan Suharto di tahun 1998 masih terasa seperti kemarin sore dan Gus Dur juga baru saja tersingkir sebagai Presiden RI. Mahasiswa-mahasiswa senior masih lumayan semangat meributkan soal peranan mahasiswa sebagai agen perubahan dan harus bisa mendidik golongan masyarakat akar rumput.

    Bosan mendengar pidato yang tak berkesudahan itu, saya akhirnya berdiri dan menyatakan: "anda semua ini sedang mempraktekkan kesombongan intelektual, apanya yang agen perubahan sementara sebagian besar dari anda saja masih hidup di bawah lindungan orang tua." Sayang saya tak bisa berlama-lama menyampaikan uneg-uneg saya karena rekan-rekan seangkatan sudah memelototi saya. "Orang macam gini nih yang bikin angkatan bakal dihukum ramai-ramai," mungkin itu yang ada di pikiran mereka. Tapi saya jujur memang tak suka dengan klaim bombastis itu, khususnya ketika mereka mengklaim mahasiswa sebagai pencerah masyarakat akar rumput. Mungkin karena saya salah satu korban krisis 1998, saya tak bisa berleha-leha memikirkan nasib bangsa karena yang saya tahu kalau saya tak cepat-cepat lulus dan punya prestasi, nasib masa depan saya tak akan jelas-jelas amat.

    Saya tak habis pikir, bagaimana caranya orang-orang yang sangat cerdas dan terpelajar ini berpikir bahwa mahasiswa bisa dididik menjadi agen perubahan yang peduli pada nasib rakyat dan sebagainya sementara pola orientasinya sangat feodalistis. Contoh nyatanya? Komisi disiplin, sebuah komisi yang menurut saya tak ada gunanya selain memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang lebih senior untuk memarahi anak-anak juniornya. Dan untuk apa? Menciptakan kedisiplinan? Kedisiplinan macam apa yang akan didapat dari marah-marah tak jelas seperti itu? Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Cocok buat lucu-lucuan setelah selesai, tetapi kalau program ini diharapkan akan mengubah pola pikir mahasiswa secara fundamental, lupakan saja itu.

    Pada saat angkatan saya diminta untuk mengurus acara orientasi untuk mahasiswa angkatan 2002, saya mendapatkan posisi mengurus tim Mentor Akademik. Saya bermimpi bisa menciptakan sistem mentor yang baik dimana mahasiswa junior bisa mendapatkan rekan senior yang akan membantu mereka di bidang akademik, memberikan petunjuk tentang apa saja yang harus dipersiapkan dalam menghadapi kegiatan belajar di kampus dan agar hubungan antara mentor dan adik kelasnya bisa berjalan baik. Tapi sayangnya acara mentoring lebih banyak dipotong dan oleh karenanya menjadi tidak efektif. Untuk apa? Tentu saja untuk acara kedisiplinan yang maha seru itu.

    Kisah saya belum selesai. Setelah program ospek (versi lebih kasar dan keras dari orientasi) dihilangkan di tahun 2000, tiba-tiba muncul ide jenius dari fakultas untuk mengembalikan ospek terhadap angkatan 2003 dan angkatan saya diminta untuk mengurus acara tersebut. Katanya acara ini diperlukan untuk meningkatkan solidaritas angkatan dan supaya murid tak kurang ajar kepada seniornya. Heh? Ini luar biasa, sudahlah angkatan saya sebenarnya menikmati tak perlu merasakan ospek, sekarang kita akan memulai lagi ritual bodoh itu? Saya hanya bisa menyampaikan kemarahan di forum angkatan, tetapi acara itu pada akhirnya tetap berjalan dan sejauh yang saya tahu masih tetap berlanjut. Dikembalikannya program ospek membuat saya makin bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dimaksud dengan menciptakan mahasiswa sebagai agen perubahan? Apa yang mau diubah kalau tradisi yang buruk saja justru diulang kembali?

    Tahun 2004, saya diminta mengisi acara orientasi untuk mahasiswa baru sebagai pemenang kompetisi Mahasiswa Berprestasi Utama FHUI. Acara yang menyenangkan, kapan lagi saya punya kesempatan untuk menyampaikan kepada para mahasiswa baru bahwa seluruh sistem yang dibangun di kampus adalah sistem feodal? Ekspresi muka komisi disiplin dan beberapa dosen di kursi belakang auditorium ketika saya mengkritik sistem absurd itu tidak akan saya lupakan, priceless. Dan saya tidak menyesali sedikit pun kalimat yang saya sampaikan di forum itu: "Mahasiswa harus ambisius, harus mandiri, dan punya cita-cita jadi orang besar. Lebih penting lagi, hargai rekan yang juga ambisius dan berani untuk mengejar cita-citanya." Saya minta beberapa mahasiswa yang waktu itu berani bicara untuk menyampaikan pandangan mereka, dan kalau bisa, dalam bahasa Inggris. Setelah selesai, tak lupa saya ingatkan untuk memberikan tepuk tangan meriah karena mereka berani bicara. Kenapa tidak?

    Apa yang anda harapkan dari sistem pendidikan yang hanya diwarnai kekerasan dan doktrin-doktrin tak bermutu tanpa memperhatikan insentif manusianya sama sekali? Saya belum pergi ke Amerika saat itu, tapi saya bahkan tak perlu pergi jauh-jauh ke Amerika sekedar untuk menyatakan bahwa sistem orientasi universitas kita sedari awal sudah tak masuk akal dan tidak dibangun berdasarkan data atau pun teori yang valid!

    Tak kalah penting dari isu feodalisme, mana mungkin mahasiswa bisa menjadi agen perubahan kalau etos kerja dan belajarnya culun? Kuliah jaman saya adalah kuliah yang gampang. Saya punya banyak waktu untuk membaca buku-buku lainnya karena untuk kuliah saya hanya perlu belajar diktat. Sebagian besar bahan ajar (kalau bukan 100%) ada di diktat. Bahkan sebenarnya beberapa mata kuliah tidak perlu pertemuan. Untuk apa? Baca saja diktatnya, semua sudah ada di situ. Beberapa mata kuliah juga hanya menguji kekuatan hafalan kita (dan jelas lebih banyak dibandingkan dengan soal yang bersifat analitis). Tidak sulit karena tidak membutuhkan analisis yang mendalam. Apa ini metode belajar yang akan kita terus gunakan untuk menciptakan agen perubahan?

    Saya berani menjamin kalau dulu saya diterima dan mengambil Master dan PhD di University of Chicago segera setelah lulus kuliah, saya kemungkinan besar tak akan lulus. Alasan utama mengapa saya bisa menjalankan tugas membaca paper dan buku ratusan halaman per minggu serta ujian yang sifatnya murni analitis adalah karena saya sudah bekerja bertahun-tahun sebagai konsultan hukum. Kalau tanpa etos kerja sebagai konsultan, bubar jalan dengan beban seberat itu. Tak heran Chicago menyediakan layanan konseling psikologi untuk mahasiswa hukum sekaligus pasangan hidupnya karena tingkat stress mahasiswa bisa berpengaruh ke pasangannya.  

    Tentunya saya berpikir positif bahwa pengalaman buruk saya di Indonesia hanya terjadi di jaman saya, dan bahwa kini pandangan saya itu sudah usang dan tidak sesuai fakta. Tetapi ketika saya sempat diberikan kesempatan mengajar di FHUI dan FH UGM di tahun 2013, saya mendapati bahwa ternyata etos belajar mahasiswa belum banyak berubah. Makalah-makalah yang saya bagikan gratis tidak dibaca sama sekali, walaupun sepengetahuan saya, kampus kita di Indonesia belum cukup kaya untuk membeli akses terhadap jurnal-jurnal yang saya bagikan tersebut. Tetapi yang membuat saya lebih kecewa lagi adalah karena bahkan tidak ada perasaan bersalah sama sekali dari para mahasiswa tersebut. Mereka tertawa renyah ketika saya tanya, "kalian semua tidak ada yang baca papernya ya?"

    Oke lah, mungkin saya berharap terlalu jauh kalau etos membaca dan belajar itu bisa dibangun dalam sekejab, tetapi 10 tahun sudah berlalu sejak saya lulus kuliah dan saya masih menemukan kasus seperti ini di 2 universitas yang berbeda? Atau mungkin sampel data saya tak mencukupi karena hanya 2 kelas. Tak representatif sama sekali, cuma anekdot. Sunguh, saya berharap saya 100% salah, bahwa kondisi yang saya temui itu hanya anomali belaka dan bukan kenyataan secara umum. Karena kalau ini berlaku secara umum, negara kita benar-benar berada dalam keadaan darurat, darurat yang serius, bukan darurat yang mengada-ngada yang dibuat demi pencitraan murahan.

    Saya sudah menulis panjang lebar sebelumnya soal isu pendidikan di Indonesia dalam tulisan "Mendidik Bukan Sekedar Pengabdian." Kalau tulisan tersebut berbicara soal penawaran (supply) pendidikan (soal bagaimana kita memberikan insentif kepada dosen/pengajar untuk memberikan kinerja terbaiknya), sekarang kita berbicara soal permintaan (demand) terhadap ilmu. Saya tak berbicara tentang bagaimana menciptakan mahasiswa yang siap bekerja. Itu sudah merupakan suatu keharusan, saya berbicara tentang bagaimana caranya agar mahasiswa bisa memiliki etos belajar yang kuat, mencintai ilmunya dan mau berpikir secara analitis dan mendalam. Tidak grasak-grusuk dan tak sabaran.

    Jujur saja, saya melihat ada semacam kecenderungan di negara yang kita cintai ini bahwa intelektualitas itu tidak terlalu dibutuhkan. Bahwa isu intelektualitas cuma berkutat dengan teori. Dan tanpa praktek, teori-teori itu tak ada gunanya. Mau tahu hasilnya seperti apa? Hasilnya seperti yang kita dapat sekarang, ketika gema "kerja, kerja, dan kerja" tidak didukung dengan "riset, data, dan analisis." Ngasal sekali kalau mengklaim orang pintar di Indonesia sudah kebanyakan, dan yang kurang adalah yang mau berpraktek langsung. Kalau benar jumlahnya banyak, bagaimana mungkin kebijakan disusun secara ngasal?

    Atau anda pikir anda sudah jagoan di lapangan, terbiasa berpikir pragmatis dan kreatif? Anda tidak akan bisa jadi orang pragmatis kalau pengetahuan teoretis anda melempem. Saya bicara dari pengalaman saya menjadi konsultan hukum yang menangani beragam transaksi kompleks bernilai ratusan juta dolar. Richard Posner tidak akan bisa mengembangkan filosofi pragmatisme dalam mengadili kasus hukum sebagai hakim seandainya dia bukan salah satu orang paling pintar dan paling banyak baca yang pernah saya lihat di Amerika Serikat. Kalau anda pikir mengurus negara bisa dilakukan dengan modal niat baik dan niat kerja saja, anda tak layak jadi pemimpin. Dan kalau dari kecil anda sudah berpikiran seperti itu, kaderisasi kita berarti gagal total!

    Bagaimana mungkin saya tak khawatir, sebuah lembaga pemberi beasiswa negara sempat berpikiran bahwa cara terbaik untuk melatih para peserta beasiswa adalah dengan jalan latihan baris berbaris dan program motivasi. SALAH! Mereka tak butuh program-program seperti itu. Mereka butuh program yang bisa membuka jaringan baru bagi mereka, yang memberikan panggung bagi mereka untuk menunjukkan bahwa mereka layak dan bermutu untuk menerima beasiswa tersebut. Kalau mereka sudah diterima di universitas top dunia, artinya mereka sudah lulus seleksi, tinggal mengembangkan saja. Untuk apa lagi diberikan program pelatihan yang tak nyambung? Kenapa bisa begini? Ya kalau universitas saja masih membiarkan program orientasi berbasis gaya feodal, jelas saja pemikirannya mandeg sampai usia tua karena sudah dibiasakan feodal sejak kecil. Anti teori pula, cukup pakai wangsit dari alam gaib.  

    Kemudian anda pikir isu penyusunan kebijakan publik itu semudah membalikkan telapak tangan? Saya ingat sempat diundang menjadi pembicara untuk acara diskusi di FEUI dengan tema Victimless Crime. Saya sampaikan, judulnya saja sudah salah. Kalau kita menghitung kemaslahatan sosial (social welfare) secara menyeluruh, maka tidak ada yang namanya kejahatan tanpa korban, karena setiap kerugian terhadap satu individu akan berpengaruh terhadap kemaslahatan seluruh masyarakat. Contoh: seks bebas. Apakah seks bebas tidak ada biayanya? Jelas ada, biaya kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular, stigma buruk secara sosial, dan sebagainya. Pertanyaannya, kalau kita disuruh mengurus isu ini, kebijakan apa yang akan diambil? Apakah akan kita hukum pelakunya? Siapa yang melaksanakan pengawasan? Memangnya kita bisa mengawasi seluruh rumah dan hotel di seluruh Indonesia? Atau lebih baik kalau kita misalnya menggunakan pendekatan pendidikan seks dan kontrasepsi? Pendekatan moral tidak akan bisa memberikan solusi karena pendekatan ini cuma bisa bicara "pokoknya."

    Di acara itu juga dibahas soal prostitusi. Beberapa mahasiswa berargumen bahwa prostitusi lebih baik dilegalkan karena akan memberikan pendapatan kepada negara dalam bentuk pajak. Saya katakan bagus, tapi jawaban seperti itu levelnya baru sekedar lulus tahapan pemberantasan buta huruf dalam ilmu ekonomi. Di tahap yang lebih tinggi, kalau kita melegalisasi suatu industri, maka akan ada juga biaya pengawasan untuk memastikan bahwa semua pemain bermain sesuai aturan. Berapa biayanya? Lebih murah dibandingkan dengan seandainya prostitusi tetap ilegal? Lalu katakanlah kita akan memajaki industri prostitusi  dan mengumpulkan mereka di satu lokasi. Seandainya pajaknya terlalu tinggi dan harga prostitusi menjadi terlalu mahal di atas harga pasar naturalnya sehingga permintaan menurun, akan ada insentif untuk memunculkan pasar gelap yang menawarkan harga lebih murah supaya industri tersebut tetap bertahan, dan jelas akan ada biaya untuk memastikan bahwa pasar gelap tersebut tidak berjalan. Ini berarti legalisasi saja tidak cukup kecuali kita juga memikirkan efek substitusi dalam bentuk penciptaan kesempatan yang lebih baik bagi pelaku prostitusi.

    Dari 2 isu di atas, sudah bisa dilihat kompleksitas dari permasalahan yang seringkali hanya dilihat hitam-putihnya saja di Indonesia. Ini baru 2 masalah, dan percayalah, masih banyak isu yang lebih penting dan mendesak di Indonesia. Negara kita tak pernah kekurangan masalah. Pertanyaannya, apa mungkin kita bisa memberikan jawaban yang tepat kalau landasan keilmuan kita serta penguasaan sarana teknisnya tidak mencukupi? Jelas tidak! Tanpa pengetahuan teoretis yang cukup, anda cuma akan jadi generasi asal bunyi. Lebih buruk lagi, sudahlah asbun dalam berpikir, lantas merasa bisa mengubah dunia dengan modal niat baik, tak tahunya berhasil mendapatkan jabatan publik dan langsung berpraktek dengan ilmu seadanya. Resep sempurna untuk menciptakan negara odal-adul.

    Teori dan praktek saling membutuhkan! Sebelum aktif berkiprah, inteleknya juga harus mumpuni. Sayangnya saya belum melihat etos untuk mengejar ilmu setinggi-tingginya tersebut sudah berjalan secara maksimal di Indonesia. Semua ingin diburu-buru, serba instan. Yang penting terkenal dulu saja, mikir belakangan. Apakah kita akan mengulangi lagi kesalahan yang sama seperti yang sedang kita lihat saat ini? Merasa bisa memperbaiki bangsa, tak sabar menanti prosesnya, sehingga akhirnya dengan semangat yang meluap-luap yakin bisa menyelamatkan masyarakat akar rumput? Halo, kita semua adalah bagian dari akar rumput tersebut! Sendirian, kita semua bukan siapa-siapa bahkan sekalipun anda masuk daftar 100 orang terkaya Indonesia versi Majalah Globe. Negara ini terlalu besar untuk dipegang satu orang. Lupakan model berpikir dimana kita sendirian bisa menyelesaikan semua masalah. Anda perlu bagi-bagi tugas. Inilah fungsi pendekatan multidisipliner.

    Jadi, bagaimana agar ada insentif bagi mahasiswa untuk bisa menjadi kader dan agen perubahan yang diidam-idamkan sejak lama itu? Apakah ada kewajiban moral untuk menjadi agen perubahan? Saya tidak percaya kewajiban moral yang tak jelas, saya lebih percaya bahwa setiap orang ingin memaksimalkan manfaat yang ia terima. Pikirkan kembali insentif dan prioritas anda. Ingin lahir, hidup, dan mati sebagai orang biasa? Atau ingin menjadi orang yang luar biasa? Kalau ingin menjadi luar biasa, sudah dipikirkan bagaimana caranya agar langkah menjadi luar biasa itu akan tercapai? Atau hanya akan menjadi impian omong kosong saja? Apakah cara untuk menjadi luar biasa hanya ada satu atau banyak?

    Satu hal yang pasti, anda tak bisa jadi luar biasa kalau etos belajar saja belum punya. Tanpa rasa keingintahuan yang tinggi, kita akan cepat berpuas diri akan pengetahuan kita, dan tak lama kemudian kita merasa sudah tahu segalanya. Ini mengapa saya bersyukur pergi ke Chicago dan sekali lagi mengalami perasaan frustrasi yang amat sangat ketika saya harus menerima kenyataan bahwa pengetahuan teknis saya masih tertinggal terlalu jauh. Ilmu hukum saja tak cukup ternyata untuk menghadapi kompleksitas permasalahan dunia.

    Saya tak bilang bahwa kemudian mahasiswa tak boleh berpolitik atau berorganisasi. Seperti yang saya sampaikan, anda semua punya prioritas masing-masing. Pesan saya hanya pastikan benar-benar bahwa langkah yang anda ambil itu sudah dipertimbangkan masak-masak. Dunia mahasiswa adalah transisi dari masa remaja ke dunia orang dewasa, pastikan langkah yang akan anda ambil tidak akan anda sesali di kemudian hari. Mulailah bertindak dewasa dengan memilih jalur hidup anda sendiri. Selamat memilih!
  • Hukuman Mati Tak Bisa Setengah Hati!


    Diskusi tentang hukuman mati sudah sering diulang tetapi isunya tak pernah beres. Mungkin karena terlalu banyak kepentingan dan insentif yang beradu dalam pelaksanaan hukuman mati sehingga langkah yang perlu diambil juga senantiasa setengah hati. Dalam artikel kali ini, saya akan membahas: (i) faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dengan seksama ketika kita ingin menggunakan hukuman mati sebagai bagian dari hukum pidana, dan (ii) prediksi mengapa pelaksanaannya tidak konsisten di Indonesia. Dengan memahami kedua isu di atas, saya berharap pembaca bisa memiliki informasi yang lebih baik dalam menentukan apakah kita memang butuh keberadaan hukuman mati di Indonesia.

    Konsisten dengan pisau analisis saya selama ini, saya akan menggunakan pendekatan ekonomi dan analisis untung rugi terhadap kebijakan hukuman mati. Namun karena sifat hukuman mati yang sangat kontroversial, saya perlu menjelaskan terlebih dahulu mengapa saya tidak sepakat untuk membahas isu ini melalui lensa hak asasi manusia atau filsafat retributif/restoratif.

    Kalau kita percaya dengan ide bahwa tidak pantas manusia menentukan kapan manusia lain mati maka akan ada banyak sekali kebijakan yang tidak boleh diambil oleh Pemerintah. Realitasnya, apakah penentuan hidup mati seseorang hanya terjadi melalui hukuman mati? Hukuman mati hanyalah salah satu bentuk kebijakan yang memiliki efek langsung terhadap nyawa. Banyak kebijakan lainnya yang juga akan memiliki efek terhadap nyawa, misalnya keselamatan transportasi (seberapa jauh kita akan menjamin keamanan setiap moda transportasi?), subsidi kesehatan (berapa banyak alokasi dana Pemerintah yang digunakan untuk perawatan kesehatan dan riset memerangi penyakit berbahaya?), legalisasi industri rokok (sejauh mana kita akan biarkan rokok ada dan merusak kesehatan manusia, sepanjang pendapatan pajaknya masih lebih besar dari biaya kesehatan nasional?), besaran emisi polusi (sejauh mana kadar emisi polusi yang berpengaruh pada kesehatan diperbolehkan untuk ada?), dan masih banyak lagi.

    Perbedaannya dengan hukuman mati? Efeknya tidak langsung dan lebih bersifat jangka panjang. Walaupun tentunya keputusan eksekusi di tiang gantungan atau di lapangan tembak akan jauh lebih dramatis dan menarik untuk dijadikan bahan cerita dibandingkan menentukan berapa banyak emisi asap mobil dan polusi dari cerobong asap pabrik yang diperkenankan untuk mencemari udara kita tahun ini. Kalau ada 2 hak yang saling bertentangan, mana yang harus didahulukan? Hak untuk hidup dengan kata lain tidak absolut kecuali kita siap untuk melakukan perubahan fundamental atas seluruh kebijakan yang mana tidak realistis dan kemungkinan besar akan terjadi hanya ketika kita menemukan sumber daya tak terbatas.

    Saya juga tak mau berpanjang lebar membahas filsafat retributif dan restoratif karena dua-duanya tidak banyak membantu dalam menyusun kebijakan. Hukum pidana memang bisa digunakan untuk balas dendam atau bisa juga dipakai untuk rehabilitasi. Lalu? Terlalu fokus pada balas dendam membuat kita tidak bisa menelusuri lebih jauh apakah keputusan yang kita buat itu ada manfaatnya. Kepuasan dari balas dendam cuma sedikit aspek dari kesejahteraan. Memutuskan bahwa semua narapidana harus direhabilitasi dan dicerahkan jadi manusia yang lebih baik juga tidak gratis dan jelas tidak semua manusia bisa dicerahkan. Lagi-lagi kita harus memilih.

    Dalam pandangan aliran Hukum & Ekonomi, secara normatif, kebijakan pidana tak bisa lepas dari gagasan memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan keterbatasan sumber daya. Analisis harus dimulai terlebih dahulu dengan menentukan tindakan apa saja yang perlu diatur secara pidana. Ini hal yang sering terlupakan khususnya dalam masyarakat yang gila pidana. Semua aspek kehidupan hendak diatur, dan semua pelanggaran harus dikenakan sanksi. Padahal belum tentu semua kegiatan perlu diatur oleh hukum pidana.

    Setelah kita menentukan tindakan apa saja yang akan masuk kategori pidana, yaitu umumnya tindakan yang menimbulkan kerugian aktual secara sosial dan sulit untuk diselesaikan secara privat (lihat pembahasan lebih jauh di artikel saya di sini), kita harus mempertimbangkan bentuk sanksi yang akan digunakan dan ketersediaan serta kualitas penegak hukum yang akan menjalankan hukum tersebut. Mari kita bahas soal sanksi terlebih dahulu.

    Dalam aliran Hukum & Ekonomi, fungsi sanksi pidana ada dalam 2 bentuk. Dalam bentuk negatif, sanksi diciptakan untuk meningkatkan biaya melakukan kejahatan. Pelaku kejahatan rasional hanya akan melakukan aksi kriminal apabila ia memperkirakan (ingat, memperkirakan bukan memastikan 100%) bahwa kejahatannya tersebut akan memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang harus ia keluarkan. Ibarat investasi, orang tentu ingin untung. Semakin besar probabilitas untuk mendapatkan keuntungan melalui aksi kriminal, semakin besar jumlah keuntungan yang akan didapat, dan semakin kecil biaya untuk mendapatkan keuntungan tersebut, semakin besar pula insentif untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks ini, ongkos melakukan kejahatan meliputi biaya operasional kejahatan dan potensi sanksi yang akan ia terima dikalikan dengan probabilitas dijatuhkannya sanksi tersebut.

    Dalam bentuk positif, sanksi pidana bisa digunakan untuk program yang bersifat rehabilitatif. Kadang kala, meningkatkan biaya melakukan kriminal tidak selalu cukup. Bisa jadi karena sanksinya tidak cukup keras, ataupun sanksinya tidak komprehensif, ini khususnya dalam kasus sistem pemenjaraan yang tidak memikirkan bagaimana nanti ketika narapidana kembali ke masyarakat. Apabila mereka tidak memiliki kesempatan yang lebih baik di luar sana ditambah dengan level penerimaan yang rendah dari masyarakat, mantan narapidana akan memiliki insentif yang lebih besar untuk menjadi residivis. Silakan baca artikel ini untuk memahami lebih lanjut isu rehabilitasi.

    Tentu saja pelaksanaan program rehabilitasi harus dilakukan secara selektif. Bagaimanapun juga, ongkos operasional mendidik umumnya selalu lebih mahal dibandingkan menyiksa atau menyengsarakan orang, dan efek yang diharapkan juga belum tentu tercapai khususnya apabila stigma narapidana di masyarakat tidak berubah secara signifikan. Sia-sia mendidik narapidana kalau setelah keluar dari penjara, mereka tetap dikucilkan dan tidak diterima masyarakat. Artinya untuk menyukseskan program ini, kita juga harus memperhitungkan biaya mendidik masyarakat secara keseluruhan.

    Ini mengapa menentukan sanksi pidana yang tepat sebenarnya sangat sulit. Sebagaimana seringkali saya sampaikan, prioritas orang berbeda-beda. Implikasinya, insentif mereka pun juga akan berbeda-beda. Pelaku pembunuhan karena balas dendam akan memiliki insentif yang berbeda dengan pembunuh profesional yang melakukan aktivitasnya karena bayaran, begitu juga akan berbeda insentif seorang pencuri ayam dengan koruptor kelas kakap. Belum lagi relasi dengan masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap narapidana setelah selesai menjalani hukuman juga akan berpengaruh dalam mengukur efektivitas sanksi. Saya perkirakan bahwa hal ini khususnya sangat menyulitkan narapidana dari kelas ekonomi yang lemah dibandingkan dengan narapidana kaya raya.

    Sayangnya, negara kita masih malas memikirkan sanksi pidana yang tepat. Kebanyakan sanksi dipukul rata dalam bentuk penjara, denda, atau hukuman mati. Penjatuhannya juga tampak tidak dipikirkan secara sistematis tapi lebih cenderung mengikuti kemana angin berlalu. Padahal kita butuh penelitian empiris dan eksperimen untuk mengetahui sanksi yang tepat! Kalau kita memilih program rehabilitasi misalnya, kita perlu mengukur sejauh apa kesuksesan program tersebut dengan melihat kontribusi narapidana kepada masyarakat setelah bebas dan tingkat pengurangan aksi residivisme. Kalau kita memilih sanksi dalam bentuk negatif, selain pengurangan residivisme, kita juga perlu melihat seberapa jauh korelasi keberadaan sanksi dengan penurunan aksi kriminal yang kita teliti, atau sebagaimana sering didengung-dengungkan, keberadaan efek jera dari sanksi tersebut. 

    Berhubung penentang hukuman mati sering meributkan isu efek jera, perlu saya sampaikan bahwa kita perlu berhati-hati dalam menyatakan bahwa suatu jenis sanksi tidak memiliki efek jera. Suatu sanksi bisa jadi kurang efektif karena bentuk sanksinya sendiri tidak memberikan insentif yang tepat kepada pelaku kejahatan. Saya misalnya pernah membahas di sini mengapa sanksi penjara bukan jenis sanksi yang tepat untuk kejahatan korupsi. Kemungkinan lainnya adalah karena minimnya tingkat penegakan hukum atau kelemahan dalam prosedur penegakan hukum. Dan menurut saya, isu yang kedua ini lebih relevan bagi hukuman mati.

    Penegakan hukum adalah aspek yang tak bisa dipisahkan dari hukum pidana. Salah satu penyakit kronis dari masyarakat gila pidana adalah percaya bahwa dengan memidanakan sebagian besar aspek kehidupan, maka secara ajaib semua manusia akan taat hukum dan menjadi manusia yang baik-baik. Ini delusional. Kalau tidak ada yang menegakkan hukum, hukum hanya akan jadi macan kertas. Sekalipun kita bisa menciptakan sanksi pidana yang paling mengerikan di alam semesta ini tetapi probabilitas dijatuhkannya mendekati nol, pelaku kriminal kemungkinan besar hanya akan mentertawakan aturan tersebut. Tanpa menelaah probabilitas penjatuhan sanksi hukuman mati, percaya bahwa hukuman mati pasti efektif mengurangi tingkat kejahatan sama sesat pikirnya dengan percaya bahwa hukuman mati tidak efektif sama sekali. 

    Berhubung penegakan hukum butuh biaya dan sumber daya kita terbatas, mau tak mau kita harus memilih. Terciptalah hubungan yang rumit antara jenis tindakan yang perlu dipidanakan, sanksi yang akan dijatuhkan, penentuan jumlah penegak hukum yang optimal, dan efek positif sanksi yang diharapkan melalui pengurangan tingkat kejahatan dan penciptaan nilai tambah bagi masyarakat, semuanya dengan memperhatikan berapa besar jumlah yang harus dibayar oleh masyarakat untuk membiayai keseluruhan sistem tersebut! Perlu diingat bahwa biaya yang harus dibayar masyarakat bukan saja biaya operasional sistem hukum pidana, tetapi juga biaya terhadap anggota masyarakat yang terkena sanksi pidana, bersalah ataupun tidak bersalah, karena mereka semua merupakan komponen dari masyarakat secara keseluruhan (ingat kembali konsep sanksi dalam bentuk negatif yang ditujukan untuk menambah biaya pelaksanaan tindakan kriminal). 

    Setelah memahami konsep-konsep dasar di atas, barulah kita bisa membahas apakah kita membutuhkan hukuman mati di Indonesia. Apa keunggulan hukuman mati? Dari segi biaya operasional, jelas lebih murah dibandingkan dengan biaya operasional penjara. Mematikan orang tidak akan semahal memelihara narapidana dalam penjara apalagi melatih mereka. Sifatnya yang sangat dahsyat juga dapat menciptakan biaya yang sangat mahal bagi pelaku kejahatan (walaupun tentu bergantung pada probabilitas dikenakannya hukuman tersebut). Untuk pelaku kriminal yang sangat berbahaya, mungkin akan lebih baik bagi masyarakat apabila mereka dihilangkan dibanding dengan mengurung mereka untuk memenuhi nilai moral tertentu. Ini mengapa saya tak suka ide moral Batman yang sok tak ingin membunuh Joker walaupun keberadaan Joker sangat berbahaya bagi masyarakat dan selalu bisa kabur dari penjara (penjelasan lainnya adalah kalau Joker dibunuh, cerita Batman juga akan berakhir lebih cepat sehingga ada insentif untuk memperpanjang relasi yang absurd itu).

    Kelemahannya? Penjatuhan hukuman mati tidak bisa memberikan ganti rugi secara moneter kepada korban kejahatan. Padahal bisa jadi bagi korban, penerimaan ganti rugi plus denda jauh lebih bermanfaat. Memangnya seberapa besar nilai balas dendam dari segi moneter untuk kebanyakan orang? Kemudian karena hukuman mati tidak bisa dikoreksi setelah dijatuhkan, biaya administrasi proses penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan penjara. Proses pembuktian akan lebih sulit, proses banding dan grasi juga diprioritaskan. Ini dengan asumsi penegak hukum peduli untuk memastikan bahwa mereka yang dihukum memang benar-benar bersalah dengan tingkat keyakinan mendekati kepastian (beyond reasonable doubt). Harus diingat bahwa menjatuhkan hukuman kepada orang yang salah berarti menciptakan biaya yang tidak perlu bagi masyarakat dan juga mengurangi probabilitas dijatuhkannya hukuman pada pelaku sebenarnya. Setiap kesalahan penegakan hukum pada prinsipnya mengurangi biaya melakukan kejahatan!

    Ini berarti hukuman mati hanya akan memberikan manfaat bersih apabila manfaat yang diperoleh masyarakat dari tingkat pengurangan kejahatan dan penghematan biaya penegakan hukum (karena kejahatan berkurang) lebih tinggi dibandingkan ongkos yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai proses hukuman mati. Untuk mencapai hal tersebut, hukuman mati harus dijatuhkan dengan cepat dan tak bertele-tele, proses pembuktian berjalan efisien dan terpercaya (sehingga prosesnya tak berlarut-larut) dan kemungkinan penjatuhan sanksi kepada orang yang salah juga minim (karena tak mungkin juga penegakan hukum berjalan benar 100%). 

    Pertanyaan besarnya, apakah syarat dan kondisi di atas terpenuhi di Indonesia? Kemungkinan besar tidak. Contoh gampangnya adalah soal Peninjauan Kembali yang baru-baru ini menjadi kontroversi. Kejaksaan Agung menunda-nunda eksekusi pidana mati karena takut perkaranya bisa ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung. Katanya tidak ada kepastian hukum. Bagaimana ini? Penegak hukumnya saja tidak percaya dengan sistem hukum yang mereka jalankan! Lalu untuk apa pula menuntut hukuman mati kalau tidak yakin? Belum lagi fakta bahwa banyak sekali eksekusi hukuman mati yang terkatung-katung. Padahal selama eksekusi tertunda, narapidana tentu harus dipenjara. Penghematan biaya operasional pun menjadi omong kosong belaka.

    Isu lainnya tentunya adalah konsistensi penjatuhan hukuman mati. Siapa yang menjadi target dari hukuman ini? Jelas saja tidak ada efek jera kalau yang dikenakan hukuman umumnya hanya level kroco. Suplai kroco akan selalu lebih banyak dari bos-bos besar pelaku kejahatan, yang artinya posisi mereka gampang digantikan dengan orang lain. Ditambah dengan carut marutnya penegakan hukum kita yang tak jelas administrasinya, probabilitas pelaksanaan hukuman mati juga menjadi semakin rendah. Lalu apa gunanya hukuman mati dalam kondisi seperti ini?

    Walaupun bisa jadi hukuman mati sebenarnya tidak efisien di Indonesia, ada fungsi lain dari hukuman mati yang diminati oleh Pemerintah dan aparat hukum: pencitraan. Tak perlu pusing bahwa biaya administrasinya mahal dan sistemnya carut marut. Yang penting hukuman ini dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan yang dipersepsikan sangat berbahaya. Misalnya narkoba. Berita hukuman mati adalah ladang berita yang selalu menarik kontroversi dan minat pemirsa. Dan selama ia masih jadi sumber berita yang efektif untuk menunjukkan ketegasan pemerintah, selama itu juga tak ada insentif signifikan untuk mengubah sistem.

    Mengapa tidak fokus dengan yang riil-riil saja? Daripada sibuk berfilsafat soal nyawa dan sebagainya, kita bisa bicara aspek yang paling jelas, biaya yang harus ditanggung masyarakat! Kita sekarang membiayai sebuah sistem yang dampaknya relatif rendah, tak murah juga, rentan disalahgunakan dan jadi ajang pencitraan. Kalau mau serius menggunakan hukuman mati, sudah ada resep yang perlu diperhitungkan di atas, tinggal kita kuantifikasi dengan menggunakan data yang solid. Masih mau asyik beretorika atau mulai menyusun kebijakan publik berbasis data? Jangan setengah-setengah kalau mau maju!
  • Gagal Paham Rasionalitas Ekonomi Jilid 2


    Dalam artikel saya sebelumnya, Gagal Paham Rasionalitas Manusia dalam Pendekatan Ekonomi, saya menyampaikan beberapa tanggapan atas kritik rekan Muhammad Kholid terhadap pendekatan ekonomi yang mengasumsikan rasionalitas manusia sebagai landasan analisis kebijakan publik dan juga hukum. Sempat saya sampaikan bahwa kritik Kholid ini adalah bagaikan memukuli kuda mati (beating a dead horse), alias mengulang-ulang yang tidak perlu. Kholid kemudian membalas artikel saya tersebut di sini.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.