• LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa Tolong Berhenti Mengada-ada

    Ketika saya membaca artikel balasan dengan judul "LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa, Benarkah Klaim Ini?", saya sebenarnya masih meragukan apakah penulisnya benar-benar Fithra Faisal yang asli. Walaupun demikian, saya memiliki firasat kuat bahwa penulis artikel balasan tersebut (siapapun dia) adalah juga penulis artikel sebelumnya "LGBT dan Kegagalan Sebuah Bangsa," mengingat pola penulisannya sama. Artikel pertama berbicara soal usulan kebijakan publik tetapi secara misterius tidak menyebutkan kebijakan apa yang hendak diusulkan, sementara artikel kedua menambahkan suatu pertanyaan di judul namun sampai akhir isi artikelnya, ternyata jawabannya tidak pernah diberikan. Dari sudut pandang cocokologi, ini yang namanya cocok secara alamiah tanpa perlu dicocok-cocokkan lagi karena sama-sama memberikan harapan palsu.

    Tapi oke lah, ketika hidangan sudah tersedia dengan manisnya di meja makan, selayaknya segera disantap. Guna menghormati penulisnya yang merespon dengan cukup cepat, berikut saya sampaikan tanggapan saya. Pertama-tama soal referensi makalah yang digunakan. Ketika kita menggunakan kutipan yang disingkat, akan jauh lebih baik kalau nama makalah lengkapnya disebutkan. Saya kebetulan punya akses mudah untuk mencari makalah-makalah tersebut dari database University of Chicago, tetapi tidak semua orang bisa melakukan hal yang sama. Kutipan referensi seharusnya bukan tempat berlindung dari peluru mortar di medan perang akademik, justru itu tempat kita menyampaikan kepada khalayak ramai bahwa jantung kita ada di sana dan siap sedia untuk ditembak (karena setiap referensi harus siap untuk dicek dan ricek sebagaimana sudah dijalankan dalam tradisi dunia akademik selama ratusan atau bahkan ribuan tahun). 


    Kedua, saya akan melewatkan pembahasan atas semua makalah yang disebutkan oleh Fithra yang membahas tentang efek positif atas pertumbuhan ekonomi dari dukungan terhadap LGBT maupun makalah yang menyatakan bahwa efek tersebut kemungkinan tidak ada atau relatif lemah. Bagus untuk disebutkan, tetapi kurang relevan karena: (i) saya tidak sedang berusaha meyakinkan publik bahwa dukungan terhadap LGBT memang benar-benar memiliki efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan (ii) fokus Fithra sendiri sebenarnya hanya pada satu makalah yang kemudian tampaknya dijadikan dasar utama untuk mendukung klaim ia sebelumnya bahwa terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan dukungan terhadap LGBT, yaitu makalah Niclas Berggren dan Mikail Elinder: "Is tolerance good or bad for growth?" Makalah ini dimuat di Jurnal Public Choice (2012) Vol. 150: 283-308 (versi yang tidak berbayar bisa diakses di sini).

    Makalah Berggren dan Elinder ini menurut saya kualitasnya bagus. Ditulis dengan baik, memberikan kesimpulan dengan sangat hati-hati, dan datanya juga kemudian dibuka untuk dapat direplikasi dan diuji oleh peneliti lainnya. Sayang seribu sayang, Fithra telah memotong-motong bagian dari makalah tersebut dengan brutal sedemikian rupa sehingga menurut saya kesimpulannya menyesatkan. Saya kutipkan langsung apa yang ditulis Fithra di artikelnya tersebut:

    "Berggren dan Elinder (2012) menggunakan pendekatan Florida (2002) dalam mengelaborasi toleransi terhadap LGBT dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Disini mereka menemukan bahwa toleransi yang berlebihan terhadap LGBT memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.  Setidaknya ada dua alasan: i) kaum yang konservatif akan merasa terganggu dengan kebijakan pemerintah yang terlalu toleran terhadap LGBT, sehingga mereka melakukan migrasi keluar dari negara tersebut.

    Pun demikian dengan penduduk yang beraliran konservatif yang tinggal tingkat produktivitasnya akan berkurang karena merasa tidak terlalu nyaman dalam bekerja. Jika Florida memandang bahwa LGBT memiliki tingkat kreativitas yang tinggi, Berrgren dan Elinder juga menekankan jumlah orang kreatif yang juga cukup besar berada dalam lingkup penduduk yang beraliran konservatif.  ii) Sementara itu, kebijakan toleransi tinggi terhadap LGBT juga akan mengundang kaum LGBT lintas negara untuk masuk, sementara ada sebagian (besar) dari LGBT lintas negara tersebut yang memiliki tingkat kreativitas yang tidak terlalu tinggi. Pada gilirannya, hal ini tidaklah cukup dalam meningkatkan produktivitas kaum konservatif yang turun."      

    Apa yang sebenarnya ditulis oleh Berggren dan Elinder? Ini mungkin akan sedikit membosankan untuk pembaca yang tak terbiasa dengan gaya tulisan akademis (percayalah, kalau saya bisa membuat seluruh isi tulisan saya menghibur pembaca, saya akan mengusahakannya, jadi kalau anda merasa kurang terhibur, silakan anda salahkan Fithra karena dia membuat kita terpaksa harus membaca dan membahas makalah akademik di situs non-akademik di hari kerja pula), tetapi demi memastikan bahwa kita bicara dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan, saya perlu mengutip beberapa bagian dari makalah mereka (kutipan diambil langsung dari versi final yang dimuat di Jurnal Public Choice). Tentunya kalau anda ingin langsung menuju bagian yang renyah dibaca kembali, anda bisa melewatkan paragraf dalam bahasa Inggris dan langsung melihat analisis saya di bawah ini (atau setidaknya bacalah tulisan yang saya beri bold). Yang penting paragraf yang saya kutip tersebut bisa jadi referensi kalau suatu hari nanti anda memutuskan hendak alih profesi menjadi peneliti. 

    Pertama, soal kesimpulan makalah Berggren dan Elinder:

    "We investigate, for the time period 1998–2007, whether tolerance toward homosexuals and toward people of another race, as measured by the share of people in different countries that indicate that they do not mind having neighbors that are homosexuals or of a different race, is related to growth in real GDP per capita. We analyze this issue by looking at a sample of maximally 54 countries, following the methodology of the empirical growth literature.

    Our main result is that tolerance toward homosexuals is negatively related to growth. Statistical significance is obtained throughout in a cross-sectional regression model which is varied in four different ways. When three identified outliers are removed, the result stands. And we verify the result in a panel-data analysis, which although conducted with a smaller sample indicates that fixed effects do not bias the cross-sectional estimates. As for tolerance toward people of a different race, for which we find a positive sign, the result is less robust. In the initial cross-sectional regressions, it attains statistical significance only in the most extensive model. That significance is retained when outliers are removed, but it does not appear in the panel-data analysis. In all, this makes us less certain about the relationship between tolerance toward people of a different race and economic growth...

    Two caveats should be added. It is hard to establish causality, but we offer two preliminary indications of a direction from tolerance to growth and not the other way around. We regress tolerance on earlier growth, and do not find any statistically significant effect; and the panel-data analysis is more easily interpreted as causal (Finkel 1995). We should also stress that the results are applicable to the countries of our samples, and since they encompass at most 54 countries, one should be careful in generalizing the results to other parts of the world. We still think that the results are of value for clarifying the nature of the tolerance–growth relationships for the included countries.

    What to make of these results? Our overall interpretation is that just as growth is affected by other social factors, such as trust, it is also affected, in the typical country in our sample, by tolerance toward homosexuals. Hence, quite unlike the results of Richard Florida and his co-authors, the cross-country evidence does not suggest that there is a general positive relationship between tolerance of homosexuals and growth: quite the opposite holds. This result should not be seen as normative: one may very well advocate tolerance toward homosexuals in spite of this finding, as there are other, and to many people more important, goals than growth. In any case, we also find some, although weaker, signs of a positive influence by tolerance toward people of a different race.

    We do not consider this study to be definitive in providing an answer to the role of tolerance for economic growth. Rather we view it as a first attempt to look into the economic effects of tolerance across countries. Extending the panel-data analysis as more data become available and trying to test empirically the various mechanisms that can explain the results, separately and jointly, are items on a future research agenda, as is the further analysis of how economic and political institutions affect the prevalence of different kinds of tolerance.

    Kedua, soal klaim kaum konservatif yang merasa terganggu dengan kebijakan negara dan memutuskan akan keluar dari negara yang bersangkutan atau kaum konservatif yang jadi malas bekerja karena merasa tidak nyaman, berikut kutipan aslinya:
      
    "Suppose that productive people are attracted to tolerant environments. Then tolerance can increase the efficient allocation of labor and talent both between and within countries, as it entails what Florida and Gates (2001: 2) call low barriers to entry for human capital. This, then, is a mechanism through which tolerance affects growth positively. Suppose, in contrast, that the talented, productive and innovate people overall dislike the acceptance of all people and lifestyles. Conservative or intolerant groups may be important even in societies that are overall characterized as tolerant. Then a negative growth effect could ensue, if tolerance scares off or reduces the productivity and innovativeness of these people. If, say, a country or area is very tolerant toward homosexuals, then conservative people may decide to not move there, and to the extent that they would have contributed to higher growth by working hard and applying their skills and talents, their not coming represents foregone growth opportunities. Furthermore, the productivity of the intolerant in a given area or country could be affected by the general tolerance extended to certain minority groups. Racists or those with sexual prejudice can feel uncomfortable in workplaces where minorities they dislike, and their lifestyles, are welcomed. Consequently, they can self-select away from the most productive jobs available to them if those jobs are part of a setting which welcomes such minorities. Whether the growth effect of tolerance is positive or negative therefore at least partly depends on whether the productive and innovative welcome or dislike the acceptance of all people and lifestyles"

    Kemudian soal ada sebagian (besar) kaum LGBT yang sebenarnya tidak memiliki kreativitas yang cukup tinggi sehingga tidak bisa mengkompensasikan penurunan produktivitas dari kaum konservatif:

    "Consider first two mechanisms through which tolerance can increase growth: by attracting innovative and productive minority-group members from other countries and by affecting the allocation of labor and talent within a country. As for the latter mechanism, if employers solely care about the productivity of potential employees and do not much care about characteristics unrelated to productivity, then it is more probable that people are allocated to positions to which their talent is put to best use. This implies a link between tolerance and discrimination (in the sense of Becker 1971), such that where the former is in place, the latter is less prevalent. But consider also that there are two mechanisms through which tolerance can decrease growth: it can attract low-productive minority-group members from other countries and areas, and it can make a group toward which tolerance is extended less productive to the extent that non-innovative or unproductive choices are encouraged (or at least not discouraged) through tolerant attitudes. Whether the growth effect of tolerance is positive or negative therefore at least partly depends on how productive those toward whom tolerance is extended are and how their productivity changes with tolerance"

    Fithra dengan sangat apik menyusun tulisannya sehingga seakan-akan makalah Berggren dan Elinder menyimpulkan dengan tegas bahwa toleransi yang berlebihan terhadap LGBT memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan ada 2 alasan yang menyebabkan hal tersebut terjadi, yaitu soal kaum konservatif yang lari dari negaranya dan jadi ogah-ogahan bekerja serta munculnya banyak kaum LGBT yang kurang kreatif dan produktif. Kalau saya sempat dituduh memperkosa tulisan Fithra (dengan mengkritik isi artikelnya yang menurut saya memang sangat bermasalah secara teknis), saya tidak tahu istilah apa yang tepat untuk digunakan atas upaya Fithra merekonstruksi isi makalah Berggren dan Elinder. Perkosaan mungkin masih terlalu manis sebagai pilihan kata. Saya serahkan istilahnya kepada ahli sejarah dan sastra di luar sana. 

    Kenyataannya, Berggren dan Elinder dengan tegas menyatakan bahwa mereka hanya menemukan adanya korelasi, bahwa sulit untuk menunjukkan adanya kausalitas, bahwa hasil mereka hanya mencakup 54 negara (54 negara!) dan itu masih belum cukup untuk menggeneralisasikannya ke seluruh dunia, dan bahwa hasil penelitian mereka belum bersifat definitif dan seharusnya digunakan sekedar untuk membuka penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam terkait efek toleransi atas pertumbuhan ekonomi. Dengan data segudang, serta beragam teori dan analisis yang ciamik, mereka hanya cukup berani untuk menyatakan bahwa ada korelasi antara pertumbuhan ekonomi yang negatif dan toleransi atas LGBT. Itu pun mereka masih menekankan bahwa temuan mereka tidak perlu dilihat berkekuatan normatif (alias hendak dipakai untuk kebijakan publik), karena ada banyak tujuan lain dalam hidup bermasyarakat selain pertumbuhan ekonomi (yang mana saya asumsikan sebagai pengetahuan dasar bagi para ekonom, bahkan sekalipun mereka adalah komplotan ekonom konservatif yang bercokol di University of Chicago).

    Tapi Fithra nampaknya jauh lebih perkasa dibandingkan dua peneliti ini yang hanya berasal dari negara Swedia. Apalah mereka itu, hanya orang-orang yang kebanyakan makan Salmon dan tinggal di sebuah negara beku di ujung dunia nun jauh disana. Mereka terlalu pengecut. Bermodalkan penelitian yang menurut Fithra sendiri variabelnya masih dalam proses, modelnya masih memiliki sample selection bias, dan masih ada faktor yang belum dikontrol, Fithra dengan gagah berani memberikan angka yang pasti soal kausalitas negatif antara kebijakan pemerintah pro LGBT (yang tidak jelas kebijakannya apa) dan dukungan pemuka agama atas LGBT terhadap pertumbuhan ekonomi. Berhubung seorang jagoan tidak pernah tanggung-tanggung, Fithra sekaligus membubuhi efek normatif dalam kesimpulannya bahwa hal ini layak diusung untuk menjadi kebijakan publik oleh pemerintah. Mengapa tidak, usulan kebijakannya (apapun itu karena tak pernah dirinci) sudah dipertimbangkan dengan jernih dan rasional. Menurut siapa? Menurut ngana?

    Kalau meneliti dan menciptakan kesimpulan sungguh memang semudah ini, saya sempat terpikir untuk menghentikan studi di UChicago Law School dan pindah ke FEUI untuk menjadi mahasiswa bimbingan Fithra supaya saya bisa cepat merampungkan disertasi saya. Sejujurnya saya lelah menghadapi pembimbing saya yang entah manusia atau siluman karena rasanya saya tak pernah bisa mengejar pandainya dia (maaf jadi curhat colongan).   

    Saya belum selesai, kita kembali sesaat ke 2 alasan yang sempat dikemukakan Fithra seakan-akan sebagai penyebab kausalitas negatif toleransi LGBT dan pertumbuhan ekonomi. Berggren dan Elinder menempatkan dua alasan itu di sub-bab Theoretical Preliminaries. Maksudnya apa? Maksudnya ini barulah diskusi teori-teori soal kira-kira apa hubungan antara toleransi dengan pertumbuhan ekonomi. Di paragraf yang saya kutip, mereka sebenarnya menuliskan dengan rinci kemungkinan-kemungkinan hipotetis yang bisa terjadi. Ketika mereka menyampaikan soal kemungkinan kaum konservatif produktif yang terganggu dengan keberadaan kaum LGBT, mereka menyampaikan sebelumnya bahwa ada kemungkinan kaum produktif justru lebih terpikat dengan masyarakat yang toleran. Begitu pula dengan kasus kaum LGBT yang kurang kreatif, ini hanyalah salah satu kemungkinan dimana kemungkinan lainnya adalah bahwa kaum minoritas yang terpikat untuk datang ke negara-negara toleran adalah kaum kreatif dan produktif.

    Ini mengapa sub-bab tersebut ditempatkan oleh Berggren dan Elinder sebelum analisis empiris dan bukan sebaliknya. Mereka sedang membicarakan kemungkinan-kemungkinan bukan menyimpulkan bahwa dua hal itu adalah alasan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi negatif seandainya ternyata datanya menunjukkan bahwa toleransi menurunkan pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, mereka sendiri sedari awal tidak pernah berani mengklaim bahwa ada hubungan kausalitas. Jadi? Silahkan anda simpulkan sendiri.

    Saya juga hendak memastikan apakah Fithra sudah melakukan pengecekan lebih lanjut mengenai apakah makalah Berggren dan Elinder telah ditanggapi oleh akademisi lainnya? Mengingat Fithra seorang jagoan, saya asumsikan dia sudah memeriksanya namun mungkin terlupa tidak dimuat di artikelnya itu. Mungkin dia sangat sibuk sebagai akademisi sementara saya ini hanya seorang lawyer yang cukup bekerja minimum 8 jam sehari mengejar billable hours dan bisa dengan mudah menulis artikel ini malam-malam sebelum pulang ke rumah terlepas sebenarnya besok pagi-pagi ada meeting. Cuma begitu saja kok ngaku-ngaku sibuk. Pembimbing saya saja cuma bisa saya temui fisiknya 3 bulan sekali (kembali curhat colongan).

    Rupa-rupanya makalah Berggren dan Elinder sudah dikomentari dan dibantah isinya oleh Eduard. J Bomhoff dan Grace Hooi Yean Lee, "Tolerance and economic growth revisited: a note" yang dimuat di jurnal yang sama, Jurnal Public Choice Vol. 153:487-494 (versi non berbayar bisa diakses di 
    sini). Berikut saya kembali sedikit ke bagian yang membosankan dengan mengutip beberapa bagian dari makalah itu (diambil dari versi final di Jurnal Public Choice).

    "BE are correct in pointing out that very tolerant countries grow more slowly on average than less tolerant countries. The first column of Table 1 shows the simplest possible regression using their dataset and their measure of tolerance. Results for the full WVS wave 5 dataset and with the alternative variable for tolerance (not shown here) are broadly similar. There is a simple explanation: tolerance for homosexuals increases as people urbanize and work in service industries (Å tulhofer and Rimac 2009). Thus, the rich countries tend to be more tolerant. But because Switzerland is already so rich, it can no longer get the boost to economic growth from “catching up” that is available to poorer countries."

    "One could, for example, also correlate growth with the well-known indicator developed by Barro and Lee (2010) for the average number of years of schooling of females. Perhaps no other single variable is so strongly predictive of economic development than is female education. The same type of regression as before—not shown here—just correlating growth with the number of years of schooling for all females, does deliver an even stronger negative coefficient. There is no need, however, to rush to a wrong deduction and claim—copying the language in BE when they comment on the correlation between tolerance for homosexuals and growth—that education of girls is desirable “in spite of this finding”. The correlation simply summarizes in one number the fact that poor countries have fewer girls with a full education and that these countries also have the potential for catching up and thus grow faster on average. It is therefore important to account better for conditional convergence, since otherwise the researcher will conclude wrongly from the negative association between growth (higher on average in poor countries) and the indicator variable—tolerance (lower on average in these poor countries)."

    "In this comment, we revisit BE’s study, which finds a negative relationship between the degree of tolerance of alternative sexual lifestyles and economic growth over the 1998–2007 period. Our results, however, explain growth better with more attention to initial conditions. We conclude that the concern in BE is unwarranted. Tolerance on average increases as countries get richer. Overall, our results do not provide any evidence that tolerance towards homosexuals would have any effect on economic growth. This implies that the role of tolerance is so minor that we cannot find an effect. Our findings clearly cast some doubt on the results of BE. City leaders and economic developers who implement policies aiming at improving tolerance of homosexuals, for reasons other than growth, should have little to worry about its growth-retarding effects.

    Paragraf pertama membahas soal penjelasan lain terkait temuan Berggren dan Elinder. Negara maju umumnya memang lebih toleran, sementara sebagai negara maju potensi penurunan pertumbuhan ekonominya juga lebih tinggi (ini terkait diskusi di artikel saya sebelumnya soal diminishing marginal rate of return). Paragraf kedua mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati dalam mengambil kesimpulan terkait data hasil temuan kita. Ketika mereka melihat ada korelasi antara data tingkat pendidikan anak wanita dengan penurunan pertumbuhan ekonomi, tidak serta merta berarti bahwa kemudian bertambahnya jumlah pendidikan anak wanita menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun, ini dikarenakan kebanyakan negara dengan jumlah tingkat pendidikan wanita yang rendah adalah negara miskin dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (kembali lagi merujuk ke konsep diminishing marginal rate of return). Adapun paragraf terakhir yang saya kutip memuat kesimpulan makalah tersebut bahwa temuan Berggren dan Elinder sebenarnya tidak signifikan dan efek dukungan pro-LGBT terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil atau bahkan tidak ada.

    Saudara-saudara, kenyataannya memang bahasa penelitian itu kering, membosankan, terlalu berhati-hati, penuh kualifikasi, dan tidak bombastis. Saya jamin kalau disertasi saya juga membosankan, saya sendiri saja sudah bosan membacanya (curhat untuk ketiga kalinya, sebentar lagi saya akan dapat piring cantik). Tidak bisa tidak, karya akademik bermutu menuntut pertanggungjawaban ilmiah yang tinggi, dan pertanggungjawaban ilmiah terkait sekali dengan reputasi. Fakta adanya makalah yang menyatakan bahwa temuan Berggren dan Elinder ternyata tidak relevan dan kemungkinan besar salah tidak serta merta menyebabkan Berggren dan Elinder menjadi pecundang. Mereka sudah menyiapkan data dengan hati-hati dan memberikan kualifikasi yang diperlukan. Tidak mungkin orang selalu benar. Saya juga perlu menambahkan kualifikasi, paper yang menyatakan Berggren dan Elinder bermasalah juga bisa jadi bermasalah! Intinya, cek dan ricek.

    Dan ini semua membuat saya kembali bertanya-tanya kepada Fithra. Apa yang hendak diraihnya dengan mempublikasikan klaim dahsyatnya itu sementara penelitiannya saja bahkan belum selesai? Saya tidak butuh pendekatan semiotika atau apapun lah itu untuk menganalisis kalimat seperti ini dari Fithra: "Variabel saya apa saja? Masih dalam proses tapi sedikit banyak bisa dilihat dalam Berggren dan Elinder (2012). Ke depan, jika versi artikel ilmiahnya sudah terbit saya akan berikan ke anda." Kesimpulannya gampang: penelitian belum usai, makalah yang dijadikan rujukan awal sudah dibantah 4 tahun yang lalu, penelitian jelas masih belum dalam bentuk karya ilmiah, tetapi klaimnya sudah diumumkan duluan dan langsung disebar ke publik sebagai kebenaran. Top markotop. Kalau analisis semiotikanya bisa menghasilkan bentuk kesimpulan yang lain, tolong, tolong saya diajari bagaimana caranya, mungkin nantinya saya punya masa depan yang lebih baik sebagai sastrawan dibanding menjadi pengacara.  

    Baiknya kita sudahi pembahasan ilmiah kita yang dimulai oleh Fithra di artikelnya, sekarang kita masuk ke bagian yang lebih empuk, tanggapan Fithra kepada saya. Kita kutip satu-satu lagi supaya saya tak dituduh mengada-ada dengan analisis saya. 

    "
    Adopsi dan pengurusan anak dalam jangka pendek mungkin saja bisa mengkompensasi faktor keturunan, tetapi tidak ada konsep pertambahan populasi disana. Bagaimana dengan donor sperma dan donor telur? Saya belum meneliti lebih lanjut, terimakasih atas masukannya. Kloning? Sampai sekarang saya hanya bisa membayangkan, sama seperti Pram."

    Pernyataan ini 100% benar. Adopsi dan pengurusan anak memang tidak menyebabkan konsep pertumbuhan populasi. Fithra juga mengakui belum melihat isu soal donor sperma dan donor telur, yang sebenarnya bisa jadi cukup signifikan untuk mempengaruhi penelitiannya yang belum selesai itu. Dan soal kloning, oke lah, itu kita kesampingkan dahulu.   

    Selanjutnya soal Biaya Kesempatan:

    "
    Dengan pernyataan ini, anda terbukti banyak membaca Pram. Konsep ini juga yang saya kenal dari semenjak kuliah di Universitas Indonesia berbekal karya fenomenal Gary Becker. Terus terang faktor itu belum saya control. Terimakasih untuk sarannya."

    Saya berterima kasih sekali atas pujiannya. Memang benar bahwa saya banyak membaca, baik hati, pintar, ramah, dan tidak sombong (4 sifat terakhir itu klaim pribadi saya saja sebenarnya, klaim itu bebas, cause I'm Batman). Tetapi pernyataan itu juga membuat saya akhirnya bisa memahami mengapa Fithra bisa membuat kesimpulannya yang luar biasa soal hubungan kebijakan pro LGBT dan pertumbuhan ekonomi negatif secara fakta saya menyebutkan soal Opportunity Costs dijadikan bukti bahwa saya banyak membaca. Tentu saya tersanjung, tetapi secara statistik, fakta tersebut tidak serta merta berarti bahwa saya banyak membaca, bisa jadi itu satu-satunya bahan yang pernah saya baca. Lain halnya kalau Fithra menyatakan: "membaca artikel Pram, terbukti Pram banyak membaca". Yang ini klaim yang bisa lebih mudah untuk dibuktikan. Lebih penting lagi, kembali Fithra mengakui bahwa dia belum mengontrol variabel biaya kesempatan dari pasangan heteroseksual yang tidak ingin memiliki anak. Masih perlu analisis semiotika soal kelengkapan data dan variabel Fithra? 

    Selanjutnya setelah saya panjang lebar menanyakan mengapa Fithra menjadikan variabel dukungan figur publik sebagai variabel yang relevan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi, Fithra hanya memberikan jawaban singkat sebagai berikut: "
    Jawaban saya singkat, coba lihat EU LGBT survey." Yah, benar-benar singkat. Sebenarnya saya hendak mempermasalahkan jawaban ini karena dia tidak memberitahukan apa yang mesti saya lihat di dalamnya, tapi baiklah, mungkin Fithra sangat sibuk. Setelah saya membaca laporan itu, saya bisa memahami mengapa laporan tersebut memuat variabel dukungan figur publik. Berikut kutipannya:

    "The results show a relationship between respondents’ perceptions about the level of offensive language about LGBT people by politicians and whether or not respondents had felt personally discriminated against or harassed on grounds of sexual orientation: in 14 out of the 17 countries in which fewer than half of the respondents said that they had been discriminated against or harassed on the grounds of sexual orientation in the year before the survey, the majority of respondents said that offensive language about LGBT people by politicians was rare.

    Variabel itu diperlukan untuk melihat apakah ada hubungan antara pernyataan ofensif dari politisi terhadap kemungkinan diskriminasi terhadap kaum LGBT. Kalau demikian adanya, tentu saja variabel ini menjadi penting dan cukup masuk akal untuk diperhitungkan dengan asumsi pernyataan politisi di publik dapat mempengaruhi persepsi publik dalam memperlakukan kaum LGBT. Masalahnya, saya tidak menemukan jawaban tentang mengapa dukungan figur publik perlu dicek oleh Fithra untuk dihubungkan dengan pertumbuhan ekonomi? Hubungannya apa? Dan pertanyaan awal saya juga tak terjawab, sejak kapan ada hubungan kausalitas yang mendalam antara gerakan publik di media dan pertumbuhan ekonomi? Saya tidak bisa membayangkan berapa banyak variabel yang harus dipakai dan dites ulang untuk menghilangkan kemungkinan biasnya.

    Saya juga masih bertanya-tanya ide normatif apa yang hendak diusung oleh Fithra ketika dia menyatakan bahwa dukungan figur publik kepada LGBT tidak memberikan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Sebetulnya saya tak heran dengan temuan itu. Fungsi dukungan publik untuk LGBT memang bukan untuk mencari pertumbuhan ekonomi, fungsinya untuk mengurangi diskriminasi terhadap sesama manusia. Kalau ternyata bahkan masih ada manfaatnya untuk pertumbuhan ekonomi, itu namanya bonus. Alih-alih suatu hal yang buruk, Fithra justru mengkonfirmasikan sendiri mengapa dukungan publik terhadap LGBT perlu, karena ada efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi, walaupun mungkin jumlahnya kecil.

    Klaim Fithra bahwa hal ini merupakan sesuatu yang buruk baru masuk akal kalau Fithra bisa menunjukkan bahwa ada aktivitas lainnya dari figur publik yang bisa memberikan dukungan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi. Pertanyaannya, apa aktivitas publik yang diusulkan oleh Fithra? Tidak jelas. Atau mungkin sebenarnya sudah ditulis di makalah ilmiahnya yang sedang dibuat dalam pikirannya, tetapi kebetulan lupa dimuat. Bisa jadi, bisa jadi.  

    Komentar terakhir yang spesifik dari Fithra adalah sebagai berikut:

    "
    Beda antara korelasi dan regresi Pram. Korelasi menunjukkan arah, sementara regresi menunjukkan hubungan fungsional antar variabel. Tapi berikutnya saya akan memperhatikan wording sebagaimana saran anda. Variabel saya apa saja? Masih dalam proses tapi sedikit banyak bisa dilihat dalam Berggren dan Elinder (2012). Kedepan, jika versi artikel ilmiahnya sudah terbit saya akan berikan ke anda."

    Alhamdulillah, saya masih tahu bedanya korelasi dan analisis regresi. Yang saya tanyakan dari awal bukan bedanya mereka itu apa, yang saya tanyakan itu adalah mengapa Fithra menggunakan kata penghubung "maka" dalam kalimat ini: "
    Namun jika melihat faktor pemerintah, setiap 1 persen kenaikan kecenderungan pro LGBT, maka terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1 persen"? Kita tidak perlu bersembunyi dalam bahasa logika yang membedakan antara penggunaan kata if dengan iff (alias if and only if). Kita gunakan analisis bahasa Indonesia sederhana saja: jika X, maka Y. Tanpa kualifikasi dan penjelasan tambahan apapun, mudah bagi setiap orang yang pernah lulus SD untuk menyimpulkan bahwa hubungan kata jika dan maka adalah hubungan sebab akibat. Ditambah lagi kalimat ini diperkuat dengan pernyataan lanjutan: "Di sini, dapat dilihat bahwa peran pemerintah selaku pembuat kebijakan adalah cukup krusial, baik itu bersifat pro maupun kontra terhadap LGBT. Dari sini pula, kita dapat melihat bahwa kebijakan pemerintah yang memiliki kecenderungan pro terhadap LGBT dapat meng-constraint pertumbuhan ekonomi." Kalau asumsinya benar bahwa tak ada hubungan kausal, untuk apa melanjutkan dengan kalimat peranan krusial pemerintah? Tanpa ada kausalitas, sulit berargumen bahwa pemerintah punya peranan krusial, secara sebenarnya kebijakan pemerintah tidak relevan. Jadi?

    Ini bukan jenis kesalahan menulis yang bisa mudah dikoreksi dengan pernyataan bahwa Fithra akan memperbaiki kalimatnya di masa depan. Anda telah menyampaikan usulan kebijakan publik yang berpotensi mendiskriminasi sebagian orang dengan kalimat yang lugas dan mudah dimengerti sementara anda sendiri mengakui variabelnya belum selesai diproses. Saya kagum bagaimana caranya orang bisa selugas itu mengakui di muka umum bahwa pekerjaannya belum selesai tetapi sebelumnya tak kalah lugas juga untuk mengklaim di muka umum yang sama bahwa temuannya benar dan bisa dijadikan pijakan kebijakan publik yang rasional dan jernih.   

    Terakhir, Fithra mengklaim sebagai berikut: "
    Ada beberapa bagian lain dari artikel Pram yang mungkin tidak perlu saya tanggapi disini karena sifatnya sangat minor, mudah-mudahan balasan artikel ini dapat menjawab pertanyaan dari anda sebelumnya." Sangat minor? I find this response to be highly invigorating, intellectually stimulating, and exceedingly rigorous, just by virtue of reading it, I think I am now entitled to receive my PhD degree, a.k.a, Permanent Head Damage! SERIOUSLY, this is your best response?  How about if you just shoot me in the head twice, burn my body and throw it to the sea? Because my dear friend, that's how you torture other people. God, and they call me brutal, this response is beyond brutal, it should earn a place among the list of UN's major human rights violations. Please pardon the use of English, my dear readers, it brings a lot of memories when I still write all of my articles in English. 

    Dengan sedemikian banyaknya pertanyaan atas klaim-klaim yang telah dibuat oleh Fithra dalam tulisan sebelumnya: (i) soal kausalitas antara posisi pemuka agama dengan pertumbuhan ekonomi, (ii) kausalitas pemuka agama dengan ketaatan masyarakat, (iii) kausalitas ketaatan masyarakat dengan pertumbuhan penduduk, (iv) kausalitas pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi di Eropa, Cina, dan Indonesia, dan (v) bentuk kebijakan kontra LGBT yang hendak diusulkan, jawaban terbaik dari Fithra Faisal PhD adalah bahwa isu ini isu yang sangat minor? Dan saya diminta untuk percaya bahwa yang menyusun respon ini adalah Fithra Faisal yang asli? Saya bahkan saat ini bisa menyusun teori konspirasi bahwa satu-satunya alasan yang layak bagi Fithra Faisal untuk menyusun 2 artikel yang sangat mengguncang iman ini adalah karena dia kangen saya menulis lagi. 

    Atau katakanlah bahwa semua unsur kausalitas itu tak penting menurut Fithra, paling tidak tolonglah jelaskan kebijakan kontra LGBT yang hendak anda usung itu apa? Masa 2 artikel sudah lewat dan itu tak dijawab juga? Para dukun dan peramal saja paling tidak masih berminat memberikan kisi-kisi dari prediksi mereka soal masa depan dan tindakan apa yang harus dilakukan pelanggannya. Bayangkan kalau saya bertanya kepada mereka seperti ini: "apa yang anda lihat dari masa depan saya?" dan kemudian dijawab oleh mereka: "saya melihattttt: MASA DEPAN!!!!" Ya, saya cukup yakin anda bisa menebak perasaan saya. 

    Sebagai penutup, saya ingin menanggapi 1 komentar yang sempat saya baca terkait artikel pertama saya dan menurut saya cukup penting untuk dibahas secara khusus (sisanya sudah saya masukkan sekalian di tulisan saya di atas), yaitu mengapa saya harus sebegitunya menanggapi artikel Fithra, apalagi Selasar bukan media ilmiah dan tidak menuntut persyaratan akademik yang luar biasa. Sebenarnya jawaban atas pertanyaan tersebut sekilas sudah dibahas di pembukaan artikel saya yang terdahulu, karena yang menulisnya mengaku sebagai Fithra Faisal dan ia membubuhi tulisan itu dengan gelar dan posisi akademiknya. PhD, Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat FEUI. 

    Saya sudah katakan dari awal, kalau yang menulis artikel kemarin saya kategorikan dalam daftar tukang obat atau analis abal-abal, artikel itu pasti sudah saya hiraukan dan saya akan terus menikmati makan siang saya yang nikmat. Masalahnya yang menulis bukan orang sembarangan. Some people actually take his opinion seriously. Saya tidak heran, posisi dan gelar akademiknya cukup mentereng. Tetapi posisi dan gelar akademik yang mentereng bukan berarti anda kemudian bebas berbicara tanpa pertanggungjawaban. Ini dunia akademik, hanya karena anda punya gelar, lantas ketika anda menulis ABC, saya bisa tiba-tiba diminta otomatis percaya bahwa ABC dari anda sudah dibuat dengan benar, hati-hati, dan rasional? Kalau begitu caranya, dunia akademik sudah runtuh dari jaman baheula.

    Apalagi ketika pernyataan itu dibalut dalam bentuk yang seakan-akan "ilmiah" dan ditawarkan sebagai usulan kebijakan publik yang patut diambil oleh Pemerintah. Tunggu dulu, pernahkah terpikir bahwa usulan anda dapat mempengaruhi atau bahkan mengacaukan hidup orang lain? Pernahkah terpikir bahwa ketika anda akan mengacaukan hidup orang lain, anda sudah memikirkan apakah anda memiliki justifikasi yang cukup untuk itu? Saya penganut garis keras teori welfare maximization, for the benefit of the many, sometimes some people must be sacrificed. Itulah dunia nyata, tetapi saya juga tahu bahwa konsekuensinya aturan itu suatu hari juga bisa merugikan saya. Makanya dibutuhkan sistem check and balance, dan harus ada justifikasi, harus ada pemikiran mengenai kompensasi, bahwa ketika orang lain dirugikan, sekurang-kurangnya kerugiannya bisa diminimalisasi, lebih bagus lagi kalau bisa mencapai 
    Pareto Optimum.

    Ini kan konsep sederhana yang seharusnya diketahui oleh semua orang yang pernah kuliah mikroekonomi. Saya kecewa dengan artikel pertama Fithra yang menurut saya tidak dibuat dengan bertanggung jawab, tetapi saya lebih kecewa lagi ketika saya melihat tanggapannya yang kini jelas mengkonfirmasikan dengan tegas tanpa perlu analisis semiotika ala ala bahwa dia memang belum melakukan pekerjaan rumahnya dengan benar. Saya tidak perlu jauh-jauh mengutip tradisi akademik di University of Chicago, saya akan mengingat kembali momen-momen 12 tahun yang lalu ketika saya sedang mengerjakan makalah saya untuk kompetisi Mahasiswa Berprestasi Utama FHUI dan menyampaikan hasil riset saya ke profesor pembimbing saya.

    Waktu itu saya merasa sudah bekerja keras, riset berhari-hari di perpustakaan, dan waktunya tinggal seminggu lagi sementara makalah belum bisa dibuat karena pembimbing saya masih tak setuju dengan ide dasarnya. Saya kemudian berdebat dengan dia, disaksikan pula oleh murid dan profesor lain. Setelah sekian lama saya berhasil menjawab, ada satu pertanyaan yang saya tak mampu menjawab dengan lugas, pembimbing saya itu kemudian menyatakan makalah saya belum siap dan saya harus riset ulang.

    Bayangkan rasa frustrasi saya, saya sudah capek menulis dan riset dan orang ini cuma nanya-nanya saja. Saya bilang, "prof, ini waktunya tinggal seminggu lagi, kapan saya akan bikin paper-nya?" Tanggapan dia dengan suara menggelegar, "Saya ini Guru Besar, tanda tangan saya tidak bisa sembarangan, kalau kamu tidak bisa menyelesaikan makalah kamu, itu masalah kamu atau masalah saya?!!!" Saya kesal dan malu, tapi pernyataan pembimbing saya 100% benar, itu masalah saya bukan masalah dia. Untungnya saya tak menyerah hari itu (dan kemudian hampir tak tidur selama beberapa hari kemudian) dan akhirnya menang di FHUI. Tapi pengalaman saya itu tak akan pernah saya lupakan, your words, unfortunately, are your liability.

    Sarkasme saya khusus dibuat untuk hiburan saya dan pembaca, tetapi saya serius mempertanyakan kualitas artikel yang telah dibuat oleh Fithra. Kalau anda tak mau menyampaikan motif di belakangnya, itu terserah anda, tapi kalau saya jadi anda, saya lebih baik akan membuang jauh-jauh ide meneruskan makalah LGBT itu. Tak penting. Anda bisa jadi suatu hari nanti menang Nobel Ekonomi dan masih ada banyak hal yang bisa diteliti untuk kemajuan ekonomi Indonesia, untuk apa membuang-buang waktu meneliti hal yang efeknya tak jelas dan kemungkinan besar tak seberapa? Kecuali CBA dan prioritas anda memang bukan untuk menjadi ekonom kelas dunia. If that's the case, I rest my case. Good luck.        

    PS: Let me put my professional consultant hat and give you a free advice. Just stay low for a couple of weeks, or even days. Indonesian people often forget easily (no statistical data to support though, it's just a hunch). Feel free to ignore, after all, this is just a free advice. Caveat: this advice is not a legal advice and does not create any attorney-client relationship in whatsoever way, and by reading this caveat, you acknowledge that you fully understand it and agree with its provisions. 

  • 179 comments:


    The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.