THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Karikatur ISIS dan Kemalasan Dalam Beragama.


    Ketika saya membaca berita ini (yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama berdasarkan Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana gara-gara dimuatnya karikatur ISIS di koran tersebut), saya tahu sudah saatnya saya menulis mengenai isu kemalasan dalam beragama yang nampaknya sudah keterlaluan di Indonesia.

    Kepolisian mengaku sudah memeriksa saksi ahli pidana, ahli agama, dan Dewan Pers sebelum menetapkan Meidyatama sebagai tersangka. Saya serius ingin tahu darimana asalnya ahli-ahli yang dihubungi oleh kepolisian karena ini benar-benar tak masuk akal. Coba kita baca bunyi pasal yang dituduhkan: "dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

    Pasal tersebut pada prinsipnya mirip dengan konsep pasal penghinaan. Dalam beberapa artikel saya sebelumnya di sini dan di sini, saya sudah menyampaikan mengapa kasus penghinaan sebaiknya tidak dibawa ke ranah pidana. Analisis yang sama juga berlaku untuk kasus ini. Pertama, siapa yang dapat mewakili suatu agama untuk menyatakan bahwa seseorang sudah menistakan agamanya? Bagaimana kalau misalnya pendapat umat terpecah belah? Ada yang menyatakan agama tidak dihina dan ada yang menyatakan agamanya telah dihina. Pendapat siapa yang mesti kita ambil? Perlu voting terlebih dahulu atau musyawarah mufakat?  

    Kedua, apa yang dimaksud dengan perbuatan atau pernyataan permusuhan atau penodaan? Ambil contoh konsep agama Islam dan Kristen saja. Agama Kristen jelas tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi dan menganggap Yesus sebagai Tuhan. Sebaliknya Agama Islam juga jelas tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Secara konseptual, kita bisa menyatakan bahwa inti ajaran Kristen sudah menghina doktrin paling fundamental Islam tentang ketunggalan Allah (Islam menyatakan bahwa salah satu dosa terbesar adalah menuhankan apapun selain Allah) dan kenabian Muhammad, dan demikian pula doktrin Islam tentang Yesus juga menolak doktrin utama Kristen. Dengan logika demikian, semua kegiatan dakwah seharusnya dilarang karena kalau tidak, baik umat Muslim maupun Kristen harus masuk penjara karena sudah saling menodai agama masing-masing. Absurd kan?

    Ini mengapa konsep penistaan agama rawan penyalahgunaan. Standarnya tidak akan pernah jelas, dan umumnya dikontrol oleh pihak mayoritas. Lebih parah lagi, karikatur yang diributkan itu sebenarnya menggunakan bendera ISIS yang faktanya memang merupakan organisasi yang biadab. Kalau mau konsisten, yang seharusnya ditangkap oleh polisi adalah orang yang pertama kali membuat bendera ISIS, karena selain mencatut kalimat suci agama Islam, bendera itu juga merusak nama baik umat Islam. Dalam hal ini, orang-orang yang mendukung ISIS dan membawa-bawa bendera ISIS di Indonesia juga seharusnya ditangkap karena sudah menodai Islam di muka umum. 

    Ironisnya, karikatur itu sebenarnya dicomot oleh Jakarta Post dari koran di Timur Tengah. Malahan di Timur Tengah, ISIS seringkali diolok-olok, misalnya bisa dilihat di berita ini. Dan olok-olok itu juga memuat bendera ISIS yang mencomot kalimat suci syahadat. Apakah kemudian orang-orang Timur Tengah ini sudah menistakan agama Islam? Saya pikir jawabannya cukup jelas. Yang disayangkan adalah bahwa orang-orang di sini nampaknya tidak ingin berpikir panjang kalau sudah terkait isu agama.  

    Ingat kasus kartun Nabi Muhammad oleh kartunis Denmark yang sempat heboh di tahun 2005? Kaum muslim gampang sekali marah. Mau bagaimana lagi, Nabi sudah wafat, dan kemungkinan besar tidak akan ada lagi yang bisa menenangkan umat dengan efektif dan efisien selain Nabi sendiri. Padahal kalau orang-orang ini mau sebentar saja memeriksa kumpulan Hadis Bukhari dan Muslim, sudah ada banyak pedoman yang bisa dipelajari dalam menyikapi kasus penghinaan.

    Hadis Bukhari No. 122 dalam Bab 8, Buku 73 mengenai Adab mengisahkan tentang seorang pria dari kaum Anshar yang terang-terangan menuduh Nabi tidak memperhatikan kehendak Allah dalam pembagian rampasan perang (walaupun dia tidak berbicara secara langsung kepada Nabi melainkan kepada salah satu Sahabat Nabi). Ini tuduhan yang sangat serius, lebih serius dari kartun konyol manapun karena sama saja pria itu menuduh Nabi tidak adil. Ketika berita ini disampaikan kepada Nabi, raut muka Nabi sempat terlihat marah, namun beliau kemudian berujar bahwa Nabi Musa pernah disakiti dengan cara yang lebih parah oleh kaum Yahudi, dan Nabi Musa tetap bersabar.

    Dalam Hadis Bukhari No. 184 di Bab dan Buku yang sama, seseorang dari Bani Tamim menuduh Nabi tidak adil di muka umum ketika harta rampasan sedang dibagikan, dan kemudian ia meminta Nabi untuk segera bertindak adil. Umar bin Khatab yang sudah panas langsung meminta izin kepada Nabi untuk memotong leher pria itu. Anda semua tentu tahu kelanjutannya bukan? Nabi melarang Umar melakukan hal tersebut dan hanya memarahi si pria.  

    Terakhir dalam Hadis Muslim No. 5853 dan 5854, seorang Yahudi dan Sahabat Nabi bertengkar dan saling adu mulut, ketika kemudian si Yahudi mengucapkan "demi Tuhan yang sudah menunjuk Musa". Sahabat Nabi tersebut merasa si Yahudi telah menghina Nabi karena masih berani bersumpah dengan merujuk kepada Nabi Musa sementara sudah ada Nabi Muhammad, dan kemudian ia memukul si Yahudi. Si Yahudi melapor kepada Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad pun murka kepada si Sahabat karena berani membanding-bandingkan Nabi Musa dengan Nabi Muhammad. Menurut Nabi Muhammad, tahu darimana nantinya Nabi Muhammad yang lebih baik dari Nabi Musa di hadapan Allah pada saat kiamat?

    3 Hadis di atas saya pikir sudah cukup menjelaskan langkah apa yang perlu diambil terkait penistaan agama. Tidak perlu lebay. Kalau si penghina bermain dengan kata-kata, anda bisa bersabar atau juga membalas dengan kata-kata. Tentu tidak ada yang melarang anda untuk marah atau emosi, tapi kemudian membawa negara ikut serta dalam konflik tersebut? Nampaknya kita hanya akan membuang-buang sumber daya saja. Saya tidak habis pikir bagaimana mungkin begitu banyak orang Muslim yang harus marah-marah dan kemudian merusak nama baik Islam gara-gara kartun yang digambar oleh beberapa orang tak bermakna dari Denmark? Apalah artinya mereka dihadapan kebesaran Nabi? Tapi tidak, hal-hal kecil ini justru dibuat menjadi bola panas, dipolitisasi sampai akhirnya menjadi kasus tenar. Saya sudah bosan melihat orang-orang bodoh dibuat menjadi tenar. 

    Pernah tidak dipikirkan apa dampak sikap yang keras dan seakan haus darah itu terhadap citra Islam? Jelas bukan citra yang baik. Padahal dalam Hadis Bukhari No. 131 Buku 8 Bab 73, Nabi sudah memperingatkan tentang bahaya orang-orang yang membuat umat lari dari agama. Contoh yang dipakai Nabi adalah orang yang memperpanjang bacaan shalat sehingga membuat umat malas shalat berjamaah. Bayangkan, sebegitu pentingnya citra agama sehingga memperpanjang bacaan shalat (yang sebenarnya bukan hal yang buruk juga) dipermasalahkan oleh Nabi. Apalagi kalau kita malah mencitrakan diri kita sebagai umat barbar!

    Pertanyaan terbesar saya adalah mengapa kebodohan dan kemalasan dalam berinvestasi untuk mempelajari agama ini begitu dahsyat? Jujur sajalah, kasus remeh temeh macam karikatur ISIS di Jakarta Post ini tidak akan terjadi kalau kita mau sedikit usaha berpikir dan riset internet melalui google. Apa yang menghalangi orang-orang untuk melakukan hal tersebut?

    Lebih jauh lagi, lihat hal-hal yang paling sering muncul dan dikaji di dunia media sosial. Tak jauh-jauh dari masalah pluralisme, liberalisme, dan toleransi. Kadang-kadang ribut soal moralitas dan perang pemikiran. Kemudian yang sekarang sedang trendi, isu khilafah. Tak lupa sesekali muncul berita-berita hoax seperti misalnya masalah nasab nama istri kepada suami (seakan-akan Indonesia menganut sistem patrilineal seperti di Timur Tengah), atau soal transliterasi kalimat Insya Allah versus Insha Allah, atau juga keburukan arti singkatan Assalamualaikum dalam bahasa Aramaic (yang entah darimana asalnya). Bagi saya, ini semua isu remeh temeh dibandingkan dengan kajian yang sebenarnya lebih penting, khususnya andai kata orang-orang ini bisa memahami tradisi Hukum Islam dan Teori Hukum Islam yang agung.  

    Saya memiliki penjelasan dari sudut ekonomi atas fenomena di atas, tetapi sebelum kita masuk ke sana, saya akan bercerita sedikit dulu tentang bagaimana saya sendiri berinvestasi dalam mempelajari Islam dan hukum Islam. Di kelas 2 SMP, saya pertama kali membaca buku serius saya, Khilafah dan Kerajaan yang dikarang oleh Abu A'la al-Maududi (kalau anda tidak tahu, Al-Maududi adalah seorang tokoh Islam garis keras dari Pakistan yang getol ingin menerapkan syariat Islam di Pakistan).

    Dari membaca buku itu saya kemudian mengetahui sejarah Khilafah yang berdarah-darah, khususnya mulai dari jaman Ustman bin Afffan sampai kemudian khilafah berubah menjadi kerajaan di tangan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sumber Al-Maududi bukan sumber orientalis, dia menggunakan kitab sejarah At-Thabari (kalau anda tidak tahu, At-Thabari adalah mufasir dan sejarawan yang sangat terkenal dari dunia Islam. Kitab tafsirnya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, silakan beli kalau anda mau belajar lebih banyak).

    Dari pengalaman itu, saya menjadi bersemangat untuk tahu lebih banyak soal Islam, Negara Islam, dan Hukum Islam. Di masa SMA, saya kemudian tertarik dengan tasawuf dan sempat bereksperimen dengan sufisme sampai tahun pertama kuliah. Buku-buku seperti Minhajul Abidin dari Al-Ghazali, Al-Hikam dari Ibn Athoillah, sampai buku-buku karangan Ibnu Qayyim al Jauziyah dan Ibnu Taimiyah yang terkait ibadah sudah saya lahap semua. Buku-buku pemikiran pergerakan Islam karangan Yusuf Qardhawi juga banyak yang sudah saya sempat baca ditambah semua buku serial Filsafat Islam terbitan Mizan.

    Oh ya, SMP dan SMA saya adalah sekolah Katolik. Dan selama sekolah itu, saya orang yang pertama kali mendapatkan nilai 10 untuk ujian hafalan ayat Alkitab ditambah ujian menjelaskan 3 konsep suara hati nurani dalam tradisi katolik. Di masa itu, buku-buku karangan Ahmad Deedat tentang Kristologi juga habis saya lahap semua. Tak lupa pula saya yang mengembangkan konsep dialog antar agama untuk keperluam tugas akhir mata pelajaran agama dimana kita berdebat dengan keras tentang isu-isu macam ketuhanan Yesus dan konsep Tuhan dalam Islam.

    Ketika masuk kuliah di FHUI, minat saya semakin kuat terhadap hukum Islam, kali ini saya merambah ke buku-buku fikih dan fatwa kontemporer yang dikarang Yusuf Qardhawi. Gara-gara ledekan sahabat saya (yang tahu kalau saya gampang ditantang), saya kemudian terjerumus mempelajari Ushul Fiqh (Teori Hukum Islam). Di awal masa kuliah, saya menjadi pelanggan tetap perpustakaan Masjid UI. Perpustakaan yang sunyi karena nampaknya pengunjungnya hanya saya seorang dan petugas perpustakaan yang tampak kesepian.

    Perpustakaan Mesjid UI ternyata memiliki banyak koleksi bagus. Saya belajar sendiri Ushul Fiqh, menyalin dan membuat ringkasan sendiri dari buku-buku yang saya baca macam karangan Mustafa Az-Zahra dan Abdul Wahab Khalaf. Saya juga berkenalan dengan kitab-kitab klasik yang masih saya sering rujuk untuk penelitian seperti Bidayatul Mujtahid-nya Ibn Rusyd, Kifayatul Akhyar, dan al-Muwatta Imam Malik. Tidak lupa pula membaca semua buku terkait ekonomi Syariah terbitan Gema Insani Press yang dikarang Umer Chapra, Muhammad Syafi'i Antonio dan Adiwarman Karim.

    Dengan minat besar itu, saya mengambil seluruh mata kuliah terkait hukum Islam di FHUI dan tidak ada satu pun yang nilainya bukan A. Bagaimana tidak, ketika rekan-rekan saya masih kesulitan membedakan Mudharabah dan Musyarakah, serta masih salah mengeja Murabahah menjadi Mubarahah, saya sudah memahami semua jenis bentuk pembiayaan syariah (pernah dengar Ijarah Mausufah Fi Zhimmah? Itu konsep pembiayaan yang lebih menarik dibanding pembiayaan standar macam Ijarah Muntahia Bi Tamlik. Silakan di-google). Dalam kelas Waris Islam, saya memperbaiki kesalahan dosen yang kurang tepat dalam menjelaskan konsep Kalalah. Referensi saya dalam buku Waris Islam lebih banyak dibanding si dosen.

    Dan buku-buku tentang Islam saya juga semakin bertambah, Teori Politik Islam Dhiaddudin Rais, Al Ahkam Al Sulthaniyah dari al-Mawardi, buku-buku Hukum Islam karangan sarjana Indonesia seperti A. Hanafi, Hazairin dan T.M. Hasby Ash-Shidiqie. Dengan menggunakan teori Istislah dari Ushul Fiqh, saya menulis makalah yang membuat saya menjadi pemenang lomba karya tulis nasional bidang hukum dan kompetisi mahasiswa berprestasi utama FHUI. Teori yang sama saya kembangkan lebih jauh untuk keperluan skripsi saya dalam menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Terorisme.

    Ketika sudah bekerja, dengan penghasilan yang jauh lebih memadai, saya bisa membeli lebih banyak buku lagi. Dari ribuan koleksi buku saya, buku-buku tentang pemikiran Islam, hukum Islam, hadis, ushul hadis, tafsir, ushul quran, dan teori hukum Islam menempati urutan nomor 2 terbanyak setelah buku-buku tentang hukum positif. Singkat kata, saya cukup yakin bahwa akumulasi pengetahuan saya sudah hampir pasti jauh di atas rata-rata kebanyakan orang Indonesia. Apakah saya puas? Sama sekali tidak.

    Merasa sudah tidak ada lagi yang bisa diserap di Indonesia, saya memutuskan untuk mendalami lebih jauh mengenai Hukum dan Ekonomi dan untuk itu saya harus pergi ke University of Chicago sebagai pendiri aliran tersebut. Gara-gara belajar Ushul Fiqh, khususnya teori Istislah, saya menjadi semakin tertarik dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum yang akhirnya membuat saya mencintai ilmu ekonomi. Malah boleh dibilang, saya tergila-gila dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum, efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan bukan karena saya pergi ke Chicago, tetapi melainkan karena saya belajar Ushul Fiqh selama bertahun-tahun. Pergi ke Chicago adalah untuk mendalami ilmu teknis yang belum saya kuasai dan memperkuat keyakinan saya akan keunggulan analisis ekonomi. Saya sudah melahap buku-buku yang mengkritik pendekatan pasar sejak SMA macam buku-buku Stiglitz dan kawan-kawannya, di Chicago saya mengambil kelas teori politik tentang kritik terhadap neoliberalisme dan membaca literatur terkait Behavioral Econ. Semua untuk menguji keyakinan saya agar semakin terasah.

    Dan sekarang ketika saya sedang mengerjakan disertasi saya pun, saya masih berpikir bahwa kemampuan teknis saya masih kurang. Di Chicago, saya melihat profesor yang sudah membaca lebih banyak lagi buku dan makalah dibanding saya, profesor dan murid-murid dengan kemampuan teknis yang jauh lebih mumpuni dari saya. Dan saya senang luar biasa, akhirnya saya menemukan tempat di mana saya bisa mempelajari hal baru, ada orang-orang yang bisa mengajari saya, ada tempat dimana saya bisa tertantang lagi. Saya teringat dulu pernah sempat ikut acara tarbiyah dan setelah pertemuan kedua, saya tak pernah hadir lagi karena mentor yang ditunjuk untuk saya tidak bisa mengajarkan satu pun yang belum saya ketahui.

    Kenapa saya bercerita panjang lebar tentang investasi saya? Saya ingin menunjukkan bahwa bahkan setelah belasan tahun belajar dan menyerap ilmu sedemikian banyaknya, saya merasa masih belum bisa menguasai semua aspek yang saya perlukan untuk menyusun magnum opus saya dalam hukum Islam. Namun lucunya, banyak sekali orang-orang dengan pengetahuan cetek (ya, cetek), dengan jumlah bacaan yang tak seberapa, dan konsep yang tak jelas, meributkan tentang hal-hal remeh temeh dalam Islam, merasa tahu segalanya, dan diikuti oleh banyak orang pula. Ini sungguh mengenaskan.   

    Tahukah anda bahwa seandainya Ushul Fiqh tidak mandeg di abad pertengahan dan umat Islam mau berfokus pada hal-hal yang penting, saya cukup yakin aliran Hukum dan Ekonomi tidak akan diciptakan oleh University of Chicago. Aliran itu akan muncul di dunia Islam dan pendirinya adalah Umar bin Khatab, bukan Richard Posner. Ini bukan omong kosong ala Erdogan yang menyatakan bahwa benua Amerika ditemukan oleh orang Islam. Ini hasil mempelajari berbagai putusan hukum yang dibuat oleh Umar.

    Begitu banyak kajian menarik di dunia klasik Islam yang terbengkalai karena tidak ada lagi yang mau mengangkatnya. Bayangkan seandainya hukum Islam kembali berfokus pada efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan tapi dengan menggunakan ilmu dan sarana teknis yang belum ada pada jaman Umar bin Khatab. Akan sedahsyat apa kekuatan analisisnya? Mengapa perbudakan tak pernah tegas diharamkan? Mengapa mabuk dihukum cambuk tetapi makan babi tidak padahal status keharaman babi lebih absolut dibandingkan dengan keharaman alkohol? Mengapa zina dibebani hukuman tetapi syarat pembuktiannya begitu keras ditambah pula dengan aturan bahwa dilarang mengintip ke dalam rumah orang lain? Tidak percaya? Lihat Hadis Muslim No. 5366.

    Begitu banyak pertanyaan dan juga informasi yang menarik. Misalnya tahukah anda bahwa aturan yang mewajibkan suami harus menceraikan istri melalui pengadilan diadopsi dari fikih Syiah? Anda bisa membaca ini dalam buku Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Indentity, yang membahas mengenai debat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Saya juga sudah memeriksa hal tersebut di jurnal hukum lainnya. Tahukah anda bahwa Islam tidak pernah mempunyai konsep khilafah secara resmi dalam Al-Quran? Kajian Al-Mawardi itu dilakukan ratusan tahun kemudian setelah masa Khulafaur Rasyidun, ketika institusinya sudah dibangun berdasarkan praktek di lapangan. Sekarang saya sedang meneliti sejarah Ottoman terkait bagaimana Ottoman menerapkan aturan hukum yang pluralistik. 

    Tapi tidak, umat lebih suka dengan tawaran mimpi-mimpi yang enak didengar semacam hukum Islam pasti menyelesaikan semua masalah (nyatanya tidak, studi Tahir Wasti di Pakistan menunjukkan bagaimana aplikasi hukum pidana Islam malah memperkuat institusi pembunuhan terhadap perempuan), atau khilafah adalah solusi atas segala permasalahan di muka bumi, tata surya, galaksi bima sakti, alam semesta, dan 17 dimensi lainnya. Sumber daya habis tiap tahun untuk membahas isu tak berguna macam hukum mengucapkan selamat Natal dan hari Valentine. Luar biasa!

    Beberapa orang yang tak jelas keilmuannya bahkan sudah lebih jagoan lagi dalam menuduh sesat orang lain, bahkan ulama terkenal sekalipun. Quraish Shihab misalnya sempat dituduh sebagai Syiah. Dasarnya apa? Sebuah artikel internet yang tak bisa diverifikasi kebenarannya. Untungnya Quraish Shihab adalah mufasir yang paham Quran dan Hadis, beliau tak permasalahkan terlalu jauh tuduhan dari manusia yang tak bermakna.

    Secara ekonomi saya bisa menduga mengapa kajian-kajian tanpa keilmuan ini dan hal-hal remeh temeh ini laku keras. Mengapa orang tidak berminat untuk berinvestasi dalam suatu kegiatan? Mudah, karena kegiatan itu tak diberikan prioritas. Opportunity Cost-nya mahal untuk melakukan kegiatan lain. Kebanyakan orang nampaknya secara tak sadar sudah melakukan analisis untung rugi  dalam hidupnya dan mereka berkesimpulan bahwa mendalami agama memang bukan prioritas dalam hidup dibanding aktivitas lainnya. Tentu saja saya tak akan menyalahkan mereka. Setiap orang punya prioritasnya masing-masing. Alasan saya mendalami hukum Islam juga tidak muluk. Saya senang dan menikmatinya, saya senang mengajar dan gampang gregetan melihat ide bodoh (dan rasa gregetan itu saya tuangkan dalam artikel). Tidak rumit kan?

    Tapi tentu tak elok rasanya kalau kita terang-terangan menunjukkan bahwa investasi mendalami agama sudah tak penting lagi dalam hidup kita, kita masih perlu simbol yang tepat untuk menunjukkan seakan-akan kita peduli. Ah gampang, main di isu akidah saja. Goreng terus ide ini karena walaupun hidupnya amburadul dan pengetahuan agamanya minim, minimal dia tahu Allah itu Tuhan dan Muhammad adalah Nabi.

    Dan ketika permintaan akan kajian simbolik ini makin keras, akan selalu ada wiraswasta handal yang siap mengambil keuntungan. Tidak heran kajian simbolik modal buku Ahmad Deedat atau mungkin buku-buku propaganda lainnya, serta rasa percaya diri yang kuat, sangat diminati. Jualan buku, acara seminar, video, dan sebagainya. Semua senang. Modal awal yang dibutuhkan untuk retorika memang rasa percaya diri. Persetan dengan logika dan pengetahuan. Kalau orang sudah puas dengan retorika omong kosong dan hal itu memberikan penghasilan yang cukup, untuk apa bersusah payah belajar lebih banyak? 

    Saya ucapkan selamat kepada orang-orang ini. Mereka berbakat untuk mendalami ilmu ekonomi lebih jauh dan sudah pandai melakukan analisis untung rugi. Siapa tahu, suatu hari nanti mereka mungkin akan diterima di University of Chicago dan menjadi pemenang Nobel Ekonomi selanjutnya. Oke, saya berlebihan untuk yang satu ini. Mustahil akan terjadi sampai unta masuk ke dalam lubang jarum.

    Sesungguhnya, saya tak ingin percaya dengan prediksi Nabi dalam hadis Abu Daud tentang masa depan umat Islam yang banyak tapi lemah seperti buih kotor di lautan. Tapi mungkin prediksi Nabi benar. Umat Islam sudah jauh lebih banyak dibanding di masa lalu, tetapi nilainya nol besar. Persis seperti ratusan kultwit yang tiap hari muncul untuk kemudian hilang esok hari, tak bermakna, tak bernilai, dan sia-sia belaka.

    Sebagai penutup, saya tidak akan menilai bagaimana anda menempatkan prioritas hidup anda, karena semua orang punya perhitungan untung rugi sendiri, bahkan sekalipun anda tak ingin mengakuinya. Tetapi jangan terlalu lama menipu diri sendiri. Kalau anda memang tidak peduli dengan agama anda dan tidak ingin berinvestasi, minimal tidak perlu berperilaku berlebihan dalam menunjukkan simbol agama. Karena walaupun anda bukan representasi resmi agama anda, orang akan selalu mengasosiasikan anda dengan agama anda tersebut, dan kelak anda akan dimintai pertanggungjawaban atas pencitraan anda yang bermasalah itu.
  • Moralitas dan Pasar (Atau Mengapa Michael Sandel Tidak Paham Ekonomi)


    Kemarin saya menerima tautan artikel yang ditulis oleh Michael Sandel dengan judul "The Moral Limits of the Market". Singkat cerita, Sandel ingin menunjukkan bahwa tidak semua hal bisa diatur oleh pasar dan tidak semua hal bisa dibeli serta bahayanya apabila semua aspek kehidupan tunduk pada pasar. Saya selalu tertarik dengan kritik yang bermutu terhadap Law & Economics. Sayangnya ketika saya membaca artikel ini, kesan utama yang saya tangkap adalah Sandel tidak paham ilmu ekonomi.

    Pertama-tama, Sandel memberikan 3 contoh kasus yang menurutnya bermasalah dari sudut pandang moralitas: (i) aturan penjara di Santa Barbara, California, yang memperbolehkan narapidana untuk membeli akomodasi yang lebih baik dengan harga US$90 per malam, (ii) program sumbangan US$300 bagi wanita pecandu narkoba yang bersedia untuk disterilisasi guna mencegah lahirnya anak  dari wanita pecandu tersebut, dan (iii) perusahaan yang menyediakan joki antrian untuk menghadiri acara tertentu dengan menyewakan tuna wisma atau pengangguran untuk mengantri.

    Saya sulit memahami mengapa hal ini bisa dianggap salah. Mungkin karena Sandel sendiri tidak menjelaskan dengan rinci dalam artikelnya nilai-nilai moral mana saja yang harus didahulukan. Alih-alih berbicara dengan sistematis, Sandel malah melantur kemana-mana seperti membahas soal nilai kemanusiaan, harga diri, ketimpangan sosial akibat pasar, dan korupsi, sambil berbicara tentang pentingnya masyarakat membahas hal ini secara mendalam.

    Dalam ekonomi normatif, nilai utama yang dianggap penting adalah efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Ambil contoh soal ketimpangan yang diributkan oleh Sandel. Menjelaskan mengapa ketimpangan itu buruk berdasarkan moralitas tidak terlalu sulit, anda tinggal mengklaim bahwa ketimpangan itu buruk secara moral. Anda bisa menambahkan bahwa hal ini benar secara intuitif atau ada nilai moral yang lebih tinggi yang menunjukkan bahwa ketimpangan itu buruk. Apanya yang mendalam? Justru berbicara apakah ketimpangan buruk dari sudut pandang efisiensi dan totalitas kesejahteraanlah yang bisa melatih kita untuk berpikir secara lebih mendalam, karena kita harus bisa berpikir bagaimana menghubungkan isu ketimpangan tersebut dengan kesejahteraan total.

    Ketimpangan sampai level tertentu pasti dibutuhkan. Tanpa ada ketimpangan sama sekali, tidak ada insentif untuk maju. Kalau semua orang menerima upah yang sama, terlepas apapun produktivitasnya, untuk apa bekerja keras? Kalau semua orang akan menerima ranking yang sama di kelas atau cukup sekedar lulus saja tanpa nilai, untuk apa susah payah belajar? Tidak usah jauh-jauh, dalam Islam pun konsep surga bertingkat-tingkat. Surga Islam tidak egaliter dimana semua orang akan berada dalam posisi yang sama. Semakin tinggi amal dan ketakwaannya, semakin tinggi derajatnya di hadapan Tuhan. Ketimpangan mau tidak mau harus ada demi kemajuan. Kurang intuitif apa lagi?

    Tetapi ketimpangan yang berlebihan juga akan bermasalah. Masyarakat yang terlalu timpang akan lebih rawan konflik. Sederhananya, orang tak akan pernah bisa lepas dari rasa iri. Menjadi miskin itu menderita (saya tahu karena sudah pernah mengalami), dan penderitaan cenderung berubah menjadi kemarahan ketika tak kunjung usai. Kebijakan distributif menjadi masuk akal dalam konteks pengurangan konflik tersebut. Kalau orang yang lebih miskin bisa dibuat lebih senang tanpa harus membebani yang lebih kaya terlalu berat, mengapa tidak? Kalau anda tidak suka dengan istilah ini, anda bisa menggantinya dengan konsep Islam tentang adanya hak orang miskin dalam harta anda. Apapun namanya, konsepnya sama. Kuncinya ada di keseimbangan. Toh pemerintah dan pajak adalah 2 hal yang sudah tidak bisa dihindari di dunia modern. Daripada sibuk berbicara soal kebebasan mutlak, lebih baik berbicara soal bagaimana agar kebijakan distributif tersebut dijalankan secara efisien. Ini tentunya kalau kita mau serius bicara secara mendalam, bukan mengawang-awang.

    Kembali lagi ke 3 contoh yang sempat kita bahas di atas. Karena Sandel tidak menjelaskan dengan rinci apa masalah dari 3 kebijakan tersebut, saya akan mencoba berpikir seperti Sandel dan menggunakan nilai-nilai yang ingin dia pertahankan. Pertama soal akomodasi penjara. Apa yang akan Sandel katakan? Tidak adil? Kebijakan ini mendukung mereka yang lebih kaya dibandingkan dengan yang lebih miskin? Atau apakah dengan kebijakan seperti ini orang kaya menjadi tidak menghargai nilai-nilai luhur hukum pidana karena berpikir hukum bisa dibeli?

    Mengapa tidak adil? Tidak adil adalah apabila orang kaya boleh meminta kenaikan akomodasi tanpa perlu membayar sedikitpun. Siapa yang bisa bilang bahwa definisi tidak adil saya salah? Siapa juga yang bisa bilang bahwa definisi Sandel benar? Apakah karena diperbolehkan untuk membeli akomodasi maka orang kaya diberikan prioritas secara tidak adil terhadap orang miskin? Ukurannya tidak jelas.

    Kalau anda khawatir bahwa efek jera berkurang karena orang kaya menganggap hukum bisa dibeli, isunya bukan soal pembelian akomodasi penjara, isunya di harga yang perlu diterapkan. Kalau suatu barang dihargai terlalu murah, ya nilainya juga menjadi tidak seberapa. Atau Sandel khawatir, hal ini akan dikorupsi? Tanpa ada aturan itupun, jual beli akomodasi penjara sudah lazim ada. Kita bisa mengambil kebijakan untuk melarangnya secara total, atau kita bisa menggunakannya untuk mendapatkan manfaat dalam bentuk lain. Intinya ada di kreativitas kita dalam menyusun kebijakan.

    Pertanyaan yang hilang dari artikel Sandel adalah uang yang diterima untuk membayar kenaikan akomodasi itu akan digunakan untuk apa? Kalau uangnya digunakan untuk memperbaiki kualitas penjara bagi mereka yang lebih miskin, apa bedanya dengan kebijakan distribusi yang diidam-idamkan Sandel? Apabila Sandel memahami ilmu ekonomi, pertanyaannya tidak berhenti pada apakah kebijakan akomodasi penjara adil atau tidak adil, tetapi bagaimana agar kebijakan itu bermanfaat bagi semua orang. Itu pertanyaan yang menurut saya lebih tepat guna untuk ditanyakan.

    Analisis ekonomi juga tidak akan berhenti di satu titik, tetapi akan terus kritis terhadap aspek-aspek yang paling relevan terhadap isu akomodasi penjara. Kalau misalnya kita perbolehkan narapidana untuk membeli akomodasi yang lebih baik, apakah pasti dana tersebut aman? Bagaimana caranya agar dana tersebut tidak disalahgunakan oleh sipir penjara? Itu berarti kita juga harus memikirkan insentif dari sipir. Apa sebaiknya dana tersebut diserahkan sebagian kepada sipir? Dan sebagainya.

    Selanjutnya mengenai wanita yang disterilkan. Apakah ini isu harga diri? Atau isu soal bayi yang tak akan pernah dilahirkan? Kalau Sandel mau berpikir lebih mendalam, ia juga harus berpikir mengenai bagaimana nantinya kalau si wanita pecandu tetap dibiarkan memiliki anak. Apakah nasib anak itu tak penting? Apakah Sandel yakin wanita pecandu itu akan bisa menjadi ibu yang baik? Apakah kemudian harga diri si wanita menurun? Dia tidak dipaksa untuk disterilkan. Bukankah itu tetap menghargai kebebasan individu yang setahu saya umumnya dianggap penting oleh para filosof moralis? Lebih penting lagi, bagaimana mengukur nilai dari bayi yang bahkan tak pernah muncul ke dunia?

    Coba kalau kita lihat ini dari sudut ekonomi, saya akan terlebih dahulu berfokus pada teknologi sterilisasi. Apakah permanen atau tidak? Kalau tidak permanen, ini kebijakan yang peduli baik pada ibu maupun anaknya. Tidak ada yang dirugikan. Kalau permanen, perlu dipastikan apakah si wanita menerima informasi yang tepat ketika ia mengambil keputusan agar jangan sampai harga yang ditawarkan terlalu murah. Bukan apa-apa, walau tidak semua wanita menginginkan anak, bukan berarti kehadiran anak tidak bernilai sama sekali. Ekonom yang peduli pada kesejahteraan akan memikirkan bagaimana caranya menyeimbangkan antara harga sterilisasi dan keinginan untuk memiliki anak di masa depan. Apa yang bisa ditawarkan oleh Sandel dalam menjawab isu seperti ini? Sekedar bahwa sterilisasi tidak bermoral? Lalu? Seterusnya apa?

    Isu joki antrian bahkan lebih absurd lagi untuk digunakan sebagai contoh oleh Sandel. Dia nampaknya lupa membandingkan bagaimana nasib tuna wisma dan pengangguran ketika mereka tidak punya penghasilan. Tanpa penghasilan dan pekerjaan, ujung-ujungnya mereka akan menjadi pengemis. Dimana letak harga diri dari mengemis? Bagaimana mungkin secara moral kita bisa membiarkan tuna wisma mengemis (dan menjual harga dirinya) sementara kita mempertanyakan tindakan si tuna wisma sebagai joki antrian? Analisis macam apa itu? Saya bahkan tidak perlu panjang lebar membahas isu joki antrian dari sudut ekonomi, ini contoh usaha yang brilian dan menguntungkan para pihak yang terlibat tanpa harus merugikan pihak lain.     

    Terakhir, Sandel ingin menunjukkan contoh kuat bahwa tidak semua bisa diserahkan kepada pasar melalui isu jual beli voting. Menurut Sandel, mengapa jual beli voting tidak dilakukan saja? Kalau seseorang tidak ingin melaksanakan hak votingnya, dia bisa menjual haknya itu kepada orang lain yang menginginkan dan semua akan sama-sama untung. Nyatanya hal itu dilarang. Sandel lalu melompat dengan menyatakan bahwa argumen terbaik untuk tidak menjual hak voting adalah karena voting merupakan tanggung jawab publik. Saya tidak tahu darimana Sandel bisa menyatakan bahwa argumen barusan adalah argumen yang terbaik, tetapi saya sudah benar-benar yakin kali ini kalau Sandel harus belajar ekonomi.

    Saya sudah panjang lebar membahas mengenai isu jual beli voting di artikel ini, ini, dan ini. Permasalahan utama dari pola pikir macam Sandel adalah karena ia seakan-akan berpikir bahwa isu jual beli voting akan selesai hanya dengan melarang jual beli voting dan mendidik moral semua manusia di planet Bumi ini. Kenyataannya, jual beli voting akan selalu ada. Ketika politikus berjanji macam-macam kepada calon pemilihnya, bukankah itu sama saja dengan jual beli? Politikus menjual janjinya kepada pemilih, dan pemilih membeli janji tersebut dengan memilih si politikus. Kita tidak bisa lari dari mekanisme pasar di situ.

    Dalam artikel saya di atas, saya mendukung legalisasi jual beli voting. Bukan karena saya ingin agar voting benar-benar diperjualbelikan, tetapi agar jual beli voting menjadi tidak menarik lagi untuk dilaksanakan. Jual beli voting belum tentu efisien, tanpa persyaratan yang pas, mekanismenya bisa disalahgunakan. Tapi bukan berarti bahwa kemudian jual beli voting menjadi 100% salah dan tidak berguna. Argumen Sandel yang menyatakan bahwa seharusnya jual beli dilakukan saja karena menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat membuktikan ia tak tahu kalau ilmu ekonomi tidak bicara melulu soal transaksi antar 2 pihak, tetapi juga eksternalitas dari transaksi tersebut kepada pihak ketiga (yang bisa jadi positif atau negatif). 

    Banyak ekonom yang melakukan riset dalam menyusun sistem voting yang lebih baik, yang lebih sulit untuk disalahgunakan oleh satu pihak tertentu. Tapi untuk menyusunnya, kita butuh kajian yang serius dan data empiris yang memadai. Pendekatan Sandel tidak akan banyak membantu. Katakanlah secara moral Sandel benar bahwa jual beli voting tidak sesuai dengan nilai moralitas yang baik. Lalu? Apakah kemudian semua politikus dan pemilih akan berhenti melakukan jual beli voting begitu saja? Atau memang seperti ini tugas filosof? Menyatakan mana yang salah dan benar,  tetapi sehabis itu tidak memikirkan bagaimana caranya menyusun sistem agar yang menurutnya benar bisa tercapai di dunia nyata?

    Sandel menutup artikelnya dengan mengajak pembacanya untuk berpikir secara serius mengenai isu kapan pasar mendukung kebaikan publik, dan kapan pasar tidak mendukungnya. Saya sepakat dengan Sandel. Itu pertanyaan yang baik dan patut ditanyakan. Sayangnya Sandel sendiri kemungkinan besar tidak akan bisa menjawab hal itu karena ia tidak memiliki pisau analisis yang tepat.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.