• Upah Minimum Bukan Solusi!


    Upah minimum pekerja merupakan isu standar tahunan yang tak pernah usai. Pendukung upah minimum selalu berargumen bahwa upah minimum dibutuhkan agar kaum pekerja yang lemah tidak dieksploitasi oleh pengusaha yang rakus dan agar hidup pekerja bisa menjadi lebih mapan. Komponennya juga semakin lengkap dari tahun ke tahun seperti misalnya disebutkan dalam artikel ini yang membahas upah layak (sekaligus menyatakan bahwa upah layak merupakan bagian dari hak asasi manusia). Pertanyaan utamanya, apakah memang benar isu upah minimum ini bisa membantu nasib para pekerja, khususnya pekerja yang berada di lapisan terbawah?  

    Permasalahan terbesar dari pendekatan hak adalah karena pendekatan seperti ini lebih suka bermain dengan konsep "pokoknya". Pokoknya harus begini, pokoknya harus begitu, dan seterusnya. Sayangnya dunia tidak bisa dijalankan dengan konsep "pokoknya". Selama masih ada kelangkaan sumber daya, selama itu juga kita harus membuat pilihan dalam menyusun kebijakan. Melalui tulisan ini, saya ingin menunjukkan bahwa apabila kita benar-benar peduli dengan nasib pekerja, maka memfokuskan perhatian kita kepada upah minimum/upah layak adalah langkah yang salah.

    Untuk itu, saya perlu membahas terlebih dahulu beberapa konsep ekonomi dasar yang perlu diperhatikan oleh pembaca. Setelah memahami konsep dasar tersebut, anda akan lebih mudah memahami mengapa upah minimum sebenarnya tidak membantu. Dari sudut pandang teori ekonomi neoklasikal, secara alamiah, nilai upah pekerja pada prinsipnya ditentukan oleh produktivitas dari pekerja tersebut, yaitu seberapa banyak kontribusi dari pekerja yang bersangkutan terhadap jumlah produk akhir yang dihasilkan suatu perusahaan. Dalam pasar yang kompetitif, semakin tinggi kontribusinya kepada perusahaan, semakin besar insentif perusahaan untuk memberikan kompensasi yang lebih besar (baik upah maupun fasilitas lainnya). 

    Mengapa fokus pada produktivitas? Pengusaha yang rasional akan berusaha memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir biaya produksi. Produktivitas akan mempengaruhi permintaan pengusaha terhadap pekerja sebagai salah satu faktor produksi, dimana permintaan tersebut selanjutnya bergantung secara signifikan kepada permintaan terhadap produk akhir. Semakin banyak permintaan dari konsumen akhir, maka pengusaha juga akan memiliki semakin banyak insentif untuk meningkatkan produktivitasnya guna memproduksi lebih banyak produk.

    Peningkatan produktivitas tersebut dapat berkorelasi positif dengan permintaan terhadap pekerja. Di sini produktivitas pekerja berperan karena pekerja bukan satu-satunya faktor produksi. Pekerja berkompetisi dengan faktor produksi lainnya seperti modal dan teknologi dalam menghasilkan produk. Ingat bahwa perusahaan juga ingin meminimalisir biaya, yang artinya perusahaan ingin selalu memilih menggunakan faktor produksi yang paling efisien. Apabila satu faktor produksi tidak efisien karena kurang produktif atau terlalu mahal, perusahaan dapat memilih untuk mengganti faktor produksi tersebut dengan faktor lainnya (atau disebut juga sebagai efek substitusi dalam produksi). Efek lainnya yang juga penting untuk diperhatikan adalah efek skala (scale effect), yaitu bahwa jumlah pekerja dan faktor produksi lainnya dapat bertambah apabila perusahaan ingin melakukan ekspansi usaha.

    Sampai di sini mungkin akan ada yang bertanya, mengapa upah pekerja di lapisan terbawah sangat kecil? Jangan cepat-cepat menjawab bahwa ini semua disebabkan kerakusan pengusaha kapitalis. Ada berbagai faktor yang bisa berpengaruh: (i) produktivitas si pekerja memang rendah, (ii) industri bersifat monopoli atau terkonsentrasi, atau (iii) suplai pekerja di level tersebut terlalu banyak sedemikian rupa sehingga pekerja tersebut termasuk dalam golongan pekerja yang mudah untuk digantikan (fungible).

    Isu pertama cukup jelas, kalau produktivitasnya rendah, sulit untuk meminta upah yang lebih tinggi. Isu kedua berkorelasi dengan pengusaha yang rakus, dan memang wajar untuk dipermasalahkan karena monopoli umumnya bukan saja buruk bagi pekerja, tetapi juga bagi konsumen (umumnya bukan selalu, karena bisa jadi ada beberapa kegiatan yang lebih baik dilakukan secara monopoli, misalnya terkait pengelolaan infrastruktur publik tertentu). Isu ketiga adalah isu yang paling krusial karena memiliki dampak paling kuat.  

    Dalam kondisi dimana jumlah pekerja sesuai dengan yang dibutuhkan pengusaha dan jumlah pengusaha banyak dan saling bersaing, produktivitas pekerja akan berkorelasi positif dengan upahnya. Apabila seorang pekerja menganggap perusahaannya saat ini tidak memberikan upah yang cukup baik sesuai denga kontribusi si pekerja dan si pekerja mengetahui bahwa produktivitasnya bisa dihargai dengan lebih baik di tempat lain, ia akan pindah ke tempat lain tersebut. Semakin langka tipe si pekerja, semakin tinggi nilainya. Ini berarti kecuali si perusahaan memiliki kekuasaan monopoli atau bisa berkolusi dengan perusahaan-perusahaan lainnya untuk menetapkan upah, maka minim insentif perusahaan tersebut untuk memberikan imbalan yang tidak sesuai dengan kontribusi si pekerja.

    Sebaliknya, dalam kondisi dimana jumlah pekerja melebihi jumlah yang dibutuhkan oleh pengusaha, akan terjadi kelebihan penawaran yang akan berujung pada penurunan harga (atau dalam konteks pekerja, upah). Kalau masih ada pekerja yang mau bekerja dengan upah Rp100 dan produktivitasnya sama dengan pekerja lainnya, untuk apa mempekerjakan pekerja lainnya yang meminta upah Rp101?

    Kemudian muncul konsep upah minimum. Upah minimum atau upah layak berfokus pada kebutuhan pekerja. Menentukan apa saja komponen kebutuhan hidup pekerja tidak sulit, yang sulit adalah memperkirakan apa saja efek dari upah minimum tersebut kepada pihak selain pekerja. Ketika upah alamiah dalam suatu industri sudah lebih tinggi dari upah minimum, mengatur upah minimum adalah sia-sia belaka, tetapi ketika upah minimum lebih tinggi dari upah alamiah, efeknya bisa bermacam-macam.    

    Pembayaran upah tidak berasal dari langit. Seseorang harus membayar upah tersebut. Dalam pasar monopoli dimana harga dikontrol oleh pengusaha atau pasar dengan persaingan tidak sempurna dimana masih ada celah bagi pengusaha untuk menaikkan harga produknya, pengusaha dapat dengan mudah meneruskan biaya kenaikan upah tersebut kepada konsumen. Dengan kata lain, konsumen yang akan menanggung efek dari besaran upah yang berada di atas upah minimum.

    Besaran kenaikan harga bisa beragam. Apabila tingkat kenaikan harga tersebut ternyata dibawah kenaikan besaran kenaikan upah minimum, pekerja masih bisa menikmatinya (tetapi konsumen kena imbasnya). Apabila kenaikannya setara, maka upah minimum menjadi sia-sia karena secara riil, tidak ada kenaikan upah. Apabila kenaikannya lebih tinggi (tingkat inflasi di atas tingkat kenaikan upah), pekerja dan seluruh konsumen merugi. Pertanyaannya, siapa yang bisa menentukan besaran yang tepat?

    Artikel ini misalnya berargumen bahwa pemerintah perlu mengatur harga untuk mencegah kemungkinan inflasi tersebut muncul. Tetapi ini kan hanya berandai-andai saja dan juga tidak memperhatikan realitas di lapangan. Mengendalikan harga pun butuh dana. Siapa yang akan membayar dana untuk mengontrol harga tersebut? Mungkin ada ide, bagaimana kalau pemerintah memaksakan harga tertentu di bawah harga yang seharusnya berlaku berdasarkan mekanisme pasar? Bisa saja, tetapi kemudian pemerintah juga harus mengeluarkan biaya untuk memastikan bahwa semua orang akan tunduk pada harga tersebut. Orang juga akan punya insentif untuk menyelundupkan barang tersebut ke wilayah di luar Indonesia demi mendapatkan keuntungan berlipat. Suplai kemudian menjadi lebih langka. Akhirnya masalahnya hanya berputar-putar saja.

    Bagaimana kalau misalnya pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna atau ketat dan harga produk akhir tidak bisa dipengaruhi oleh pengusaha? Dalam kondisi ini, pengusaha tetap punya insentif untuk berhemat karena upah minimum yang akan ia bayar sudah berada di atas harga yang sebenarnya bisa ia dapatkan seandainya upah ditentukan secara alamiah. Ada banyak alternatif yang bisa ia lakukan. Misalnya si pengusaha dapat mengganti pekerja dengan faktor produksi lainnya yang lebih produktif, atau memindahkan lokasi usahanya ke wilayah lainnya dimana upah pekerja lebih murah (sepanjang biaya pemindahan lebih murah dibandingkan dengan biaya untuk tetap mengoperasikan bisnis di tempat yang sama dan tingkat produktivitasnya sama).

    Dengan kata lain, dalam pasar dengan persaingan ketat, kebijakan upah minimum pada akhirnya bersifat distributif. Upah minimum bisa jadi menguntungkan mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan, tetapi merugikan mereka yang belum mendapatkan pekerjaan. Penelitian empiris ini misalnya menunjukkan bahwa ketentuan upah minimum dapat menyulitkan calon pekerja dengan kemampuan rendah dalam mencari pekerjaan. Isunya kemudian, mengapa kita perlu mendahulukan mereka yang sudah bekerja dibandingkan dengan yang belum bekerja? Bukannya mereka juga sama-sama penting? Lalu bagaimana kalau kemudian perusahaan memutuskan untuk mengganti pekerja dengan faktor produksi lain yang lebih efisien? Bukankah nasib pekerja masa depan semakin suram?

    Tentu ada juga penelitian lain yang menunjukkan bahwa menaikkan upah minimum tidak selalu menurunkan lapangan pekerjaan, misalnya makalah ini. Tetapi ingat kembali scale effect yang saya sampaikan di atas. Bisa jadi perusahaan masih butuh berekspansi dan permintaan dari konsumen juga meningkat. Dengan demikian permintaan terhadap pekerja masih tetap bisa bertambah. Hanya saja, dalam kasus seperti ini apakah kemudian upah minimum tetap dibutuhkan karena pada akhirnya upah memang akan meningkat secara alamiah?

    Permasalahan yang sering dilupakan adalah bahwa upah minimum sudah lama menjadi komoditas politik. Dan ada biayanya untuk meributkan upah minimum. Berapa dana yang dihabiskan tiap tahun oleh perusahaan, aktivis, dan serikat buruh untuk melobi politikus dan pemerintah terkait besaran upah minimum? Jelas lobi-lobi itu tidak gratis. Jelas ada produktivitas yang terbuang setiap kali demonstrasi dilaksanakan baik dari pekerja maupun dari pihak lainnya yang terganggu dengan demonstrasi. Jangan sampai kemudian semua ini hanya menjadi buang-buang sumber daya yang tidak perlu dengan memperhatikan analisis yang saya sampaikan di atas.

    Yang lebih penting lagi, upah minimum atau bahkan upah layak bukanlah solusi yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja karena sedari awal, sifatnya hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Bisa saja komponen upah minimum ditambahkan untuk memuat semua kebutuhan yang ada di muka bumi ini, tetapi semakin mahal dan semakin berbeda jauh besarannya dari upah alamiah, semakin besar pula dampaknya kepada masyarakat. Tidak ada yang gratis sebagaimana saya sampaikan di atas. Dengan demikian, upah minimum akan senantiasa cenderung berada di level "minimum". Yang tidak pernah dipertanyakan oleh orang-orang selama ini adalah, apakah upah alamiah akan berbeda sedemikian jauhnya dengan upah minimum dan apakah besarannya setimpal dengan biaya yang dikeluarkan untuk mencapai besaran upah minimum tiap tahunnya?

    Dengan sifatnya yang "minimum" tersebut, upah minimum tidak akan banyak membantu masyarakat yang berada di lapisan terbawah karena mereka memiliki prioritas yang berbeda dengan masyarakat yang memiliki penghasilan lebih tinggi. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa salah satu cara terbaik untuk meninggalkan kemiskinan adalah melalui investasi pendidikan, yaitu membangun modal insani (human capital). Lalu mengapa tidak semua orang pergi bersekolah saja kalau begitu?

    Walaupun pendidikan memberikan manfaat yang sangat besar, manfaatnya muncul di masa depan. Bagi kalangan terbawah, sulit untuk diminta fokus pada periode yang masih jauh di masa depan apabila mereka masih belum tahu apakah mereka memiliki cukup uang untuk bertahan sampai minggu depan. Pilih mana, konsumsi masa kini atau di masa depan? Rasionalitas dan kelangkaan memaksa mereka untuk lebih fokus pada situasi saat ini, dan hal tersebut bisa jadi memberikan mereka insentif yang minim untuk berinvestasi di bidang pendidikan.

    Ini mengapa komponen-komponen dalam upah layak pun sebenarnya tidak bisa diimplementasikan secara menyeluruh. Bisa saja kita memasukkan komponen biaya pendidikan di situ, tetapi selama penggunaan dana diserahkan sepenuhnya kepada pekerja, tidak ada jaminan bahwa dana tersebut akan digunakan untuk investasi pendidikan karena si pekerja justru mengalokasikan dana tersebut untuk kebutuhan lainnya yang dianggap lebih penting. Akhirnya dananya habis untuk kebutuhan sehari-hari dan tidak ada jalan untuk membawa dirinya, atau setidaknya keturunannya kepada kondisi yang lebih baik.        

    Upah minimum pada akhirnya hanyalah sekedar penyangga untuk lapisan terbawah dibandingkan dengan solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Apa bedanya dengan konsep bantuan uang tunai kepada rakyat miskin yang suka dipermasalahkan oleh berbagai pihak? Berapa lama lagi kita akan menjalankan debat tahunan tentang upah minimum yang tak kunjung usai dan kemungkinan akan terus berlangsung karena masalahnya tak pernah diselesaikan? Berapa lama lagi kita akan terlena dari isu yang sebenarnya lebih patut diprioritaskan seperti investasi pendidikan?

    Yang juga mengkhawatirkan adalah apabila upah minimum memang berada di atas level upah alamiah dan angkanya dipertahankan di besaran hidup sehari-hari, insentif pekerja di lapisan terbawah untuk berinvestasi di pendidikan juga menurun dengan asumsi: untuk apa bersusah payah belajar kalau bisa mendapatkan upah di atas level produktivitas? Saya berharap efek ini sangat minimum atau tidak ada sama sekali.    

    Sebagai penutup, saya ingin sedikit bercerita tentang pengalaman saya dan sahabat saya. Walaupun sebelumnya berasal dari keluarga yang kaya, kekayaan keluarga saya tersapu bersih di krisis ekonomi 1998. Satu demi satu aset, mobil, dan rumah ludes dijual. Dari sebelumnya saya diantar jemput dengan mobil yang bisa diganti 2-3 tahun sekali sesuai model terbaru, saya harus membiasakan diri naik angkutan umum tiap hari pulang pergi Meruya-Depok dan pernah merasakan hidup sehari dengan modal Rp10.000 untuk transportasi dan makan. Saya pernah demikian kurusnya dan tulang-tulang dada saya terlihat begitu jelas sehingga sahabat saya memanggil papan gilesan karena uang saya habis untuk beli buku dan hanya cukup untuk makan 1/4 porsi nasi di warung langganan. Ketika pertama kali bekerja, saya juga pernah merasakan kehilangan rumah dan selama setahun harus tidur berdua dengan adik saya di kubikel berukuran 2x2 dengan kasur yang demikian tipisnya, hampir tidak ada bedanya dengan langsung tidur di lantai.

    Sementara itu, sahabat terdekat saya di kampus mungkin adalah salah satu anak dari keluarga paling miskin di UI. Anak tertua dari 7 orang saudara. Ayahnya hanya seorang petugas pom bensin. Mereka tinggal di kampung kecil yang bahkan dulu tidak muncul di peta Jakarta. Bersama dia, saya pernah diusir dari suatu hotel karena dianggap terlalu gembel, berjalan kaki bersama dari Depok ke Pancoran karena ketinggalan bus malam dan tidak punya cukup uang untuk ongkos taksi, dan duduk di lantai bis Mayasari Bakti, menangis karena stress dengan minimnya uang di saku.

    Sekarang saya bersyukur bahwa kami berdua sudah terbilang sukses di usia relatif muda. Saya bisa menyebut diri saya sebagai pengacara kapitalis, bekerja di firma hukum terbaik, memiliki rumah dengan perpustakaan pribadi yang memuat ribuan koleksi buku saya. Sementara sahabat saya sudah jadi wiraswasta sukses yang kerjanya menyelenggarakan pelatihan hukum di hotel-hotel dan klub mewah. Tidak ada lagi orang yang berani mengusir kami dari hotel berbintang.

    Saya menceritakan ini bukan karena ingin pamer, tetapi saya ingin menunjukkan bahwa saya dan sahabat saya adalah bukti nyata bahwa investasi pendidikan sangat amat bernilai (Orang tua Milton Friedman pun adalah imigran miskin dengan penghasilan yang sangat kecil, lihat bagaimana suksesnya anaknya). Ini bukan cuma teori omong kosong dari akademisi di menara gading. Data empiris dari imbal investasi pendidikan bertebaran dimana-mana (silakan google "education rate of return"). Tentu kesuksesan kita juga bergantung pada kerja keras, kemampuan pribadi, dan keberuntungan. Tetapi tanpa modal insani yang berasal dari pendidikan kami yang murah, saya mungkin hanya akan jadi karyawan dengan gaji seadanya dan sahabat saya mungkin meneruskan profesi ayahnya di pom bensin dekat rumahnya.  

    Saya tidak perlu diajari untuk berempati pada perasaan orang miskin. Saya tahu rasanya miskin dan tidak punya uang: neraka dunia. Tidak ada enak-enaknya hidup dalam kondisi seperti itu, apalagi ketika sebelumnya saya hidup serba berkecukupan, perasaannya lebih tersiksa lagi. Dan oleh karenanya penting bagi saya untuk menyampaikan bahwa prioritas kita selama ini salah dan bahwa kita sebenarnya tidak benar-benar berminat untuk menolong orang keluar dari jeratan kemiskinan. Analisis kebijakan yang tepat tidak bisa dilandaskan pada pendekatan "pokoknya". Anda harus paham apa tujuan anda, dan anda harus tahu cara apa yang paling efisien untuk mendapatkannya karena tidak ada hasil tanpa pengorbanan. Tentu saja, itu kalau anda benar-benar peduli dan bukan cuma ingin terus memperpanjang isu upah minimum sebagai komoditas politik yang nikmat untuk dibicarakan di kedai kopi terdekat.

    Mengingat pentingnya nilai pendidikan, di artikel selanjutnya, saya akan menulis lebih jauh mengenai alokasi dana pendidikan yang tepat serta insentif yang diperlukan demi menciptakan lembaga pendidikan yang lebih baik. Tunggu tanggal mainnya.    

  • 0 comments:


    The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.