THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Frekuensi Sebagai Barang Publik? (Bagian 2)


    Sehubungan dengan artikel saya sebelumnya mengenai konsep frekuensi sebagai barang publik, saya menerima beberapa tanggapan. Pertama dalam bentuk video sebagai berikut. Kedua, tanggapan bahwa karena kita merupakan pembayar pajak, maka kita berhak untuk mendapatkan tayangan bermutu tanpa harus membayar lagi (misalnya tayangan untuk anak-anak). Berikut adalah tanggapan dan elaborasi lebih lanjut mengenai ide frekuensi sebagai barang publik.

    Kesan pertama yang saya tangkap dari penyusun dokumenter tersebut ketika saya menonton video di atas adalah betapa terpenjaranya kita karena frekuensi yang seharusnya digunakan untuk kepentingan terbaik masyarakat ternyata didominasi penggunaannya oleh segelintir konglomerasi dengan menyuguhkan acara yang tidak bermutu. Kesan berikutnya, frekuensi dianggap sebagai sumber daya alam yang seharusnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konstitusi (setidaknya itu pesan penutup dari video dokumenter tersebut). Pesannya dibungkus dengan baik, tetapi bagi saya tidak meyakinkan.

    Video dokumen tersebut tidak menjelaskan dengan baik sejauh mana peranan negara diharapkan dalam "menguasai" frekuensi. Apakah sekedar terkait alokasi frekuensi dan perijinan? Atau kah harus sampai mengatur isi program yang boleh disiarkan, termasuk menentukan mana program yang berkualitas? Mari kita mulai terlebih dahulu dengan definisi program yang berkualitas.

    Apa definisi program siaran yang berkualitas? Program yang  mendidik? Program yang menghibur? Program yang membuat kita semua menjadi manusia terpelajar, tercerahkan dan baik budi? Visi misinya baik, kalau televisi bisa digunakan untuk menciptakan manusia-manusia paripurna ini, mungkin kita tidak butuh sekolah dan universitas lagi. Semua orang cukup menonton televisi saja.

    Sebagaimana bisa anda lihat, standar acara bermutu itu mau tidak mau akan selalu memasukkan unsur subjektif dari para pemirsanya. Bahkan kalau pun kita bisa menentukan definisi acara bermutu secara objektif, memangnya semua orang pasti hanya mau menonton acara-acara bermutu?

    Sebagai contoh, saya menikmati video-video kuliah online dari University of Chicago of Law School yang menurut saya tidak akan bisa ditandingi dengan kualitas pengajaran hukum di Indonesia saat ini atau mungkin sampai belasan tahun kemudian kalau kita tidak serius meningkatkan kualitas pendidikan hukum kita. Untuk bisa mendengarkan secara langsung di kampus, mahasiswa harus membayar biaya kuliah sekitar 600 juta Rupiah setahun. Bermutu, saya jamin. Dan kalau saya bisa memaksa semua mahasiswa fakultas hukum di Indonesia untuk menonton kuliah-kuliah ini, mungkin akan saya lakukan, minimal sebagai tugas kuliah. Tetapi di youtube, jumlah penonton video bermutu ini tak pernah mencapai angka 100. Bandingkan dengan video tentang kucing main piano dan bayi yang sedang tertawa, jutaan yang menontonnya. Video yang paling banyak ditonton di dunia saja saat ini adalah sebuah video lagu konyol yang nyatanya memang menghibur, Gangnam Style.

    Ada yang suka menonton film dokumenter alam dan margasatwa? Selamat untuk anda, karena saya tidak tertarik sama sekali. American Top Model dan Master Chef jelas lebih menyenangkan untuk ditonton. Atau ada yang suka dengan film drama penuh makna kehidupan? Boleh saja, tetapi kalau saya disuruh memilih, saya lebih suka menonton The Raid dan The Raid 2 berkali-kali dibandingkan dengan menonton film drama macam The Butler atau Lincoln (saya bahkan langsung tertidur ketika film Lincoln baru saja dimulai).

    Sampai di sini, mungkin akan ada yang bertanya, semua acara di atas kan tidak menggunakan frekuensi publik, tetapi menggunakan internet, televisi berbayar, bioskop dan sebagainya? Salah besar! Internet tidak hanya disediakan melalui kabel serat optik, tetapi juga dapat disediakan melalui frekuensi. Memangnya anda pikir industri telekomunikasi tidak menggunakan alokasi spektrum frekuensi yang terbatas? Alokasi frekuensi untuk jaringan telekomunikasi selalu diperebutkan antar penyedia jasa telekomunikasi dengan harga mahal justru karena mereka terbatas.

    Apakah pendukung frekuensi sebagai barang publik akan berargumen karena internet menggunakan frekuensi dan frekuensi adalah barang publik, maka konten internet juga harus diatur sehingga isinya harus bermutu semua? Kalau benar, saya mau minta semua video kucing dan bayi-bayi itu dilarang tayang di youtube oleh pemerintah karena sama sekali tidak bermutu sehingga orang bisa fokus hanya menonton video edukasi tanpa gangguan.

    Hal lain yang ingin saya sampaikan dari contoh-contoh program di atas adalah: selalu ada ALTERNATIF. Sengaja saya tulis dalam huruf besar semua agar anda paham bahwa dunia tidak runtuh dan semua orang jadi bodoh ketika sebuah televisi menyiarkan acara perkawinan selebritis berjam-jam di televisi. Mengapa? karena ada ALTERNATIF acara lainnya untuk ditonton dan aktivitas lainnya untuk dilakukan. Berapa banyak orang yang protes terhadap acara perkawinan yang tidak bermutu tersebut dan kemudian berjam-jam menonton acaranya sampai selesai? Saya belum melakukan survei, tetapi saya cukup yakin, mereka-mereka yang tidak suka dengan acara tersebut tidak menonton acara itu. Mengapa? Karena anda-anda semua punya ALTERNATIF kegiatan dan acara lainnya! Bayangkan, 3 kali saya mengulang kata tersebut supaya masuk ke alam bawah sadar anda.   

    Faktor adanya alternatif kegiatan ini sangat penting untuk dipahami karena selama ada alternatif tersebut, ide bahwa konten televisi harus diatur negara secara ketat dan menyeluruh itu sebenarnya tidak masuk akal. Dan saya berbicara seperti ini bukan karena saya sudah berlangganan televisi berbayar. Faktanya saya bahkan tidak sempat menonton televisi. Saya lebih banyak mencari berita dan hiburan dari internet dan saya juga menghabiskan banyak waktu untuk bekerja, menulis dan membaca buku dan jurnal. Televisi pada dasarnya hanyalah salah satu media di antara sekian banyak media di muka bumi ini.

    Dan ini membawa kita ke pertanyaan berikutnya, sebenarnya yang diributkan itu soal konten atau soal karena frekuensi dikuasai oleh hanya beberapa konglomerasi dan ada lembaga-lembaga seperti lembaga penyiaran komunitas yang kesulitan untuk mendapatkan jatah? Mari kita kembali ke Pasal 33 Konstitusi, sumber daya alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.

    Apa arti pasal itu ketika kita membahas mengenai frekuensi? Apakah maksudnya pemerintah mengatur bagaimana frekuensi digunakan (termasuk konten acara televisi dan konten isi internet)? Atau mengatur alokasi frekuensi sehingga frekuensi bisa dijatah secara efisien dan tidak terjadi interferensi yang memang membahayakan? Yang terakhir ini sudah dijalankan di Indonesia dan memang demikian pula prakteknya di negara-negara maju.

    Anda pikir frekuensi itu diperoleh dengan gratis? Ketika pemerintah Inggris dan Amerika melelang alokasi frekuensi mereka kepada pihak swasta, mereka mendapatkan harga yang sangat amat mahal, sedemikian mahalnya sehingga beberapa perusahaan hampir bangkrut untuk bisa memperoleh alokasi frekuensi tersebut. 

    Di Indonesia pun setiap pihak tidak dapat menggunakan alokasi frekuensi kalau mereka tidak membayar BHP frekuensi yang wajib dibayarkan setiap tahun. Untuk industri penyiaran, ada juga BHP kegiatan penyiaran. Keduanya dikategorikan sebagai pendapatan negara bukan pajak. Jadi seperti anda lihat, negara sudah "memanfaatkan" frekuensi, mereka mendapatkan uang yang tidak sedikit dari alokasi frekuensi tersebut. Bahwa apakah kemudian uangnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, saya tidak tahu pastinya, tapi bagi para pendukung ide frekuensi sebagai barang publik yang ingin pemerintah turun tangan secara mendalam, seharusnya anda-anda semua percaya dana hasil alokasi frekuensi itu sudah dikelola dengan penuh amanah bukan?  Karena kalau untuk mengelola dananya saja tidak bisa dipercaya, apalagi disuruh mengatur konten.

    Pun kalau kita percaya bahwa pemerintah seharusnya mengatur konten siaran televisi. Bentuknya seperti apa? Memeriksa setiap program dan menggunakan standar yang sangat ketat? Bayangkan berapa besarnya biaya pengawasan tersebut dan entah sebesar apa manfaatnya bagi kita semua, khususnya ketika kita sedang berbicara mengenai selera para pemirsa.

    Itu sebabnya sistem pengawasannya lebih mudah dilakukan dengan lebih banyak menggunakan aturan "negatif", yaitu pedoman penyiaran tidak mengatur siaran macam apa yang wajib disiarkan, tetapi lebih ke siaran seperti apa yang sebaiknya tidak disiarkan. Dan penegakan terhadap sistem seperti ini dilakukan setelah acara disiarkan bukan sebelum acara disiarkan. Coba bayangkan kalau semua program yang akan ditayangkan wajib diperiksa pemerintah dulu, apa bedanya dengan sensor? Dan siapa yang bisa menjamin bahwa standar mutu acara pemerintah akan sama dengan standar mutu kita? Dan "kita" itu siapa? Standar anda? Standar saya? Standar teman-teman dan keluarga anda yang trendi, terpelajar, berbudaya dan keren?   

    Argumen frekuensi sebagai sumber daya alam terbatas juga semakin lemah, khususnya dengan teknologi digital. Saya sudah sempat membahas ini sebelumnya dan menurut saya penting sekali untuk diperhatikan karena dengan sistem digital ini sebenarnya ada kesempatan yang sangat besar bagi semua pihak untuk melakukan penataan ulang terhadap kanal frekuensi. Dengan puluhan kanal frekuensi yang dapat digunakan di satu wilayah, berapa banyak pemain baru yang bisa masuk, termasuk yang sebelumnya mungkin terlantar?

    Jadi apakah ini masih soal konten dan kemanfaatan publik? Atau pendukung frekuensi sebagai barang publik ingin menyampaikan dengan halus: mohon berikan subsidi kepada lembaga-lembaga yang tidak punya uang agar bisa mendirikan lembaga penyiaran juga? Karena jujur saja, dengan sistem digital ini, bagaimana caranya orang masih bisa beragumen mengenai konsentrasi kepemilikan? Satu alokasi frekuensi sudah cukup untuk satu televisi.

    Dari sudut pandang ekonomi, memiliki terlalu banyak televisi justru kontraproduktif. Untuk apa memiliki terlalu banyak televisi kalau pemirsanya sama? Sama saja memakan sendiri bisnis dari grup perusahaannya. Kecuali apabila setiap televisi memiliki segmen yang sangat unik dan berdiri sendiri. Apakah masyarakat kita sudah sedemikian tersegmentasi? Dan dengan sistem digital, mustahil satu konglomerasi akan mencoba untuk memiliki puluhan alokasi frekuensi itu sendirian. Selain dilarang secara hukum, insentif ekonominya juga kecil.

    Ketika alokasi frekuensinya sudah ada, maka isu utama bagi lembaga yang lebih kecil semacam lembaga penyiaran komunitas adalah soal dana karena investasi di bidang penyiaran jelas tidak murah. Mungkin sekarang saatnya orang tidak lagi meributkan konten di televisi tidak berbayar, tetapi mulai mencari investor atau mungkin melobi pemerintah untuk mendapatkan subsidi (yang ngomong-ngomong, dibayar dari pajak anda dan saya) sehingga bisa mendirikan stasiun televisi dengan visi misi yang agung: mendidik dan mencerdaskan bangsa. 

    Dan karena kita mulai bicara pajak, mari kita beranjak ke isu berikutnya, yaitu soal apakah karena kita sudah membayar pajak, maka kita berhak mengatur isi program yang kita inginkan dalam televisi tak berbayar? Agak aneh memang argumen ini. Kita tidak membayar sepeser pun kepada televisi tak berbayar, pemilik televisi tak berbayar menyumbang pendapatan negara bukan pajak kepada pemerintah, tetapi kita ingin memiliki hak untuk mendapatkan program yang kita mau dalam televisi tak berbayar. Ini dasarnya apa ya?

    Seandainya televisi tak berbayar menerima alokasi frekuensi secara gratis dari pemerintah, saya 100% paham dan setuju dengan gerakan frekuensi sebagai barang publik. Karena itu artinya kita yang mensubsidi perusahaan-perusahaan tersebut, tapi nyatanya kan tidak? Jadi? Apa dasarnya? Karena harus digunakan untuk kemakmuran rakyat? Mungkin anda salah alamat, pertanyaan itu lebih baik diajukan kepada pemerintah, dana hasil BHP Frekuensi dan BHP Penyiaran sudah digunakan untuk kemakmuran rakyat belum? 

    Argumen yang sama juga bisa diajukan kepada televisi berbayar dan penyedia internet melalui jaringan frekuensi. Kalau seandainya mereka menggunakan frekuensi sebagai medium dari jasa mereka, maka harusnya mereka tidak boleh menuntut bayaran dari kita. Kan kita sudah bayar pajak? Semua konten mereka harusnya gratis karena mereka menggunakan frekuensi yang kita biayai dengan darah dan keringat kita! Paham kan mengapa ide ini begitu absurd?

    Jadi setelah pembahasan panjang lebar ini, apa kesimpulannya? Pertama, kalaupun kita sepakat frekuensi adalah barang publik, tidak ada justifikasi bagi pemerintah untuk mengambil posisi sebagai pengatur konten yang ketat, kita tidak butuh lembaga sensor baru. Kalau anda mau kritis, kritisi pengelolaan dana BHP Frekuensi dan BHP Penyiaran oleh pemerintah. Kedua, sistem digital membuka peluang bisnis yang baru dan mematahkan konsep frekuensi sebagai sumber daya alam terbatas, carilah investor untuk membiayai visi televisi yang anda idam-idamkan dan kalau bisa, usahakan jangan minta subsidi. Ketiga, fakta anda sudah membayar pajak tidak berarti anda bisa meminta konten siaran sesuai kemauan anda. Jasa yang kita bayar saja kadang susah kita atur, apalagi barang gratisan. Terakhir, televisi hanyalah salah satu media untuk mencari informasi dan hiburan. Alternatif lainnya begitu banyak. Sekarang coba anda berhenti lihat monitor komputer dan telepon anda, berdiri, hirup udara segar, dan berjalan keluar. Di luar sana masih ada banyak aktivitas menyenangkan. Selamat beraktivitas dan salam dari Chicago!

  • Frekuensi Sebagai Barang Publik? (Bagian 1)


    Ide bahwa frekuensi merupakan barang publik dan oleh karenanya tidak boleh dikuasai segelintir orang atau disalahgunakan sudah sering diulang di berbagai media. Saya bahkan sempat menemukan pendukung ide ini yang menyatakan bahwa seharusnya penggunaan frekuensi untuk keperluan siaran televisi perlu dikontrol oleh pemerintah secara mendalam, termasuk acara-acara yang akan disiarkan supaya mutu acara bisa menjadi lebih baik. Biasanya isu ini ramai kembali dibicarakan ketika publik menemukan acara televisi yang wajar untuk dikritik, misalnya sinetron yang tidak bermutu dan acara talkshow yang tidak mendidik atau menghina orang banyak. Isu terbaru? Tentu saja soal televisi yang seharian menayangkan acara perkawinan seorang selebriti Indonesia.

    Bagi saya pribadi, tidak mengherankan kalau keberadaan acara di atas dikecam. Memangnya tidak ada acara lain yang lebih baik untuk ditonton? Untuk apa pernikahan selebritis Indonesia ditayangkan berjam-jam? Apa hebatnya selebritis tersebut dibandingkan dengan misalnya pernikahan keluarga kerajaan di Inggris (mulai jaman Pangeran Charles sampai jaman Pangeran William?) Atau mungkin akan lebih menarik kalau misalnya selebritis itu diganti dengann David dan Victoria Beckham?

    Sebagaimana bisa anda lihat, ini lebih ke masalah selera. Saya tidak berminat dengan selebritis Indonesia apalagi menonton mereka di televisi Indonesia, tetapi apakah kemudian semua orang lain setuju dengan selera saya tersebut? Apakah kemudian karena frekuensi merupakan barang publik, maka saya punya hak untuk menentukan acara apa yang boleh ditayangkan di televisi? Kalau acara itu bermutu menurut standar saya, maka barulah acara itu pantas ditayangkan dan negara akan memastikan bahwa hanya acara-acara seperti itu saja yang layak untuk ditayangkan? Inilah isu pertama yang harus dijawab oleh semua orang yang sibuk mengklaim bahwa frekuensi merupakan barang publik (beserta dengan segala konsekuensinya).    

    Selanjutnya, saya juga sering membaca atau mendengar klaim bahwa televisi di Indonesia terlalu komersial, terlalu menghamba pada iklan, sehingga memberikan kontribusi buruk kepada kualitas acara mereka. Kalau ini benar, dan saya yakin stasiun televisi lebih sering melakukan survei terhadap minat para pemirsa dibandingkan dengan saya, kemungkinan besar hal tersebut dikarenakan mayoritas penonton acara televisi, khususnya televisi tak berbayar (free-to-air tv), menyukai acara-acara yang tak bermutu itu. Logikanya, kalau tidak banyak yang menonton, untuk apa pengusaha berlomba-lomba membeli slot iklan yang mahal di saat acara-acara tersebut berlangsung?

    Kita juga perlu memperhatikan model bisnis dari televisi tak berbayar, televisi ini gratis bagi pemirsanya tetapi selaku pemegang ijin penyiaran, mereka wajib membayar biaya hak penggunaan frekuensi kepada Pemerintah. Siaran seperti apa yang anda harapkan dari perusahaan yang tidak menuntut bayaran dari anda? Kemudian sejauh mana kita ingin Pemerintah "mengelola" frekuensi?

    Bagi saya, terdengar menyeramkan ketika ada orang yang menginginkan Pemerintah bertindak sebagai "pengelola" frekuensi. Hal itu sama saja dengan membuka peluang Pemerintah untuk kembali menjadi tukang sensor. Lebih ironis lagi, sebenarnya Pemerintah juga sudah punya stasiun televisi yang mungkin menyiarkan program-program yang masih bisa masuk kategori "bermutu". Kalau anda tidak tahu, namanya adalah Televisi Republik Indonesia (TVRI). Mengapa anda bisa tidak tahu? Mungkin karena tidak ada lagi orang yang menonton TVRI mengingat pangsa pasarnya bahkan tak sampai 1% dari jumlah penonton di Indonesia!

    Keberadaan TVRI dan posisinya yang sangat tak berarti itu sebenarnya membantah habis semua ide soal perlunya frekuensi "dikelola" oleh Pemerintah secara keseluruhan. Faktanya, pengelolaan itu sudah dijalankan melalui TVRI dan tidak laku. Salah siapakah ini? Apakah karena TVRI tidak laku walaupun katakanlah acaranya sungguh bermutu dan tiada tanding di dunia ini maka semua stasiun TV lain harus menutup usahanya dan menyerahkan pemirsa mereka kepada TVRI karena acara mereka tidak bermutu? Kalau iya, Indonesia tidak layak lagi menyebut dirinya sebagai negara demokrasi. Mungkin kita bisa jadi kandidat terbaru untuk menggantikan Rusia atau Cina, atau mungkin juga Korea Utara.

    Saya memahami bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam yang terbatas, dalam artian bahwa slot frekuensi yang bisa digunakan untuk penyiaran bersifat terbatas. Dengan sistem analog, maksimum slot siaran adalah sekitar 8-9. Khusus di Jakarta, seingat saya mencapai 12. Dalam sistem demikian, mungkin orang khawatir bahwa penguasaan televisi di tangan segelintir orang akan berbahaya. Tapi apakah ini benar?

    Dengan berubahnya sistem televisi dari analog menjadi digital, jumlah slot siaran bertambah berkali-kali lipat, dimana di satu wilayah siaran, slot-nya bisa diisi puluhan siaran televisi. Ini contoh bagaimana perkembangan teknologi mematahkan konsep sumber daya alam yang terbatas sekaligus memperkecil kemungkinan dikuasainya frekuensi oleh segelintir orang saja. Perubahan ini juga membuka kembali penataan ulang atas penjatahan frekuensi dan saya memahami bahwa hal tersebut sudah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

    Dengan adanya penataan ulang tersebut dan juga dibukanya pintu bagi para pemain baru, fungsi Pemerintah seharusnya lebih ke menjaga aturan permainan yang sehat antar kompetitor (misalnya jangan sampai ada halangan yang berat untuk masuk ke dalam pasar televisi tak berbayar), bukan memaksakan acara seperti apa yang wajib ditayangkan di televisi. Toh fungsi tersebut juga sudah ditangani oleh Komisi Penyiaran Indonesia yang bersifat independen (karena kita sudah punya banyak pengalaman buruk ketika Pemerintah masih menguasai penyiaran di Indonesia). Institusinya sudah ada, jadi mau tambahan seperti apa lagi?

    Terakhir, kalau memang tidak suka dengan acara televisi anda, ada alternatif lain yang mungkin jauh lebih mudah dan murah untuk anda lakukan, tonton TVRI (dan jangan lupa promosikan TVRI kepada sanak saudara dan teman-teman anda supaya lebih banyak lagi orang yang menonton TVRI) atau berlangganan televisi berbayar, yang dapat kita asumsikan akan menawarkan lebih banyak program yang menarik untuk ditonton karena sifatnya yang berbayar tersebut. Lupakanlah tendensi untuk ingin mengatur segalanya atau ingin menyerahkan semuanya kepada Pemerintah. Selain kontraproduktif, apa juga jaminannya bahwa Pemerintah akan menjadi penyedia acara yang baik bagi kita semua?             

  • Sekali Lagi soal Penolakan Perpu yang Mencabut Undang-Undang (Tanggapan kepada Mahfud MD)


    Minggu lalu, saya sempat mengkritik pendapat Moh. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Konstitusi, mengenai akibat hukum ditolaknya suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") yang sebelumnya mencabut keberlakuan suatu Undang-Undang ("UU"). Ternyata cukup banyak yang melontarkan kritik yang serupa sehingga akhirnya Prof. Mahfud mencoba mengelaborasi pendapatnya tersebut melalui artikel di Koran Sindo.  

    Elaborasi yang ditawarkan oleh Prof. Mahfud menurut saya tidak tepat dan justru semakin menambah kerumitan yang tidak perlu. Pertama-tama, dia berargumen bahwa UU yang dicabut oleh Perpu tidak otomatis berlaku kembali apabila Perpu ditolak oleh DPR, karena Perpu tersebut bukannya tidak sah, melainkan ditolak untuk menjadi UU. Prof. Mahfud juga menambahkan bahwa pandangan UU yang dicabut oleh Perpu akan otomatis berlaku kembali apabila Perpu ditolak ini mungkin hanya akan benar dalam bidang hukum perdata, tetapi kurang tepat apabila diberlakukan untuk hukum tata negara.

    Pertanyaannya adalah, apa perbedaan mendasar antara Perpu yang dianggap tidak sah dengan Perpu yang ditolak oleh DPR? Bukankah artinya sama saja? Apabila Perpu ditolak oleh DPR, maka secara logika hukum, Perpu tersebut menjadi tidak memiliki kekuatan hukum secara keseluruhan, termasuk ketentuan dalam Perpu tersebut yang mencabut UU yang lama. Kita memahami dalam ilmu perundang-undangan bahwa suatu UU hanya bisa dicabut oleh UU atau peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan setara dengan UU (dalam hal ini, Perpu yang syarat penerbitannya terbatas). Apabila UU yang mencabut suatu UU dinyatakan tidak berlaku, mengapa kemudian UU yang sebelumnya dicabut itu menjadi hilang begitu saja?    

    Kemudian teori hukum mana yang menyatakan bahwa konsep pembatalan ini hanya berlaku untuk hukum perdata tetapi tidak untuk hukum tata negara? Saya khawatir bahwa Prof. Mahfud sendiri yang sebenarnya sedang mencampuradukkan konsep hukum perdata dengan hukum tata negara. Apa arti suatu pembatalan atas perjanjian dalam hukum perdata? Apakah perjanjian yang dapat dibatalkan sama artinya dengan batal demi hukum? Menurut saya sama saja dampak hukumnya. Apabila suatu perjanjian "dibatalkan" maka perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, dan para pihak dikembalikan kepada status semula sepanjang memang memungkinkan secara aktual.

    Kemungkinan lainnya adalah perjanjian diakhiri (bukan dibatalkan), dalam hal ini, pengakhiran perjanjian tidak serta merta menyebabkan para pihak dikembalikan ke keadaan semula. Bisa jadi para pihak masih harus menyelesaikan beberapa kewajiban yang masih terhutang sebelum perjanjian diakhiri. Yang pasti, kewajiban para pihak yang baru akan muncul setelah perjanjian diakhiri menjadi tidak ada lagi, jadi sifatnya adalah berlaku ke depan.

    Yang saya tangkap dari Prof. Mahfud, suatu Perpu yang ditolak seakan-akan berarti bahwa Perpu tersebut diakhiri, bukan dibatalkan, sehingga akibatnya hanya akan ke depan saja, dan UU yang dicabut oleh Perpu tetap tidak berlaku sekalipun Perpu yang mencabutnya sudah tidak berlaku lagi. Entah ini memang pendapat serius atau pendapat yang dikeluarkan karena sudah terlanjur menyatakan di Twitter bahwa akan terjadi kekosongan hukum apabila Perpu ditolak.

    Prof. Mahfud juga kurang teliti karena sebenarnya solusi untuk permasalahan ini sudah diatur dengan jelas dalam Pasal 52 Ayat (5), (6), (7) dan (8) dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ("UU 12/2011"). Pasal 52 Ayat (5) UU 12/2011 menyatakan apabila Perpu tidak disetujui oleh DPR dalam rapat paripurna, maka Perpu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya Pasal 52 Ayat (6) dan (8) UU 12/2011 menyatakan bahwa karena Perpu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, maka diperlukan RUU pencabutan terhadap Perpu yang selanjutnya akan disahkan dalam rapat paripurna yang sama (saya berasumsi ini karena penyusun UU mencoba taat asas dengan teori bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya bisa dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang setara levelnya).

    Terakhir berdasarkan Pasal 52 Ayat (7) UU 12/2011, RUU di atas akan mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perpu yang dimaksud. Artinya, tidak mungkin akan ada kekosongan hukum sebagaimana dilansir oleh Prof. Mahfud. Apabila ada keragu-raguan, maka UU yang mencabut Perpu dapat mengatur bagaimana nantinya akibat hukum dari dicabutnya Perpu tersebut dan sah-sah saja tentunya apabila kemudian UU ini menyatakan bahwa UU yang sebelumnya dicabut oleh Perpu akan berlaku kembali. Teori hukum mana yang menyatakan hal ini tidak dimungkinkan? 

    Bahkan seandainya pun ternyata DPR diam saja dan UU yang mencabut Perpu tersebut hanya menyatakan bahwa Perpu tidak lagi berlaku secara hukum, maka tidak akan ada kekosongan hukum karena dengan dicabutnya Perpu, dasar hukum pencabutan dari UU oleh Perpu tersebut juga menjadi tidak ada (ingat, Perpu dinyatakan tidak berlaku, dan tidak berlaku artinya tidak memiliki kekuatan hukum), dan dengan demikian, UU yang dicabut oleh Perpu akan berlaku kembali secara otomatis. Hal ini tidak membutuhkan putusan pengadilan. Pendapat Prof. Mahfud bahwa kasus uji materil atas UU Ketenagalistrikan tidak dapat digunakan untuk menjawab permasalahan penolakan Perpu ini juga menurut saya tidak ada dasarnya. Secara analogis, isunya sangat mirip dan prinsip hukumnya sama.

    Kalau kita mau serius, sebenarnya ada isu yang seharusnya jauh lebih genting bagi para ahli hukum tata negara kita yang sangat cemerlang dan cendekia, yaitu mengenai penafsiran atas Pasal 71 Ayat (3) dari UU 12/2011. Pasal ini mengatur bahwa RUU yang mencabut keberlakuan Perpu harus disetujui secara bersamaan dalam rapat paripurna DPR yang menyatakan bahwa Perpu tidak disetujui oleh DPR. Isunya adalah, kalimat dalam Pasal tersebut tidak menjelaskan apakah RUU tersebut hanya perlu disetujui oleh anggota DPR atau harus disetujui secara bersama oleh DPR dan Presiden (karena Presiden seharusnya juga hadir dalam rapat tersebut dan juga berhak mengajukan RUU pencabutan Perpu).

    Untuk pembahasan UU biasa, rapat paripurna pada prinsipnya dihadiri oleh wakil Pemerintah dan DPR dan UU tersebut perlu disetujui bersama oleh mereka. Pasal 71 Ayat (2) menyatakan bahwa pembahasan RUU yang mencabut Perpu dilakukan secara berbeda dengan proses RUU biasa, tetapi sebagaimana saya sampaikan di atas, tidak jelas persetujuan siapa yang dibutuhkan.

    Secara teoretis, dari sudut pandang mekanisme check and balance, seharusnya persetujuan Presiden tidak dibutuhkan bagi RUU yang akan mencabut Perpu. Mengapa demikian? Karena apabila persetujuan Presiden dibutuhkan maka Presiden akan memiliki kekuatan tak terbatas untuk menciptakan peraturan setingkat UU semaunya sendiri. Presiden akan memiliki kewenangan untuk menyusun Perpu setiap saat dan apabila DPR tidak menyetujui hal tersebut, maka Presiden hanya tinggal menolak RUU atas pencabutan Perpu sehingga Perpu akan terus berlaku (mengingat UU 12/2011 mensyaratkan bahwa Perpu hanya bisa dicabut oleh UU).

    Mungkin akan ada yang berargumen bahwa persetujuan Presiden tetap dibutuhkan atas RUU yang mencabut Perpu karena dengan demikian, DPR bisa menentukan sendiri isi dari RUU yang akan mencabut Perpu dan nanti justru DPR yang akan dapat bertindak seenaknya. Pendapat ini menurut saya berlebihan. DPR mengambil keputusan secara kolektif dan melibatkan banyak pihak. Hal itu saja sebenarnya sudah menciptakan semacam mekanisme check and balance secara internal dalam tubuh DPR sehingga seharusnya tidak mudah bagi DPR untuk bisa bertindak semaunya (saya tidak percaya suatu koalisi multi partai dapat berjalan dengan solid secara terus menerus). Bandingkan dengan Presiden, satu orang yang memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan laju pemerintahan (bahwa kalau kemudian Presidennya sendiri memutuskan untuk tidak mengambil sikap dalam banyak hal, itu bukan salah sistemnya, itu salah Presidennya sendiri).

    Selain itu, karena Perpu awalnya disusun dan disahkan oleh Presiden sendiri, tentunya tidak masuk akal apabila kemudian Presiden juga berhak menelaah isi aturan yang mencabut Perpu yang dibuatnya. Apabila keputusan penolakan serta penyusunan isi RUU pencabutan Perpu ditentukan sepenuhnya oleh DPR, maka Presiden akan memiliki tambahan insentif untuk lebih berhati-hati dalam menerbitkan Perpu sehingga tidak membuka kesempatan kepada DPR untuk memasukkan RUU yang mereka rancang dan setujui sendiri sebagai pengganti dari Perpu yang dimaksud.

    Ini isu yang menurut saya lebih riil dan krusial bagi sistem pemerintahan kita daripada isu soal kemungkinan terjadinya kekosongan hukum yang mustahil, saya ulangi sekali lagi, mustahil terjadi apabila Perpu yang mencabut UU ditolak oleh DPR. Sebagai ahli hukum, kita harus jujur. Kita menjual kemampuan kita, bukan menjual keyakinan kita (selling our skills, not our faith). Kita bisa menggunakan peluang dan celah yang ada, tetapi semua itu ada batasnya, karena ini hukum, bukan sulap atau sihir.

  • Akibat Hukum dari Ditolaknya Perpu yang Mencabut Undang-Undang


    Jangan tertipu dengan judul artikel ini yang terlihat rumit. Isunya sebenarnya sangat sederhana. Apabila suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") yang mencabut keberlakuan suatu Undang-Undang ("UU") ternyata ditolak oleh DPR, maka otomatis Perpu itu menjadi batal demi hukum dan UU yang dicabut oleh Perpu akan kembali berlaku. Mengapa demikian? Karena aturan yang mencabutnya lenyap dan dianggap tidak pernah ada, dengan sendirinya UU yang bersangkutan pun juga dianggap tidak pernah dicabut. Ini logika hukum mendasar yang wajib dipahami semua sarjana hukum semester pertama di Indonesia.

    Makanya saya luar biasa terkejut ketika kemarin membaca pendapat dari Mahfud MD di Twitter yang menyatakan bahwa dalam kasus UU Pilkada, apabila Perpu Pencabutan UU Pilkada ditolak oleh DPR, maka akan terjadi kekosongan hukum karena Perpu dan UU Pilkada sama-sama tidak berlaku lagi. Lebih lucu lagi, Mahfud MD menyatakan bahwa para ahli hukum tata negara juga belum dapat memberikan solusi atas isu kekosongan hukum tersebut dan bahwa ini merupakan kasus pertama di Indonesia. Berlebihan kalau pertanyaan semudah ini tidak bisa dijawab oleh para ahli hukum tata negara. Kalau mereka tidak mampu menjawabnya, seharusnya mereka bahkan tidak lulus jadi sarjana hukum.

    Yang lebih ironis lagi, Mahkamah Konstitusi ("MK") sendiri sebenarnya sudah pernah menjawab isu hukum sederhana di atas dengan tegas melalui Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 tanggal 1 Desember 2004 tentang Uji Materil terhadap UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan ("UU No. 20/2002"). Putusan tersebut membatalkan secara keseluruhan isi dari UU No. 20/2002 karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi.

    Apakah kemudian tiba-tiba terjadi kekosongan hukum di bidang ketenagalistrikan karena UU No. 20/2002 dicabut? Sama sekali tidak. Dalam pertimbangan hukumnya (lihat halaman 350 dari putusan), MK menyatakan: "guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."

    Dengan membaca pertimbangan putusan di atas, permasalahan hukum ini menjadi sejelas matahari terik di siang hari tak berawan. Jangan membuat orang awam bingung. Kekosongan hukum hanya mungkin timbul apabila peraturan perundang-undangan yang dicabut ternyata mengandung suatu norma hukum yang sebelumnya belum pernah diatur. Lebih jauh lagi, kekosongan hukum juga tidak selalu berarti buruk, tidak semua hal di dunia ini perlu diatur oleh hukum! Artikel dari Tim Harford ini bisa menjadi contoh bagus mengapa tidak semua hal perlu diatur oleh hukum.

    Yang pasti, Perpu yang dikeluarkan oleh SBY bukan langkah yang akan menghentikan keberlakuan UU Pilkada secara efektif. DPR cukup menyatakan tidak setuju terhadap Perpu tersebut dan UU Pilkada akan kembali berlaku secara otomatis (tidak perlu DPR dan Pemerintah kemudian sibuk menyusun UU Pilkada baru).

    Secara terpisah, saya juga mengkritik keras dikeluarkannya Perpu Pilkada. Ini contoh yang sangat buruk bagi hukum tata negara kita, khususnya karena besar kemungkinan penerbitan Perpu Pilkada tidak memenuhi persyaratan utama dari penerbitan suatu Perpu, yaitu kegentingan yang memaksa (apanya yang genting dan memaksa saat ini?). Selain itu, sudah ada mekanisme hukum lainnya yang bisa digunakan untuk melawan UU Pilkada bagi mereka yang tidak setuju dengan isinya, yaitu melakukan uji formil dan materil ke MK. Kalau memang niatnya benar dari awal, kenapa tidak fokus saja menjalani aturan yang sudah cukup jelas ini?
  • Catatan Singkat Atas Gugatan Prabowo ke MK


    Tadinya saya sempat berpikir bahwa saya sudah tidak perlu menulis lagi soal pemilihan presiden 2014 karena pemenangnya sudah jelas, dan kita bisa berlanjut ke tahapan berikutnya: mengkritisi pemerintahan Jokowi-JK. Tapi seperti sudah diduga sebelumnya, Prabowo memutuskan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tidak heran, toh memang hal tersebut merupakan hak konstitusinya.

    Saya 100% mendukung pengajuan gugatan Prabowo ke Mahkamah Konstitusi. Kita perlu menyudahi pilpres 2014 dengan setuntas-tuntasnya, dan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan berkekuatan hukum tetap akan menuntaskan hal tersebut dengan cantik.

    Melihat kualitas gugatan tim Prabowo sebagaimana terlampir di sini, sebagai ahli hukum, saya sejujurnya tidak khawatir hasilnya akan menyebabkan perubahan signifikan terhadap kemenangan Jokowi. Bagaimana tidak? Yang paling gampang saja, tim Prabowo sendiri mengakui bahwa total penggelembungan suara Jokowi ditambah suara Prabowo yang hilang hanya 2,7 juta suara (lihat halaman 8 butir 4.8). Dengan selisih suara saat ini senilai 8 juta lebih, saya tidak paham buat apa memasukkan pernyataan ambigu tersebut dalam gugatan karena itu sama saja dengan mengatakan bahwa kalau sekalipun tuduhan Prabowo di atas benar dan jumlah perolehan suara harus diperbaiki, kemenangan Jokowi tidak akan berubah.

    Saya tidak tahu apakah bukti-bukti tim Prabowo juga diunggah ke situs Mahkamah Konstitusi, karena kalau melihat klaimnya yang bombastis, mereka akan membutuhkan dukungan bukti yang sangat banyak. Menariknya, dari klaim sebelumnya bahwa terdapat jutaan bukti yang dimuat dalam 10 truk, lalu turun menjadi 15 mobil lapis baja, akhirnya berakhir hanya menjadi 3 bundel dokumen. Entah ini dagelan atau bukan, tapi ini bagus buat saya, karena gugatan tanpa bukti apapun sama dengan omong kosong. Semua sarjana hukum seharusnya paham konsep mendasar ini. Kalau tidak, mungkin kelulusannya dulu perlu dipertanyakan.

    Saya juga bosan mendengar teori-teori konspirasi dan klaim-klaim bodoh macam ada jutaan pemilih fiktif dari Cina daratan, ada hasil rekap TNI/Polri yang memenangkan Prabowo namun tidak diungkap ke publik, lalu kemudian ada 37 hacker dari Cina dan Korea yang menyabotase situs KPU. Mau sampai kapan gosip-gosip tak bermutu seperti ini akan dipertahankan? Dan secara beberapa dari klaim-klaim di atas disampaikan oleh salah satu tim pemenangan Prabowo, saya terkejut kenapa para pengacara Prabowo tidak sekalian memasukkan info-info menarik ini ke dalam gugatannya? Kenapa ya? Oh, mungkin karena semua itu memang cuma OMONG KOSONG dan pengacara Prabowo tidak sebodoh itu juga untuk memasukkan teori konspirasi dalam gugatan resmi!

    Saya tahu bahwa bagi sebagian pendukung Prabowo yang masih delusional, setelah nanti kalah di MK pun mereka akan tetap delusional. Sekarang mereka bilang MK akan membuat Jokowi bertekuk lutut. Nanti setelah kalah di MK, mereka pasti akan bilang MK curang atau bahwa akan ada permainan lainnya. Kenapa saya bisa menebak demikian? Karena orang-orang ini juga yang bilang bahwa Jokowi akan bertekuk lutut di KPU ketika hasil Quick Count pertama kali keluar. Polanya sama persis. Tapi MK adalah jalan final secara hukum, setelah itu, semua klaim-klaim delusional adalah sia-sia belaka dan akan murni jadi lawakan bagi kita semua. Saya cuma berharap orang-orang delusional ini bisa legowo suatu hari nanti. Kasihan juga kalau sampai mati pun mereka masih penasaran karena masih percaya Prabowo seharusnya menang dalam Pilpres 2014.

    Coba lah dipikir baik-baik. Sedari awal, hasil Quick Count dari lembaga-lembaga yang memiliki reputasi baik sudah menunjukkan bahwa Jokowi menang. Ketika kemudian muncul Quick Count tandingan dari lembaga yang tak bermutu (jangan lupa janji Puspkaptis untuk membubarkan diri kalau hasil Quick Count mereka salah dari hasil Real Count KPU), yang mengindikasikan bahwa tim Prabowo bisa jadi akan mencoba untuk main curang, tim Jokowi lebih sigap untuk mengawal, memeriksa, dan mengolah data yang dibuka oleh KPU kepada publik. Hasilnya? Jokowi diindikasikan menang.

    Kemudian tanggal 22 Juli 2014 pun, KPU menetapkan secara resmi bahwa Jokowi menang dalam Pilpres 2014, hasilnya konsisten dengan Quick Count dan hasil hitung yang dilakukan oleh tim dan relawan Jokowi. Yang menjaga proses Pilpres kali ini segambreng. Tapi apa yang dilakukan oleh tim Prabowo? Jumawa dan sibuk menebar teori konspirasi. Mungkin karena sedari awal, cuma itu keahlian mereka. Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Dan karena memang gugatan ini hitungannya dagelan, kita tidak perlu berpanjang-panjang memberikan analisis. Selamat liburan semuanya!
  • Catatan Akhir Pilpres 2014


    Selama masa Pemilihan Presiden 2014 saya sudah menulis beberapa artikel dimana berdasarkan penilaian saya yang saya usahakan serasional dan seobjektif mungkin, saya memutuskan untuk mendukung Jokowi. Berhubung sekarang sudah memasuki masa tenang dan pembahasan visi, misi, serta program sudah tidak diperkenankan, saya ingin menyampaikan alasan personal atas dukungan saya kepada Jokowi.

    Orang yang lama mengenal saya umumnya tahu kalau saya:
    1. tidak suka dengan orang yang mencla-mencle, asbun, yang hanya pandai bermain kata dan berjualan kecap (silakan lihat tulisan-tulisan saya sebelumnya di blog ini sebagai basis dari pernyataan saya supaya jangan dipikir saya hanya omong kosong saja);
    2. tidak pernah tertarik mendukung seseorang hanya karena isu agama, apalagi kalau melibatkan fitnah segala (saya mendalami Hukum Islam 13 tahun lebih dan masih terus mendalami sampai saat ini, saya hitungannya bodoh kalau masih terjebak isu-isu seperti itu); 
    3. tidak tertarik dengan militerisme dan feodalisme (saya lantang dulu berbicara di depan mahasiswa FHUI menentang segala bentuk perploncoan yang menurut saya bentuk jelas dari feodalisme dan saya tidak pernah mau terlibat dalam semua acara seperti itu);  
    4. mendukung kebebasan berpendapat dan pluralitas (cukup jelas karena hal ini bahkan dijamin oleh konstitusi); dan
    5. tidak percaya dengan segala bentuk teori konspirasi, termasuk berita-berita yang tidak bisa diverifikasi atau berita-berita yang sumbernya sudah diketahui sebagai penyebar kebohongan (salah satu hobi favorit saya: memberi tahu teman-teman yang menyebarkan berita atau informasi hoax kalau yang mereka sampaikan itu hoax);
    6. selalu berusaha sebisa mungkin mengambil keputusan berdasarkan cost benefit analysis (saya melihat orang tidak ada yang sempurna, ada baik dan buruknya, maka harus dihitung lebih besar yang mana, baik atau buruknya?); dan
    7. tidak percaya dengan adanya figur penyelamat dunia dan negara ala ratu adil (satu manusia tidak akan bisa menyelesaikan masalah di Indonesia, manusia bukan malaikat dan selamanya wajib tunduk pada mekanisme check and balance).  
    7 alasan di atas sudah cukup sebenarnya bagi saya untuk mendukung Jokowi. Tetapi ada satu lagi alasan yang mungkin lebih menarik buat diri saya pribadi. Seumur-umur, saya tidak pernah tertarik dengan Pemilu, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Jujur saja, saya selalu merasa bahwa perubahan signifikan tidak akan terjadi di negara ini dan apapun nanti hasilnya, kehidupan saya tidak akan terlalu terpengaruh.  Walhasil, saya juga tidak pernah datang ke acara kampanye atau apa pun lah itu, apalagi menulis panjang lebar analisis untuk keperluan pilpres yang jelas menyita waktu saya dan tidak dibayar.

    Tetapi nyatanya, saya mau menulis panjang lebar artikel-artikel itu, dan untuk pertama kalinya juga, saya datang dalam sebuah acara kampanye akbar di GBK sabtu tanggal 5 Juli 2014 kemarin. Mungkin ini pertama kalinya ada politisi yang bisa menggerakan saya untuk melakukan hal itu. Dan buat saya itu luar biasa karena saya sangat amat jarang sekali bisa kagum pada politisi (yang menurut saya pada umumnya tidak akan bisa memenuhi standar intelektual yang saya harapkan).

    Untuk itu, hormat saya buat Jokowi. Saya berharap Jokowi bisa membuka peluang bagi generasi baru di kancah kepemimpinan politik Indonesia di luar kalangan yang sudah eksis dari jaman dahulu kala. Jokowi mungkin bukan kandidat pemimpin terbaik di Indonesia, tetapi setidaknya dia yang terbaik bagi saya di antara 2 opsi yang tersedia saat ini, dan sebagai warga negara Indonesia, saya merasa berhak untuk menyatakan sikap saya tersebut.

    Selamat memilih bagi rakyat Indonesia tanggal 9 Juli nanti! May the best candidate win!
  • Mimpi Negara Kesejahteraan


    Salah satu klaim yang seringkali diajukan oleh pendukung Prabowo adalah bahwa politik tangan besi diperlukan di Indonesia agar Indonesia akan lebih sejahtera. Menurut mereka, demokrasi tidak bisa memberi makan orang lapar. Saya juga menerima komentar anonim di blog saya yang mengaku sebagai swing voter dan masih condong ke Prabowo. Dia mempertanyakan apakah demokrasi itu memang cocok dengan Indonesia? Atau apakah Indonesia akan lebih baik di tangan otoritarianisme?

    Argumen saya tentang ilusi bahwa pemimpin tegas dapat menyelesaikan masalah di Indonesia sudah saya bahas panjang lebar di tulisan saya sebelumnya, Ilusi Pemimpin Tegas. Berikut adalah elaborasi lebih lanjut mengenai isu soal pendekatan mana yang lebih cocok bagi Indonesia? Demokrasi atau otoritarianisme?   

    Sebenarnya cita-cita mendirikan negara kesejahteraan adalah barang lama yang sudah dibahas berulang-ulang. Tidak bisa dipungkiri, sebagian anggota masyarakat tentunya memimpikan adanya negara yang kuat yang dapat mengayomi dan menolong orang-orang yang lemah dan terpinggirkan. Bagi mereka, mungkin demokrasi lebih tepat digunakan ketika masyarakat secara umum sudah makmur. Dan selama kesejahteraan tersebut belum tercapai, kebebasan berpendapat belum terlalu diperlukan. Pengusung gerakan kesejahteraan biasanya akan mengutip contoh kesuksesan di Cina, Singapura atau mungkin juga Malaysia. Di sana kebebasan berpendapat memang tidak terlalu dihargai, yang penting masyarakatnya sejahtera (atau diasumsikan lebih sejahtera dibandingkan dengan Indonesia).

    Dengan demikian, keberadaan benevolent dictator, alias diktator yang baik hati itu sah-sah saja sepanjang memaksimalkan pertumbuhan ekonomi. Isu besarnya, apakah ini fakta atau hanya sekedar asumsi belaka? Apakah diktator yang baik hati pasti menghasilkan hasil yang lebih baik dan bermanfaat dibandingkan dengan penggunaan sistem demokrasi?

    Apa Kriteria Tercapainya Negara Kesejahteraan?

    Sebenarnya, apa kriteria yang diperlukan sehingga negara kesejahteraan dapat berdiri dengan kokoh? Saya mencatat beberapa kriteria yang umumnya dianggap perlu ada bagi cita-cita negara kesejahteraan:
    1. kemudahan pengambilan keputusan dalam kehidupan bernegara dan berpolitik;
    2. koordinasi yang efisien dan terstruktur antar lapisan birokrasi dan antara pusat dan daerah;
    3. birokrasi pemerintahan yang berjalan secara bersih, efisien dan profesional;
    4. kebijakan ekonomi yang jelas, tersentralisasi, dan terpadu.
    Percaya tidak percaya, kriteria-kriteria di atas mirip dengan kriteria untuk membangun bisnis sukses. Ganti saja keputusan dalam kehidupan bernegara/berpolitik menjadi keputusan bisnis yang memaksimalkan profit, birokrasi diganti menjadi direksi, komisaris dan pegawai, serta kebijakan ekonomi menjadi rancangan anggaran tahunan dan rencana bisnis. Mirip kan? Kata kuncinya ada di efisiensi.

    Pendukung otoritarianisme melihat bahwa sistem demokrasi hanya akan menghambat terpenuhinya kriteria-kriteria di atas. Layaknya suatu perusahaan, kenapa tidak biarkan saja direksi, komisaris dan karyawan yang menjalankan kegiatan usaha, sementara rakyat selaku pemegang saham duduk santai dan menikmati hasilnya? Untuk apa masyarakat terlibat aktif dalam pemerintahan dan kehidupan bernegara?
     
    Dalam hal ini, sebenarnya ada perbedaan fundamental antara menjalankan perusahaan dengan menjalankan negara. Benar bahwa dalam suatu perusahaan, kegiatan usaha sehari-hari dijalankan oleh direksi dan pegawai dengan pengawasan dari komisaris. Tetapi pemegang saham masih tetap memegang peranan utama sebagai pengendali perusahaan, dalam artian, pemegang saham berhak setiap saat tanpa harus perlu merinci alasannya, mengganti direksi dan komisaris yang menurut mereka tidak kompeten. Selain itu, direksi dan komisaris juga tidak punya kuasa yang besar untuk melawan pemegang saham kalau pemegang saham tidak menginginkan mereka lagi. Mereka harus tunduk pada keputusan tertinggi dari pemegang saham. Dengan demikian, mereka memiliki banyak insentif untuk memastikan bahwa mereka akan menjalankan tugas mereka dengan baik dan berhati-hati dalam pelaksanaan tugasnya tersebut.

    Bagaimana dengan negara? Negara yang otoriter umumnya tidak bisa dikendalikan oleh masyarakatnya, bahkan sering kali sebaliknya karena negara tersebut memiliki kekuatan senjata dan modal yang lebih besar. Bahkan dalam sistem demokrasi sekalipun, ada batas jangka waktu minimum dimana keberadaan pemerintahan tidak bisa diganggu gugat (yaitu sampai masa akhir jabatan). Tidak heran kalau mekanisme kontrol dan pemberian insentif terhadap pejabat negara akan sangat berbeda dengan pendekatan dalam perusahaan.

    Asumsi-Asumsi yang Perlu Dipenuhi bagi Negara Kesejahteraan

    Untuk bisa memastikan bahwa 4 kriteria di atas terpenuhi dalam suatu negara yang otoriter, harus dipastikan bahwa semua atau kebanyakan pejabatnya akan bersikap bersih dan profesional. Tapi pendekatan seperti ini mengasumsikan bahwa pemimpin tertinggi dari negara tersebut memang benar-benar bersih, profesional dan mengutamakan kemakmuran rakyat, serta memiliki sistem pengawasan yang mumpuni dan berkualitas untuk memastikan bahwa semua anak buahnya berada di jalan yang lurus.  Lebih penting lagi, pendekatan ini juga mengasumsikan bahwa kebijakan ekonomi sentralistis yang akan diambil itu sudah tepat dan akan memakmurkan masyarakat.

    Pertanyaan pertama, siapa yang bisa menjamin bahwa pemimpin tertinggi pasti baik hati dan lurus? Pertanyaan kedua, siapa yang bisa memastikan bahwa biaya pengawasan atas aparatur negara pasti murah? Apakah anda berpikir bahwa tiba-tiba semua aparatur negara akan menjadi bersih dan profesional hanya karena pemimpin di atasnya berlaku demikian? Jelas sekali bahwa itu belum tentu akan terjadi. Pasti akan diperlukan insentif dalam berbagai bentuk dan insentif itu tidak lah gratis.

    Pertanyaan ketiga, siapa yang bisa memastikan bahwa program ekonomi sentralistis itu sudah pasti menguntungkan? Silakan lihat Cina, sebelum beralih ke pendekatan kapitalis, sistem ekonomi yang tersentralisasi di Cina lebih banyak menimbulkan mudarat bagi rakyatnya. Entah berapa banyak rakyatnya yang dulu mati kelaparan karena kebijakan ekonomi yang salah. Butuh waktu lama dari pihak Deng Xiaoping untuk bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada dalam pendekatan ala Maoisme sebelum akhirnya Cina bisa mencapai statusnya saat ini.

    Selain itu, faktanya menunjukkan bahwa suatu perusahaan/bisnis akan semakin sulit untuk dikendalikan dengan semakin besarnya perusahaan tersebut, dan biaya koordinasi antar departemen dan pengawasan karyawan juga akan semakin mahal. Hal yang sama juga berlaku dalam konteks negara. Maka kurang tepat misalnya membandingkan Indonesia dengan Singapura dan Malaysia. Singapura adalah negara kota dengan jumlah penduduk yang bahkan lebih sedikit dibandingkan dengan Jakarta. Malaysia dengan penduduk 1/10 Indonesia yang mengaku multi etnis sebenarnya hanya terdiri atas 3 etnis besar (Melayu, Cina dan India), sehingga memungkinkan sistem politik yang lebih stabil dibandingkan dengan Indonesia yang jumlah penduduknya sangat besar dan wilayahnya terbagi-bagi dalam banyak pulau.

    Perbandingan dengan Cina juga kurang tepat mengingat Cina adalah bangsa yang homogen dan memiliki satu kebudayaan yang sama sejak jaman dahulu kala. Wilayah mereka juga tidak terbagi dalam kepulauan tetapi berbentuk satu daratan yang sangat luas.  Saya jadi teringat presentasi Pak Kuntoro Mangkusubroto bahwa ekonomi negara kepulauan itu berbeda drastis dengan ekonomi bagi negara daratan yang sampai saat ini belum dikaji secara serius.

    Perlu pula dicatat bahwa pemimpin-pemimpin tertinggi di Singapura, Malaysia dan Cina bukan dari kalangan militer, tetapi dari kalangan sipil macam pengacara, ekonom, dan pengusaha. Cara berpikir mereka memang dari awalnya cara berpikir pebisnis. Kebijakan ekonomi mereka sangat liberal dan pro investasi (termasuk investasi asing). Sedikit retorika omong kosong macam nasionalisme dan kekayaan alam, banyak bertumpu pada pemikiran bagaimana seharusnya kita dapat mengejar profit sebanyak-banyaknya.

    Tidak usah jauh-jauh, saya pernah menghadiri seminar di Hong Kong dimana salah satu pesertanya berbicara mengenai perkembangan hak properti di Cina. Ketika Cina memutuskan untuk mengambil jalan kapitalisme dan membuang ide bahwa tanah harus dimiliki secara kolektif, mereka mengadakan pelelangan tanah kepada masyarakat bahkan sebelum konstitusi mereka yang melarang hal tersebut diamandemen. Pola pikir mereka pragmatis. Kalau tidak efisien ya aturan itu disingkirkan.

    Bahaya Pemerintahan Tegas Setengah Hati

    Permasalahan utamanya, apa iya Indonesia siap untuk mengikuti pola pemikiran di atas? Pro kapitalisme, pro bisnis, pro investasi? Siap kah Indonesia mengikuti sistem dimana yang kuat akan selamat dan yang lemah akan tersingkir dengan sendirinya? Yang saya khawatirkan saat ini justru keberadaan pemerintahan otoriter yang setengah hati. Mengaku otoriter dan tegas, tetapi kebijakan ekonominya belum beranjak dari jaman purba. Menilik visi misi Prabowo dan omongannya tentang kebocoran serta larinya kekayaan alam Indonesia ke asing, saya khawatir bahwa pemerintahan tegasnya itu tidak akan membawa perubahan drastis yang menguntungkan kita semua.

    Penting untuk diperhatikan bahwa di Singapura, Malaysia dan Cina, liberalisme ekonomi dijalankan dengan maksimal sehingga dapat menutupi isu otoritarianisme dalam bidang politik. Kalau negara kita ini nantinya akan otoriter baik dalam bidang ekonomi maupun politik, kemungkinan besar hal itu akan sangat bermasalah. Ibarat kata, ketika kita memilih untuk dikendalikan oleh pemerintahan otoriter/tegas, kita berharap bahwa manfaat yang dihasilkan dari keberadaan pemerintahan otoriter tersebut akan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang harus kita keluarkan, termasuk salah satunya kebebasan berpendapat. Apakah kemudian pengorbanan kita sebanding dengan manfaat yang kita harapkan akan diperoleh? Ini yang belum bisa dijawab oleh pendukung Prabowo di Indonesia. Itu pun dengan asumsi kalau Prabowo memang bisa mendirikan pemerintahan tegas, yang sebagaimana akan saya bahas di bawah ini, kemungkinan besar juga tidak akan tercapai.

    Kalau tidak, maka namanya sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ini namanya rugi besar-besaran. Belum lagi fakta bahwa di masa lalu, pemerintahan tegas di Indonesia sudah gagal menunjukkan hasil yang maksimal. Ya mau bagaimana lagi? Namanya juga untung-untungan. Di Orde Lama, hasil kepemimpinan tegas oleh orang yang tidak paham ekonomi macam Bung Karno menghasilkan inflasi ratusan persen dan rakyat yang kelaparan. Anda bilang demokrasi tidak bisa memberi makan orang lapar? Saya sepakat, begitu pula dengan slogan dan retorika dalam pidato.

    Di Orde Baru, kita juga memiliki pemimpin tegas tetapi karena tidak ada sistem check and balance yang baik dan juga karena tidak mau sungguh-sungguh bertumpu pada sistem ekonomi liberal, akhirnya hasilnya juga tidak maksimal. Diktatornya keenakan memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Industri kita lemah karena dari awal tidak kompetitif dan terlalu dilindungi.

    Sekarang, sistem ekonomi yang mau diusung dalam pemerintahan tegas Prabowo akan seperti apa? Mengikuti gaya Orde Baru yang sudah gagal macam proteksionisme dan fokus di industri yang sudah ketinggalan jaman macam pertanian (Cina saja sudah semakin meninggalkan bidang pertanian)? Atau Prabowo berani bilang dia akan mendukung sistem ekonomi kapitalisme secara tegas? Kalau ya, saya juga akan berpikir ulang untuk memilih dia. Namun kalau dia masih sibuk dengan retorikanya saja, mohon maaf, itu cuma buang-buang waktu saya.         

    Apakah Sistem Ketegasan Ala Prabowo akan Mendukung Terciptanya Negara Kesejahteraan?

    Sulit sebenarnya untuk mengukur apakah sistem pemerintahah Prabowo akan efektif karena sedari awal, dia dan pendukungnya tidak pernah menjelaskan sistem pemerintahan tegas akan dijalankan seperti apa,  dan juga bagaimana sistem pemerintahan tegasnya akan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Sistem Cina bisa berjalan efektif karena Cina hanya memiliki satu partai. Singapura juga hanya ada satu partai yang selalu menang pemilu. Pertanyaannya, implementasi di Indonesia nanti akan seperti apa dengan cukup banyaknya jumlah partai yang ada?

    Partai Gerindra sendiri cuma memegang kurang lebih 11% suara di DPR. Ibarat kata, kalau Prabowo mau jalan sendiri, koalisi partai-partai lainnya akan mudah untuk menyingkirkan dia. Dan sejauh yang kita lihat, setidaknya di masa SBY, saya belum pernah melihat adanya kebijakan yang benar-benar pro rakyat atau efisien yang dicetuskan oleh partai koalisi pendukung Prabowo saat ini.

    Lalu bagaimana nanti Prabowo akan menghadapi koalisinya sendiri? Menggunakan kekerasan atau militerisme? Kemungkinan besar tidak kalau dia benar-benar peduli pada masyarakat Indonesia. Prediksi saya, pemerintahan dia akan adem ayem seperti pemerintahan SBY saat ini, antara ada dan tiada. Mungkin itu baik bagi Indonesia, karena toh sejauh ini Indonesia juga masih baik-baik saja di bawah SBY. Tetapi ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagi saya. Untuk apa saya memilih Prabowo kalau pada akhirnya dia juga tidak bisa melakukan perubahan yang fundamental?

    Mau sok tegas, tetapi kebijakan ekonominya tidak jelas, cara menjalankannya pun juga tidak jelas. Mau kompromistis, lalu dimana letak ketegasannya? Ambil contoh paling gampang: Prabowo tidak bisa menawarkan satu kebijakan konkrit untuk mengatur koordinasi antara daerah dan pusat. Jokowi tegas menyatakan bahwa dia akan menggunakan politik anggaran. Dan politik anggaran itu merupakan kebijakan yang keras karena artinya daerah yang membandel akan mendapatkan lebih sedikit anggaran. Aneh sebetulnya kalau ada yang bilang bahwa Prabowo akan lebih tegas dibandingkan dengan Jokowi soal hubungan pusat-daerah ini.

    Begitu pula soal PNS. Prabowo senantiasa meributkan gaji PNS yang kecil. Sebenarnya gaji PNS sudah mengalami peningkatan yang cukup besar di masa SBY. Memangnya mau ditingkatkan seperti apa lagi? Yang kurang itu justru efisiensi dan profesionalisme dari para PNS. Coba lihat berapa banyak departemen kementerian di negara-negara maju, seperti Amerika dan Jepang. Lihat juga Singapura, dan kemudian bandingkan dengan banyaknya departemen kementerian di Indonesia.

    Prabowo berani tidak memotong departemen yang sedari awal tidak perlu ada kalau dia fokus ingin menciptakan negara kesejahteraan? Justru Jokowi yang selalu meributkan perlunya perbaikan sistem birokrasi, perlunya perekrutan birokrat berbasis kompetensi (sebagaimana sudah dimulai di Jakarta). Lalu yang kemudian sebenarnya bercita-cita memenuhi kriteria negara kesejahteraan itu siapa? Bahkan tidak perlu kita meributkan isu demokrasi di sini, fokus pada birokrasinya saja, siapa yang visinya lebih pro negara kesejahteraan?  

    Memangnya Apa Masalahnya dengan Demokrasi?   

    Terakhir, pertanyaan yang juga tidak pernah bisa dijawab oleh Prabowo dan pendukungnya adalah: memangnya apa yang salah dengan menggunakan sistem demokrasi? Apakah sistem demokrasi kita saat ini sebegitu gagalnya sehingga hasil yang kita peroleh tidak maksimal? Apakah tidak dimungkinkan bagi kita untuk mengembangkan ekonomi negara secara maksimal dengan mempertahankan sistem demokrasi? Bagaimana kalau kita menjalankan demokrasi dan pembangunan ekonomi secara bersama-sama?

    Prabowo mengkritik bahwa biaya pemilihan umum langsung dan pilkada terlalu mahal. Ada solusi yang sudah ditawarkan, diadakan secara serentak. Prabowo mengkritik bahwa karena biaya pemilu terlalu mahal, para pemimpin daerah cenderung korupsi. Dan memang betul, 80% dari pemimpin daerah sekarang ini terlibat dalam kasus KPK. Tapi apakah kemudian memindahkan pemilihan pemimpin daerah melalui mekanisme pemilihan oleh anggota DPRD akan mengurangi kemungkinan korupsi? Atau hal itu hanya memindahkan korupsinya ke level anggota DPRD saja? Apa jaminannya?

    Dan bukankah sekarang juga mulai terlihat tren munculnya pemimpin-pemimpin daerah yang berprestasi sebagai hasil dari pemilihan langsung tersebut? Kenapa meremehkan sekali kualitas masyarakat Indonesia seakan-akan kita semua ini begitu bodohnya? Saya justru melihat keberadaan sistem pemilihan langsung bisa memperkecil kemungkinan politik uang dan membuka kesempatan bagi orang berprestasi untuk maju. Semakin banyak rakyat yang harus dibeli, semakin mahal biaya untuk menang pilkada, sebagai akibatnya, calon pemimpin daerah memiliki insentif untuk bisa menunjukkan prestasinya di lapangan sehingga kans kemenangan lebih tinggi dibandingkan harus membayar satu-satu masyarakat di daerah yang bersangkutan. Hal ini pada akhirnya akan mendorong terpilihnya pemimpin yang bagus secara meritokratis.

    Sementara apabila pemimpin daerah dipilih melalui DPRD, potensi politik uang justru akan lebih mudah terjadi karena jumlah yang perlu disuap lebih sedikit. Alih-alih jadi mekanisme check and balance, jadinya justru mereka semua bersatu dalam kebusukan.

    Saya ingin melihat adanya pemikiran yang lebih mendalam dari kubu Prabowo kalau memang demokrasi kita itu menyusahkan kita saja. Saya juga ingin tahu kalau misalnya kita mengusung gaya kepemimpinan otoriter, bagaimana nantinya Prabowo dan tim memastikan bahwa semua aparat pemerintahan akan berada di jalan yang benar dan bagaimana mekanisme pengawasan akan dijalankan. Mengklaim bahwa demokrasi tidak berjalan itu gampang, yang sulit adalah memberikan alternatif lainnya yang diperkirakan akan lebih efisien dan memakmurkan masyarakat.

    Kesimpulan Sementara

    Saya sudah menulis 4 artikel termasuk artikel ini mengenai pilpres: yaitu Catatan atas Debat Bidang Hukum, Catatan atas Debat Bidang Ekonomi, dan Ilusi Pemimpin Tegas. Sejauh ini, saya masih mempertimbangkan untuk tetap memilih Jokowi dalam pilpres 2014 berdasarkan analisis dan alasan yang telah saya tulis dalam artikel-artikel tersebut. Moga-moga Pilpres 2014 ini akan membawa hasil yang maksimal bagi bangsa Indonesia.


  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.