Saya sangat berharap ini hanya hasil ceplas ceplos belaka dan tidak akan dijadikan bahan penyusunan kebijakan publik yang serius karena menurut saya dampaknya berpotensi merugikan. Sebagaimana sudah saya bahas di artikel sebelumnya, berpikir bahwa wanita dan pria sudah memiliki pembagian tugas yang kaku karena alasan biologis dan doktrin merupakan cara berpikir yang melantur.
Apabila kita melihat konsep klasik keluarga yang katanya merupakan persatuan dari suami dan istri, mengapa tugas mengurus anak dan rumah tangga dikhususkan untuk ibu? Pendukung perkawinan yang sah dan lengkap selalu ribut soal pentingnya keluarga yang utuh sebagai modal pertumbuhan anak, bahwa peranan ayah dan ibu itu penting, bahwa keluarga dengan orang tua tunggal itu bermasalah, bahwa anak luar kawin bermasalah, dan bahwa perceraian akan berakibat buruk. Aneh apabila kemudian kita sibuk mendukung keutuhan keluarga tapi masih percaya bahwa pembagian tugas antara ayah dan ibu adalah mutlak, yaitu bahwa ibu mengurus rumah tangga dan ayah mencari nafkah.
Karena kalau pembagiannya semudah itu, untuk apa ada institusi perkawinan? Wanita cukup mencari pasangan yang mau membuahi dirinya. Kemudian si pria sekali-kali bisa datang ke rumah untuk mendapatkan kepuasan seksual sepanjang tak lupa mengirim uang bulanan untuk menghidupi keluarganya. Si pria tak perlu lagi pusing mengurus anak. Mengapa tidak? Toh tugas ayah dalam pandangan yang hampa ini nampaknya tak lebih hanya untuk membuahi sang ibu dan membayar uang rutin bulanan. Dalam hal ini kita berasumsi semua wanita ingin punya anak dan malas bekerja rutin di luar pekerjaan rumah tangga, sementara semua pria malas mengurus anak dan bersedia membayar untuk terlepas dari kewajiban tersebut dengan kompensasi seks.
Kebanyakan orang akan marah apabila disodori pengaturan keluarga seperti di atas. Tetapi kalau anda tidak sepakat dengan konsep tersebut, seharusnya anda juga tidak sepakat bahwa fungsi pengurusan anak hanya ada di ibu atau difokuskan pada ibu semata. Menekankan bahwa hanya ibu yang punya kewajiban mengurus anak dan rumah tangga sama saja menyatakan bahwa peranan ayah dalam pertumbuhan anak tidaklah penting. Yang menyedihkan, bahkan pembuat undang-undang di Indonesia pun masih memakai konsep bawaan yang kacau balau ini dalam menyusun UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan"). Lihat saja misalnya Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan.
Ini mengapa pembagian tugas keluarga seharusnya tidak perlu pusing diatur oleh negara. Kalaupun negara mau memastikan bahwa anak akan diurus dengan baik oleh orang tuanya, maka tugas itu seharusnya dibagi rata kepada setiap orang tua. Tiap orang tua bertanggung jawab atas perkembangan anaknya, karena bagaimanapun juga, pendidikan dasar terhadap anak berpengaruh besar terhadap masa depan anak tersebut, apakah akan menjadi sukses atau menjadi sampah masyarakat. Dan pendidikan dasar dipegang oleh orang tua. Lihat artikel menarik dari Prof. James Heckman dari University of Chicago, pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 2000, mengenai maha pentingnya peranan edukasi awal terhadap anak di sini.
Selain itu, pengurangan jam kerja ini juga tidak memperhatikan insentif ekonomi pengusaha dan karyawan. Ada beragam alternatif. Pertama, jam kerja karyawan wanita dikurangi, tetapi gaji diwajibkan sama. Dengan kata lain, Pemerintah memaksa ibu rumah tangga disubsidi. Hal ini berarti bahwa ongkos menggunakan jasa karyawan wanita meningkat. Kebijakan ini mungkin bagus untuk karyawan wanita yang sudah bekerja, namun jelas merugikan bagi kaum wanita yang belum bekerja (untuk apa perusahaan mempekerjakan karyawan yang kalah produktif dengan gaji sama). Belum lagi kalau nantinya berefek pada kemungkinan promosi bagi karyawan wanita yang sudah bekerja, yang mana akhirnya juga merugikan karyawan wanita yang sudah bekerja.
Bagaimana kalau misalnya pengurangan jam kerja diwajibkan sambil mengurangi gaji? Ini merugikan karyawan wanita yang sudah bekerja, karena jelas tidak semua wanita mau mengambil pengurangan jam kerja tersebut. Pengurangan 2 jam kerja dari 8 jam kerja sama dengan penurunan 25% jam kerja. Asumsikan bahwa korelasinya konstan (pengurangan jam kerja 2 jam = penurunan gaji sebesar 25%). Apakah kita yakin bahwa semua karyawan wanita mau mengurangi jam kerja mereka dengan kehilangan 25% gaji mereka setiap bulannya? Mohon jangan seenaknya berasumsi bahwa semua ibu bersedia untuk melepaskan segalanya demi anak.
Belum lagi kalau ternyata korelasinya tidak konstan, tetapi meningkat, yaitu penurunan produktivitas karena berkurangnya jam kerja selama 2 jam lebih besar dari 25% total produktivitas. Bukan saja gaji karyawan wanita bisa semakin dipangkas, insentif perusahaan untuk mempekerjakan wanita juga makin turun. Pertanyaannya, apakah iya semua ini bisa dikompensasikan dengan kualitas anak yang makin baik? Itu juga dengan asumsi bahwa bertambahnya jam ibu di rumah berkorelasi positif dengan perkembangan anak. Datanya bagaimana?
Yang sering terlupa adalah ketika suami dan istri sama-sama bekerja, hal tersebut menandakan secara implisit bahwa mereka berdua memang membutuhkan penghasilan yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Contoh: kebutuhan pendapatan suatu keluarga adalah 100 dan kebutuhan tersebut dipenuhi dengan masing-masing suami istri menghasilkan 50. Apabila kemudian pendapatan istri berkurang menjadi 37,5 (turun 25%), kebutuhan pendapatan sebesar 100 tidak serta merta berkurang. Suami yang kemudian harus menambah jam kerjanya untuk menutupi kekurangan tersebut. Memang waktu kerja istri berkurang, tetapi kompensasinya, waktu kerja suami akan bertambah. Mengapa harus seperti itu? Apakah ayah tak punya hak bertemu anak-anaknya? Bagaimana kalau misalnya si ayah juga tidak dapat menambah penghasilannya? Konsumsi yang harus berkurang? Pasti akan ada trade-off.
Ide ini juga menunjukkan kemalasan berpikir yang akut. Isunya jauh lebih kompleks dari sekedar pembagian fungsi suami dan istri. Kita bicara mengenai pendidikan suami istri, seperti kapan seharusnya pasangan punya anak, apakah setelah mereka mapan? Atau bagaimana cara mendidik anak dengan efektif? Ironis sekali bahwa ketika kita mewajibkan banyak profesi yang tidak penting untuk memiliki ijin, kita justru tidak mengatur soal ijin untuk membentuk keluarga. Tentu banyak yang akan cepat berargumen: masa perkawinan saja perlu pakai ijin, ini kan hak asasi. Ya kalau begitu juga untuk apa diatur peranan suami istri harus seperti apa? Kalau mau serius memastikan orang tua akan mendidik generasi unggul, kita justru pertama-tama harus berinvestasi untuk menciptakan generasi orang tua yang unggul mulai dari sekarang! Pendidikan itu penting. Jangan terus menerus mengulang kesalahan generasi di masa lampau.
Isu lainnya adalah kalau kita peduli dengan kebutuhan anak akan alokasi waktu yang lebih banyak dari orang tuanya, ya fokus juga di infrastruktur! Khususnya transportasi publik. Anda pikir berapa banyak waktu orang tua yang terbuang karena sehari-harinya menghadapi kemacetan. Berapa banyak inefisiensi yang muncul karena gagal mengatur lalu lintas? Saya akan membahas soal ini di artikel terpisah. Tetapi perlu saya tegaskan bahwa isu ini berhubungan erat dengan pembinaan keluarga. Tidak ada gunanya mengirim orang tua pulang lebih cepat kalau mereka hanya akan menghabiskan waktu di jalanan macet, menggerutu dan stress sepanjang jalan hanya untuk pulang ke rumah dengan kelelahan, tak siap lagi mengurus anak, dan besoknya kembali menjumpai neraka yang sama.
Terakhir, setelah membahas semua hal di atas, perlukah Pemerintah mewajibkan perusahaan untuk memberikan hak pengurangan jam kerja hanya apabila diminta oleh karyawan wanita? Saya akan berhati-hati sebelum mengimplementasikan kebijakan yang lebih rileks ini. Pertama-tama, kompetisi antar perusahaan bisa memberikan efek yang sama. Kalau perusahaan membutuhkan kemampuan si karyawan wanita dan ingin mempertahankan karyawan tersebut, tanpa diwajibkan pun, perusahaan akan memberikan kemudahan pengurangan jam kerja. Kuncinya justru adalah bagaimana membuat karyawan wanita menjadi semakin bernilai sehingga para perusahaan akan berlomba-lomba menawarkan insentif serupa! Memaksa perusahaan mengaplikasikan kewajiban itu dapat berpotensi membuat perusahaan bias terhadap karyawan wanita, karena sewaktu-waktu mereka bisa diminta untuk memberikan pengurangan jam kerja kepada wanita terlepas apakah karyawan tersebut sebenarnya produktif atau tidak.
Seperti yang bisa anda lihat, kita butuh kreativitas dalam menyusun kebijakan publik. Meningkatkan kualitas sumber daya perempuan butuh pendidikan, butuh perbaikan budaya, dan masih banyak lagi. Isunya juga kompleks, tetapi kalau mau serius, kita harus selesaikan masalah di level dasar, bukan dengan kebijakan tambal sulam, apalagi kebijakan ceplas ceplos yang terkesan hanya ingin menyenangkan kelompok tertentu saja.