• A Guideline on Conducting Survey for Shari'a Implementation


    I always want to do a survey on how Indonesian people perceive the implementation of Shari’a as a part of positive laws. Many surveys have been done on this issue. The problem is, either the questions are too general or only deal with the “famous” provisions of Islamic law.

    By general, I mean that the question only asks whether a person accepts the implementation of Shari’a without knowing whether he would agree entirely with any kind of implementation or only to a certain degree.

    By famous, I mean that the question only deals with classical provisions that are well known by many people such as hand cutting for thievery, stoning for adultery, etc.

    I believe that this kind of survey cannot be used to know precisely whether the respondent fully understand his answer, that he gives his responses based on a good understanding of Shari’a and not just because he doesn’t want to be considered as a religious blasphemer.

    In this article, I will provide certain guidelines of questions that can be considered when we are doing the above survey. First, do not start by asking the general question. Rather the survey must start with questions on specific provisions of Islamic law without any reference that such provision of law is a part of Islamic law.

    The first set of questions should deal with slavery issues. Here we test whether the respondent would agree with the legality of slavery and whether they perceive slavery as a bad thing. Classical Islamic law permits slavery for more than a thousand of years. If people disagree with such notion, their belief on the supremacy of Islamic law should be questionable.

    The second set of questions deal with economic issues. In this part we ask the respondents on whether they would agree to lend money to other people without any interest at all time, even for business purposes. And then we ask them whether they perceive bank interest as something bad, or just business as usual.

    Classical Islamic laws stipulate that bank interest should be prohibited because it resembles "riba," that the sin of charging "riba" is equal to killing a person or having incest relationship with your own mother. Interestingly, for such type of sin, no criminal punishment is available (making me to believe that in terms of economic matters, Islamic law is pro capitalism).

    Third, we deal with family law issues. The questions should be, among others, whether they agree that divorce rights should stay exclusively with the husband and that courts should not interfere at all (so husbands can divorce their wives as they wish) and whether husbands can do polygamy without requiring any approval from his first wife.

    Here I primarily want to see how women respondents will react. The above provisions are parts of classical Islamic law which is not even implemented under Indonesian Islamic law. Yet, if we are staying with the tradition we should go with the old ones, unless you want to say that Islamic law is not eternal and its provisions can be changed in accordance with the relevant situation.

    Fourth, we go with the criminal law issues, we can ask the usual famous questions with some twists. We should ask whether respondents would agree that any murderer can be released from punishment as long as he pay a decent amount of compensation to the victim’s family.

    If they say yes, we can ask them whether they would agree that a thief can also be forgiven if he pay additional compensation to his victims along with returning the stolen goods. Such concept does not exist in classical Islamic law.
     
    What I want to test here is whether people would agree that Islamic criminal law is good for the rich but not for the poor since the poor has no money to pay their way out from punishment, whether they will perceive this as a fair law or not. 

    Finally, we ask them about procedural law issues. Would they agree that a woman’s value of testimony will only be considered half of a man? Would they agree that non Muslims cannot testify in a case and if there are no Muslim witnesses for an important case, what would they do?

    Would they agree that any witnesses must satisfy the strict requirement of Islamic law, meaning that such witness is close to a perfect human being, e.g. consistently maintain 5 times prayer a day and any other type of worshiping activities, never lie, maintain body cleanliness all the time, nice to other people, etc.  

    All these questions test the respondents believe on whether the above requirements (which no longer work in actual practice due to their inefficiencies) should be accepted as a part of positive law.

    The final goal of these questions is to test the respondents consistency, especially when we close the survey with this question: would you agree that Indonesia should implement Islamic law in entirety because it is God’s law?

    If they still say yes in the end, we should see whether they accept everything from the beginning or whether they agree to certain parts only. If they only accept certain parts, we can ask them whether they truly believe that Islamic law is perfect and thus should be implemented without any further questions.

    Once we go with these kind of questions, I doubt that the number of people who vote for complete Shari’a implementation would be many. But this is still a prediction.

    So, is there anyone who want to try conducting this survey and find out the real answer?
  • 8 comments:

    Pencari Firdaus said...

    Bang Pram, disebutkan di artikel ini bahwa kesaksian wanita adalah setengah kesaksian pria. "Would they agree that a woman’s value of testimony will only be considered half of a man?" Tetapi menurut artikel ini http://www.lampuislam.org/2015/09/apakah-islam-memandang-wanita-lebih.html kesaksian wanita setengah kesaksian laki-laki hanya pada transaksi keuangan. Sedangkan di dalam ayat alquran lainnya, misalkan pada Annur[24] ayat 6 bahwa kesaksian wanita setara dengan laki-laki (ayat tersebut mengenai kesaksian zina), dan berbagai argumentasi lainnya seperti yang diungkapkan dalam artikel yang saya berikan. Bagaimana Bang Pram menanggapinya? Terima kasih.

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Hi Ghozali, terima kasih atas pertanyannya. Saya senang sekali karena ada yang memberikan pertanyaan serius dan bagus seperti ini. Walaupun analisis dalam artikel itu menarik dan akan bagus kalau kita punya justifikasi tekstual untuk mendukung ide kesaksian wanita setara dengan kesaksian pria, realitasnya tidak seperti itu. Saya cek Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd, Fiqih Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili dan juga ringkasan Fiqh Mazhab Syafi'i susunan Mustafa Dib Al-Bugha. Semuanya menunjukkan bahwa kesaksian wanita setara dengan setengah kesaksian pria (kecuali dalam kasus minim semacam kesaksian melihat bulan). Apalagi dalam kasus hadd untuk Zina, sejauh yang saya baca, syaratnya adalah 4 orang saksi laki2 dan ini disepakati semua mazhab. Kamu bisa cek buku2 mereka di toko buku Islam karena sudah ada terjemahan dalam Bahasa Indonesia.

    Ayat yang kamu sebutkan di atas terkait dengan masalah li'an yang dalam konteks Indonesia disebut dengan cerai karena alasan zina. Dalam kasus itu, hukuman hadd bisa dihindari sepanjang pihak suami dan istri sama2 bersumpah 4 kali (baik yang menuduh maupun yang dituduh) dan ditutup dengan satu sumpah yang intinya menyatakan bahwa kalau mereka bohong, mereka tunduk pada laknat Allah. Setelah itu perkawinan berakhir dan mereka selamanya tidak bisa kawin ulang. Jadi ini kasus yang sama sekali berbeda dengan kasus perzinaan pada umumnya dimana ada 4 orang saksi yang menyaksikan terjadinya persetubuhan. Dan oleh karenanya, tidak bisa digeneralisir untuk menyimpulkan bahwa nilai kesaksian wanita sama dengan kesaksian pria.


    Saya juga memeriksa tafsir Ath-Thabari dan Al-Qurtubhi soal tafsiran ayat An-Nur di atas. Mereka memang tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan saksi dalam hadd zina itu harus lelaki atau perempuan dalam ayat di atas. Tetapi dalam tafsiran atas surah An-Nisaa ayat 15 terkait hukum zina, Ath-Thabari jelas menuliskan bahwa yang dimaksud dengan 4 saksi itu adalah saksi pria, bukan wanita. Jadi saya tidak tahu darimana asalnya si penulis artikel ini bisa bikin kesimpulan bahwa saksi wanita setara dengan pria dalam kasus zina, khususnya dengan mengandalkan ayat dalam An-Nur yang bahkan terkait dengan Li'an, bukan kasus zina biasa.

    Saya juga bingung dengan ide bahwa karena ada riwayat hadis yang diterima dari Aisyah, maka itu menunjukkan bahwa kesaksian wanita setara dengan pria. Ini 2 hal yang berbeda. Kasus nilai kesaksian wanita biasanya memang terkait dengan kasus hukum yang melibatkan sengketa, baik perdata maupun pidana. Periwayatan hadis menggunakan persyaratan lain yang umumnya sudah ditetapkan oleh ulama Hadis, jadi saya khawatir ini ga apple to apple.

    Kesimpulannya, kalau kita mau serius menyimpulkan bahwa kesaksian wanita seharusnya setara dengan pria dalam segala perkara, kita butuh metode penafsiran baru karena kalau hanya berdasarkan teks dan sejarah, kemungkinan besar ga akan ketemu dasarnya. Bahkan Muhammad Al-Ghazali, ulama besar dari Mesir saja dulu dikritik habis-habisan oleh koleganya ketika sempat mengumandangkan ide soal kesetaraan dalam masalah persaksian ini. We're talking about a giant here, Muhammad Al-Ghazali bukan orang sembarangan. Tapi karena isu gender ini sensitif, jadilah dia diserang.

    Memang kalau kita lihat di Indonesia, jelas hukum kita menyamakan kesaksian pria dan wanita. Tapi orang suka lupa, mereka pikir gampang saja bikin justifikasinya bahwa kesaksian ini murni setara dari jaman baheula sementara ayat Qur'an dan Fiqh klasik (bahkan kontemporer pun seperti dari Wahbah Az-Zuhaili) tidak mendukung ide tersebut. Ini yang harus dipikirkan dengan serius ketimbang memberikan penjelasan yang apologetik dan terkesan menutup-nutupi realitas.

    Thanks again for the question!

    Pencari Firdaus said...

    Luar biasa. Saya pikir pertanyaan saya tidak dijawab karena setelah 4 hari belum ada balasan apapun di gmail, ternyata ada di folder 'sosial' bukan di folder utama dan jawaban yang diberikan responnya cepat (2 hari, padahal Bang Pram kan sibuk, pulang kantor saja jam 8 malam #artikel lgbt #pengen tahu jam tidurnya) dan detail (di luar ekspektasi saya jawabannya akan sepanjang itu, walaupun saya malah menjadi lebih berekpektasi ada kutipan aslinya).

    Terima kasih atas sanjungannya Bang Pram mengenai kualitas pertanyaan saya, it's an honour to me.

    Segera setelah membaca komentar Bang Pram, saya menyelidikinya (tetapi belum 'pol' karena ada tugas yang harus dikerjakan tetapi ingin segera membalas komentar).

    Pertama saya ingin menanyakan mengenai apa indikator bahwa kesaksian melihat bulan adalah kasus minim, mengingat bahwa itu adalah pertanda puasa (yang di negara kita bahkan meruncingkan perbedaan 2 golongan)? Dan apabila 'salah atau tidak valid' misalkan lebih satu hari, ramadhan jadi lebih cepat selesai dari seharusnya dan idul fitri jadi bertabrakan dengan hari terakhir ramadhan? Dan ketika seluruh Umat Islam salah waktu beribadah gara-gara satu wanita apakah itu kasus minim? Indikatornya?

    Kedua saya setuju mengenai li'an bahwa itu berbeda sifat dengan hukum biasa dan mengenai periwayat hadits yang memiliki kriteria tertentu yang berbeda dengan persaksian dalam hukum. Terima kasih pencerahannya.

    Yang ketiga sedikit mengenai Ath-Thabari, Nouman Ali Khan (pasti Bang Pram tahu karena dari US) berkomentar bahwa Ath-Thabari adalah sejarawan yang tidak memberikan komentar mengenai keshahihan suatu riwayat, tetapi 'hanya' mengumpulkan pendapat dari setiap periode tertentu. Berikut link video nya: https://www.youtube.com/watch?v=Y9pLpDHd0-g, ini versi lengkapnya: https://www.youtube.com/watch?v=FemDGxSwVcM. Sehingga jika Bang Pram menguatkan argumen tafsir dengan Ath-Thabari menurut saya jadi kurang 'shahih'.

    Terakhir, setelah kembali menyelidiki saya lebih condong ke arah apa yang dituliskan Bang Pram bahwa kesaksian wanita setengah kesaksian laki-laki setelah melihat hadits shohih Rasulullah SAW (https://rumaysho.com/1989-wanita-kurang-akal-dan-agamanya.html). Namun demikian terima kasih apabila Bang Pram menjawab pertanyaan dan pernyataan di atas.

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Berikut tanggapan saya. Pertama, saya sebut melihat bulan sebagai sesuatu yang minim karena memang itu merupakan aktivitas yang tidak membutuhkan nalar yang luar biasa. Kalau kita ingat hadis kontroversial soal lemah akalnya wanita, melihat bulan tidak berkorelasi banyak dengan penggunaan akal dibanding misalnya memahami apakah suatu kontrak sudah benar-benar diikat atau belum. Pun dalam prakteknya, bulan jauh lebih gampang dilihat oleh banyak orang dibanding kontrak atau kasus perzinahan. Pun kita lihat bahwa dalam kasus melihat bulan tersebut, biasanya ulama tetap meminta kesaksian banyak orang. Belum lagi ada hitung-hitungannya dari sudut pandang ilmu falak. Di Indonesia saja kita lihat bagaimana hebohnya proses menentukan bulan Ramadhan. Jadi menyebut kasus melihat bulan ini sebagai suatu penghormatan luar biasa terhadap kedudukan saksi wanita menurut saya berlebihan atau malah menghindari isu krusial soal validitas klaim kurang akalnya wanita yang menyebabkan dalam banyak kasus, kesaksian wanita cuma dinilai 1/2 pria.

    Mengenai status tafsir Thabari, saya harus mengingatkan kamu dengan tegas, menggunakan sepenggal video Nouman Ali Khan untuk menyimpulkan bahwa argumen berdasarkan tafsir Thabari adalah kurang shahih adalah sama dengan menyatakan bahwa Bill Gates bloon berdasarkan sepenggal video yang dibuat oleh mahasiswa semester pertama fakultas ilmu komputer yang mengatakan kalau Bill Gates ga ngerti bahasa programming. Kamu sudah pernah baca Tafsir Ath-Thabari? Bagaimana caranya kamu bisa menyimpulkan bahwa Tafsir Thabari kurang shahih hanya berdasarkan video Nouman Ali Khan??? Hal terakhir yang akan saya lakukan sebagai orang yang menekuni hukum Islam adalah mendasarkan pendapat saya tentang kredibilitas salah satu ahli tafsir paling terkenal dalam sejarah Islam berdasarkan video youtube dari orang yang menurut saya ga jelas asal usul dan kredibilitas akademiknya.

    Ath-Thabari hidup di abad 3 hijriah, sempat mempelajari 4 mazhab terkenal dan bertemu dan belajar langsung dari Ahmad Bin Hambal dan Daud Az-Zahiri. Kitab sejarahnya, Tarikh Ath-Thabari, dan kitab tafsirnya, Tafsir Ath-Thabari, adalah produk yang transmisinya bertahan secara sempurna sampai sekarang (lebih dari 1.000 tahun). Ibnu Katsir sering mengutip Tarikh Thabari untuk referensi. Ibnu Khaldun menganggap buku sejarah Ath-Thabari sebagai salah satu yang paling dapat dipercaya dan bersih dari cacat. Ibnu Taimiyah menganggap Tafsir Ath-Thabari sebagai salah satu tafsir paling shahih dan tidak mengandung Bid'ah. Silakan cek buku Khilafah dan Kerajaan karangan Abul-A'la Al-Maududi untuk referensi soal komentar para ulama terkenal itu mengenai Ath-Thabari. Dibandingkan dengan orang-orang barusan, Nouman Ali Khan cuma butiran debu.

    Pramudya A. Oktavinanda said...

    Saya bukan orang yang melarang kritik terhadap ulama jaman dulu ya. Saya juga tidak sepakat untuk melebih-lebihkan kemampuan ulama jaman dulu. Semua bisa dikritik apalagi dengan kemajuan ilmu modern kita. Tapi untuk cuma selevel Nouman Ali Khan, kritiknya ga masuk akal, tahu dari mana Ath-Thabari cuma asal mengumpulkan pendapat lalu ga diteliti isinya? Kalau benar demikian, kitab Ath-Thabari pasti sudah punah dari jaman dahulu karena dianggap ga kredibel sementara yang menelaah kitab Ath-Thabari sangat banyak. Saya juga jadi yakin kamu belum baca secuil pun kitab tafsir Ath-Thabari karena kalau ya, kamu pasti tahu bahwa gaya Ath-Thabari adalah memberikan kutipan atas banyak tafsir mengenai ayat Qur'an kemudian ia akan memberikan catatan dan argumen mengenai pendapat mana yang lebih sahih. Ath-Thabari bukan ulama kemaren sore, he was a prodigy and a polymath.

    Tapi katakanlah kamu masih belum yakin juga, saya cek Tafsir Al-Qurtubhi, Tafsir Al-Mishbah Prof. Quraish Shihab, Tafsir resmi Departemen Agama, Tafsir Jalalain, dan Tafsir Al-Wasith dari Wahbah Az-Zuhaili, semuanya sepakat menyimpulkan bahwa 4 saksi dalam kasus zina adalah lelaki. Saya harap ini jadi pelajaran. Kalau mau serius belajar hukum Islam, video Youtube doang ga bisa jadi rujukan, apalagi kalau cuma kelas dakwah-dakwah online. You have to invest your time and money reading a lot of books and journals, and even after then, you will still need to make careful and precise arguments before making your own conclusion on a case. Good luck with the journey!

    Pencari Firdaus said...

    Terima kasih atas penjelasan dan nasehatnya. :).

    Pencari Firdaus said...

    Terima kasih atas penjelasan dan nasehatnya. :).

    Mr Frudo said...

    nicely explained appreciated by Family Law Solicitors Near Me also


    The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.