THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Legal Theory. Show all posts
Showing posts with label Legal Theory. Show all posts
  • Etika dan Moral di Atas Hukum? Suatu Miskonsepsi



    I am gonna be blunt. This article will probably annoy a lot of people but the problem is, the idea that ethics and morals are above the law also annoy me significantly, and given my current mood and mental state, annoying people that annoy me sounds like a good therapy. So, as requested by @sam_ardi, here is my response to the question: apa relasi etika dan moral dengan hukum khususnya terkait dengan situasi politik terkini di Indonesia?

    Visi saya soal keterpisahan moral dan hukum sudah sering saya bahas di blog ini atau di Twitter, termasuk ketidakpercayaan saya akan adanya nilai moral yang objektif dan bahwa moralitas lebih banyak merefleksikan selera pribadi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu periode tertentu ketimbang nilai yang mutlak benar setiap saat. Kalau ada yang mau serius membaca diskusi panjang lebar mengenai keterpisahan moral dan hukum serta konsekuensinya terkait implementasi/penegakan ketentuan moral dan hukum, bisa baca disertasi saya di sini. Versi super sederhananya ada di sini.

    Selain itu, mengingat diskusi kali ini akan berhubungan erat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), saya juga akan membahas kritik saya terhadap model putusan konstitusional/inkonstitusional bersyarat oleh MK yang sebagian besarnya sudah pernah saya sampaikan dalam makalah saya di Indonesia Law Review di tautan ini

    Berhubung isunya lumayan kompleks, alih-alih mendefinisikan apa itu moral dan hukum (yang sampai sekarang belum ada kesepakatan resmi di antara para ahli hukum), saya akan coba menggunakan pendekatan induktif dengan membahas twit berikut dari Erasmus Napitupulu. Erasmus memberikan contoh kenapa etika dan moral berada di atas hukum dengan memberikan analogi bahwa tidak ada ketentuan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang melarang hubungan seksual dengan nenek kakek kita sendiri, tetapi kenyataannya tidak ada yang melakukan hal tersebut. Sekilas penjelasan ini terlihat sederhana (menurut Erasmus), tetapi ini contoh yang salah.  

    Mengapa salah? Karena Erasmus berasumsi bahwa orang tidak berhubungan seksual dengan kakek/neneknya karena adanya nilai-nilai etika dan moral yang sangat adiluhung sehingga sekalipun tidak ada hukum yang melarang, orang-orang tetap tidak berkenan melakukan perbuatan tersebut. Kenyataannya, ada faktor lain yang bisa menjelaskan fenomena di atas: rasa jijik/disgust yang merepresentasikan selera pribadi dari kebanyakan orang. Apakah ada orang yang bisa jadi ingin berhubungan seksual dengan orang yang jauh lebih tua termasuk dengan kakek-neneknya sendiri? Probabilitasnya tidak nol walaupun jelas saya tidak termasuk dalam kategori tersebut (and please don't search it in the internet).

    Contoh Erasmus yang berikutnya sedikit lebih baik dengan jalan mengutip kasus aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Nazi Jerman untuk mendiskriminasikan kaum Yahudi dan aturan apartheid yang pernah legal di Afrika Selatan dan Amerika Serikat dan betapa aturan-aturan tersebut sangat tidak bermoral. Sekilas contoh-contoh Erasmus menunjukkan kemenangan moral di atas hukum, bahwa sudah sepantasnya ada nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hukum formal, tapi sekali lagi saya sampaikan, contoh tersebut tidak menunjukkan adanya nilai moral universal di dunia ini, melainkan justru menunjukkan betapa rapuhnya ide bahwa moralitas dan etika ada di atas hukum.
     
    Kalau kita runut kembali, kenapa orang bisa membuat aturan yang sangat diskriminatif macam aturan Nazi dan apartheid? Jawabannya akan sama dengan mengapa di masa lampau menikahi anak kecil dianggap suatu hal yang lumrah (dan faktanya sampai sekarang pun praktek ini masih berjalan di berbagai wilayah di planet Bumi termasuk di Indonesia), mengapa perbudakan menjadi institusi yang bisa berjalan santai selama ribuan tahun, dan mengapa sekarang Israel menjadi kaum yang 11-12 dengan Nazi Jerman (they live long enough to become the new villain). Karena di pandangan manusia-manusia ini, apa yang mereka lakukan memang tidak salah menurut moralitas versi mereka! Bagi Nazi Jerman, kaum Yahudi bukan manusia yang setara, bahkan sebenarnya semua bangsa non-Arya juga tidak setara dalam pandangan mereka sehingga pantas didiskriminasi bahkan dihabisi. Begitu pula dengan kasus apartheid, orang kulit hitam tidak dianggap sederajat sehingga layak untuk diperlakukan seenaknya. 

    Tidak mengherankan dulu sempat ada kasus kontroversial macam Dredd Scott di Amerika Serikat yang menegaskan bahwa seorang budak yang belum pernah dibebaskan oleh tuannya tidak memiliki hak untuk otomatis bebas begitu saja karena dia hidup di negara bagian yang menganut asas kebebasan bagi budak (posisi ini juga sebenarnya sama dengan posisi dalam hukum Islam klasik, budak tidak bisa main membebaskan dirinya sendiri tanpa ada kompensasi ke tuannya atau mendapatkan pembebasan resmi dari tuannya dikarenakan budak masuk dalam kategori aset dan bukan manusia seutuhnya, pembahasan panjang lebarnya bisa cek disertasi saya).
     
    Tentu saja kalau kita menggunakan standar moral yang saat ini sedang berjaya, ide bahwa manusia bisa didiskriminasi karena rasnya atau bahwa manusia bisa diperjualbelikan dengan bebas adalah ide yang memancing keributan. Roger Taney, US Supreme Court Chief Justice yang menulis putusan Dredd Scott sendiri pun kini namanya sangat terhina dina dan dianggap melakukan kesalahan terbesar dalam karirnya karena tidak mau mengambil posisi hukum yang mendukung kebebasan budak. Tapi untuk mencapai posisi moralitas yang dominan saat ini, ada harga yang sangat mahal yang harus dibayar. 
     
    Moralitas ala perwira Nazi tidak berubah karena tiba-tiba mereka sadar ada nilai moral indah yang seharusnya mewajibkan mereka untuk tidak melaksanakan hukum yang diskriminatif, bahwa mereka bisa menjadi manusia yang lebih baik. Mereka harus dikalahkan terlebih dahulu dalam Perang Dunia II sebelum Jerman kini secara kolektif menjadi bangsa yang malu akan sejarah Nazi-nya. Amerika Serikat pun harus menempuh Civil War yang sangat brutal dengan kondisi negara hampir bubar gara-gara wilayah Utara dan Selatan tidak bisa mencapai titik temu tentang nilai moral apa yang harus dianut satu negara soal perbudakan. Dalam salah satu tafsir sejarah Amerika, Roger Taney dianggap ingin mencari kompromi melalui putusan Dredd Scott supaya Utara dan Selatan sama-sama happy, atau mungkin lebih tepatnya dalam kasus ini, sama-sama emosi jiwa (because that is how you compromise fundamental differences in practice, all stakeholders should be equally dissatisfied). Sayangnya, karena situasi sudah terlalu panas, kompromi setengah hati itu malah jadi pemicu tambahan untuk perang saudara di Amerika. 
     
    Memenangkan perang pun tidak serta merta tiba-tiba menghilangkan sentimen negatif kepada mereka yang dianggap berbeda. Perlu ratusan tahun untuk mengurangi rasisme di Amerika Serikat (bahkan US Supreme Court saja pernah puluhan tahun menganut doktrin Separate but Equal melalui kasus Plessy v. Ferguson yang secara efektif membungkam implementasi Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika dengan jalan melegitimasi kebijakan segregasi berdasarkan ras). Perbudakan di negara-negara Arab/Afrika sendiri pun juga baru berakhir resmi kebanyakan di abad ke-20 yang artinya memakan waktu tak kurang dari 1.400 tahun sejak Islam pertama kali muncul. Lebih parah lagi, tak sampai seabad setelah Perang Dunia II usai, kita harus menyaksikan mulai menguatnya lagi gerakan fasis dan ekstremis ala Nazi di Eropa. Banyak orang marah yang memilih untuk lagi-lagi menyalurkan kemarahan mereka kepada orang yang berbeda tersebut, dan para manusia pemarah ini percaya bahwa mereka berhak secara moral untuk bersikap demikian. After all, everyone is a hero in their own story.    
     
    Saya berani pasang taruhan besar bahwa seandainya Nazi Jerman yang menang Perang Dunia II atau kaum Selatan yang menang dalam US Civil War, apa yang benar dan salah di dunia ini bisa jadi akan terbalik-balik (imajinasi yang menggambarkan dunia alternatif seandainya Nazi menang bisa dilihat di The Man in The High Castle). Kenyataannya di dunia ini memang nilai-nilai etis dan moral itu tidak jarang ditentukan oleh siapa yang menang dan memiliki kekuatan terbesar. Baru setelah pemenangnya jelas, apa yang awalnya merupakan sekedar selera pribadi bisa diinstitusionalisasikan menjadi hukum.  Nazi baru bisa menerapkan hukum yang super diskriminatif setelah sebelumnya menang pemilu di Jerman, dan demikian pula sebaliknya ketika praktik rasisme/perbudakan akhirnya resmi dihentikan melalui penerbitan hukum resmi setelah perang selesai dan mereka-mereka yang kalah telah sukses disingkirkan (baik dengan jalan dihukum mati atau diasingkan).
     
    Lalu apa yang bisa mencegah supaya institusi hukumnya tidak dibuat semena-mena? Jelas bukan merujuk kepada teori mengenai nilai moral adiluhung yang bisa gampang sekali dipelintir tergantung siapa yang berkuasa, melainkan dikembalikan kepada tiga faktor yang sering saya sebutkan sebagai penentu hubungan antar manusia: kepentingan pribadi (self interest), game theory, dan emosi. Orang berbuat atau tidak berbuat sesuatu pada dasarnya akan bertumpu pada: (i) bagaimana kepentingan pribadinya bisa terpenuhi, (ii) perkiraan dirinya soal bagaimana orang lain akan bereaksi secara rasional atas langkah-langkah yang akan dia ambil (game theory), dan (iii) emosi/perasaan dari dirinya sendiri dan orang lain (suasana kebatinan dari khalayak kebanyakan, apakah kira-kira mereka akan berkenan, marah, atau acuh tak acuh). Interaksi kompleks dari ketiga faktor ini yang menurut saya akan jauh lebih menentukan akan ke mana arah hukum itu dibentuk, diinterpretasikan, dan dilaksanakan, ketimbang mengklaim adanya nilai moral dan etika abstrak yang sifatnya lebih tinggi dari hukum yang kemudian harus dipatuhi oleh setiap pembuat dan penegak hukum (bagi saya, ini contoh delusional tingkat tinggi). Ingat, bahkan diktator yang paling perkasa sekali pun pada dasarnya tidak bisa selalu bertindak sendiri seenaknya, ada kelompok kepentingan yang harus dia jaga, rakyat yang tidak bisa hidup terlalu merana, dan sebagainya.  
     
    Berkaca pada 3 faktor di atas, sebenarnya penggagas ide etika dan moral di atas hukum itu tidak harus terlalu berkecil hati. Sejarah menunjukkan bahwa nilai yang dianut di masyarakat itu bisa saja berubah dan perubahan bisa terjadi dengan berbagai cara. Salah satunya tentu saja melalui perang sebagaimana dibahas di atas, tapi ada juga cara lain, misalnya melalui moral entrepreneurs yang sering disebut oleh Richard Posner. Posner sangat membenci akademisi yang selalu sibuk berteori tentang konsep moralitas yang objektif dan pasti baik bagi kemanusiaan (tentunya menurut versi mereka sendiri) tapi tidak bisa bertindak menjadi moral entrepreneur yang secara aktif berusaha meyakinkan sebanyak-banyaknya manusia untuk berpihak kepada nilai yang ia anggap benar. Apa bedanya moral entrepreneur dengan academic moralist menurut Posner? Perbedaan utamanya adalah di seberapa konkrit nilai moral yang hendak mereka usung, seberapa jauh pengusungnya mau berusaha meyakinkan orang lain untuk menganut nilai moral yang sedang dijual, dan seberapa paham mereka soal insentif manusia. 
     
    Ingat, sebagaimana saya sampaikan di atas, kalau moralitas pada akhirnya adalah soal selera pribadi, supaya nilai moral yang anda usung itu bisa benar-benar membumi dan diterima sebagai kebenaran, anda butuh banyak orang untuk meyakini bahwa nilai tersebut itu memang benar. Dalam hal ini, moral dan hukum bisa dipandang mirip. Dua-duanya adalah konsep fiksi yang mengada karena ada cukup banyak manusia yang percaya bahwa moral dan hukum itu ada (versi lebih panjang bisa dibaca di sini). Nah, kalau cuma sekedar berkoar-koar bahwa moral dan etika itu ada di atas hukum tanpa menyebutkan secara tegas apa isi nilai moralnya, ya saya khawatir ini hanya akan menjadi suatu kesia-siaan apalagi kalau misalnya pihak yang mengklaim soal pentingnya etika dan moral versi mereka itu sendiri juga tidak konsekuen dengan nilai moralnya tersebut (sebagaimana akan saya bahas di bawah ini ketika kita masuk membahas model putusan MK).

    Isu yang kedua terkait dengan akademisi moralis menurut Posner (dan saya sepenuhnya setuju) adalah karena mereka berkeyakinan bahwa kalau orang diajari nilai-nilai etis dan moral yang "baik", maka hal tersebut akan menjadi motivasi yang rasional bagi orang-orang untuk berbuat baik alias orang taat karena paham. Tentu saja ini mengada-ada. Kewajiban moral (moral duties) adalah sama prinsipnya dengan semua kewajiban dan tugas-tugas lainnya di muka bumi ini, butuh usaha untuk melaksanakannya dan setiap usaha bisa membuat lelah orang yang "harus" mengerjakannya. Orang bisa mengetahui adanya nilai-nilai moral tertentu, bisa saja setuju dengan isinya, tapi tetap tidak mau melaksanakan hal tersebut dengan beragam alasan, termasuk sekedar karena dia malas. Ini mengapa dalam ilmu hukum ada debat panjang soal apakah hukum hanya bisa mengada apabila ada sanksi/konsekuensi yang jelas dari ketidakpatuhan terhadap hukum tersebut. Debatnya belum usai di antara para ahli hukum, tetapi ide utamanya sangat fundamental: kalau tidak ada konsekuensi apa pun dari suatu aturan, motivasi untuk taat pada aturan tersebut kemungkinan besar akan minim. Ketika suatu aturan tidak diikuti oleh kebanyakan orang, apakah kemudian aturan itu masih bisa dianggap memiliki kekuatan yang mengikat (baik misalnya sebagai etika, moral, atau hukum) mengingat moral dan hukum hanya bisa ada ketika cukup banyak orang percaya bahwa mereka ada? Peminat yang ingin belajar lebih banyak soal isu moral dan hukum ini bisa baca artikel Posner di sini atau pesan bukunya yang lebih panjang di sini.

    Sekarang kita masuk membahas putusan MK, khususnya putusan MK yang memperbolehkan orang berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden melalui model putusan konstitusional bersyarat karena putusan itu yang saya tangkap menjadi salah satu biang keributan soal etika/moral berkonstitusi di negara ini. Bagi saya pribadi, orang-orang yang saat ini mengklaim suatu putusan sebagai etis atau tidak etis berdasarkan isi dari putusan atau bagaimana cara putusan MK tersebut dibuat adalah orang-orang yang mau enaknya sendiri saja. Karena kalau kita mau konsisten, dan kalau memang benar bahwa etika dan moral itu penting bagi orang-orang ini, seharusnya sedari awal mereka sudah mendeklarasikan bahwa putusan MK dengan model konstitusional atau inkonstitusional bersyarat itu salah kaprah dan tidak sesuai dengan konstitusi (sesuatu yang sudah saya ingatkan dari bertahun-tahun yang lalu). 
     
    Diskusi panjang lebarnya ada di artikel Indonesia Law Review saya di atas, jadi kali ini saya akan berikan versi ringkasnya saja. Intinya, kalau anda berharap MK tidak menjadi pembuat hukum baru di Indonesia, kewenangannya memang mesti dibatasi, yaitu hanya bisa menyatakan bahwa suatu Undang-Undang konstitusional atau tidak konstitusional, tidak perlu ada embel-embel syarat apa pun. Namun dalam prakteknya, MK kemudian merumuskan dan memutuskan sendiri adanya model putusan konstitusional/inkonstitusional bersyarat yang memungkinkan MK untuk mengubah teks dari Undang-Undang baik secara eksplisit maupun implisit.
     
    Anda kemungkinan tidak sadar ketika dulu MK memutus sendiri untuk kepentingan MK bahwa DPR tidak boleh menghalangi MK untuk membuat putusan bersyarat dengan jalan menyatakan bahwa amandemen UU MK yang membatasi putusan MK di tahun 2011 adalah tidak konstitusional. Anda juga mungkin tidak mengetahui kalau putusan MK yang menurut saya tidak etis tersebut (menurut saya pribadi tentunya) bahkan mengutip Marbury v. Madison yang merupakan putusan Supreme Court Amerika Serikat sebagai preseden untuk kebolehan judicial review ala MK di Indonesia walaupun jelas-jelas tidak ada hubungannya antara putusan tersebut dengan sistem hukum Indonesia.
     
    Bisa jadi juga anda tidak memperhatikan catatan kaki dari Prof. Jimly Asshidiqie dalam buku Konsolidasi Naskah UUD 1945 bahwa ketika UUD 1945 tidak mengatur secara jelas batasan kewenangan MK dalam Konstitusi Indonesia dan mendelegasikan ketentuan tersebut dalam Undang-Undang yang jelas-jelas merupakan objek yang diuji oleh MK, maka akan selalu ada kemungkinan bahwa nantinya MK bisa memutus sendiri aturan mengenai dirinya sebagai institusi. Kalau kita konsisten bicara etika dan aturan soal benturan kepentingan, di mana etikanya ketika suatu institusi bisa menentukan sendiri apa yang boleh dan tidak boleh bagi institusi tersebut tanpa bisa diawasi oleh institusi lainnya? Tidak ada mekanisme internal untuk check and balance. DPR butuh waktu 8 tahun untuk mengubah UU MK, sementara MK menafikan perubahan itu hanya dalam 3 bulan dan pertimbangannya pun hanya memuat beberapa baris kalimat yang jauh dari nuansa elaboratif selain menyatakan bahwa sudah seharusnya MK berwenang untuk mengeluarkan berbagai model putusan karena demikian lah apa yang dimaksud dengan menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.

    Kalau ditanya, siapa yang pertama kali menelurkan konsep putusan bersyarat MK? Tak lain dan tak bukan adalah Prof. Jimly Asshidiqie sendiri ketika yang bersangkutan menjabat sebagai ketua MK. Lalu siapa ketua MK ketika MK menyatakan pembatasan bentuk putusannya oleh Undang-Undang adalah inkonstitusional? Prof. Moh. Mahfud MD. Apakah mereka berdua jadi dianggap tidak beretika dan tak bermoral? Kalau pakai teori kaum etis dan moralis, harusnya bisa masuk kategori tersebut, tapi faktanya bicara lain. Dari sudut pandang hukum, apa yang sudah diputus itu sah-sah saja jadinya. Putusan MK menurut UUD 1945 dan UU MK adalah final dan mengikat. Apa yang diputus itu mau tak mau menjadi hukum baru (paling tidak sepanjang institusi negara yang lainnya mau mengakui kekuatan putusan tersebut; hal ini juga saya bahas di makalah saya dan tidak akan saya elaborasi lebih jauh di sini).  

    Dari sudut pandang Public Choice Theory, insentifnya terlalu besar untuk tidak membatasi kewenangan MK karena setiap kelompok kepentingan (interest group), terlepas apa ideologi dan kepentingannya (liberal, konservatif, sentris, atau sekedar mau melihat dunia terbakar) pasti memahami bahwa dengan adanya tambahan model putusan MK di atas, ada mekanisme yang lebih gampang untuk mengubah aturan yang anda tidak sukai tanpa harus berlelah-lelah melewati mekanisme Pemilu dan bertengkar di level legislatif dan eksekutif untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang baru. Ya, anda cukup memastikan setidaknya 5 dari 9 orang Hakim Konstitusi itu setuju dengan usulan anda. Lebih gampang toh? 
     
    Ini mengapa saya juga sudah mewanti-wanti ketika dulu MK hampir memutus kriminalisasi terhadap kaum LGBT dengan jalan mengubah isi teks KUHP. Kita masih cukup beruntung ada 5 Hakim Konstitusi yang tidak setuju dengan ide tersebut sehingga Pasal KUHP tidak tiba-tiba berubah secara ajaib. But we were so close to oblivion! Bayangkan, perbedaan suaranya bisa setipis itu padahal asas Legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali) seharusnya sudah mendarah daging bagi setiap sarjana hukum di Indonesia; bahwa seseorang seharusnya tidak bisa dipidana kecuali sudah diatur tegas dalam Undang-Undang (paling tidak dalam KUHP lama; kalau disuruh membahas asas baru hasil karya anak bangsa dalam KUHP baru yang memperluas tindakan yang bisa dipidana, mental saya tidak kuat, nanti malah makin putus asa dengan perkembangan hukum di negara ini).  
     
    Model putusan MK di Indonesia pada akhirnya jadi mirip-mirip dengan dagelan di Amerika Serikat ketika para ahli hukum mereka sedang membahas isi putusan US Supreme Court: "When the Court agrees with me, they are following the rule of law, and when they disagree with me, they are just politicians in robes!" Ini lah contoh konkrit dari manusia hipokrit dan tidak ada kalimat yang lebih bagus untuk menggambarkan fenomena saat ini selain dari pernyataan Thanos di Avenger's End Game: "You Couldn't Live with Your Own Failure, Where Did that Bring You? Back to Me."
     
    Bagi saya, situasi kita saat ini bukan sekedar momen "I told you so". Aturan permainannya memang sudah jadi demikian semenjak belasan tahun yang lalu. Para ahli hukum di negara ini juga seharusnya memahami keberadaan isu ini dan bahwa adalah lumrah dalam dunia hukum dan politik apabila hasil dari mekanisme seperti ini tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Bagi saya pribadi, tiap kali saya membaca putusan MK, terlepas apa hasil putusannya, selama masih memuat kata-kata konstitusional/inkonstitusional bersyarat, saya selalu menghela napas panjang karena saya tahu bahwa hal tersebut seharusnya dianggap sebagai kesalahan, namun saya tidak memiliki kuasa yang cukup untuk mengubah kegagalan konstitusional tersebut. Sedari awal kita sudah salah desain dan kini kita harus hidup dengan konsekuensinya. 

    Kalau kita tidak mau ada putusan yang "bermasalah" secara moral dan etika, ya jangan dibuka kesempatannya di depan, sebisa mungkin setiap celah harus ditutup, apalagi kalau ternyata dampak negatifnya jauh lebih dahsyat ketimbang dampak positifnya (sesuatu yang sulit diprediksi ketika kita membangun suatu institusi). Isunya, sebagaimana saya sampaikan di atas, ketika masing-masing pihak masih berharap bisa menggunakan MK untuk mendukung kepentingannya sendiri, kasus-kasus kontroversial seperti ini akan selalu berpotensi muncul di masa depan. Saya tahu hasrat menggunakan jalur MK untuk memotong pekerjaan advokasi nilai (apapun nilainya) terlalu menggiurkan bagi kebanyakan orang, bagaikan laron yang tertarik dengan cahaya lampu neon bahkan seandainya dia tahu lampu neon itu berpotensi membakarnya hidup-hidup. 

    Namun demikian, apabila anda tidak berani mengambil langkah yang keras seperti di atas, maka harus dimaklumi kalau kita akan bertemu dengan orang-orang yang tidak peduli dengan pelanggaran etis dan moral. Wong konstitusi yang secara teori hukum memiliki hierarki paling tinggi di suatu jurisdiksi saja bisa dikesampingkan dalam berbagai situasi dan bahkan pengesampingannya bisa dilegitimasi di jurisdiksi yang bersangkutan, apalagi cuma sekedar pelanggaran etika dan moral yang nir-konsekuensi?    
    Ada banyak contoh aturan konstitusi dikesampingkan dan dengan cara masing-masing yang unik. Plessy v. Ferguson misalnya adalah contoh kasus teks konstitusi dikesampingkan dengan cara pembacaan ala US Supreme Court yang mengenalkan doktrin hukum baru Separate but Equal (even though they were pulling it from their ass, but well, they are essentially the law there). Butuh 64 tahun untuk mengubah putusan itu melalui kasus Brown v Board Education (itu pun hanya mencakup segregasi di bidang pendidikan bukan semua bidang), serta kemudian butuh 10 tahun lagi untuk dikeluarkannya Civil Rights Act of 1964 di Amerika. Sekarang konsep rasialisme ini juga sudah berkembang lebih jauh lagi, di era ketika hakim konservatif mendominasi US Supreme Court sekali lagi, giliran Affirmative Action yang kena penggal.  

    Di Indonesia kita punya kasus Bung Karno membubarkan Konstituante Republik Indonesia dan mengembalikan Indonesia ke UUD 1945 via Dekrit Presiden 1959. Suatu bentuk pelanggaran konstitusi yang luar biasa kasar karena sebenarnya dia tidak memiliki wewenang sama sekali untuk melakukan hal tersebut tapi ya akhirnya diterima oleh bangsa dan negara ini sebagai fakta hukum baru sampai-sampai tidak ada lagi yang bertanya mengapa kita menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia atau mengapa kita hanya menggunakan mekanisme amandemen terhadap UUD 1945 tersebut dan bukannya menyusun konstitusi baru sekalian di era reformasi. 

    Selain itu ada pula kasus terbaru di negara El Salvador ketika Presiden Nayib Bukele baru-baru ini memenangkan pemilihan presiden untuk kedua kalinya walaupun dari berita yang saya baca, Konstitusi El Salvador jelas-jelas melarang seorang presiden untuk bisa langsung memegang jabatan 2 kali berturut-turut. Tetapi yang bersangkutan sudah mengganti hakim MK di El Salvador dan mereka menyusun interpretasi baru mengenai pengertian teks Konstitusi El Salvador. Belum lagi fakta bahwa Nayib juga menang dengan lebih dari 80% suara. Mau tidak mau harus diakui bahwa dia punya dukungan legitimasi yang besar untuk mengesampingkan ketentuan konstitusi. Kalau suara rakyat adalah suara Tuhan dan konstitusi dibuat untuk kepentingan rakyat, maka bisa dibilang kita sedang menyaksikan bagaimana pengesampingan teks konstitusi itu kemudian disahkan oleh rakyatnya sendiri.

    Sebagai ahli hukum, saya punya dalil yang kuat untuk menyatakan bahwa 3 contoh di atas adalah bentuk pelanggaran hukum dan harusnya dinyatakan inkonstitusional serta tidak mengikat, tapi percayalah, saya juga bisa menyusun argumen untuk menyatakan sebaliknya, bahwa perubahan di atas adalah sah dan mengikat secara hukum. That's the beauty of law. Poin saya, kalau hukum saja seperti itu, apalagi pelanggaran etika dan moral yang definisinya lebih cair dan penegakkannya lebih-lebih tak ada kekuatannya. Lebih absurd lagi kalau kemudian ada orang-orang yang berkoar-koar bahwa seharusnya hukum itu tunduk pada nilai etika dan moral yang lebih tinggi yang digaungkan sebagai bagian dari universal common sense. Mau dicari di mana nilai etika dan moral itu kalau tidak dituangkan secara tegas? Common sense siapa? Common sense mbahmu? Bagaimana caranya juga kita bisa memastikan orang-orang akan tunduk, atau paling tidak pura-pura sedikit menunjukkan kepedulian pada nilai-nilai etis dan moral ini? If you want to have better chances, you must make these so called ethical and moral rules as part of the law. There is no other way. And even if you have the rules written in stone, there is no guarantee that it will always be effective.  

    Kalau saya boleh simpulkan, isu terbesar dengan Putusan MK soal umur Capres/Cawapres itu bukan isu etika, tapi lebih ke isu: they are doing such a sloppy job with their legal argument! If you love and want to secure power by all means, at least have the decency to do it professionally. These people need to find a better lawyer with better planning and better writing! Kalau sesuatu dilakukan dengan jalan asal-asalan, akan lebih banyak orang yang mempermasalahkan. Tapi ya memang menyusun putusan yang kreatif, elaboratif, argumentatif, dan kalau bisa sedikit humoris itu memang bukan keunggulan lokal di negara ini. Argumen bisa selalu dicari, tapi kita kekurangan orang yang bisa menuliskan argumen itu dengan baik dan meyakinkan.         

    Anyway, I digress. Kalau diteruskan nanti saya akan panjang lebar membahas bagaimana seharusnya format dan isi putusan pengadilan itu ditulis di Indonesia dan isu itu bukan fokus kita hari ini. Saya ingin menutup artikel ini dengan mengingatkan kembali kepada kaum etis/moralis bahwa daripada berdalih dengan menyatakan ada suatu nilai etika dan moral kebaikan di atas hukum, lebih baik langsung sampaikan apa yang sebenarnya anda inginkan dari lubuk hati yang terdalam, bahwa masing-masing dari kita punya nilai moralitas pribadi yang kita yakini dan ketika kita berseberangan dengan pihak tertentu, kita punya kepentingan untuk memastikan agar posisi kita yang pada akhirnya akan jadi lebih dominan. Siapa tahu dengan bersikap jujur seperti itu justru akan lebih sukses mendulang dukungan. 

    Kita harus memahami bahwa nilai moral tidak akan pernah netral, tetapi dalam kontestasi politik, sah-sah saja untuk berpihak pada nilai tertentu, karena memang justru ini momennya! Tentunya juga jangan lupa untuk selalu berusaha sedetail dan sespesifik mungkin dengan nilai etis dan moral yang anda usung. After all, that's how you truly change people's morality view, by convincing as many as possible of them that you're right, and for them to be convinced, at the very least, they ought to know the values that you are selling. Demikian dan selamat mencoba.   
  • Sekali Lagi soal Penolakan Perpu yang Mencabut Undang-Undang (Tanggapan kepada Mahfud MD)


    Minggu lalu, saya sempat mengkritik pendapat Moh. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Konstitusi, mengenai akibat hukum ditolaknya suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") yang sebelumnya mencabut keberlakuan suatu Undang-Undang ("UU"). Ternyata cukup banyak yang melontarkan kritik yang serupa sehingga akhirnya Prof. Mahfud mencoba mengelaborasi pendapatnya tersebut melalui artikel di Koran Sindo.  

    Elaborasi yang ditawarkan oleh Prof. Mahfud menurut saya tidak tepat dan justru semakin menambah kerumitan yang tidak perlu. Pertama-tama, dia berargumen bahwa UU yang dicabut oleh Perpu tidak otomatis berlaku kembali apabila Perpu ditolak oleh DPR, karena Perpu tersebut bukannya tidak sah, melainkan ditolak untuk menjadi UU. Prof. Mahfud juga menambahkan bahwa pandangan UU yang dicabut oleh Perpu akan otomatis berlaku kembali apabila Perpu ditolak ini mungkin hanya akan benar dalam bidang hukum perdata, tetapi kurang tepat apabila diberlakukan untuk hukum tata negara.

    Pertanyaannya adalah, apa perbedaan mendasar antara Perpu yang dianggap tidak sah dengan Perpu yang ditolak oleh DPR? Bukankah artinya sama saja? Apabila Perpu ditolak oleh DPR, maka secara logika hukum, Perpu tersebut menjadi tidak memiliki kekuatan hukum secara keseluruhan, termasuk ketentuan dalam Perpu tersebut yang mencabut UU yang lama. Kita memahami dalam ilmu perundang-undangan bahwa suatu UU hanya bisa dicabut oleh UU atau peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan setara dengan UU (dalam hal ini, Perpu yang syarat penerbitannya terbatas). Apabila UU yang mencabut suatu UU dinyatakan tidak berlaku, mengapa kemudian UU yang sebelumnya dicabut itu menjadi hilang begitu saja?    

    Kemudian teori hukum mana yang menyatakan bahwa konsep pembatalan ini hanya berlaku untuk hukum perdata tetapi tidak untuk hukum tata negara? Saya khawatir bahwa Prof. Mahfud sendiri yang sebenarnya sedang mencampuradukkan konsep hukum perdata dengan hukum tata negara. Apa arti suatu pembatalan atas perjanjian dalam hukum perdata? Apakah perjanjian yang dapat dibatalkan sama artinya dengan batal demi hukum? Menurut saya sama saja dampak hukumnya. Apabila suatu perjanjian "dibatalkan" maka perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, dan para pihak dikembalikan kepada status semula sepanjang memang memungkinkan secara aktual.

    Kemungkinan lainnya adalah perjanjian diakhiri (bukan dibatalkan), dalam hal ini, pengakhiran perjanjian tidak serta merta menyebabkan para pihak dikembalikan ke keadaan semula. Bisa jadi para pihak masih harus menyelesaikan beberapa kewajiban yang masih terhutang sebelum perjanjian diakhiri. Yang pasti, kewajiban para pihak yang baru akan muncul setelah perjanjian diakhiri menjadi tidak ada lagi, jadi sifatnya adalah berlaku ke depan.

    Yang saya tangkap dari Prof. Mahfud, suatu Perpu yang ditolak seakan-akan berarti bahwa Perpu tersebut diakhiri, bukan dibatalkan, sehingga akibatnya hanya akan ke depan saja, dan UU yang dicabut oleh Perpu tetap tidak berlaku sekalipun Perpu yang mencabutnya sudah tidak berlaku lagi. Entah ini memang pendapat serius atau pendapat yang dikeluarkan karena sudah terlanjur menyatakan di Twitter bahwa akan terjadi kekosongan hukum apabila Perpu ditolak.

    Prof. Mahfud juga kurang teliti karena sebenarnya solusi untuk permasalahan ini sudah diatur dengan jelas dalam Pasal 52 Ayat (5), (6), (7) dan (8) dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ("UU 12/2011"). Pasal 52 Ayat (5) UU 12/2011 menyatakan apabila Perpu tidak disetujui oleh DPR dalam rapat paripurna, maka Perpu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya Pasal 52 Ayat (6) dan (8) UU 12/2011 menyatakan bahwa karena Perpu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, maka diperlukan RUU pencabutan terhadap Perpu yang selanjutnya akan disahkan dalam rapat paripurna yang sama (saya berasumsi ini karena penyusun UU mencoba taat asas dengan teori bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya bisa dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang setara levelnya).

    Terakhir berdasarkan Pasal 52 Ayat (7) UU 12/2011, RUU di atas akan mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perpu yang dimaksud. Artinya, tidak mungkin akan ada kekosongan hukum sebagaimana dilansir oleh Prof. Mahfud. Apabila ada keragu-raguan, maka UU yang mencabut Perpu dapat mengatur bagaimana nantinya akibat hukum dari dicabutnya Perpu tersebut dan sah-sah saja tentunya apabila kemudian UU ini menyatakan bahwa UU yang sebelumnya dicabut oleh Perpu akan berlaku kembali. Teori hukum mana yang menyatakan hal ini tidak dimungkinkan? 

    Bahkan seandainya pun ternyata DPR diam saja dan UU yang mencabut Perpu tersebut hanya menyatakan bahwa Perpu tidak lagi berlaku secara hukum, maka tidak akan ada kekosongan hukum karena dengan dicabutnya Perpu, dasar hukum pencabutan dari UU oleh Perpu tersebut juga menjadi tidak ada (ingat, Perpu dinyatakan tidak berlaku, dan tidak berlaku artinya tidak memiliki kekuatan hukum), dan dengan demikian, UU yang dicabut oleh Perpu akan berlaku kembali secara otomatis. Hal ini tidak membutuhkan putusan pengadilan. Pendapat Prof. Mahfud bahwa kasus uji materil atas UU Ketenagalistrikan tidak dapat digunakan untuk menjawab permasalahan penolakan Perpu ini juga menurut saya tidak ada dasarnya. Secara analogis, isunya sangat mirip dan prinsip hukumnya sama.

    Kalau kita mau serius, sebenarnya ada isu yang seharusnya jauh lebih genting bagi para ahli hukum tata negara kita yang sangat cemerlang dan cendekia, yaitu mengenai penafsiran atas Pasal 71 Ayat (3) dari UU 12/2011. Pasal ini mengatur bahwa RUU yang mencabut keberlakuan Perpu harus disetujui secara bersamaan dalam rapat paripurna DPR yang menyatakan bahwa Perpu tidak disetujui oleh DPR. Isunya adalah, kalimat dalam Pasal tersebut tidak menjelaskan apakah RUU tersebut hanya perlu disetujui oleh anggota DPR atau harus disetujui secara bersama oleh DPR dan Presiden (karena Presiden seharusnya juga hadir dalam rapat tersebut dan juga berhak mengajukan RUU pencabutan Perpu).

    Untuk pembahasan UU biasa, rapat paripurna pada prinsipnya dihadiri oleh wakil Pemerintah dan DPR dan UU tersebut perlu disetujui bersama oleh mereka. Pasal 71 Ayat (2) menyatakan bahwa pembahasan RUU yang mencabut Perpu dilakukan secara berbeda dengan proses RUU biasa, tetapi sebagaimana saya sampaikan di atas, tidak jelas persetujuan siapa yang dibutuhkan.

    Secara teoretis, dari sudut pandang mekanisme check and balance, seharusnya persetujuan Presiden tidak dibutuhkan bagi RUU yang akan mencabut Perpu. Mengapa demikian? Karena apabila persetujuan Presiden dibutuhkan maka Presiden akan memiliki kekuatan tak terbatas untuk menciptakan peraturan setingkat UU semaunya sendiri. Presiden akan memiliki kewenangan untuk menyusun Perpu setiap saat dan apabila DPR tidak menyetujui hal tersebut, maka Presiden hanya tinggal menolak RUU atas pencabutan Perpu sehingga Perpu akan terus berlaku (mengingat UU 12/2011 mensyaratkan bahwa Perpu hanya bisa dicabut oleh UU).

    Mungkin akan ada yang berargumen bahwa persetujuan Presiden tetap dibutuhkan atas RUU yang mencabut Perpu karena dengan demikian, DPR bisa menentukan sendiri isi dari RUU yang akan mencabut Perpu dan nanti justru DPR yang akan dapat bertindak seenaknya. Pendapat ini menurut saya berlebihan. DPR mengambil keputusan secara kolektif dan melibatkan banyak pihak. Hal itu saja sebenarnya sudah menciptakan semacam mekanisme check and balance secara internal dalam tubuh DPR sehingga seharusnya tidak mudah bagi DPR untuk bisa bertindak semaunya (saya tidak percaya suatu koalisi multi partai dapat berjalan dengan solid secara terus menerus). Bandingkan dengan Presiden, satu orang yang memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan laju pemerintahan (bahwa kalau kemudian Presidennya sendiri memutuskan untuk tidak mengambil sikap dalam banyak hal, itu bukan salah sistemnya, itu salah Presidennya sendiri).

    Selain itu, karena Perpu awalnya disusun dan disahkan oleh Presiden sendiri, tentunya tidak masuk akal apabila kemudian Presiden juga berhak menelaah isi aturan yang mencabut Perpu yang dibuatnya. Apabila keputusan penolakan serta penyusunan isi RUU pencabutan Perpu ditentukan sepenuhnya oleh DPR, maka Presiden akan memiliki tambahan insentif untuk lebih berhati-hati dalam menerbitkan Perpu sehingga tidak membuka kesempatan kepada DPR untuk memasukkan RUU yang mereka rancang dan setujui sendiri sebagai pengganti dari Perpu yang dimaksud.

    Ini isu yang menurut saya lebih riil dan krusial bagi sistem pemerintahan kita daripada isu soal kemungkinan terjadinya kekosongan hukum yang mustahil, saya ulangi sekali lagi, mustahil terjadi apabila Perpu yang mencabut UU ditolak oleh DPR. Sebagai ahli hukum, kita harus jujur. Kita menjual kemampuan kita, bukan menjual keyakinan kita (selling our skills, not our faith). Kita bisa menggunakan peluang dan celah yang ada, tetapi semua itu ada batasnya, karena ini hukum, bukan sulap atau sihir.

  • Akibat Hukum dari Ditolaknya Perpu yang Mencabut Undang-Undang


    Jangan tertipu dengan judul artikel ini yang terlihat rumit. Isunya sebenarnya sangat sederhana. Apabila suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ("Perpu") yang mencabut keberlakuan suatu Undang-Undang ("UU") ternyata ditolak oleh DPR, maka otomatis Perpu itu menjadi batal demi hukum dan UU yang dicabut oleh Perpu akan kembali berlaku. Mengapa demikian? Karena aturan yang mencabutnya lenyap dan dianggap tidak pernah ada, dengan sendirinya UU yang bersangkutan pun juga dianggap tidak pernah dicabut. Ini logika hukum mendasar yang wajib dipahami semua sarjana hukum semester pertama di Indonesia.

    Makanya saya luar biasa terkejut ketika kemarin membaca pendapat dari Mahfud MD di Twitter yang menyatakan bahwa dalam kasus UU Pilkada, apabila Perpu Pencabutan UU Pilkada ditolak oleh DPR, maka akan terjadi kekosongan hukum karena Perpu dan UU Pilkada sama-sama tidak berlaku lagi. Lebih lucu lagi, Mahfud MD menyatakan bahwa para ahli hukum tata negara juga belum dapat memberikan solusi atas isu kekosongan hukum tersebut dan bahwa ini merupakan kasus pertama di Indonesia. Berlebihan kalau pertanyaan semudah ini tidak bisa dijawab oleh para ahli hukum tata negara. Kalau mereka tidak mampu menjawabnya, seharusnya mereka bahkan tidak lulus jadi sarjana hukum.

    Yang lebih ironis lagi, Mahkamah Konstitusi ("MK") sendiri sebenarnya sudah pernah menjawab isu hukum sederhana di atas dengan tegas melalui Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 tanggal 1 Desember 2004 tentang Uji Materil terhadap UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan ("UU No. 20/2002"). Putusan tersebut membatalkan secara keseluruhan isi dari UU No. 20/2002 karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi.

    Apakah kemudian tiba-tiba terjadi kekosongan hukum di bidang ketenagalistrikan karena UU No. 20/2002 dicabut? Sama sekali tidak. Dalam pertimbangan hukumnya (lihat halaman 350 dari putusan), MK menyatakan: "guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."

    Dengan membaca pertimbangan putusan di atas, permasalahan hukum ini menjadi sejelas matahari terik di siang hari tak berawan. Jangan membuat orang awam bingung. Kekosongan hukum hanya mungkin timbul apabila peraturan perundang-undangan yang dicabut ternyata mengandung suatu norma hukum yang sebelumnya belum pernah diatur. Lebih jauh lagi, kekosongan hukum juga tidak selalu berarti buruk, tidak semua hal di dunia ini perlu diatur oleh hukum! Artikel dari Tim Harford ini bisa menjadi contoh bagus mengapa tidak semua hal perlu diatur oleh hukum.

    Yang pasti, Perpu yang dikeluarkan oleh SBY bukan langkah yang akan menghentikan keberlakuan UU Pilkada secara efektif. DPR cukup menyatakan tidak setuju terhadap Perpu tersebut dan UU Pilkada akan kembali berlaku secara otomatis (tidak perlu DPR dan Pemerintah kemudian sibuk menyusun UU Pilkada baru).

    Secara terpisah, saya juga mengkritik keras dikeluarkannya Perpu Pilkada. Ini contoh yang sangat buruk bagi hukum tata negara kita, khususnya karena besar kemungkinan penerbitan Perpu Pilkada tidak memenuhi persyaratan utama dari penerbitan suatu Perpu, yaitu kegentingan yang memaksa (apanya yang genting dan memaksa saat ini?). Selain itu, sudah ada mekanisme hukum lainnya yang bisa digunakan untuk melawan UU Pilkada bagi mereka yang tidak setuju dengan isinya, yaitu melakukan uji formil dan materil ke MK. Kalau memang niatnya benar dari awal, kenapa tidak fokus saja menjalani aturan yang sudah cukup jelas ini?
  • Once Again, In Defense of Legal Positivism


    This article is a continuation of my previous article: In Defense of Legal Positivism - A Reply to Iman Nasima. Since Imam has kindly responded to my article here, I think it should be appropriate to press the discussion one step further (though I have to apologize for the huge delay in responding to his second article).

    Legal Positivism is Not a Method of Legal Interpretation

    The first question that I asked in my previous article is: how critics to Legal Positivism perceive Legal Positivism? Is it a legal theory or method of interpretation? For me, the answer is obvious. Legal Positivism does not deal with method of legal interpretation, it is a theory of law.

    Why does this distinction matter? Because from my readings of various people who criticizes Legal Positivism, I get a tendency that they equate Legal Positivism with strict Textualism or Legal Formalism, i.e. that under Legal Positivism, judges tend to interpret the laws solely based on the texts of the formal laws issued by the state, and that these judges do not consider other basic principles such as justice and morality when they can found a governing law in resolving legal matters.

    Of course this is completely wrong and shows a lack of understanding of what is Legal Positivism. You cannot make a good critic if you don't understand the concept that you criticize. It will simply be a waste of time for everyone.      

    Whose Authority?

    This is indeed a really difficult question. In practice, questioning the normativity of law will not be completed without asking who is the authority that must be honored in the first place. This is in line with the support given by Legal Positivism to the Source Thesis, i.e. that the existence of law can be solely derived from its sources and not its contents.

    Under the Source Thesis, people can recognize the existence of the law by paying attention to the sources of that law, i.e. the authority who issues the law. HLA Hart tried to explain this thesis through Rules of Recognition, i.e. secondary rules in a legal system that give guideline on when certain rules can be treated as laws.

    When certain rules meet the criteria of the Rules of Recognition, those rules will be deemed as laws with all of their authoritative/normative power upon their subjects. The problem is, who stipulates the rules of recognition and why we should follow those rules of recognition in the first place?

    At this stage, Legal Positivism as a descriptive theory of law would be unable to answer that question. Why? Because it is a question of fact. Imam correctly shows that there are various competing theories on dealing with the concept of authority and how authorities derive their power.

    To give more context on the above discussion, I recently read Justice Scalia and Bryan Garner's  treatise on Legal Interpretation where they said that British and US judges differ in terms of authority. In England, the judges can hold the same position with legislators, so they can make the law and interpret the provisions at the same time. While in the United States, the power to make laws lies with the legislators while judges are required to enforce the laws.

    The basis for this separation of power in US (at least according to Scalia and Garner) is to maintain the basic principles of democracy, i.e. that laws should be promulgated by representatives of the people that will be held accountable to their voters, and not by judges who are not appointed through democratic process.

    It's an interesting theory of how judges and legislators should behave in a legal system, but I'm not sure that we can consider this as a pure legal theory. It's more of a political theory. There is no legal basis on why judges should behave like what Scalia said nor a rule of recognition for that given the fact that judges in the United States are still debating on their roles in the legal system.

    The same thing is also applicable for  Indonesian case. Suppose that judges political power is weak here, would that be a concern of Legal Positivism? I would say no and that would be enough for the purpose of defending Legal Positivism. From the very beginning, what I want to show through my previous article is that the critics misunderstand the issue. If the judicial branch is weak in Indonesia, it does not have any correlation with Legal Positivism as a theory of law. 

    How Social Facts Are Determined?

    In dealing with Imam's second question, I find it interesting that he made a correlation between public acceptance of judges decision with the normative power of such decision. Should the judges decision be accepted by the majority of the public in order to be eligible to be considered as a valid law?

    As interesting as it may be, it is actually not a question that can be answered by Legal Positivism as a descriptive theory of law. It is again, a question of fact. Legal Positivism only says that law is a social fact, that its existence relies on the acceptance of the majority, including the people and legal authorities.

    However, Legal Positivism is silent on the actual practices of social acceptance because they can have many different forms. Theoretically speaking, we can have a legal system where court's decisions will be automatically considered as an authoritative source regardless of public acceptance of the content, and it is also possible to have a legal system where in order to obtain validity, a court's decision should be accepted first by the majority of the people. Can we use Legal Positivism to endorse the first system against the second one and vice versa? I don't think so.

    In fact, we already have a very good example when we discuss the power of judicial precedents. It is common to aspiring Indonesian law students that in Indonesia (and other civil law countries), unlike in the common law countries, the principle of stare decisis, i.e. that a court's decision will be considered as a binding precedent to be followed by future court decisions, is not applicable. Thus, in Indonesia, future judges are free to disregard previous decisions and make their own decisions for a similar case.

    Will Legal Positivism say that common law stare decisis system is better than civil law system? No. Can Legal Positivism explain why Indonesia and civil law countries choose to abandon stare decisis system? No.

    But I am confident that Legal Positivism can explain to us that stare decisis is not applicable in Indonesia because most, if not all, of Indonesian legal authorities reject the concept. In other words, under Indonesian rules of recognition, court decisions do not have binding precedent power toward future court decisions (at least as of the date of this article). Can this rule of recognition change in the future? Might be, who knows? 

    Can Law and Economics Succeed in Indonesia?
     
    Imam claimed in his article that Law and Economics method will fail as long as the judicial power is not strong enough to uphold any form of legal certainty. I do not think so. After all, judicial branch is just a part of the overall legal system and Law and Economics can become a mainstream legal thought through many windows, including the academic world and other branches of government.

    When Imam mentioned the names of Posner, Dworkin, Barak, etc, I do not think that he discussed their debates in legal theory but more on legal interpretation method. This is not relevant to Legal Positivism. How the judges should interpret the laws is not a question for Legal Positivism (the same mistake made by Dworkin when he criticized Legal Positivism).

    As a descriptive legal theory, Legal Positivism would be more interested on what are the actual methods of interpretation that are acceptable in a legal system. What does this mean? In a situation where there is no clear ground rules for legal interpretation, every system of legal thought can fight for domination.

    As I said in my previous article, Law and Economics was not a mainstream thought in the United States prior to the 1970s era. It was thanks to Richard Posner and many other academics and political patrons that Law and Economics could finally gain a dominant position in the US legal thought. We see more judges using economic analysis in resolving cases.

    How about in the executive branch? It was Cass Sunstein who brought cost and benefit analysis to the next level in the US government regulatory making process through his office, OIRA. Is this because of Legal Positivim? Of course not, it's a political and academic fight. The same thing can also happen in the legislative branch through political process.

    This is what I want to reiterate to the misleading critics of Legal Positivism. If you want to ensure that your personal legal thought (whatever that is) can dominate Indonesian legal thought, it is a waste of time to criticize Legal Positivism because it is not Legal Positivism's mistake in the first place. In short, try other persuasive methods and good luck with that.

  • In Defense of Legal Positivism - A Reply to Imam Nasima


    As the title says, this article is a reply to a very interesting post from Imam Nasima on Legal Positivism Trend in Indonesian Legal System. As interesting as it may be, personally, the article raised a fundamental question, i.e. did Imam and the people he mentioned in his article discuss Legal Positivism as a legal theory or as a method of legal interpretation? If they talked about the second, I'm afraid that there is a misunderstanding here and my gut feeling says that this is a mistake similarly made by the majority of Indonesian legal scholars who deal with progressive legal theory.

    Legal Positivism as explained by HLA Hart does not specifically deal with method of legal interpretation. After all, it is a theory about the law, on why law exists and has authority upon the people. In Hart's view, a rule existing in the society shall be treated as a law when the majority of the people in such society accept the authority of such rule from an internal point of view and the legal officers in such society treat such law as an authoritative source in rendering their decision.

    Hans Kelsen, the father of Legal Positivism in the Civil Law tradition, also holds a similar position, albeit in a more normative way, i.e. that the validity of the laws is based on power conferring norms existing in a hierarchical system until we reach the basic norm where we presuppose the authority of such basic norm. Upon reaching the basic norm, Kelsen believes that the acceptance of the community of such basic norm is basically a social fact, something that cannot be explained by legal theory anymore.        

    Thus, in short, under Legal Positivism, law is a social fact, and to certain extent, it might be just a matter of head count. If most people believe and treat a rule as a law, such rule will eventually be considered as a valid law (of course this is a super simplified version of the theory). This however, brings us to the next question i.e., what's the relationship between Legal Positivism and legal interpretation?

    A book titled: "Between Authority and Interpretation" written by Joseph Raz, one of Hart's best students, can give a good hint that a theory on legal authority does not automatically deals with theory on legal interpretation. In fact, to the best of my knowledge, I do not think that legal positivism endorses certain kind of legal interpretation method over another method.

    This is the crucial point when we deal with Imam's post. From my reading, the critics to Legal Positivism made by the people in his post seem to be confused because they mix up Legal Positivism with rigid textualism. The idea that judges and lawyers should see beyond the text of the law is not an idea rejected by Legal Positivism.

    Hart, which was also a master of the linguistic philosophy, acknowledges that there is a limitation for languages in delivering meaning, namely, there is a penumbra, a condition where confident speaker of the language will have different interpretation of a term. In other words, languages might not be able to convey the full intention of the speaker. And in such case, interpretation would be necessary.

    Granted, in Hart's view, legal cases should be divided into two types, the easy cases and the hard cases whereas in easy cases, legal interpretation should be minimum since the judges will only need to apply the relevant law to the particular facts while in hard cases, judges will have more discretion. But even in easy cases, Hart believes that there are instances where judges do not have to apply the rules due to reasons such as justice and morality.

    Regarding the above division of easy and hard cases, rather than making a normative argument, I think that Hart is making a practical argument, namely, the division is made based on his assessment of judges practices in the real world.

    Most modern legal positivists believe that there is no prima facie moral obligation to obey the law, i.e. that the law does not have the highest power to exchange any moral reasoning that can be used by someone as a reason for action. The authority of the law simply lies in the fact that most of us accept such law as an authoritative source but it does not necessarily mean that we have a primary moral duty to obey the law and disregard any other moral reasoning.     

    This is consistent, I believe, with Hart's theory that law is a social fact. It is the fact in the real world that will determine how the law will be accepted, implemented and interpreted. Hart's theory of Legal Positivism therefore cannot be expected to endorse certain moral values or method of legal interpretation.           

    So what is the real problem here? If legal positivism can accept interpretation of legal texts, why are we still seeing people blaming Legal Positivism for the lack of progressive movements in Indonesia legal community?

    Two possible explanations can be given here. First, the majority of Indonesian judges might actually believe that the law should be interpreted rigidly. Second, rigid interpretation is only being used to justify judges prior belief on certain moral and social issues. For both cases, further research should be done to know what the judges really think. In the United States, such type of research is common because their legal scholars really want to understand how judges will decide cases and what factors will be considered by them. I don't know though about Indonesia or whether our researchers will walk on the same path.

    In any case, given the above explanations, I do not think that Legal Positivism can be blamed for the rigidity of the judges (assuming that is correct). Again, we return to the concept of law as a social fact. Legal Positivism will just say that descriptively, the majority of Indonesian judges adhere to strict textualism. Therefore, we can say that in Indonesia, the use of strict textualism will be considered as an authoritative way of reading the law. That's it. As simple as that.

    Whether having strict textualist judges is good or not is a completely different question and I don't think that Legal Positivism would have the answer because it is not in the scope of a descriptive/positive theory to say about something normative such as, whether we ought to have judges who are not strict textualists and who will consider other norms and values in rendering their decision.

    For me, the fact that Indonesian judges are strict textualists (again, if the assumption is correct since we need more data) does not have any correlation with Legal Positivism. I mean, I am a supporter of Law and Economics movement, who believe that legal rules should be interpreted in a way that maximize efficiency and the welfare of the society, and at the same time, I am also a Legal Positivist. 

    Can that actually happen? Being a Legal Positivist and at the same time becoming a supporter of Law and Economics? Why not? The problem is, Law and Economics is not yet a mainstream thought in Indonesian legal community and therefore, I would safely assume that most Indonesian judges would not taking it seriously, or even consider it as a part of valid consideration in deciding cases.

    But should I blame Legal Positivism for such problem? Of course not. The only reason why strict textualism can become an authoritative method of interpretation is because most of the judges adhere to such method, not because Legal Positivism imposes a normative criteria that good judges should only use strict textualism in order to become authoritative. 

    If say, I would be able to convince most Indonesian judges in the future that Law and Economics is the best method of legal interpretation and most of them accept such theory and apply it in their cases, would not it be that from Legal Positivism point of view, Law and Economics becomes an authoritative method of legal interpretation that should be followed by the judges? This shows that any method of legal interpretation can live side by side with Legal Positivism.

    I think that blaming Legal Positivism for Indonesian judges behavior is misleading. At the highest level, we are dealing with social facts, not normative issues. Prior to 1970s, Law and Economics was not a mainstream thought in the United States, but after the work of many people including scholars, law schools, and NGOs, it became a mainstream thought and currently holds a strong position in antitrust and corporate law cases (though weaker in the field of contracts and torts). The same thing might happen with the legal progressive movements in Indonesia. The question is, do they have a strong basis to convince our judges and lawyers to convert their belief or they simply don't have what it takes to survive in the field of legal theory? Time will tell.  
  • Quantifying the Law? Why Not?


    I attended a national conference on the rule of law last week. At the conference, I presented my paper on the application of public choice theory into legislation system in Indonesia.

    (Those interested to learn more about the subject can go to my website and search for the 'public choice' tags by clicking here)

    It was a nice experience and a good chance to see how Indonesian legal scholars perceive the law and its normative values. Having a quick reading on various papers, it seemed that abstract normative analysis still conquers the Indonesian legal scholarship, at least from the conference attendees. In this context, abstract means vague principles or values that are difficult, if not impossible, to quantify.

    For instance: the idea that law should promote the interests and happiness of the people, that law should promote justice and national interest etc. There is nothing wrong with promoting such ideas in terms of freedom of expression, but the problem is that abstract values usually stay vague in practice.

    In one discussion, a participant raised a question that is addressed to me: "Should we quantify the law?"

    I replied, "To some extent, of course, we should."

    If we want to speak about normative legal issues, about what should be done through the law for the betterment of the society, quantifying the law is absolutely necessary. This is, after all, the essence of all of my law and economics discussion in this blog.

    Normative law and economics uses terms like efficiency, costs and benefits analysis, and welfare maximization as tools to analyze quantitatively whether a law can really make a society better off after the enactment of such law, and whether a law will improve the welfare of the society or only imposing another unnecessary burden.

    We all know that the law should be made by the people, of the people and for the people. Not the other way around. But how can we really know that a law is made for the sake of the people if we do not have any standard for measuring a successful law?

    Therefore, how can we say that a law is good or bad if we are simply relying on abstract standards? Even worse, have any of you realize that politicians love those abstract standards because they can abuse them as a way of gaining votes or distracting public attention?

    Anti-corruption law is a good example. Politicians play with people's moral values when they toss the idea of whether death penalty should be abolished for corruptors. The debates range from the protection of human rights, the moral cruelty of corruption, to deterrence effect of the death penalty (on the basis that death penalty is the ultimate punishment).

    The notion of law and economics would criticize the above abstract discussion because frankly there is no way that we can resolve a conflict between those basic principles until the end of time. Some people still think from morality point of view that death penalty against human rights, while others think that it is fine if it is used to punish such a morally reprehensible act.

    Instead, law and economics will ask the following questions:

    1. Are there sufficient data supporting the claim that death penalty really reduces the rate of crime?

    2. Is death penalty an efficient sanction for corruption? Or should we instead focus on something else, such as taking away the corruptors assets and preventing them to take any other official positions?

    3. What would be the cost and benefits of having death penalty from procedural perspective? Is our criminal justice system ready to implement the higher standards of imposing death penalty?)

    By proposing the above questions, we are, in a sense, quantifying the issues that need to be tackled in order to formulating a good law. We think how the current procedural problems in administering death penalty will affect the people, the innocent and the villains (the costs that will be imposed to them); the impact of solving such problem to our state budget; the incentives that we will create for current and future corruptors, etc.

    Of course, quantifying the law might not be a perfect standard, but it would be better to have some concrete measures of success than none at all. And the above is just a really simple explanation. The same way of thinking can be used for analyzing any area of law, from criminal law to family law, and will be effective in analyzing controversial laws such as laws dealing with people's clothes.    

    Quick question, have we ever heard any of our politicians ask similar questions with the questions presented by law and economics? Most likely no.

    Why bother asking the public to think critically about very important issues if nice rhetoric is enough to make the public confused or to vote for the most dramatic act of politicians?
  • Birthday of The Capitalist Lawyer - 2nd Edition: Some Reflections on Legal Thoughts


    Today is my 28th birthday and I guess it would be nice to start a-once-in-a-year reflection in my blog (started it in 2009, but completely forgot to follow up in 2010, typical). I will not make any reflection about my life (nothing to reflect, it's a damn good life anyway), so for this year, I'll reflect the development of my own legal thoughts.

    I started my formal legal education in 2001 without knowing a thing about the law, I didn't know whether I will be interested with it or what I will do after I graduated. My primary reasons at that time? Just following my intuition plus chasing my dream of being admitted at the University of Indonesia (my second choice was UI's Political Science, don't ask me why I picked that, cause I can't answer that even until today). So yes, it's more about getting into UI rather than picking a subject that I really like. Fortunately, I was lucky. By the second semester I knew for sure that I love this subject!

    At first, my primary choice of specialization was constitutional law. 2001 was the time where many constitutional law professors secured high positions within Indonesian government. It was a transition era in the Republic and constitutional scholars were needed to guide the process. However, a fated encounter with a really weird lecturer caused me to change my mind entirely. It was so bad that I said to myself, "all the good professors are in the government now and we're stuck with these buffoons. Like hell I will take constitutional laws." So I decided to specialize in other fields: procedural and business laws. Again, I am a lucky guy. Turns out it's a correct decision, as now I work as a corporate lawyer, a profession that I literally enjoy not only professionally, but also academically.

    But those things only affect my professional skills. What really affects and shapes my legal thoughts is a whole different subject of law that I accidentally learned during my law school days, i.e. Islamic legal theory. It started with a challenge from my best friend, saying that I will never master Islamic law, because I can't differentiate the type of waters that you could use to purify yourself (wudhu). Of course, knowing how predictable I am, I took that challenge and soon I regularly went to UI's mosque's library. Although I planned to start with the library's classical Islamic law books collection, I ended up with Islamic legal theories first. And I was impressed, by the 9th century, Islamic legal scholars have already developed a concise legal theory that will put common law and civil law scholars at that time to shame.

    Granted, the current development of Islamic legal theory is pretty much gloomy (no new development), but I learned something from my personal study, the existence of a theory called Istislah or Maslahah Mursalah, which basically states that legal scholars, in the absence of clear legal rules, should take the welfare maximization of the society as a prime concern in deciding cases. The concept is simple, but the insight is very deep. Such insight helped me to think for the first time about what constitutes a good law.

    During my early years, I got an impression that my faculty only taught its students to become technical masters of law. We know the laws, we can easily apply them into concrete cases, and we are proud with that. The famous motto in my faculty, "If you're a law student, always talk with a legal basis." It's nice, but something is missing here. Being a technical master means that you are only acting as a spokesman of the law. You don't care whether it's good or not, heck, that's not even important. This is what I call as an abuse to Hans Kelsen's Pure Theory of Law (See my discussion on Kelsen at here, here, and here).

    So for me, this is non sense. This kind of education reduces the profession of lawyers into simple craftsmanship. Lawyers should be able to do more than that, they should be able to work as policy makers, they should analyze the quality of laws and propose a better version if they think that the current ones suck. Istislah theory helped me to see that error earlier and I am thankful for that.

    Now, when we're eventually getting into the question of what constitutes a good law, there are various methods to determine the standards. I started with the believe that a good law should reflect the society's sense of justice, local wisdom. But that belief didn't last long. Why? I come to realize that there is no standard for reflecting the society's sense of justice. In the end, it will always be a matter of preference. Suppose the society deems honor killing as a part of their justice system, would we still agree to enforce it in the name of local wisdom?

    Logically, I move forward to a standard which seems to be universal and applicable in every situation and condition. So I turned out to legal principles established by religious belief, i.e. Islamic law. Yet, it didn't satisfy me. Years of researches show that other than the agreement among Islamic scholars on the mandatory prayer, fasting, zakat and hajj, there is no unity of opinion in Islamic laws. Cultures or 'urf have a great impact on how scholars interpret the laws and there is a never ending debate on what standards that are deemed applicable for eternity and that are subject to changes. As a result, there isn't any production of worthy new ideas within Islamic law, it's just a repetition of the old ideas and debates that ended in the 15th century. Thus, I concluded that similar to the notion of society's sense of justice, Islamic law is not that reliable for providing a clear standard on what constitutes a good law. FYI, the use of Istislah itself is still controversial within Islamic legal scholars, so that could explain why its development has been halted for a very long time.

    Finally, I end up with the law and economics movement. It's ideas of welfare maximization and promotion of efficiency as guidelines for determining a good law really captivate me. First, I see law and economics as the modern interpretation of Istislah theory, its spiritual successor. Second, since it is a combination with economics, it is easier to assess the standards to determine whether they really work or not (empirical research is very encouraged in this field and I think it is very helpful). Furthermore, economics is a science that can be applied to almost every aspect of human life, so applying such science into legal conceptions prove to be an eye opening of things that we have already taken as granted. The notion that incentives matters still amaze me on how we can use different incentives to structure a law that will work efficiently and to explain the behavior of the people in facing the law and legal enforcement. 

    When I choose law and economics as my primary tool for assessing the quality of laws, I don't close the opportunity of using other helpful methods. No tool is perfect, and maybe in the future, we will develop an even better method for analyzing the law. But until that day comes, I'll stick for a while with law and economics.
  • Legal Analysis Tool Kit Series: Understanding Ex Ante Perspective


    A robber goes to a bank, takes a hostage and demands the bank teller to give the money or the hostage will die. The teller looks at the amount the bank holds, US$3,000, a petty amount of cash for a bank as big as this. But he refuses the robber's demand, and quickly rings the alarm. The robber goes panic, shoots the hostage and runs away. A few days later, the heirs of the hostage bring a suit to the court, asking the bank to pay a huge amount of damages due to the negligence of its teller. According to those heirs, considering the amount of the cash, it is not worthy to let the robber killed the hostage, so based on fairness, the heirs have reasonable arguments to claim the bank for damages due to the failure of its employee to make the right decision. Assuming that the there is no exact regulation concerning the claim, what should the court do?

    Although the court might have unlimited options, in reality, all of those options can be simplified into two category, to look backwards or to look forward. Looking backwards or using the Ex Post Perspective means that the court will only review how the event occurred and decide what to do about it or how to clean it up. Using this approach, the above case will be considered as a simple dispute between parties. One will win and one will lose. The court can look at past precedents or try to define what fairness really means based on various methods. In the end, either the bank or the heirs will come as the winner, and the case stops.

    The other option, looking forward or using the Ex Ante Perspective means that the court will consider the effects of its decision upon this case in the future, particularly on parties who might enter into similar situations and have not decided what to do, and whose choices may be influenced by what the law will say upon such case. This means that the court must carefully consider the incentives it may create through its decisions to other parties that might be affected by such decision in the future.

    Now, let us try to analyze the above case using both perspectives. First, let us use the Ex Post Perspective. Since we won't put much attention to the effect of the judgment, all we have to do is trying to analyze the case based on sources which have already existed before the event. We can try to find the answer from regulations and precedents. Or, because we have already made an assumption that the regulation is not clear on this issue, we can turn to the opinion of scholars and famous literature discussing this issue. Further, we can work on the most acceptable definition of fairness and try to implement such definition in this case in order to answer whether the teller's refusal to give the money to the robber is a fair action or not, and if it is not fair, whether the bank should pay damages to the heirs. Quite complicated, I must say.

    What about using the Ex Ante Perspective? Try to think the immediate effect of the court's decision if the court decides that the bank must pay a huge amount of damages to the heirs and suppose such decision becomes a final and binding precedent. This decision will affect other similar cases where robbers are holding hostages for the sake of getting money from banks. Logically, other banks will try to avoid the obligation of paying a huge amount of damages and therefore they would most probably instruct their employees to give the money to the robber especially when the robber has hostages in his hand.

    As a result of this, the probability of bank robberies that involves hostages will most likely increase. Why? Well, the robbers might not even know about the decision, but they can learn from the banks behavior. When they realize that having hostages in their hand increase their robbery success, they would quickly understand that having hostages is beneficial and therefore the use of hostages will increase naturally. Through this perspective, we learn that the effect of consenting the payment of damages to the heirs might be harmful to the society. Yes, from fairness point of view, it might not be fair for the heirs that the bank is not deemed liable for the death of the hostage, but for the sake of greater purpose, the court must make the right decision.

    Of course, other argument can be made in different conditions. An an example, suppose that it can be proofed in the court that the robbery occurred because the bank did not maintain a reasonable security force within the bank's office. Using the Ex Ante Perspective, the court should grant the payment of damages to the heirs on the basis of the bank's negligence to provide sufficient security force. What is the expectation here? The decision might provide an incentive to other banks who have less security force to actually increase such force in order to avoid the obligation of paying the damages. As a result of such increase, logically, the rate of robbery should go down as bank robberies become harder.

    Notice from both cases that although the results are different on who win the case, the intended effect is similar, i.e. preventing more crimes that will harm the public. And yes, the arguments that serve as the foundation of the decision must also be clear since it will definitely affect the incentives that the decision will create to the relevant parties.

    In my view, Ex Ante Perspective is very useful in drafting laws, regulations, and other public policies. We might not always know the actual effect of a law to the society, but, we must always remember that the law will definitely affect the society, even if it is only a little. Only by understanding this fact that legal drafter and judges will be more responsible in "creating" the law.

    For further reading material on this issue, I would suggest you to read The Legal Analyst by Prof. Ward Farnsworth. This is a good book for law students and lawyers who wish to develop their analytical skill to the next level. See you in other Legal Analysis Tool Kit Series.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.