THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Moralitas dan Pasar (Atau Mengapa Michael Sandel Tidak Paham Ekonomi)


    Kemarin saya menerima tautan artikel yang ditulis oleh Michael Sandel dengan judul "The Moral Limits of the Market". Singkat cerita, Sandel ingin menunjukkan bahwa tidak semua hal bisa diatur oleh pasar dan tidak semua hal bisa dibeli serta bahayanya apabila semua aspek kehidupan tunduk pada pasar. Saya selalu tertarik dengan kritik yang bermutu terhadap Law & Economics. Sayangnya ketika saya membaca artikel ini, kesan utama yang saya tangkap adalah Sandel tidak paham ilmu ekonomi.

    Pertama-tama, Sandel memberikan 3 contoh kasus yang menurutnya bermasalah dari sudut pandang moralitas: (i) aturan penjara di Santa Barbara, California, yang memperbolehkan narapidana untuk membeli akomodasi yang lebih baik dengan harga US$90 per malam, (ii) program sumbangan US$300 bagi wanita pecandu narkoba yang bersedia untuk disterilisasi guna mencegah lahirnya anak  dari wanita pecandu tersebut, dan (iii) perusahaan yang menyediakan joki antrian untuk menghadiri acara tertentu dengan menyewakan tuna wisma atau pengangguran untuk mengantri.

    Saya sulit memahami mengapa hal ini bisa dianggap salah. Mungkin karena Sandel sendiri tidak menjelaskan dengan rinci dalam artikelnya nilai-nilai moral mana saja yang harus didahulukan. Alih-alih berbicara dengan sistematis, Sandel malah melantur kemana-mana seperti membahas soal nilai kemanusiaan, harga diri, ketimpangan sosial akibat pasar, dan korupsi, sambil berbicara tentang pentingnya masyarakat membahas hal ini secara mendalam.

    Dalam ekonomi normatif, nilai utama yang dianggap penting adalah efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Ambil contoh soal ketimpangan yang diributkan oleh Sandel. Menjelaskan mengapa ketimpangan itu buruk berdasarkan moralitas tidak terlalu sulit, anda tinggal mengklaim bahwa ketimpangan itu buruk secara moral. Anda bisa menambahkan bahwa hal ini benar secara intuitif atau ada nilai moral yang lebih tinggi yang menunjukkan bahwa ketimpangan itu buruk. Apanya yang mendalam? Justru berbicara apakah ketimpangan buruk dari sudut pandang efisiensi dan totalitas kesejahteraanlah yang bisa melatih kita untuk berpikir secara lebih mendalam, karena kita harus bisa berpikir bagaimana menghubungkan isu ketimpangan tersebut dengan kesejahteraan total.

    Ketimpangan sampai level tertentu pasti dibutuhkan. Tanpa ada ketimpangan sama sekali, tidak ada insentif untuk maju. Kalau semua orang menerima upah yang sama, terlepas apapun produktivitasnya, untuk apa bekerja keras? Kalau semua orang akan menerima ranking yang sama di kelas atau cukup sekedar lulus saja tanpa nilai, untuk apa susah payah belajar? Tidak usah jauh-jauh, dalam Islam pun konsep surga bertingkat-tingkat. Surga Islam tidak egaliter dimana semua orang akan berada dalam posisi yang sama. Semakin tinggi amal dan ketakwaannya, semakin tinggi derajatnya di hadapan Tuhan. Ketimpangan mau tidak mau harus ada demi kemajuan. Kurang intuitif apa lagi?

    Tetapi ketimpangan yang berlebihan juga akan bermasalah. Masyarakat yang terlalu timpang akan lebih rawan konflik. Sederhananya, orang tak akan pernah bisa lepas dari rasa iri. Menjadi miskin itu menderita (saya tahu karena sudah pernah mengalami), dan penderitaan cenderung berubah menjadi kemarahan ketika tak kunjung usai. Kebijakan distributif menjadi masuk akal dalam konteks pengurangan konflik tersebut. Kalau orang yang lebih miskin bisa dibuat lebih senang tanpa harus membebani yang lebih kaya terlalu berat, mengapa tidak? Kalau anda tidak suka dengan istilah ini, anda bisa menggantinya dengan konsep Islam tentang adanya hak orang miskin dalam harta anda. Apapun namanya, konsepnya sama. Kuncinya ada di keseimbangan. Toh pemerintah dan pajak adalah 2 hal yang sudah tidak bisa dihindari di dunia modern. Daripada sibuk berbicara soal kebebasan mutlak, lebih baik berbicara soal bagaimana agar kebijakan distributif tersebut dijalankan secara efisien. Ini tentunya kalau kita mau serius bicara secara mendalam, bukan mengawang-awang.

    Kembali lagi ke 3 contoh yang sempat kita bahas di atas. Karena Sandel tidak menjelaskan dengan rinci apa masalah dari 3 kebijakan tersebut, saya akan mencoba berpikir seperti Sandel dan menggunakan nilai-nilai yang ingin dia pertahankan. Pertama soal akomodasi penjara. Apa yang akan Sandel katakan? Tidak adil? Kebijakan ini mendukung mereka yang lebih kaya dibandingkan dengan yang lebih miskin? Atau apakah dengan kebijakan seperti ini orang kaya menjadi tidak menghargai nilai-nilai luhur hukum pidana karena berpikir hukum bisa dibeli?

    Mengapa tidak adil? Tidak adil adalah apabila orang kaya boleh meminta kenaikan akomodasi tanpa perlu membayar sedikitpun. Siapa yang bisa bilang bahwa definisi tidak adil saya salah? Siapa juga yang bisa bilang bahwa definisi Sandel benar? Apakah karena diperbolehkan untuk membeli akomodasi maka orang kaya diberikan prioritas secara tidak adil terhadap orang miskin? Ukurannya tidak jelas.

    Kalau anda khawatir bahwa efek jera berkurang karena orang kaya menganggap hukum bisa dibeli, isunya bukan soal pembelian akomodasi penjara, isunya di harga yang perlu diterapkan. Kalau suatu barang dihargai terlalu murah, ya nilainya juga menjadi tidak seberapa. Atau Sandel khawatir, hal ini akan dikorupsi? Tanpa ada aturan itupun, jual beli akomodasi penjara sudah lazim ada. Kita bisa mengambil kebijakan untuk melarangnya secara total, atau kita bisa menggunakannya untuk mendapatkan manfaat dalam bentuk lain. Intinya ada di kreativitas kita dalam menyusun kebijakan.

    Pertanyaan yang hilang dari artikel Sandel adalah uang yang diterima untuk membayar kenaikan akomodasi itu akan digunakan untuk apa? Kalau uangnya digunakan untuk memperbaiki kualitas penjara bagi mereka yang lebih miskin, apa bedanya dengan kebijakan distribusi yang diidam-idamkan Sandel? Apabila Sandel memahami ilmu ekonomi, pertanyaannya tidak berhenti pada apakah kebijakan akomodasi penjara adil atau tidak adil, tetapi bagaimana agar kebijakan itu bermanfaat bagi semua orang. Itu pertanyaan yang menurut saya lebih tepat guna untuk ditanyakan.

    Analisis ekonomi juga tidak akan berhenti di satu titik, tetapi akan terus kritis terhadap aspek-aspek yang paling relevan terhadap isu akomodasi penjara. Kalau misalnya kita perbolehkan narapidana untuk membeli akomodasi yang lebih baik, apakah pasti dana tersebut aman? Bagaimana caranya agar dana tersebut tidak disalahgunakan oleh sipir penjara? Itu berarti kita juga harus memikirkan insentif dari sipir. Apa sebaiknya dana tersebut diserahkan sebagian kepada sipir? Dan sebagainya.

    Selanjutnya mengenai wanita yang disterilkan. Apakah ini isu harga diri? Atau isu soal bayi yang tak akan pernah dilahirkan? Kalau Sandel mau berpikir lebih mendalam, ia juga harus berpikir mengenai bagaimana nantinya kalau si wanita pecandu tetap dibiarkan memiliki anak. Apakah nasib anak itu tak penting? Apakah Sandel yakin wanita pecandu itu akan bisa menjadi ibu yang baik? Apakah kemudian harga diri si wanita menurun? Dia tidak dipaksa untuk disterilkan. Bukankah itu tetap menghargai kebebasan individu yang setahu saya umumnya dianggap penting oleh para filosof moralis? Lebih penting lagi, bagaimana mengukur nilai dari bayi yang bahkan tak pernah muncul ke dunia?

    Coba kalau kita lihat ini dari sudut ekonomi, saya akan terlebih dahulu berfokus pada teknologi sterilisasi. Apakah permanen atau tidak? Kalau tidak permanen, ini kebijakan yang peduli baik pada ibu maupun anaknya. Tidak ada yang dirugikan. Kalau permanen, perlu dipastikan apakah si wanita menerima informasi yang tepat ketika ia mengambil keputusan agar jangan sampai harga yang ditawarkan terlalu murah. Bukan apa-apa, walau tidak semua wanita menginginkan anak, bukan berarti kehadiran anak tidak bernilai sama sekali. Ekonom yang peduli pada kesejahteraan akan memikirkan bagaimana caranya menyeimbangkan antara harga sterilisasi dan keinginan untuk memiliki anak di masa depan. Apa yang bisa ditawarkan oleh Sandel dalam menjawab isu seperti ini? Sekedar bahwa sterilisasi tidak bermoral? Lalu? Seterusnya apa?

    Isu joki antrian bahkan lebih absurd lagi untuk digunakan sebagai contoh oleh Sandel. Dia nampaknya lupa membandingkan bagaimana nasib tuna wisma dan pengangguran ketika mereka tidak punya penghasilan. Tanpa penghasilan dan pekerjaan, ujung-ujungnya mereka akan menjadi pengemis. Dimana letak harga diri dari mengemis? Bagaimana mungkin secara moral kita bisa membiarkan tuna wisma mengemis (dan menjual harga dirinya) sementara kita mempertanyakan tindakan si tuna wisma sebagai joki antrian? Analisis macam apa itu? Saya bahkan tidak perlu panjang lebar membahas isu joki antrian dari sudut ekonomi, ini contoh usaha yang brilian dan menguntungkan para pihak yang terlibat tanpa harus merugikan pihak lain.     

    Terakhir, Sandel ingin menunjukkan contoh kuat bahwa tidak semua bisa diserahkan kepada pasar melalui isu jual beli voting. Menurut Sandel, mengapa jual beli voting tidak dilakukan saja? Kalau seseorang tidak ingin melaksanakan hak votingnya, dia bisa menjual haknya itu kepada orang lain yang menginginkan dan semua akan sama-sama untung. Nyatanya hal itu dilarang. Sandel lalu melompat dengan menyatakan bahwa argumen terbaik untuk tidak menjual hak voting adalah karena voting merupakan tanggung jawab publik. Saya tidak tahu darimana Sandel bisa menyatakan bahwa argumen barusan adalah argumen yang terbaik, tetapi saya sudah benar-benar yakin kali ini kalau Sandel harus belajar ekonomi.

    Saya sudah panjang lebar membahas mengenai isu jual beli voting di artikel ini, ini, dan ini. Permasalahan utama dari pola pikir macam Sandel adalah karena ia seakan-akan berpikir bahwa isu jual beli voting akan selesai hanya dengan melarang jual beli voting dan mendidik moral semua manusia di planet Bumi ini. Kenyataannya, jual beli voting akan selalu ada. Ketika politikus berjanji macam-macam kepada calon pemilihnya, bukankah itu sama saja dengan jual beli? Politikus menjual janjinya kepada pemilih, dan pemilih membeli janji tersebut dengan memilih si politikus. Kita tidak bisa lari dari mekanisme pasar di situ.

    Dalam artikel saya di atas, saya mendukung legalisasi jual beli voting. Bukan karena saya ingin agar voting benar-benar diperjualbelikan, tetapi agar jual beli voting menjadi tidak menarik lagi untuk dilaksanakan. Jual beli voting belum tentu efisien, tanpa persyaratan yang pas, mekanismenya bisa disalahgunakan. Tapi bukan berarti bahwa kemudian jual beli voting menjadi 100% salah dan tidak berguna. Argumen Sandel yang menyatakan bahwa seharusnya jual beli dilakukan saja karena menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat membuktikan ia tak tahu kalau ilmu ekonomi tidak bicara melulu soal transaksi antar 2 pihak, tetapi juga eksternalitas dari transaksi tersebut kepada pihak ketiga (yang bisa jadi positif atau negatif). 

    Banyak ekonom yang melakukan riset dalam menyusun sistem voting yang lebih baik, yang lebih sulit untuk disalahgunakan oleh satu pihak tertentu. Tapi untuk menyusunnya, kita butuh kajian yang serius dan data empiris yang memadai. Pendekatan Sandel tidak akan banyak membantu. Katakanlah secara moral Sandel benar bahwa jual beli voting tidak sesuai dengan nilai moralitas yang baik. Lalu? Apakah kemudian semua politikus dan pemilih akan berhenti melakukan jual beli voting begitu saja? Atau memang seperti ini tugas filosof? Menyatakan mana yang salah dan benar,  tetapi sehabis itu tidak memikirkan bagaimana caranya menyusun sistem agar yang menurutnya benar bisa tercapai di dunia nyata?

    Sandel menutup artikelnya dengan mengajak pembacanya untuk berpikir secara serius mengenai isu kapan pasar mendukung kebaikan publik, dan kapan pasar tidak mendukungnya. Saya sepakat dengan Sandel. Itu pertanyaan yang baik dan patut ditanyakan. Sayangnya Sandel sendiri kemungkinan besar tidak akan bisa menjawab hal itu karena ia tidak memiliki pisau analisis yang tepat.
  • Upah Minimum Bukan Solusi!


    Upah minimum pekerja merupakan isu standar tahunan yang tak pernah usai. Pendukung upah minimum selalu berargumen bahwa upah minimum dibutuhkan agar kaum pekerja yang lemah tidak dieksploitasi oleh pengusaha yang rakus dan agar hidup pekerja bisa menjadi lebih mapan. Komponennya juga semakin lengkap dari tahun ke tahun seperti misalnya disebutkan dalam artikel ini yang membahas upah layak (sekaligus menyatakan bahwa upah layak merupakan bagian dari hak asasi manusia). Pertanyaan utamanya, apakah memang benar isu upah minimum ini bisa membantu nasib para pekerja, khususnya pekerja yang berada di lapisan terbawah?  
  • Perpu Bermasalah Tak Layak Dibela!


    Ketika pertama kali membahas mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") terkait Pemilihan Kepala Daerah ("Pilkada") di sini dan di sini, saya berpikir hanya Prof. Mahfud MD yang berargumen bahwa akan terjadi kekosongan hukum apabila Perpu tersebut ditolak oleh DPR. Saya sudah membahas panjang lebar dalam kedua artikel tersebut mengapa kekosongan hukum tidak mungkin terjadi (karena penolakan wajib dinyatakan dalam bentuk Undang-Undang ("UU") yang akan menyatakan akibat hukum dari penolakan Perpu tersebut) dan bahwa ada potensi permasalahan hukum yang terlewat yaitu terkait kewenangan Presiden dan DPR dalam membahas UU di atas.
  • Macet, Macet, Macet: Kebijakan Apa yang Diperlukan?


    Macet sungguh menyiksa hidup. Saya cukup yakin mayoritas penduduk Jakarta menyetujui hal tersebut. Sudah tidak terhitung berapa banyak kajian yang menunjukkan bagaimana kemacetan bukan saja merugikan secara finansial, tetapi juga secara fisik dan mental. Di Indiana, teman saya yang bekerja 40 km dari rumahnya masih dianggap dekat karena dia bisa mencapai kantornya dalam setengah jam lebih sedikit. Sementara saya yang tinggal hanya 8-9 km dari kantor saya di bilangan Sudirman bisa menempuh perjalanan sampai 1 atau 1,5 jam gara-gara kemacetan yang tak kunjung habisnya!
  • Politik dan Pencitraan yang Optimum


    Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah tulisan singkat di Facebook yang mengkritik kicauan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Twitter soal pencitraan dalam berpolitik. Saya tak setuju kalau kicauan SBY merupakan bentuk kesinisan dalam berpolitik sebagaimana diargumentasikan si penulis di atas. Politik pada prinsipnya tak akan pernah lepas dari pencitraan, sama seperti penjualan suatu produk juga tak akan pernah lepas dari iklan, baik iklan melalui media massa maupun mulut ke mulut.

    Untuk dapat memahami isu pencitraan, kita harus memahami terlebih dahulu bahwa kemampuan untuk memimpin dengan kemampuan untuk dipilih menjadi pemimpin (khususnya melalui proses politik) adalah 2 hal yang berbeda. Bagus sekali apabila pemimpin kita memiliki keduanya, tetapi dalam prakteknya, hal tersebut tidak selalu bisa didapatkan. Berpikir bahwa tidak ada politisi yang melakukan pencitraan tentunya sangat naif. Bahkan kalau sekalipun si politisi benar-benar berkomitmen untuk memajukan masyarakat, dia tetap butuh pencitraan. Tanpa pencitraan, bagaimana orang bisa tahu tentang komitmen si politisi?

    Hal ini merupakan dampak dari demokrasi. Ketika tampuk kepemimpinan diserahkan pada mekanisme voting secara populer, apalagi melibatkan orang dalam jumlah yang sangat banyak, kemampuan untuk mencari dukungan politik jauh lebih diperlukan dari kemampuan aktual untuk memimpin, kecuali mayoritas pemilih benar-benar peduli tentang kemampuan memimpin tersebut (yang akan bergantung pada beragam faktor, seperti tingkat pendidikan dan pendapatan pemilih serta kemungkinan bias dari pemilih terhadap jenis politisi tertentu)

    Tidak ada pemimpin karbitan. Politikus pada umumnya sudah membangun modal politiknya sejak lama. Dan ini tidak mengherankan. Bayangkan kalau anda ingin menjadi Presiden di Indonesia dimana pemilihnya lebih dari 130 juta manusia. Anda pikir terkenal sehari, sebulan atau bahkan setahun saja sudah cukup untuk bisa memenangkan kompetisi tersebut? Presiden Jokowi sudah membangun modal politiknya mulai dari Solo bertahun-tahun yang lalu. Prabowo bahkan sudah mempersiapkan dirinya dari masa muda, dan itu pun masih gagal.

    Jujur saja, ketika saya dulu memilih Jokowi sebagai Presiden, pencitraan dirinya memegang peranan penting bagi saya. Saya suka dengan pencitraan Jokowi sebagai pemimpin yang mencari konsensus dan jalan alternatif dalam menyusun kebijakan. Sebaliknya, saya tidak suka dengan pencitraan ala Prabowo yang mencitrakan dirinya sebagai pemimpin tegas yang bisa menyelesaikan semua masalah di Indonesia hanya dengan menjadi tegas. Dan saya membahas isu tersebut panjang lebar di artikel ini. Tetapi walaupun saya menganggap pencitraan Prabowo sebagai hal yang buruk, faktanya 60 juta lebih rakyat Indonesia memilih dia sebagai calon Presiden. Sedikit banyak, pencitraan Prabowo cukup efektif dan diminati oleh masyarakat, hanya saja pencitraan Jokowi masih lebih diminati oleh mayoritas masyarakat.  

    Selain sebagai sarana untuk membuat diri politisi dikenal dalam proses menjadi pemimpin (termasuk ketika hendak naik tingkatan), pencitraan juga tetap diperlukan setelah si politisi berhasil menjadi pemimpin. Perlu diingat bahwa memimpin suatu negara merupakan salah satu pekerjaan yang paling menantang di dunia. Menjalankan seluruh program yang pernah dijanjikan oleh politisi dalam 1 periode kemimpinan merupakan hal yang hampir mustahil, kalau bukan mustahil sama sekali. Faktor yang perlu dipuaskan banyak (kesejahteraan masyarakat yang mengandung banyak unsur, baik finansial, fisik maupun mental) dan kadar kesuksesannya bergantung pada banyak faktor yang berada di luar kontrol dirinya.

    Dalam kondisi di atas, pencitraan memegang peranan penting sebagai penyeimbang dalam menjaga tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya ketika suatu program yang sudah dijanjikan ternyata gagal untuk dilaksanakan, khususnya pencitraan sebagai pemimpin yang baik, yang sudah menerapkan prinsip tata kelola yang baik, yang peduli pada masyarakat, dan sebagainya. Tentu saja ketika kegagalannya semakin bertambah, efektivitas pencitraan juga akan semakin berkurang. Masyarakat tidak bisa makan citra semata apalagi ketika kebutuhan atau kepentingan dirinya terganggu.  

    Sampai di sini, kita paham bahwa pencitraan adalah bagian inheren dari politik. Isu utamanya adalah: bagaimana menemukan level pencitraan yang optimum? Ada banyak strategi yang bisa digunakan oleh politisi. Ada yang ingin menyenangkan semua lapisan masyarakat, ada yang ingin menyenangkan sebagian besar pemilihnya, ada juga yang ingin menggaet dukungan dari massa yang dulu tak mau memilihnya. Ada taktik pencitraan yang menonjolkan ketakberdayaan pemimpin mengambil keputusan, ada juga yang akan menonjolkan bahwa kegagalan program terjadi karena hal yang berada di luar kontrol pemimpin. Politisi ulung dan berpengalaman seharusnya tahu level pencitraan yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, tetapi politisi juga manusia, dan dia bisa melakukan kesalahan. Oleh karenanya, kritik senantiasa diperlukan.

    Kritik SBY menurut saya masuk akal, bahkan walaupun dia sendiri sebenarnya juga berlebihan dalam melakukan pencitraan semasa dia menjadi Presiden. Justru kesalahan-kesalahan taktik pencitraan SBY dapat menjadi bahan pelajaran yang berharga bagi Presiden Jokowi. Pencitraan yang berlebihan justru akan kontraproduktif, khususnya apabila nantinya tidak dibarengi dengan kinerja yang memuaskan. Ibarat kata, perusahaan dengan iklan terbaik di dunia pun tetap saja akan merugi
    karena pembelinya berkurang kalau produk akhirnya ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan.

    Ambil contoh kebijakan makan cemilan tradisional sebagaimana dibahas di sini. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara kita berargumen bahwa kebijakan ini akan merangsang petani lokal untuk memproduksi lebih banyak hasil cocok tanam lokal. Tidak lupa ditambahkan iming-iming bahwa makanan ini lebih sehat dan lebih nasionalis. Tipe kebijakan seperti ini jelas masuk dalam level pencitraan belaka.

    Pertama, kecil sekali kemungkinannya perubahan dalam konsumsi makanan kecil pegawai negeri akan mempengaruhi permintaan terhadap produk lokal petani. Kedua, saya tidak yakin kebijakan ini akan berlaku efektif karena penegakannya tidak mudah. Siapa yang akan menghabiskan waktunya untuk memeriksa semua makanan kecil yang disediakan di rapat-rapat pemerintah? Mungkin kalau petingginya sedang hadir, kalau tidak? Ketiga, isu usang nasionalisme. Nasionalisme selalu terkait erat dengan pencitraan karena memang enak untuk didengar, terlepas apakah ada manfaat riil atau tidak bagi masyarakat.

    Kalau pemerintah serius bermaksud untuk memberikan insentif kepada petani untuk bercocok tanam, mereka tidak akan menggunakan kebijakan cemilan lokal yang sebenarnya mempermainkan para petani mengingat manfaat yang petani terima kecil atau mungkin tidak ada karena tidak berpengaruh signifikan pada harga produk pertanian lokal. Pencitraan ini hanya mungkin menguntungkan aparat pemerintah karena mereka bisa mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang cinta produk lokal (dengan asumsi sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai pencitraan tersebut).

    Kebijakan lainnya yang menurut saya patut dipertanyakan adalah kebijakan Presiden menggunakan pesawat kelas ekonomi yang dijalankan tanpa memikirkan isu keamanan, misalnya dalam berita ini dan ini. Bayangkan jadwal keberangkatan sampai tempat duduk Presiden diberitahukan kepada khalayak ramai? Ini jelas pelanggaran terhadap protokoler keamanan terhadap orang nomor satu di negeri kita. Mencitrakan diri sebagai Presiden hemat adalah sah-sah saja, tetapi informasi yang disampaikan juga seharusnya dibatasi.   

    Menggunakan pesawat kepresidenan mungkin akan memakan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan pesawat kelas ekonomi, tetapi komponen biaya dalam analisis untung rugi kita kali ini tidak terbatas pada biaya pesawat, biaya keamanan Presiden kita jauh lebih penting! Hal itu yang seharusnya dipertimbangkan sebelum kebijakan ini diambil. Kalau keselamatan Presiden terancam, ujung-ujungnya kebijakan ini akan menjadi pencitraan dengan biaya yang sangat mahal.

    Terakhir, kebijakan yang juga sempat saya kritisi adalah usulan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai pengurangan jam tenaga kerja karyawan wanita (Silakan cek artikel ini). Saya cukup yakin bahwa ide yang sebenarnya berpotensi merugikan karyawan wanita ini lagi-lagi merupakan bagian dari pencitraan publik dengan memperhatikan kebudayaan mayoritas masyarakat di Indonesia yang masih menganggap bahwa ada peranan mutlak dan khusus bagi wanita. 

    Kembali ke kritik SBY, Presiden Jokowi sebenarnya belum perlu melakukan pencitraan yang masif dan beraneka ragam, untuk apa? Pemerintahannya belum sampai 3 bulan dan sejauh ini belum ada indikasi penurunan tingkat kepercayaan dari masyarakat. Isu kenaikan harga bahan bakar minyak saja bahkan hanya memakan waktu keributan seminggu-dua minggu. Menurut saya itu luar biasa (walaupun penyebabnya tidak bisa saya prediksikan secara pasti), dan momentum kepercayaan ini bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif.

    Saat ini strategi pencitraan awal yang dipilih oleh Presiden adalah pencitraan kerja, kerja dan kerja. Kenapa tidak fokus di situ saja? Pendukung Jokowi sudah paham betul pencitraan Jokowi sebagai pemimpin yang merakyat dan hemat. Untuk apa meyakinkan pendukungnya lagi ketika situasi dukungan masih kuat? Yakinkan mereka yang sebelumnya tidak sudi memilih Jokowi, yang tak percaya Jokowi adalah pemimpin yang tegas, yang percaya bahwa Jokowi adalah pemimpin boneka dan sebagainya. Pekerjaan rumah Presiden masih banyak, jangan buang-buang waktu untuk melakukan pencitraan yang tidak perlu. Pilihlah pencitraan yang optimum!           
  • Absurdnya Ide Pengurangan Jam Kerja Karyawan Wanita


    Indonesia adalah negara yang tidak pernah kehabisan ide-ide lucu nan menggemaskan. Baru beberapa hari lalu saya membahas soal kesetaraan gender dan pilihan dalam hidup guna menanggapi ide Presiden Turki yang absurd terkait kesetaraan antara pria dan wanita, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumandangkan ide pengurangan jam kerja untuk karyawan wanita, alasannya karena wanita punya tugas untuk mendidik anak-anaknya.

    Saya sangat berharap ini hanya hasil ceplas ceplos belaka dan tidak akan dijadikan bahan penyusunan kebijakan publik yang serius karena menurut saya dampaknya berpotensi merugikan. Sebagaimana sudah saya bahas di artikel sebelumnya, berpikir bahwa wanita dan pria sudah memiliki pembagian tugas yang kaku karena alasan biologis dan doktrin merupakan cara berpikir yang melantur.

    Apabila kita melihat konsep klasik keluarga yang katanya merupakan persatuan dari suami dan istri, mengapa tugas mengurus anak dan rumah tangga dikhususkan untuk ibu? Pendukung perkawinan yang sah dan lengkap selalu ribut soal pentingnya keluarga yang utuh sebagai modal pertumbuhan anak, bahwa peranan ayah dan ibu itu penting, bahwa keluarga dengan orang tua tunggal itu bermasalah, bahwa anak luar kawin bermasalah, dan bahwa perceraian akan berakibat buruk. Aneh apabila kemudian kita sibuk mendukung keutuhan keluarga tapi masih percaya bahwa pembagian tugas antara ayah dan ibu adalah mutlak, yaitu bahwa ibu mengurus rumah tangga dan ayah mencari nafkah.

    Karena kalau pembagiannya semudah itu, untuk apa ada institusi perkawinan? Wanita cukup mencari pasangan yang mau membuahi dirinya. Kemudian si pria sekali-kali bisa datang ke rumah untuk mendapatkan kepuasan seksual sepanjang tak lupa mengirim uang bulanan untuk menghidupi keluarganya. Si pria tak perlu lagi pusing mengurus anak. Mengapa tidak? Toh tugas ayah dalam pandangan yang hampa ini nampaknya tak lebih hanya untuk membuahi sang ibu dan membayar uang rutin bulanan. Dalam hal ini kita berasumsi semua wanita ingin punya anak dan malas bekerja rutin di luar pekerjaan rumah tangga, sementara semua pria malas mengurus anak dan bersedia membayar untuk terlepas dari kewajiban tersebut dengan kompensasi seks.

    Kebanyakan orang akan marah apabila disodori pengaturan keluarga seperti di atas. Tetapi kalau anda tidak sepakat dengan konsep tersebut, seharusnya anda juga tidak sepakat bahwa fungsi pengurusan anak hanya ada di ibu atau difokuskan pada ibu semata. Menekankan bahwa hanya ibu yang punya kewajiban mengurus anak dan rumah tangga sama saja menyatakan bahwa peranan ayah dalam pertumbuhan anak tidaklah penting. Yang menyedihkan, bahkan pembuat undang-undang di Indonesia pun masih memakai konsep bawaan yang kacau balau ini dalam menyusun UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan"). Lihat saja misalnya Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan.

    Ini mengapa pembagian tugas keluarga seharusnya tidak perlu pusing diatur oleh negara. Kalaupun negara mau memastikan bahwa anak akan diurus dengan baik oleh orang tuanya, maka tugas itu seharusnya dibagi rata kepada setiap orang tua. Tiap orang tua bertanggung jawab atas perkembangan anaknya, karena bagaimanapun juga, pendidikan dasar terhadap anak berpengaruh besar terhadap masa depan anak tersebut, apakah akan menjadi sukses atau menjadi sampah masyarakat. Dan pendidikan dasar dipegang oleh orang tua. Lihat artikel menarik dari Prof. James Heckman dari University of Chicago, pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 2000, mengenai maha pentingnya peranan edukasi awal terhadap anak di sini.

    Selain itu, pengurangan jam kerja ini juga tidak memperhatikan insentif ekonomi pengusaha dan karyawan. Ada beragam alternatif. Pertama, jam kerja karyawan wanita dikurangi, tetapi gaji diwajibkan sama. Dengan kata lain, Pemerintah memaksa ibu rumah tangga disubsidi. Hal ini berarti bahwa ongkos menggunakan jasa karyawan wanita meningkat. Kebijakan ini mungkin bagus untuk karyawan wanita yang sudah bekerja, namun jelas merugikan bagi kaum wanita yang belum bekerja (untuk apa perusahaan mempekerjakan karyawan yang kalah produktif dengan gaji sama). Belum lagi kalau nantinya berefek pada kemungkinan promosi bagi karyawan wanita yang sudah bekerja, yang mana akhirnya juga merugikan karyawan wanita yang sudah bekerja.

    Bagaimana kalau misalnya pengurangan jam kerja diwajibkan sambil mengurangi gaji? Ini merugikan karyawan wanita yang sudah bekerja, karena jelas tidak semua wanita mau mengambil pengurangan jam kerja tersebut. Pengurangan 2 jam kerja dari 8 jam kerja sama dengan penurunan 25% jam kerja. Asumsikan bahwa korelasinya konstan (pengurangan jam kerja 2 jam = penurunan gaji sebesar 25%). Apakah kita yakin bahwa semua karyawan wanita mau mengurangi jam kerja mereka dengan kehilangan 25% gaji mereka setiap bulannya? Mohon jangan seenaknya berasumsi bahwa semua ibu bersedia untuk melepaskan segalanya demi anak.

    Belum lagi kalau ternyata korelasinya tidak konstan, tetapi meningkat, yaitu penurunan produktivitas karena berkurangnya jam kerja selama 2 jam lebih besar dari 25% total produktivitas. Bukan saja gaji karyawan wanita bisa semakin dipangkas, insentif perusahaan untuk mempekerjakan wanita juga makin turun. Pertanyaannya, apakah iya semua ini bisa dikompensasikan dengan kualitas anak yang makin baik? Itu juga dengan asumsi bahwa bertambahnya jam ibu di rumah berkorelasi positif dengan perkembangan anak. Datanya bagaimana?

    Yang sering terlupa adalah ketika suami dan istri sama-sama bekerja, hal tersebut menandakan secara implisit bahwa mereka berdua memang membutuhkan penghasilan yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Contoh: kebutuhan pendapatan suatu keluarga adalah 100 dan kebutuhan tersebut dipenuhi dengan masing-masing suami istri menghasilkan 50. Apabila kemudian pendapatan istri berkurang menjadi 37,5 (turun 25%), kebutuhan pendapatan sebesar 100 tidak serta merta berkurang. Suami yang kemudian harus menambah jam kerjanya untuk menutupi kekurangan tersebut. Memang waktu kerja istri berkurang, tetapi kompensasinya, waktu kerja suami akan bertambah. Mengapa harus seperti itu? Apakah ayah tak punya hak bertemu anak-anaknya? Bagaimana kalau misalnya si ayah juga tidak dapat menambah penghasilannya? Konsumsi yang harus berkurang? Pasti akan ada trade-off

    Ide ini juga menunjukkan kemalasan berpikir yang akut. Isunya jauh lebih kompleks dari sekedar pembagian fungsi suami dan istri. Kita bicara mengenai pendidikan suami istri, seperti kapan seharusnya pasangan punya anak, apakah setelah mereka mapan? Atau bagaimana cara mendidik anak dengan efektif? Ironis sekali bahwa ketika kita mewajibkan banyak profesi yang tidak penting untuk memiliki ijin, kita justru tidak mengatur soal ijin untuk membentuk keluarga. Tentu banyak yang akan cepat berargumen: masa perkawinan saja perlu pakai ijin, ini kan hak asasi. Ya kalau begitu juga untuk apa diatur peranan suami istri harus seperti apa? Kalau mau serius memastikan orang tua akan mendidik generasi unggul, kita justru pertama-tama harus berinvestasi untuk menciptakan generasi orang tua yang unggul mulai dari sekarang! Pendidikan itu penting. Jangan terus menerus mengulang kesalahan generasi di masa lampau.

    Isu lainnya adalah kalau kita peduli dengan kebutuhan anak akan alokasi waktu yang lebih banyak dari orang tuanya, ya fokus juga di infrastruktur! Khususnya transportasi publik. Anda pikir berapa banyak waktu orang tua yang terbuang karena sehari-harinya menghadapi kemacetan. Berapa banyak inefisiensi yang muncul karena gagal mengatur lalu lintas? Saya akan membahas soal ini di artikel terpisah. Tetapi perlu saya tegaskan bahwa isu ini berhubungan erat dengan pembinaan keluarga. Tidak ada gunanya mengirim orang tua pulang lebih cepat kalau mereka hanya akan menghabiskan waktu di jalanan macet, menggerutu dan stress sepanjang jalan hanya untuk pulang ke rumah dengan kelelahan, tak siap lagi mengurus anak, dan besoknya kembali menjumpai neraka yang sama.

    Terakhir, setelah membahas semua hal di atas, perlukah Pemerintah mewajibkan perusahaan untuk memberikan hak pengurangan jam kerja hanya apabila diminta oleh karyawan wanita? Saya akan berhati-hati sebelum mengimplementasikan kebijakan yang lebih rileks ini. Pertama-tama, kompetisi antar perusahaan bisa memberikan efek yang sama. Kalau perusahaan membutuhkan kemampuan si karyawan wanita dan ingin mempertahankan karyawan tersebut, tanpa diwajibkan pun, perusahaan akan memberikan kemudahan pengurangan jam kerja. Kuncinya justru adalah bagaimana membuat karyawan wanita menjadi semakin bernilai sehingga para perusahaan akan berlomba-lomba menawarkan insentif serupa! Memaksa perusahaan mengaplikasikan kewajiban itu dapat berpotensi membuat perusahaan bias terhadap karyawan wanita, karena sewaktu-waktu mereka bisa diminta untuk memberikan pengurangan jam kerja kepada wanita terlepas apakah karyawan tersebut sebenarnya produktif atau tidak.

    Seperti yang bisa anda lihat, kita butuh kreativitas dalam menyusun kebijakan publik. Meningkatkan kualitas sumber daya perempuan butuh pendidikan, butuh perbaikan budaya, dan masih banyak lagi. Isunya juga kompleks, tetapi kalau mau serius, kita harus selesaikan masalah di level dasar, bukan dengan kebijakan tambal sulam, apalagi kebijakan ceplas ceplos yang terkesan hanya ingin menyenangkan kelompok tertentu saja.

  • Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup


    Pernyataan Presiden Turki, Tayipp Erdogan, di artikel BBC dan Kompas tentang tidak setaranya wanita dengan pria karena kodratnya menentukan demikian bisa menjadi contoh nyata bagaimana ide pembagian tugas yang mutlak antara wanita dan pria masih saja mendominasi pemikiran di kalangan masyarakat, minimal di Turki. Mengapa demikian?

    Erdogan sendiri mungkin tidak percaya dengan apa yang dia sampaikan dan bisa jadi juga kebijakan riil yang dia ambil di Turki tidak bersifat misoginis. Tetapi Erdogan adalah politisi dan politisi rasional selalu berusaha untuk mendapatkan suara dari mayoritas pemilihnya. Dan seperti layaknya kebanyakan pasar dalam kehidupan sehari-hari, seorang penjual (Erdogan) tentunya harus menjual barang/jasa yang diminati oleh mayoritas pembeli (pemilih) kalau ia ingin menjadi penjual yang sukses (dengan asumsi jumlah pemilih yang mendukung ide Erdogan lebih banyak daripada yang menentang).

    Apalagi kalau ide ini dibungkus dengan isu agama dan kodrat biologis. Seakan-akan tak mungkin salah. Salah satu rekan saya misalnya menafsirkan bahwa pernyataan Erdogan tidak bermaksud untuk merendahkan wanita, tetapi justru ingin menunjukkan betapa berharganya nilai ibu dan betapa pentingnya seorang ibu bagi anak-anaknya. Meyakinkan? Sama sekali tidak bagi saya.

    Isu terbesar dari pembagian tugas antara pria dan wanita ini adalah karena kita merasa bahwa diri kita atau pemerintah memiliki pengetahuan yang mendalam, sempurna dan menyeluruh atas fungsi dan peranan tiap individu dalam satu negara. Kita merasa paham sekali bahwa pria cocok untuk pekerjaan x, sementara wanita cocok untuk pekerjaan y. Dan berdasarkan pemahaman kita yang spektakuler ini, kita putuskan pria harus melakukan x dan wanita melakukan y. Masalahnya adalah: tahu dari mana bahwa seseorang lebih cocok untuk melakukan pekerjaan tertentu? Lebih penting lagi, kalau pun mereka lebih cocok untuk melakukan sesuatu, kenapa mereka harus melakukan hal tersebut?

    Sebagai penganut garis keras aliran efisiensi dan analisis untung rugi, ide bahwa setiap orang harus bekerja sesuai dengan bakatnya sehingga bisa memaksimalkan potensi diri masing-masing terkesan sangat menarik. Tapi saya tidak akan mau terburu-buru mengambil kesimpulan dan kemudian terjebak dalam sesat pikir.

    Ingat film Superman yang terbaru? Film itu menceritakan bahwa Planet Krypton sudah berhasil menemukan kode genetika setiap bayi dan mengetahui sedari awal, bahkan memprediksikan dengan akurat apa bakat dari bayi tersebut dan apa nantinya peran si bayi ketika dia menjadi dewasa. Ada bayi yang diplot menjadi ilmuwan (seperti misalnya Jor-El, ayah Superman), ada yang diplot menjadi tentara (seperti misalnya Jenderal Zodd). Dan tidak ada satu pun yang boleh melawan peran yang sudah digariskan itu.

    Hal pertama yang bisa kita lihat dari kisah di atas? Orang-orang Krypton nampaknya tidak bahagia (lihat saja tampang Zodd yang terkesan stress secara berkesinambungan tanpa henti sepanjang film). Dan mungkin itu bukan cuma sekedar aksi di film. Bayangkan sendiri apabila misalnya anda berminat menjadi seorang pengacara, tetapi kemudian setelah ditelaah oleh suatu mesin super canggih, anda dinyatakan tidak cocok jadi pengacara, anda lebih cocok jadi arsitek dan oleh karenanya anda wajib menjadi arsitek terlepas anda suka atau tidak dengan profesi itu. Bagaimana perasaan anda? Saya cukup yakin bahwa sebagian besar orang akan menolak pemaksaan profesi tersebut, apalagi kalau kita tidak punya suara sama sekali dalam kasus tersebut.

    Dan banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Misalnya, apakah mesin tersebut bisa menghitung dengan objektif seluruh preferensi kita atau hanya melihat satu unsur tertentu saja? Analisis untung rugi meliputi banyak aspek. Kekayaan finansial hanyalah salah satunya, rasa bahagia, kepuasan batin dan sebagainya, dapat menjadi bagian yang valid dari analisis untung rugi, dan banyak ahli yang berusaha untuk terus menyempurnakan analisis untung rugi agar dapat menangkap aspek-aspek tersebut.

    Kalau pun kita bersikeras mengkhususkan analisis untung rugi hanya atas hal-hal yang bisa dikuantifikasi, kita dapat menyimpulkan bahwa ketidakbahagian dalam bekerja juga dapat menurunkan produktivitas. Si mesin bisa jadi memperhitungkan bahwa bakat arsitektur kita berpotensi menciptakan pendapatan US$1 juta per tahun dibandingkan dengan profesi pengacara yang berpotensi menciptakan pendapatan US$750 ribu per tahun.

    Akan tetapi, ketidaksenangan kita terhadap profesi arsitektur juga berpotensi menyebabkan jumlah pendapatan kita menurun drastis di bawah potensi yang diperkirakan si mesin karena kita tidak melakukan pekerjaan kita dengan sungguh-sungguh. Tidak ada jaminan bahwa prediksi si mesin akan menghasilkan hasil yang efisien. Isunya sederhana. Pertama, tidak ada yang bisa memprediksikan masa depan apalagi mengatur masa depan akan menjadi seperti apa. Ketidakpastian dalam hidup ini sudah merupakan suatu keniscayaan. Kedua, manusia tidak bisa dipaksa untuk menyukai apa yang ia tidak suka. Melakukan sesuatu yang tidak disukai pasti ada biayanya dan akan ada konsekuensinya. Kita bisa menutupi masalah ini dengan bilang: "ya, tidak semua orang tahu apa yang baik bagi dirinya." Tapi hal itu tidak akan tiba-tiba mengubah orang menjadi suka atas apa yang tidak dia sukai. Sesederhana itu. Pertanyaan utamanya, dengan situasi seperti ini, apa kita benar-benar memiliki justifikasi yang kuat untuk memaksa orang melakukan suatu profesi tertentu sekalipun ia tidak menyukainya? 

    Coba kita renungkan baik-baik, apabila kita tidak bisa sepenuhnya percaya bahwa pembagian tugas antar manusia bisa dipaksakan ketika teknologi pendukungnya ada, bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa pembagian tugas tersebut dapat dipaksakan ketika teknologinya tidak ada dan pemerintah serta masyarakatnya masih bias gender?  Kalau kita sendiri tidak suka dipaksa oleh negara untuk menjalankan profesi tertentu, mengapa kita malah meminjam tangan negara untuk memaksa orang lain? Dari sudut analisis untung rugi, ini jelas bukan opsi yang menggiurkan.

    Fakta bahwa secara biologis wanita adalah satu-satunya jenis manusia yang bisa melahirkan anak tidak serta merta berarti bahwa semua wanita pasti ingin punya anak, pasti ingin menghabiskan waktunya untuk mengurus anak, dan pasti lebih mampu mengurus anak dibandingkan dengan pria. Bisa jadi ada wanita yang lebih senang untuk menjadi ibu rumah tangga, bisa jadi ada wanita yang lebih senang untuk menjadi wanita karir, dan bisa jadi ada yang ingin menggabungkan keduanya. Demikian juga dengan pria. Pilihannya bukan ditentukan oleh negara. Pilihannya ada pada wanita tersebut dengan tunduk pada kelangkaan waktu dan sumber daya.           

    Apa maksudnya? Anak hanyalah salah satu opsi dalam kehidupan berkeluarga. Ada yang berpikir meneruskan keturunan genetis itu penting, ada yang tidak. Kesenangan hidup berkeluarga juga tidak hanya muncul dari anak. Mengurus anak juga bukan tanpa biaya. Kesenangan yang didapat dari kehadiran anak akan dikompensasikan dengan biaya dalam bentuk waktu yang bisa digunakan untuk aktivitas lain dan uang yang digunakan untuk mendidik dan menciptakan anak yang bermutu.

    Orang mungkin berpikir, tidak baik melakukan analisis untung rugi terhadap urusan keluarga, termasuk anak. Ini seperti berharap bahwa masalah yang ada di depan mata akan hilang hanya dengan menutup mata kita. Pepatah "banyak anak banyak rezeki" saja sebenarnya mengindikasikan bahwa nenek moyang kita sudah lama berpikir bahwa anak adalah investasi. Dan kenapa tidak? Dalam budaya Asia, anak sangat diharapkan menjadi tulang punggung keluarganya ketika nanti ia sudah besar. Semakin banyak anak, maka seharusnya semakin makmur hidup orang tua (dengan asumsi mereka berhasil mendidik anaknya). Kebanyakan orang mungkin tidak suka mendengar kenyataan ini. Namun demikianlah kenyataannya.        

    Oleh karenanya, wajar-wajar saja kalau kemudian ada wanita yang memutuskan untuk tidak punya anak atau membatasi jumlah anaknya dengan melakukan analisis untung rugi. Penelitian menarik di negara-negara maju misalnya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan semakin besar pendapatan suatu pasangan suami istri, jumlah anak dalam keluarga juga menurun. Salah satu penjelasannya adalah karena biaya kesempatan (opportunity cost) dari orang tua juga naik drastis, yaitu waktu mereka untuk melakukan aktivitas lainnya menjadi lebih berharga. Apakah hal ini salah? Menurut saya tidak. Ini cuma masalah prioritas bukan masalah moralitas. Yang memutuskan untuk punya anak tidak lebih baik dari yang tidak menginginkan anak dan demikian sebaliknya.      

    Bagaimana dengan profesi lainnya? Dengan anatomi tubuh wanita yang umumnya lebih lemah dari pria, tentunya ada beberapa pekerjaan yang seakan-akan tidak cocok untuk wanita secara umum. Tapi itu juga tidak berarti bahwa kemudian wanita perlu dilarang atau dipersulit untuk melakukan profesi tertentu. Kembali ke pertanyaan awal, mengapa hal tersebut mesti pusing-pusing diatur oleh negara? Apa justifikasinya?

    Saya sudah berkali-kali menyampaikan bahwa di era modern, seluruh kebijakan publik wajib tunduk pada analisis untung rugi dengan memperhatikan data dan penelitian empiris. Kebijakan publik juga wajib tunduk pada mekanisme checks & balances karena kita tahu bahwa manusia bukan malaikat dan rentan melakukan kesalahan. Sudah bukan jamannya lagi berargumen hanya mengandalkan doktrin tertentu. Prinsip agama yang paling penting adalah maksimalisasi kesejahteraan masyarakat. Dan hal itu hanya bisa dilakukan kalau kita berhitung dengan hati-hati, bukan berkhayal.

    Permasalahannya ada di kerangka berpikir secara absolut. Ya atau tidak sama sekali. Salah atau benar sama sekali. Tidak ada jalan tengah. Kalau wanita harus jadi ibu berdasarkan doktrin agama, maka hal itu mutlak pasti benar sekarang dan selama-lamanya. Padahal sebagaimana saya bahas di atas, kenyataannya berkata lain, menjadi ibu bisa jadi efisien, bisa jadi tidak. Melakukan pemaksaan secara masif terhadap anggota masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan cenderung tidak efisien karena kemungkinan kesalahannya sangat besar dan tidak memedulikan unsur preferensi manusia.

    Mulailah berpikir secara marjinal. Sebagaimana saya pernah bahas di artikel ini, yang merupakan pengantar ringkas dari disertasi saya, hukum Islam tidak berpikir dalam kerangka absolut. Kalau iya, perbudakan seharusnya sudah haram mutlak sejak 1.500 tahun yang lalu dan tidak menunggu secara bertahap sampai awal abad ke-20. ISIS saja sekarang melakukan perbudakan terhadap kaum Yazidi. Karena mereka salah memahami kitab suci? Mungkin, tetapi secara doktrin agama, perbudakan memang tidak pernah dikategorikan haram mutlak. Dalam situasi perang misalnya, Wahbah Az-Zuhaili, ulama kontemporer yang sangat terkenal, juga memperbolehkan perbudakan atas tawanan perang (cek Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 8, bab Jihad, terbitan Gema Insani Press). Ini baru satu contoh dimana doktrin saja tidak cukup untuk menganalisis suatu masalah. Sisanya bisa dibaca dalam artikel saya tersebut.

    Saya berharap bahwa kita bisa mengurangi kecenderungan berpikir secara absolut ini sedikit demi sedikit. Saya sepenuhnya paham bahwa kalau perbudakan saja butuh ribuan tahun untuk dianggap buruk, berharap semua orang tidak lagi berpikir absolut dalam sekejab tentunya cuma angan-angan belaka. Tapi ini harus dimulai dari sekarang. Erdogan tidak akan mengeluarkan ide yang tidak masuk akal kalau tidak ada pendukung ide serupa di antara para pemilihnya dan oleh karena itu, konsep yang salah ini harus kita lawan terus.


  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.