THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Hukuman Mati Tak Bisa Setengah Hati!


    Diskusi tentang hukuman mati sudah sering diulang tetapi isunya tak pernah beres. Mungkin karena terlalu banyak kepentingan dan insentif yang beradu dalam pelaksanaan hukuman mati sehingga langkah yang perlu diambil juga senantiasa setengah hati. Dalam artikel kali ini, saya akan membahas: (i) faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dengan seksama ketika kita ingin menggunakan hukuman mati sebagai bagian dari hukum pidana, dan (ii) prediksi mengapa pelaksanaannya tidak konsisten di Indonesia. Dengan memahami kedua isu di atas, saya berharap pembaca bisa memiliki informasi yang lebih baik dalam menentukan apakah kita memang butuh keberadaan hukuman mati di Indonesia.

    Konsisten dengan pisau analisis saya selama ini, saya akan menggunakan pendekatan ekonomi dan analisis untung rugi terhadap kebijakan hukuman mati. Namun karena sifat hukuman mati yang sangat kontroversial, saya perlu menjelaskan terlebih dahulu mengapa saya tidak sepakat untuk membahas isu ini melalui lensa hak asasi manusia atau filsafat retributif/restoratif.

    Kalau kita percaya dengan ide bahwa tidak pantas manusia menentukan kapan manusia lain mati maka akan ada banyak sekali kebijakan yang tidak boleh diambil oleh Pemerintah. Realitasnya, apakah penentuan hidup mati seseorang hanya terjadi melalui hukuman mati? Hukuman mati hanyalah salah satu bentuk kebijakan yang memiliki efek langsung terhadap nyawa. Banyak kebijakan lainnya yang juga akan memiliki efek terhadap nyawa, misalnya keselamatan transportasi (seberapa jauh kita akan menjamin keamanan setiap moda transportasi?), subsidi kesehatan (berapa banyak alokasi dana Pemerintah yang digunakan untuk perawatan kesehatan dan riset memerangi penyakit berbahaya?), legalisasi industri rokok (sejauh mana kita akan biarkan rokok ada dan merusak kesehatan manusia, sepanjang pendapatan pajaknya masih lebih besar dari biaya kesehatan nasional?), besaran emisi polusi (sejauh mana kadar emisi polusi yang berpengaruh pada kesehatan diperbolehkan untuk ada?), dan masih banyak lagi.

    Perbedaannya dengan hukuman mati? Efeknya tidak langsung dan lebih bersifat jangka panjang. Walaupun tentunya keputusan eksekusi di tiang gantungan atau di lapangan tembak akan jauh lebih dramatis dan menarik untuk dijadikan bahan cerita dibandingkan menentukan berapa banyak emisi asap mobil dan polusi dari cerobong asap pabrik yang diperkenankan untuk mencemari udara kita tahun ini. Kalau ada 2 hak yang saling bertentangan, mana yang harus didahulukan? Hak untuk hidup dengan kata lain tidak absolut kecuali kita siap untuk melakukan perubahan fundamental atas seluruh kebijakan yang mana tidak realistis dan kemungkinan besar akan terjadi hanya ketika kita menemukan sumber daya tak terbatas.

    Saya juga tak mau berpanjang lebar membahas filsafat retributif dan restoratif karena dua-duanya tidak banyak membantu dalam menyusun kebijakan. Hukum pidana memang bisa digunakan untuk balas dendam atau bisa juga dipakai untuk rehabilitasi. Lalu? Terlalu fokus pada balas dendam membuat kita tidak bisa menelusuri lebih jauh apakah keputusan yang kita buat itu ada manfaatnya. Kepuasan dari balas dendam cuma sedikit aspek dari kesejahteraan. Memutuskan bahwa semua narapidana harus direhabilitasi dan dicerahkan jadi manusia yang lebih baik juga tidak gratis dan jelas tidak semua manusia bisa dicerahkan. Lagi-lagi kita harus memilih.

    Dalam pandangan aliran Hukum & Ekonomi, secara normatif, kebijakan pidana tak bisa lepas dari gagasan memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan keterbatasan sumber daya. Analisis harus dimulai terlebih dahulu dengan menentukan tindakan apa saja yang perlu diatur secara pidana. Ini hal yang sering terlupakan khususnya dalam masyarakat yang gila pidana. Semua aspek kehidupan hendak diatur, dan semua pelanggaran harus dikenakan sanksi. Padahal belum tentu semua kegiatan perlu diatur oleh hukum pidana.

    Setelah kita menentukan tindakan apa saja yang akan masuk kategori pidana, yaitu umumnya tindakan yang menimbulkan kerugian aktual secara sosial dan sulit untuk diselesaikan secara privat (lihat pembahasan lebih jauh di artikel saya di sini), kita harus mempertimbangkan bentuk sanksi yang akan digunakan dan ketersediaan serta kualitas penegak hukum yang akan menjalankan hukum tersebut. Mari kita bahas soal sanksi terlebih dahulu.

    Dalam aliran Hukum & Ekonomi, fungsi sanksi pidana ada dalam 2 bentuk. Dalam bentuk negatif, sanksi diciptakan untuk meningkatkan biaya melakukan kejahatan. Pelaku kejahatan rasional hanya akan melakukan aksi kriminal apabila ia memperkirakan (ingat, memperkirakan bukan memastikan 100%) bahwa kejahatannya tersebut akan memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang harus ia keluarkan. Ibarat investasi, orang tentu ingin untung. Semakin besar probabilitas untuk mendapatkan keuntungan melalui aksi kriminal, semakin besar jumlah keuntungan yang akan didapat, dan semakin kecil biaya untuk mendapatkan keuntungan tersebut, semakin besar pula insentif untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks ini, ongkos melakukan kejahatan meliputi biaya operasional kejahatan dan potensi sanksi yang akan ia terima dikalikan dengan probabilitas dijatuhkannya sanksi tersebut.

    Dalam bentuk positif, sanksi pidana bisa digunakan untuk program yang bersifat rehabilitatif. Kadang kala, meningkatkan biaya melakukan kriminal tidak selalu cukup. Bisa jadi karena sanksinya tidak cukup keras, ataupun sanksinya tidak komprehensif, ini khususnya dalam kasus sistem pemenjaraan yang tidak memikirkan bagaimana nanti ketika narapidana kembali ke masyarakat. Apabila mereka tidak memiliki kesempatan yang lebih baik di luar sana ditambah dengan level penerimaan yang rendah dari masyarakat, mantan narapidana akan memiliki insentif yang lebih besar untuk menjadi residivis. Silakan baca artikel ini untuk memahami lebih lanjut isu rehabilitasi.

    Tentu saja pelaksanaan program rehabilitasi harus dilakukan secara selektif. Bagaimanapun juga, ongkos operasional mendidik umumnya selalu lebih mahal dibandingkan menyiksa atau menyengsarakan orang, dan efek yang diharapkan juga belum tentu tercapai khususnya apabila stigma narapidana di masyarakat tidak berubah secara signifikan. Sia-sia mendidik narapidana kalau setelah keluar dari penjara, mereka tetap dikucilkan dan tidak diterima masyarakat. Artinya untuk menyukseskan program ini, kita juga harus memperhitungkan biaya mendidik masyarakat secara keseluruhan.

    Ini mengapa menentukan sanksi pidana yang tepat sebenarnya sangat sulit. Sebagaimana seringkali saya sampaikan, prioritas orang berbeda-beda. Implikasinya, insentif mereka pun juga akan berbeda-beda. Pelaku pembunuhan karena balas dendam akan memiliki insentif yang berbeda dengan pembunuh profesional yang melakukan aktivitasnya karena bayaran, begitu juga akan berbeda insentif seorang pencuri ayam dengan koruptor kelas kakap. Belum lagi relasi dengan masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap narapidana setelah selesai menjalani hukuman juga akan berpengaruh dalam mengukur efektivitas sanksi. Saya perkirakan bahwa hal ini khususnya sangat menyulitkan narapidana dari kelas ekonomi yang lemah dibandingkan dengan narapidana kaya raya.

    Sayangnya, negara kita masih malas memikirkan sanksi pidana yang tepat. Kebanyakan sanksi dipukul rata dalam bentuk penjara, denda, atau hukuman mati. Penjatuhannya juga tampak tidak dipikirkan secara sistematis tapi lebih cenderung mengikuti kemana angin berlalu. Padahal kita butuh penelitian empiris dan eksperimen untuk mengetahui sanksi yang tepat! Kalau kita memilih program rehabilitasi misalnya, kita perlu mengukur sejauh apa kesuksesan program tersebut dengan melihat kontribusi narapidana kepada masyarakat setelah bebas dan tingkat pengurangan aksi residivisme. Kalau kita memilih sanksi dalam bentuk negatif, selain pengurangan residivisme, kita juga perlu melihat seberapa jauh korelasi keberadaan sanksi dengan penurunan aksi kriminal yang kita teliti, atau sebagaimana sering didengung-dengungkan, keberadaan efek jera dari sanksi tersebut. 

    Berhubung penentang hukuman mati sering meributkan isu efek jera, perlu saya sampaikan bahwa kita perlu berhati-hati dalam menyatakan bahwa suatu jenis sanksi tidak memiliki efek jera. Suatu sanksi bisa jadi kurang efektif karena bentuk sanksinya sendiri tidak memberikan insentif yang tepat kepada pelaku kejahatan. Saya misalnya pernah membahas di sini mengapa sanksi penjara bukan jenis sanksi yang tepat untuk kejahatan korupsi. Kemungkinan lainnya adalah karena minimnya tingkat penegakan hukum atau kelemahan dalam prosedur penegakan hukum. Dan menurut saya, isu yang kedua ini lebih relevan bagi hukuman mati.

    Penegakan hukum adalah aspek yang tak bisa dipisahkan dari hukum pidana. Salah satu penyakit kronis dari masyarakat gila pidana adalah percaya bahwa dengan memidanakan sebagian besar aspek kehidupan, maka secara ajaib semua manusia akan taat hukum dan menjadi manusia yang baik-baik. Ini delusional. Kalau tidak ada yang menegakkan hukum, hukum hanya akan jadi macan kertas. Sekalipun kita bisa menciptakan sanksi pidana yang paling mengerikan di alam semesta ini tetapi probabilitas dijatuhkannya mendekati nol, pelaku kriminal kemungkinan besar hanya akan mentertawakan aturan tersebut. Tanpa menelaah probabilitas penjatuhan sanksi hukuman mati, percaya bahwa hukuman mati pasti efektif mengurangi tingkat kejahatan sama sesat pikirnya dengan percaya bahwa hukuman mati tidak efektif sama sekali. 

    Berhubung penegakan hukum butuh biaya dan sumber daya kita terbatas, mau tak mau kita harus memilih. Terciptalah hubungan yang rumit antara jenis tindakan yang perlu dipidanakan, sanksi yang akan dijatuhkan, penentuan jumlah penegak hukum yang optimal, dan efek positif sanksi yang diharapkan melalui pengurangan tingkat kejahatan dan penciptaan nilai tambah bagi masyarakat, semuanya dengan memperhatikan berapa besar jumlah yang harus dibayar oleh masyarakat untuk membiayai keseluruhan sistem tersebut! Perlu diingat bahwa biaya yang harus dibayar masyarakat bukan saja biaya operasional sistem hukum pidana, tetapi juga biaya terhadap anggota masyarakat yang terkena sanksi pidana, bersalah ataupun tidak bersalah, karena mereka semua merupakan komponen dari masyarakat secara keseluruhan (ingat kembali konsep sanksi dalam bentuk negatif yang ditujukan untuk menambah biaya pelaksanaan tindakan kriminal). 

    Setelah memahami konsep-konsep dasar di atas, barulah kita bisa membahas apakah kita membutuhkan hukuman mati di Indonesia. Apa keunggulan hukuman mati? Dari segi biaya operasional, jelas lebih murah dibandingkan dengan biaya operasional penjara. Mematikan orang tidak akan semahal memelihara narapidana dalam penjara apalagi melatih mereka. Sifatnya yang sangat dahsyat juga dapat menciptakan biaya yang sangat mahal bagi pelaku kejahatan (walaupun tentu bergantung pada probabilitas dikenakannya hukuman tersebut). Untuk pelaku kriminal yang sangat berbahaya, mungkin akan lebih baik bagi masyarakat apabila mereka dihilangkan dibanding dengan mengurung mereka untuk memenuhi nilai moral tertentu. Ini mengapa saya tak suka ide moral Batman yang sok tak ingin membunuh Joker walaupun keberadaan Joker sangat berbahaya bagi masyarakat dan selalu bisa kabur dari penjara (penjelasan lainnya adalah kalau Joker dibunuh, cerita Batman juga akan berakhir lebih cepat sehingga ada insentif untuk memperpanjang relasi yang absurd itu).

    Kelemahannya? Penjatuhan hukuman mati tidak bisa memberikan ganti rugi secara moneter kepada korban kejahatan. Padahal bisa jadi bagi korban, penerimaan ganti rugi plus denda jauh lebih bermanfaat. Memangnya seberapa besar nilai balas dendam dari segi moneter untuk kebanyakan orang? Kemudian karena hukuman mati tidak bisa dikoreksi setelah dijatuhkan, biaya administrasi proses penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan penjara. Proses pembuktian akan lebih sulit, proses banding dan grasi juga diprioritaskan. Ini dengan asumsi penegak hukum peduli untuk memastikan bahwa mereka yang dihukum memang benar-benar bersalah dengan tingkat keyakinan mendekati kepastian (beyond reasonable doubt). Harus diingat bahwa menjatuhkan hukuman kepada orang yang salah berarti menciptakan biaya yang tidak perlu bagi masyarakat dan juga mengurangi probabilitas dijatuhkannya hukuman pada pelaku sebenarnya. Setiap kesalahan penegakan hukum pada prinsipnya mengurangi biaya melakukan kejahatan!

    Ini berarti hukuman mati hanya akan memberikan manfaat bersih apabila manfaat yang diperoleh masyarakat dari tingkat pengurangan kejahatan dan penghematan biaya penegakan hukum (karena kejahatan berkurang) lebih tinggi dibandingkan ongkos yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai proses hukuman mati. Untuk mencapai hal tersebut, hukuman mati harus dijatuhkan dengan cepat dan tak bertele-tele, proses pembuktian berjalan efisien dan terpercaya (sehingga prosesnya tak berlarut-larut) dan kemungkinan penjatuhan sanksi kepada orang yang salah juga minim (karena tak mungkin juga penegakan hukum berjalan benar 100%). 

    Pertanyaan besarnya, apakah syarat dan kondisi di atas terpenuhi di Indonesia? Kemungkinan besar tidak. Contoh gampangnya adalah soal Peninjauan Kembali yang baru-baru ini menjadi kontroversi. Kejaksaan Agung menunda-nunda eksekusi pidana mati karena takut perkaranya bisa ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung. Katanya tidak ada kepastian hukum. Bagaimana ini? Penegak hukumnya saja tidak percaya dengan sistem hukum yang mereka jalankan! Lalu untuk apa pula menuntut hukuman mati kalau tidak yakin? Belum lagi fakta bahwa banyak sekali eksekusi hukuman mati yang terkatung-katung. Padahal selama eksekusi tertunda, narapidana tentu harus dipenjara. Penghematan biaya operasional pun menjadi omong kosong belaka.

    Isu lainnya tentunya adalah konsistensi penjatuhan hukuman mati. Siapa yang menjadi target dari hukuman ini? Jelas saja tidak ada efek jera kalau yang dikenakan hukuman umumnya hanya level kroco. Suplai kroco akan selalu lebih banyak dari bos-bos besar pelaku kejahatan, yang artinya posisi mereka gampang digantikan dengan orang lain. Ditambah dengan carut marutnya penegakan hukum kita yang tak jelas administrasinya, probabilitas pelaksanaan hukuman mati juga menjadi semakin rendah. Lalu apa gunanya hukuman mati dalam kondisi seperti ini?

    Walaupun bisa jadi hukuman mati sebenarnya tidak efisien di Indonesia, ada fungsi lain dari hukuman mati yang diminati oleh Pemerintah dan aparat hukum: pencitraan. Tak perlu pusing bahwa biaya administrasinya mahal dan sistemnya carut marut. Yang penting hukuman ini dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan yang dipersepsikan sangat berbahaya. Misalnya narkoba. Berita hukuman mati adalah ladang berita yang selalu menarik kontroversi dan minat pemirsa. Dan selama ia masih jadi sumber berita yang efektif untuk menunjukkan ketegasan pemerintah, selama itu juga tak ada insentif signifikan untuk mengubah sistem.

    Mengapa tidak fokus dengan yang riil-riil saja? Daripada sibuk berfilsafat soal nyawa dan sebagainya, kita bisa bicara aspek yang paling jelas, biaya yang harus ditanggung masyarakat! Kita sekarang membiayai sebuah sistem yang dampaknya relatif rendah, tak murah juga, rentan disalahgunakan dan jadi ajang pencitraan. Kalau mau serius menggunakan hukuman mati, sudah ada resep yang perlu diperhitungkan di atas, tinggal kita kuantifikasi dengan menggunakan data yang solid. Masih mau asyik beretorika atau mulai menyusun kebijakan publik berbasis data? Jangan setengah-setengah kalau mau maju!
  • Gagal Paham Rasionalitas Ekonomi Jilid 2


    Dalam artikel saya sebelumnya, Gagal Paham Rasionalitas Manusia dalam Pendekatan Ekonomi, saya menyampaikan beberapa tanggapan atas kritik rekan Muhammad Kholid terhadap pendekatan ekonomi yang mengasumsikan rasionalitas manusia sebagai landasan analisis kebijakan publik dan juga hukum. Sempat saya sampaikan bahwa kritik Kholid ini adalah bagaikan memukuli kuda mati (beating a dead horse), alias mengulang-ulang yang tidak perlu. Kholid kemudian membalas artikel saya tersebut di sini.
  • Bolehkah Membunuh Penghina Nabi?


    Saya umumnya ingin menghindari pembahasan yang agak teknis dalam artikel blog namun nampaknya kali ini tak bisa dihindari lagi. Bagaimanapun juga, kalau kita mau serius mendalami hukum Islam, mau tidak mau kita harus menghadapi berbagai sumber hukum yang bisa jadi saling bertentangan dan oleh karenanya membutuhkan interpretasi lebih lanjut. Pembahasan kali ini terkait kasus pembantaian pengurus dan kartunis majalah Charlie Hebdo di Perancis. Dari segi hukum positif di Perancis atau misalnya di Indonesia, masalahnya sudah jelas, pembunuhan demikian sudah pasti melanggar hukum positif. Tetapi bagaimana dalam tinjauan hukum Islam klasik? Apakah perbuatan tersebut diperkenankan? 
  • Gagal Paham Rasionalitas Manusia Dalam Pendekatan Ekonomi


    Steven Levitt, Profesor di Chicago dan penulis buku Freakonomics dan Super Freakonomics, pernah suatu hari stress luar biasa karena seringkali dikritik orang gara-gara idenya yang dianggap kontroversial dan ia akhirnya meminta nasihat kepada Gary Becker. Saran Gary Becker sederhana: "bersyukurlah kamu karena ada yang mengkritik. Tahu yang lebih parah? Kamu dianggap angin lalu. Itu yang saya lebih tidak tahan lagi." Dalam konteks ini, saya senang akhirnya ada yang mau menulis panjang lebar dalam menanggapi ide-ide saya soal penggunaan analisis ekonomi dan rasionalitas melalui tulisan rekan Kholid Muhammad di sini. Berikut tanggapan saya.

    Kritik Kholid merupakan kritik standar terhadap pendekatan rasionalisme dalam ekonomi. Sayangnya ini tipe kritik yang menurut saya ketinggalan jaman dan banyak salah pahamnya, mungkin karena literatur yang  ia baca dan sampaikan di artikelnya berfokus pada "lawan-lawan" pendekatan rasionalisme dan bukan tulisan resmi macam dari Gary Becker sendiri atau Richard Posner misalnya. Saya tahu ini dengan segera ketika dia menulis bahwa pendekatan rasional berasumsi bahwa selain fokus pada maksimalisasi kepentingan pribadi dan transitif, manusia juga memiliki kemampuan psikologi yang sempurna dan mampu memperhitungkan untung dan rugi secara sempurna pula (khususnya dengan asumsi bahwa ada informasi yang sempurna). Ini penggambaran teori yang luar biasa salah. Mengapa demikian?

    Becker dan Posner sendiri sudah menulis berkali-kali dalam buku mereka (misalnya dalam The Economic Approach to Human Behavior dan Economic Theory dari Becker dan juga dalam Economic Analysis of Law-nya Richard Posner) bahwa asumsi rasionalitas tidak menganggap bahwa manusia pasti sempurna dalam mengambil setiap keputusan, fokusnya adalah cukup bertumpu pada maksimalisasi kepentingan pribadi dan konsistensi dalam mengambil keputusan (transitif). Kalau mau yang lebih formal secara matematis, anda bisa menemukannya dalam buku Philip J. Reny (Profesor di Chicago), Advance Microeconomics. Isunya sederhana, mengambil keputusan pun perlu biaya! Tidak mungkin setiap keputusan diambil  dengan seksama dan susah payah karena masing-masing orang memiliki prioritas yang berbeda.

    Maka ketika membaca buku Kahneman, Thinking Fast and Slow, dan idenya soal sistem 1 dan sistem 2 dalam berpikir yang membedakan antara keputusan yang diambil dengan cepat berdasarkan intuisi dan kebiasaan, serta keputusan yang diambil berdasarkan pemikiran mendalam, saya tak heran atau lantas menjadi berasumsi bahwa manusia tidak rasional. Justru karena ia rasional dan memahami konsep untung rugi, ia tak bisa membagi waktunya secara merata untuk mengambil setiap keputusan. Ambil contoh mudah, total waktu yang akan saya gunakan untuk menentukan apakah hari ini saya akan makan ramen atau nasi padang akan jauh berbeda dengan waktu yang saya gunakan untuk menentukan apakah saya mau melanjutkan jenjang pendidikan saya dengan mengorbankan karir saya. Saya bisa memutuskan makan apa hari ini semudah membalikkan telapak tangan (apalagi kalau harga makanannya tak mahal). Menentukan langkah karir saya? Mikirnya berbulan-bulan sebelum akhirnya mengambil keputusan.

    Lebih penting lagi, kalau pun kita mau menerima ide bahwa manusia tak selalu rasional sebagaimana diargumenkan oleh Kholid, Gary Becker sudah lama menulis soal itu dalam artikelnya, Irrational Behavior and Economic Theory. Ada satu kekuatan besar dalam ilmu ekonomi yang pada akhirnya akan mengoreksi setiap bentuk irasionalitas, kelangkaan (scarcity)! Tidak ada manusia dengan anggaran yang tak terbatas, dan ketika saya bicara anggaran, ini tidak melulu soal uang, tapi juga waktu atau hal-hal lain yang melekat pada diri setiap orang (endowment) seperti misalnya kesehatan atau kemampuan intelektual.

    Ambil contoh kebiasaan-kebiasaan buruk yang sering dianggap sebagai bukti tak rasionalnya manusia semacam kemalasan dalam berolah raga, makan kebanyakan dan tak sehat, atau merokok. Secara ilmiah, hal-hal tersebut diyakini dapat berkontribusi untuk memendekkan umur seseorang. Orang yang tak paham ekonomi mungkin akan cepat berujar bahwa orang-orang yang melakukan hal di atas adalah orang-orang yang tidak rasional, bukankah seharusnya semua manusia mau panjang umur? Apakah ini contoh manusia bodoh yang tidak memperdulikan peningkatan resiko kematian di masa depan bahkan setelah ia mengetahui resikonya?

    Kalau kita setuju bahwa hal-hal di atas adalah contoh irasionalitas, akan ada kekuatan yang mengkoreksinya, misalnya penyakit serangan jantung yang jelas menurunkan sumber daya kesehatan. Selanjutnya bisa kita teliti apakah akan ada perubahan sikap setelah seseorang mengalami penyakit demikian. Saya sudah berkali-kali melihat teman-teman dan anggota keluarga saya yang mengubah total gaya hidupnya setelah selamat dari pengalaman penyakit yang bisa mematikan.

    Tapi kita juga bisa melihat mereka sebagai manusia rasional. Mereka  pada dasarnya menukarkan kenikmatan masa kini dengan masalah/biaya di masa depan. Olah raga ada manfaatnya, tapi melakukannya melibatkan biaya dan waktu (termasuk kelelahan fisik). Banyak orang yang gagal diet dan menurunkan berat badan melalui olah raga karena tak sabar menunggu hasilnya. Salad organik nampak sehat, tapi percayalah, nasi padang dan steak umumnya jauh lebih enak dibanding dengan salad organik mana pun. Saya tidak tahu soal rokok karena tidak pernah merokok, tapi saya tahu orang-orang yang merokok karena menurut mereka itu memberikan kenikmatan. Mengapa anda bisa dengan gagah berani menyatakan bahwa orang-orang ini tidak rasional? Bisa jadi prioritas mereka berbeda. Mungkin bagi mereka kenikmatan makanan lebih bernilai dibanding biaya menyeret badannya yang kelebihan berat.

    Saya bisa berbicara seperti itu karena saya sendiri pernah kelebihan berat badan bertahun-tahun gara-gara berlebihan makan setelah bekerja dan punya uang (maklum, dulunya saya kurus kering ketika masih menjadi mahasiswa miskin). 2 tahun lalu saya memutuskan bahwa saya lelah menyeret badan saya dan menjadi tidak produktif. Ditambah taruhan dengan istri saya dalam jumlah besar, akhirnya saya punya motivasi untuk berolah raga dan mengurangi asupan makanan saya. Alhamdullilah, sukses. Dan sejak itu, saya tak mau lagi menukar jumlah asupan makanan dengan tambahan berat badan. Prioritas saya berubah. Sesederhana itu.

    Sama pula dengan sebagaimana saya argumenkan dalam tulisan saya sebelumnya soal untung rugi dalam beribadah atau kemalasan dalam berinvestasi soal agama. Kalau orang menganggap penting surga dan neraka, ia akan beribadah untuk memperoleh surga. Kalau aktivitas hidupnya tidak mencerminkan perilaku surgawi, bisa jadi ia memang tidak benar-benar peduli soal surga dan neraka. Jangan kemudian menyalahkan orang lain yang mau beribadah demi surga dan mencap mereka sebagai pedagang. Lihat dulu konsistensi perilakunya. Kalau ada orang yang malas berinvestasi soal agama, jangan percaya klaim mereka bahwa mereka cinta agamanya. Itu hanya pencitraan belaka supaya tidak dianggap buruk-buruk amat, yang mana merupakan tindakan rasional juga.

    Intinya dalam ilmu ekonomi, rasionalitas menguji seberapa penting orang menilai suatu objek atau aktivitas tertentu dalam hidupnya. Semakin penting objek atau aktivitas tersebut, maka semakin besar juga kemungkinan ia mau berinvestasi untuk mendapatkan objek atau menjalankan aktivitas tersebut. Melalui teori pilihan rasional ini, pembuat kebijakan diminta untuk memeriksa dengan seksama apakah kebijakan yang disusunnya sudah memperhatikan insentif dari mereka-mereka yang akan menjadi subjek dari kebijakan tersebut. Alih-alih bermain dengan teori saja, teori rasionalitas ekonomi justru meminta kita untuk meneliti secara empiris bagaimana efek suatu kebijakan dan tidak gampang menyatakan bahwa seseorang tidak rasional. Inilah pendekatan Chicago yang sudah lama didengung-dengungkan oleh Milton Friedman dan Gary Becker sejak jaman dahulu kala. Anda bisa membaca manifesto Chicago yang menggabungkan teori dan praktek ekonomi demi kesejahteraan ekonomi di sini.

    Yang saya khawatir, orang-orang seperti Kholid ini bukan saja salah paham soal pengertian rasionalitas, tetapi juga mencampuradukkan konsep bahwa rasionalitas yang diterjemahkan menjadi maksimalisasi utilitas itu berarti bahwa insentif manusia seakan-akan hanyalah soal uang belaka atau bahwa rasionalitas individual akan menyelesaikan semua masalah melalui teori invisible hand. Saya mengundang Kholid untuk pergi ke Chicago dan mengambil kelas Price Theory supaya tidak terus menerus gagal paham. Kritik Stiglitz yang dikutip Kholid soal bahwa maksimalisasi kesejahteraan individual tidak akan mensejahterakan semua orang bagi saya lebih pantas jadi argumen politik dibanding argumen ekonom sejati. Mengapa?

    Karena isu ini sudah lama dibahas di Chicago dan buku standar teks ekonomi. Kita sering mendengar soal Tragedy of the Commons, permasalahan yang terjadi ketika aksi rasional dari masing-masing individu berakhir merugikan semua orang dalam kasus konsumsi barang publik yang kepemilikannya tidak jelas (contoh, overfishing ikan tuna). Ada pula kebalikannya, yaitu Tragedy of the Anti Commons ketika 1 properti dimiliki oleh terlalu banyak orang yang kemudian menimbulkan Hold Up Problem. Saya sudah menulis soal itu di sini, di sini dan juga di sini bagi mereka yang ingin mendalami secara lebih teknis. Penyebabnya juga lagi-lagi rasionalitas di level individual. 

    Atau Kholid sudah pernah mendengar soal Public Choice? Salah satu pendiri aliran ini, Gordon Tullock juga berasal dari Chicago, tepatnya Chicago Law School. Public Choice yang menggabungkan ilmu politik dan ekonomi untuk menganalisis kebijakan publik dan hukum adalah kelas yang selalu diajarkan di Chicago. Selain mendalami Arrow's Impossibility Theorem dan Game Theory, kita juga mendalami mengenai teori grup kepentingan dan bagaimana efeknya terhadap pengambilan keputusan kolektif. Anda bisa membaca makalah sederhana saya mengenai Public Choice Theory di sini. Intinya, potensi irasionalitas dalam pengambilan keputusan kolektif (sebagai akibat rasionalitas individual) itu sangat tinggi dan ada banyak mekanisme yang bisa digunakan untuk menyabotase demokrasi dengan mekanisme diktatorial yang bisa jadi susah untuk dicermati karena sangat samar.

    Maka saya bertanya, kritik "keren" dari Stiglitz itu ditulis sebagai ekonom atau politisi? Saya sudah lama membaca buku-buku Stiglitz, dari SMA malah. Awalnya menarik macam kritiknya terhadap neoliberalisme dan kerakusan korporasi. Saking tertariknya, saya bahkan mengambil kelas Neoliberalism and Its Critiques di Chicago yang diajar oleh Prof. Bernard Harcourt (Harcourt ini pemikir garis kiri yang juga menunjukkan bahwa di Chicago, semua ide bisa hidup dengan bebas). Kesimpulan saya setelah mengambil kelas itu? Yang mengkritik tampaknya tak paham konsep kapitalisme murni dan mencampuradukkannya dengan konsep kapitalisme kroni atau korporasi. Anda bisa baca tulisan saya soal itu di sini dan juga di sini.

    Ide bahwa pasar akan menyelesaikan semua masalah adalah ide yang ketinggalan jaman. Ide Chicago generasi masa kini adalah fokus di efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan. Kita paham bahwa rasionalitas individual bisa bermasalah di level kolektif dan kita juga paham bahwa Pemerintah isinya bukan malaikat. Justru karena kita paham bahwa pemerintah isinya manusia-manusia yang rasional, kita menjadi semakin berhati-hati dalam membangun institusi politik dan membuat aturan main yang tepat. Memangnya anda pikir Ronald Coase yang juga merupakan salah satu pendiri Institutional Economics asalnya dari mana? Chicago!

    Lagipula, apa solusi Stiglitz? Pemerintah dan regulasi. Tapi kalau dia belajar Public Choice, menyerahkan semua isu kepada pemerintah juga sama bermasalahnya. Siapa yang bisa menjamin bahwa pemerintah akan dipenuhi oleh manusia-manusia suci yang sudah menjadi wali atau pandita? Memangnya manusia yang menjadi direktur perusahaan dan yang menjadi pejabat di pemerintah berasal dari planet yang berbeda? Apakah pernah dipikirkan bahwa dengan kekuatan pemerintah yang demikian besar, kebijakan yang salah juga bisa menimbulkan bahaya yang tak kalah dahsyatnya? Baru-baru ini saya menghadiri diskusi di kampus soal inovasi dalam kebijakan publik di negara berkembang. Salah satu kisah menariknya adalah bahwa anda tak bisa berasumsi bahwa pemerintahan pasti baik. Ada contoh-contoh dimana kebijakan yang tepat menciptakan pertumbuhan yang dahsyat. Tetapi ada juga negara seperti Somalia dimana penelitian menunjukkan bahwa setelah negara itu memiliki pemerintah, hidupnya makin sengsara!

    Atau seperti krisis 2008 atau bahkan Depresi Besar di masa lampau. Apa penyebabnya? Ada yang mengklaim bahwa ini kegagalan pasar. Ada juga yang mengklaim bahwa ini kesalahan kebijakan pemerintah. Teori rasional pun bisa menjelaskan mengapa krisis 2008 terjadi. Karena rumah bukan saja dijadikan tempat tinggal tapi juga investasi, ditambah dengan pembiayaan kredit rumah yang terlalu murah, orang-orang pun berbondong-bondong hendak membeli rumah, termasuk mereka yang sebenarnya tidak pantas diberi kredit seandainya bunganya tidak disubsidi. Apakah ini contoh irasionalitas? Saya pikir lebih pantas jadi contoh aksi rasional di level individual yang kemudian menciptakan masalah kolektif. 

    Harus diakui bahwa di level makro, sebagaimana sering dikutip oleh Kholid, ilmu ekonomi sifatnya masih gaib. Tapi pendekatan yang saya bicarakan selama ini berfokus pada level mikro dan lebih penting lagi, perbedaan pendapat yang disampaikan oleh Kholid bukan bukti bahwa ilmu ekonomi gagal! Justru kalau kita serius bertumpu pada asumsi rasionalitas, tidak ada satu pun ekonom yang akan puas begitu saja dengan modelnya. Ketika ia melihat modelnya tidak menyelesaikan masalah, ia harus berpikir, apa komponen yang harus diperbaiki. Saya pikir ini norma umum yang berlaku di kalangan ekonom profesional dan yang saya tangkap di Chicago (ngomong-ngomong, Lucas dan Fama juga dikritik oleh ekonom Chicago lainnya. Anda bisa baca artikelnya di sini dan di sini. Kritik itu sudah disampaikan tahun 2010, jadi anda ketinggalan 4 tahun lebih).

    Tapi kritik yang paling menarik dari Kholid adalah bahwa seakan-akan saya berpikiran bahwa pendekatan ekonomi yang digunakan untuk menyusun kebijakan ini adalah pendekatan absolut yang tak mungkin salah. Ini menurut saya klaim paling bombastis yang lagi-lagi menunjukkan kesalahpahaman yang akut. Saya tidak pernah bilang pendekatan ekonomi sempurna. Yang saya tekankan adalah bahwa pendekatan ekonomi adalah yang terbaik di antara pendekatan-pendekatan lainnya karena menurut saya pendekatan ekonomi lebih mau bekerja keras untuk memahami manusia dan penyusunan kebijakan secara realistis.

    Karena sekalipun kita berasumsi bahwa manusia selalu memaksimalkan manfaat bagi dirinya, kita tidak bisa menyamaratakan semua manusia. Perhitungan untung rugi tiap orang bisa jadi berbeda, dan yang menantang adalah bagaimana mengetahui cara tiap-tiap orang berpikir dalam mengambil keputusan sehingga formulasi insentif dan kebijakan yang kita ambil juga tepat. Ambil contoh tulisan saya soal mendidik bukan sekedar pengabdian. Ketika ada pengajar yang bersedia untuk bekerja dengan gaji kecil, saya tidak lantas menyatakan bahwa dia tidak rasional. Saya cukup yakin dia sudah melakukan analisis untung rugi atas pilihan hidupnya. Bisa jadi dia tidak punya kesempatan yang lebih besar diluar menjadi dosen, bisa jadi dia senang mengabdi dan bersedia membayar mahal dengan melepaskan kesempatan yang lebih baik.

    Isu pentingnya, adalah seberapa banyak orang-orang seperti ini? Bisakah kita menemukan manusia paripurna dalam jumlah yang banyak? Atau jangan-jangan kita cuma mendapatkan orang dengan kualitas buruk? Pernahkah dipikirkan bagaimana efeknya kalau insentif finansial kurang diperhatikan karena hanya berfokus pada insentif penghormatan atas pengabdian? Pernahkah penyusun kebijakan pendidikan kita membandingkan institusi pendidikan kita dengan institusi pendidikan yang memberikan kompensasi menawan kepada pengajarnya dan bagaimana efeknya terhadap kualitas pendidikan? Pendekatan ekonomi yang benar memaksa kita untuk berpikir secara serius soal insentif tersebut bukan malah asik berteori sendiri tanpa melihat realitas! 

    Kholid sempat menyampaikan bahwa pendekatan ekonomi itu berguna, sebelum kemudian menyampaikan permasalahan-permasalahanya. Pertanyaan saya, apa alternatif pendekatan yang lebih baik terhadap pendekatan yang saya gunakan khususnya dengan memperhatikan kelengkapan alat analisis yang sudah saya sampaikan di atas? Misalnya saya ingat ada yang mendebat bahwa kita bisa menggunakan pisau analisis nilai sosial di masyarakat untuk memahami perilaku manusia. Oke, menarik, tetapi menurut saya masih kurang tajam. Kita bisa tarik lebih jauh lagi melalui pendekatan ekonomi, seperti mengapa orang mau mengikuti nilai sosial itu? Apakah nilai sosial itu efisien? Memberikan kesejahteraan? Apakah kita akan terus mendukung nilai-nilai sosial yang misalnya mendiskriminasi kaum minoritas dan perempuan semata-mata karena nilai sosial itu sendiri?

    Saya senang karena Kholid mengkritik metodologi pendekatan saya, tetapi saya khawatir kritik ini akan berujung sia-sia, khususnya karena kritik-kritik yang dia sampaikan sudah lama dibahas di dunia profesional dan juga di Chicago. Semboyan Chicago: "here, only your idea matters." Di sini adalah tempat dimana sesama kolega tak akan sungkan untuk saling membantai dalam setiap workshop. Dogma terdalam di Chicago adalah bahwa tidak ada ide yang cukup suci untuk tidak bisa dikritik. Tinggal kemudian apakah kita bisa benar-benar menyampaikan kritik yang tepat atau cuma asal bunyi? Tadi sudah sempat saya sampaikan soal Bernard Harcourt. Anda kenal juga Richard Thaler? Salah satu ekonom yang bisa dianggap sebagai pendiri Behavioral Economics? Anda pikir dia darimana? Chicago! Kritik-kritik terdalam Chicago hidup di Chicago karena kita semua tahu ide yang tak terasah tak akan bisa jadi ide yang dahsyat.

    Saya tidak tahu kalau di Indonesia. Pengalaman saya sebagai sarjana hukum di Indonesia, Indonesia selalu ketinggalan jauh dari perkembangan ilmu terkini. Saat ini Indonesia sedang agak ramai membahas teori hukum progresif yang dulu sempat ramai juga di tahun 20-an di Amerika sampai kemudian di tahun 70-an ada Critical Legal Studies. Bagaimana nasib pemikiran itu sekarang di Amerika? Hampir mati, karena secara metodologis gagal dan tak jelas juga kriteria progresifnya seperti apa, belum lagi dilibas dengan pendekatan Law and Econ yang kini mendominasi. Padahal dua-duanya mulainya sama-sama di tahun 70-an. Jangan sampai kritik Kholid muncul karena perkembangan terkini di ilmu ekonomi belum mendarat dan tersebar luas di Indonesia.

    Meminjam istilah Barat, yang sedang dilakukan oleh Kholid saat ini adalah beating a dead horse. Krugman dan Stiglitz memang ekonom handal di masa lalu, tetapi sekarang mereka lebih sering jadi political pundits. Yang namanya pundits umumnya lebih terkenal dibandingkan dengan ekonom yang serius riset di kampus. Mengulang kritik yang sama saya pikir tak produktif.  Oleh karenanya saya mengusulkan kepada Kholid untuk mengkritik lebih jauh tawaran kebijakan yang pernah saya sampaikan. Kalau memang ide saya kurang tepat, saya ingin tahu apa tawaran yang lebih baik. Karena bagi saya, ilmu ekonomi tidak berguna kalau tidak ada manfaatnya buat penyusunan kebijakan publik dan hukum.

    Akhirul kata, saya kembali ucapkan terima kasih kepada Kholid yang sudah meluangkan waktunya untuk menulis kritik atas pemikiran saya dan saya tunggu lanjutan artikelnya. 
  • Kecelakaan Air Asia dan Kebijakan yang Asal-Asalan


    Berita beberapa hari terakhir soal kasus Air Asia dan kecelakaan Pesawat #QZ8501 sangat membingungkan bagi saya. Simpang siur soal apakah ada pelanggaran izin trayek, hubungan antara izin trayek tersebut dengan potensi kecelakaan, sampai isu remeh temeh semacam apakah Menteri Perhubungan marah-marah di kantor maskapai Air Asia atau tidak. Belum selesai dengan semua isu ini, Menteri Perhubungan kembali membuat gebrakan dengan membatasi besaran tarif bawah yang dapat dikenakan oleh maskapai penerbangan. Alasannya? Demi keselamatan penumpang karena menurutnya, tarif rendah berkorelasi dengan minimnya fitur keamanan maskapai.

    Klaim di atas cukup fantastis tetapi tidak jelas darimana asalnya. Benarkah harga murah berkorelasi dengan fitur keamanan yang buruk dari maskapai penerbangan di Indonesia? Apa definisi maskapai dengan fitur keamanan yang buruk dan bagaimana kita bisa menilainya? Apakah isu kecelakaan pesawat terbang di Indonesia lebih sering disebabkan maskapai, disebabkan oleh kontrol trafik penerbangan, atau justru karena regulatornya sendiri yang tidak kompeten? Lebih penting lagi, dari sudut pandang probabilitas terjadinya kecelakaan, apakah industri penerbangan Indonesia memang dapat dikategorikan sebagai benar-benar tidak aman, khususnya dibandingkan dengan sarana transportasi laut dan darat?

    Tanpa penjelasan yang memadai dari Departemen Perhubungan dan bermodalkan secuil alasan soal keselamatan, sulit melihat kebijakan di atas sebagai kebijakan yang didasarkan pada analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang komprehensif. Kebijakan yang cenderung asal-asalan ini lebih cocok dikategorikan sebagai tipikal alat pencitraan (sebagaimana pernah saya diskusikan di sini). Kalau mau berkonspirasi sedikit, bisa jadi malah kebijakan ini disusun untuk menguntungkan kelompok kepentingan tertentu khususnya maskapai dengan tarif yang lebih mahal. Yang kemungkinan besar akan dirugikan? Konsumen.

    Mengapa? Karena berarti harga tiket pesawat akan menjadi lebih mahal sementara kompensasinya bagi masyarakat tidak jelas. Apakah penumpang akan memperoleh kompensasi dengan tingkat keamanan yang lebih baik? Hanya apabila kita berasumsi bahwa pembatasan tarif bawah akan memberikan insentif kepada maskapai penerbangan untuk meningkatkan fitur keamanan mereka. Itu pun masih bertumpu pada asumsi lanjutan bahwa selama ini maskapai penerbangan murah kurang aman karena harganya ditekan. Kalau ternyata selama ini tidak ada korelasinya dengan keamanan, lalu untuk apa konsumen diminta membayar lebih mahal? Lebih penting lagi, kalau dibandingkan dengan data kecelakaan maskapai penerbangan tarif atas, apakah memang ada korelasi antara tarif mahal dengan level keamanan?

    Walaupun model bisnis antara maskapai penerbangan tarif bawah dan tarif atas pada prinsipnya sangat berbeda, saya cukup yakin dua-duanya peduli pada fitur keamanan karena mereka paham bahwa dibandingkan dengan kecelakaan terhadap sarana transportasi lainnya, kecelakaan penerbangan selalu menjadi sorotan berita utama dan dampaknya terhadap bisnis bisa sangat merugikan. Lihat saja misalnya dampak kecelakaan terhadap Malaysian Airline (yang sebenarnya termasuk kategori maskapai premium). Secara probabilistik, kejadian kecelakaan berturut-turut yang dialami oleh Malaysian Airline sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi dan kemungkinan besar berada di luar kendali mereka (siapa yang bisa menduga ada anggota milisi yang akan menembakkan roket ke pesawat sipil?). Terlepas dari kesialan yang luar biasa tersebut, masyarakat nampaknya tidak peduli dan menganggap bahwa permasalahannya berada pada Malaysian Airline, tak lupa unsur klenik dan religius ikut menyertai. 

    Oleh karenanya, saya sangat meragukan bahwa harga tiket yang lebih rendah dari maskapai penerbangan tarif bawah tersebut disebabkan karena mereka mengkompromikan keselamatan. Belajar dari industri penerbangan di Amerika, harga tiket yang murah tersebut didapat dari penghematan dengan jalan mengurangi kenikmatan penerbangan kepada para penumpangnya. Misalnya dengan memberikan tempat duduk yang lebih sempit, menambah jadwal penerbangan, dan kemudian menjual semua fasilitas penerbangan yang umumnya digratiskan oleh maskapai penerbangan premium seperti bagasi, cemilan, prioritas untuk check-in, atau tempat duduk yang lebih lega. Sejauh yang saya ketahui, modus yang sama juga dipakai di Indonesia.
     
    Jadi, apakah kualitas keamanan penerbangan Indonesia akan menjadi lebih baik karena aturan Menteri Perhubungan itu? Tidak jelas. Yang pasti terlalu banyak angan-angan dan asumsi dalam kebijakan kali ini. Lebih parah lagi, kebijakan pencitraan seperti ini hanya mengalihkan kita dari isu yang lebih krusial dan sudah ada di depan mata selama bertahun-tahun tanpa ada perbaikan yang memadai. 

    Walaupun kematian karena kecelakaan mobil dan motor di jalan raya selalu memakan korban jiwa berkali-kali lipat lebih banyak per tahun dibandingkan dengan kecelakaan pesawat yang jarang terjadi, sebagaimana saya sampaikan di atas, kasus kecelakaan penerbangan selalu menyita porsi berita yang lebih besar. Orang umumnya lebih mudah mengasosiasikan dirinya dengan kasus-kasus besar dibanding dengan kasus yang terkesan biasa-biasa saja seperti meninggal karena kecelakaan motor yang sudah menjadi rutinitas harian. Karena rutin, nilai informasinya juga menjadi lebih rendah. Tak heran kita tak pernah mendengar kisah hidup dan cita-cita dari seorang pengendara motor yang tewas karena sembrono di jalanan. Bandingkan dengan kisah penumpang dari pesawat yang jatuh.

    Jangan salah paham dan cepat-cepat berkomentar bahwa saya sedang membahas tragedi mana yang lebih tragis. Ini bukan soal persaingan drama dan sinetron. Saya juga tidak sedang berargumen untuk menafikan tragedi kecelakaan pesawat. Jelas tetap penting untuk mengetahui apa penyebab kecelakaan tersebut, siapa yang seharusnya bertanggung jawab dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki masalah serupa di masa depan (setelah selesai dipelajari secara seksama). Industri penerbangan menjadi industri transportasi paling aman di dunia karena setiap kecelakaan selalu dipelajari dengan serius. Hanya saja, kalau kita menganggap bahwa nyawa yang hilang di udara setara nilainya dengan nyawa yang hilang di darat, sebenarnya kita sudah berada dalam keadaan gawat darurat terkait dengan moda transportasi darat dan ini yang seharusnya menjadi prioritas Departemen Perhubungan seandainya mereka memang serius mau menjadi regulator yang baik.      

    Pertama-tama, kita perlu berhenti menggunakan retorika tentang pentingnya keselamatan di atas segala-galanya (yang juga dijadikan sebagai alasan untuk mengatur soal harga tiket maskapai). Retorika ini memang terlihat elegan pada saat suatu kecelakaan besar terjadi, tetapi sebenarnya tidak berguna dalam menyusun kebijakan. Pada dasarnya, semua ada harganya sepanjang resiko kematian karena kecelakaan tidak 100%. Tidak percaya?

    Setiap saat kita melakukan analisis biaya manfaat/untung rugi dalam seluruh aspek kehidupan kita. Mengendarai mobil jelas meningkatkan resiko kematian kita, tetapi kita tetap menggunakan mobil karena kenyamanan yang ditawarkan oleh mobil. Kalau benar keselamatan ada di atas segala-galanya, maka tidak ada satu pun metode transportasi yang diperbolehkan beroperasi di muka bumi ini. Kita semua cukup jalan kaki saja, dijamin tidak ada kecelakaan lalu lintas, laut, dan pesawat. Angka kematian karena kecelakaan juga pasti menghilang. Masalahnya kemudian apakah biaya dan waktu yang hilang karena konektivitas kita berkurang drastis dapat menjustifikasi peningkatan keselamatan yang kita dapat karena semua manusia berjalan kaki?

    Dengan kata lain, fitur keamanan penting dan perlu dibayar biayanya sampai titik tertentu, titik yang optimum. Ketika biaya untuk mendapatkan keamanan terlalu tinggi, orang harus memilih apakah mereka akan tetap melakukan aktivitas tersebut atau tidak. Ini berarti bahwa yang saat ini perlu kita ketahui adalah seberapa besar biaya keselamatan yang optimum dan seberapa jauh masyarakat bersedia untuk membayarnya? Kebijakan asal-asalan akan kontra produktif.

    Sebagai contoh, katakanlah demi "keamanan", harga tiket pesawat dipaksa untuk dinaikkan. Karena harganya menjadi terlalu mahal, sebagian konsumen kemudian memutuskan untuk tidak menggunakan pesawat dan beralih ke transportasi darat. Tanpa ada perbaikan di darat, bertambahnya jumlah pengendara kendaraan bermotor berpotensi meningkatkan kecelakaan. Sementara itu, tidak jelas pula apakah ada peningkatan keamanan yang signifikan di industri penerbangan. Lagi-lagi masyarakat yang harus menanggung biaya tambahan itu. Apa ini contoh kepedulian pemerintah terhadap keamanan transportasi?

    Kedua, saya perlu mengingatkan kembali bahwa penyusunan kebijakan publik harus berbasis data, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Prioritas terhadap perbaikan dan regulasi sistem transportasi tidak bisa didasarkan sekedar pada sensasi yang dibuat oleh media. Kasus kecelakaan pesawat memang menyita perhatian dan terkesan lebih menakutkan, tapi secara umum, kondisi transportasi udara masih lebih baik dibanding dengan kondisi di darat dan laut. Ini yang perlu disampaikan sehingga masyarakat juga tidak mengalami ketakutan yang tidak perlu. Masyarakat juga perlu senantiasa mengingatkan pemimpinnya ketika mereka tidak paham prioritas yang benar. Tunjukkan juga bahwa pencitraan yang berlebihan tidak disukai. Kalau pejabat tahu pencitraan tidak lagi disukai, mereka juga memiliki insentif yang lebih tinggi untuk tidak sibuk menjalankan pencitraan.  

    Terakhir, daripada bermain-main dengan ranah yang belum pasti macam hubungan antara tarif dan keselamatan penerbangan, banyak aspek yang bisa menjadi perhatian Departemen Perhubungan dalam menangani isu transportasi darat. Sebagian besar dari isu-isu tersebut sudah saya diskusikan di sini. Pekerjaan rumah kita masih tersisa banyak sekali. Jangan buang-buang waktu dengan retorika dan pencitraan!
  • Persaingan Sehat Antar Agama dan Aliran


    Dalam artikel saya sebelumnya, saya membahas fenomena kemalasan dalam beragama, khususnya agama Islam, dan implikasinya terhadap kajian-kajian Islam itu sendiri. Salah satu kritik saya adalah kita terlalu banyak berdebat soal akidah (yang sebenarnya tidak terlalu rumit) dan melupakan bagaimana nilai-nilai agung dalam Islam dan Hukum Islam dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu contoh yang saya bahas adalah kajian mengenai hukum mengucapkan selamat natal yang rutin terjadi setiap tahun, serutin debat soal "kita belum benar-benar merdeka" setiap tanggal 17 Agustus atau "apakah Kartini sebenarnya pembela wanita atau bukan" setiap hari Kartini.

    Tetapi yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa isu akidah ini seringkali dipakai untuk memanaskan situasi dan adu domba antar umat beragama, bahkan pembantaian terhadap umat dengan agama atau aliran lainnya. Seakan-akan kalau sudah soal akidah, menghalalkan darah pun tidak apa-apa. Belum lagi kalau kemudian isu ini diperkeruh dengan aksi retorika yang tidak bertanggung jawab, seakan-akan kita senantiasa berada dalam kondisi siap berperang antar umat beragama. Apa manfaat dari kajian dan retorika seperti itu?   

    Kita harus mengingat kembali bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi. Fakta bahwa bangsa ini masih bisa bertahan sampai sekarang dengan tingkat keragaman tersebut sebenarnya sudah luar biasa mengingat potensi konflik tentu akan selalu ada dan dalam beberapa kasus, tak bisa dihindari. Dengan situasi seperti itu, kita tidak butuh tambahan bibit-bibit api yang dapat menimbulkan konflik baru, kita justru butuh upaya-upaya yang dapat mengurangi konflik! 

    Isunya sederhana, konflik antar anggota masyarakat tak pernah menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Lebih tepatnya, konflik hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang sementara biayanya ditanggung banyak orang. Contoh konflik di Ambon dan Poso. Berapa banyak nyawa dan harta terbuang? Berapa banyak investasi sosial (termasuk kerukunan) yang sebelumnya sudah ada menjadi hilang? Apakah luka di hati masing-masing pemeluk agama itu sudah sembuh sepenuhnya? Mungkin luka itu akan permanen dan rasa ketidakpercayaan antar warga tidak akan pernah hilang, walaupun bisa jadi sudah berkurang. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

    Belum lagi ongkos yang ditanggung karena agama dicitrakan secara buruk. Saya tidak akan heran kalau ada orang yang memilih lari dari agama atau menolak ide agama secara keseluruhan. Bicara bahwa inti dari semua agama adalah soal kedamaian dan cinta kasih itu gampang. Tapi kalau prakteknya diisi dengan bunuh-bunuhan dan kalimat kebencian, semua omongan tentang kedamaian itu menjadi omong kosong. Bagaimana caranya kita bisa membela kehormatan agama Islam kalau misalnya kasus pembunuhan orang Ahmadiyah di Cikeusik dianggap angin lalu, atau pengusiran terhadap kaum Syiah di Sampang dianggap sah-sah saja?

    Saya bahkan tidak terlalu peduli bagaimana agama lain atau bangsa lain memperlakukan umat Islam. Saya lebih peduli soal bagaimana umat Islam memperlakukan orang lain, khususnya selaku mayoritas. Karena ini soal nama baik umat Islam, yang seharusnya menduduki posisi utama bagi orang Islam (atau yang mengaku ingin membela Islam). Kita bisa bilang bahwa pelaku pembunuhan dan pengusiran itu hanyalah oknum, tapi kalau diam-diam ada orang yang mengaku Islam dan menyetujui tindakan tersebut, misalnya karena itu adalah tindakan retaliasi terhadap perlakuan terhadap umat Islam di belahan dunia lain, agama Islam mungkin sudah berada dalam kondisi gawat darurat.

    Kalau kita benar-benar mau lebih serius menghitung untung rugi tindakan kita, mengurangi konflik antar umat adalah langkah yang paling rasional dan optimal. Analoginya, ada satu perusahaan yang karyawannya selalu bertengkar antar sesamanya padahal secara individu, masing-masing karyawan dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan. Bagaimana kita akan jadi produktif kalau kita tak bisa bekerja sama dan saling percaya?

    Dalam hal ini, saya berpandangan bahwa kajian akidah yang terlalu keras hanya akan menciptakan bibit-bibit konflik. Bayangkan kalau hal yang sama diulang-ulang terus setiap hari. Yang kita ingat cuma konflik di mana-mana. Kita selalu diingatkan dengan luka lama, kita dianjurkan untuk curiga dengan umat agama lain. Untuk apa? Padahal isu akidah itu sangat sederhana, setidaknya untuk umat Islam.

    Sayangnya, selama kondisi masyarakatnya masih malas mempelajari ilmu agama, kajian akidah yang berlebihan ini menjadi sangat menarik. Mengapa demikian? Karena isu akidah memang gampang untuk dibawa kemana-mana dan terkesan sangat penting. Dalam kajian akidah, akidah adalah pilar utama agama. Kalau akidahnya tidak benar, seorang muslim tidak bisa masuk surga. Dan kalau akidahnya sudah benar, maka sekalipun hidupnya begajulan dan tak bermanfaat untuk dunia ini, dia tidak akan di neraka untuk selamanya. Tambahkan pula konsep orang kafir pasti masuk neraka, dan makin jumawalah perasaan orang-orang malas ini.

    Penganjur kajian ini sendiri menurut saya tak bertanggung jawab karena sebenarnya mereka sedang menjerumuskan umatnya sendiri. Bahkan jika seandainya mereka berniat baik pun, niat itu tak mengurangi kadar kebahayaan mereka. Dalam kitab Minhajul Abidin, Imam Al Ghazali mengingatkan bahayanya ahli ibadah yang tak mau belajar dan mendalami agama, dan merasa cukup hanya dengan beribadah secara ritual saja: mereka menjadi gampang ditipu oleh setan.

    Apalagi kalau ternyata dibalik semua itu, hasrat duniawi untuk mendapatkan harta dan ketenaran lebih dominan sebagai dasar untuk terus memberikan kajian yang tak bertanggung jawab. Ya, saya sudah sampaikan bahwa ibadah itu soal untung rugi, dan analisis untung rugi orang-orang ini salah maksimal, anda menjual agama anda terlalu murah kalau anda mau menjerumuskan orang lain dengan imbalan tak seberapa.

    Isu akidah Islam sederhana: Tuhan hanya ada 1, yaitu Allah. Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad. Kitab suci Quran berasal dari Allah. Dan akan ada kiamat suatu hari nanti sebagai hari pengadilan terakhir. Cukup sampai di situ dan menurut saya kajiannya sudah lengkap. Jangan kebablasan seperti ahli teologi yang bertengkar sampai saling membunuh dan menyiksa seperti kaum Mu'tazilah yang tega menggunakan pengaruh politik untuk menyiksa ulama yang tak sependapat dengan konsep kemakhlukan Qur'an dan kemudian ketika situasi politik berbalik, mereka sendiri yang dibantai. Kekerasan agama cuma menciptakan lingkaran balas dendam tak berkesudahan.

    Apakah mengikuti hukum-hukum Tuhan masuk isu akidah? Menurut saya tidak karena isu hukum selalu dapat diinterpretasikan secara berbeda. Kalau kita mau bicara hal-hal apa yang sudah benar-benar disepakati dalam Islam, minimal kaum Sunni, maka hanya ada 5 aspek yang sudah disetujui secara total. Muslim harus membaca syahadat, sholat 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan naik haji apabila mampu. Teknis shalat, puasa, pembayaran dan besaran zakat serta pelaksanaan haji itu penuh debat. Itu saja baru soal ibadah, belum masuk isu muamalah!

    Isu akidah bicara tentang kemutlakan. Dengan demikian, ia harus fokus pada hal yang mutlak-mutlak saja karena ia tak bisa diubah lagi. Hukum bisa berubah, memaksakan isu ini menjadi isu akidah hanya akan menambah konflik baru. Sebagai contoh, karena perbudakan tidak pernah diharamkan secara mutlak, bagaimana kita akan menyatakan bahwa perbudakan haram sementara Allah berkali-kali membahas dalam Quran: jangan mengharamkan apa yang sudah dihalalkan oleh Allah? Menarik ketika Yusuf Qardhawi seakan-akan sudah membahas semua hal di muka bumi ini soal halal dan haram dalam bukunya "Halal dan Haram Dalam Islam", tapi kelupaan membahas soal halal haramnya perbudakan. Faktanya, dalam kitab fikih klasik, berhubungan seksual dengan budak tidak dikategorikan sebagai perbuatan zina. Dengan demikian perbudakan tidak haram dalam konsep fikih klasik karena kalau perbudakan haram, tentunya berhubungan seksual dengan budak pun turut menjadi haram.

    Atau bagaimana misalnya dengan pembatasan hak suami untuk menceraikan istrinya hanya melalui pengadilan. Konsep ini tidak ada dalam hukum Islam klasik, apalagi jaman Nabi. Dulu talak sah seketika setelah diucapkan oleh suami. Apakah kita akan menyatakan bahwa konsep yang sekarang sudah dianut di banyak negara Muslim ini (termasuk di Indonesia) adalah sesat dan ulama-ulama yang mendukungnya kafir? Hanya orang tak berilmu yang gampang mengafirkan orang lain karena berbeda pendapat. Ini mengapa isu hukum sebaiknya tidak dibawa ke dalam ranah akidah.

    Apalagi isu yang sebenarnya sangat remeh temeh seperti mengucapkan selamat natal. Berapa banyak energi terbuang bahkan dari ulama mumpuni untuk membahas pertanyaan-pertanyaan culun ini? Saya teringat Hadis Muslim nomor 5821 dimana Nabi menyatakan bahwa salah satu orang Muslim yang paling berat dosanya adalah dia yang membuat suatu hal yang tadinya tidak diharamkan menjadi haram karena dia terlalu banyak bertanya kepada Nabi. Pesannya jelas, jangan menyusahkan diri sendiri. Kaidah fikih yang terkenal dalam bidang muamalah: secara umum semua hal diperbolehkan kecuali secara tegas dilarang. Quran pun sudah mengingatkan melalui kisah kaum Yahudi dan sapi dalam Al-Baqarah. Mereka awalnya hanya disuruh mencari satu ekor sapi betina, namun mereka terus menerus bertanya dan mempersulit diri mereka sendiri sampai hampir-hampir mereka tidak berhasil menemukan sapi yang dimaksud.

    Isu natal ini kan mudah sekali. Apakah anda menganggap Yesus sebagai Tuhan ketika mengucapkan selamat natal? Tidak? Selesai isunya. Tapi tentu ada saja yang ribut bertanya terus karena tak puas, sampai kemudian kajian merambat kemana-mana, termasuk soal konsep tasyabbuh (menyerupai umat lain). Saya akan bahas lain kesempatan soal tasyabbuh melalui pendekatan ekonomi. Tapi singkat kata, debat seperti ini buang-buang waktu. Pernahkah terpikirkan bahwa orang lain menyaksikan debat kita soal isu ucapan selamat natal? Mungkin mereka bingung, umat Muslim ini sedang ngapain sebenarnya? Mereka meributkan musuh yang sebenarnya tidak ada. Delusional.

    Di tingkat yang lebih buruk, isu yang juga kerap muncul adalah soal penyebaran agama lain. Ucapan natal dan perayaan natal bersama misalnya dianggap sebagai bagian dari upaya kristenisasi. Oleh karenanya, tindakan tersebut harus dilarang. Toleransi standar dianggap sebagai bagian dari perusakan akidah. Apalagi kalau sudah melibatkan aktivitas bantuan sosial. Unsur kristenisasi makin kuat. Jaman saya masih sering membaca majalah Sabili dulu, isu kristenisasi tak pernah usang. Kita semua sedang dalam keadaan perang.

    Saya khawatir orang-orang ini lupa bahwa Islam mungkin adalah agama yang pertama kali mengenalkan konsep insentif ekonomi untuk mencari pengikut baru. Ajaran kristen klasik sangat asketis. Mengikuti Yesus berarti menderita dan hidup sengsara. Islam menolak konsep itu (lihat Hadis Muslim No. 2587 soal larangan ibadah yang menyakiti badan sendiri). Islam bahkan memasukkan mualaf, orang-orang yang baru masuk Islam atau sudah condong untuk masuk Islam, sebagai bagian resmi dari 8 kategori penerima zakat.

    Dalam sejarah Islam pun, kaum-kaum yang ikut berperang bersama Nabi di awal-awal masa penyebaran Islam menerima pembayaran tahunan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berperang setelahnya. Mengapa? Karena mereka yang sudah berjuang lebih lama dan lebih keras dibanding penerusnya lebih berhak menerima upah yang lebih besar.

    Kalau ini bukan penggunaan insentif ekonomi, saya tidak tahu lagi harus menyebutnya sebagai apa. Islam jelas-jelas mengajarkan bahwa untuk menggaet hati anggota umat baru, kita bisa memberikan mereka kompensasi finansial! Islam itu bicara bisnis dan keuntungan. Kalau sampai ada umat Islam yang pindah agama karena urusan harta, yang paling berdosa ya umat Islam sendiri! Sistem zakatnya berarti tidak berjalan dengan baik sampai-sampai ada saudara Muslim yang lolos ke agama lain. Konyol kalau kemudian menyalahkan agama lain karena kita sendiri tidak mampu bersaing dengan sehat.

    Menjadi ironis ketika Islam sudah mengembangkan konsep insentif ekonomi ini jauh sebelum umat kristen menemukan konsep misionaris dengan menggunakan bantuan sosial dan pendanaan yang lebih canggih dan sekarang kita cuma mendapatkan buih-buih kotor dalam kaum kita, tak berduit, tak berdaya, dan hanya bisa minta negara untuk melarang-larang umat lain menyebarkan agamanya. Mungkin memang pantas kita disingkirkan dari tahta kekuasaan jaman dahulu. Bagaimana tidak? Sedikit-sedikit minta bantuan penguasa layaknya anak cengeng yang permennya direbut kemudian melapor ke orang tuanya. Lebih lucu lagi, permennya sebenarnya tidak direbut, dia sendiri yang melempar permen itu, lalu dipungut anak lain.

    Dan yang paling parah dari semua itu, kajian akidah yang kebablasan ini juga membuat sebagian kaum Muslim menjadi permisif terhadap kekerasan terhadap umat lain, atau aliran lain. Katakanlah Ahmadiyah memang seharusnya tidak mengaku-ngaku sebagai bagian dari Islam dengan konsep ajarannya yang tidak sesuai dengan akidah Islam. Lantas kita berhak membunuh mereka? Atau kita juga berhak mengusir kaum Syiah karena mereka percaya soal kekhilafahan Ali dan keturunannya dan kita anggap sesat? Saya tidak tahu orang-orang yang merasa akidahnya sudah sempurna itu belajar dari mana. Dari Nabi atau dari Abu Lahab, Abu Jahal dan konco-konconya?

    Kemungkinan besar yang kedua, karena tingkah laku yang gemar mengusir dan membunuh orang dari aliran lain ini persis seperti apa yang dilakukan oleh kaum penyembah berhala di masa jahiliyah terhadap komunitas Muslim yang merupakan kaum minoritas. Apa bedanya? Menurut kaum penyembah berhala ini, orang-orang yang menyembah Allah itu telah menistakan Latta dan Uzza. Kaum minoritas ini pantas disiksa, dicaci dan dibunuh. Rupa-rupanya bagi orang-orang yang mendukung pengusiran dan pembantaian itu, setelah kaum Muslim menjadi mayoritas, mereka berhak mengikuti gaya kaum jahiliyyah. Saatnya balas dendam.

    Masalahnya lagi-lagi citra umat Islam secara keseluruhan yang terkena dampaknya. Pernahkah kaum pendukung kekerasan ini berpikir kalau tingkah laku mereka itu sama saja menyatakan bahwa Nabi dan para Sahabatnya dulu sebenarnya hanya membuat pencitraan. Nabi pura-pura baik dan ramah ketika masih jadi minoritas dan sedang dalam proses mengembangkan kekuasaan Islam. Tetapi setelah jadi mayoritas, muncul wajah aslinya, wajah kebuasan yang sama yang menyiksa kaum minoritas Muslim ketika mereka masih tinggal di Mekkah selama 13 tahun. Saya sih jelas tidak percaya bahwa pribadi terbaik dalam Islam adalah seorang penipu.

    Anda pikir anda bisa bebas saja merusak nama baik Islam tanpa ada pertanggungjawaban kelak? Anda pikir retorika omong kosong anda soal kemurnian agama itu akan melindungi anda nanti di hari akhir? Saya hanya mengucapkan, semoga anda beruntung kelak, karena tanda-tandanya tak baik. Kita semua tahu Abu Lahab masuk neraka dan namanya diabadikan dalam Al-Quran. Prestasi luar biasa sebagai penjahat. Tak lupa pula istrinya ikut diabadikan sebagai tukang fitnah. Lengkap.

    Sebagai penutup, banyak yang bisa kita pelajari dari kasus kaum jahiliyyah. Sekarang mungkin gampang bagi anda untuk menyatakan betapa bodohnya kaum penyembah berhala itu, kok batu disembah? Masalahnya dulu kaum penyembah berhala itu berkuasa penuh dan mereka juga bisa bilang hal yang sama ke umat Muslim, sesuatu yang tak terlihat kok disembah? Ini mengapa saya khawatir sekali soal Undang-Undang Penistaan Agama, di tangan mayoritas yang bodoh dan kasar, kaum minoritas akan menderita seperti waktu di Mekkah dulu.

    Lebih baik kita bebaskan semua agama untuk bersaing secara sehat dalam menggaet umat. Tidak perlu khawatir. Kalau kita percaya diri dengan kemampuan kita, baik secara keilmuan maupun finansial, kalau kita percaya bahwa Islam seharusnya menjadi pemenang, mau ada "serangan" apapun dari luar, tidak ada yang perlu ditakuti.

    Lagipula, tak ada gunanya juga curiga dengan umat lain atau ketakutan bahwa iman kita akan tergerogoti. Saya 12 tahun bersekolah di sekolah kristen protestan dan katolik, ikut misa, ikut paduan suara dan bahkan jadi solis untuk merayakan 70 tahun sekolah saya dulu. Nilai agama saya juga rata-rata selalu paling tinggi di kelas. Apakah kemudian saya jadi pindah agama? Atau menjadi yakin dengan keimanan kristen? Sama sekali tidak.

    Apakah kemudian saya harus membenci mereka atau perang dengan orang yang beda agama? Kepala keluarga angkat saya di Chicago adalah seorang pendeta. Keluarga mereka mungkin adalah keluarga paling ramah dan baik yang pernah saya temui (jauh lebih baik dibanding kebanyakan orang Indonesia yang saya temui). Kita bisa hidup damai dan bercengkerama dengan baik tanpa perlu meributkan soal akidah masing-masing!

    Saya tidak ambil pusing dengan konsep yang menurut saya salah. Saya juga tidak peduli apakah kelak semua orang kafir akan masuk neraka atau tidak. Karena jujur saja, itu bukan urusan saya. Nilai Islam yang saya pelajari peduli pada isu-isu aktual di masyarakat, soal memajukan kesejahteraan dan menjadi orang yang berguna. Masalah siapa yang masuk surga dan neraka, saya serahkan pada Allah. Lagian, kita sendiri saja tidak tahu kita akan masuk surga atau neraka, kok merasa diri sudah jagoan mengurusi orang lain akan masuk mana, apalagi kalau sampai memanas-manasi orang lain untuk berkonflik ria.

    Ketika kita menyusun kebijakan publik, efeknya riil, bisa diukur walau tak sempurna, dan bisa dilihat apakah ada manfaatnya atau tidak. Bicara akidah? Bicara surga dan neraka? Terlalu jauh dan tak bisa kita kontrol. Jadi untuk apa ribut terus menerus? Jangan dibikin ribet. Waktu kita terbatas, beranjaklah dari soal akidah ke hal-hal lain yang lebih konkrit, semacam soal hukum, ekonomi dan ilmu-ilmu lainnya. Terus menerus berkutat di isu akidah ini ibarat anak SD yang tak ingin lulus dari SD menuju ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, walaupun dia sudah puluhan tahun di sana. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang merugi karena tak mau maju. 
  • Mendidik Bukan Sekedar Pengabdian


    Kalau saya hanya boleh memilih satu masalah terbesar di Indonesia yang perlu diselesaikan dengan segera, maka pilihan saya akan jatuh pada konsep mendidik sebagai bentuk pengabdian (semisal istilah: "guru, pahlawan tanpa tanda jasa"). Konsep ini mungkin merupakan salah satu konsep paling berbahaya yang pernah saya temui karena dampaknya sangat buruk namun tidak pernah dianggap sebagai masalah serius, bahkan malah dianjurkan sebagai solusi!    

    Mengapa ini ide yang buruk? Karena pada prinsipnya ide ini tidak memperhatikan insentif manusia dengan baik dan lebih suka memaksakan impian kosong bahwa semua pengajar harus suka dan merasa wajib mengabdi dengan imbalan yang tak seberapa. Gara-gara ide ini, guru dan dosen diajari atau bahkan mungkin didoktrin untuk percaya bahwa mereka sedang melakukan tugas mulia dan bahwa sudah seharusnya mereka tidak menuntut banyak dalam soal gaji dan fasilitas karena uang akan mengotori kemuliaan jabatan mereka.    

    Tentu saja kita boleh berangan-angan bahwa semua pengajar di Indonesia adalah orang-orang yang mengajar tanpa rasa pamrih, puas cukup dengan "kehormatan", dan hidup bagai pertapa atau begawan. Tapi setiap angan-angan akan tunduk pada realitas. Realitasnya, konsep pendidikan sebagai pengabdian ini bukan saja menyengsarakan hidup pengajar, tetapi lebih jahat lagi, konsep ini juga merugikan para anak didik yang butuh pendidikan yang berkualitas.

    Pertama-tama, mari kita bayangkan pengabdian sebagai suatu komoditas. Setiap komoditas memiliki suatu harga tertentu. Karena kelangkaan sumber daya, baik pendapatan dan waktu, setiap orang harus memilih bagaimana ia akan mengalokasikan sumber dayanya untuk mengkonsumsi berbagai komoditas yang tersedia. Dalam konteks ini, konsumsi terhadap komoditas pengabdian akan bersaing dengan komoditas lainnya, seperti makanan, rumah, liburan, hiburan, mainan, dan masih banyak lagi.

    Tidak ada harga komoditas yang senantiasa tetap. Ia akan berubah mengikuti situasi dan kondisi, khususnya kondisi pasar dan kebijakan pemerintah. Hal ini pun berlaku bagi pengabdian. Sebagai ilustrasi, ketika seorang pengajar di Indonesia masih muda, hidup sendirian tanpa tanggungan, atau bahkan masih hidup bersama dan disokong oleh orang tuanya, konsep pengabdian mungkin masih akan terkesan menarik. Gajinya memang tidak banyak, tetapi karena hidupnya disubsidi dan biaya kesempatannya (opportunity costs) belum terlalu tinggi (pekerjaan lain misalnya tidak menawarkan gaji yang berbeda terlau jauh), si pengajar masih akan memilih pengabdian dan memuaskan dirinya dengan perasaan senang karena bisa mengabdi. 

    Namun suatu hari nanti ia mungkin akan berkeluarga, sokongan orang tua berakhir, dan akan ada pekerjaan lain yang menawarkan penghasilan yang jauh lebih tinggi. Semakin lama, biaya aktual dan biaya kesempatan untuk mengkonsumsi pengabdian akan bertambah semakin besar, dan harganya pun menjadi semakin mahal. Beberapa orang bisa jadi tetap memilih untuk mengkonsumsi pengabdian dalam jumlah yang tetap. Namun karena pendapatannya tidak bertambah cukup banyak untuk menyokong konsumsi produk lainnya, ia harus mensubstitusikan produk lainnya dengan pengabdian, yang berarti konsumsi atas produk lain akan menurun.

    Alternatif lainnya, ia justru memilih untuk mengurangi konsumsi terhadap pengabdian, dan untuk itu, ia akan mengambil alternatif atau tambahan pekerjaan yang memberikan pendapatan yang lebih baik sehingga ia bisa mengkonsumsi produk lainnya lebih banyak. Pertanyaannya, secara statistik, mana yang lebih banyak di Indonesia, manusia yang memilih opsi pertama (pertahankan konsumsi pengabdian) atau opsi kedua (kurangi konsumsi pengabdian)? Ini pertanyaan paling penting yang harus dijawab oleh semua orang yang sibuk mendukung konsep pendidikan sebagai pengabdian, karena implikasinya luar biasa.

    Saya sudah berkali-kali menulis bahwa investasi pendidikan adalah hal yang maha penting. Ini berarti bahwa seharusnya orang-orang yang menjadi pengajar adalah orang-orang terbaik yang bisa ditemukan dalam suatu negara karena mereka nantinya akan berperan penting dalam menentukan kualitas akhir dari anak-anak didiknya. Apakah dengan sistem saat ini, kita sudah memastikan bahwa sekolah dan universitas kita sudah dipenuhi dengan orang-orang terbaik? Lebih penting lagi, apakah kita juga sudah memastikan bahwa mayoritas pengajar kita saat ini sudah diberikan insentif yang tepat untuk menjalankan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya?

    Saya akan memberikan perbandingan atas pendidikan yang saya terima ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan di University of Chicago Law School. Pada saat kuliah S1, saya berpikir bahwa saya sudah bersekolah di sekolah yang luar biasa berkualitas. Namun ketika saya pergi ke Chicago, saya baru menyadari bahwa pemahaman saya salah luar biasa. Perbedaannya adalah bagaikan bumi dan langit.

    Ketika kuliah S1, kebanyakan dosen saya sulit untuk diakses atau ditemui. Kebanyakan kuliah bersifat monoton. Semua yang diajarkan ada dalam diktat. Saking lengkapnya diktat tersebut, sebenarnya tidak perlu ada kuliah, karena tidak ada nilai tambah dari kuliah yang cuma membaca isi diktat. Saya juga sulit merasakan hasrat mengajar yang tinggi dari para dosen tersebut. Menemukan dosen yang ketus ketika ditanya atau merasa superior (hanya karena ia menjadi dosen) juga tidak sulit. Dan karena bahan bacaannya juga tidak banyak (cuma diktat), saya bisa menghabiskan waktu saya untuk membaca buku-buku lainnya (makanya saya punya waktu untuk belajar hukum Islam dan hal-hal lainnya).

    Saya juga sulit untuk menilai kualitas dosen, apakah benar-benar bermutu dan pandai atau tidak? Tentu ada beberapa yang eksepsional, tapi orang-orang ini anomali, bukan norma kebiasaan. Ya kalau bahan ajar lagi-lagi hanya dari diktat atau menyalin buku teks standar, apa susahnya? Belum lagi menemukan artikel ilmiah dosen yang bisa jadi bahan bacaan. Jarang sekali.

    Baru-baru ini, ketika saya sempat diminta melatih tim mahasiswa untuk berkompetisi di kampus, saya sempat menanyakan, kenapa mereka tidak bertanya pada dosen untuk minta dilatih? Ternyata mereka sudah bertanya, tetapi lagi-lagi tidak mendapatkan respon yang bersemangat, malah cenderung ketus, sehingga mereka pun juga menjadi tidak bersemangat untuk bertanya lebih lanjut.

    Bagaimana dengan Chicago? Profesor di Chicago sangat mudah diakses. Mereka memang tidak selalu ada di kampus karena jadwal mereka padat, tetapi mereka selalu menempatkan jadwal resmi dimana murid bisa menemui mereka untuk berdiskusi tentang apa saja. Email pun pasti dibalas. Setiap selesai kuliah, mereka akan tinggal di kelas sekitar 5 sampai 10 menit untuk melayani murid-murid yang berduyun-duyun minta berdiskusi. Kalau lebih dari 10 menit, dan ruang kelas sudah akan dipakai pengajar lain, murid-murid bisa berdiskusi lagi di luar kelas seketika itu juga sampai mereka puas.

    Produktivitas para profesornya juga luar biasa. Alumni Chicago Law School selalu dikirimi majalah 6 bulanan yang berisi berbagai artikel dari para profesor dan perkembangan terakhir Law School, termasuk kabar alumni. Di majalah itu, Dekan selalu membangga-banggakan produktivitas para profesor dalam menulis artikel ilmiah dan menyertakan daftar artikel-artikel tersebut dalam periode 6 bulan sampai 1 tahun terakhir. Untuk tahun 2013-2014, dengan 40 anggota fakultas, daftar karya ilmiah mereka mencapai 12 halaman, 10% dari jumlah tebal majalah tersebut. Ini hanya daftarnya saja karena begitu banyaknya yang diproduksi. Berita yang saya dapat dari kampus di Indonesia? Gedung baru. Artikel baru? Masih dinanti.

    Salah satu profesor saya pernah bercerita, kalau almarhum profesor-profesor Chicago seperti Gary Becker (pemenang Nobel tahun 1992) masih sibuk mengajar dan menulis di usia 80 tahun dan Ronald Coase (pemenang Nobel tahun 1991) masih bisa mengeluarkan satu buku di usia 101 tahun, profesor yang usianya "baru" 60-an tahun akan malu bukan kepalang kalau mereka tidak produktif. Richard Posner (pendiri aliran Law & Econ, Hakim Senior di Federal Court of 7th Circuit dan pengajar di Chicago) adalah ahli hukum paling produktif di Amerika Serikat (anda bisa mengakses CV-nya yang tebalnya 188 halaman karena berisikan seluruh buku, artikel ilmiah dan putusan yang dia buat di sini). Richard Epstein dan Erick Posner (anak dari Richard Posner), yang dua-duanya mengajar di Chicago menempati urutan ketiga dan keempat sebagai profesor yang karya ilmiahnya paling banyak dikutip di Amerika Serikat (Richard Posner sebenarnya yang paling banyak namun dia sudah tidak menjabat sebagai profesor). Cass Sunstein, profesor hukum yang paling banyak dikutip di Amerika Serikat, menghabiskan 27 tahun di Chicago sebelum pindah ke Harvard di 2008. Cass Sunstein ini biasa menulis buku baru setahun sekali atau 2 kali, sambil tetap menulis artikel ilmiah di jurnal dan menjadi kolumnis mingguan di koran dan blog. Sungguh, produktivitas saya bagaikan debu dibanding orang-orang ini.

    Orang-orang yang menjadi profesor di Chicago adalah lulusan terbaik di kelasnya, umumnya pernah menjabat sebagai US Supreme Court Clerk, umumnya memiliki gelar PhD dalam bidang lain seperti ekonomi, filsafat, sejarah, atau ilmu politik (karena Chicago sangat mementingkan pendekatan interdisipliner), atau sudah berpengalaman lama sebagai konsultan atau partner di firma hukum elit. Orang-orang ini sangat ramah, murah senyum, dan terlihat penuh hasrat dan minat terhadap ilmu hukum dan ilmu-ilmu lainnya. Kalau mereka mengajar dengan suatu buku teks, isi ajarannya bukan buku teks itu, tetapi kenapa isi buku teks itu salah! Bahan bacaan mingguan pun ratusan halaman. Saking beratnya, Law School menyediakan jasa konsultasi kejiwaan gratis bagi murid-murid yang mungkin stress dengan pendidikan hukum. Boleh dikata, bagi saya, Chicago adalah tempat sempurna untuk mereka yang mendambakan komunitas yang cinta ilmu, dan cinta ilmu dengan sungguh-sungguh, bukan cuma sekedar sibuk menyerukan agar orang cinta ilmu tetapi malas berinvestasi untuk mempelajari sesuatu yang berguna.

    Lalu kenapa kedua institusi ini, FHUI dan University of Chicago Law School, bisa terpaut demikian jauh? Menurut saya salah satu isu utamanya adalah insentif. Gaji awal di University of Chicago adalah sekitar US$100 ribu/tahun. Profesor yang senior bisa mendapatkan US$250-350 ribu/tahun. Saya tidak menyarankan bahwa kemudian FHUI harus membayar profesornya sebesar itu. Karena intinya bukan di besaran gaji absolut, tetapi perbandingan dengan profesi lainnya yang bisa diambil oleh profesor tersebut.

    Gaji awal konsultan hukum junior di firma hukum elit di Amerika Serikat adalah US$160.000 per tahun. Partner bisa mendapatkan US$1 juta per tahun. Partner yang lebih senior lagi bahkan bisa mendapatkan US$3-4 juta setahun. Jadi untuk permulaan, gaji asisten profesor di Chicago (ini setara asisten dosen di Indonesia) berkisar 62,5% dari gaji konsultan hukum. Di level senior, gaji profesor senior sekitar 1/3 atau 1/10 dari gaji Partner. Walaupun lebih kecil, angkanya tetap menarik dan lebih dari cukup untuk hidup. Kehidupan sebagai akademisi juga jelas jauh lebih santai dan menyenangkan dibandingkan dengan bekerja sebagai konsultan hukum.

    Dengan cara seperti ini, menemukan dan mempertahankan orang-orang terbaik tidaklah sulit. Dan murid-murid pun puas. Saya 100% puas dengan kualitas profesor-profesor saya karena saya tahu orang-orang ini memiliki kemampuan yang sangat amat patut dihormati. Untuk apa buang-buang waktu dan uang belajar dari orang yang kemampuannya di bawah kita?

    Tapi rupa-rupanya, kita masih bersikeras bahwa Indonesia dan budayanya yang keren ini memiliki cara yang lebih canggih untuk mendapatkan pengajar terbaik. Yaitu, dengan jalan mengabdi. Boleh saja kalau jumlah orang-orang seperti ini banyak. Tapi kalau hanya sedikit bagaimana? Atau anda masih memaksa bahwa ini adalah budaya khas Indonesia, bahwa kita harus bisa mendidik dan menciptakan pengajar yang siap mengabdi. Oke, tapi berapa banyak biaya yang akan kita keluarkan untuk menciptakan manusia-manusia pertapa ini? Cukup bernilaikah biaya "investasi" kita itu dibandingkan dengan kerugian dari hilangnya produktivitas yang kita hadapi sekarang?         

    Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kalau dosen di Indonesia ketus atau tidak bersemangat menghadapi muridnya. Dengan penghasilan yang minim, jelas mereka banyak pikiran. Semakin tua mereka dan semakin besar kesempatan mereka di luar, semakin tinggi pula insentif mereka untuk mengurangi konsumsi pengabdian. Alternatifnya, mencari pekerjaan di luar. Tapi mereka kan hanya punya satu badan? Akhirnya pekerjaan mengajar terbengkalai.

    Dosen-dosen sudah banyak mengeluh karena beban mengajar terlalu berat sehingga tidak cukup punya waktu untuk riset. Pernah terpikir mengapa jumlah pengajar kurang? Di Amerika, kompetisi untuk masuk menjadi pengajar sangatlah ketat, sampai-sampai banyak lulusan doktor yang tidak mendapatkan pekerjaan karena lowongannya hampir kosong. Di sini?! Dan anda masih saja percaya bahwa kita akan mendapatkan banyak pengajar berkualitas dengan modal mengabdi? Mungkin sebaiknya anda dan teman-teman anda yang trendi ke laut saja karena pemikiran anda menyengsarakan banyak orang!

    Dosen-dosen di Indonesia disuruh memperbanyak riset karena produktivitasnya rendah. Ya tentu saja mereka tidak punya waktu untuk riset. Bagaimana bisa mereka memikirkan riset kalau hidup mereka saja tidak jelas? Lebih baik menulis di koran, syukur-syukur jadi terkenal, nanti jadi kaya karena bekerja sebagai saksi ahli. Ini menyedihkan, tetapi saya lagi-lagi tidak mau menyalahkan dosen-dosen itu. Saya menyalahkan mereka yang berada di posisi pengambilan keputusan dan masyarakat yang ingin memuaskan ego mereka soal pengabdian.

    Kenapa profesor-profesor di Chicago bisa demikian produktifnya? Ya karena itu pekerjaan utama mereka. Mereka dibayar untuk menciptakan karya agung yang bisa membanggakan universitas, murid-murid dan para alumninya. Dan kenyataannya, ini bukan cuma di Chicago, ini model standar dari universitas-universitas elit di Amerika. Persaingan memperebutkan profesor bermutu antar universitas saja boleh dibilang sudah luar biasa keji karena tidak ada tedeng aling-aling. Mereka tak segan menawarkan posisi dan gaji yang lebih tinggi untuk merebut satu profesor dari universitas lain. Chicago sempat "mencuri" akademisi hukum terkenal dari Cornell University, dan baru beberapa bulan, si akademisi diangkat menjadi dekan di Cornell! Di sini? Satu profesor mengisi kelas di banyak universitas demi sesuap nasi. Tidak masuk akal!

    Bagaimana mungkin budaya pendidikan sebagai pengabdian ini bisa dianggap menghormati profesi pengajar? Bagi saya, budaya ini justru menistakan dan menghina pengajar karena mereka tidak dianggap cukup penting untuk menerima prioritas pendanaan. Saya juga tidak akan heran kalau misalnya orang-orang yang menjadi pengajar bukan lulusan terbaik, karena dengan sistem insentif yang buruk, akhirnya orang-orang yang masuk adalah orang-orang yang tahu bahwa di luar sana dia tidak akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Ini kan gila namanya, kita menciptakan pasar pendidikan dimana kita mengusir orang-orang terbaik kita dan mengambil yang terburuk. 180 derajat terbalik dengan Amerika. Saya demikian geramnya dengan fakta ini sehingga kalau ada orang yang masih berani berbicara bahwa ini adalah budaya Indonesia, atau lain budaya lain perkara, saya mungkin akan menyumpal mulutnya dengan sendal.

    Jangan juga coba-coba anda bandingkan dengan negara-negara Skandinavia. Mereka negara homogen dan penduduknya sangat minim. Anda tahu kalau jumlah penduduk Jabodetabek bahkan lebih banyak dari Denmark digabung dengan Swedia? Tidak bisa dijadikan bandingan dengan Indonesia yang sangat beragam dan kompleks. Kita butuh pendekatan yang lebih universal, yang peduli insentif, yang peduli pada hasil yang optimal. Dan kalau anda tertarik untuk tahu bagaimana sistem mereka berjalan dan apa benar sistemnya seperti yang sering dirumorkan, saya sarankan anda google saja dengan pertanyaan sebagai berikut: "why scandinavians are rich?"

    Isu insentif ini juga diperparah dengan konsep pendidikan harus murah untuk semua orang. Karena murah, gaji pengajar juga harus murah. Ini konsep yang salah, sesalah ide bahwa matahari mengelilingi bumi. Pendidikan murah seharusnya diutamakan untuk orang yang membutuhkan dan kalau ada sisanya baru digunakan untuk semua orang. Saya mendukung sepenuhnya agar subsidi pendidikan semakin diperbanyak. Jangan buang-buang uang untuk subsidi konsumtif macam BBM, fokus di investasi yang bisa mengangkat derajat hidup manusia seperti pendidikan.

    Tetapi kalau misalnya dananya tidak cukup, apa yang harus kita lakukan? Ongkos sekolah per tahun di University of Chicago Law School adalah sekitar US$50 ribu pertahun. Ditambah biaya hidup, anda akan menghabiskan US$70 ribu secara keseluruhan. Ini biaya standar untuk sekolah hukum di US. Tetapi masing-masing universitas juga menyediakan program beasiswa atau hutang bagi mahasiswa yang membutuhkan. Bahkan untuk program Doctor of Jurisprudence (PhD) di Chicago, selain gratis membayar biaya kuliah, kita juga diberikan bantuan dana US$15 ribu per tahun (yang berminat silakan mendaftar). 

    Dekan Chicago saat ini, Prof. Michael Schill, dikenal sebagai rain maker. Walaupun sebelumnya sudah terkenal sebagai akademisi hukum properti, ketika menjadi dekan, dia fokus mengurus manajemen dan mencari donatur orang-orang kaya dari berbagai negeri. Dia undang orang-orang ini untuk memberikan seminar dan kuliah umum sambil menunjukkan kualitas murid-murid dan pengajar di Chicago. Uang yang dibawa? Puluhan juta dollar. Paling tidak saat ini 10% dari seluruh murid di Law School sekolah gratis tanpa syarat dengan menggunakan beasiswa dari David Rubinstein, salah satu orang terkaya di Amerika, pemilik firma Private Equity Carlyle Group dan juga lulusan Chicago Law School.

    University of Chicago, sebagaimana universitas-universitas elit lainnya juga menyediakan chair professorship untuk memberikan dana tambahan kepada para profesor dengan jalan mencantumkan nama orang atau perusahaan yang memberikan sumbangan di gelar profesor yang bersangkutan. Baru-baru ini, Chicago mendapatkan dana abadi dari Sidley Austin, salah satu firma hukum terbesar di Amerika, senilai US$1 juta untuk gelar profesor. Dana semacam ini yang kemudian juga digunakan untuk kebutuhan riset.

    Lucunya di Indonesia, masih saja ada orang yang berpikir bahwa hal ini salah. Kalau mau menyumbang, katanya harusnya tanpa pamrih. Anda hidup di dunia nyata atau alam mimpi? Ini prinsip ekonomi dasar yang seharusnya bahkan sudah diajarkan di SMA. Isunya cuma tinggal selektif memilih donatur yang tepat! Tentu selalu terbuka kemungkinan adanya donatur yang mencurigakan. Tetapi kalau menutup seluruh pintu donatur cuma gara-gara ada beberapa yang mencurigakan, hal itu sama saja dengan melarang semua orang naik mobil karena naik mobil meningkatkan probabilitas anda mati karena kecelakaan. Absurd maksimal.

    Jangan pula bermimpi meminta profesor di Indonesia untuk melakukan riset yang bermutu demi mencari dana tambahan bagi universitas. Itu ide yang lebih gila lagi. Sudahlah tidak dibayar dengan baik, bahkan sekarang pengajarnya pun diperah untuk mencari uang tambahan. Ini yang namanya menghormati kaum pengajar? Saya tidak mau berbicara muluk-muluk institusi pendidikan di Indonesia harus bisa begini atau begitu kalau insentif komponen utamanya yang paling mendasar saja tidak diperhatikan.

    Walaupun sangat kaya, University of Chicago adalah lembaga non profit. Akumulasi kekayaannya sebagian besar digunakan untuk investasi pendidikan di masa depan. Ada juga universitas yang mencari profit di Amerika. Kedua model bisnis ini bisa berjalan. Tetapi jangan terjebak dengan istilah profit dan non-profit. Isunya lebih sederhana. Pertama, jangan sampai lebih besar pasak dari tiang. Kedua, kalau kita sebenarnya butuh tiang, tapi uangnya hanya cukup untuk beli pasak, ya kita harus cari tambahan penghasilan atau kita hanya akan berujung dapat pasak. Ini kan ajaran nenek moyang kita, saya tak tahu mengapa konsep sesederhana itu dibikin jadi ribet.

    Sebagai penutup, kemarin saya sempat membaca berita seorang guru yang lumpuh dan miskin, meninggal setelah lama sakit. Sampai wafat, ia masih aktif mengajar. Orang memuji-muji si guru karena sudah mengabdi demikian dahsyat dan menyatakan agar si guru dijadikan contoh. Saya heran bukan kepalang. Guru itu sungguh kesusahan, dan yang ia dapatkan cuma tepuk tangan? Luar biasa jeniusnya bangsa ini. Saya sungguh berharap agar jangan sampai tindakan-tindakan yang mengalienasi orang kaya dari membiayai pendidikan (supaya menjadi lebih murah bagi orang yang membutuhkan) tersebut dilakukan sekedar untuk memuaskan perasaan superior secara moral karena merasa sudah bersih dari nilai-nilai duniawi. Karena kalau benar, harganya mahal sekali demi memuaskan preferensi moral tersebut.

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.