THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Gender Equality. Show all posts
Showing posts with label Gender Equality. Show all posts
  • Kesetaraan Gender dan Industri Hukum

    Pengumuman pengangkatan 2 Senior Partner baru di UMBRA, Melati Siregar dan Poppy Cut Rahmasuci, merupakan momen yang tepat untuk mengangkat kembali tema kesetaraan gender, khususnya dalam industri hukum. Bagi pembaca blog ini dan khususnya yang sudah kenal saya lumayan lama, harusnya tahu posisi saya soal kesetaraan gender: saya menolak segala bentuk pengaturan soal pembagian peran pria dan wanita selain dari apa yang masing-masing mereka kehendaki sendiri secara sadar dan berdasarkan pengetahuan yang cukup. Artikel lama saya soal ini bisa dibaca misalnya di: Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup serta Absurdnya Ide Pengurangan Jam Kerja Wanita

    Posisi saya di atas belum berubah sama sekali, dan karena kebetulan sekarang saya sudah memiliki institusi sendiri, saya bisa lebih bebas mengimplementasikan visi misi tersebut. Sejak dahulu kala, industri hukum memang tidak terkenal sebagai industri yang ramah bagi perempuan. Menariknya, jika diperbandingkan, Indonesia mungkin justru terhitung lebih progresif dibandingkan dengan dedengkot industri hukum modern berskala besar di Amerika Serikat mengingat di Amerika, perempuan tidak diperkenankan masuk ke sekolah hukum apalagi berpraktek hukum setidaknya sampai dengan akhir abad ke-19/awal abad ke 20 dan efeknya sedikit banyak masih terasa hingga kini, partisipasi perempuan di bidang hukum masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan partisipasi lelaki.

    Jam kerja kantor hukum yang brutal ditambah masih adanya stigma pembagian peranan wanita dan pria baik secara domestik maupun bisnis dalam budaya, agama, dan negara tertentu memang sangat menyulitkan posisi perempuan untuk berkarir sebagai pengacara/advokat. Umumnya, analisis standar (kalau bisa dikategorikan sebagai analisis) dalam mempertimbangkan apakah suatu kantor hukum akan mempekerjakan pengacara perempuan adalah: berapa lama kira-kira ia akan bekerja secara efektif dalam kantor? Apakah ia sudah memiliki pasangan? Apakah ia akan memiliki anak? Kekhawatiran utamanya adalah apabila kantor sudah berinvestasi sedemikian rupa dengan pengacara perempuan tersebut namun di tengah jalan tiba-tiba ia memutuskan berhenti bekerja karena alasan menikah, memiliki anak dan selanjutnya harus fokus mengurusi keluarga. Bagi industri yang sangat mengandalkan kualitas pribadi dari masing-masing talentanya, kehilangan talenta yang bermutu karena urusan seperti ini tentu akan sangat menyakitkan dan kontra produktif.        

    UMBRA sendiri tidak menerapkan kebijakan khusus "pro perempuan" semisal affirmative action. Jadi fakta bahwa saat ini pengacara perempuan mewakili 64% dari total 50 lawyer di UMBRA dan 37,5% di level Senior Partner bukan hasil dari suatu kebijakan khusus yang meminta porsi perempuan ditambahkan dalam jumlah karyawan kantor. Sebagaimana saya sampaikan dalam tulisan-tulisan saya, sebagai penganut kesetaraan garis keras, saya justru tidak mau ada pemberian perlakuan spesial atas dasar gender (selain karena isu biologis semisal hanya perempuan yang sejauh ini bisa hamil dan oleh karenanya wajar diberikan cuti melahirkan). No wonder people consider me as the most unromantic guy, haha.

    Isunya sedari awal memang bukan memberikan kesempatan tambahan kepada perempuan untuk dipekerjakan, tetapi bagaimana kita bisa memberikan edukasi kepada semua pemangku kepentingan yang relevan dengan si calon pengacara (termasuk orang tua, pasangan, dan handai taulan) bahwa seharusnya perempuan tidak dibebani tambahan tanggung jawab untuk mengurus isu-isu domestik yang seakan-akan secara alamiah menjadi bagian dari pekerjaan mereka. Penambahan beban ini yang kemudian sering kali menyebabkan perempuan harus memilih antara karir dan keluarga karena setelah secara ajaib tugas-tugas tersebut dianggap sebagai tugas perempuan, pengerjaan tugas-tugas tersebut oleh kaum lelaki dianggap semacam tindakan yang tidak sesuai dari garis kodrat lelaki (karena memang kalau mau bikin teori absud itu jangan setengah-setengah, harus tekan gas sekencang-kencangnya). Ini bahkan kita baru bicara soal pembagian peran saja, belum lagi stigma-stigma lainnya terkait kepemimpinan dan sifat psikologis perempuan yang akan jadi bahasan di lain waktu. 

    Terkait pembagian peran, selama pemangku kepentingan lainnya tidak secara aktif mendukung peranan perempuan yang lebih fleksibel, menambah porsi keterlibatan perempuan dalam bisnis akan menjadi kesia-sian. Mengapa? Karena terlepas dari promosi yang diberikan kepada mereka, selama beban tambahan di rumah terus ada, perempuan akan terus terpaksa untuk memilih dan belum tentu mereka akan memilih karirnya. Kalau demikian, untuk apa mereka dipromosikan di awal? Justru makin sedikit insentif bagi kantor hukum untuk mempromosikan perempuan karena adanya resiko tinggi dalam memberikan promosi kepada orang yang kemungkinan tidak akan meneruskan keberlangsungan institusi. Oleh karena itu, seperti layaknya kunci berdansa Tango yang indah atau membangun bisnis yang sukses, keberadaan partner yang kolaboratif mutlak ada, tidak bisa dilakukan sendirian.

    Yang mungkin tidak terpikirkan juga oleh penganut pembagian fungsi lelaki dan perempuan adalah bagaimana efek klaim pembagian yang kaku itu berdampak terhadap pilihan hidup kaum perempuan. Contoh di Korea Selatan dan Jepang misalnya ketika tingkat perkawinan dan kelahiran anak terus mengalami tren yang menurun. Yang namanya manusia memang sulit buat dipaksa terus menerus, jadi ketika perempuan tidak bisa melihat lagi fungsi dari pernikahan selain cuma nambah-nambahin kerjaan dia, apa insentif dia untuk masuk ke dalam institusi itu dan mengorbankan karirnya? Ini soal trade-off yang rasional. Pernikahan tentu ada manfaatnya, tetapi juga tidak kalah banyak biaya dan permasalahannya. Ini yang seharusnya juga dipertimbangkan sebelum memaksakan pembagian tugas tersebut dalam hubungan pernikahan atau hubungan-hubungan lainnya yang memerlukan pasangan untuk tinggal bersama. Ada aksi, tentu ada reaksi. Lebih rincinya sudah saya diskusikan di artikel lama saya yang bisa diakses di awal artikel ini. 

    Nah, kembali lagi ke soal edukasi pemangku kepentingan, minimal yang bisa saya sampaikan adalah praktek yang saya jalankan sendiri. Berhubung saya tidak sepakat dengan pembagian tugas domestik, dengan sendirinya, otak saya tidak bisa mengkotak-kotakkan tugas-tugas mana saja yang cocoknya dikerjakan perempuan atau oleh lelaki. Misalnya saya suka mengurus urusan administratif (which is why I act as the Managing Partner) dan memasak. Ya ketika di rumah, saya yang mengerjakan itu semua. Apakah dengan demikian saya tidak lagi menjadi laki-laki atau kelaki-lakian saya berkurang karena mengurusi hal-hal printilan? I dare anyone to make such claim against me. Prinsip saya gampang, serahkan tugas pada orang yang paling efisien untuk mengerjakan tugas itu. Dan karena waktu mahal, apabila ada orang lain yang bisa mengerjakan tugas itu dengan lebih baik dan dengan biaya yang bersaing, ya kasih ke orang itu. Sederhana toh? Ini bukan cuma buat bisnis, tapi juga urusan di rumah. 

    Tentu saja sebagai orang yang berkecimpung dalam hukum Islam, saya hafal semua dalil-dalil yang bisa dipakai untuk memosisikan saya (sebagai lelaki) untuk mendapatkan privilese tambahan, macam mengklaim berhak jadi pemimpin bagi wanita, atau lebih tinggi derajatnya sebagai suami, atau bisa minta jatah hubungan seksual setiap saat dari istri. Tapi seumur-umur saya tidak pernah menggunakan dalil itu dan alasannya sederhana (saya tidak akan membahas interpretasi dan dalil hukumnya dalam artikel ini, karena saya memang tidak sedang menulis soal aspek hukum), harga diri pribadi! Masa untuk menunjukkan bahwa saya lebih superior dari orang lain, saya harus minjam dalil yang sumbernya tidak intrinsik dari diri saya sendiri? Obviously, I want to demonstrate that I am superior against anyone else, but for the love of God, that should be established based on my own personal quality and nothing else

    Isu harga diri buat saya sebagai lelaki bukan level remeh temeh macam ketika saya menggunakan payung warna pink di Depok jaman kuliah dulu. Buat saya isunya segampang: suhunya panas banget, saya ga tahan panas (itulah mengapa saya suka banget musim dingin yang brutal di Chicago, walau kelahiran tropis, saya gagal jadi anak tropis), saya masih harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki (maklum, mahasiswa miskin), dan payung yang tersedia cuma ada yang warna pink. Persetan dengan persepsi terkait korelasi warna pink dan laki-laki atau ide bahwa lelaki seharusnya tahan panas dan ga boleh pakai payung.  

    Isu harga diri saya bahkan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan gender saya, melainkan bersumber dari apakah saya bisa meyakini tanpa ada keraguan bahwa saya sudah mencapai kualitas yang saya inginkan dalam melakukan hal-hal yang saya putuskan sendiri sebagai keahlian saya. Dan menentukan hal-hal yang menjadi keahlian kita akan sangat bergantung dengan pilihan hidup masing-masing. Bebas.

    Aspek berikutnya di kantor yang saya jalankan terkait isu kesetaraan gender adalah kita tidak memasukkan potensi pengacara perempuan untuk suatu hari nanti berhenti bekerja karena urusan keluarga sebagai basis untuk menentukan apakah kita akan mempekerjakan yang bersangkutan atau tidak. Resiko itu selalu ada, tapi kita bertaruh dengan pemberian edukasi sebagaimana saya sampaikan di atas. Karena memang manusia ga bisa dipaksa. Tidak semua orang bisa menerima bahwa pembagian tugas itu hanyalah konstruksi sosial yang bisa jadi pernah efisien di masanya, tapi tidak lagi relevan di masa kini. Yang bisa kita lakukan adalah memfasilitasi supaya kesempatan perempuan tidak lantas berkurang untuk berkarir dan di sisi lainnya, karena tidak ada affirmative action, tidak perlu pusing menganalisis perkembangan karir masing-masing pengacara selain dari kualitas intrinsik mereka sebagai legal experts and rainmaker

    Terakhir, situasi pandemi ini menunjukkan bahwa peluang untuk bekerja secara fleksibel itu sangat memungkinkan (ini juga saya bahas dalam artikel untuk menyambut tahun baru 2021). Dan fakta ini seharusnya bisa memudahkan pilihan karir perempuan (dan sebenarnya juga lelaki, karena berpikir bahwa cuma perempuan saja yang ingin menghabiskan waktu di rumah adalah bentuk sesat pikir dan diskriminasi bagi kaum lelaki). Alih-alih harus mengorbankan salah satu, opsi kerja fleksibel yang bebas dari keterbatasan ruang memungkinkan setiap orang untuk menjalankan peran ganda di rumah dan di luar rumah. Artinya, kemampuan manajemen waktu supaya orang bisa makin produktif di mana pun mereka berada akan makin menjadi krusial. 

    Perlu diingat bahwa kemajuan teknologi tidak menafikan kebutuhan dukungan dari semua pemangku kepentingan. Edukasi ini perlu terus menerus diulang-ulang dan disosialisasikan. Kalau belum punya pasangan, baiknya bertanya soal pilihan masa depan. Dengan situasi persaingan yang makin tinggi, konsepsi pembagian tugas lelaki dan perempuan yang digaungkan dalam Undang-Undang Perkawinan akan makin usang. Realitasnya, apa masih memungkinkan bagi kebanyakan pasangan untuk mengandalkan hanya satu sumber penghasilan? Data empirisnya masih perlu digali lebih jauh, tapi saya sangsi tren single income family bisa bertahan untuk masa depan (kecuali salah satu pasangan kita masuk kategori wong sugih, kalau sobat misqueen, ya sulit). 

    Bagaimana dengan industri hukum sendiri? Bisnis harus terus selalu berkembang dan karena bisnis hukum adalah bisnis orang, membatasi pool kandidat berbasis gender adalah tindakan yang culun. Talenta bisa datang dari mana saja dan adalah pilihan yang rasional untuk membuka keran supply sebesar-besarnya untuk dapat mencari penerus-penerus institusi selanjutnya. Masalah bagaimana kita mendidik mereka dan memastikan mereka akan jadi penerus yang mumpuni adalah tantangan selanjutnya.

    So, congratulations again to Melati and Poppy, a pleasure to welcome you both at the senior partnership table. Cheers to all the female lawyers!     

  • Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup


    Pernyataan Presiden Turki, Tayipp Erdogan, di artikel BBC dan Kompas tentang tidak setaranya wanita dengan pria karena kodratnya menentukan demikian bisa menjadi contoh nyata bagaimana ide pembagian tugas yang mutlak antara wanita dan pria masih saja mendominasi pemikiran di kalangan masyarakat, minimal di Turki. Mengapa demikian?

    Erdogan sendiri mungkin tidak percaya dengan apa yang dia sampaikan dan bisa jadi juga kebijakan riil yang dia ambil di Turki tidak bersifat misoginis. Tetapi Erdogan adalah politisi dan politisi rasional selalu berusaha untuk mendapatkan suara dari mayoritas pemilihnya. Dan seperti layaknya kebanyakan pasar dalam kehidupan sehari-hari, seorang penjual (Erdogan) tentunya harus menjual barang/jasa yang diminati oleh mayoritas pembeli (pemilih) kalau ia ingin menjadi penjual yang sukses (dengan asumsi jumlah pemilih yang mendukung ide Erdogan lebih banyak daripada yang menentang).

    Apalagi kalau ide ini dibungkus dengan isu agama dan kodrat biologis. Seakan-akan tak mungkin salah. Salah satu rekan saya misalnya menafsirkan bahwa pernyataan Erdogan tidak bermaksud untuk merendahkan wanita, tetapi justru ingin menunjukkan betapa berharganya nilai ibu dan betapa pentingnya seorang ibu bagi anak-anaknya. Meyakinkan? Sama sekali tidak bagi saya.

    Isu terbesar dari pembagian tugas antara pria dan wanita ini adalah karena kita merasa bahwa diri kita atau pemerintah memiliki pengetahuan yang mendalam, sempurna dan menyeluruh atas fungsi dan peranan tiap individu dalam satu negara. Kita merasa paham sekali bahwa pria cocok untuk pekerjaan x, sementara wanita cocok untuk pekerjaan y. Dan berdasarkan pemahaman kita yang spektakuler ini, kita putuskan pria harus melakukan x dan wanita melakukan y. Masalahnya adalah: tahu dari mana bahwa seseorang lebih cocok untuk melakukan pekerjaan tertentu? Lebih penting lagi, kalau pun mereka lebih cocok untuk melakukan sesuatu, kenapa mereka harus melakukan hal tersebut?

    Sebagai penganut garis keras aliran efisiensi dan analisis untung rugi, ide bahwa setiap orang harus bekerja sesuai dengan bakatnya sehingga bisa memaksimalkan potensi diri masing-masing terkesan sangat menarik. Tapi saya tidak akan mau terburu-buru mengambil kesimpulan dan kemudian terjebak dalam sesat pikir.

    Ingat film Superman yang terbaru? Film itu menceritakan bahwa Planet Krypton sudah berhasil menemukan kode genetika setiap bayi dan mengetahui sedari awal, bahkan memprediksikan dengan akurat apa bakat dari bayi tersebut dan apa nantinya peran si bayi ketika dia menjadi dewasa. Ada bayi yang diplot menjadi ilmuwan (seperti misalnya Jor-El, ayah Superman), ada yang diplot menjadi tentara (seperti misalnya Jenderal Zodd). Dan tidak ada satu pun yang boleh melawan peran yang sudah digariskan itu.

    Hal pertama yang bisa kita lihat dari kisah di atas? Orang-orang Krypton nampaknya tidak bahagia (lihat saja tampang Zodd yang terkesan stress secara berkesinambungan tanpa henti sepanjang film). Dan mungkin itu bukan cuma sekedar aksi di film. Bayangkan sendiri apabila misalnya anda berminat menjadi seorang pengacara, tetapi kemudian setelah ditelaah oleh suatu mesin super canggih, anda dinyatakan tidak cocok jadi pengacara, anda lebih cocok jadi arsitek dan oleh karenanya anda wajib menjadi arsitek terlepas anda suka atau tidak dengan profesi itu. Bagaimana perasaan anda? Saya cukup yakin bahwa sebagian besar orang akan menolak pemaksaan profesi tersebut, apalagi kalau kita tidak punya suara sama sekali dalam kasus tersebut.

    Dan banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Misalnya, apakah mesin tersebut bisa menghitung dengan objektif seluruh preferensi kita atau hanya melihat satu unsur tertentu saja? Analisis untung rugi meliputi banyak aspek. Kekayaan finansial hanyalah salah satunya, rasa bahagia, kepuasan batin dan sebagainya, dapat menjadi bagian yang valid dari analisis untung rugi, dan banyak ahli yang berusaha untuk terus menyempurnakan analisis untung rugi agar dapat menangkap aspek-aspek tersebut.

    Kalau pun kita bersikeras mengkhususkan analisis untung rugi hanya atas hal-hal yang bisa dikuantifikasi, kita dapat menyimpulkan bahwa ketidakbahagian dalam bekerja juga dapat menurunkan produktivitas. Si mesin bisa jadi memperhitungkan bahwa bakat arsitektur kita berpotensi menciptakan pendapatan US$1 juta per tahun dibandingkan dengan profesi pengacara yang berpotensi menciptakan pendapatan US$750 ribu per tahun.

    Akan tetapi, ketidaksenangan kita terhadap profesi arsitektur juga berpotensi menyebabkan jumlah pendapatan kita menurun drastis di bawah potensi yang diperkirakan si mesin karena kita tidak melakukan pekerjaan kita dengan sungguh-sungguh. Tidak ada jaminan bahwa prediksi si mesin akan menghasilkan hasil yang efisien. Isunya sederhana. Pertama, tidak ada yang bisa memprediksikan masa depan apalagi mengatur masa depan akan menjadi seperti apa. Ketidakpastian dalam hidup ini sudah merupakan suatu keniscayaan. Kedua, manusia tidak bisa dipaksa untuk menyukai apa yang ia tidak suka. Melakukan sesuatu yang tidak disukai pasti ada biayanya dan akan ada konsekuensinya. Kita bisa menutupi masalah ini dengan bilang: "ya, tidak semua orang tahu apa yang baik bagi dirinya." Tapi hal itu tidak akan tiba-tiba mengubah orang menjadi suka atas apa yang tidak dia sukai. Sesederhana itu. Pertanyaan utamanya, dengan situasi seperti ini, apa kita benar-benar memiliki justifikasi yang kuat untuk memaksa orang melakukan suatu profesi tertentu sekalipun ia tidak menyukainya? 

    Coba kita renungkan baik-baik, apabila kita tidak bisa sepenuhnya percaya bahwa pembagian tugas antar manusia bisa dipaksakan ketika teknologi pendukungnya ada, bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa pembagian tugas tersebut dapat dipaksakan ketika teknologinya tidak ada dan pemerintah serta masyarakatnya masih bias gender?  Kalau kita sendiri tidak suka dipaksa oleh negara untuk menjalankan profesi tertentu, mengapa kita malah meminjam tangan negara untuk memaksa orang lain? Dari sudut analisis untung rugi, ini jelas bukan opsi yang menggiurkan.

    Fakta bahwa secara biologis wanita adalah satu-satunya jenis manusia yang bisa melahirkan anak tidak serta merta berarti bahwa semua wanita pasti ingin punya anak, pasti ingin menghabiskan waktunya untuk mengurus anak, dan pasti lebih mampu mengurus anak dibandingkan dengan pria. Bisa jadi ada wanita yang lebih senang untuk menjadi ibu rumah tangga, bisa jadi ada wanita yang lebih senang untuk menjadi wanita karir, dan bisa jadi ada yang ingin menggabungkan keduanya. Demikian juga dengan pria. Pilihannya bukan ditentukan oleh negara. Pilihannya ada pada wanita tersebut dengan tunduk pada kelangkaan waktu dan sumber daya.           

    Apa maksudnya? Anak hanyalah salah satu opsi dalam kehidupan berkeluarga. Ada yang berpikir meneruskan keturunan genetis itu penting, ada yang tidak. Kesenangan hidup berkeluarga juga tidak hanya muncul dari anak. Mengurus anak juga bukan tanpa biaya. Kesenangan yang didapat dari kehadiran anak akan dikompensasikan dengan biaya dalam bentuk waktu yang bisa digunakan untuk aktivitas lain dan uang yang digunakan untuk mendidik dan menciptakan anak yang bermutu.

    Orang mungkin berpikir, tidak baik melakukan analisis untung rugi terhadap urusan keluarga, termasuk anak. Ini seperti berharap bahwa masalah yang ada di depan mata akan hilang hanya dengan menutup mata kita. Pepatah "banyak anak banyak rezeki" saja sebenarnya mengindikasikan bahwa nenek moyang kita sudah lama berpikir bahwa anak adalah investasi. Dan kenapa tidak? Dalam budaya Asia, anak sangat diharapkan menjadi tulang punggung keluarganya ketika nanti ia sudah besar. Semakin banyak anak, maka seharusnya semakin makmur hidup orang tua (dengan asumsi mereka berhasil mendidik anaknya). Kebanyakan orang mungkin tidak suka mendengar kenyataan ini. Namun demikianlah kenyataannya.        

    Oleh karenanya, wajar-wajar saja kalau kemudian ada wanita yang memutuskan untuk tidak punya anak atau membatasi jumlah anaknya dengan melakukan analisis untung rugi. Penelitian menarik di negara-negara maju misalnya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan semakin besar pendapatan suatu pasangan suami istri, jumlah anak dalam keluarga juga menurun. Salah satu penjelasannya adalah karena biaya kesempatan (opportunity cost) dari orang tua juga naik drastis, yaitu waktu mereka untuk melakukan aktivitas lainnya menjadi lebih berharga. Apakah hal ini salah? Menurut saya tidak. Ini cuma masalah prioritas bukan masalah moralitas. Yang memutuskan untuk punya anak tidak lebih baik dari yang tidak menginginkan anak dan demikian sebaliknya.      

    Bagaimana dengan profesi lainnya? Dengan anatomi tubuh wanita yang umumnya lebih lemah dari pria, tentunya ada beberapa pekerjaan yang seakan-akan tidak cocok untuk wanita secara umum. Tapi itu juga tidak berarti bahwa kemudian wanita perlu dilarang atau dipersulit untuk melakukan profesi tertentu. Kembali ke pertanyaan awal, mengapa hal tersebut mesti pusing-pusing diatur oleh negara? Apa justifikasinya?

    Saya sudah berkali-kali menyampaikan bahwa di era modern, seluruh kebijakan publik wajib tunduk pada analisis untung rugi dengan memperhatikan data dan penelitian empiris. Kebijakan publik juga wajib tunduk pada mekanisme checks & balances karena kita tahu bahwa manusia bukan malaikat dan rentan melakukan kesalahan. Sudah bukan jamannya lagi berargumen hanya mengandalkan doktrin tertentu. Prinsip agama yang paling penting adalah maksimalisasi kesejahteraan masyarakat. Dan hal itu hanya bisa dilakukan kalau kita berhitung dengan hati-hati, bukan berkhayal.

    Permasalahannya ada di kerangka berpikir secara absolut. Ya atau tidak sama sekali. Salah atau benar sama sekali. Tidak ada jalan tengah. Kalau wanita harus jadi ibu berdasarkan doktrin agama, maka hal itu mutlak pasti benar sekarang dan selama-lamanya. Padahal sebagaimana saya bahas di atas, kenyataannya berkata lain, menjadi ibu bisa jadi efisien, bisa jadi tidak. Melakukan pemaksaan secara masif terhadap anggota masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan cenderung tidak efisien karena kemungkinan kesalahannya sangat besar dan tidak memedulikan unsur preferensi manusia.

    Mulailah berpikir secara marjinal. Sebagaimana saya pernah bahas di artikel ini, yang merupakan pengantar ringkas dari disertasi saya, hukum Islam tidak berpikir dalam kerangka absolut. Kalau iya, perbudakan seharusnya sudah haram mutlak sejak 1.500 tahun yang lalu dan tidak menunggu secara bertahap sampai awal abad ke-20. ISIS saja sekarang melakukan perbudakan terhadap kaum Yazidi. Karena mereka salah memahami kitab suci? Mungkin, tetapi secara doktrin agama, perbudakan memang tidak pernah dikategorikan haram mutlak. Dalam situasi perang misalnya, Wahbah Az-Zuhaili, ulama kontemporer yang sangat terkenal, juga memperbolehkan perbudakan atas tawanan perang (cek Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 8, bab Jihad, terbitan Gema Insani Press). Ini baru satu contoh dimana doktrin saja tidak cukup untuk menganalisis suatu masalah. Sisanya bisa dibaca dalam artikel saya tersebut.

    Saya berharap bahwa kita bisa mengurangi kecenderungan berpikir secara absolut ini sedikit demi sedikit. Saya sepenuhnya paham bahwa kalau perbudakan saja butuh ribuan tahun untuk dianggap buruk, berharap semua orang tidak lagi berpikir absolut dalam sekejab tentunya cuma angan-angan belaka. Tapi ini harus dimulai dari sekarang. Erdogan tidak akan mengeluarkan ide yang tidak masuk akal kalau tidak ada pendukung ide serupa di antara para pemilihnya dan oleh karena itu, konsep yang salah ini harus kita lawan terus.

  • Why I Disagree with Legalization of Prostitution


    I guess I have not fully elaborated my points on my previous post on prostitution and inequality, as I might need to address some concerns from those who are in favor of legalizing prostitution. You can read some of their main arguments here. Their arguments can be summarized as follows: by regulating the industry, the government can give incentives to the industry players to treat the women better, create a safer environment, and by doing so, helping the women for a better life. Furthermore, if it's truly a voluntary transaction, people should be free to do so. As good as they may be, I disagree with these lines of arguments, and I am not even talking about morality issues.

    First of all, I doubt that regulating prostitution will be more efficient than making it illegal. We know that people respond to incentives. In other words, the government may require people to comply with certain regulations, but if there are no legal enforcements, it is most likely that they will not comply. The case is similar to prostitution. So when the government actually regulates prostitution, there would also be enforcement costs to ensure that the entire industry comply with the rule. Can the defenders of legalization show that the costs will be cheaper rather than enforcing law against prostitution. Because if the net effect is same, why bother legalizing it?

    Second, I'm surprised if there is any free market defenders who support the notion that the government should regulate prostitution in order to protect the women. Most free market defenders despise government intervention in the market. The market works best when there is no intervention as usually, people will only enter into a voluntary transaction if that transaction benefits the relevant parties. So I find it amusing that some people ask the government to interfere with the prostitution market. Not only it shows that the business is inherently bad that we need government help to deal with it, it also shows that they tend to forget that intervention by regulation does not always end up well, which will lead us to my third point.

    The major question is, what type of regulation that will be needed for an industry like prostitution? To what extent will we allow people to freely sell their body? Can we say that in line with the rising of the price, the consumers are allowed to demand more extreme sex actions? Should we allow consumers to sue the women in case their performance is not satisfying? Should we allow wives to sue the men and the prostitutes in case the wives found out the act in accordance with the principle that each party should be liable for the externalities that they cause to third parties and therefore are obliged to compensate such third parties? Or, in accordance with the Chicago style, when transaction costs is low, resources will be allocated efficiently, meaning that the prostitute and the husband will "pay" the wife for the right of having an affair.

    I mean if we agree that people are free to do everything as long as they "voluntarily" agree to do so, why bother making safety regulation? This is precisely in line with the case of whether there should be a mandatory safety regulation in a construction project if the employer has offered bigger payment for those who want to take higher safety risks. The main issue is what would be the correct price where additional risk taking is justified. If those who agree with legalization of prostitution can accept this notion, I will rest my case. But if we are still talking about protecting the right of the prostitutes, the legalization does not have a strong case other than whether the costs of enforcing the protection are cheaper than making it illegal.

    But let us stop this debate for a while. What are we trying to achieve here? The better protection of the women? Or finding what idea should win between the freedom of women with her own body and the compliance with moral values? The first is important and pragmatic, the latter is simply meaningless in practice. If we agree that the whole debate is made to find the most efficient and effective way to protect women from abusive treatment, then we are in the same track.

    Let us remember that prostitution consists of 2 type of worker, i.e., those who might enjoy the profession and receive good benefits (the lucky ones), and those who are not lucky, which will stay in poverty, who are prone to high risk of death and terrible sickness. Those who have already enjoy a good position surely want to regulate the profession. It gives them better protection. But the case is not the same for the unlucky ones, which sadly, can be in the majority.

    Now, for the unlucky ones, I disagree with legalization. The fact that they are in that state shows why we should not trust that the pimps and customers will treat them better without strong enforcement action from the government. As I said in my previous post, rather than spending costs for enforcement of regulation, why not spend the money to actually reap the profits of the pimps and the money of the customers to compensate the prostitutes? What do you think is the main incentive for pimps to send women to prostitutes? Money! If such incentive is taken, would they still do it? If they are being required to give their entire profits and capital from the business and then the funds are distributed to the women, wouldn't that be better? Of course the sanction will not work if the fine does not reflect the entire benefit of the business. This is standard economic analysis, if the benefits of doing criminal activities are higher than the costs, the criminal will most likely do it.

    So if the defender of legalization says that the fine is not effective, most probably because the fines do not reflect the whole economic benefit of prostitution and the prostitutes do not receive any compensation, which of course will induce them to return to their usual life. Remember, in my proposed solution, prostitutes should not be sanctioned. The target should be the pimps and customers, which will effectively increase the costs of doing prostitution and hopefully reduce the level of prostitution itself. I can imagine a sanction where not only the customers will need to pay a huge fine (which will be distributed to the prostitutes), his name will be also publicly announced. This business can survive for so long, partly due to anonymity, destroying such advantage will impose a significant costs to the customers and I expect that their behavior will be pretty much affected.

    Another thing about legalization, is there any guarantee that legalization of prostitution will effectively erase all illegal prostitution? If the legalization is made on the basis that we need to protect the women, is there any guarantee that customers will comply with all the safety standard regulation? Isn't there a possibility of a black market where all of those earthly desires, which reject all notion of limitation, still exist? And in such case, legalization does not have an effective purpose other than dividing the customers into two types, the nice ones who go to the legalized brothel, and the bad ones who go to the illegal brothel. Of course, further empirical research is needed to support this argument. But this is something that must be considered by the proponent of prostitution legalization in case the probabilities are huge.
  • MacKinnon, Prostitution, Inequality, and a bit of Economic Analysis


    Today, I attended a public lecture by Catherine A. MacKinnon, a world-known feminist and also a professor of law from University of Michigan, on Trafficking, Prostitution, and Inequality. I consider this lecture as a very important event as it gave us a clear understanding on the negative effect of trafficking and prostitution. I'll first summarize MacKinnon's arguments and then I'll provide a Law and Economic style of analysis to support her arguments.

    MacKinnon Arguments Against Prostitution

    MacKinnon opened her argument by saying that there is an inconsistent way of thinking within the public regarding trafficking and prostitution. All people agree that trafficking, i.e. selling human beings to other humans by force, is bad in any way. However, the opinions are divided when we discuss about prostitution. Some people believe that prostitution is inherently bad, either from morality or gender equality points of view. While some other people believe that prostitution is a symbol of freedom and entrepreneurship of women, after all, it's about the freedom of women to use their body as they may like and prostitution is just another form of profession, hence, the term commercial sex worker.

    For her, the term commercial sex worker is utterly ridiculous and she asked how could people consider prostitution as just another type of profession? Based on her own and several other empirical researches, prostitution is definitely not a decent profession, if not at all. A recent polling from several prostitutes showed that more than 89% of them wish to be able to leave the job. Most of prostitutes end up in prostitution not because of free will, but because of coercion (usually from trafficking) and bad financial condition.

    Basically, these prostitutes enter the job because they don't have any better options. The working condition is harsh (in India, an average prostitute can handle around 8,000 men in a year! Not to mention that they are being required to satisfy all the needs of their customer, whatever that is, as long as the customer pays), they are prone to various sexual transmitted diseases and psychological trauma (MacKinnon found that the level of trauma within prostitutes is similar to those who have experienced war!), and they are also prone to harmful activities that may result in their death (various customers have different taste of sexual activities and it is not unusual to have customers who love violence for the sake of enjoying their sex). In short, it's not a good life. In fact, MacKinnon asked everyone in the room, would they ever consider to take that kind of job if they have a better option?

    MacKinnon further argued that prostitution pretty much relates to gender inequality. Surely there are male prostitutes, but compared to female prostitutes, their numbers are miniscule. Moreover researches show that it is far easier for the male prostitutes to opt out from their profession compared to their female counterparts. Female prostitutes are usually treated as goods, objects. The inequality is even clearer when we see how society treats the customers very well, simply from the fact that they are called as customers, in other word, they are just simple buyer who wish to purchase sex with women as an object of satisfaction. No wonder MacKinnon refused to use the word customer, she named these group of guys as John.

    MacKinnon also argued that it is absurd to consider that female prostitutes entered into the business of prostitution because they have already given their "consent" and therefore people should leave them alone and let the market does the job, i.e. voluntary transaction among the people. In reality, their consent is not real, their consent was given due to weak conditions and because of the payment that they receive from the Johns (and they don't even receive the payment in full, most of the payment will go to the pimp). Based on that understanding, MacKinnon stated that having sex with prostitutes is essentially a rape in another form.

    So what's the solution for this problem? MacKinnon offered the Sweden System, where prostitution is being criminalized, but not for the female prostitutes, rather, the pimps and the customers. Various empirical researches showed that the result of this policy is quite effective, the prostitution rate is going down and more women can be released from the hell that they experience in the world of prostitution. The reason for adopting this policy is because there is already an inequality between the female prostitutes and the male customers and pimps. Imposing the same sanctions to the prostitutes increases the inequalities and misses the real villains who are responsible for the existence of prostitution.

    MacKinnon also rejected the legalization of prostitution as a solution to fight the bad treatment that prostitutes receive in her job. In one of her researches, she found that even when there are legal prostitution center, some people still prefer to use the illegal prostitutes because they refuse to have their sexual activities and tastes being regulated. In the Dutch, one pimp complains that the regulation of having pillow in the room (which apparently is required in order to increase the level of comfortness of the customers) is bad, because some prostitutes were being killed by pillow. It's a weapon of murder. In other words, the Government is not a good law maker when dealing with prostitution because they don't understand the nature of this business.

    An Economic Analysis of Prostitution       

    Simply speaking, I support MacKinnon arguments, and I will try to show that not only prostitution is bad from the perspective of morality and gender equality, but also from economics point of view. The standard economic analysis usually says that whenever there is a voluntary transaction between two parties, the government should not interfere since it is assumed that these people would never enter into the transaction if both are not better off as a result of the transaction. I agree with this notion. The problem is, some people assume that prostitutes sell their body voluntarily to other people and therefore the government should just leave them alone or even better, legalize the profession. They argue that legalization and calling these prostitutes as commercial sex worker will reduce the degradation that they receive, improve their quality of life and everyone will be better off.

    Seems correct? Absolutely not. First, you can't assume voluntary transactions exist just because people agree to sell their bodies for money. MacKinnon empirical data show that this is an illusion. The consent is not given properly, meaning that standard economic analysis cannot be applied. Instead, we must assume that without consent, we are imposing costs to the prostitutes by forcing them to do something that they don't prefer in the first place. We further know that the payment that they receive does not reflect the costs and risks that are being imposed to them and on top of that, they don't even have the flexibility to leave the job. It is clear then that in terms of causality, the pimps and the customers are harming the prostitutes. From tort law perspective, this should entitle the prostitutes to claim compensation from their customers and pimps.

    In this case, the above reasoning is in line with MacKinnon's Sweden System. If the ones who inflict harm are the customers and the pimps, it does not make any sense at all if the prostitutes are being penalized. In fact, it would be even better that not only the pimps and customers are being criminalized, they must also be required to compensate the prostitutes for the harm that they inflict. In this case, the result will be efficient. First, there will be less incentive for pimps and customers to conduct their bad activities. Second, possibility of women being released from the brothel is increased and the fact that they can receive proper compensation is also a good way to provide them a fresh start for their life.

    Now, some people argue that enforcing sanctions is costly, while legalizing action is profitable since the government can tax such action. In a sense that's true, but again economic is not a rigid science, it is flexible depending on the situation. And I can say that legalizing prostitution is simply a stupid idea. Yes, the government can tax the activities, but it means that the government strategically chooses to abandon their own citizens, i.e. the prostitutes, to live in misery, which of course is not efficient.

    There is a better way, i.e. criminalizing the activities and target the pimps and the customers. The government doesn't  need to always send these guys to prison. It can fine them to pay a huge amount of money to the government, where some are used to pay the legal enforcement costs and some are used to compensate the prostitutes in order to start a new life. This could be a cheaper solution and we know that pimps and customers have quite a lot of money. If not, pimps will not maintain prostitution business and guys will not choose to pay for sex if they can somehow get it for a cheaper price through other means.

    To close this post, I would like to give an interesting definition of prostitution from Namibia (courtesy of MacKinnon of course), i.e. prostitution is any type of sexual activities that are being traded with commodities other than sex. This is deeply insightful, i.e. that sex should only be traded for the joy of sexual activities itself. Let us hope that someday we will be able to banish all type of prostitution in this world.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.