THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Macet, Macet, Macet: Kebijakan Apa yang Diperlukan?


    Macet sungguh menyiksa hidup. Saya cukup yakin mayoritas penduduk Jakarta menyetujui hal tersebut. Sudah tidak terhitung berapa banyak kajian yang menunjukkan bagaimana kemacetan bukan saja merugikan secara finansial, tetapi juga secara fisik dan mental. Di Indiana, teman saya yang bekerja 40 km dari rumahnya masih dianggap dekat karena dia bisa mencapai kantornya dalam setengah jam lebih sedikit. Sementara saya yang tinggal hanya 8-9 km dari kantor saya di bilangan Sudirman bisa menempuh perjalanan sampai 1 atau 1,5 jam gara-gara kemacetan yang tak kunjung habisnya!
  • Politik dan Pencitraan yang Optimum


    Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah tulisan singkat di Facebook yang mengkritik kicauan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Twitter soal pencitraan dalam berpolitik. Saya tak setuju kalau kicauan SBY merupakan bentuk kesinisan dalam berpolitik sebagaimana diargumentasikan si penulis di atas. Politik pada prinsipnya tak akan pernah lepas dari pencitraan, sama seperti penjualan suatu produk juga tak akan pernah lepas dari iklan, baik iklan melalui media massa maupun mulut ke mulut.

    Untuk dapat memahami isu pencitraan, kita harus memahami terlebih dahulu bahwa kemampuan untuk memimpin dengan kemampuan untuk dipilih menjadi pemimpin (khususnya melalui proses politik) adalah 2 hal yang berbeda. Bagus sekali apabila pemimpin kita memiliki keduanya, tetapi dalam prakteknya, hal tersebut tidak selalu bisa didapatkan. Berpikir bahwa tidak ada politisi yang melakukan pencitraan tentunya sangat naif. Bahkan kalau sekalipun si politisi benar-benar berkomitmen untuk memajukan masyarakat, dia tetap butuh pencitraan. Tanpa pencitraan, bagaimana orang bisa tahu tentang komitmen si politisi?

    Hal ini merupakan dampak dari demokrasi. Ketika tampuk kepemimpinan diserahkan pada mekanisme voting secara populer, apalagi melibatkan orang dalam jumlah yang sangat banyak, kemampuan untuk mencari dukungan politik jauh lebih diperlukan dari kemampuan aktual untuk memimpin, kecuali mayoritas pemilih benar-benar peduli tentang kemampuan memimpin tersebut (yang akan bergantung pada beragam faktor, seperti tingkat pendidikan dan pendapatan pemilih serta kemungkinan bias dari pemilih terhadap jenis politisi tertentu)

    Tidak ada pemimpin karbitan. Politikus pada umumnya sudah membangun modal politiknya sejak lama. Dan ini tidak mengherankan. Bayangkan kalau anda ingin menjadi Presiden di Indonesia dimana pemilihnya lebih dari 130 juta manusia. Anda pikir terkenal sehari, sebulan atau bahkan setahun saja sudah cukup untuk bisa memenangkan kompetisi tersebut? Presiden Jokowi sudah membangun modal politiknya mulai dari Solo bertahun-tahun yang lalu. Prabowo bahkan sudah mempersiapkan dirinya dari masa muda, dan itu pun masih gagal.

    Jujur saja, ketika saya dulu memilih Jokowi sebagai Presiden, pencitraan dirinya memegang peranan penting bagi saya. Saya suka dengan pencitraan Jokowi sebagai pemimpin yang mencari konsensus dan jalan alternatif dalam menyusun kebijakan. Sebaliknya, saya tidak suka dengan pencitraan ala Prabowo yang mencitrakan dirinya sebagai pemimpin tegas yang bisa menyelesaikan semua masalah di Indonesia hanya dengan menjadi tegas. Dan saya membahas isu tersebut panjang lebar di artikel ini. Tetapi walaupun saya menganggap pencitraan Prabowo sebagai hal yang buruk, faktanya 60 juta lebih rakyat Indonesia memilih dia sebagai calon Presiden. Sedikit banyak, pencitraan Prabowo cukup efektif dan diminati oleh masyarakat, hanya saja pencitraan Jokowi masih lebih diminati oleh mayoritas masyarakat.  

    Selain sebagai sarana untuk membuat diri politisi dikenal dalam proses menjadi pemimpin (termasuk ketika hendak naik tingkatan), pencitraan juga tetap diperlukan setelah si politisi berhasil menjadi pemimpin. Perlu diingat bahwa memimpin suatu negara merupakan salah satu pekerjaan yang paling menantang di dunia. Menjalankan seluruh program yang pernah dijanjikan oleh politisi dalam 1 periode kemimpinan merupakan hal yang hampir mustahil, kalau bukan mustahil sama sekali. Faktor yang perlu dipuaskan banyak (kesejahteraan masyarakat yang mengandung banyak unsur, baik finansial, fisik maupun mental) dan kadar kesuksesannya bergantung pada banyak faktor yang berada di luar kontrol dirinya.

    Dalam kondisi di atas, pencitraan memegang peranan penting sebagai penyeimbang dalam menjaga tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya ketika suatu program yang sudah dijanjikan ternyata gagal untuk dilaksanakan, khususnya pencitraan sebagai pemimpin yang baik, yang sudah menerapkan prinsip tata kelola yang baik, yang peduli pada masyarakat, dan sebagainya. Tentu saja ketika kegagalannya semakin bertambah, efektivitas pencitraan juga akan semakin berkurang. Masyarakat tidak bisa makan citra semata apalagi ketika kebutuhan atau kepentingan dirinya terganggu.  

    Sampai di sini, kita paham bahwa pencitraan adalah bagian inheren dari politik. Isu utamanya adalah: bagaimana menemukan level pencitraan yang optimum? Ada banyak strategi yang bisa digunakan oleh politisi. Ada yang ingin menyenangkan semua lapisan masyarakat, ada yang ingin menyenangkan sebagian besar pemilihnya, ada juga yang ingin menggaet dukungan dari massa yang dulu tak mau memilihnya. Ada taktik pencitraan yang menonjolkan ketakberdayaan pemimpin mengambil keputusan, ada juga yang akan menonjolkan bahwa kegagalan program terjadi karena hal yang berada di luar kontrol pemimpin. Politisi ulung dan berpengalaman seharusnya tahu level pencitraan yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, tetapi politisi juga manusia, dan dia bisa melakukan kesalahan. Oleh karenanya, kritik senantiasa diperlukan.

    Kritik SBY menurut saya masuk akal, bahkan walaupun dia sendiri sebenarnya juga berlebihan dalam melakukan pencitraan semasa dia menjadi Presiden. Justru kesalahan-kesalahan taktik pencitraan SBY dapat menjadi bahan pelajaran yang berharga bagi Presiden Jokowi. Pencitraan yang berlebihan justru akan kontraproduktif, khususnya apabila nantinya tidak dibarengi dengan kinerja yang memuaskan. Ibarat kata, perusahaan dengan iklan terbaik di dunia pun tetap saja akan merugi
    karena pembelinya berkurang kalau produk akhirnya ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan.

    Ambil contoh kebijakan makan cemilan tradisional sebagaimana dibahas di sini. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara kita berargumen bahwa kebijakan ini akan merangsang petani lokal untuk memproduksi lebih banyak hasil cocok tanam lokal. Tidak lupa ditambahkan iming-iming bahwa makanan ini lebih sehat dan lebih nasionalis. Tipe kebijakan seperti ini jelas masuk dalam level pencitraan belaka.

    Pertama, kecil sekali kemungkinannya perubahan dalam konsumsi makanan kecil pegawai negeri akan mempengaruhi permintaan terhadap produk lokal petani. Kedua, saya tidak yakin kebijakan ini akan berlaku efektif karena penegakannya tidak mudah. Siapa yang akan menghabiskan waktunya untuk memeriksa semua makanan kecil yang disediakan di rapat-rapat pemerintah? Mungkin kalau petingginya sedang hadir, kalau tidak? Ketiga, isu usang nasionalisme. Nasionalisme selalu terkait erat dengan pencitraan karena memang enak untuk didengar, terlepas apakah ada manfaat riil atau tidak bagi masyarakat.

    Kalau pemerintah serius bermaksud untuk memberikan insentif kepada petani untuk bercocok tanam, mereka tidak akan menggunakan kebijakan cemilan lokal yang sebenarnya mempermainkan para petani mengingat manfaat yang petani terima kecil atau mungkin tidak ada karena tidak berpengaruh signifikan pada harga produk pertanian lokal. Pencitraan ini hanya mungkin menguntungkan aparat pemerintah karena mereka bisa mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang cinta produk lokal (dengan asumsi sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai pencitraan tersebut).

    Kebijakan lainnya yang menurut saya patut dipertanyakan adalah kebijakan Presiden menggunakan pesawat kelas ekonomi yang dijalankan tanpa memikirkan isu keamanan, misalnya dalam berita ini dan ini. Bayangkan jadwal keberangkatan sampai tempat duduk Presiden diberitahukan kepada khalayak ramai? Ini jelas pelanggaran terhadap protokoler keamanan terhadap orang nomor satu di negeri kita. Mencitrakan diri sebagai Presiden hemat adalah sah-sah saja, tetapi informasi yang disampaikan juga seharusnya dibatasi.   

    Menggunakan pesawat kepresidenan mungkin akan memakan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan pesawat kelas ekonomi, tetapi komponen biaya dalam analisis untung rugi kita kali ini tidak terbatas pada biaya pesawat, biaya keamanan Presiden kita jauh lebih penting! Hal itu yang seharusnya dipertimbangkan sebelum kebijakan ini diambil. Kalau keselamatan Presiden terancam, ujung-ujungnya kebijakan ini akan menjadi pencitraan dengan biaya yang sangat mahal.

    Terakhir, kebijakan yang juga sempat saya kritisi adalah usulan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai pengurangan jam tenaga kerja karyawan wanita (Silakan cek artikel ini). Saya cukup yakin bahwa ide yang sebenarnya berpotensi merugikan karyawan wanita ini lagi-lagi merupakan bagian dari pencitraan publik dengan memperhatikan kebudayaan mayoritas masyarakat di Indonesia yang masih menganggap bahwa ada peranan mutlak dan khusus bagi wanita. 

    Kembali ke kritik SBY, Presiden Jokowi sebenarnya belum perlu melakukan pencitraan yang masif dan beraneka ragam, untuk apa? Pemerintahannya belum sampai 3 bulan dan sejauh ini belum ada indikasi penurunan tingkat kepercayaan dari masyarakat. Isu kenaikan harga bahan bakar minyak saja bahkan hanya memakan waktu keributan seminggu-dua minggu. Menurut saya itu luar biasa (walaupun penyebabnya tidak bisa saya prediksikan secara pasti), dan momentum kepercayaan ini bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif.

    Saat ini strategi pencitraan awal yang dipilih oleh Presiden adalah pencitraan kerja, kerja dan kerja. Kenapa tidak fokus di situ saja? Pendukung Jokowi sudah paham betul pencitraan Jokowi sebagai pemimpin yang merakyat dan hemat. Untuk apa meyakinkan pendukungnya lagi ketika situasi dukungan masih kuat? Yakinkan mereka yang sebelumnya tidak sudi memilih Jokowi, yang tak percaya Jokowi adalah pemimpin yang tegas, yang percaya bahwa Jokowi adalah pemimpin boneka dan sebagainya. Pekerjaan rumah Presiden masih banyak, jangan buang-buang waktu untuk melakukan pencitraan yang tidak perlu. Pilihlah pencitraan yang optimum!           
  • Absurdnya Ide Pengurangan Jam Kerja Karyawan Wanita


    Indonesia adalah negara yang tidak pernah kehabisan ide-ide lucu nan menggemaskan. Baru beberapa hari lalu saya membahas soal kesetaraan gender dan pilihan dalam hidup guna menanggapi ide Presiden Turki yang absurd terkait kesetaraan antara pria dan wanita, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumandangkan ide pengurangan jam kerja untuk karyawan wanita, alasannya karena wanita punya tugas untuk mendidik anak-anaknya.

    Saya sangat berharap ini hanya hasil ceplas ceplos belaka dan tidak akan dijadikan bahan penyusunan kebijakan publik yang serius karena menurut saya dampaknya berpotensi merugikan. Sebagaimana sudah saya bahas di artikel sebelumnya, berpikir bahwa wanita dan pria sudah memiliki pembagian tugas yang kaku karena alasan biologis dan doktrin merupakan cara berpikir yang melantur.

    Apabila kita melihat konsep klasik keluarga yang katanya merupakan persatuan dari suami dan istri, mengapa tugas mengurus anak dan rumah tangga dikhususkan untuk ibu? Pendukung perkawinan yang sah dan lengkap selalu ribut soal pentingnya keluarga yang utuh sebagai modal pertumbuhan anak, bahwa peranan ayah dan ibu itu penting, bahwa keluarga dengan orang tua tunggal itu bermasalah, bahwa anak luar kawin bermasalah, dan bahwa perceraian akan berakibat buruk. Aneh apabila kemudian kita sibuk mendukung keutuhan keluarga tapi masih percaya bahwa pembagian tugas antara ayah dan ibu adalah mutlak, yaitu bahwa ibu mengurus rumah tangga dan ayah mencari nafkah.

    Karena kalau pembagiannya semudah itu, untuk apa ada institusi perkawinan? Wanita cukup mencari pasangan yang mau membuahi dirinya. Kemudian si pria sekali-kali bisa datang ke rumah untuk mendapatkan kepuasan seksual sepanjang tak lupa mengirim uang bulanan untuk menghidupi keluarganya. Si pria tak perlu lagi pusing mengurus anak. Mengapa tidak? Toh tugas ayah dalam pandangan yang hampa ini nampaknya tak lebih hanya untuk membuahi sang ibu dan membayar uang rutin bulanan. Dalam hal ini kita berasumsi semua wanita ingin punya anak dan malas bekerja rutin di luar pekerjaan rumah tangga, sementara semua pria malas mengurus anak dan bersedia membayar untuk terlepas dari kewajiban tersebut dengan kompensasi seks.

    Kebanyakan orang akan marah apabila disodori pengaturan keluarga seperti di atas. Tetapi kalau anda tidak sepakat dengan konsep tersebut, seharusnya anda juga tidak sepakat bahwa fungsi pengurusan anak hanya ada di ibu atau difokuskan pada ibu semata. Menekankan bahwa hanya ibu yang punya kewajiban mengurus anak dan rumah tangga sama saja menyatakan bahwa peranan ayah dalam pertumbuhan anak tidaklah penting. Yang menyedihkan, bahkan pembuat undang-undang di Indonesia pun masih memakai konsep bawaan yang kacau balau ini dalam menyusun UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan"). Lihat saja misalnya Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan.

    Ini mengapa pembagian tugas keluarga seharusnya tidak perlu pusing diatur oleh negara. Kalaupun negara mau memastikan bahwa anak akan diurus dengan baik oleh orang tuanya, maka tugas itu seharusnya dibagi rata kepada setiap orang tua. Tiap orang tua bertanggung jawab atas perkembangan anaknya, karena bagaimanapun juga, pendidikan dasar terhadap anak berpengaruh besar terhadap masa depan anak tersebut, apakah akan menjadi sukses atau menjadi sampah masyarakat. Dan pendidikan dasar dipegang oleh orang tua. Lihat artikel menarik dari Prof. James Heckman dari University of Chicago, pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 2000, mengenai maha pentingnya peranan edukasi awal terhadap anak di sini.

    Selain itu, pengurangan jam kerja ini juga tidak memperhatikan insentif ekonomi pengusaha dan karyawan. Ada beragam alternatif. Pertama, jam kerja karyawan wanita dikurangi, tetapi gaji diwajibkan sama. Dengan kata lain, Pemerintah memaksa ibu rumah tangga disubsidi. Hal ini berarti bahwa ongkos menggunakan jasa karyawan wanita meningkat. Kebijakan ini mungkin bagus untuk karyawan wanita yang sudah bekerja, namun jelas merugikan bagi kaum wanita yang belum bekerja (untuk apa perusahaan mempekerjakan karyawan yang kalah produktif dengan gaji sama). Belum lagi kalau nantinya berefek pada kemungkinan promosi bagi karyawan wanita yang sudah bekerja, yang mana akhirnya juga merugikan karyawan wanita yang sudah bekerja.

    Bagaimana kalau misalnya pengurangan jam kerja diwajibkan sambil mengurangi gaji? Ini merugikan karyawan wanita yang sudah bekerja, karena jelas tidak semua wanita mau mengambil pengurangan jam kerja tersebut. Pengurangan 2 jam kerja dari 8 jam kerja sama dengan penurunan 25% jam kerja. Asumsikan bahwa korelasinya konstan (pengurangan jam kerja 2 jam = penurunan gaji sebesar 25%). Apakah kita yakin bahwa semua karyawan wanita mau mengurangi jam kerja mereka dengan kehilangan 25% gaji mereka setiap bulannya? Mohon jangan seenaknya berasumsi bahwa semua ibu bersedia untuk melepaskan segalanya demi anak.

    Belum lagi kalau ternyata korelasinya tidak konstan, tetapi meningkat, yaitu penurunan produktivitas karena berkurangnya jam kerja selama 2 jam lebih besar dari 25% total produktivitas. Bukan saja gaji karyawan wanita bisa semakin dipangkas, insentif perusahaan untuk mempekerjakan wanita juga makin turun. Pertanyaannya, apakah iya semua ini bisa dikompensasikan dengan kualitas anak yang makin baik? Itu juga dengan asumsi bahwa bertambahnya jam ibu di rumah berkorelasi positif dengan perkembangan anak. Datanya bagaimana?

    Yang sering terlupa adalah ketika suami dan istri sama-sama bekerja, hal tersebut menandakan secara implisit bahwa mereka berdua memang membutuhkan penghasilan yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Contoh: kebutuhan pendapatan suatu keluarga adalah 100 dan kebutuhan tersebut dipenuhi dengan masing-masing suami istri menghasilkan 50. Apabila kemudian pendapatan istri berkurang menjadi 37,5 (turun 25%), kebutuhan pendapatan sebesar 100 tidak serta merta berkurang. Suami yang kemudian harus menambah jam kerjanya untuk menutupi kekurangan tersebut. Memang waktu kerja istri berkurang, tetapi kompensasinya, waktu kerja suami akan bertambah. Mengapa harus seperti itu? Apakah ayah tak punya hak bertemu anak-anaknya? Bagaimana kalau misalnya si ayah juga tidak dapat menambah penghasilannya? Konsumsi yang harus berkurang? Pasti akan ada trade-off

    Ide ini juga menunjukkan kemalasan berpikir yang akut. Isunya jauh lebih kompleks dari sekedar pembagian fungsi suami dan istri. Kita bicara mengenai pendidikan suami istri, seperti kapan seharusnya pasangan punya anak, apakah setelah mereka mapan? Atau bagaimana cara mendidik anak dengan efektif? Ironis sekali bahwa ketika kita mewajibkan banyak profesi yang tidak penting untuk memiliki ijin, kita justru tidak mengatur soal ijin untuk membentuk keluarga. Tentu banyak yang akan cepat berargumen: masa perkawinan saja perlu pakai ijin, ini kan hak asasi. Ya kalau begitu juga untuk apa diatur peranan suami istri harus seperti apa? Kalau mau serius memastikan orang tua akan mendidik generasi unggul, kita justru pertama-tama harus berinvestasi untuk menciptakan generasi orang tua yang unggul mulai dari sekarang! Pendidikan itu penting. Jangan terus menerus mengulang kesalahan generasi di masa lampau.

    Isu lainnya adalah kalau kita peduli dengan kebutuhan anak akan alokasi waktu yang lebih banyak dari orang tuanya, ya fokus juga di infrastruktur! Khususnya transportasi publik. Anda pikir berapa banyak waktu orang tua yang terbuang karena sehari-harinya menghadapi kemacetan. Berapa banyak inefisiensi yang muncul karena gagal mengatur lalu lintas? Saya akan membahas soal ini di artikel terpisah. Tetapi perlu saya tegaskan bahwa isu ini berhubungan erat dengan pembinaan keluarga. Tidak ada gunanya mengirim orang tua pulang lebih cepat kalau mereka hanya akan menghabiskan waktu di jalanan macet, menggerutu dan stress sepanjang jalan hanya untuk pulang ke rumah dengan kelelahan, tak siap lagi mengurus anak, dan besoknya kembali menjumpai neraka yang sama.

    Terakhir, setelah membahas semua hal di atas, perlukah Pemerintah mewajibkan perusahaan untuk memberikan hak pengurangan jam kerja hanya apabila diminta oleh karyawan wanita? Saya akan berhati-hati sebelum mengimplementasikan kebijakan yang lebih rileks ini. Pertama-tama, kompetisi antar perusahaan bisa memberikan efek yang sama. Kalau perusahaan membutuhkan kemampuan si karyawan wanita dan ingin mempertahankan karyawan tersebut, tanpa diwajibkan pun, perusahaan akan memberikan kemudahan pengurangan jam kerja. Kuncinya justru adalah bagaimana membuat karyawan wanita menjadi semakin bernilai sehingga para perusahaan akan berlomba-lomba menawarkan insentif serupa! Memaksa perusahaan mengaplikasikan kewajiban itu dapat berpotensi membuat perusahaan bias terhadap karyawan wanita, karena sewaktu-waktu mereka bisa diminta untuk memberikan pengurangan jam kerja kepada wanita terlepas apakah karyawan tersebut sebenarnya produktif atau tidak.

    Seperti yang bisa anda lihat, kita butuh kreativitas dalam menyusun kebijakan publik. Meningkatkan kualitas sumber daya perempuan butuh pendidikan, butuh perbaikan budaya, dan masih banyak lagi. Isunya juga kompleks, tetapi kalau mau serius, kita harus selesaikan masalah di level dasar, bukan dengan kebijakan tambal sulam, apalagi kebijakan ceplas ceplos yang terkesan hanya ingin menyenangkan kelompok tertentu saja.

  • Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup


    Pernyataan Presiden Turki, Tayipp Erdogan, di artikel BBC dan Kompas tentang tidak setaranya wanita dengan pria karena kodratnya menentukan demikian bisa menjadi contoh nyata bagaimana ide pembagian tugas yang mutlak antara wanita dan pria masih saja mendominasi pemikiran di kalangan masyarakat, minimal di Turki. Mengapa demikian?

    Erdogan sendiri mungkin tidak percaya dengan apa yang dia sampaikan dan bisa jadi juga kebijakan riil yang dia ambil di Turki tidak bersifat misoginis. Tetapi Erdogan adalah politisi dan politisi rasional selalu berusaha untuk mendapatkan suara dari mayoritas pemilihnya. Dan seperti layaknya kebanyakan pasar dalam kehidupan sehari-hari, seorang penjual (Erdogan) tentunya harus menjual barang/jasa yang diminati oleh mayoritas pembeli (pemilih) kalau ia ingin menjadi penjual yang sukses (dengan asumsi jumlah pemilih yang mendukung ide Erdogan lebih banyak daripada yang menentang).

    Apalagi kalau ide ini dibungkus dengan isu agama dan kodrat biologis. Seakan-akan tak mungkin salah. Salah satu rekan saya misalnya menafsirkan bahwa pernyataan Erdogan tidak bermaksud untuk merendahkan wanita, tetapi justru ingin menunjukkan betapa berharganya nilai ibu dan betapa pentingnya seorang ibu bagi anak-anaknya. Meyakinkan? Sama sekali tidak bagi saya.

    Isu terbesar dari pembagian tugas antara pria dan wanita ini adalah karena kita merasa bahwa diri kita atau pemerintah memiliki pengetahuan yang mendalam, sempurna dan menyeluruh atas fungsi dan peranan tiap individu dalam satu negara. Kita merasa paham sekali bahwa pria cocok untuk pekerjaan x, sementara wanita cocok untuk pekerjaan y. Dan berdasarkan pemahaman kita yang spektakuler ini, kita putuskan pria harus melakukan x dan wanita melakukan y. Masalahnya adalah: tahu dari mana bahwa seseorang lebih cocok untuk melakukan pekerjaan tertentu? Lebih penting lagi, kalau pun mereka lebih cocok untuk melakukan sesuatu, kenapa mereka harus melakukan hal tersebut?

    Sebagai penganut garis keras aliran efisiensi dan analisis untung rugi, ide bahwa setiap orang harus bekerja sesuai dengan bakatnya sehingga bisa memaksimalkan potensi diri masing-masing terkesan sangat menarik. Tapi saya tidak akan mau terburu-buru mengambil kesimpulan dan kemudian terjebak dalam sesat pikir.

    Ingat film Superman yang terbaru? Film itu menceritakan bahwa Planet Krypton sudah berhasil menemukan kode genetika setiap bayi dan mengetahui sedari awal, bahkan memprediksikan dengan akurat apa bakat dari bayi tersebut dan apa nantinya peran si bayi ketika dia menjadi dewasa. Ada bayi yang diplot menjadi ilmuwan (seperti misalnya Jor-El, ayah Superman), ada yang diplot menjadi tentara (seperti misalnya Jenderal Zodd). Dan tidak ada satu pun yang boleh melawan peran yang sudah digariskan itu.

    Hal pertama yang bisa kita lihat dari kisah di atas? Orang-orang Krypton nampaknya tidak bahagia (lihat saja tampang Zodd yang terkesan stress secara berkesinambungan tanpa henti sepanjang film). Dan mungkin itu bukan cuma sekedar aksi di film. Bayangkan sendiri apabila misalnya anda berminat menjadi seorang pengacara, tetapi kemudian setelah ditelaah oleh suatu mesin super canggih, anda dinyatakan tidak cocok jadi pengacara, anda lebih cocok jadi arsitek dan oleh karenanya anda wajib menjadi arsitek terlepas anda suka atau tidak dengan profesi itu. Bagaimana perasaan anda? Saya cukup yakin bahwa sebagian besar orang akan menolak pemaksaan profesi tersebut, apalagi kalau kita tidak punya suara sama sekali dalam kasus tersebut.

    Dan banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Misalnya, apakah mesin tersebut bisa menghitung dengan objektif seluruh preferensi kita atau hanya melihat satu unsur tertentu saja? Analisis untung rugi meliputi banyak aspek. Kekayaan finansial hanyalah salah satunya, rasa bahagia, kepuasan batin dan sebagainya, dapat menjadi bagian yang valid dari analisis untung rugi, dan banyak ahli yang berusaha untuk terus menyempurnakan analisis untung rugi agar dapat menangkap aspek-aspek tersebut.

    Kalau pun kita bersikeras mengkhususkan analisis untung rugi hanya atas hal-hal yang bisa dikuantifikasi, kita dapat menyimpulkan bahwa ketidakbahagian dalam bekerja juga dapat menurunkan produktivitas. Si mesin bisa jadi memperhitungkan bahwa bakat arsitektur kita berpotensi menciptakan pendapatan US$1 juta per tahun dibandingkan dengan profesi pengacara yang berpotensi menciptakan pendapatan US$750 ribu per tahun.

    Akan tetapi, ketidaksenangan kita terhadap profesi arsitektur juga berpotensi menyebabkan jumlah pendapatan kita menurun drastis di bawah potensi yang diperkirakan si mesin karena kita tidak melakukan pekerjaan kita dengan sungguh-sungguh. Tidak ada jaminan bahwa prediksi si mesin akan menghasilkan hasil yang efisien. Isunya sederhana. Pertama, tidak ada yang bisa memprediksikan masa depan apalagi mengatur masa depan akan menjadi seperti apa. Ketidakpastian dalam hidup ini sudah merupakan suatu keniscayaan. Kedua, manusia tidak bisa dipaksa untuk menyukai apa yang ia tidak suka. Melakukan sesuatu yang tidak disukai pasti ada biayanya dan akan ada konsekuensinya. Kita bisa menutupi masalah ini dengan bilang: "ya, tidak semua orang tahu apa yang baik bagi dirinya." Tapi hal itu tidak akan tiba-tiba mengubah orang menjadi suka atas apa yang tidak dia sukai. Sesederhana itu. Pertanyaan utamanya, dengan situasi seperti ini, apa kita benar-benar memiliki justifikasi yang kuat untuk memaksa orang melakukan suatu profesi tertentu sekalipun ia tidak menyukainya? 

    Coba kita renungkan baik-baik, apabila kita tidak bisa sepenuhnya percaya bahwa pembagian tugas antar manusia bisa dipaksakan ketika teknologi pendukungnya ada, bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa pembagian tugas tersebut dapat dipaksakan ketika teknologinya tidak ada dan pemerintah serta masyarakatnya masih bias gender?  Kalau kita sendiri tidak suka dipaksa oleh negara untuk menjalankan profesi tertentu, mengapa kita malah meminjam tangan negara untuk memaksa orang lain? Dari sudut analisis untung rugi, ini jelas bukan opsi yang menggiurkan.

    Fakta bahwa secara biologis wanita adalah satu-satunya jenis manusia yang bisa melahirkan anak tidak serta merta berarti bahwa semua wanita pasti ingin punya anak, pasti ingin menghabiskan waktunya untuk mengurus anak, dan pasti lebih mampu mengurus anak dibandingkan dengan pria. Bisa jadi ada wanita yang lebih senang untuk menjadi ibu rumah tangga, bisa jadi ada wanita yang lebih senang untuk menjadi wanita karir, dan bisa jadi ada yang ingin menggabungkan keduanya. Demikian juga dengan pria. Pilihannya bukan ditentukan oleh negara. Pilihannya ada pada wanita tersebut dengan tunduk pada kelangkaan waktu dan sumber daya.           

    Apa maksudnya? Anak hanyalah salah satu opsi dalam kehidupan berkeluarga. Ada yang berpikir meneruskan keturunan genetis itu penting, ada yang tidak. Kesenangan hidup berkeluarga juga tidak hanya muncul dari anak. Mengurus anak juga bukan tanpa biaya. Kesenangan yang didapat dari kehadiran anak akan dikompensasikan dengan biaya dalam bentuk waktu yang bisa digunakan untuk aktivitas lain dan uang yang digunakan untuk mendidik dan menciptakan anak yang bermutu.

    Orang mungkin berpikir, tidak baik melakukan analisis untung rugi terhadap urusan keluarga, termasuk anak. Ini seperti berharap bahwa masalah yang ada di depan mata akan hilang hanya dengan menutup mata kita. Pepatah "banyak anak banyak rezeki" saja sebenarnya mengindikasikan bahwa nenek moyang kita sudah lama berpikir bahwa anak adalah investasi. Dan kenapa tidak? Dalam budaya Asia, anak sangat diharapkan menjadi tulang punggung keluarganya ketika nanti ia sudah besar. Semakin banyak anak, maka seharusnya semakin makmur hidup orang tua (dengan asumsi mereka berhasil mendidik anaknya). Kebanyakan orang mungkin tidak suka mendengar kenyataan ini. Namun demikianlah kenyataannya.        

    Oleh karenanya, wajar-wajar saja kalau kemudian ada wanita yang memutuskan untuk tidak punya anak atau membatasi jumlah anaknya dengan melakukan analisis untung rugi. Penelitian menarik di negara-negara maju misalnya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan semakin besar pendapatan suatu pasangan suami istri, jumlah anak dalam keluarga juga menurun. Salah satu penjelasannya adalah karena biaya kesempatan (opportunity cost) dari orang tua juga naik drastis, yaitu waktu mereka untuk melakukan aktivitas lainnya menjadi lebih berharga. Apakah hal ini salah? Menurut saya tidak. Ini cuma masalah prioritas bukan masalah moralitas. Yang memutuskan untuk punya anak tidak lebih baik dari yang tidak menginginkan anak dan demikian sebaliknya.      

    Bagaimana dengan profesi lainnya? Dengan anatomi tubuh wanita yang umumnya lebih lemah dari pria, tentunya ada beberapa pekerjaan yang seakan-akan tidak cocok untuk wanita secara umum. Tapi itu juga tidak berarti bahwa kemudian wanita perlu dilarang atau dipersulit untuk melakukan profesi tertentu. Kembali ke pertanyaan awal, mengapa hal tersebut mesti pusing-pusing diatur oleh negara? Apa justifikasinya?

    Saya sudah berkali-kali menyampaikan bahwa di era modern, seluruh kebijakan publik wajib tunduk pada analisis untung rugi dengan memperhatikan data dan penelitian empiris. Kebijakan publik juga wajib tunduk pada mekanisme checks & balances karena kita tahu bahwa manusia bukan malaikat dan rentan melakukan kesalahan. Sudah bukan jamannya lagi berargumen hanya mengandalkan doktrin tertentu. Prinsip agama yang paling penting adalah maksimalisasi kesejahteraan masyarakat. Dan hal itu hanya bisa dilakukan kalau kita berhitung dengan hati-hati, bukan berkhayal.

    Permasalahannya ada di kerangka berpikir secara absolut. Ya atau tidak sama sekali. Salah atau benar sama sekali. Tidak ada jalan tengah. Kalau wanita harus jadi ibu berdasarkan doktrin agama, maka hal itu mutlak pasti benar sekarang dan selama-lamanya. Padahal sebagaimana saya bahas di atas, kenyataannya berkata lain, menjadi ibu bisa jadi efisien, bisa jadi tidak. Melakukan pemaksaan secara masif terhadap anggota masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan cenderung tidak efisien karena kemungkinan kesalahannya sangat besar dan tidak memedulikan unsur preferensi manusia.

    Mulailah berpikir secara marjinal. Sebagaimana saya pernah bahas di artikel ini, yang merupakan pengantar ringkas dari disertasi saya, hukum Islam tidak berpikir dalam kerangka absolut. Kalau iya, perbudakan seharusnya sudah haram mutlak sejak 1.500 tahun yang lalu dan tidak menunggu secara bertahap sampai awal abad ke-20. ISIS saja sekarang melakukan perbudakan terhadap kaum Yazidi. Karena mereka salah memahami kitab suci? Mungkin, tetapi secara doktrin agama, perbudakan memang tidak pernah dikategorikan haram mutlak. Dalam situasi perang misalnya, Wahbah Az-Zuhaili, ulama kontemporer yang sangat terkenal, juga memperbolehkan perbudakan atas tawanan perang (cek Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 8, bab Jihad, terbitan Gema Insani Press). Ini baru satu contoh dimana doktrin saja tidak cukup untuk menganalisis suatu masalah. Sisanya bisa dibaca dalam artikel saya tersebut.

    Saya berharap bahwa kita bisa mengurangi kecenderungan berpikir secara absolut ini sedikit demi sedikit. Saya sepenuhnya paham bahwa kalau perbudakan saja butuh ribuan tahun untuk dianggap buruk, berharap semua orang tidak lagi berpikir absolut dalam sekejab tentunya cuma angan-angan belaka. Tapi ini harus dimulai dari sekarang. Erdogan tidak akan mengeluarkan ide yang tidak masuk akal kalau tidak ada pendukung ide serupa di antara para pemilihnya dan oleh karena itu, konsep yang salah ini harus kita lawan terus.

  • Gagal Nalarnya Tes Keperawanan Calon Polwan - Perspektif Ekonomi


    Diskriminasi terhadap wanita merupakan masalah yang sulit untuk dihilangkan sama sekali dari muka bumi ini. Tidak terlalu mengherankan, kalau peradaban manusia saja butuh ribuan tahun untuk memahami bahwa perbudakan adalah institusi yang buruk, bisa jadi kita masih perlu menunggu lama sampai mayoritas peradaban manusia memahami bahwa diskriminasi terhadap wanita adalah ide yang tidak masuk akal.

    Tapi ini tidak berarti bahwa kita akan tinggal diam saja menunggu hilangnya diskriminasi terhadap wanita, apalagi ketika kita tahu ada institusi pemerintah yang melakukan tindakan diskriminatif tersebut. Contoh nyatanya adalah Kepolisian Republik Indonesia ("Polri") yang melaksanakan tes keperawanan terhadap calon polisi wanita ("Polwan"). Berita lengkapnya dapat dilihat di sini. Ide dari Polri adalah bahwa tes keperawanan diperlukan untuk mengetahui nilai moralitas dari calon Polwan. Polri khawatir bahwa calon polwan tersebut bisa jadi berprofesi sebagai pelacur dan oleh karenanya seharusnya tidak dapat diterima bekerja sebagai Polwan. Ini pernyataan yang sangat misoginis. Kalau saya berwenang, polisi yang menyatakan hal seperti itu akan saya pecat karena membahayakan institusi.

    Selanjutnya, Polri berargumen bahwa calon polisi pria tidak menjalani tes keperjakaan dengan alasan tidak ada tes yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah seorang pria masih perjaka. Ini lawakan yang tidak lucu. Lebih parah lagi, tes keperawanan tersebut pada prinsipnya menimbulkan trauma dan rasa sakit yang tidak perlu terhadap calon Polwan yang menjalani tes. Fakta bahwa tes tersebut dilakukan oleh dokter wanita tidak membantu.

    Sesuai tradisi Chicago, kita tidak akan membahas masalah tes keperawanan dari sudut pandang hak asasi. Kita akan membahas masalah ini dari sudut pandang ekonomi. Tindakan yang dilakukan oleh Polri jelas dapat dikategorikan sebagai diskriminasi. Melalui tes keperawanan, Polri membebani biaya yang lebih banyak kepada wanita untuk menjadi polisi dibandingkan dengan pria. Ingat, biaya tidak melulu soal uang, tetapi apapun yang perlu dikorbankan untuk mendapatkan sesuatu. Tes keperawanan dengan efek traumatis dan rasa sakitnya jelas menambahkan biaya bagi kandidat Polwan, biaya yang tidak perlu ditanggung oleh calon polisi pria karena tes keperjakaan mustahil untuk dilakukan, setidaknya dengan teknologi masa kini.

    Dengan tambahan biaya tersebut, secara tidak langsung, Polri membuat karir di bidang kepolisian menjadi lebih mahal bagi wanita. Sesuai dengan hukum permintaan (the laws of demand), efeknya sederhana: harga yang lebih mahal akan menurunkan permintaan atas produk yang bersangkutan. Jumlah wanita yang ingin mendaftar menjadi polisi seharusnya juga akan menurun.

    Secara ekonomi, diskriminasi tanpa alasan yang wajar dapat berdampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Membedakan pegawai berdasarkan prestasi bisa diterima karena prestasi berkorelasi erat dengan kontribusi terhadap institusi. Tetapi membedakan pegawai berdasarkan alasan yang tidak berpengaruh terhadap kontribusi si pegawai? Untuk apa? Saya mengajurkan anda untuk membaca buku The Economics of Discrimination untuk memahami lebih jauh masalah ini. Buku yang diolah dari disertasi almarhum Gary Becker, Profesor ekonomi dari University of Chicago dan pemenang Nobel tahun 1992, akan memberikan gambaran lebih mendalam mengapa diskriminasi itu merugikan.

    Contoh sederhana bagaimana diskriminasi berpotensi merugikan kita semua: Katakanlah ada beberapa institusi pemberi kerja di Amerika yang membedakan perlakuan terhadap calon karyawan kulit hitam dan kulit putih. Berdasarkan penilaian objektif, bisa jadi kandidat kulit hitam sebenarnya lebih bermutu dibanding kandidat kulit putih. Tetapi karena dia berkulit hitam, dan institusi pemberi kerja tidak menyukainya (dalam istilah Becker, ini disebut sebagai taste for discrimination), akhirnya institusi tersebut memilih calon kulit putih.

    Dengan memilih calon kulit putih yang kalah dari segi kualitas, insititusi tersebut sebenarnya membayar biaya tambahan untuk memenuhi hasrat diskriminasinya. Mengapa demikian? Karena institusi itu dapat memperoleh kandidat yang lebih baik yang akan memberikan kontribusi lebih banyak bagi keuntungan perusahaan, tetapi institusi itu justru memilih kandidat yang lebih jelek. Dan karena kandidat yang diambil lebih jelek, biaya produksi institusi tersebut pun akan bertambah, dan ini dapat berpengaruh pada harga akhir produk yang menjadi lebih mahal bagi konsumen. 

    Seandainya kompetisi usaha berjalan dengan sehat dan ketat, tindakan diskriminasi pada akhirnya akan menjadi tidak rasional. Dalam situasi dimana harga tidak bisa dinaikkan karena persaingan, perusahaan yang rasional akan melakukan segala upaya untuk mengurangi biaya produksi, dan itu berarti harga untuk melakukan diskriminasi terhadap kandidat berkualitas akan menjadi semakin mahal. Tentu kita paham apa efeknya bukan? Rasionalitas mencari keuntungan pada akhirnya akan mengurangi level diskriminasi.

    Permasalahannya, dalam kasus Polri, tidak ada persaingan usaha karena hanya ada satu korps kepolisian di Indonesia. Polri adalah pelaku monopoli dan biaya operasionalnya pun ditanggung APBN yang dibiayai oleh pajak kita. Tanpa ada koreksi dari luar, tidak akan ada insentif bagi Polri untuk melakukan perbaikan. Mereka bisa seenaknya saja memenuhi hasrat diskriminatif tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat. Coba dipikir baik-baik, untuk apa melakukan diskriminasi kepada calon Polwan yang bisa jadi akan memberikan kontribusi yang maksimal kepada Polri?

    Penelitian empiris oleh John List dan Uri Gneezy sebagaimana dibahas di buku mereka, The Why Axis, menunjukkan bahwa apabila wanita menjadi pemimpin komunitas, mereka dapat menjadi pemimpin yang lebih baik dibandingkan dengan pria. Melalui penelitian di sebuah komunitas matriarkal mutlak di Pakistan dan membandingkannya dengan komunitas patriarkal mutlak di Afrika, List dan Gneezy memahami bahwa pembentukan karakter wanita dan pria lebih ditentukan oleh budaya dibanding genetika. Kaum wanita di Pakistan tersebut menunjukkan semua kualitas yang umumnya diidentifikasi sebagai perwujudan maskulinitas seperti keberanian mengambil keputusan, ketegasan, dan sebagainya.

    Wanita pada prinsipnya dapat berkontribusi bagi perkembangan kesejahteraan kita semua. Membatasi aktivitas wanita bukan saja merupakan ide bodoh yang ketinggalan jaman, tetapi juga tidak memahami realitas dunia yang makin empiris. Lupakan konsep-konsep doktrinal yang anda pikir benar. Dunia tunduk pada analisis untung rugi (sebagaimana saya bahas di sini).

    Ide bahwa moralitas Polwan perlu dijaga juga sangat tidak masuk akal, apalagi berpikiran bahwa tes keperawanan akan menjadi bukti empiris yang kuat bahwa seseorang bermoral. Bagaimana dengan calon polisi pria yang tidak bisa dites keperjakaannya, bagaimana kita tahu kalau mereka bermoral? Apa standar moral hanya soal seks? Saya sudah berkali-kali membahas dalam tulisan saya bahwa penggunaan moral sebagai standar lebih banyak menimbulkan kesia-siaan. Sebagaimana saya bahas panjang lebar di sini dan di sini, bahkan agama saja tidak efektif untuk mempengaruhi perilaku hukum, apalagi standar moral yang tidak jelas.

    Polri harusnya fokus pada insentif. Sekali lagi, insentif! Polri harus paham analisis untung rugi dalam memilih calon polisi dan menyusun tes yang menunjukkan bagaimana calon polisi akan mengambil keputusan dalam beragam situasi dengan memperhatikan insentif yang mereka dapat. Kalau saya boleh sarankan, lebih baik Polri berdiskusi dengan John List, yang sekarang menjabat sebagai kepala Departemen Ekonomi University of Chicago. John List sudah berkali-kali menyusun eksperimen empiris untuk mengetahui bagaimana manusia berperilaku di dunia nyata.

    Eksperimennya bahkan sekarang digunakan untuk menyusun sistem pendidikan yang dapat mengurangi jumlah anak putus sekolah di Chicago, dengan harapan bahwa pengurangan jumlah anak putus sekolah akan mengurangi tingkat kejahatan di masyarakat! Bayangkan, ini dunia modern, dimana kebijakan disusun berdasakan data dan penelitian bukan ide moral yang mengawang-awang entah dari mana. Apalagi kalau ide moral itu tidak memiliki basis yang kuat untuk diterapkan berdasarkan analisis untung rugi.     

    Saya tahu, di Indonesia ada begitu banyak masalah. Dan orang Indonesia gampang lupa. Masalah hari ini mungkin hanya penting untuk hari ini saja. Tetapi inilah mengapa saya membuat tulisan di blog, supaya akan selalu ada catatan bahwa institusi Polri sudah melakukan diskriminasi tak berdasar kepada calon Polwan. Bahwa hal itu salah dan Polri tidak memiliki justifikasi sama sekali untuk melaksanakan program tersebut!

  • Ibadah Itu Soal Untung Rugi


    "Beribadah kok seperti jual beli, mikirin untung rugi, beribadah itu kan harusnya ikhlas karena mengharap ridha Tuhan semata." Ini pernyataan yang sering saya dengar tiap kali ada yang bertengkar soal agama, apapun agamanya. Secara tersirat, kalimat di atas mengandung 2 ide mendasar. Pertama, beribadah layaknya pedagang itu sesuatu yang salah atau minimal merefleksikan pemikiran warga kelas dua. Kedua, beribadah secara ikhlas adalah suatu upaya yang sudah disucikan dari segala macam perhitungan untung rugi karena dilakukan semata hanya untuk Tuhan.

    Melalui tulisan ini, saya ingin menunjukkan bahwa konsep pemikiran di atas tidak tepat. Pertama, tidak ada salahnya beribadah ala pedagang. Kedua, konsepsi beribadah secara ikhlas juga tidak bisa melarikan diri dari analisis untung rugi. Bahkan boleh dikata bahwa perbedaan utama dari beribadah ala pedagang dan secara ikhlas hanyalah soal motivasi dan keduanya bisa menjadi strategi ibadah yang rasional bagi setiap orang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

    Apa definisi beribadah ala pedagang? Umumnya orang mendefinisikannya sebagai ibadah yang dilakukan karena seseorang berharap masuk surga dan keluar dari ancaman neraka. Level imannya dianggap rendah karena beribadah hanya demi mengharap imbalan dan takut ancaman sanksi. Bagi saya ironis kalau seseorang dianggap lebih rendah level imannya cuma karena takut neraka dan mengharap surga. Umar bin Khatab dan Abu Bakar As-Shidiq, dua manusia yang level imannya tidak akan pernah bisa ditandingi lagi di muka bumi ini, sering kali berkomentar tidak ingin menjadi manusia dan lebih suka menjadi sebatang pohon. Alasannya? Mereka takut dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini contoh orang yang beribadah karena takut kepada Tuhannya. Lantas apakah hal ini menjadikan Abu Bakar dan Umar bin Khatab orang rendahan? Semua sufi digabung jadi satu pun mungkin cuma butiran debu dibanding mereka berdua.

    Dan tidak hanya soal Umar dan Abu Bakar. Kalau memang ada masalah dengan ibadah level pedagang, maka dari awal juga tidak diperlukan konsep surga dan neraka. Untuk apa? Kenapa Allah tidak berfirman saja: "wahai manusia, beribadahlah kalian semua demi ridha-Ku semata. Tidak ada balasannya kelak, yang penting kalian semua melakukannya semata untuk-Ku." Kenyataannya firman demikian tidak ada. Justru Al-Quran penuh sekali dengan ayat-ayat yang senantiasa mengingatkan kenikmatan surga dan kejelekan neraka (silakan anda google sendiri ayat-ayatnya). Menyatakan atau berasumsi bahwa ibadah ala pedagang sebagai ibadah kelas dua bagi saya sama saja dengan mengejek cara Tuhan mengatur insentif. Dipikirnya Tuhan bodoh apa karena menciptakan sistem seperti itu?

    Tuhan paham betul bahwa manusia merupakan makhluk yang butuh insentif. Dan insentif ini merajalela dalam semua aspek kehidupan kita. Tidak percaya? Mari kita jawab pertanyaan ini: apa yang dimaksud dengan beribadah demi ridha Tuhan semata. Apakah artinya kita benar-benar terbebas dari segala macam perhitungan untung rugi? Apakah perhitungan untung rugi itu menjadi hilang kalau kita beribadah tanpa mengharap imbalan apapun? Hati-hati, jangan sampai terjebak kesalahan logika berpikir.

    Pada saat seseorang memutuskan untuk beribadah secara ikhlas, dia sebenarnya sudah melakukan analisis untung rugi dan sudah memikirkan imbalan yang akan dia terima. Semua tindakan ibadah ada biayanya, minimal anda akan menghabiskan sebagian waktu anda untuk beribadah. Selain itu juga ada biaya kesempatan (opportunity cost) untuk melakukan aktivitas lainnya, termasuk bekerja, liburan, sekolah, dan sebagainya. Seseorang tidak akan begitu saja menghabiskan waktunya untuk melakukan suatu aktivitas tanpa merasakan manfaat dari aktivitas tersebut, karena apabila suatu aktivitas dirasakan tidak atau kurang bermanfaat, dia akan memilih alternatif kegiatan lainnya yang dirasa lebih bernilai atau bermanfaat untuk dilakukan dalam waktunya yang terbatas.

    Dalam hal ini manfaat atau imbalan beribadah secara ikhlas bagi seseorang bisa bermacam-macam: kesenangan atau kenikmatan yang didapat dari  beribadah dengan "ikhlas", keinginan agar mendapatkan ridha Allah, atau keinginan untuk menyenangkan hati pihak yang ia cintai (dalam hal ini Allah). Seperti yang bisa anda lihat, perbedaannya dengan ibadah ala pedagang hanyalah soal motivasi: sebelumnya berharap surga, sekarang berharap ridha Tuhan (terlepas nanti ditempatkan di mana). Sebelumnya berharap tak masuk neraka, sekarang sekedar ingin membuat Tuhan senang dengan ketaatan pribadi, dimana senang dan ridha-nya Tuhan adalah senang dan ridha-nya kita. Tidak perlu pakai contoh yang rumit, bayangkan saja anda sedang jatuh cinta dengan seseorang dan anda menyatakan: "bahagiamu adalah bahagiaku."

    Ikhlas itu pun juga banyak tingkatan.  Mungkin ada yang merasa sudah ikhlas beribadah, tapi dalam hati kecilnya berharap supaya ia tak pernah dirundung malang. Ini sudah pasti gagal, karena Allah sendiri sudah berfirman bahwa semua orang yang mengaku beriman itu pasti diuji. Dan semakin anda berharap anda bisa mencapai derajat yang lebih tinggi di hadapan Tuhan, anda juga harus bersiap menerima ujian yang lebih berat. Ibarat kata: kalau mau dapat penghargaan yang lebih besar, usahanya juga perlu lebih keras. Tapi tunggu dulu, bukankah ini mengembalikan kita kepada konsep analisis untung rugi?

    Saya ceritakan sedikit kisah pribadi saya di awal masa kuliah 13 tahun yang lalu. Saat itu saya sedang gencar mendalami sufisme dan ingin sekali bisa menjadi orang yang dekat dengan Tuhan. Puasa sunnah hampir tiap hari dan tak lupa selama 8 bulan non-stop, saya khatam Al-Quran 2 kali setiap bulannya. Rasanya nikmat luar biasa. Tapi di akhir bulan kedelapan, saya gagal dalam ujian keimanan. Ketika seorang teman berkata: "tahu ga, si anu itu tiap hari baca 1 juz Quran lho," saya tak tahan untuk memberitahukan dia bahwa saya juga melakukan hal yang sama, bahkan lebih. Dan akhirnya saya pun berucap: "ah, memangnya kenapa, saya juga kok tiap hari." Dan dengan satu perkataan bodoh itu, 8 bulan usaha saya berakhir sia-sia belaka. Habis, musnah, tidak ada sisanya. Menjadi ikhlas itu susah luar biasa dan saya membuang waktu saya yang tidak sedikit selama 8 bulan karena tidak berhitung untung dan rugi dengan baik.
       
    Ini mengapa menurut saya, penting sekali untuk senantiasa mengingat bahwa kita tidak akan pernah bisa lepas dari analisis untung rugi. Hal inilah yang justru akan membuat seseorang tak lantas menjadi arogan atau berpuas diri karena merasa sudah mampu beribadah tanpa mengharap surga dan neraka. Dari sudut pandang analisis untung rugi, levelnya sesungguhnya tak jauh berbeda dengan ibadah ala pedagang. Bahkan bisa jadi lebih aman beribadah ala pedagang sederhana dibanding mencoba beribadah secara "ikhlas" karena yang satu motivasinya jelas menghitung berapa banyak amal baik yang sudah dilakukan dan berapa banyak amal buruk yang sudah dihindari ketimbang sok-sokan merasa bisa ikhlas.

    Saya masih cukup beruntung cuma membuang waktu 8 bulan. Bayangkan kalau anda Barsisha, alim ulama yang ceritanya sudah taat beribadah selama 200 tahun lebih dan hidupnya berakhir masuk neraka karena terkena godaan setan di akhir hayatnya (silakan google juga soal Barsisha yang sering masuk literatur sufi). Siapa yang bisa menjamin level ikhlas anda adalah level tahan banting? Salah-salah anda lebih cepat masuk neraka dibandingkan dengan orang yang anda anggap hanya beribadah layaknya pedagang. Dengan demikian, sebagaimana sempat saya singgung di atas, daripada sibuk menilai mana alternatif yang lebih superior, saya lebih cenderung menilai dua aktivitas ini sebagai 2 metode investasi yang sama-sama valid. Yang satu mungkin tidak memberikan imbal hasil terlalu banyak tetapi lebih mudah dilakukan. Yang satu bisa jadi memberikan imbal hasil yang lebih tinggi, tetapi banyak jebakannya yang bisa menghapus semua investasi anda. Anda masuk profil resiko yang mana? Suka resiko atau tidak? Siap dengan segala godaan karena sudah merasa ikhlas? Atau mau pilih jalur sederhana yang sudah disampaikan dengan gamblang oleh Tuhan dalam Quran?

    Katakanlah sampai disini, anda masih saja percaya bahwa beribadah secara ikhlas bisa dilakukan tanpa berhitung untung dan rugi. Kalau begitu sekarang saatnya kita membahas sedikit teori ekonomi tentang alokasi waktu supaya tidak ada lagi keraguan di hati anda.

    Kita semua tahu manusia memiliki waktu 24 jam dalam satu hari. Waktu itu tidak akan berubah kecuali anda mendekati kecepatan cahaya. Dan dalam waktu 24 jam tersebut, kita dihadapkan pada beragam pilihan. Bekerja, belajar, beribadah, bermain, berinteraksi dengan teman, tidur, dan masih banyak lagi. Setiap aktivitas anda ada nilainya. Dan cara paling sederhana untuk mengukur nilai aktivitas itu adalah dengan jalan mengukur nilai penghasilan rata-rata dan penghasilan marginal anda (memang bukan perhitungan yang paling sempurna, tetapi ini perhitungan yang paling bisa dikuantifikasi).

    Katakanlah anda diwajibkan bekerja 8 jam sehari dan anda menerima gaji Rp400.000 sehari. Berarti rata-rata gaji anda Rp50.000 sejam. Katakanlah juga kalau anda lembur, maka anda akan menerima upah lembur senilai Rp60.000 sejam. Ini berarti upah marginal anda (yaitu jumlah tambahan penghasilan yang akan anda dapatkan untuk bekerja dalam satu unit waktu) untuk 8 jam pertama adalah Rp50.000 per jam dan untuk setiap jam di atas 8 jam adalah Rp60.000.

    Asumsikan bahwa anda tak punya pilihan untuk 8 jam kerja karena sudah menjadi jam kerja minimum. Tetapi anda punya pilihan setiap harinya untuk lembur. Berarti sekarang anda sudah bisa menilai nilai waktu anda per jam: Rp60.000. Pertanyaannya tinggal: apakah menurut anda Rp60.000 itu cukup untuk memberikan insentif kepada anda untuk menambahkan satu jam atau lebih lama lagi terhadap keseluruhan waktu bekerja anda, atau lebih baik anda menghabiskan waktu anda untuk melakukan aktivitas lainnya?

    Semakin besar nilai penghasilan marginal anda, maka semakin mahal nilai alternatif aktivitas yang akan anda lakukan. Akan berbeda tentunya apabila lembur anda dihargai Rp1.000.000 per jam dibanding Rp60.000 per jam. Dan dari situ pun kita bisa memperkirakan bahwa waktu yang anda alokasikan untuk beribadah, bahkan kalaupun anda beribadah murni atas dasar ikhlas, juga tunduk pada nilai yang saya sampaikan. Mudahnya, berapa banyak anda akan mengalokasikan waktu untuk beribadah? Satu jam? Dua jam? Atau 10 jam sehingga anda menghabiskan sebagian besar waktu anda untuk bekerja dan beribadah (dan hanya menghabiskan 6 jam untuk tidur dan makan)?

    Alokasi waktu anda untuk ibadah saja secara implisit sudah menunjukkan bahwa anda menghitung untung dan rugi, terlepas anda ikhlas atau hanya mengejar surga. Mengapa demikian? Karena anda juga menghitung waktu yang akan anda pakai untuk aktivitas lainnya (termasuk manfaat dari aktivitas tersebut bagi anda). Bisa jadi anda hanya ikhlas untuk 2 jam ibadah, bisa jadi untuk 5 jam ibadah. Bisa jadi juga anda ingin beribadah 12 jam sehari dan karena anda tidak bisa mengurangi jangka waktu tidur dan makan, anda kemudian memilih untuk mencari pekerjaan baru dengan jam kerja yang lebih sedikit dari 8 jam (yang artinya nilai ibadah anda menjadi lebih mahal lagi karena pendapatan rata-rata anda menurun di bawah Rp50.000). Dengan demikian, selama ada pilihan aktivitas dalam hidup anda, anda akan menghitung untung dan rugi dari tindakan anda.

    Ibrahim bin Adam, sufi terkenal dalam kitab Minhajul Abidin, setiap harinya shalat minimum 1.000 rakaat. Dia menghabiskan semua waktunya untuk beribadah. Apakah kemudian Ibrahim bin Adam lebih baik dari orang yang hanya sanggup menghabiskan waktunya 1 jam saja sehari untuk beribadah? Bisa jadi Ibrahim bin Adam memang tidak punya tanggungan dalam hidupnya sehingga dia bisa menikmati setiap harinya beribadah. Bisa jadi pula orang yang hanya sanggup beribadah 1 jam sehari memiliki banyak aktivitas lainnya yang menurut dia tak kalah penting dari ibadah resmi. Keduanya sah-sah saja. Penilaian akan mana yang lebih baik dikembalikan kepada Tuhan sebagai penghitung amal yang paling terpercaya. Dan percayalah, fakta bahwa amal dihitung oleh Tuhan saja sebenarnya sudah menunjukkan bahwa analisis untung rugi itu bukan cuma konsep dunia tapi juga konsep akhirat.

    Setelah kita berpanjang lebar membahas soal analisis untung rugi dalam soal ibadah ini, saya ingin menutup artikel ini dengan menyampaikan bahwa analisis untung rugi sebenarnya meliputi semua aspek kehidupan kita. Alih-alih bergaya bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dihitung dan nantinya bingung sendiri, saya justru menganjurkan semua orang berhitung baik-baik dengan hidupnya. Ingat, berhitung, bukan jadi perhitungan. Orang perhitungan justru adalah orang yang tidak jago berhitung (dan saya akui, saya sendiri juga sering jatuh ke dalam kategori orang yang perhitungan).

    Mengapa saya menganjurkan kita untuk berhitung untung rugi? Karena dengan demikian kita juga menjadi lebih disiplin dan lebih mudah dalam mengambil keputusan. Contoh sederhana: waktu untuk keluarga dan teman. Kalimat-kalimat bijak di luar sana bilang: keluarga dan teman itu tidak bisa dinilai dengan uang. Saya 100% tidak setuju. Keluarga dan teman bisa dinilai dengan uang. Anda tinggal merujuk kepada pendapatan marginal anda sebagaimana saya sampaikan di atas. Setelah anda tahu pendapatan marginal anda, anda tinggal bertanya: apakah saya menghargai keluarga dan teman-teman saya lebih besar dibanding pendapatan marginal saya atau tidak? Anda sendiri yang menentukan apakah keluarga anda bernilai mahal atau murah. Dan dengan demikian anda juga akan lebih bertanggung jawab dalam menentukan alokasi waktu anda.

    Masih banyak aplikasi lainnya dari analisis untung rugi dalam kehidupan sehari-hari (dan anda akan sering melihat unsur ini dalam tulisan-tulisan saya, baik di masa lalu maupun di masa depan). Tidak ada jaminan bahwa perhitungan untung rugi kita pasti benar dan sempurna, setiap orang bisa melakukan kesalahan. Tetapi perhitungan untung dan rugi adalah mekanisme terbaik yang kita punya saat ini karena ia bisa dihitung, bisa diuji, dan bisa difalsifikasi. Pendek kata, berhitung untung rugi adalah menjadi seutuhnya manusia sebagai makhluk yang tidak lepas dari kesalahan.
  • Perlukan Penghinaan Dipidana?


    Amir dan Badu, 2 anak SMP sedang bertengkar di tepi jalanan yang sepi sepulang sekolah memperebutkan sebuah mainan yang sudah lama mereka inginkan. Situasi makin memanas, ketika akhirnya Amir berucap: "anjing!" kepada Badu. Badu yang tak terima dengan perkataan itu, membalas pernyataan Amir dengan: "ibumu pelacur!!!". Tak lama kemudian Amir melaporkan Badu kepada polisi dengan tuduhan penghinaan terhadap Amir.

    Di tempat lain, Dodi, seorang politisi, dan Emir, akademisi, beradu argumen lewat Twitter mengenai suatu kebijakan publik. Dua-duanya belum pernah bertemu dan berinteraksi sebelum timbulnya isu ini dan hanya berdebat gara-gara seorang follower Emir yang kebetulan di-follow oleh Dodi, me-RT twit dari Emir. Dalam debat tersebut, keduanya naik darah dengan cepat. Emir menuduh Dodi bahwa ia tidak paham peranannya sebagai politisi dan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat guna membuat kebijakan yang buruk. Tersinggung dengan pernyataan Emir, Dodi balas menuduh bahwa Emir hanyalah seorang plagiator yang tidak layak untuk menjadi akademisi.  Keduanya kemudian sama-sama pergi ke polisi untuk saling melaporkan lawannya dengan tuduhan penghinaan di muka publik melalui media elektronik.

    Fransiska, seorang wiraswasta muda, baru saja menikmati makanan yang sangat tidak enak dan pelayanan yang tidak memuaskan di Ristorante G, sebuah restoran Italia yang dikenal sebagai lokasi terbaru berkumpulnya para profesional muda yang trendi di Jakarta. Fransiska kemudian menulis ulasannya tentang Ristorante G di blog pribadinya dan memberikan penilaian yang sangat negatif terhadap restoran tersebut. Tak lama kemudian, pengunjung Ristorante G menurun drastis. Alasannya tak jelas, salah satunya mungkin karena ulasan negatif dari Fransiska yang kebetulan sedang naik daun sebagai food blogger. Gunawan, pemilik Ristorante G, kemudian melaporkan Fransiska ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alasannya? Ulasan Fransiska tidak objektif, berlebih-lebihan dan sangat merugikan bisnis Gunawan.

    Kasus-kasus penghinaan dan pencemaran nama baik memang tidak akan pernah ada habisnya. Dalam waktu 2 minggu sejak saya membahas kasus Florence Sihombing, saya sudah mendengar 3 kasus baru tentang penghinaan: tukang sate yang dituduh menghina Presiden (karena memfitnah Presiden dan menyebarkan video porno palsu), penyair yang dituduh mencemarkan nama baik seorang konsultan survei politik (karena menyatakan bahwa si konsultan tak layak dianggap sebagai sastrawan), dan istri dari seorang pegawai yang dituduh menghina bos pegawai tersebut di muka umum (karena marah-marah di Facebook atas keputusan bos suaminya yang menurutnya tidak adil). Menurut saya, masih cukup maraknya kasus pidana penghinaan setelah ada beberapa kasus yang ramai di media (semisal kasus Prita vs RS Omni dan Benhan vs Misbakhun) merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Sayangnya, secara umum masyarakat kita masih adem-ayem dan masih lebih sibuk mengomentari soal apakah bahasa Inggris Presiden kita hitungannya bagus atau tidak ketika ia berpidato di forum APEC.

    Bisa jadi kekhawatiran saya tidak beralasan. Dari 240 juta manusia di Indonesia, mungkin secara statistik, kasus penghinaan yang masuk ranah pidana hitungannya tidak seberapa dan oleh karenanya belum layak menjadi perhatian. Walaupun ada beberapa korban, mereka yang sibuk menghina orang lain juga banyak yang tidak dipidanakan, jadi secara probabilistik, kecil kemungkinannya dikenai sanksi dan oleh karenanya, masyarakat tidak khawatir bahwa mereka bisa dipidana karena salah ucap baik di ruang publik atau di hadapan orang tertentu. Hal ini membutuhkan penelitian empiris lebih lanjut, tetapi sebelum kita sampai ke situ, saya ingin menyampaikan beberapa konsep normatif yang perlu kita renungkan mengenai pemidanaan terhadap penghinaan.   

    Merujuk ke Bab XVI KUHP yang membahas penghinaan dan kawan-kawannya, secara umum, penghinaan didefinisikan sebagai penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, dengan maksud agar hal tersebut diketahui secara umum. Kemudian apabila diminta untuk membuktikan apakah hal yang dituduhkan itu benar dan kemudian pelaku tidak bisa atau tidak mau membuktikannya, maka ia bisa juga dituduh melakukan fitnah dengan pidana penjara yang lebih berat dari sekedar penghinaan biasa.

    Apabila ternyata hal yang dituduhkan tidak bersifat pencemaran nama baik, sekalipun dilakukan di muka umum atau hanya di depan muka pihak yang dituduh, maka tindakan tersebut akan masuk dalam kategori penghinaan ringan (dengan ancaman pidana yang juga lebih ringan). Selanjutnya, tuduhan di atas tidak akan dianggap sebagai pencemaran nama baik apabila perbuatan tersebut dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri. Terakhir, KUHP menyatakan bahwa perbuatan penghinaan tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari pihak yang terkena kejahatan (tidak berlaku untuk penghinaan terhadap pejabat dan kepala negara).

    Versi pasal penghinaan dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE") pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan KUHP, hanya memperberat sanksi dan mengubahnya menjadi delik laporan, yang berarti: tanpa pengaduan dari "korban" pun, pelaku penghinaan bisa tetap disidik dan dipidana, dan kasus tidak berhenti apabila pengaduan tersebut dicabut. Memang, karya agung anak bangsa ini membuat pasal-pasal kolonial buatan penjajah menjadi seperti mainan anak-anak. Kalau penjajah represif, maka bangsa sendiri tidak boleh kalah dalam hal bertindak represif. Itu kira-kira inti dari pasal pemidanaan penghinaan dalam UU ITE.

    Pertanyaan utamanya adalah, perlukah kita memiliki aturan pidana soal penghinaan? Coba kita lihat contoh kasus yang saya berikan di awal. Semuanya berpeluang untuk masuk ranah pidana berdasarkan KUHP atau UU ITE, setidak-tidaknya masuk kategori penghinaan ringan. Namun akal sehat kita mungkin akan mulai membanding-bandingkan. Masuk akalkah apabila negara harus mengurusi Amir yang sakit hati karena ibunya dihina Badu? Bagaimana kalau misalnya Ibu Amir bukan pelacur? Apakah kasus ini akan dianggap sebagai fitnah?  Pentingkah fitnah seorang Badu bagi Amir dan ibunya, khususnya apabila Amir adalah anak orang kaya nomor satu di Indonesia sementara Badu cuma anak tukang sapu? Bagaimana kalau status Amir dan Badu dibalik?

    Atau bagaimana dengan kasus Dodi dan Emir. Dua orang yang sebenarnya tidak pernah bertemu di dunia nyata, dan juga probabilitas bertemunya sebenarnya sangat rendah. Mereka bisa tidak saling mengganggu dan bisa meneruskan hidup mereka dengan damai. Apakah pertengkaran karena emosi sesaat ini perlu diurus oleh negara?

    Terakhir kasus seperti Fransiska dan Gunawan. Sekilas tampak layak untuk masuk ranah pidana. Ada kerugian yang nyata dan kerugian itu bersifat besar. Isunya adalah, apakah bisa dibuktikan ada kausalitas atau korelasi antara ulasan Fransiska dan memburuknya kondisi restoran Gunawan? Jangan-jangan kualitas Ristorante G memang mengecewakan dan pasar menghukumnya dengan jumlah pengunjung yang sedikit.

    Doktrin klasik hukum pidana menyatakan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium, yang berarti bahwa hukum pidana adalah langkah terakhir yang akan digunakan dalam menghadapi suatu permasalahan hukum. Walau mungkin ahli hukum klasik tidak paham ilmu ekonomi secara mendalam, mereka setidaknya paham bahwa hukum pidana tidak bisa dipakai sembarangan. Mengapa? Hukum pidana membutuhkan penegakan yang aktif oleh negara dan aparatnya (bedakan dengan penegakan hukum perdata yang sifatnya pasif dan dibiayai oleh para pihak yang terlibat melalui pembayaran biaya pengadilan). Tanpa ada penegakan, hukum pidana hanya akan jadi macan kertas yang tidak akan berdampak signifikan.

    Sebagai contoh, misalnya orang meributkan hukuman mati dengan alasan kalau hukuman mati efektif, pasti sudah tidak ada kejahatan lagi di muka bumi. Ini logika yang salah. Hal yang sama juga berlaku terhadap sanksi pidana lainnya. Seandainya semua sanksi atas kejahatan adalah hukuman mati dan probabilitas ditangkap serta dikenai sanksi adalah 100%, saya cukup yakin jumlah kejahatan akan menurun drastis. Tetapi kalau probabilitas ditangkap hanya 10% dan dijatuhi hukuman mati hanya 10% yang artinya hanya ada kemungkinan 1% ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, kemungkinan besar sanksi itu tidak akan ada dampaknya.

    Aspek utama dari penegakan hukum tentunya adalah biaya penegakan hukum. Biaya ini bukan cuma sekedar biaya menggaji polisi, hakim, dan jaksa. Ada biaya yang bisa muncul karena penyalahgunaan wewenang oleh aparat hukum, ketidakmengertian aparat terhadap hukum yang berlaku, penjatuhan hukuman kepada pihak yang salah, penjatuhan sanksi yang tidak tepat, dan masih banyak lagi. Intinya, sistem pidana tidak mungkin sempurna sementara sumber daya kita terbatas.

    Dengan kondisi seperti itu, diperlukan prioritas dalam melakukan penegakan hukum. Salah satu cara untuk menentukan prioritas yang tepat tentunya adalah menentukan tindak pidana mana yang paling penting untuk dikurangi keberadaannya. Semakin besar kebutuhan untuk mengurangi atau menghilangkan tindak pidana itu, maka semakin banyak sumber daya yang perlu dikerahkan untuk penanggulangan tindakan tersebut.

    Pertanyaan lanjutannya, apa itu tindak pidana? Secara hukum, jawabannya mudah: segala macam tindakan yang dirumuskan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku. Jawaban ini tentunya tidak memuaskan. Dari sudut pandang ekonomi, secara umum tindak pidana dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menimbulkan kerugian pribadi atau sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tidak semua tindakan merugikan perlu dipidanakan karena tindakan merugikan juga sangat banyak macamnya.

    Tindakan yang merugikan kepentingan banyak orang dan menguntungkan segelintir orang saja merupakan jenis tindakan yang paling mudah untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Contohnya korupsi dan perusakan lingkungan hidup. Semakin sedikit pihak yang terlibat dan semakin tidak jelas objek kerugian, maka semakin rendah juga prioritas kita untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui ranah pidana.

    Kasus pencurian misalnya. Objeknya jelas, ada barang yang dicuri. Kerugiannya pun jelas. Kita juga tidak mungkin membiarkan sebuah masyarakat dimana pencurian dapat dibiarkan berjalan bebas bahkan seandainya kenikmatan yang didapat oleh si pencuri lebih besar dari korban pencurian. Bayangkan suatu masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap sesama anggota masyarakat dan juga menghabiskan biaya secara berlebihan untuk melindungi asetnya karena pencurian disahkan.

    Bagaimana dengan penghinaan? Masalah dengan penghinaan adalah karena penghinaan menggabungkan unsur subjektif dan objektif. Kata "anjing" bisa dianggap sebagai penghinaan luar biasa bagi orang tertentu, tetapi bisa dianggap sebagai bentuk keakraban antar teman dekat. Kerugian yang ditimbulkan karena kekesalan akibat dihina sebagai anjing juga sulit diukur. Apakah saya akan merasa merugi Rp10.000 atau Rp100.000.000 karena penghinaan tersebut?

    Di sisi lain, penghinaan atau fitnah bisa jadi berakibat buruk secara riil. Misalnya seperti dalam kasus Ristorante G di atas. Katakanlah, Ristorante G memang kehilangan pelanggan dan Gunawan merugi besar-besaran gara-gara ulasan Fransiska. Kerugiannya jelas bisa dihitung, lalu apakah Gunawan kemudian sebaiknya memidanakan Fransiska?

    Ini mengapa menurut saya pendekatan delik penghinaan sebagai delik aduan (seperti misalnya usulan untuk mengubah delik penghinaan di UU ITE menjadi delik aduan) tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Selama masih ada unsur subjektif dalam penghinaan, maka kemungkinan dibawanya kasus yang remeh temeh ke pengadilan akan tetap ada bahkan sekalipun delik penghinaan adalah murni delik aduan.

    Dan tidak mengherankan apabila ada yang akan menggunakan sarana pidana penghinaan ini untuk menyingkirkan lawannya atau menakut-nakuti kritik. Bagi "korban", biaya kasus penghinaan sebenarnya murah bahkan dalam masyarakat yang tidak suka dengan tukang adu. Kalau si "korban" tidak terlalu peduli reputasinya, satu-satunya biaya yang perlu ia pertimbangkan adalah biaya untuk pergi ke kantor polisi dan melaporkan pelaku penghinaan. Setelahnya, ia tidak perlu lagi terlibat dalam proses pidana karena sudah diserahkan kepada negara. Apabila ini merupakan delik aduan, maka "korban" juga memiliki posisi tawar yang lebih kuat untuk menerima kompensasi dari pelaku karena nasib pelaku sedikit banyak berada di tangan "korban" yang akan menentukan apakah pengaduannya akan dicabut atau tidak. Apabila ini delik laporan, sifatnya bahkan lebih ganas lagi, karena "korban" tinggal berlepas tangan dan menyerahkan kepada negara untuk menyidik dan mengadili si pelaku.

    Masalahnya, yang membiayai negara untuk mengurus kasus ini adalah kita semua. Si "korban" pun juga mungkin membayar pajak, tetapi berapa besar sumbangannya dibandingkan dengan semua orang lain? Boleh dikata, ia menggunakan sarana negara dengan mengorbankan hak orang lain untuk memidanakan orang dengan alasan yang bisa jadi sebenarnya tidak penting dan tidak membawa kemaslahatan kepada masyarakat banyak. Belum lagi kalau kemudian sumber daya yang digunakan untuk mengurus kasus penghinaan itu sebenarnya bisa dipakai untuk menangani kasus lain yang memiliki prioritas lebih tinggi.

    Oleh karenanya, usulan awal saya, secara umum, kasus penghinaan seharusnya tidak bisa otomatis dibawah ke ranah pidana, melainkan harus diselesaikan terlebih dahulu di ranah perdata. Apabila kasus ini dibawa ke ranah perdata, maka "korban" harus dapat membuktikan adanya kerugian yang nyata sebagai akibat dari penghinaan yang ia alami. "Korban" yang rasional hanya akan pergi ke pengadilan apabila probabilitas kemenangannya dikalikan dengan jumlah ganti rugi yang akan ia terima dari pelaku penghinaan lebih besar dari total biaya yang akan ia keluarkan. Silakan baca makalah saya di sini untuk melihat model ekonomi pelaku litigasi.

    Dengan model di atas, kemungkinan besar kita tidak akan melihat kasus macam Amir dan Budi atau Dodi dan Emir masuk ke ranah pengadilan karena biaya perkaranya hampir pasti akan jauh lebih besar dibandingkan dengan potensi ganti rugi yang akan didapat oleh "korban". Adapun untuk kasus Fransiska dan Gunawan, bisa jadi perkaranya akan masuk ke pengadilan bergantung pada besaran ganti rugi yang bisa diterima oleh Gunawan dan kemampuan Fransiska untuk membayar ganti rugi tersebut.

    Lalu kapan penghinaan masuk ke ranah pidana? Ada kemungkinan memang ketika ranah perdata tidak cukup efisien untuk menyelesaikan kasus penghinaan. Misalnya dalam kasus dimana pelaku memiliki sumber daya atau jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan korban. Contoh kasus fitnah terhadap Jokowi pada saat menjadi calon presiden bisa menjadi contoh yang baik. Membawa kasus ini ke ranah perdata bisa jadi menyulitkan karena pelakunya terlalu banyak dan membuktikan unsur kerugian yang dialami dari tiap pelaku fitnah secara satu  persatu juga tidak mudah, karena yang akan membuktikan adalah Jokowi sendiri dan bukan negara. Itu pun saya masih berpendapat sifat deliknya seharusnya aduan dan hanya bisa dilakukan oleh korban. Kasus seperti tukang sate seharusnya tidak perlu terjadi andai delik dalam UU ITE bersifat delik aduan dan bukan delik laporan.

    Bagaimana merumuskan konsep di atas ke dalam peraturan perundang-undangan? Perlu kajian lebih lanjut yang tidak cukup untuk dimuat dalam satu artikel blog, tetapi secara garis besar, saya akan mengusulkan bahwa semua delik penghinaan harus menjadi delik aduan dan, kecuali dalam kondisi khusus, pengaduan hanya bisa diajukan hanya apabila pelapor bisa membuktikan bahwa kasus ini tidak dapat diselesaikan secara perdata atau penyelesaian secara perdata di pengadilan akan membebani pelapor. Bagaimana membuktikan kesulitan pelapor? Bisa jadi kita serahkan kepada diskresi polisi atau jaksa, atau harus dibawa ke muka sidang dan ditentukan oleh hakim. Bisa jadi juga UU menyatakan bahwa penghinaan hanya bisa dibawa ke ranah pidana dalam hal ada kerugian objektif yang melewati batasan nilai tertentu.

    Sebagaimana saya sampaikan di atas, ide di atas perlu dielaborasi dengan penelitian lebih lanjut. Dan seharusnya para akademisi di Indonesia lebih gencar untuk menekuni isu ini karena isu penghinaan berhubungan erat dengan kebebasan berpendapat. Pasal penghinaan yang terlalu pro kepada "korban" rentan disalahgunakan karena memberikan insentif kepada "korban" untuk melaporkan siapapun yang mereka anggap telah menghina mereka, terlepas apakah penghinaannya sendiri substantif atau merugikan.   

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.