• Hukuman Mati Tak Bisa Setengah Hati!


    Diskusi tentang hukuman mati sudah sering diulang tetapi isunya tak pernah beres. Mungkin karena terlalu banyak kepentingan dan insentif yang beradu dalam pelaksanaan hukuman mati sehingga langkah yang perlu diambil juga senantiasa setengah hati. Dalam artikel kali ini, saya akan membahas: (i) faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dengan seksama ketika kita ingin menggunakan hukuman mati sebagai bagian dari hukum pidana, dan (ii) prediksi mengapa pelaksanaannya tidak konsisten di Indonesia. Dengan memahami kedua isu di atas, saya berharap pembaca bisa memiliki informasi yang lebih baik dalam menentukan apakah kita memang butuh keberadaan hukuman mati di Indonesia.

    Konsisten dengan pisau analisis saya selama ini, saya akan menggunakan pendekatan ekonomi dan analisis untung rugi terhadap kebijakan hukuman mati. Namun karena sifat hukuman mati yang sangat kontroversial, saya perlu menjelaskan terlebih dahulu mengapa saya tidak sepakat untuk membahas isu ini melalui lensa hak asasi manusia atau filsafat retributif/restoratif.

    Kalau kita percaya dengan ide bahwa tidak pantas manusia menentukan kapan manusia lain mati maka akan ada banyak sekali kebijakan yang tidak boleh diambil oleh Pemerintah. Realitasnya, apakah penentuan hidup mati seseorang hanya terjadi melalui hukuman mati? Hukuman mati hanyalah salah satu bentuk kebijakan yang memiliki efek langsung terhadap nyawa. Banyak kebijakan lainnya yang juga akan memiliki efek terhadap nyawa, misalnya keselamatan transportasi (seberapa jauh kita akan menjamin keamanan setiap moda transportasi?), subsidi kesehatan (berapa banyak alokasi dana Pemerintah yang digunakan untuk perawatan kesehatan dan riset memerangi penyakit berbahaya?), legalisasi industri rokok (sejauh mana kita akan biarkan rokok ada dan merusak kesehatan manusia, sepanjang pendapatan pajaknya masih lebih besar dari biaya kesehatan nasional?), besaran emisi polusi (sejauh mana kadar emisi polusi yang berpengaruh pada kesehatan diperbolehkan untuk ada?), dan masih banyak lagi.

    Perbedaannya dengan hukuman mati? Efeknya tidak langsung dan lebih bersifat jangka panjang. Walaupun tentunya keputusan eksekusi di tiang gantungan atau di lapangan tembak akan jauh lebih dramatis dan menarik untuk dijadikan bahan cerita dibandingkan menentukan berapa banyak emisi asap mobil dan polusi dari cerobong asap pabrik yang diperkenankan untuk mencemari udara kita tahun ini. Kalau ada 2 hak yang saling bertentangan, mana yang harus didahulukan? Hak untuk hidup dengan kata lain tidak absolut kecuali kita siap untuk melakukan perubahan fundamental atas seluruh kebijakan yang mana tidak realistis dan kemungkinan besar akan terjadi hanya ketika kita menemukan sumber daya tak terbatas.

    Saya juga tak mau berpanjang lebar membahas filsafat retributif dan restoratif karena dua-duanya tidak banyak membantu dalam menyusun kebijakan. Hukum pidana memang bisa digunakan untuk balas dendam atau bisa juga dipakai untuk rehabilitasi. Lalu? Terlalu fokus pada balas dendam membuat kita tidak bisa menelusuri lebih jauh apakah keputusan yang kita buat itu ada manfaatnya. Kepuasan dari balas dendam cuma sedikit aspek dari kesejahteraan. Memutuskan bahwa semua narapidana harus direhabilitasi dan dicerahkan jadi manusia yang lebih baik juga tidak gratis dan jelas tidak semua manusia bisa dicerahkan. Lagi-lagi kita harus memilih.

    Dalam pandangan aliran Hukum & Ekonomi, secara normatif, kebijakan pidana tak bisa lepas dari gagasan memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan keterbatasan sumber daya. Analisis harus dimulai terlebih dahulu dengan menentukan tindakan apa saja yang perlu diatur secara pidana. Ini hal yang sering terlupakan khususnya dalam masyarakat yang gila pidana. Semua aspek kehidupan hendak diatur, dan semua pelanggaran harus dikenakan sanksi. Padahal belum tentu semua kegiatan perlu diatur oleh hukum pidana.

    Setelah kita menentukan tindakan apa saja yang akan masuk kategori pidana, yaitu umumnya tindakan yang menimbulkan kerugian aktual secara sosial dan sulit untuk diselesaikan secara privat (lihat pembahasan lebih jauh di artikel saya di sini), kita harus mempertimbangkan bentuk sanksi yang akan digunakan dan ketersediaan serta kualitas penegak hukum yang akan menjalankan hukum tersebut. Mari kita bahas soal sanksi terlebih dahulu.

    Dalam aliran Hukum & Ekonomi, fungsi sanksi pidana ada dalam 2 bentuk. Dalam bentuk negatif, sanksi diciptakan untuk meningkatkan biaya melakukan kejahatan. Pelaku kejahatan rasional hanya akan melakukan aksi kriminal apabila ia memperkirakan (ingat, memperkirakan bukan memastikan 100%) bahwa kejahatannya tersebut akan memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang harus ia keluarkan. Ibarat investasi, orang tentu ingin untung. Semakin besar probabilitas untuk mendapatkan keuntungan melalui aksi kriminal, semakin besar jumlah keuntungan yang akan didapat, dan semakin kecil biaya untuk mendapatkan keuntungan tersebut, semakin besar pula insentif untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks ini, ongkos melakukan kejahatan meliputi biaya operasional kejahatan dan potensi sanksi yang akan ia terima dikalikan dengan probabilitas dijatuhkannya sanksi tersebut.

    Dalam bentuk positif, sanksi pidana bisa digunakan untuk program yang bersifat rehabilitatif. Kadang kala, meningkatkan biaya melakukan kriminal tidak selalu cukup. Bisa jadi karena sanksinya tidak cukup keras, ataupun sanksinya tidak komprehensif, ini khususnya dalam kasus sistem pemenjaraan yang tidak memikirkan bagaimana nanti ketika narapidana kembali ke masyarakat. Apabila mereka tidak memiliki kesempatan yang lebih baik di luar sana ditambah dengan level penerimaan yang rendah dari masyarakat, mantan narapidana akan memiliki insentif yang lebih besar untuk menjadi residivis. Silakan baca artikel ini untuk memahami lebih lanjut isu rehabilitasi.

    Tentu saja pelaksanaan program rehabilitasi harus dilakukan secara selektif. Bagaimanapun juga, ongkos operasional mendidik umumnya selalu lebih mahal dibandingkan menyiksa atau menyengsarakan orang, dan efek yang diharapkan juga belum tentu tercapai khususnya apabila stigma narapidana di masyarakat tidak berubah secara signifikan. Sia-sia mendidik narapidana kalau setelah keluar dari penjara, mereka tetap dikucilkan dan tidak diterima masyarakat. Artinya untuk menyukseskan program ini, kita juga harus memperhitungkan biaya mendidik masyarakat secara keseluruhan.

    Ini mengapa menentukan sanksi pidana yang tepat sebenarnya sangat sulit. Sebagaimana seringkali saya sampaikan, prioritas orang berbeda-beda. Implikasinya, insentif mereka pun juga akan berbeda-beda. Pelaku pembunuhan karena balas dendam akan memiliki insentif yang berbeda dengan pembunuh profesional yang melakukan aktivitasnya karena bayaran, begitu juga akan berbeda insentif seorang pencuri ayam dengan koruptor kelas kakap. Belum lagi relasi dengan masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap narapidana setelah selesai menjalani hukuman juga akan berpengaruh dalam mengukur efektivitas sanksi. Saya perkirakan bahwa hal ini khususnya sangat menyulitkan narapidana dari kelas ekonomi yang lemah dibandingkan dengan narapidana kaya raya.

    Sayangnya, negara kita masih malas memikirkan sanksi pidana yang tepat. Kebanyakan sanksi dipukul rata dalam bentuk penjara, denda, atau hukuman mati. Penjatuhannya juga tampak tidak dipikirkan secara sistematis tapi lebih cenderung mengikuti kemana angin berlalu. Padahal kita butuh penelitian empiris dan eksperimen untuk mengetahui sanksi yang tepat! Kalau kita memilih program rehabilitasi misalnya, kita perlu mengukur sejauh apa kesuksesan program tersebut dengan melihat kontribusi narapidana kepada masyarakat setelah bebas dan tingkat pengurangan aksi residivisme. Kalau kita memilih sanksi dalam bentuk negatif, selain pengurangan residivisme, kita juga perlu melihat seberapa jauh korelasi keberadaan sanksi dengan penurunan aksi kriminal yang kita teliti, atau sebagaimana sering didengung-dengungkan, keberadaan efek jera dari sanksi tersebut. 

    Berhubung penentang hukuman mati sering meributkan isu efek jera, perlu saya sampaikan bahwa kita perlu berhati-hati dalam menyatakan bahwa suatu jenis sanksi tidak memiliki efek jera. Suatu sanksi bisa jadi kurang efektif karena bentuk sanksinya sendiri tidak memberikan insentif yang tepat kepada pelaku kejahatan. Saya misalnya pernah membahas di sini mengapa sanksi penjara bukan jenis sanksi yang tepat untuk kejahatan korupsi. Kemungkinan lainnya adalah karena minimnya tingkat penegakan hukum atau kelemahan dalam prosedur penegakan hukum. Dan menurut saya, isu yang kedua ini lebih relevan bagi hukuman mati.

    Penegakan hukum adalah aspek yang tak bisa dipisahkan dari hukum pidana. Salah satu penyakit kronis dari masyarakat gila pidana adalah percaya bahwa dengan memidanakan sebagian besar aspek kehidupan, maka secara ajaib semua manusia akan taat hukum dan menjadi manusia yang baik-baik. Ini delusional. Kalau tidak ada yang menegakkan hukum, hukum hanya akan jadi macan kertas. Sekalipun kita bisa menciptakan sanksi pidana yang paling mengerikan di alam semesta ini tetapi probabilitas dijatuhkannya mendekati nol, pelaku kriminal kemungkinan besar hanya akan mentertawakan aturan tersebut. Tanpa menelaah probabilitas penjatuhan sanksi hukuman mati, percaya bahwa hukuman mati pasti efektif mengurangi tingkat kejahatan sama sesat pikirnya dengan percaya bahwa hukuman mati tidak efektif sama sekali. 

    Berhubung penegakan hukum butuh biaya dan sumber daya kita terbatas, mau tak mau kita harus memilih. Terciptalah hubungan yang rumit antara jenis tindakan yang perlu dipidanakan, sanksi yang akan dijatuhkan, penentuan jumlah penegak hukum yang optimal, dan efek positif sanksi yang diharapkan melalui pengurangan tingkat kejahatan dan penciptaan nilai tambah bagi masyarakat, semuanya dengan memperhatikan berapa besar jumlah yang harus dibayar oleh masyarakat untuk membiayai keseluruhan sistem tersebut! Perlu diingat bahwa biaya yang harus dibayar masyarakat bukan saja biaya operasional sistem hukum pidana, tetapi juga biaya terhadap anggota masyarakat yang terkena sanksi pidana, bersalah ataupun tidak bersalah, karena mereka semua merupakan komponen dari masyarakat secara keseluruhan (ingat kembali konsep sanksi dalam bentuk negatif yang ditujukan untuk menambah biaya pelaksanaan tindakan kriminal). 

    Setelah memahami konsep-konsep dasar di atas, barulah kita bisa membahas apakah kita membutuhkan hukuman mati di Indonesia. Apa keunggulan hukuman mati? Dari segi biaya operasional, jelas lebih murah dibandingkan dengan biaya operasional penjara. Mematikan orang tidak akan semahal memelihara narapidana dalam penjara apalagi melatih mereka. Sifatnya yang sangat dahsyat juga dapat menciptakan biaya yang sangat mahal bagi pelaku kejahatan (walaupun tentu bergantung pada probabilitas dikenakannya hukuman tersebut). Untuk pelaku kriminal yang sangat berbahaya, mungkin akan lebih baik bagi masyarakat apabila mereka dihilangkan dibanding dengan mengurung mereka untuk memenuhi nilai moral tertentu. Ini mengapa saya tak suka ide moral Batman yang sok tak ingin membunuh Joker walaupun keberadaan Joker sangat berbahaya bagi masyarakat dan selalu bisa kabur dari penjara (penjelasan lainnya adalah kalau Joker dibunuh, cerita Batman juga akan berakhir lebih cepat sehingga ada insentif untuk memperpanjang relasi yang absurd itu).

    Kelemahannya? Penjatuhan hukuman mati tidak bisa memberikan ganti rugi secara moneter kepada korban kejahatan. Padahal bisa jadi bagi korban, penerimaan ganti rugi plus denda jauh lebih bermanfaat. Memangnya seberapa besar nilai balas dendam dari segi moneter untuk kebanyakan orang? Kemudian karena hukuman mati tidak bisa dikoreksi setelah dijatuhkan, biaya administrasi proses penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan penjara. Proses pembuktian akan lebih sulit, proses banding dan grasi juga diprioritaskan. Ini dengan asumsi penegak hukum peduli untuk memastikan bahwa mereka yang dihukum memang benar-benar bersalah dengan tingkat keyakinan mendekati kepastian (beyond reasonable doubt). Harus diingat bahwa menjatuhkan hukuman kepada orang yang salah berarti menciptakan biaya yang tidak perlu bagi masyarakat dan juga mengurangi probabilitas dijatuhkannya hukuman pada pelaku sebenarnya. Setiap kesalahan penegakan hukum pada prinsipnya mengurangi biaya melakukan kejahatan!

    Ini berarti hukuman mati hanya akan memberikan manfaat bersih apabila manfaat yang diperoleh masyarakat dari tingkat pengurangan kejahatan dan penghematan biaya penegakan hukum (karena kejahatan berkurang) lebih tinggi dibandingkan ongkos yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai proses hukuman mati. Untuk mencapai hal tersebut, hukuman mati harus dijatuhkan dengan cepat dan tak bertele-tele, proses pembuktian berjalan efisien dan terpercaya (sehingga prosesnya tak berlarut-larut) dan kemungkinan penjatuhan sanksi kepada orang yang salah juga minim (karena tak mungkin juga penegakan hukum berjalan benar 100%). 

    Pertanyaan besarnya, apakah syarat dan kondisi di atas terpenuhi di Indonesia? Kemungkinan besar tidak. Contoh gampangnya adalah soal Peninjauan Kembali yang baru-baru ini menjadi kontroversi. Kejaksaan Agung menunda-nunda eksekusi pidana mati karena takut perkaranya bisa ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung. Katanya tidak ada kepastian hukum. Bagaimana ini? Penegak hukumnya saja tidak percaya dengan sistem hukum yang mereka jalankan! Lalu untuk apa pula menuntut hukuman mati kalau tidak yakin? Belum lagi fakta bahwa banyak sekali eksekusi hukuman mati yang terkatung-katung. Padahal selama eksekusi tertunda, narapidana tentu harus dipenjara. Penghematan biaya operasional pun menjadi omong kosong belaka.

    Isu lainnya tentunya adalah konsistensi penjatuhan hukuman mati. Siapa yang menjadi target dari hukuman ini? Jelas saja tidak ada efek jera kalau yang dikenakan hukuman umumnya hanya level kroco. Suplai kroco akan selalu lebih banyak dari bos-bos besar pelaku kejahatan, yang artinya posisi mereka gampang digantikan dengan orang lain. Ditambah dengan carut marutnya penegakan hukum kita yang tak jelas administrasinya, probabilitas pelaksanaan hukuman mati juga menjadi semakin rendah. Lalu apa gunanya hukuman mati dalam kondisi seperti ini?

    Walaupun bisa jadi hukuman mati sebenarnya tidak efisien di Indonesia, ada fungsi lain dari hukuman mati yang diminati oleh Pemerintah dan aparat hukum: pencitraan. Tak perlu pusing bahwa biaya administrasinya mahal dan sistemnya carut marut. Yang penting hukuman ini dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan yang dipersepsikan sangat berbahaya. Misalnya narkoba. Berita hukuman mati adalah ladang berita yang selalu menarik kontroversi dan minat pemirsa. Dan selama ia masih jadi sumber berita yang efektif untuk menunjukkan ketegasan pemerintah, selama itu juga tak ada insentif signifikan untuk mengubah sistem.

    Mengapa tidak fokus dengan yang riil-riil saja? Daripada sibuk berfilsafat soal nyawa dan sebagainya, kita bisa bicara aspek yang paling jelas, biaya yang harus ditanggung masyarakat! Kita sekarang membiayai sebuah sistem yang dampaknya relatif rendah, tak murah juga, rentan disalahgunakan dan jadi ajang pencitraan. Kalau mau serius menggunakan hukuman mati, sudah ada resep yang perlu diperhitungkan di atas, tinggal kita kuantifikasi dengan menggunakan data yang solid. Masih mau asyik beretorika atau mulai menyusun kebijakan publik berbasis data? Jangan setengah-setengah kalau mau maju!

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.