Bagi saya, pencitraan tidak lah cukup. Saya tidak peduli apakah presiden punya bakat jadi pemimpin sangar atau pemimpin yang merakyat. Saya juga jelas bukan target dari kampanye yang basisnya macam: pemimpin ganteng, pemimpin bisa baca Quran, pemimpin dukungan Kristen, pemimpin dukungan Islam, pemimpin keturunan non pribumi, pemimpin galak, pemimpin boneka dan sebagainya. Saya malu dengan gelar pendidikan dan profesi saya, kalau membuat pilihan berdasarkan alasan-alasan di atas mengingat kebanyakan melibatkan teori konspirasi yang tidak bisa dibuktikan.
Maka, konsisten dengan pendekatan Hukum dan Ekonomi (Law & Economics) yang selalu saya usung di blog ini, pertimbangan saya dikembalikan kepada analisis untung rugi (cost benefit analysis) dan sifatnya pragmatis. Kita memilih calon yang dinilai akan lebih baik dalam memimpin negara ini daripada calon yang lain. Sederhana saja. Namun berhubung saya juga tidak punya waktu untuk memantau semua program capres, saya berharap bisa memilih dengan mengandalkan debat capres-cawapres. 2-3 jam seminggu ditambah membaca komentar-komentar atas debat itu saya pikir sudah cukup bagi saya untuk membantu mengambil keputusan dalam jadwal yang padat.
Oleh karenanya, saya sangat tertarik dan senang bisa menonton jalannya debat Jokowi-JK versus Prabowo-Hatta dalam acara debat calon presiden 2014. Pertama tentang isu hukum dan demokrasi pada tanggal 9 Juni 2014, lalu isu ekonomi pada tanggal 15 Juni 2014 kemarin. Jujur saja, sebagai orang yang memilih untuk tidak memilih pada saat pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu, dan juga tidak mengikuti debat calon presiden di tahun 2009 dengan seksama, saya belum pernah melihat Prabowo dan Jokowi bicara di publik dalam format debat.
Berikut adalah catatan saya atas debat tanggal 9 Juni 2014. Selanjutnya di artikel berikutnya, saya akan memberikan catatan atas debat soal ekonomi tanggal 15 Juni 2014.
1. Soal Kemampuan Berbicara
Sebelum masuk ke materi perdebatan, saya ingin membahas sekilas soal kemampuan berbicara para kandidat. Dalam debat pertama, Jokowi dan Prabowo nampaknya sama saja. Prabowo tidak tampak seperti orator jagoan yang dikatakan mirip dengan Bung Karno. Jokowi juga ya biasa saja. Dalam debat kedua, Prabowo tampil lebih baik sebagai pembicara dengan retorika-retorika yang umumnya didengar dalam kampanye politik. Jokowi tampil kurang meyakinkan pada awalnya, walaupun kemudian bisa mengejar dalam penyampaian programnya.
Kemampuan berbicara sebenarnya lebih ke soal mencari massa. Sebagaimana pernah saya sampaikan di sini, kapabilitas untuk dipilih menjadi pemimpin dengan kapabilitas untuk menjadi pemimpin adalah 2 aspek yang sangat berbeda. Orang yang jago berbicara tentunya akan lebih mudah untuk meyakinkan orang lain, terlepas apakah yang disampaikan benar atau tidak. Dan dalam format debat yang waktunya terbatas, bisa jadi persona yang ditampilkan dengan cara meyakinkan akan lebih mengena walaupun isinya omong kosong saja.
Dalam hal ini, sebagaimana akan saya uraikan lebih jauh di bawah ini, saya menangkap apa yang disampaikan oleh Prabowo kebanyakan hanya retorika yang tidak jelas. Sedangkan Jokowi menampilkan program-program yang bisa lebih saya hargai, namun karena penyampaiannya tidak terlalu bagus, saya menduga tidak banyak orang bisa menangkap maknanya dengan tepat.
Dalam skala luas, gaya penyampaian Prabowo akan terlihat lebih meyakinkan dan bagi pemilih yang tidak terlalu peduli dengan isi pembicaraan, akan lebih menarik perhatian orang untuk memilih Prabowo (misalnya kalimat-kalimat yang mengusung kepedulian Prabowo akan lapangan pekerjaan bagi rakyat, agar rakyat tidak kelaparan, tidak pusing memikirkan pendapatan, dan sebagainya). Jokowi perlu memperbaiki hal tersebut kecuali dia dan timnya cukup yakin bahwa pasar pemilihnya sudah cukup banyak untuk memenangkan Jokowi. Tapi tidak pernah salah untuk berhati-hati dalam pilpres. Kalau niatnya menang, usahanya tentu perlu lebih keras lagi.
2. Penjelasan Konsep Demokrasi
Ketika menonton debat hukum dan demokrasi, saya langsung kecewa begitu mendengar Prabowo menjawab di awal debat bahwa isu hukum dan demokrasi di Indonesia disebabkan karena larinya kekayaan Indonesia ke asing. Pertanyaan saya, apa hubungannya dan bagaimana caranya larinya kekayaan Indonesia ke asing menyebabkan permasalahan terhadap hukum dan demokrasi di Indonesia? Selanjutnya, penyampaian ide prabowo bahwa demokrasi hanyalah alat bagi saya sah-sah saja. Dalam teori Public Choice, semua kelompok kepentingan (interest group) memiliki agenda sendiri-sendiri dan akan menggunakan berbagai sarana untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Rasional.
Tetapi penjelasan Jokowi bahwa demokrasi adalah soal mendengar lebih menarik bagi saya. Urusan administrasi negara membutuhkan pemimpin yang bisa mendengar. Dalam skala modern, sistem Command Center atau War Room (yang sudah dimiliki Presiden SBY saat ini), yang memungkinkan seorang Presiden untuk memantau setiap kejadian di Indonesia secara real time seharusnya lebih memudahkan pemimpin untuk mendengarkan keluh kesah masyarakat. Saya sempat menikmati foto-foto real time situasi di Indonesia ketika menyaksikan presentasi Pak Kuntoro Mangkusubroto dalam acara peluncuran Alumnas Scholar Forum beberapa minggu lalu. Jokowi dengan konsep mendengarnya seharusnya bisa memanfaatkan sistem yang sudah ada tersebut. Minimal mengurangi porsi acara "blusukan" yang sering dikritik, toh sudah ada mekanisme yang lebih efisien.
3. Penunjukan Kabinet
Selanjutnya, saya mencatat soal isu penunjukan kabinet yang sering memuat politik dagang sapi. Secara umum, kedua belah pihak memberikan jawaban normatif yang sama. Tapi dalam penyampaiannya, tim Jokowi terlihat lebih tegas dan berani menjanjikan bahwa tim kabinetnya akan dipilih berdasarkan profesionalitas. Lebih sulit untuk menangkap ketegasan yang sama dari tim Prabowo, khususnya dengan pemberitaan bahwa Prabowo sempat menawari adanya jabatan Menteri Utama kepada Aburizal Bakrie, dan juga sempat kepada Mahfud MD.
Penyusunan kabinet berbasis profesionalitas adalah mimpi yang luar biasa, siapa pun yang bisa mewujudkan hal tersebut layak disebut jagoan. Saya setidaknya sudah bisa melihat bibit-bibitnya dari mekanisme yang digunakan oleh Jokowi bersama Ahok dalam susunan kepegawaian di Pemda DKI Jakarta. Saya tidak bisa melihat hal ini dari Prabowo, karena faktanya, tidak ada rekam jejak sama sekali mengenai soal ini. Baru pembicaraan saja.
4. Komitmen akan Pluralitas
Isu berikutnya adalah soal pluralitas. Baik Prabowo dan Jokowi memberikan jawaban serupa. Jokowi memberikan contoh lurah Susan, dan Prabowo memberikan contoh Ahok sebagai bukti komitmen dukungan mereka terhadap pluralisme di Indonesia. Dua-duanya contoh yang baik. Sebenarnya latar belakang Prabowo juga adalah keluarga yang pluralis (ayah ibunya nikah beda agama, dan saudara Prabowo beragama Kristen). Tetapi saya punya kekhawatiran yang cukup beralasan bahwa Prabowo didukung oleh grup-grup macam FPI dan juga Partai seperti PKS yang komitmennya terhadap pluralitas Indonesia sejauh ini jelas sangat minim. Harapan saya, dengan merangkul mereka, Prabowo justru bisa mengendalikan mereka, tetapi ini belum bisa diketahui. Denga adanya fakta ini, bagi saya, lebih aman memilih Jokowi terkait komitmen atas pluralitas.
5. Penegakan Hukum
Di awal, tim Jokowi lebih dulu menegaskan dukungannya kepada KPK. Tetapi buat saya, itu standar saja. Saya lebih tertarik seandainya Jokowi berani berbicara penegakan hukum berbasis insentif dan analisis untung rugi. Misalnya fokus penegakan hukum korupsi yang berbasis pengembalian aset negara dan pemberian bonus kepada petugas KPK yang paling sukses dalam mengembalikan aset negara.
Tim Prabowo berbicara soal penegakan hukum yang lebih merata, supaya tidak tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah. Isu utamanya tentunya soal anak Hatta Rajasa. Sebagai pendukung aliran Hukum dan Ekonomi, saya jelas lebih mendukung penjatuhan pidana dalam bentuk denda dan ganti rugi dibandingkan dengan penjara. Pun sejauh yang saya ketahui, anak Hatta Rajasa dijatuhi hukuman pidana percobaan. Bagi saya itu lebih efisien. Pertanyaannya, bagaimana caranya supaya pendekatan yang lebih efisien ini bisa diaplikasikan untuk semua lapisan masyarakat? Andai pasangan Prabowo berani menjawab soal itu dibandingkan dengan retorika normatif umumnya, maka saya akan lebih teryakinkan. Untuk itu, dalam soal penegakan hukum ini, bagi saya dua-duanya sama saja.