THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Freedom of Speech. Show all posts
Showing posts with label Freedom of Speech. Show all posts
  • Karikatur ISIS dan Kemalasan Dalam Beragama.


    Ketika saya membaca berita ini (yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama berdasarkan Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana gara-gara dimuatnya karikatur ISIS di koran tersebut), saya tahu sudah saatnya saya menulis mengenai isu kemalasan dalam beragama yang nampaknya sudah keterlaluan di Indonesia.

    Kepolisian mengaku sudah memeriksa saksi ahli pidana, ahli agama, dan Dewan Pers sebelum menetapkan Meidyatama sebagai tersangka. Saya serius ingin tahu darimana asalnya ahli-ahli yang dihubungi oleh kepolisian karena ini benar-benar tak masuk akal. Coba kita baca bunyi pasal yang dituduhkan: "dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

    Pasal tersebut pada prinsipnya mirip dengan konsep pasal penghinaan. Dalam beberapa artikel saya sebelumnya di sini dan di sini, saya sudah menyampaikan mengapa kasus penghinaan sebaiknya tidak dibawa ke ranah pidana. Analisis yang sama juga berlaku untuk kasus ini. Pertama, siapa yang dapat mewakili suatu agama untuk menyatakan bahwa seseorang sudah menistakan agamanya? Bagaimana kalau misalnya pendapat umat terpecah belah? Ada yang menyatakan agama tidak dihina dan ada yang menyatakan agamanya telah dihina. Pendapat siapa yang mesti kita ambil? Perlu voting terlebih dahulu atau musyawarah mufakat?  

    Kedua, apa yang dimaksud dengan perbuatan atau pernyataan permusuhan atau penodaan? Ambil contoh konsep agama Islam dan Kristen saja. Agama Kristen jelas tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi dan menganggap Yesus sebagai Tuhan. Sebaliknya Agama Islam juga jelas tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Secara konseptual, kita bisa menyatakan bahwa inti ajaran Kristen sudah menghina doktrin paling fundamental Islam tentang ketunggalan Allah (Islam menyatakan bahwa salah satu dosa terbesar adalah menuhankan apapun selain Allah) dan kenabian Muhammad, dan demikian pula doktrin Islam tentang Yesus juga menolak doktrin utama Kristen. Dengan logika demikian, semua kegiatan dakwah seharusnya dilarang karena kalau tidak, baik umat Muslim maupun Kristen harus masuk penjara karena sudah saling menodai agama masing-masing. Absurd kan?

    Ini mengapa konsep penistaan agama rawan penyalahgunaan. Standarnya tidak akan pernah jelas, dan umumnya dikontrol oleh pihak mayoritas. Lebih parah lagi, karikatur yang diributkan itu sebenarnya menggunakan bendera ISIS yang faktanya memang merupakan organisasi yang biadab. Kalau mau konsisten, yang seharusnya ditangkap oleh polisi adalah orang yang pertama kali membuat bendera ISIS, karena selain mencatut kalimat suci agama Islam, bendera itu juga merusak nama baik umat Islam. Dalam hal ini, orang-orang yang mendukung ISIS dan membawa-bawa bendera ISIS di Indonesia juga seharusnya ditangkap karena sudah menodai Islam di muka umum. 

    Ironisnya, karikatur itu sebenarnya dicomot oleh Jakarta Post dari koran di Timur Tengah. Malahan di Timur Tengah, ISIS seringkali diolok-olok, misalnya bisa dilihat di berita ini. Dan olok-olok itu juga memuat bendera ISIS yang mencomot kalimat suci syahadat. Apakah kemudian orang-orang Timur Tengah ini sudah menistakan agama Islam? Saya pikir jawabannya cukup jelas. Yang disayangkan adalah bahwa orang-orang di sini nampaknya tidak ingin berpikir panjang kalau sudah terkait isu agama.  

    Ingat kasus kartun Nabi Muhammad oleh kartunis Denmark yang sempat heboh di tahun 2005? Kaum muslim gampang sekali marah. Mau bagaimana lagi, Nabi sudah wafat, dan kemungkinan besar tidak akan ada lagi yang bisa menenangkan umat dengan efektif dan efisien selain Nabi sendiri. Padahal kalau orang-orang ini mau sebentar saja memeriksa kumpulan Hadis Bukhari dan Muslim, sudah ada banyak pedoman yang bisa dipelajari dalam menyikapi kasus penghinaan.

    Hadis Bukhari No. 122 dalam Bab 8, Buku 73 mengenai Adab mengisahkan tentang seorang pria dari kaum Anshar yang terang-terangan menuduh Nabi tidak memperhatikan kehendak Allah dalam pembagian rampasan perang (walaupun dia tidak berbicara secara langsung kepada Nabi melainkan kepada salah satu Sahabat Nabi). Ini tuduhan yang sangat serius, lebih serius dari kartun konyol manapun karena sama saja pria itu menuduh Nabi tidak adil. Ketika berita ini disampaikan kepada Nabi, raut muka Nabi sempat terlihat marah, namun beliau kemudian berujar bahwa Nabi Musa pernah disakiti dengan cara yang lebih parah oleh kaum Yahudi, dan Nabi Musa tetap bersabar.

    Dalam Hadis Bukhari No. 184 di Bab dan Buku yang sama, seseorang dari Bani Tamim menuduh Nabi tidak adil di muka umum ketika harta rampasan sedang dibagikan, dan kemudian ia meminta Nabi untuk segera bertindak adil. Umar bin Khatab yang sudah panas langsung meminta izin kepada Nabi untuk memotong leher pria itu. Anda semua tentu tahu kelanjutannya bukan? Nabi melarang Umar melakukan hal tersebut dan hanya memarahi si pria.  

    Terakhir dalam Hadis Muslim No. 5853 dan 5854, seorang Yahudi dan Sahabat Nabi bertengkar dan saling adu mulut, ketika kemudian si Yahudi mengucapkan "demi Tuhan yang sudah menunjuk Musa". Sahabat Nabi tersebut merasa si Yahudi telah menghina Nabi karena masih berani bersumpah dengan merujuk kepada Nabi Musa sementara sudah ada Nabi Muhammad, dan kemudian ia memukul si Yahudi. Si Yahudi melapor kepada Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad pun murka kepada si Sahabat karena berani membanding-bandingkan Nabi Musa dengan Nabi Muhammad. Menurut Nabi Muhammad, tahu darimana nantinya Nabi Muhammad yang lebih baik dari Nabi Musa di hadapan Allah pada saat kiamat?

    3 Hadis di atas saya pikir sudah cukup menjelaskan langkah apa yang perlu diambil terkait penistaan agama. Tidak perlu lebay. Kalau si penghina bermain dengan kata-kata, anda bisa bersabar atau juga membalas dengan kata-kata. Tentu tidak ada yang melarang anda untuk marah atau emosi, tapi kemudian membawa negara ikut serta dalam konflik tersebut? Nampaknya kita hanya akan membuang-buang sumber daya saja. Saya tidak habis pikir bagaimana mungkin begitu banyak orang Muslim yang harus marah-marah dan kemudian merusak nama baik Islam gara-gara kartun yang digambar oleh beberapa orang tak bermakna dari Denmark? Apalah artinya mereka dihadapan kebesaran Nabi? Tapi tidak, hal-hal kecil ini justru dibuat menjadi bola panas, dipolitisasi sampai akhirnya menjadi kasus tenar. Saya sudah bosan melihat orang-orang bodoh dibuat menjadi tenar. 

    Pernah tidak dipikirkan apa dampak sikap yang keras dan seakan haus darah itu terhadap citra Islam? Jelas bukan citra yang baik. Padahal dalam Hadis Bukhari No. 131 Buku 8 Bab 73, Nabi sudah memperingatkan tentang bahaya orang-orang yang membuat umat lari dari agama. Contoh yang dipakai Nabi adalah orang yang memperpanjang bacaan shalat sehingga membuat umat malas shalat berjamaah. Bayangkan, sebegitu pentingnya citra agama sehingga memperpanjang bacaan shalat (yang sebenarnya bukan hal yang buruk juga) dipermasalahkan oleh Nabi. Apalagi kalau kita malah mencitrakan diri kita sebagai umat barbar!

    Pertanyaan terbesar saya adalah mengapa kebodohan dan kemalasan dalam berinvestasi untuk mempelajari agama ini begitu dahsyat? Jujur sajalah, kasus remeh temeh macam karikatur ISIS di Jakarta Post ini tidak akan terjadi kalau kita mau sedikit usaha berpikir dan riset internet melalui google. Apa yang menghalangi orang-orang untuk melakukan hal tersebut?

    Lebih jauh lagi, lihat hal-hal yang paling sering muncul dan dikaji di dunia media sosial. Tak jauh-jauh dari masalah pluralisme, liberalisme, dan toleransi. Kadang-kadang ribut soal moralitas dan perang pemikiran. Kemudian yang sekarang sedang trendi, isu khilafah. Tak lupa sesekali muncul berita-berita hoax seperti misalnya masalah nasab nama istri kepada suami (seakan-akan Indonesia menganut sistem patrilineal seperti di Timur Tengah), atau soal transliterasi kalimat Insya Allah versus Insha Allah, atau juga keburukan arti singkatan Assalamualaikum dalam bahasa Aramaic (yang entah darimana asalnya). Bagi saya, ini semua isu remeh temeh dibandingkan dengan kajian yang sebenarnya lebih penting, khususnya andai kata orang-orang ini bisa memahami tradisi Hukum Islam dan Teori Hukum Islam yang agung.  

    Saya memiliki penjelasan dari sudut ekonomi atas fenomena di atas, tetapi sebelum kita masuk ke sana, saya akan bercerita sedikit dulu tentang bagaimana saya sendiri berinvestasi dalam mempelajari Islam dan hukum Islam. Di kelas 2 SMP, saya pertama kali membaca buku serius saya, Khilafah dan Kerajaan yang dikarang oleh Abu A'la al-Maududi (kalau anda tidak tahu, Al-Maududi adalah seorang tokoh Islam garis keras dari Pakistan yang getol ingin menerapkan syariat Islam di Pakistan).

    Dari membaca buku itu saya kemudian mengetahui sejarah Khilafah yang berdarah-darah, khususnya mulai dari jaman Ustman bin Afffan sampai kemudian khilafah berubah menjadi kerajaan di tangan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sumber Al-Maududi bukan sumber orientalis, dia menggunakan kitab sejarah At-Thabari (kalau anda tidak tahu, At-Thabari adalah mufasir dan sejarawan yang sangat terkenal dari dunia Islam. Kitab tafsirnya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, silakan beli kalau anda mau belajar lebih banyak).

    Dari pengalaman itu, saya menjadi bersemangat untuk tahu lebih banyak soal Islam, Negara Islam, dan Hukum Islam. Di masa SMA, saya kemudian tertarik dengan tasawuf dan sempat bereksperimen dengan sufisme sampai tahun pertama kuliah. Buku-buku seperti Minhajul Abidin dari Al-Ghazali, Al-Hikam dari Ibn Athoillah, sampai buku-buku karangan Ibnu Qayyim al Jauziyah dan Ibnu Taimiyah yang terkait ibadah sudah saya lahap semua. Buku-buku pemikiran pergerakan Islam karangan Yusuf Qardhawi juga banyak yang sudah saya sempat baca ditambah semua buku serial Filsafat Islam terbitan Mizan.

    Oh ya, SMP dan SMA saya adalah sekolah Katolik. Dan selama sekolah itu, saya orang yang pertama kali mendapatkan nilai 10 untuk ujian hafalan ayat Alkitab ditambah ujian menjelaskan 3 konsep suara hati nurani dalam tradisi katolik. Di masa itu, buku-buku karangan Ahmad Deedat tentang Kristologi juga habis saya lahap semua. Tak lupa pula saya yang mengembangkan konsep dialog antar agama untuk keperluam tugas akhir mata pelajaran agama dimana kita berdebat dengan keras tentang isu-isu macam ketuhanan Yesus dan konsep Tuhan dalam Islam.

    Ketika masuk kuliah di FHUI, minat saya semakin kuat terhadap hukum Islam, kali ini saya merambah ke buku-buku fikih dan fatwa kontemporer yang dikarang Yusuf Qardhawi. Gara-gara ledekan sahabat saya (yang tahu kalau saya gampang ditantang), saya kemudian terjerumus mempelajari Ushul Fiqh (Teori Hukum Islam). Di awal masa kuliah, saya menjadi pelanggan tetap perpustakaan Masjid UI. Perpustakaan yang sunyi karena nampaknya pengunjungnya hanya saya seorang dan petugas perpustakaan yang tampak kesepian.

    Perpustakaan Mesjid UI ternyata memiliki banyak koleksi bagus. Saya belajar sendiri Ushul Fiqh, menyalin dan membuat ringkasan sendiri dari buku-buku yang saya baca macam karangan Mustafa Az-Zahra dan Abdul Wahab Khalaf. Saya juga berkenalan dengan kitab-kitab klasik yang masih saya sering rujuk untuk penelitian seperti Bidayatul Mujtahid-nya Ibn Rusyd, Kifayatul Akhyar, dan al-Muwatta Imam Malik. Tidak lupa pula membaca semua buku terkait ekonomi Syariah terbitan Gema Insani Press yang dikarang Umer Chapra, Muhammad Syafi'i Antonio dan Adiwarman Karim.

    Dengan minat besar itu, saya mengambil seluruh mata kuliah terkait hukum Islam di FHUI dan tidak ada satu pun yang nilainya bukan A. Bagaimana tidak, ketika rekan-rekan saya masih kesulitan membedakan Mudharabah dan Musyarakah, serta masih salah mengeja Murabahah menjadi Mubarahah, saya sudah memahami semua jenis bentuk pembiayaan syariah (pernah dengar Ijarah Mausufah Fi Zhimmah? Itu konsep pembiayaan yang lebih menarik dibanding pembiayaan standar macam Ijarah Muntahia Bi Tamlik. Silakan di-google). Dalam kelas Waris Islam, saya memperbaiki kesalahan dosen yang kurang tepat dalam menjelaskan konsep Kalalah. Referensi saya dalam buku Waris Islam lebih banyak dibanding si dosen.

    Dan buku-buku tentang Islam saya juga semakin bertambah, Teori Politik Islam Dhiaddudin Rais, Al Ahkam Al Sulthaniyah dari al-Mawardi, buku-buku Hukum Islam karangan sarjana Indonesia seperti A. Hanafi, Hazairin dan T.M. Hasby Ash-Shidiqie. Dengan menggunakan teori Istislah dari Ushul Fiqh, saya menulis makalah yang membuat saya menjadi pemenang lomba karya tulis nasional bidang hukum dan kompetisi mahasiswa berprestasi utama FHUI. Teori yang sama saya kembangkan lebih jauh untuk keperluan skripsi saya dalam menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Terorisme.

    Ketika sudah bekerja, dengan penghasilan yang jauh lebih memadai, saya bisa membeli lebih banyak buku lagi. Dari ribuan koleksi buku saya, buku-buku tentang pemikiran Islam, hukum Islam, hadis, ushul hadis, tafsir, ushul quran, dan teori hukum Islam menempati urutan nomor 2 terbanyak setelah buku-buku tentang hukum positif. Singkat kata, saya cukup yakin bahwa akumulasi pengetahuan saya sudah hampir pasti jauh di atas rata-rata kebanyakan orang Indonesia. Apakah saya puas? Sama sekali tidak.

    Merasa sudah tidak ada lagi yang bisa diserap di Indonesia, saya memutuskan untuk mendalami lebih jauh mengenai Hukum dan Ekonomi dan untuk itu saya harus pergi ke University of Chicago sebagai pendiri aliran tersebut. Gara-gara belajar Ushul Fiqh, khususnya teori Istislah, saya menjadi semakin tertarik dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum yang akhirnya membuat saya mencintai ilmu ekonomi. Malah boleh dibilang, saya tergila-gila dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum, efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan bukan karena saya pergi ke Chicago, tetapi melainkan karena saya belajar Ushul Fiqh selama bertahun-tahun. Pergi ke Chicago adalah untuk mendalami ilmu teknis yang belum saya kuasai dan memperkuat keyakinan saya akan keunggulan analisis ekonomi. Saya sudah melahap buku-buku yang mengkritik pendekatan pasar sejak SMA macam buku-buku Stiglitz dan kawan-kawannya, di Chicago saya mengambil kelas teori politik tentang kritik terhadap neoliberalisme dan membaca literatur terkait Behavioral Econ. Semua untuk menguji keyakinan saya agar semakin terasah.

    Dan sekarang ketika saya sedang mengerjakan disertasi saya pun, saya masih berpikir bahwa kemampuan teknis saya masih kurang. Di Chicago, saya melihat profesor yang sudah membaca lebih banyak lagi buku dan makalah dibanding saya, profesor dan murid-murid dengan kemampuan teknis yang jauh lebih mumpuni dari saya. Dan saya senang luar biasa, akhirnya saya menemukan tempat di mana saya bisa mempelajari hal baru, ada orang-orang yang bisa mengajari saya, ada tempat dimana saya bisa tertantang lagi. Saya teringat dulu pernah sempat ikut acara tarbiyah dan setelah pertemuan kedua, saya tak pernah hadir lagi karena mentor yang ditunjuk untuk saya tidak bisa mengajarkan satu pun yang belum saya ketahui.

    Kenapa saya bercerita panjang lebar tentang investasi saya? Saya ingin menunjukkan bahwa bahkan setelah belasan tahun belajar dan menyerap ilmu sedemikian banyaknya, saya merasa masih belum bisa menguasai semua aspek yang saya perlukan untuk menyusun magnum opus saya dalam hukum Islam. Namun lucunya, banyak sekali orang-orang dengan pengetahuan cetek (ya, cetek), dengan jumlah bacaan yang tak seberapa, dan konsep yang tak jelas, meributkan tentang hal-hal remeh temeh dalam Islam, merasa tahu segalanya, dan diikuti oleh banyak orang pula. Ini sungguh mengenaskan.   

    Tahukah anda bahwa seandainya Ushul Fiqh tidak mandeg di abad pertengahan dan umat Islam mau berfokus pada hal-hal yang penting, saya cukup yakin aliran Hukum dan Ekonomi tidak akan diciptakan oleh University of Chicago. Aliran itu akan muncul di dunia Islam dan pendirinya adalah Umar bin Khatab, bukan Richard Posner. Ini bukan omong kosong ala Erdogan yang menyatakan bahwa benua Amerika ditemukan oleh orang Islam. Ini hasil mempelajari berbagai putusan hukum yang dibuat oleh Umar.

    Begitu banyak kajian menarik di dunia klasik Islam yang terbengkalai karena tidak ada lagi yang mau mengangkatnya. Bayangkan seandainya hukum Islam kembali berfokus pada efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan tapi dengan menggunakan ilmu dan sarana teknis yang belum ada pada jaman Umar bin Khatab. Akan sedahsyat apa kekuatan analisisnya? Mengapa perbudakan tak pernah tegas diharamkan? Mengapa mabuk dihukum cambuk tetapi makan babi tidak padahal status keharaman babi lebih absolut dibandingkan dengan keharaman alkohol? Mengapa zina dibebani hukuman tetapi syarat pembuktiannya begitu keras ditambah pula dengan aturan bahwa dilarang mengintip ke dalam rumah orang lain? Tidak percaya? Lihat Hadis Muslim No. 5366.

    Begitu banyak pertanyaan dan juga informasi yang menarik. Misalnya tahukah anda bahwa aturan yang mewajibkan suami harus menceraikan istri melalui pengadilan diadopsi dari fikih Syiah? Anda bisa membaca ini dalam buku Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Indentity, yang membahas mengenai debat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Saya juga sudah memeriksa hal tersebut di jurnal hukum lainnya. Tahukah anda bahwa Islam tidak pernah mempunyai konsep khilafah secara resmi dalam Al-Quran? Kajian Al-Mawardi itu dilakukan ratusan tahun kemudian setelah masa Khulafaur Rasyidun, ketika institusinya sudah dibangun berdasarkan praktek di lapangan. Sekarang saya sedang meneliti sejarah Ottoman terkait bagaimana Ottoman menerapkan aturan hukum yang pluralistik. 

    Tapi tidak, umat lebih suka dengan tawaran mimpi-mimpi yang enak didengar semacam hukum Islam pasti menyelesaikan semua masalah (nyatanya tidak, studi Tahir Wasti di Pakistan menunjukkan bagaimana aplikasi hukum pidana Islam malah memperkuat institusi pembunuhan terhadap perempuan), atau khilafah adalah solusi atas segala permasalahan di muka bumi, tata surya, galaksi bima sakti, alam semesta, dan 17 dimensi lainnya. Sumber daya habis tiap tahun untuk membahas isu tak berguna macam hukum mengucapkan selamat Natal dan hari Valentine. Luar biasa!

    Beberapa orang yang tak jelas keilmuannya bahkan sudah lebih jagoan lagi dalam menuduh sesat orang lain, bahkan ulama terkenal sekalipun. Quraish Shihab misalnya sempat dituduh sebagai Syiah. Dasarnya apa? Sebuah artikel internet yang tak bisa diverifikasi kebenarannya. Untungnya Quraish Shihab adalah mufasir yang paham Quran dan Hadis, beliau tak permasalahkan terlalu jauh tuduhan dari manusia yang tak bermakna.

    Secara ekonomi saya bisa menduga mengapa kajian-kajian tanpa keilmuan ini dan hal-hal remeh temeh ini laku keras. Mengapa orang tidak berminat untuk berinvestasi dalam suatu kegiatan? Mudah, karena kegiatan itu tak diberikan prioritas. Opportunity Cost-nya mahal untuk melakukan kegiatan lain. Kebanyakan orang nampaknya secara tak sadar sudah melakukan analisis untung rugi  dalam hidupnya dan mereka berkesimpulan bahwa mendalami agama memang bukan prioritas dalam hidup dibanding aktivitas lainnya. Tentu saja saya tak akan menyalahkan mereka. Setiap orang punya prioritasnya masing-masing. Alasan saya mendalami hukum Islam juga tidak muluk. Saya senang dan menikmatinya, saya senang mengajar dan gampang gregetan melihat ide bodoh (dan rasa gregetan itu saya tuangkan dalam artikel). Tidak rumit kan?

    Tapi tentu tak elok rasanya kalau kita terang-terangan menunjukkan bahwa investasi mendalami agama sudah tak penting lagi dalam hidup kita, kita masih perlu simbol yang tepat untuk menunjukkan seakan-akan kita peduli. Ah gampang, main di isu akidah saja. Goreng terus ide ini karena walaupun hidupnya amburadul dan pengetahuan agamanya minim, minimal dia tahu Allah itu Tuhan dan Muhammad adalah Nabi.

    Dan ketika permintaan akan kajian simbolik ini makin keras, akan selalu ada wiraswasta handal yang siap mengambil keuntungan. Tidak heran kajian simbolik modal buku Ahmad Deedat atau mungkin buku-buku propaganda lainnya, serta rasa percaya diri yang kuat, sangat diminati. Jualan buku, acara seminar, video, dan sebagainya. Semua senang. Modal awal yang dibutuhkan untuk retorika memang rasa percaya diri. Persetan dengan logika dan pengetahuan. Kalau orang sudah puas dengan retorika omong kosong dan hal itu memberikan penghasilan yang cukup, untuk apa bersusah payah belajar lebih banyak? 

    Saya ucapkan selamat kepada orang-orang ini. Mereka berbakat untuk mendalami ilmu ekonomi lebih jauh dan sudah pandai melakukan analisis untung rugi. Siapa tahu, suatu hari nanti mereka mungkin akan diterima di University of Chicago dan menjadi pemenang Nobel Ekonomi selanjutnya. Oke, saya berlebihan untuk yang satu ini. Mustahil akan terjadi sampai unta masuk ke dalam lubang jarum.

    Sesungguhnya, saya tak ingin percaya dengan prediksi Nabi dalam hadis Abu Daud tentang masa depan umat Islam yang banyak tapi lemah seperti buih kotor di lautan. Tapi mungkin prediksi Nabi benar. Umat Islam sudah jauh lebih banyak dibanding di masa lalu, tetapi nilainya nol besar. Persis seperti ratusan kultwit yang tiap hari muncul untuk kemudian hilang esok hari, tak bermakna, tak bernilai, dan sia-sia belaka.

    Sebagai penutup, saya tidak akan menilai bagaimana anda menempatkan prioritas hidup anda, karena semua orang punya perhitungan untung rugi sendiri, bahkan sekalipun anda tak ingin mengakuinya. Tetapi jangan terlalu lama menipu diri sendiri. Kalau anda memang tidak peduli dengan agama anda dan tidak ingin berinvestasi, minimal tidak perlu berperilaku berlebihan dalam menunjukkan simbol agama. Karena walaupun anda bukan representasi resmi agama anda, orang akan selalu mengasosiasikan anda dengan agama anda tersebut, dan kelak anda akan dimintai pertanggungjawaban atas pencitraan anda yang bermasalah itu.
  • Kasus Florence Sihombing dan Kegagalan Nalar Hukum


    Saya kecewa luar biasa ketika membaca berita ini dan juga berita ini. Bukan saja perkara "penghinaan" Jogja oleh Florence Sihombing masih tetap akan dilanjutkan, Florence juga dikenakan skors 1 semester oleh UGM karena pernyataannya di Path. Saya tidak habis pikir mengapa langkah ini perlu ditempuh? Skorsing 1 semester saja menurut saya sudah tidak masuk akal, apalagi kalau diteruskan sampai ke level pidana!
     
    Apa pernyataan Florence yang menimbulkan dampak sedemikian dahsyatnya itu? Kutipan dari Path-nya adalah sebagai berikut: "Jogja miskin, tolol dan tak berbudaya, teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja" dan "Orang Jogja bangsat. Kakak mau beli Pertamax 95 mentang-mentang pake motor harus antri di jalur mobil trus ga dilayani. Malah disuruh antri di jalur motor yang stuck panjangnya gak ketulungan. Diskriminasi. Emangnya aku ga bisa bayar apa. Huh. KZL."

    Konteksnya tidak terlalu sulit dicerna. Bayangkan ada 2 produk, X dan Y. X lebih mahal daripada Y tetapi proses untuk mendapatkan Y lebih lama karena anda harus mengantri (barang lebih murah, peminat lebih banyak, antrian lebih panjang). Anda memiliki dana yang cukup untuk membeli produk X dan memutuskan untuk membeli X yang harganya lebih mahal karena anda lebih menghargai nilai waktu anda. Tetapi ketika kemudian sampai di kasir untuk membeli X, anda diminta pindah ke barisan pembeli Y yang panjangnya sungguh keterlaluan. Alasannya anda tidak boleh membeli X? Karena baju anda jelek.

    Bagaimana tanggapan anda atas kasus di atas? Apakah tindakan penjual tersebut wajar? Apakah ini contoh tindakan diskriminatif tanpa alasan yang kuat? Dalam situasi serupa, apakah anda akan menghela nafas anda dalam-dalam? Atau anda akan marah-marah sambil bersumpah serapah? Kalau anda Paman Gober, mungkin yang akan anda lakukan adalah membeli perusahaan yang bersangkutan dan memecat semua karyawannya yang menyebalkan itu (sebagaimana sering kita lihat dalam komik Donal Bebek). Itu juga yang akan saya lakukan kalau uang saya berlimpah.

    Ada yang bisa melarang saya untuk melakukan hal tersebut? Ya mungkin karyawan-karyawan dari perusahaan yang saya beli ini akan mencoba menggugat hak pesangon mereka. Bisa jadi saya harus membayar hak pesangon mereka yang cukup mahal di pengadilan. Tetapi karena selain kaya, saya juga paham hukum, saya putuskan saja untuk memailitkan perusahaan ini, melikuidasi semua asetnya, dan memberikan uang pesangon yang tak seberapa kepada karyawan saya. Kalau pun mereka mau menuntut di masa depan, perusahaannya sudah tidak ada, dan pemegang saham dan perusahaan adalah dua entitas yang berbeda. Apakah ada yang bisa menghalangi skema saya ini? Kemungkinan besar, tidak ada.

    Apakah saya bisa ditahan karena pada prinsipnya saya sudah menyakiti hidup para karyawan yang membuat saya sebal itu? Hampir pasti tidak ada alasan untuk menahan saya. Yang saya lakukan sah secara hukum dan walaupun skemanya rumit, karena uang saya banyak, manfaat yang saya dapat dari membubarkan perusahaan dan melihat karyawan-karyawan itu menangis di tepi jalan tetap memberikan nilai manfaat pribadi yang lebih besar dibandingkan biaya yang saya keluarkan.

    Sayangnya Florence tidak punya dana sebanyak Paman Gober. Dia cuma mahasiswi UGM yang naik motor sebagai kendaraan pribadinya. Dia tidak bisa menggunakan skema saya di atas. Paling-paling dia hanya bisa menghela nafas, atau marah-marah. Bisa jadi dia khawatir sebagai wanita untuk marah-marah langsung di depan petugas SPBU. Maka pilihan akhirnya adalah marah-marah di Path yang dikenal sebagai media sosial untuk hal-hal yang lebih privat (walaupun memang sulit di masa kini untuk membedakan hal mana yang privat dan publik).

    Yang memilukannya adalah: kemarahan Florence dan konteksnya yang sebenarnya cukup wajar itu dibesar-besarkan sampai kemudian dianggap melanggar ketentuan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE"). Dalam hal ini, Florence dituduh melanggar Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, yaitu dengan sengaja dan tanpa hak: (i) mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, atau (ii) menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

    Ini kasus yang sangat menarik dan juga penting. Kalimat pasal yang begitu sederhana seperti di atas membuka banyak kemungkinan interpretasi. Pertama, bisa jadi bukan Florence yang harusnya dihukum karena ia tidak dapat dianggap dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi yang memuat penghinaan. Apa yang dimaksud dengan tanpa hak? Bagaimana kalau misalnya kita menganggap bahwa Path adalah media yang digunakan untuk keperluan diseminasi informasi secara terbatas, katakanlah hanya untuk teman-teman terdekat. Bisa jadi saya akan menyampaikan penghinaan yang keras terhadap orang lain ketika saya sedang berbicara dengan teman-teman dekat saya tetapi saya tidak akan omongkan penghinaan itu di depan muka target saya, atau di depan publik. Ini kan wajar. Kalau anda merasa tidak pernah melakukan hal serupa, saya ucapkan selamat karena anda layak jadi wali atau nabi.

    Dengan pembacaan di atas, malah seharusnya orang-orang yang ditangkap adalah mereka yang kemudian justru membagi-bagikan pernyataan Florence ke khalayak ramai. Orang-orang ini yang pantas ditangkap karena tanpa hak membagikan informasi yang selayaknya tidak disampaikan ke muka umum dan menimbulkan kontroversi yang tidak perlu. Bayangkan berapa banyak sumber daya yang dihabiskan untuk membahas kasus seremeh ini? Polisi yang menangkap Florence, Jaksa dan Hakim untuk menjalankan persidangan, UGM yang sampai sibuk harus menjalankan rapat etika, dan publik yang harus ikut berkomentar, termasuk saya. Semua hanya karena ada beberapa orang yang tidak cukup cerdas untuk bisa membedakan informasi mana yang patut dibawa keluar dan mana yang harus disimpan baik-baik.

    Isi dari Path pada dasarnya terkunci untuk dapat dilihat oleh orang lain kecuali orang tersebut sudah menjadi teman dari pemilik akun Path yang bersangkutan. Benar bahwa isi dari Path dapat diunggah juga ke Facebook dan Twitter sepanjang dipilih oleh si pemilik. Pertanyaannya, apakah Florence sengaja mengunggah amarahnya itu di media sosial lainnya? Atau kemudian hal ini dilakukan oleh orang lain? Ahli hukum yang baik harus memahami setiap fungsi media sosial dan tidak menyamaratakan mereka semua, apalagi dalam kasus yang melibatkan hidup orang semacam kasus Florence ini.

    Berikutnya adalah soal definisi penghinaan itu sendiri dan target dari penghinaan. Ini masalah yang rumit karena melibatkan banyak unsur subjektif. Saya belum pernah mendengar suatu kota atau suatu wilayah bisa menyatakan dirinya dihina. Misalnya saya menghina Jogja, apakah kemudian satu warga Jogja dapat mewakili Jogja untuk menuntut saya? Atas dasar apa? Bagaimana kalau warga yang lain kemudian memutuskan bahwa saya tidak menghina Jogja? Lalu apa harus dilakukan musyawarah atau voting terlebih dahulu oleh seluruh warga Jogja untuk menentukan: (i) apakah saya menghina Jogja, dan (ii) siapa yang nantinya berwenang dari warga Jogja untuk menyampaikan laporan atas penghinaan yang saya lakukan? Anda bisa lihat betapa absurdnya pemikiran ini kan?

    Bandingkan kasus ini dengan Jakarta. Keruwetan dan keparahan kota Jogjakarta tidaklah seberapa dibandingkan dengan Jakarta. Anda mau adu kota mana yang lebih ribet? Anda pasti kalah dengan Jakarta. Mereka yang tinggal di Jogja mungkin tidak bisa membayangkan berapa banyak umpatan yang berseliweran di kalangan warga Jakarta atas kota dan sesama penduduknya. Bahkan ketika Fauzi Bowo masih menjadi Gubernur Jakarta, tidak terhitung banyaknya umpatan yang muncul atas dirinya di media sosial.  Korban penghinaan lainnya tentu saja para pengendara sepeda motor yang merasa jalanan adalah milik nenek moyang mereka. Saya masih menanti adanya paguyuban pesepeda motor Jakarta yang akan mengajukan laporan atas penghinaan yang rutin mereka terima sehari-hari di media sosial.

    Atau kita pakai kasus terbaru: Bekasi. Bekasi sempat menjadi permainan dan lawakan di media sosial karena kemacetan yang luar biasa dan penderitaan yang dialami warganya setiap pergi dan pulang ke Bekasi. Tentu ada yang pro dan kontra soal kondisi Bekasi. Ada yang setuju dengan lawakan tersebut, ada yang berpendapat bahwa orang-orang yang menghina Bekasi itu sebenarnya tidak pantas menghina Bekasi dan sebagainya. Tetapi yang jelas tidak ada satu pun orang yang ditahan hanya karena ia mengunggah meme-meme yang menghina Bekasi itu di muka umum.

    Sekarang saya tanya, apa bedanya menyatakan Jogja tolol dan menyatakan bahwa untuk ke Bekasi anda harus naik roket karena lokasinya berada di luar planet Bumi? Dua-duanya sama-sama penghinaan. Yang satu langsung pada pokoknya, yang satu berbentuk lawakan (yang bisa jadi lucu menurut saya tetapi dianggap langsung menghina bagi para warga Bekasi yang cinta mati terhadap Bekasi), tetapi menurut saya esensinya sama saja: MENGHINA. Lalu? Kenapa tidak ada LSM atau siapa pun lah dari Bekasi yang kemudian menindaklanjuti kasus ini?

    Apa karena kali ini pelakunya banyak? Dan karena kalau tidak setuju dengan pelakunya yang banyak ini, nanti si pelapor akan dicap sebagai orang yang tidak punya selera humor dan sebagainya, dan mungkin nanti malah akan di-bully ramai-ramai? Penegakan hukum macam apa yang akan kita lakukan kalau standarnya tidak jelas seperti ini? Sepanjang pelakunya banyak, lalu kasus ditiadakan karena polisinya juga takut? Bagaimana mungkin orang tidak berpikiran bahwa kasus Florence adalah bentuk diskriminasi hanya karena dia sendirian? Bagaimana dengan semua orang yang menyebarkan amarah Florence di Path? Kenapa tidak sekalian ditangkap?       

    Mungkin ini lah salah satu aspek yang masih menyedihkan di negara kita. Ketika kasusnya heboh, semua orang ribut soal Florence. Entah marah-marah, entah memberikan dukungan, sehingga akhirnya membuat kasus sederhana ini menjadi konsumsi publik yang berlebihan. Tetapi pada akhirnya, setelah hingar bingar itu selesai dan kita semua sudah puas menyampaikan penilaian moral kita macam bagaimana harusnya berbicara di media sosial, yang menjalani konsekuensi hidupnya adalah Florence Sihombing. Dan kini dia diskors satu semester dan akan menghadapi persidangan di muka pengadilan negeri. Untuk apa? Untuk hal yang secara rutin juga dilakukan oleh banyak orang di Indonesia dan juga planet Bumi ini melalui beragam media lainnya!

    Saya pernah beberapa kali mengajar di UGM dan juga menikmati liburan di Jogja, tetapi bagi saya kasus ini terlalu menyakitkan hati. Tidak pantas dan juga tidak efisien menghukum seseorang untuk sesuatu yang sebenarnya remeh temeh dan tidak berakibat negatif secara signifikan kepada masyarakat (kalau bukan karena dibesar-besarkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab). Pada akhirnya ini soal analisis untung rugi. Kecuali Florence dinyatakan tidak bersalah, atau tidak dihukum, atau jaksanya memutuskan untuk menghentikan kasus absurd ini, saya tidak akan lagi mau mengajar di UGM. UGM seharusnya bisa melakukan hal yang lebih baik dari ini. Dan percayalah, yang akan rugi karena saya tidak mengajar di UGM bukan saya.  
  • The Law and Economics of 'Innocence of Muslims'


    I'll admit it: I have not watched "Innocence of Muslims," the anti-Islam film that has been blamed for causing ruckus around the world. Why? Well, I have more important things to do, one of them involves an amateur cooking competition with my friends.

    Personally, in terms of importance, such movie sits in the category of "absolutely not important that even staring at the wall for 2 hours would still be better." The problem is, not everyone shares the same view. But before we discuss why Muslims are against the film, we should first study why some people are still trying to make a movie like this.

    From economics perspective, the reason might be very simple: because with such a minimum cost, the movie can maximize the damages caused to the world, which I assume will also maximize the makers' own pleasure or benefit.

    Why are the costs so low? Based on the comments of those who have seen it, "Innocence of Muslims" was a low-budget movie (bad editing, amateur actors, etc). And it is unlikely that the filmmaker - who, according to Wikipedia, resides in California - will face legal penalty in the United States.

    The first reason might be the protection of free speech, though this is debatable. The second reason might be the fact that the United States does not want to show any weaknesses toward the demand of the Muslim worlds, including the terror they received in Libya which caused the death of the US ambassador and three other Americans.

    On the first reason, the protection of free speech is indeed complicated. People may argue the movie is a hate speech. But what would be the correct standard? I mean, I've seen a lot of movies and jokes harassing Jesus in such a really bad way and yet, I have not heard any case in the United States sanctioning the makers. Should we measure hate speech from objective or subjective requirements?

    The second reason is even more problematic. The movie undoubtedly triggers heavy protests from Muslim communities around the world. And within the protesters, some of them may use the event to promote their own idea of violence and war. Perfect timing indeed.

    If the United States penalizes the filmmaker, it can be assumed by terrorists and war mongers that the United States is bowing down to their threat and thus, in the future, it would be easier for them to demand things from the United States as long as they kill certain US citizens.

    In other words, the United States would also have difficulties in punishing the stupid filmmaker based on political reasons. I borrow this analysis from Prof. Eugene Volokh, a law professor from UCLA, and I agree with the basic premise.

    If the filmmaker realizes the above facts (and I assume he was not stupid enough to bring the video online without thinking the consequences), it would be rational for him to actually publish the video since his own personal benefits outweigh his costs.

    Unfortunately, this is inefficient and bad to the overall welfare of the society. Currently, triggering protests from the Muslim world using cheap tactics (such as this movie) has a success rate of almost 100 percent - if not 100 percent. And it is most likely that the protest can turn into a riot.

    This is completely different if the movie is directed to, say, Christians. As I've said above, there are so many jokes and movies depicting Jesus in such a bad way that I am certain if you change the character into Muhammad, the makers will not live long enough to see another day. Heck, we even have a Jesus parody in Twitter.

    Why do Muslims and Christians have such a different approach in handling these kind of issues? Could it be that it has something to do with education and living standards?

    But as long as most Muslims continue to retaliate, I believe the cycle would never end. The supply of people similar to the above filmmaker might be endless and they will definitely take the advantages they currently have, i.e. free speech protection and political reasons.

    The most efficient solution is of course ignoring these buffoons. After all an ant can't cause harm to a blue whale. The problem is, it will take a long time to reach that stage (if ever).  

    I can only hope the majority of Muslims will follow the Prophet basic rule in dealing with bad mouthing: Just ignore those people. Good for your health, good for your image, and less trouble for all of us. We still have many urgent matters which are more important than a stupid movie.
  • The Law and Economics of Market for Ridiculous Ideas - The Case of Lady Gaga Fatwa


    I guess most of the people know about the latest fatwa issued by one of the National Ulema Council (MUI) members, Mr. Cholil Ridwan, stating that viewing the concert of Lady Gaga is prohibited under Islamic law. In this post, I will not discuss the validity of his opinion under Islamic law principles, rather, I want to discuss a more pressing matter, and that is the market for ridiculous ideas. The distribution speed of such fatwa is ridiculously high as everyone want to give their comments, either agreeing with the content, or just for the purpose of mocking the fatwa.

    I find the overall conduct as highly inefficient. Although the article did say that Mr. Ridwan did not represent MUI and that it was only his personal opinion, the title might give a misleading perception to the readers (especially in a world where most people focus only on the headline instead the content of the news), at least evidenced by the multiple comments that I read in my Twitter timeline. And it goes on and on, from saying that such fatwa is a part of fundamentalist thoughts, that the fatwa is being used to blackmail the music promoter, and not to mention people who spend their time explaining to other people that the news is actually misleading. What a waste of time!

    Sure, people might say that this is only a single case and the argument of efficiency might not be applicable. But we should also see the facts that this kind of news is only a part of many other stupid news, spreading ridiculous ideas that do not have any social benefit other than to attract readers for the relevant medias. For the media, it is an efficient system. After all, whether the news has a good quality or not is not a problem, the most important thing is that the media can gather as many readers as possible at an instance and engage them in useless debate that will promote the ideas to a new level.

    I am a supporter of freedom of speech and I will not say that ridiculous ideas cannot be spread to the general public. But for God's sake, media should act as an effective screening mechanism for useful ideas, somewhat similar to the role of underwriters and investment bankers in capital market. The laws in many countries require these bankers to give their best effort and to satisfy a very high standard of conduct in order to ensure the integrity of the market. We want them to ensure that only the best products that will go to the public or at least that they can give adequate information to the public so that the public can make an informed decision.

    The problem with the market of ideas is that it is far more difficult to set the standard for determining a good idea. Different with capital market where we can tag prices to the securities being sold, the value of spreading an idea for a media corporation is not in the idea itself but on how it can attract viewers. And even if the idea is a complete failure and also wasteful, as long as the actual monetary damages to the society is not clear, no one can go to the court and sue the media for spreading such stupid ideas.

    I guess this is a good example of market failure where asking for intervention from the government might be more costly than the perceived benefits since I do not want to open any possibilities for the government to censor ideas, even if it is utterly ridiculous. I hope that Indonesian readers would start to treat this kind of news as unimportant and therefore reducing the value of news itself. The more people choose to ignore this kind of news, the more incentives for the media to pick better news to satisfy their readers. That would be an acceptable solution for both parties.

    My suggestion for medias, please pick a better source of news, especially when you know that your source is not reliable. Each man is entitled to his own opinion, but it does not mean that each opinion should be treated as important and therefore good for publication. In the short term, doing this kind of thing might be profitable for the media, but I doubt that it will be good for the long term, along with the increase of education level in Indonesia. Smart medias should take this opportunity to establish their own niches as medias that only broadcast high quality materials and attack medias that spread wasteful ideas to attract readers. Who knows, competition might effectively solve this problem sooner that we all expect.
  • Books Burning and the Danger of Self Law Enforcement


    Is burning books an efficient action? It depends. On the one hand, people should be free to do what they want with their own assets, including burning their books. As long as they pay for those books, why should we bother? On the other hand, spreading an idea with a book may be beneficial, so burning them might be costly for society since we’re deprived of the opportunity to receive more knowledge.

    But these days, burning books might not be as costly for society anymore. Information can now be transmitted efficiently to a huge audiences that, unless you are the government of China, nothing you do can effectively prevent the spread of the ideas in those books.

    With respect to the latest case of book burning, I feel that the action itself was not that significant. Some people wanted to show that they disagreed with certain ideas, bought books they didn’t like and burned them. In a way, such a demonstration is actually good for promoting the books. The burners derived utility from the bonfire, and I assume the costs for buying and burning the books were minuscule for them compared to the benefits they received from burning the books. Life goes on and no one was harmed.

    What I am more concerned about is the idea that this action was a symbol of people enforcing the law themselves because the legal authorities did not perform their job properly. In short, the burning was an act of vigilantism. Now that’s a serious matter. Expressing your thoughts publicly is a right guaranteed by the Constitution. Enforcing the law by yourself? Not so fast.

    Why should people be prevented from enforcing the law by themselves? Why can’t we let them to do what the authorities should actually do in the first place? We’ve seen many cases when we feel so helpless with law enforcement in Indonesia that some of us think it’s acceptable for certain criminals to be tried by the masses. It would be more efficient, and it serves them right. Right?

    The answer is no. Despite the alluring character of vigilante acts in movies and comics (who doesn’t love superheroes crushing criminals that cannot be touched by the law?), it is not efficient at all if we allow people to assume the role of judge and jury.

    First, there are procedural standards that must be satisfied before we can punish someone for conducting criminal activities. Although there are costs associated with such a process, we still need it simply to avoid additional costs that might occur in case we punish the wrong person. The less the chance of being punished, the cheaper the cost of doing crime and the higher the cost to the society.

    Second, there should also be a clear standard of violation for enforcing the law. You can’t simply punish an act if you can’t justify the adverse effects to society or certain individuals. Moreover, even when you think you are being harmed by an act, we should also consider whether the benefits of having such an act would still be bigger than its costs. In antimonopoly law, we call this the rule of reason analysis. We determine whether an act should be deemed illegal based on its economic effects to the welfare of the society.

    Third, the remedy should also be clear. If we feel that an act adversely affects a person, such a person would be entitled to a remedy. In such a case, we must ensure that the remedy is fair and proportionate to the damages caused by the act. If you can’t justify the damages, there should be no remedy — it’s as simple as that.

    This is why in a war of thoughts, it is very tricky to satisfy the three elements above. We can’t accurately judge the correctness of a thought if it stays only as a thought. We can’t assess the damages caused by a thought if it only affects your thoughts. And therefore, we can’t declare a proper remedy for the damages that are non-existent.

    There are better ways to fight a thought, and one of them is making a counterargument which I am currently doing through this article. You are free to attack other people’s thoughts, but that war should stay in the realm of words.

    Asking law enforcement to join the debate or thinking that you may represent them will only complicate the process. Without clear guidelines, it will become another waste of tax payer money and create unnecessary social unrest.

    Fight your war by yourself and fight it decently.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.