THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Mimpi Besar ILUNI UI di Hari Kemerdekaan



    Ketika saya pertama kali memutuskan untuk maju sebagai calon ketua umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) 8 minggu yang lalu, saya tidak pernah menduga ILUNI UI benar-benar akan menjadi organisasi yang sedemikian seksi dan penuh perhatian dari media. Tidak heran, berapa banyak dari hampir 500.000 alumni Universitas Indonesia yang tahu ILUNI UI itu ada, atau siapa ketua-ketuanya, atau bahkan tahu bahwa akan ada pemilihan ketua ILUNI UI di 23-24 Agustus nanti? Dan apabila alumninya sendiri tidak tahu, apalagi masyarakat kebanyakan? 9 tahun sudah sejak ada pemilihan berbasis one man, one vote, dan inilah pertama kalinya ILUNI UI mendapatkan eksposur yang signifikan di mata masyarakat. 

    Eksposur ini tentu bisa menjadi hal yang luar biasa positif bagi suatu institusi yang jarang terdengar atau mungkin bisa dibilang sudah akan menghilang dari ingatan zaman. Tapi di sisi yang lain, ia juga turut mengundang suara-suara yang tidak bertanggung jawab. Black campaign berseliweran dengan masif, dan nampaknya hampir semua nama kandidat tercatut dalam berbagai pemberitaan yang tendensius dan tidak bertanggung jawab - coba google saja atau bahkan di Tiktok dan berbagai pesan WAG - termasuk saya, calon Sekjen saya dan tim UI Mewarnai. 

    Ini fenomena yang sangat menarik. ILUNI UI secara mandat organisasi sesuai dengan anggaran dasarnya adalah organisasi non-politik berbasis kekeluargaan. Ketua dan Sekjen ILUNI UI tidak memiliki kewenangan politik dalam bentuk apa pun, bahkan tidak seharusnya memiliki posisi dalam kebijakan publik. Jangankan mengatur ke mana arah negara ini akan berjalan, mengatur dan memaksa alumni-alumninya saja untuk melakukan sesuatu pun ILUNI UI tidak ada kewenangan. Kekuatan terbesar seorang ketua dan Sekjen ILUNI UI memang bukan dari otoritas berbasis hukum dan peraturan perundang-undangan, tapi dari kekuatan hati dan jaringan yang bersangkutan. Seberapa banyak hati yang ia bisa sentuh, sebanyak itulah orang-orang akan berdatangan mendukung dan membantu. Karena jangan lupa, ILUNI UI bahkan bukan organisasi berbayar, ini organisasi berbasis tenaga relawan. Dan tidak seperti partai politik atau mungkin relawan untuk keperluan politik, mohon maaf, ILUNI UI tidak bisa menawarkan jabatan publik dalam bentuk apapun kepada para pendukungnya, karena lagi-lagi, siapalah kami ini bisa menentukan dan membagi-bagi itu semua? 
     
    Maka menjadi pertanyaan ketika kemudian isu ILUNI UI ini digoreng sedemikian rupa melalui berita-berita click-bait yang kemudian disebarkan tanpa berpikir panjang oleh orang-orang yang seharusnya terdidik (sekali lagi, ini alumni-alumni UI yang merupakan anak-anak sarjana dan pasca sarjana yang kita yakin tidak minim literasi dan bisa berpikir secara independen). Ada apa ini sebenarnya? Sangat disayangkan apabila kebohongan tersebut disebar tanpa cross-check hanya demi memperoleh segenggam kemenangan dengan mengorbankan semangat persaudaraan dan kekeluargaan dari para alumni Universitas Indonesia itu sendiri. Tanpa sadar, atau lebih gawat lagi, secara sadar, para penyebar berita ini memutuskan untuk merusak marwah institusi ILUNI kita demi kepentingan pribadi segelintir orang. Dan sekali lagi perlu kita tanya bersama-sama, untuk apa and at what cost?

    Setiap kali kita merayakan Hari Kemerdekaan, kita selalu mengumandangkan semangat persatuan karena kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bangsa ini sangatlah besar dan beragam, dan oleh karenanya unsur persatuan harus terus dijaga. Tanpa adanya ikatan yang kuat sebagai bangsa, kita rawan terpecah belah dan konsekuensinya akan sangat negatif. Hal yang sama juga berlaku untuk ILUNI UI, keragaman kita harus terus dijaga dengan semangat persatuan dan energi positif. Tanpa itu, mimpi besar ILUNI UI tidak akan pernah tercapai.    

    Benar bahwa saat ini ILUNI UI sedang dalam krisis. Organisasi ini butuh dukungan kita semua bukan saja untuk sekedar bertahan tapi berevolusi ke level yang lebih tinggi. Pertama, sudah pasti diperlukan awareness yang lebih besar untuk keberadaan ILUNI UI. Akun resmi Instagram Tim UI Mewarnai (@connecting.colors) tumbuh cepat secara organik dan saat ini sudah ditonton lebih dari 5,5 juta pemirsa, belum konten-konten kami mengenai ILUNI UI di berbagai sosial media lain dan juga kolaborasi kami dengan beragam pendukung yang berbaik hati berkenan berkontribusi untuk satu tujuan. Suatu kebanggaan tersendiri bagi kami bisa menyentuh sedemikian banyak orang, khususnya mereka yang sebelumnya 100% apatis terhadap keberadaan ILUNI UI apalagi sekedar pemilihan ketua ILUNI UI. Orang-orang ini adalah masa depan kita karena kenyataannya, kebanyakan anggota dari organisasi di lingkungan kampus tercinta kita seringkali diisi oleh manusia yang itu-itu lagi, lu lagi, lu lagi, lu lagi.

    Susah payah kita menciptakan awareness untuk para pemilih baru ini, sayang kan kalau ibarat kata jiwa mereka yang masih putih bersih dihajar dengan berita-berita palsu? Yang muncul hanya antipati karena kalau kita mau jujur dengan diri sendiri, kebanyakan dari mereka akan berkata,"organisasi ini sudahlah tidak ada dampaknya bagi kami selama ini, sekarang mereka malah ribut sendiri."

    Kedua, setelah kesadaran akan keberadaan ILUNI UI telah dibangun secara kuat, pekerjaan rumah terbesar untuk ILUNI UI adalah menyusun dan merapikan data alumni kita yang sampai sekarang tidak jelas juntrungannya ada di mana. Tanpa database yang solid dan terintegrasi, kita tidak akan tahu bagaimana cara kita menemukan mereka-mereka yang bisa membantu ILUNI UI dan mereka-mereka yang nantinya juga perlu dibantu. Sekali lagi kami ingatkan, ini organisasi kekeluargaan dan sudah selayaknya sesama anggota keluarga saling membantu. Tapi sebelumnya, mereka sudah harus saling mengenal terlebih dahulu. 

    Proses pendataan ini tentu sudah harus dijalankan dengan masif dan bahkan seharusnya menjadi tugas dari ILUNI UI dari sejak dahulu kala. Tapi kenyataannya, justru masing-masing kandidat ketua umum dan tim pendukung mereka yang dibebani pekerjaan ekstra selama masa kampanye ini untuk membantu para alumni kita mendaftar ke aplikasi UI Connect yang sungguh menguji kesabaran. Saya pikir sudah sedemikian banyak berita dan kritik mengenai UI Connect yang tidak perlu kita tuliskan panjang lebar lagi di sini. Isu pentingnya adalah, ada banyak alumni yang sebenarnya tergerak untuk berpartisipasi dalam pemilihan ketua umum ILUNI ini tapi mereka kesulitan mendaftar ke UI Connect karena selain ada 3 level pendaftaran (registered, verified, validated), aplikasinya pun sering error. Kami sampai minta maaf berkali-kali kepada para pendukung karena menyusahkan waktu dan energi mereka untuk pendaftaran (padahal bukan kami yang membuat atau pun mengusung penggunaan aplikasi itu!).

    Isu ini juga menarik karena salah satu black campaign yang ditujukan kepada kami adalah soal pendaftaran para alumni tersebut. Mungkin karena sudah tidak ada lagi yang bisa diserang dari kami atau digunakan untuk membendung dukungan kepada kami sampai-sampai proses membantu pendaftaran para alumni, yang diakui oleh sesama calon ketua umum ILUNI UI sebagai proses yang sangat sulit dan menyusahkan banyak alumni, kemudian dipolitisasi seakan-akan ini merupakan bagian dari kampanye politik untuk mendapat jabatan publik termasuk menyalahgunakan wewenang dan lain sebagainya.

    Yang menyebarkan berita demikian seharusnya malu, bukan saja hal ini merupakan fitnah yang luar biasa sekaligus berpotensi melanggar UU ITE, tapi lebih lucu lagi, sebagai lagi-lagi orang terdidik, mereka bahkan tidak bisa membedakan aktivitas sosial dengan politik ketatanegaraan dan seakan lupa bahwa sejak pertama kali berdiri, ILUNI UI adalah organisasi tanpa kuasa dan kewenangan politik. Mungkin karena saking semangatnya orang-orang ini mencari-cari kesalahan, mereka mengira ILUNI UI akan diintervensi secara politik, tapi sebelum kita ke arah sana, dengan situasi saat ini, sepenting apa organisasi kita sampai ada orang yang mau melakukan intervensi politik? Saya akan menyarankan kepada semua politisi yang ingin intervensi ke dalam ILUNI UI untuk tidak membuang-buang uang dan sumber dayanya, wong organisasi kita ini antara ada dan tiada. Apa yang mau diintervensi dan diarahkan kalau eksis saja belum di mata masyarakat? Masih terlalu jauh. 

    Mungkin juga ada yang khawatir kalau misalnya nanti ada orang-orang yang dipaksa untuk memilih kami. Sudah dipastikan tidak, bukan saja kami yang paling gencar di berbagai forum dan media menegaskan bahwa pemilihan ketua ILUNI UI harus bebas dari bagi-bagi jabatan, politik uang, serta ancaman dan paksaan, kami juga kandidat pertama yang membuat surat terbuka kepada panitia Pemilihan Ketua Umum ILUNI UI untuk memastikan terjaganya kerahasiaan pilihan kandidat dari para alumni yang akan memilih nanti di 23-24 Agustus 2025 termasuk bahwa data tersebut tidak bisa diungkap kepada siapa pun (surat tersebut bisa di lihat di akun kami). Kami sangat percaya bahwa pilihan yang dibuat bukan dari suara hati hanya akan mencederai proses demokrasi sekaligus marwah institusi, dan kami sangat anti dengan segala bentuk pemaksaan berbasis jabatan. Only losers resort to such tactic. Perlu dicatat bahwa sampai dengan saat ini, panitia masih belum mau mengubah aturan di atas, yang artinya pilihan kandidat para pemilih bisa di-screenshot dan ini tentu rentan membuka pintu ke arah pemaksaan, intimidasi dan money politics yang seharusnya kita tutup seketat-ketatnya!
       
    Nah, kembali ke isu pendataan, kami sudah menetapkan bahwa KPI prioritas kami adalah memastikan database alumni sudah rapi berbasis nama, jurusan, angkatan, dan lebih penting lagi, institusi dan rumpun dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun sejak kami menjabat. Data institusi (baik di pemerintahan, BUMN, swasta, NGO, dan lain-lainnya) menjadi krusial karena kita perlu melokasikan di mana saja para alumni kita berada dan kemudian dikelompokkan dalam berbagai rumpun misalnya rumpun berbasis energi, teknologi, finansial, konstruksi, edukasi, dan lain sebagainya. Database inilah harta karun yang sesungguhnya bagi ILUNI UI dan para alumninya sehingga ILUNI UI bisa betul-betul berdampak bagi kita semua!

    Awareness dan database ini yang akan menjadi pondasi utama bagi terpenuhinya mimpi besar ILUNI UI sebagai organisasi alumni yang terasa sekaligus berdampak positif. Kami percaya bahwa sebagai institusi, ILUNI UI senantiasa wajib bersikap netral dan independen, tetapi ILUNI UI sendiri harus aktif memfasilitasi dan mempertemukan semua alumni kita yang ada di berbagai tempat dan institusi. Kader terbaik kita harus ada di seluruh posisi strategis supaya mereka bisa terus mewarnai dan berkontribusi bagi perkembangan dan kemajuan Indonesia. Bukan sebagai bagian dari gerakan politik praktis demi kekuasaan tapi gerakan sosial berbasis nilai-nilai akademik, kejujuran, dan integritas tanpa benturan kepentingan. Lebih penting lagi, para kader-kader terbaik ini juga harus mampu mendorong dan memajukan alumni-alumni UI lainnya yang masih perlu dibantu untuk maju dan bertransformasi menjadi manusia-manusia eksepsional. Kami percaya UI penuh dengan alumni-alumni hebat. Mereka butuh ruang dan forum untuk bertemu, berkonsolidasi, dan saling bekerja sama dalam ikatan persaudaraan yang erat dan ceria. Yang kuat membantu yang lebih lemah supaya mereka sama-sama menjadi kuat, dan proses ini kita ulang terus secara konsisten untuk memenuhi prinsip A people bring other A people to the team!

    Momentum Hari Kemerdekaan kita yang ke-80 tahun ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa bangsa dan negara kita selalu layak untuk mendapatkan dukungan terbaik dari anak-anak bangsa. Untuk itu, pikiran kita juga harus merdeka dari energi negatif yang saling menjatuhkan, kita pupuk lagi semangat persatuan dan kesatuan, kita pupuk lagi semangat juang membara tak kunjung padam untuk Indonesia yang lebih baik, dan dalam skala yang lebih kecil, untuk ILUNI UI yang lebih membahana dan berdampak, rumah kita bersama para alumni UI. Selamat merayakan Hari Kemerdekaan, MERDEKA!!!!       
  • Letter to My Mom (Part 1)

    I couldn't even whisper to curse you.

    The words in my throat that I never spoke.

    "Will we meet again?"

    A voice that cannot be heard.

    Where Our Blue Is - Tatsuya Kitani


    Dear Mom,

    The only piece of writing that took me longer to finish than this letter is my dissertation and I am not surprised. Writing this imaginary letter was tough. I was supposed to finish it as part of a tribute to you when we celebrated the memories of your life on the 40-day milestone since you passed away. But I could not do it. As much as I want to write an entirely cheerful story, a part of me still refuses to believe that you have gone forever. And in a way, that refusal is one of the main reasons why the tone of this letter ends up as it is today, almost two years since you passed away. In fact, I probably will never finish this letter if Dad did not make this post about you in his Instagram account. He truly understands me.   

    Indeed, a sudden and shocking death is often suffocating for the ones left behind compared to those stories where their loved ones succumbed to long-term illnesses. It was the inability to properly say goodbye to you that caught me in such a perfect storm and unless I can properly convey that indescribable feeling, or at least pretend that I am able to do so, I will never move on.
     
    You know that I was never good in expressing my emotion through any means of communication other than writing. I just find the whole act to be beneath me and it is not your fault, you were always frustrated with my cold gesture. I was born with that kind of prejudice, being the most pompous kid that you've ever seen. Who else in their kindergarten days shushing their fellow mates for crying while complaining to the teacher on why we have these suckers around? Kids should have more dignity. But do you know why I never cry in front of anyone as a kid, or as a matter of fact, until today? Because I noticed that you were so proud of seeing me acting not like a little child despite being the youngest in the class. I suppose I took that gesture to an extreme level, a recurring problem whenever I start to gain obsession on a subject or an act. I just can't stop.    
     
    And even when I decide to express my inner feeling through my writings, it must also be in English because I find that writing about such deeply personal matters sounds so cringe in my native tongue. Plus I know that most Indonesian people will skip anything written in foreign language, it's a win-win situation for both me and my selected readers. I can work on my own therapy and I can get away for being my true self as I will usually have to put a lot of restraint if I write it in Indonesian language. So, imagine the dread that I faced when I was asked to write an introduction in Indonesian language for the opening of your special book of prayers and to give a speech about you in our event celebrating your memory months ago. The agony! But oh well, I digress.         

    I really want to say that I hate you for leaving us so soon and without a word, but I guess the one that I hate is myself. 41 years of living in this mortal plane and not once have I ever grieved for anyone. I mean, yes I felt a little bit sad for a couple of days when your mother and father (Oma and Opa) passed away back in 1994 and 2018, respectively. Gary Becker's death in 2014 would make a good example of a non-family member's death that somehow affected me. There is also a huge sense of sadness for the death of some of my beloved game and manga characters (which I cannot share here due to potential spoilers). They lingered for a while and then vanished for good while the beautiful memories remain.  

    But grieving? Come on, I am supposed to be the supreme leader with the blackest soul in this planet. Most people would believe that no amount of pain and suffering of other beings have ever moved my heart which is supposed to be colder than Boomerang Nebula's temperature and darker than Vantablack's shade of darkness. Well, they are not necessarily wrong. After all, I am the master of Schadenfreude, especially when it happens to my enemies and haters; seeing their frustration makes me smile from ear to ear, it is the fuel that keeps the everlasting fire in my soul burning so brightly. Yet, I grieve when you are no longer around. For the first time in my life, my hellfire furnace started to dim, and I am struggling to understand why such thing could happen. 

    Perhaps, this is all because I hate failure so much. I was basically brainwashed to be uber-competitive to a level where failure is never an option, where every problem can be settled, and where I basically can get things done all the time. So, when I don't manage to settle with my own feelings, to get rid the unbearable pain, I become immensely frustrated, angry, agitated. I mean, do you even know the extent of my herculean effort to keep me away from negative thoughts? The amount of work and extra curricular activities that I took these past two years would break another record. And for what? 

    Life is full with infinite possibilities, but death is final. I've experienced multiple personal life-changing challenges and no matter what the severity, I have always survived because I believe that as long as I am breathing, I can fix them, I can manage to deal with them, I can solve them! Yet, for you, no matter what I do, I can't rewritten your death. I can' t rewind time, to scold you for being so stubborn and to bring you to the hospital sooner before it was too late. I just can't. For the first time in my life, I face an unsolvable problem. 

    Yeah, I know your philosophy and I keep repeating it in front of everybody: If you can do something about it, why bother? And if you can't do anything about it, why bother too? People laugh when they hear this. This is a wise advice. I believe it 100% and I 100% fail in implementing it when it is related to you. Because I am bothered, I am damn bothered all the time by the fact that there is nothing I could do to change it.

    That's why I pick Gojo Satoru's theme song, Where Our Blue Is, as the opening of this letter. I ran that song thousands of hours within the past two years, it is the song that perfectly encapsulates my never ending grief. It's a mix of hate, disappointment, longing for days gone by, and most importantly, hope. Hate, because I hate that you win this game of who will leave earlier and therefore is not burdened by the pain of being left alone. Disappointment of my own failure to prevent this tragedy from happening. Longing of rekindling our beautiful memories during the good old days. And hope, a hope that you are still here to see my progress. I'm doing fabulously, but I can do far, far, far better. After all, my life just began at 40. It is simply too soon for you to miss all of the adventures and grand stories that I wish I could tell you directly.  

    Remember your 4 pages letter to me? Sent in 2014, and personally delivered by Ira to me back in Chicago when I was doing my study for my PhD at the law school. That letter was the one that inspires me to write this imaginary letter. I was curious why you wrote me such a personal letter instead of just calling or skyping me to talk and say that you miss me (yes, there was an app called skype long time ago!). But now, as the self-appointed family treasurer and keeper of all family heirloom, I understand why you need to send me that letter. It serves as an important memento from yourself dedicated solely to me, a treasure that cannot be stolen, a piece of history that will be extremely worthy to myself and no one else.

    You see, back during the pandemic, Yura Yunita released a song titled "Tenang" with a touching short video by Ringgo Agus Rahman and Nirina Zubir, telling the story of a middle-aged man who is trying to fix his old video record of his late father because he suddenly forgets his father's voice. That video inspired me to make a record of you and Dad because I too fear that one day, I will forget your voice and I will regret it forever. But the plan never materialized, I had some short records of you but there was no clear message directed to me. Only after your death that I learned from Dad that actually, there was a video that you made along with him and Aa Sodik which can be found here. I am so happy that you left me with some messages there. At least, I know that I can always remember your voice. And of course, I don't repeat mistakes, we now have a podcast video dedicated to you with me, Pras and Dad, securing a bit of our small family memory in this mortal plane.

    One particular message in that video that resonates with me is your bold statement that you do not want your kids to take care of you because we owe you something but because we actually care, because of love. And I can't agree more. I don't remember you ever told me that when you are alive but I often say in so many forums that I only do what I love, my job, my hobby, my study, my craft. I dedicate my time and energy for those things because I love them. As declared by Scrooge McDuck, money is just an excess of a successful venture, but the one that is most valuable is the journey, the adventure, the memory.     
                 
    I suppose your death triggered me to do something big, to go through a journey of self discovery (as advised by Pras). And believe me, I am actually cringing myself as I write "self discovery". You know how certain I am with my own life that I never really stop and ask: who am I and what am I going to do? I was so certain with my identity as a corporate lawyer and I aim to be the best ever lawyer in this galaxy (or hopefully this universe and 17 other dimensions). I love the fact that I actually enjoy my work and that I am blessed with the opportunity to experience a lot of fun activities, the best that the world can offer, all before I was 40. As such, I bet that you will put your hand on my forehead and ask: "are you sick?" or "who are you and where do you hide my son" if I ever say that I need to go through a journey of self discovery. It is simply too absurd, and yet, here we are. Kinda exciting while at the same time annoying because you gave me an extra homework to ponder with. Typical you.

    And in that spirit of discovery, I suddenly throw myself into a whole new activity that forces me to explore the world outside my comfort zone beyond of any extra activities that I have done so far. In a normal scenario, I definitely will talk with you first before I make any decision. But, well, you're not here, and a part of me is so angry and sad at the same time with such condition. When I finished my PhD while building my office at the same time back in 2018, you were there reminding me everyday in the most annoying way that I must be successful at both regardless of the time and cost spent to do so. No one else can remind me like that anymore. No one will scold me like you if I ever show any degree of weakness or any slight gesture of giving up. No, no, no, I can even imagine your look of disappointment if I tell you that I am not so sure with my chances. The hardest challenge of doing this activity is not about its difficulty. I can always learn quickly, I know my competitive advantage, and I have the conviction that I can always beat the competition. The hardest challenge here is the fact that I have to do it all without you around, and it sucks.     

    There are so many reasons and aspirations that I can write in this page, but I realize, I don't need to convey them. There are things that I will only keep between ourselves. Heck, once I had a dream about you around 1.5 years ago that you suddenly came back to life. Dad was so happy in that dream. But I was super skeptical and kept asking various questions to test whether it was you or something else until finally I found out that it was just a demonic impostor because it cannot answer some very personal questions 😂😂😂. Even in my dream, my brain cannot accept that it is just a happy imagination and that I should just enjoy it instead of becoming a party pooper by asking unnecessary questions, haha. Typical me.  

    In any case, whatever the challenges that I will face later on, I feel that they are worth the time because at least they, along with Dad's post, help me to complete this letter! I finally can take a little step forward and hopefully find a better version of myself. If I didn't choose to go through with it, this draft letter would never see the ray of sun and I am thankful for that. Hopefully, there will be many more letters to come! Though I must say, I was hoping that the additional burden will allow me to at least forget you in the process, but I end up seeing you everywhere, especially through the many people that I meet, so I guess I can't escape from you after all 😤😤😤. Wish me luck, Mom, and see you around the stars.  

    Missing you forever, 
    Nanda   


  • Etika dan Moral di Atas Hukum? Suatu Miskonsepsi



    I am gonna be blunt. This article will probably annoy a lot of people but the problem is, the idea that ethics and morals are above the law also annoys me significantly, and given my current mood and mental state, annoying people that annoy me sounds like a good therapy. So, as requested by @sam_ardi, here is my response to the question: apa relasi etika dan moral dengan hukum khususnya terkait dengan situasi politik terkini di Indonesia?

    Visi saya soal keterpisahan moral dan hukum sudah sering saya bahas di blog ini atau di Twitter, termasuk ketidakpercayaan saya akan adanya nilai moral yang objektif dan bahwa moralitas lebih banyak merefleksikan selera pribadi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu periode tertentu ketimbang nilai yang mutlak benar setiap saat. Kalau ada yang mau serius membaca diskusi panjang lebar mengenai keterpisahan moral dan hukum serta konsekuensinya terkait implementasi/penegakan ketentuan moral dan hukum, bisa baca disertasi saya di sini. Versi super sederhananya ada di sini.

    Selain itu, mengingat diskusi kali ini akan berhubungan erat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), saya juga akan membahas kritik saya terhadap model putusan konstitusional/inkonstitusional bersyarat oleh MK yang sebagian besarnya sudah pernah saya sampaikan dalam makalah saya di Indonesia Law Review di tautan ini

    Berhubung isunya lumayan kompleks, alih-alih mendefinisikan apa itu moral dan hukum (yang sampai sekarang belum ada kesepakatan resmi di antara para ahli hukum), saya akan coba menggunakan pendekatan induktif dengan membahas twit berikut dari Erasmus Napitupulu. Erasmus memberikan contoh kenapa etika dan moral berada di atas hukum dengan memberikan analogi bahwa tidak ada ketentuan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang melarang hubungan seksual dengan nenek kakek kita sendiri, tetapi kenyataannya tidak ada yang melakukan hal tersebut. Sekilas penjelasan ini terlihat sederhana (menurut Erasmus), tetapi ini contoh yang salah.  

    Mengapa salah? Karena Erasmus berasumsi bahwa orang tidak berhubungan seksual dengan kakek/neneknya karena adanya nilai-nilai etika dan moral yang sangat adiluhung sehingga sekalipun tidak ada hukum yang melarang, orang-orang tetap tidak berkenan melakukan perbuatan tersebut. Kenyataannya, ada faktor lain yang bisa menjelaskan fenomena di atas: rasa jijik/disgust yang merepresentasikan selera pribadi dari kebanyakan orang. Apakah ada orang yang bisa jadi ingin berhubungan seksual dengan orang yang jauh lebih tua termasuk dengan kakek-neneknya sendiri? Probabilitasnya tidak nol walaupun jelas saya tidak termasuk dalam kategori tersebut (and please don't search it in the internet).

    Contoh Erasmus yang berikutnya sedikit lebih baik dengan jalan mengutip kasus aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Nazi Jerman untuk mendiskriminasikan kaum Yahudi dan aturan apartheid yang pernah legal di Afrika Selatan dan Amerika Serikat dan betapa aturan-aturan tersebut sangat tidak bermoral. Sekilas contoh-contoh Erasmus menunjukkan kemenangan moral di atas hukum, bahwa sudah sepantasnya ada nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hukum formal, tapi sekali lagi saya sampaikan, contoh tersebut tidak menunjukkan adanya nilai moral universal di dunia ini, melainkan justru menunjukkan betapa rapuhnya ide bahwa moralitas dan etika ada di atas hukum.
     
    Kalau kita runut kembali, kenapa orang bisa membuat aturan yang sangat diskriminatif macam aturan Nazi dan apartheid? Jawabannya akan sama dengan mengapa di masa lampau menikahi anak kecil dianggap suatu hal yang lumrah (dan faktanya sampai sekarang pun praktek ini masih berjalan di berbagai wilayah di planet Bumi termasuk di Indonesia), mengapa perbudakan menjadi institusi yang bisa berjalan santai selama ribuan tahun, dan mengapa sekarang Israel menjadi kaum yang 11-12 dengan Nazi Jerman (they live long enough to become the new villain). Karena di pandangan manusia-manusia ini, apa yang mereka lakukan memang tidak salah menurut moralitas versi mereka! Bagi Nazi Jerman, kaum Yahudi bukan manusia yang setara, bahkan sebenarnya semua bangsa non-Arya juga tidak setara dalam pandangan mereka sehingga pantas didiskriminasi bahkan dihabisi. Begitu pula dengan kasus apartheid, orang kulit hitam tidak dianggap sederajat sehingga layak untuk diperlakukan seenaknya. 

    Tidak mengherankan dulu sempat ada kasus kontroversial macam Dredd Scott di Amerika Serikat yang menegaskan bahwa seorang budak yang belum pernah dibebaskan oleh tuannya tidak memiliki hak untuk otomatis bebas begitu saja karena dia hidup di negara bagian yang menganut asas kebebasan bagi budak (posisi ini juga sebenarnya sama dengan posisi dalam hukum Islam klasik, budak tidak bisa main membebaskan dirinya sendiri tanpa ada kompensasi ke tuannya atau mendapatkan pembebasan resmi dari tuannya dikarenakan budak masuk dalam kategori aset dan bukan manusia seutuhnya, pembahasan panjang lebarnya bisa cek disertasi saya).
     
    Tentu saja kalau kita menggunakan standar moral yang saat ini sedang berjaya, ide bahwa manusia bisa didiskriminasi karena rasnya atau bahwa manusia bisa diperjualbelikan dengan bebas adalah ide yang memancing keributan. Roger Taney, US Supreme Court Chief Justice yang menulis putusan Dredd Scott sendiri pun kini namanya sangat terhina dina dan dianggap melakukan kesalahan terbesar dalam karirnya karena tidak mau mengambil posisi hukum yang mendukung kebebasan budak. Tapi untuk mencapai posisi moralitas yang dominan saat ini, ada harga yang sangat mahal yang harus dibayar. 
     
    Moralitas ala perwira Nazi tidak berubah karena tiba-tiba mereka sadar ada nilai moral indah yang seharusnya mewajibkan mereka untuk tidak melaksanakan hukum yang diskriminatif, bahwa mereka bisa menjadi manusia yang lebih baik. Mereka harus dikalahkan terlebih dahulu dalam Perang Dunia II sebelum Jerman kini secara kolektif menjadi bangsa yang malu akan sejarah Nazi-nya. Amerika Serikat pun harus menempuh Civil War yang sangat brutal dengan kondisi negara hampir bubar gara-gara wilayah Utara dan Selatan tidak bisa mencapai titik temu tentang nilai moral apa yang harus dianut satu negara soal perbudakan. Dalam salah satu tafsir sejarah Amerika, Roger Taney dianggap ingin mencari kompromi melalui putusan Dredd Scott supaya Utara dan Selatan sama-sama happy, atau mungkin lebih tepatnya dalam kasus ini, sama-sama emosi jiwa (because that is how you compromise fundamental differences in practice, all stakeholders should be equally dissatisfied). Sayangnya, karena situasi sudah terlalu panas, kompromi setengah hati itu malah jadi pemicu tambahan untuk perang saudara di Amerika. 
     
    Memenangkan perang pun tidak serta merta tiba-tiba menghilangkan sentimen negatif kepada mereka yang dianggap berbeda. Perlu ratusan tahun untuk mengurangi rasisme di Amerika Serikat (bahkan US Supreme Court saja pernah puluhan tahun menganut doktrin Separate but Equal melalui kasus Plessy v. Ferguson yang secara efektif membungkam implementasi Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika dengan jalan melegitimasi kebijakan segregasi berdasarkan ras). Perbudakan di negara-negara Arab/Afrika sendiri pun juga baru berakhir resmi kebanyakan di abad ke-20 yang artinya memakan waktu tak kurang dari 1.400 tahun sejak Islam pertama kali muncul. Lebih parah lagi, tak sampai seabad setelah Perang Dunia II usai, kita harus menyaksikan mulai menguatnya lagi gerakan fasis dan ekstremis ala Nazi di Eropa. Banyak orang marah yang memilih untuk lagi-lagi menyalurkan kemarahan mereka kepada orang yang berbeda tersebut, dan para manusia pemarah ini percaya bahwa mereka berhak secara moral untuk bersikap demikian. After all, everyone is a hero in their own story.    
     
    Saya berani pasang taruhan besar bahwa seandainya Nazi Jerman yang menang Perang Dunia II atau kaum Selatan yang menang dalam US Civil War, apa yang benar dan salah di dunia ini bisa jadi akan terbalik-balik (imajinasi yang menggambarkan dunia alternatif seandainya Nazi menang bisa dilihat di The Man in The High Castle). Kenyataannya di dunia ini memang nilai-nilai etis dan moral itu tidak jarang ditentukan oleh siapa yang menang dan memiliki kekuatan terbesar. Baru setelah pemenangnya jelas, apa yang awalnya merupakan sekedar selera pribadi bisa diinstitusionalisasikan menjadi hukum.  Nazi baru bisa menerapkan hukum yang super diskriminatif setelah sebelumnya menang pemilu di Jerman, dan demikian pula sebaliknya ketika praktik rasisme/perbudakan akhirnya resmi dihentikan melalui penerbitan hukum resmi setelah perang selesai dan mereka-mereka yang kalah telah sukses disingkirkan (baik dengan jalan dihukum mati atau diasingkan).
     
    Lalu apa yang bisa mencegah supaya institusi hukumnya tidak dibuat semena-mena? Jelas bukan merujuk kepada teori mengenai nilai moral adiluhung yang bisa gampang sekali dipelintir tergantung siapa yang berkuasa, melainkan dikembalikan kepada tiga faktor yang sering saya sebutkan sebagai penentu hubungan antar manusia: kepentingan pribadi (self interest), game theory, dan emosi. Orang berbuat atau tidak berbuat sesuatu pada dasarnya akan bertumpu pada: (i) bagaimana kepentingan pribadinya bisa terpenuhi, (ii) perkiraan dirinya soal bagaimana orang lain akan bereaksi secara rasional atas langkah-langkah yang akan dia ambil (game theory), dan (iii) emosi/perasaan dari dirinya sendiri dan orang lain (suasana kebatinan dari khalayak kebanyakan, apakah kira-kira mereka akan berkenan, marah, atau acuh tak acuh). Interaksi kompleks dari ketiga faktor ini yang menurut saya akan jauh lebih menentukan akan ke mana arah hukum itu dibentuk, diinterpretasikan, dan dilaksanakan, ketimbang mengklaim adanya nilai moral dan etika abstrak yang sifatnya lebih tinggi dari hukum yang kemudian harus dipatuhi oleh setiap pembuat dan penegak hukum (bagi saya, ini contoh delusional tingkat tinggi). Ingat, bahkan diktator yang paling perkasa sekali pun pada dasarnya tidak bisa selalu bertindak sendiri seenaknya, ada kelompok kepentingan yang harus dia jaga, rakyat yang tidak bisa hidup terlalu merana, dan sebagainya.  
     
    Berkaca pada 3 faktor di atas, sebenarnya penggagas ide etika dan moral di atas hukum itu tidak harus terlalu berkecil hati. Sejarah menunjukkan bahwa nilai yang dianut di masyarakat itu bisa saja berubah dan perubahan bisa terjadi dengan berbagai cara. Salah satunya tentu saja melalui perang sebagaimana dibahas di atas, tapi ada juga cara lain, misalnya melalui moral entrepreneurs yang sering disebut oleh Richard Posner. Posner sangat membenci akademisi yang selalu sibuk berteori tentang konsep moralitas yang objektif dan pasti baik bagi kemanusiaan (tentunya menurut versi mereka sendiri) tapi tidak bisa bertindak menjadi moral entrepreneur yang secara aktif berusaha meyakinkan sebanyak-banyaknya manusia untuk berpihak kepada nilai yang ia anggap benar. Apa bedanya moral entrepreneur dengan academic moralist menurut Posner? Perbedaan utamanya adalah di seberapa konkrit nilai moral yang hendak mereka usung, seberapa jauh pengusungnya mau berusaha meyakinkan orang lain untuk menganut nilai moral yang sedang dijual, dan seberapa paham mereka soal insentif manusia. 
     
    Ingat, sebagaimana saya sampaikan di atas, kalau moralitas pada akhirnya adalah soal selera pribadi, supaya nilai moral yang anda usung itu bisa benar-benar membumi dan diterima sebagai kebenaran, anda butuh banyak orang untuk meyakini bahwa nilai tersebut itu memang benar. Dalam hal ini, moral dan hukum bisa dipandang mirip. Dua-duanya adalah konsep fiksi yang mengada karena ada cukup banyak manusia yang percaya bahwa moral dan hukum itu ada (versi lebih panjang bisa dibaca di sini). Nah, kalau cuma sekedar berkoar-koar bahwa moral dan etika itu ada di atas hukum tanpa menyebutkan secara tegas apa isi nilai moralnya, ya saya khawatir ini hanya akan menjadi suatu kesia-siaan apalagi kalau misalnya pihak yang mengklaim soal pentingnya etika dan moral versi mereka itu sendiri juga tidak konsekuen dengan nilai moralnya tersebut (sebagaimana akan saya bahas di bawah ini ketika kita masuk membahas model putusan MK).

    Isu yang kedua terkait dengan akademisi moralis menurut Posner (dan saya sepenuhnya setuju) adalah karena mereka berkeyakinan bahwa kalau orang diajari nilai-nilai etis dan moral yang "baik", maka hal tersebut akan menjadi motivasi yang rasional bagi orang-orang untuk berbuat baik alias orang taat karena paham. Tentu saja ini mengada-ada. Kewajiban moral (moral duties) adalah sama prinsipnya dengan semua kewajiban dan tugas-tugas lainnya di muka bumi ini, butuh usaha untuk melaksanakannya dan setiap usaha bisa membuat lelah orang yang "harus" mengerjakannya. Orang bisa mengetahui adanya nilai-nilai moral tertentu, bisa saja setuju dengan isinya, tapi tetap tidak mau melaksanakan hal tersebut dengan beragam alasan, termasuk sekedar karena dia malas. Ini mengapa dalam ilmu hukum ada debat panjang soal apakah hukum hanya bisa mengada apabila ada sanksi/konsekuensi yang jelas dari ketidakpatuhan terhadap hukum tersebut. Debatnya belum usai di antara para ahli hukum, tetapi ide utamanya sangat fundamental: kalau tidak ada konsekuensi apa pun dari suatu aturan, motivasi untuk taat pada aturan tersebut kemungkinan besar akan minim. Ketika suatu aturan tidak diikuti oleh kebanyakan orang, apakah kemudian aturan itu masih bisa dianggap memiliki kekuatan yang mengikat (baik misalnya sebagai etika, moral, atau hukum) mengingat moral dan hukum hanya bisa ada ketika cukup banyak orang percaya bahwa mereka ada? Peminat yang ingin belajar lebih banyak soal isu moral dan hukum ini bisa baca artikel Posner di sini atau pesan bukunya yang lebih panjang di sini.

    Sekarang kita masuk membahas putusan MK, khususnya putusan MK yang memperbolehkan orang berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden melalui model putusan konstitusional bersyarat karena putusan itu yang saya tangkap menjadi salah satu biang keributan soal etika/moral berkonstitusi di negara ini. Bagi saya pribadi, orang-orang yang saat ini mengklaim suatu putusan sebagai etis atau tidak etis berdasarkan isi dari putusan atau bagaimana cara putusan MK tersebut dibuat adalah orang-orang yang mau enaknya sendiri saja. Karena kalau kita mau konsisten, dan kalau memang benar bahwa etika dan moral itu penting bagi orang-orang ini, seharusnya sedari awal mereka sudah mendeklarasikan bahwa putusan MK dengan model konstitusional atau inkonstitusional bersyarat itu salah kaprah dan tidak sesuai dengan konstitusi (sesuatu yang sudah saya ingatkan dari bertahun-tahun yang lalu). 
     
    Diskusi panjang lebarnya ada di artikel Indonesia Law Review saya di atas, jadi kali ini saya akan berikan versi ringkasnya saja. Intinya, kalau anda berharap MK tidak menjadi pembuat hukum baru di Indonesia, kewenangannya memang mesti dibatasi, yaitu hanya bisa menyatakan bahwa suatu Undang-Undang konstitusional atau tidak konstitusional, tidak perlu ada embel-embel syarat apa pun. Namun dalam prakteknya, MK kemudian merumuskan dan memutuskan sendiri adanya model putusan konstitusional/inkonstitusional bersyarat yang memungkinkan MK untuk mengubah teks dari Undang-Undang baik secara eksplisit maupun implisit.
     
    Anda kemungkinan tidak sadar ketika dulu MK memutus sendiri untuk kepentingan MK bahwa DPR tidak boleh menghalangi MK untuk membuat putusan bersyarat dengan jalan menyatakan bahwa amandemen UU MK yang membatasi putusan MK di tahun 2011 adalah tidak konstitusional. Anda juga mungkin tidak mengetahui kalau putusan MK yang menurut saya tidak etis tersebut (menurut saya pribadi tentunya) bahkan mengutip Marbury v. Madison yang merupakan putusan Supreme Court Amerika Serikat sebagai preseden untuk kebolehan judicial review ala MK di Indonesia walaupun jelas-jelas tidak ada hubungannya antara putusan tersebut dengan sistem hukum Indonesia.
     
    Bisa jadi juga anda tidak memperhatikan catatan kaki dari Prof. Jimly Asshidiqie dalam buku Konsolidasi Naskah UUD 1945 bahwa ketika UUD 1945 tidak mengatur secara jelas batasan kewenangan MK dalam Konstitusi Indonesia dan mendelegasikan ketentuan tersebut dalam Undang-Undang yang jelas-jelas merupakan objek yang diuji oleh MK, maka akan selalu ada kemungkinan bahwa nantinya MK bisa memutus sendiri aturan mengenai dirinya sebagai institusi. Kalau kita konsisten bicara etika dan aturan soal benturan kepentingan, di mana etikanya ketika suatu institusi bisa menentukan sendiri apa yang boleh dan tidak boleh bagi institusi tersebut tanpa bisa diawasi oleh institusi lainnya? Tidak ada mekanisme internal untuk check and balance. DPR butuh waktu 8 tahun untuk mengubah UU MK, sementara MK menafikan perubahan itu hanya dalam 3 bulan dan pertimbangannya pun hanya memuat beberapa baris kalimat yang jauh dari nuansa elaboratif selain menyatakan bahwa sudah seharusnya MK berwenang untuk mengeluarkan berbagai model putusan karena demikian lah apa yang dimaksud dengan menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.

    Kalau ditanya, siapa yang pertama kali menelurkan konsep putusan bersyarat MK? Tak lain dan tak bukan adalah Prof. Jimly Asshidiqie sendiri ketika yang bersangkutan menjabat sebagai ketua MK. Lalu siapa ketua MK ketika MK menyatakan pembatasan bentuk putusannya oleh Undang-Undang adalah inkonstitusional? Prof. Moh. Mahfud MD. Apakah mereka berdua jadi dianggap tidak beretika dan tak bermoral? Kalau pakai teori kaum etis dan moralis, harusnya bisa masuk kategori tersebut, tapi faktanya bicara lain. Dari sudut pandang hukum, apa yang sudah diputus itu sah-sah saja jadinya. Putusan MK menurut UUD 1945 dan UU MK adalah final dan mengikat. Apa yang diputus itu mau tak mau menjadi hukum baru (paling tidak sepanjang institusi negara yang lainnya mau mengakui kekuatan putusan tersebut; hal ini juga saya bahas di makalah saya dan tidak akan saya elaborasi lebih jauh di sini).  

    Dari sudut pandang Public Choice Theory, insentifnya terlalu besar untuk tidak membatasi kewenangan MK karena setiap kelompok kepentingan (interest group), terlepas apa ideologi dan kepentingannya (liberal, konservatif, sentris, atau sekedar mau melihat dunia terbakar) pasti memahami bahwa dengan adanya tambahan model putusan MK di atas, ada mekanisme yang lebih gampang untuk mengubah aturan yang anda tidak sukai tanpa harus berlelah-lelah melewati mekanisme Pemilu dan bertengkar di level legislatif dan eksekutif untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang baru. Ya, anda cukup memastikan setidaknya 5 dari 9 orang Hakim Konstitusi itu setuju dengan usulan anda. Lebih gampang toh? 
     
    Ini mengapa saya juga sudah mewanti-wanti ketika dulu MK hampir memutus kriminalisasi terhadap kaum LGBT dengan jalan mengubah isi teks KUHP. Kita masih cukup beruntung ada 5 Hakim Konstitusi yang tidak setuju dengan ide tersebut sehingga Pasal KUHP tidak tiba-tiba berubah secara ajaib. But we were so close to oblivion! Bayangkan, perbedaan suaranya bisa setipis itu padahal asas Legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali) seharusnya sudah mendarah daging bagi setiap sarjana hukum di Indonesia; bahwa seseorang seharusnya tidak bisa dipidana kecuali sudah diatur tegas dalam Undang-Undang (paling tidak dalam KUHP lama; kalau disuruh membahas asas baru hasil karya anak bangsa dalam KUHP baru yang memperluas tindakan yang bisa dipidana, mental saya tidak kuat, nanti malah makin putus asa dengan perkembangan hukum di negara ini).  
     
    Model putusan MK di Indonesia pada akhirnya jadi mirip-mirip dengan dagelan di Amerika Serikat ketika para ahli hukum mereka sedang membahas isi putusan US Supreme Court: "When the Court agrees with me, they are following the rule of law, and when they disagree with me, they are just politicians in robes!" Ini lah contoh konkrit dari manusia hipokrit dan tidak ada kalimat yang lebih bagus untuk menggambarkan fenomena saat ini selain dari pernyataan Thanos di Avenger's End Game: "You Couldn't Live with Your Own Failure, Where Did that Bring You? Back to Me."
     
    Bagi saya, situasi kita saat ini bukan sekedar momen "I told you so". Aturan permainannya memang sudah jadi demikian semenjak belasan tahun yang lalu. Para ahli hukum di negara ini juga seharusnya memahami keberadaan isu ini dan bahwa adalah lumrah dalam dunia hukum dan politik apabila hasil dari mekanisme seperti ini tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Bagi saya pribadi, tiap kali saya membaca putusan MK, terlepas apa hasil putusannya, selama masih memuat kata-kata konstitusional/inkonstitusional bersyarat, saya selalu menghela napas panjang karena saya tahu bahwa hal tersebut seharusnya dianggap sebagai kesalahan, namun saya tidak memiliki kuasa yang cukup untuk mengubah kegagalan konstitusional tersebut. Sedari awal kita sudah salah desain dan kini kita harus hidup dengan konsekuensinya. 

    Kalau kita tidak mau ada putusan yang "bermasalah" secara moral dan etika, ya jangan dibuka kesempatannya di depan, sebisa mungkin setiap celah harus ditutup, apalagi kalau ternyata dampak negatifnya jauh lebih dahsyat ketimbang dampak positifnya (sesuatu yang sulit diprediksi ketika kita membangun suatu institusi). Isunya, sebagaimana saya sampaikan di atas, ketika masing-masing pihak masih berharap bisa menggunakan MK untuk mendukung kepentingannya sendiri, kasus-kasus kontroversial seperti ini akan selalu berpotensi muncul di masa depan. Saya tahu hasrat menggunakan jalur MK untuk memotong pekerjaan advokasi nilai (apapun nilainya) terlalu menggiurkan bagi kebanyakan orang, bagaikan laron yang tertarik dengan cahaya lampu neon bahkan seandainya dia tahu lampu neon itu berpotensi membakarnya hidup-hidup. 

    Namun demikian, apabila anda tidak berani mengambil langkah yang keras seperti di atas, maka harus dimaklumi kalau kita akan bertemu dengan orang-orang yang tidak peduli dengan pelanggaran etis dan moral. Wong konstitusi yang secara teori hukum memiliki hierarki paling tinggi di suatu jurisdiksi saja bisa dikesampingkan dalam berbagai situasi dan bahkan pengesampingannya bisa dilegitimasi di jurisdiksi yang bersangkutan, apalagi cuma sekedar pelanggaran etika dan moral yang nir-konsekuensi?    
    Ada banyak contoh aturan konstitusi dikesampingkan dan dengan cara masing-masing yang unik. Plessy v. Ferguson misalnya adalah contoh kasus teks konstitusi dikesampingkan dengan cara pembacaan ala US Supreme Court yang mengenalkan doktrin hukum baru Separate but Equal (even though they were pulling it from their ass, but well, they are essentially the law there). Butuh 64 tahun untuk mengubah putusan itu melalui kasus Brown v Board Education (itu pun hanya mencakup segregasi di bidang pendidikan bukan semua bidang), serta kemudian butuh 10 tahun lagi untuk dikeluarkannya Civil Rights Act of 1964 di Amerika. Sekarang konsep rasialisme ini juga sudah berkembang lebih jauh lagi, di era ketika hakim konservatif mendominasi US Supreme Court sekali lagi, giliran Affirmative Action yang kena penggal.  

    Di Indonesia kita punya kasus Bung Karno membubarkan Konstituante Republik Indonesia dan mengembalikan Indonesia ke UUD 1945 via Dekrit Presiden 1959. Suatu bentuk pelanggaran konstitusi yang luar biasa kasar karena sebenarnya dia tidak memiliki wewenang sama sekali untuk melakukan hal tersebut tapi ya akhirnya diterima oleh bangsa dan negara ini sebagai fakta hukum baru sampai-sampai tidak ada lagi yang bertanya mengapa kita menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia atau mengapa kita hanya menggunakan mekanisme amandemen terhadap UUD 1945 tersebut dan bukannya menyusun konstitusi baru sekalian di era reformasi. 

    Selain itu ada pula kasus terbaru di negara El Salvador ketika Presiden Nayib Bukele baru-baru ini memenangkan pemilihan presiden untuk kedua kalinya walaupun dari berita yang saya baca, Konstitusi El Salvador jelas-jelas melarang seorang presiden untuk bisa langsung memegang jabatan 2 kali berturut-turut. Tetapi yang bersangkutan sudah mengganti hakim MK di El Salvador dan mereka menyusun interpretasi baru mengenai pengertian teks Konstitusi El Salvador. Belum lagi fakta bahwa Nayib juga menang dengan lebih dari 80% suara. Mau tidak mau harus diakui bahwa dia punya dukungan legitimasi yang besar untuk mengesampingkan ketentuan konstitusi. Kalau suara rakyat adalah suara Tuhan dan konstitusi dibuat untuk kepentingan rakyat, maka bisa dibilang kita sedang menyaksikan bagaimana pengesampingan teks konstitusi itu kemudian disahkan oleh rakyatnya sendiri.

    Sebagai ahli hukum, saya punya dalil yang kuat untuk menyatakan bahwa 3 contoh di atas adalah bentuk pelanggaran hukum dan harusnya dinyatakan inkonstitusional serta tidak mengikat, tapi percayalah, saya juga bisa menyusun argumen untuk menyatakan sebaliknya, bahwa perubahan di atas adalah sah dan mengikat secara hukum. That's the beauty of law. Poin saya, kalau hukum saja seperti itu, apalagi pelanggaran etika dan moral yang definisinya lebih cair dan penegakkannya lebih-lebih tak ada kekuatannya. Lebih absurd lagi kalau kemudian ada orang-orang yang berkoar-koar bahwa seharusnya hukum itu tunduk pada nilai etika dan moral yang lebih tinggi yang digaungkan sebagai bagian dari universal common sense. Mau dicari di mana nilai etika dan moral itu kalau tidak dituangkan secara tegas? Common sense siapa? Common sense mbahmu? Bagaimana caranya juga kita bisa memastikan orang-orang akan tunduk, atau paling tidak pura-pura sedikit menunjukkan kepedulian pada nilai-nilai etis dan moral ini? If you want to have better chances, you must make these so called ethical and moral rules as part of the law. There is no other way. And even if you have the rules written in stone, there is no guarantee that it will always be effective.  

    Kalau saya boleh simpulkan, isu terbesar dengan Putusan MK soal umur Capres/Cawapres itu bukan isu etika, tapi lebih ke isu: they are doing such a sloppy job with their legal argument! If you love and want to secure power by all means, at least have the decency to do it professionally. These people need to find a better lawyer with better planning and better writing! Kalau sesuatu dilakukan dengan jalan asal-asalan, akan lebih banyak orang yang mempermasalahkan. Tapi ya memang menyusun putusan yang kreatif, elaboratif, argumentatif, dan kalau bisa sedikit humoris itu memang bukan keunggulan lokal di negara ini. Argumen bisa selalu dicari, tapi kita kekurangan orang yang bisa menuliskan argumen itu dengan baik dan meyakinkan.         

    Anyway, I digress. Kalau diteruskan nanti saya akan panjang lebar membahas bagaimana seharusnya format dan isi putusan pengadilan itu ditulis di Indonesia dan isu itu bukan fokus kita hari ini. Saya ingin menutup artikel ini dengan mengingatkan kembali kepada kaum etis/moralis bahwa daripada berdalih dengan menyatakan ada suatu nilai etika dan moral kebaikan di atas hukum, lebih baik langsung sampaikan apa yang sebenarnya anda inginkan dari lubuk hati yang terdalam, bahwa masing-masing dari kita punya nilai moralitas pribadi yang kita yakini dan ketika kita berseberangan dengan pihak tertentu, kita punya kepentingan untuk memastikan agar posisi kita yang pada akhirnya akan jadi lebih dominan. Siapa tahu dengan bersikap jujur seperti itu justru akan lebih sukses mendulang dukungan. 

    Kita harus memahami bahwa nilai moral tidak akan pernah netral, tetapi dalam kontestasi politik, sah-sah saja untuk berpihak pada nilai tertentu, karena memang justru ini momennya! Tentunya juga jangan lupa untuk selalu berusaha sedetail dan sespesifik mungkin dengan nilai etis dan moral yang anda usung. After all, that's how you truly change people's morality view, by convincing as many as possible of them that you're right, and for them to be convinced, at the very least, they ought to know the values that you are selling. Demikian dan selamat mencoba.   
  • Life Begins at 40 (A Tribute to My Mom)



    When I declared back in October 2023 that I will write something about entering the "magical" age of 40, I absolutely did not expect that I will write an obituary for my mom. Far away from it! But life is full with unexpected surprises and we must cope with that reality. A shorter version of this post was delivered as my annual end of year Message of Managing Partner to our Firm's lawyers and staffs as I think it is important for them to know how much my life philosophy and work ethics are shaped by the parenting style of my mom which obviously affects how I envision and run the Firm for the past 6 years. After all, for a person who thoroughly integrates his life and work, it is simply impossible to separate my personal life from my working life, the connection is just too deep. So no, you will not find a typical story about how family matters above work etc. in this blog post. Such concept is non-existent within the universe of my thought.

    As I said during my Firm's anniversary party back in November 2023, I have practically tasted all the pleasures that a good life can offer before I even reach the age of 40. Just see my various adventures in my Instagram account and you will know what I mean. I also reckon my consecutive three-day birthday celebrations in October to be the best parties ever in my life so far. Surrounded by people that are important to me and after securing multiple prestigious awards for the Firm and myself, I was on the highest point of my life (again, so far). With all these accomplishments, it is natural to ask: what's next? What should I do for the next 40 years to bring my Firm and myself to greater new heights? I know that my dream of finding a successor is not yet fulfilled, and of course, there is also the unrealized dream of making UMBRA as the Wachtell Lipton of Indonesia. So many things to plan and do, no rest for the wicked. 

    Unfortunately, as I was contemplating our next moves, I had to face the devastating reality that I will no longer see my mom, Erna Dewina (her real name for the past 65 years was Erna Dwina but then her last identity card had a typo so we ended up with this new official name). Died too young on 28 December 2023 at the age of 66 due to brain hemmorhage (just like her own mother back in 1994), the only thing that perhaps could embrace me is the fact that my number one hero, Scrooge McDuck, also lost her mother at the age of 57 when he was 30. Timing wise, there is a similarity between his life's journey and my own. Scrooge McDuck received the sad news when he was facing his mortal enemy, Soapy McSlick. Chained to the enemy's ship and ready to admit defeat, that piece of news gave him the much-needed energy to kick McSlick’s ass, destroy his fraudulent business empire, and establish himself as the new King of Klondike, opening the path for Scrooge to become the richest duck in the world and cementing the mantra of “strength through suffering”.

    I suppose, I am living in that period too. As our Firm grows larger and gains more successes in such a neck-breaking speed, it is inevitable that there will be people that do not like us. As once said by Anthony Bourdain’s mentor to him, “you know you are damn good when there are enemies that you are not even aware of ready to do whatever it takes to bring you down.” Such is life. But like Unca Scrooge, Bourdain, and many other successful people, pain and suffering are just par for the course. You must face them and either you win, or you die damn trying.

    In that context, writing about my mom serves three purposes: (i) ensuring that her memory will live on, (ii) giving the readers a glimpse of my personal background and thought process in building and nurturing my Firm, and (iii) doing a self-therapy to help myself processing the grief and turning the pain into the strength necessary to carry on her legacy and fulfill my ultimate vision.    

    In the simplest way, my mom is a typical Tiger Mom: relentless, fierce and most of the time, annoying. A true force of nature. Say whatever you want about ideal parenting model, if you do not have enough guts and grit, you cannot survive interacting with my mom for a long period of time. I can assure you that my intense drive for excellence and being competitive is derived from her parenting style. It was crazy and yet I will not expect anything less from her. Pramudya A. Oktavinanda as you know today will not exist without her.

    The 2 years before I established UMBRA were the worst period of my life, there was no visibility on whether I will be able to successfully create a new firm independently despite all the preparation, and I was practically stuck with my dissertation writing. Rather than being at the endgame, it was more of a game over. And my mom’s constant messages during those difficult years? “When will you earn your PhD? I want to see my son’s graduation soon.” I was like, wow, come on, I need some moral support and additional time to rest my body and soul, but of course she would not compromise at all. It was always tough love for her. And though I had tried to finish my dissertation and graduated before UMBRA’s official opening in November 2017, my professors said in May 2017 that it was not good enough. Consequently, the next period for graduation (if I ever graduate) would be June 2018, and if I still wished to graduate on that deadline, I would have to work on my major revisions while starting a completely new business with no guarantee of success. This was a tough choice as I only had the last ten million Rupiah in my bank account when I opened my shop. Would I be able to do both and get stellar results, or would this be my total meltdown moment?   

    Devastated but not shocked, as I thought that I have not put my best effort to this soon-to-be masterpiece, I knew that if I delivered the message to her that I am giving up on my PhD because I am in the process of building a new business empire, she would just scold me or look at me with disappointment (and I couldn't withstand her deadly eye stare). As you may all have guessed, I had no choice and I told myself and her that 2018 will be the year when I finally earn my Doctor of Jurisprudence degree, no matter what the costs. The rest is history (I put a pic with my mom on graduation day at the top of this post as a memento of her) and serves as the basis for me scolding my lawyers nowadays if they ever come to me and say that they are too busy with work. Try running a firm from scratch while practically rewriting 70% of your dissertation on Islamic legal interpretive theory at the same time, and then and only then can they come back to me and declare that they are busy.    

    Other than installing an absurdly high level of tenacity to me, my mom is also the one who inspires me to promote women at the workplace (we even won Indonesia Law Firm of the Year award by Women in Business Law Awards 2023). I am a feminist because of her as she was the living epitome that women can be both a successful mother and entrepreneur. She brought me to her own office almost everyday so that she can strictly supervise my study and test me from time to time after she dealt with her daily work. It’s like doing cram school but with your own mom, and believe me, it’s worse, especially if I failed to memorize the required reading passage or give the correct answer to the endless exercises from the prep books. I initially did not understand how she had the time to do all of these activities but as I grew older and reached this stage of life, and especially after I also did the unimaginable back in 2018 and continue to surprise myself about my own limit until today, I realize that if you are being trained your entire life to be super persistent with your goal, you would accomplish some incredible feats. No wonder that I have an everlasting burning fire in my soul. I was trained by the best.

    Furthermore, she was the source of our family business success and immediately when she was asked to retire earlier by my father from the management, our business went down to hell and was almost completely wiped out during the 1997-1998 crisis. Worst business decision ever! On the one hand, losing everything was damn painful. But on the other hand, as I said above and in many occasions, walking through suffering builds your character. It drives you to be relentless (perhaps borderline obsessive) in the unforgiving race to greatness. This episode of my life is also the main reason why all my female associates find me to be so prejudiced to boys, believing that most of them are distractions. Well now they know, it’s my personal trauma. My message to them is always the same, find a significant other that will support you to soar into the sky and never settle for less.   

    People should also be able to tell that my deep passion for management, obsession with neatness, diligence, and organizing things, plus a seemingly unlimited energy to enforce all of those commitments (all necessary qualities for becoming an effective Managing Partner) are all derived from my mother. Her brothers and sisters called her “miss rempong”, and I can’t find a better term to describe myself other than being “rempong” too. So yes, this is why both of us are so annoying to other people and why we also both annoy each other so many times. I remember how stressed my brother was whenever I entered into a high pitch conversation with my mom (and not even because we were angry, but simply because we talk so loud and passionate about whatever we believe, haha).          

    While a piece of me will be lost forever with my mom’s sudden departure (I am after all a doted child a.k.a anak mami), I am grateful that a piece of her will also continue with me as long as I am still living (and hopefully through other people’s memories too). And though I am incredibly sad that I have to part with my mother so soon, I am a little bit happy that unlike Scrooge McDuck who had to learn the news of her mother’s death when he was thousand miles from home, I was lucky enough to spend time with her until the end and that she had the time to celebrate my best birthday party ever (with her gone, I am afraid that no party will ever beat the ones that I had back in October). I guess experiencing all of these highs and lows in such an extreme way when I reached the age of 40 really tells something about the old adage that life begins at 40. It surely begins with a bang!

    The next phase of my life will definitely be tougher. My out of this world level of confidence, tolerance to pain, and drive for work are somehow connected to the belief that regardless of whatever challenges that I have to face, I will always have that one supporter in the background. Whether we are near or far, in good times or bad times, and even when we were not talking because of our silly fight (a certainty from time to time as I am a copy paste of my mom, and you can't have two divas on one stage), it does not matter, I know that she will be there for me (and what a lovely thing to find this video of her just after I've finished writing this passage, confirming my belief). With that one ultimate pillar gone so quick, it's surreal to find yourself standing alone in the wilderness of life. It's just like experiencing Thanos's snap in real life but without any possibility of bringing her back. It sucks and yet, I must persevere. 

    To be brutally frank, I always consider myself as a ruthless dark lord with a pitch black frozen heart. No amount of pain and suffering in this world or even the universe have ever moved me to shed a single tear. As I often said, I don't believe in any moral values where I owe any duty to anyone else, and vice versa, it's all about self-preservation, game theory, and emotion. Unfortunately, or maybe fortunately, I do have a soft spot for my mom, and that speaks an uncountable number of words about her importance to me (There are still many stories and memories about her that I have not shared to the world and it would be my greatest pleasure to share them later on whenever I have the chance). And again, I was very surprised to know that my mom did say the same thing in her video above, she did not want her sons to support and care for her based on filial duty. It must be based on love and nothing else. Great minds think alike. 

    For my beloved mother, thank you for accompanying my journey for the last 40 years, goodbye, and see you among the stars. I will be forever missing you. For the rest of us, and especially myself, life must go on. There are deals to close, competitors to beat, and an industry that we have yet to dominate! The mission shall continue as planned until the day I leave this mortal plane and beyond. And while the road to such goal is arduous and long, I think I will be just fine as long as I can live the life that I choose, as long as I can do what I love to do now and then, and as long as every once in a while I can reminisce my treasured memories of my mom. Wish me luck!          
  • Kritik yang Membangun dan Intrik-Intriknya

    Jadi hari ini ceritanya ada artikel soal komentar Bapak Presiden bahwa masyarakat harus aktif sampaikan kritik dan masukan ketika berpidato menyambut peluncuran Laporan Tahunan Ombusdman RI tahun 2020. Pesannya sebenarnya bagus tapi dengan sejarah banyaknya laporan ajaib soal kritik yang kemudian berubah menjadi kasus penghinaan atau pencemaran nama baik entah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, mau tak mau timbul pertanyaan, pesan Presiden di atas itu serius atau tidak?

    Kritik atas kelenturan pasal-pasal pidana terkait penghinaan/pencemaran nama baik bukan barang baru. Di tahun 2015 misalnya, Menteri Komunikasi dan Informatika periode itu menolak revisi atas Pasal 27 UU ITE yang sudah sering memakan korban (dan masih terus demikian sampai dengan tahun 2021 dan entah sampai kapan). Saya juga sudah berkali-kali menulis soal ini dan bisa dibaca di sini (soal kepatutan untuk memidanakan kasus penghinaan), di sini (soal isu ujaran kebencian terhadap ras via kasus Florence Sihombing, kalau ada yang masih ingat siapa dia), dan di sini (soal isu penodaan agama via kasus Ahok). Baru-baru ini juga ada kasus influencer versus dokter yang berujung saling lapor polisi (saya tidak akan memberikan tautannya di artikel ini, cari sendiri saja), menambah lagi khazanah kebingungan orang-orang dalam memahami kapan kritik jadi berujung pidana?

    Di twit saya di atas, saya memberikan sedikit kiat soal bagaimana cara mengajukan kritik di negara tercinta ini. Walaupun ada beberapa tambahan buat lucu-lucuan, sebenarnya nilai-nilai yang saya tulis itu dimuat dalam penjelasan Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (PNPS 1965) yang menyatakan sebagai berikut: "huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini."

    Singkat kata, kalau mau lepas dari jeratan pasal-pasal karet yang sifatnya subjektif macam menghina atau menodai, pastikan pernyataan yang anda buat itu objektif, faktual (ini pengertian zakelijk), dan ilmiah serta berusahalah menghindari kata-kata permusuhan sebisa mungkin. Unsur-unsur di atas sebenarnya ideal untuk ada dalam setiap kritik. Tapi mirip dengan pengertian menghina/memusuhi, pengertian objektif, faktual dan ilmiah itu sendiri sebenarnya juga luas dan bisa diperdebatkan, dan itu yang kemudian jadi masalah di Indonesia.

    Apa definisi unsur "objektif"? Apakah objektivitas murni itu ada? Apakah kita perlu mengerti terlebih dahulu kategori noumena dan phenomena ala Kant atau perlu membaca buku babon ini sebelum mengeluarkan kritik untuk memastikan bahwa kita telah bersikap objektif dalam menyampaikan kritik? Kemudian standar "ilmiah" apa yang mesti digunakan untuk memenuhi ketentuan PNPS 1965? Apakah orang harus lulus S3 dan jadi doktor dulu sebelum minimal menuangkan pendapat di negara ini? Atau setiap kritik harus memenuhi kriteria naskah akademik untuk dapat dipertimbangkan?

    Bahkan terkait unsur "faktual" yang sebenarnya tidak kontroversial pun prakteknya juga bisa menimbulkan banyak pertanyaan, apalagi ketika dunia mulai memasuki era post-truth yang contohnya bisa kita lihat dengan jelas dalam kasus pemilihan umum di Amerika Serikat ketika jutaan orang bisa percaya dengan teori konspirasi (plus digoreng sebagian politisi di sana untuk kebutuhan elektoral) dan kemudian coba-coba menggulingkan pemerintahan melalui kerusuhan di Capitol Hill. Dalam situasi normal sekalipun, harus diakui bahwa menemukan fakta yang akurat juga tidak selalu mudah. Tidak usah bicara fakta sejarah yang bisa jadi multi interpretatif, kejadian dua tiga hari yang lampau pun juga bisa salah dibaca, misalnya karena informasi disampaikan secara tidak lengkap (kenyataannya, berapa banyak orang yang cuma baca info sekilas atau bahkan cuma judul berita kemudian berkomentar seperti jagoan?).

    Permasalahan utama dari pasal karet adalah kelenturan penggunaan pasal itu akan bergantung erat pada kekuataan/kekuasaan dari mereka yang bisa mengajukan laporan serta mereka yang memeriksa dan memutus perkara yang bersangkutan. Dan kita harus akui, belum ada pendekatan yang murni konsisten di negara ini. Sebagai contoh, dalam artikel saya soal kebhinekaan di Indonesia, saya membandingkan kasus Rhoma Irama yang sempat dituduh mengucapkan ujaran kebencian tapi kemudian kasusnya tidak ditindaklanjuti dengan beragam alasan. Padahal kalau dilihat unsur-unsurnya, kasus Rhoma tidak berbeda jauh dengan kasus Ahok, tapi sebagaimana kita ketahui bersama dan sudah saya bahas panjang lebar dalam artikel-artikel saya sebelumnya, hasil akhirnya berbeda 180 derajat.

    Untuk itu perlu ada revolusi pemikiran terlebih dahulu bahwa dalam konteks bernegara, masyarakat sebenanya lebih tepat diumpamakan sebagai pengguna jasa sementara pemerintah adalah pemberi jasa (service provider), mirip seperti kita lawyer yang memberikan jasa hukum kepada klien-klien kita. Leadership is liability not privilege

    Mengapa saya menempatkan posisi masyarakat di atas? Kembali ke definisi negara dan hukum itu sendiri, keberadaan negara dan hukum adalah fakta sosial, yaitu fakta bahwa sebagian besar masyarakat dalam satu wilayah menyepakati legitimasi keberadaan suatu negara serta kewenangan negara tersebut untuk menerapkan aturan-aturan tertentu. Makanya saya tidak setuju dengan konsep negara integralistik ala Soepomo (yang kemungkinan besar diambil dari teori Hegel) bahwa negara adalah seakan-akan ayah yang mengayomi rakyat sebagai anak-anaknya. Tanpa penerimaan masyarakat, tidak ada negara dan hukum. Terlepas kita mau berteori bahwa sumber hukum bermuasal dari dimensi kesembilan sekalipun pun, kenyataannya, hukum itu hanya bisa mengada di dunia ini karena ada orang-orang yang mau mengakuinya sebagai hukum yang berlaku. Demikian juga pejabat bisa menjabat karena mereka dipilih dan dipercayai oleh masyarakat dan mereka dipilih karena mereka diharapkan bisa get things done.

    Semua fasilitas yang diberikan kepada pejabat pada dasarnya diberikan kepada mereka supaya mereka bisa bekerja dengan fokus dan mengutamakan kepentingan pengguna jasa, serupa dengan lawyer yang dibayar mahal untuk memastikan klien menerima jasa hukum terbaik dan seluruh kepentingannya dilindungi. Begitu hal ini dipahami, ketentuan mengenai kritik seharusnya tidak lagi perlu diatur secara rigid karena kritik dari klien memiliki 2 bentuk utama: (i) murni komplain/uneg-uneg dan (ii) masukan bagi pemberi jasa. Dalam artikel ini, saya akan berfokus pada bentuk pertama.

    Untuk uneg-uneg atau komplain, pemberi jasa tidak bisa berharap klien memberikan masukan yang berharga, terstruktur, ilmiah atau penuh dengan pemikiran orisinil karena justru tugas pemberi jasa untuk memberikan ide-ide yang mantap, bukan sebaliknya! Jadi pernyataan bahwa masyarakat seharusnya memberikan ide-ide yang membangun dan tidak boleh hanya menggerutu saja sudah merupakan kesalahpahaman dalam konteks uneg-uneg di atas. Bukan berarti warga tidak bisa berkontribusi menyumbangkan pemikiran ya, tetapi kontribusi pemikiran dari masyarakat adalah bonus dan tidak ada sangkut pautnya dengan kebolehan mereka untuk menyampaikan uneg-uneg atas layanan Pemerintah yang tidak sesuai ekspektasi.   

    Setelah paham posisi masyarakat sebagai klien, pertanyaan berikutnya, apa wajar bagi pemberi jasa untuk mengatur-ngatur bagaimana cara klien menyampaikan uneg-uneg? Bagi saya pribadi, jawabannya adalah tidak akan! Less excuse more results! Justru saya harus berusaha sekeras mungkin supaya saya tidak menerima komplain. Bukan saja ini masalah harga diri sebagai profesional, tetapi juga tentunya persaingan dengan pemberi jasa lainnya, saya ingin jadi yang terbaik. Isunya, negara tidak memiliki saingan dalam jurisdiksinya dan ketika tidak ada persaingan, naluri penguasa lambat laun menggantikan naluri pemimpin yang melayani. Dalam konteks otonomi daerah sekalipun, ide bahwa persaingan antar daerah akan meningkatkan kualitas pemerintahan pun belum tentu efektif. Mengapa? Karena mobilitas penduduk juga kemungkinan besar tidak elastis. Berapa banyak yang memutuskan pindah dari satu daerah yang kepemimpinannya kurang bagus ke daerah lainnya? Persaingan antar daerah pun akhirnya menjadi kurang greget. Ujung-ujungnya lingkaran setan, kecuali tentunya apabila ada yang lebih banyak bersuara untuk menunjukkan bahwa menyampaikan uneg-uneg itu biasa saja dalam kehidupan bernegara.

    Apakah perubahan paradigma ini mungkin muncul? Ya mungkin saja. Saya berani bicara seperti ini karena saya sendiri menerapkan nilai-nilai yang sama dalam institusi saya dalam bentuk 2 prinsip: (i) being radically open, dan (ii) being egalitarian. Skin in the game bukan cuma asal berteori! Harus diingat bahwa komunikasi itu selalu melibatkan biaya dan waktu. Komunikasi yang lambat dan tidak efisien bahkan bisa membunuh seperti dalam kasus Korean Air di tahun 90-an yang sempat terkenal paling tinggi tingkat kecelakaannya. Setelah diteliti ternyata penyebab kecelakaan bukan masalah teknologi pesawat yang ketinggalan jaman, melainkan masalah komunikasi dan hierarki sosial. Bahasa Korea antara junior dan senior sangat kaku, belum lagi sikap harus hormat kepada senior dan menganggap senior selalu benar (bisa lihat di sini dan di sini), sehingga dalam banyak kasus, ko-pilot kesulitan menyampaikan adanya masalah kepada pilot karena bingung menyampaikan dalam bahasa yang santun padahal ketika terjadi masalah dalam penerbangan, setiap detik berharga! 

    Bayangkan contoh komunikasi seperti ini ketika pesawat sudah gonjang ganjing: "Bapak pilot yang sangat saya hormati, izin menyampaikan, nampaknya ada kendala di autopilot. Maaf bukan bermaksud menyalahkan apalagi mempertanyakan kewenangan bapak. Kiranya boleh saya periksa, tentunya dengan seizin bapak seandainya bapak berkenan." Untungnya setelah pelatihan intensif, Korean Air kini sudah tidak lagi mengalami isu yang sangat mengerikan ini. Dan tentunya kita juga tidak menginginkan hal yang sama terjadi di negara ini dalam institusi mana pun bukan?

    Sebagaimana saya mengambil posisi tegas dalam institusi saya untuk melenyapkan basa basi dan katabelece serta memastikan adanya transparansi radikal dalam komunikasi internal sehingga informasi bisa sampai secara lugas dan masalah bisa segera diselesaikan, Presiden juga bisa menerapkan hal yang sama kalau ingin mendengar lebih banyak masukan dari warganya. Hal ini juga bisa dilakukan tanpa harus mengubah undang-undang yang memakan waktu lama karena ini masalah membuat budaya institusi yang baru. Cukup dengan pernyataan sebagai berikut: "setiap warga berhak untuk mengeluh dan setiap pejabat dan organisasi apapun (termasuk yang mengaku pendukung Presiden dan sejenisnya) tidak diperkenankan untuk memperkarakan keluhan warga negara."    

    Bahkan kalau perlu, Pemerintah bisa mengadopsi jasa yang dibahas oleh New York Times untuk ibu-ibu yang senewen di Amerika karena harus bekerja dari rumah sambil mengurus anak-anak mereka sebagaimana bisa dibaca di sini. Berikan ruang bagi orang-orang frustrasi untuk bisa bersuara karena kalau suara-suara itu direpresi terus justru lama-lama akan meledak dan kita tidak tahu pasti efek akhirnya seperti apa.

    Perlu diingat, Pemerintah yang memahami seberapa besar kuasa dan legitimasi yang dimiliki olehnya seharusnya tidak mungkin bisa tersinggung oleh kritikan siapa pun karena orang yang benar-benar kuat seharusnya memiliki mental baja. Kalau hari ini dikritik, besok harus lebih baik. Dikritik itu ya biasa saja. Saya sendiri sering komentar, ini anak-anak di kantor kayanya sering lupa kalau saya Managing Partner, and I completely love it! Karena artinya nilai-nilai yang saya bangun dari awal itu (bahwa tidak masalah menyampaikan uneg-uneg secara langsung tanpa basa-basi dan justru harus segera  menyampaikan kalau ada isu) sudah mendarah daging dan moga-moga diteruskan untuk selama-lamanya. Sekali lagi, leadership is liability, not privilege, and the love of doing service must come from the fire in your soul.

    Yang penting bisa dibedakan mana yang uneg-uneg serius dan mana yang memang sekedar trolling. Lagi-lagi saya gunakan analogi yang sama dalam bisnis jasa. Kalau sampai ada klien komplain, kita pasti harus pelajari mengapa komplain ini terjadi. Sekedar salah paham? Ada kesalahan aktual di pihak lawyer? Atau ada kondisi lainnya? Tapi yang pasti, tidak mungkin ujug-ujug kita justru marah balik dan menyalahkan kliennya sambil beranggapan bahwa kita tidak mungkin salah, karena kalau demikian kita bekerja, bisnis kita jelas tidak akan bertahan lama. Begitu juga klien tidak akan senang kalau kita telat atau tidak terbuka dalam menyampaikan masalah sehingga baru ketahuan di akhir-akhir ketika semua sudah terlambat. Kalau itu terjadi dalam pekerjaan saya, rasanya ingin harakiri saja karena malu. Sesederhana itu.   

    Sampai di sini, saya masih bicara tentang hal-hal ideal. Tapi saya juga perlu menyampaikan pesan layanan masyarakat, kita harus selalu bertindak pragmatis karena pasal-pasal karet masih ada dan kalau melihat sejarah penggunaannya, pasal-pasal itu masih akan bercokol untuk waktu yang lama. Sambil menunggu komitmen yang lebih besar dari Pemerintah untuk menjadikan masyarakat sebagai the real boss, penyampaian komunikasi secara hati-hati harus tetap dijalankan. Bukan apa-apa, kebetulan saya lawyer, dan sedikit banyak saya bisa mengukur batasan tulisan macam apa yang bisa saya sampaikan tanpa polesan sedikit pun (misalnya kalau sedang bicara soal politik US) dan mana yang saya harus poles supaya tidak bisa atau jauh lebih sulit untuk dianggap sebagai pernyataan yang bisa membahayakan posisi hukum saya. Tapi bagi sebagian besar orang awam, sikap mawas diri ini belum tentu ada sehingga jadi sering asal bunyi yang kemudian berujung keributan tidak perlu dan dilanjutkan dengan saling gugat atau saling lapor pidana. Lelah kan?

    Beberapa catatan kalau anda misalnya sudah tidak tahan dengan suatu kondisi dan merasa perlu menyampaikan uneg-uneg anda: (i) jangan pernah menggabungkan kata-kata makian dengan nama pejabat/institusi mana pun di negara ini, (ii) pastikan fakta yang disampaikan untuk anda kritik sudah anda cek akurasinya, minimal jangan pakai sumber abal-abal tapi dari narasumber berita yang sudah ada reputasinya, (iii) daripada marah-marah dan ngegas, pertimbangkan untuk menggunakan emosi kesedihan atau kekhawatiran dalam tulisan anda, bangun simpati dan cerita yang menyayat hati (tapi jangan pernah bohong ya), dan (iv) cobalah menulis secara esoterik (taktik lama dari jaman Yunani kuno yang masih bisa dipakai hingga hari ini, makin mbulet, makin bagus). Lelah ya? Yha, begitulah. Or you can always study the law and become a lawyer. Selamat menulis kritik yang membangun!


  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.