THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Etika dan Moral di Atas Hukum? Suatu Miskonsepsi



    I am gonna be blunt. This article will probably annoy a lot of people but the problem is, the idea that ethics and morals are above the law also annoy me significantly, and given my current mood and mental state, annoying people that annoy me sounds like a good therapy. So, as requested by @sam_ardi, here is my response to the question: apa relasi etika dan moral dengan hukum khususnya terkait dengan situasi politik terkini di Indonesia?

    Visi saya soal keterpisahan moral dan hukum sudah sering saya bahas di blog ini atau di Twitter, termasuk ketidakpercayaan saya akan adanya nilai moral yang objektif dan bahwa moralitas lebih banyak merefleksikan selera pribadi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu periode tertentu ketimbang nilai yang mutlak benar setiap saat. Kalau ada yang mau serius membaca diskusi panjang lebar mengenai keterpisahan moral dan hukum serta konsekuensinya terkait implementasi/penegakan ketentuan moral dan hukum, bisa baca disertasi saya di sini. Versi super sederhananya ada di sini.

    Selain itu, mengingat diskusi kali ini akan berhubungan erat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), saya juga akan membahas kritik saya terhadap model putusan konstitusional/inkonstitusional bersyarat oleh MK yang sebagian besarnya sudah pernah saya sampaikan dalam makalah saya di Indonesia Law Review di tautan ini

    Berhubung isunya lumayan kompleks, alih-alih mendefinisikan apa itu moral dan hukum (yang sampai sekarang belum ada kesepakatan resmi di antara para ahli hukum), saya akan coba menggunakan pendekatan induktif dengan membahas twit berikut dari Erasmus Napitupulu. Erasmus memberikan contoh kenapa etika dan moral berada di atas hukum dengan memberikan analogi bahwa tidak ada ketentuan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang melarang hubungan seksual dengan nenek kakek kita sendiri, tetapi kenyataannya tidak ada yang melakukan hal tersebut. Sekilas penjelasan ini terlihat sederhana (menurut Erasmus), tetapi ini contoh yang salah.  

    Mengapa salah? Karena Erasmus berasumsi bahwa orang tidak berhubungan seksual dengan kakek/neneknya karena adanya nilai-nilai etika dan moral yang sangat adiluhung sehingga sekalipun tidak ada hukum yang melarang, orang-orang tetap tidak berkenan melakukan perbuatan tersebut. Kenyataannya, ada faktor lain yang bisa menjelaskan fenomena di atas: rasa jijik/disgust yang merepresentasikan selera pribadi dari kebanyakan orang. Apakah ada orang yang bisa jadi ingin berhubungan seksual dengan orang yang jauh lebih tua termasuk dengan kakek-neneknya sendiri? Probabilitasnya tidak nol walaupun jelas saya tidak termasuk dalam kategori tersebut (and please don't search it in the internet).

    Contoh Erasmus yang berikutnya sedikit lebih baik dengan jalan mengutip kasus aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Nazi Jerman untuk mendiskriminasikan kaum Yahudi dan aturan apartheid yang pernah legal di Afrika Selatan dan Amerika Serikat dan betapa aturan-aturan tersebut sangat tidak bermoral. Sekilas contoh-contoh Erasmus menunjukkan kemenangan moral di atas hukum, bahwa sudah sepantasnya ada nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hukum formal, tapi sekali lagi saya sampaikan, contoh tersebut tidak menunjukkan adanya nilai moral universal di dunia ini, melainkan justru menunjukkan betapa rapuhnya ide bahwa moralitas dan etika ada di atas hukum.
     
    Kalau kita runut kembali, kenapa orang bisa membuat aturan yang sangat diskriminatif macam aturan Nazi dan apartheid? Jawabannya akan sama dengan mengapa di masa lampau menikahi anak kecil dianggap suatu hal yang lumrah (dan faktanya sampai sekarang pun praktek ini masih berjalan di berbagai wilayah di planet Bumi termasuk di Indonesia), mengapa perbudakan menjadi institusi yang bisa berjalan santai selama ribuan tahun, dan mengapa sekarang Israel menjadi kaum yang 11-12 dengan Nazi Jerman (they live long enough to become the new villain). Karena di pandangan manusia-manusia ini, apa yang mereka lakukan memang tidak salah menurut moralitas versi mereka! Bagi Nazi Jerman, kaum Yahudi bukan manusia yang setara, bahkan sebenarnya semua bangsa non-Arya juga tidak setara dalam pandangan mereka sehingga pantas didiskriminasi bahkan dihabisi. Begitu pula dengan kasus apartheid, orang kulit hitam tidak dianggap sederajat sehingga layak untuk diperlakukan seenaknya. 

    Tidak mengherankan dulu sempat ada kasus kontroversial macam Dredd Scott di Amerika Serikat yang menegaskan bahwa seorang budak yang belum pernah dibebaskan oleh tuannya tidak memiliki hak untuk otomatis bebas begitu saja karena dia hidup di negara bagian yang menganut asas kebebasan bagi budak (posisi ini juga sebenarnya sama dengan posisi dalam hukum Islam klasik, budak tidak bisa main membebaskan dirinya sendiri tanpa ada kompensasi ke tuannya atau mendapatkan pembebasan resmi dari tuannya dikarenakan budak masuk dalam kategori aset dan bukan manusia seutuhnya, pembahasan panjang lebarnya bisa cek disertasi saya).
     
    Tentu saja kalau kita menggunakan standar moral yang saat ini sedang berjaya, ide bahwa manusia bisa didiskriminasi karena rasnya atau bahwa manusia bisa diperjualbelikan dengan bebas adalah ide yang memancing keributan. Roger Taney, US Supreme Court Chief Justice yang menulis putusan Dredd Scott sendiri pun kini namanya sangat terhina dina dan dianggap melakukan kesalahan terbesar dalam karirnya karena tidak mau mengambil posisi hukum yang mendukung kebebasan budak. Tapi untuk mencapai posisi moralitas yang dominan saat ini, ada harga yang sangat mahal yang harus dibayar. 
     
    Moralitas ala perwira Nazi tidak berubah karena tiba-tiba mereka sadar ada nilai moral indah yang seharusnya mewajibkan mereka untuk tidak melaksanakan hukum yang diskriminatif, bahwa mereka bisa menjadi manusia yang lebih baik. Mereka harus dikalahkan terlebih dahulu dalam Perang Dunia II sebelum Jerman kini secara kolektif menjadi bangsa yang malu akan sejarah Nazi-nya. Amerika Serikat pun harus menempuh Civil War yang sangat brutal dengan kondisi negara hampir bubar gara-gara wilayah Utara dan Selatan tidak bisa mencapai titik temu tentang nilai moral apa yang harus dianut satu negara soal perbudakan. Dalam salah satu tafsir sejarah Amerika, Roger Taney dianggap ingin mencari kompromi melalui putusan Dredd Scott supaya Utara dan Selatan sama-sama happy, atau mungkin lebih tepatnya dalam kasus ini, sama-sama emosi jiwa (because that is how you compromise fundamental differences in practice, all stakeholders should be equally dissatisfied). Sayangnya, karena situasi sudah terlalu panas, kompromi setengah hati itu malah jadi pemicu tambahan untuk perang saudara di Amerika. 
     
    Memenangkan perang pun tidak serta merta tiba-tiba menghilangkan sentimen negatif kepada mereka yang dianggap berbeda. Perlu ratusan tahun untuk mengurangi rasisme di Amerika Serikat (bahkan US Supreme Court saja pernah puluhan tahun menganut doktrin Separate but Equal melalui kasus Plessy v. Ferguson yang secara efektif membungkam implementasi Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika dengan jalan melegitimasi kebijakan segregasi berdasarkan ras). Perbudakan di negara-negara Arab/Afrika sendiri pun juga baru berakhir resmi kebanyakan di abad ke-20 yang artinya memakan waktu tak kurang dari 1.400 tahun sejak Islam pertama kali muncul. Lebih parah lagi, tak sampai seabad setelah Perang Dunia II usai, kita harus menyaksikan mulai menguatnya lagi gerakan fasis dan ekstremis ala Nazi di Eropa. Banyak orang marah yang memilih untuk lagi-lagi menyalurkan kemarahan mereka kepada orang yang berbeda tersebut, dan para manusia pemarah ini percaya bahwa mereka berhak secara moral untuk bersikap demikian. After all, everyone is a hero in their own story.    
     
    Saya berani pasang taruhan besar bahwa seandainya Nazi Jerman yang menang Perang Dunia II atau kaum Selatan yang menang dalam US Civil War, apa yang benar dan salah di dunia ini bisa jadi akan terbalik-balik (imajinasi yang menggambarkan dunia alternatif seandainya Nazi menang bisa dilihat di The Man in The High Castle). Kenyataannya di dunia ini memang nilai-nilai etis dan moral itu tidak jarang ditentukan oleh siapa yang menang dan memiliki kekuatan terbesar. Baru setelah pemenangnya jelas, apa yang awalnya merupakan sekedar selera pribadi bisa diinstitusionalisasikan menjadi hukum.  Nazi baru bisa menerapkan hukum yang super diskriminatif setelah sebelumnya menang pemilu di Jerman, dan demikian pula sebaliknya ketika praktik rasisme/perbudakan akhirnya resmi dihentikan melalui penerbitan hukum resmi setelah perang selesai dan mereka-mereka yang kalah telah sukses disingkirkan (baik dengan jalan dihukum mati atau diasingkan).
     
    Lalu apa yang bisa mencegah supaya institusi hukumnya tidak dibuat semena-mena? Jelas bukan merujuk kepada teori mengenai nilai moral adiluhung yang bisa gampang sekali dipelintir tergantung siapa yang berkuasa, melainkan dikembalikan kepada tiga faktor yang sering saya sebutkan sebagai penentu hubungan antar manusia: kepentingan pribadi (self interest), game theory, dan emosi. Orang berbuat atau tidak berbuat sesuatu pada dasarnya akan bertumpu pada: (i) bagaimana kepentingan pribadinya bisa terpenuhi, (ii) perkiraan dirinya soal bagaimana orang lain akan bereaksi secara rasional atas langkah-langkah yang akan dia ambil (game theory), dan (iii) emosi/perasaan dari dirinya sendiri dan orang lain (suasana kebatinan dari khalayak kebanyakan, apakah kira-kira mereka akan berkenan, marah, atau acuh tak acuh). Interaksi kompleks dari ketiga faktor ini yang menurut saya akan jauh lebih menentukan akan ke mana arah hukum itu dibentuk, diinterpretasikan, dan dilaksanakan, ketimbang mengklaim adanya nilai moral dan etika abstrak yang sifatnya lebih tinggi dari hukum yang kemudian harus dipatuhi oleh setiap pembuat dan penegak hukum (bagi saya, ini contoh delusional tingkat tinggi). Ingat, bahkan diktator yang paling perkasa sekali pun pada dasarnya tidak bisa selalu bertindak sendiri seenaknya, ada kelompok kepentingan yang harus dia jaga, rakyat yang tidak bisa hidup terlalu merana, dan sebagainya.  
     
    Berkaca pada 3 faktor di atas, sebenarnya penggagas ide etika dan moral di atas hukum itu tidak harus terlalu berkecil hati. Sejarah menunjukkan bahwa nilai yang dianut di masyarakat itu bisa saja berubah dan perubahan bisa terjadi dengan berbagai cara. Salah satunya tentu saja melalui perang sebagaimana dibahas di atas, tapi ada juga cara lain, misalnya melalui moral entrepreneurs yang sering disebut oleh Richard Posner. Posner sangat membenci akademisi yang selalu sibuk berteori tentang konsep moralitas yang objektif dan pasti baik bagi kemanusiaan (tentunya menurut versi mereka sendiri) tapi tidak bisa bertindak menjadi moral entrepreneur yang secara aktif berusaha meyakinkan sebanyak-banyaknya manusia untuk berpihak kepada nilai yang ia anggap benar. Apa bedanya moral entrepreneur dengan academic moralist menurut Posner? Perbedaan utamanya adalah di seberapa konkrit nilai moral yang hendak mereka usung, seberapa jauh pengusungnya mau berusaha meyakinkan orang lain untuk menganut nilai moral yang sedang dijual, dan seberapa paham mereka soal insentif manusia. 
     
    Ingat, sebagaimana saya sampaikan di atas, kalau moralitas pada akhirnya adalah soal selera pribadi, supaya nilai moral yang anda usung itu bisa benar-benar membumi dan diterima sebagai kebenaran, anda butuh banyak orang untuk meyakini bahwa nilai tersebut itu memang benar. Dalam hal ini, moral dan hukum bisa dipandang mirip. Dua-duanya adalah konsep fiksi yang mengada karena ada cukup banyak manusia yang percaya bahwa moral dan hukum itu ada (versi lebih panjang bisa dibaca di sini). Nah, kalau cuma sekedar berkoar-koar bahwa moral dan etika itu ada di atas hukum tanpa menyebutkan secara tegas apa isi nilai moralnya, ya saya khawatir ini hanya akan menjadi suatu kesia-siaan apalagi kalau misalnya pihak yang mengklaim soal pentingnya etika dan moral versi mereka itu sendiri juga tidak konsekuen dengan nilai moralnya tersebut (sebagaimana akan saya bahas di bawah ini ketika kita masuk membahas model putusan MK).

    Isu yang kedua terkait dengan akademisi moralis menurut Posner (dan saya sepenuhnya setuju) adalah karena mereka berkeyakinan bahwa kalau orang diajari nilai-nilai etis dan moral yang "baik", maka hal tersebut akan menjadi motivasi yang rasional bagi orang-orang untuk berbuat baik alias orang taat karena paham. Tentu saja ini mengada-ada. Kewajiban moral (moral duties) adalah sama prinsipnya dengan semua kewajiban dan tugas-tugas lainnya di muka bumi ini, butuh usaha untuk melaksanakannya dan setiap usaha bisa membuat lelah orang yang "harus" mengerjakannya. Orang bisa mengetahui adanya nilai-nilai moral tertentu, bisa saja setuju dengan isinya, tapi tetap tidak mau melaksanakan hal tersebut dengan beragam alasan, termasuk sekedar karena dia malas. Ini mengapa dalam ilmu hukum ada debat panjang soal apakah hukum hanya bisa mengada apabila ada sanksi/konsekuensi yang jelas dari ketidakpatuhan terhadap hukum tersebut. Debatnya belum usai di antara para ahli hukum, tetapi ide utamanya sangat fundamental: kalau tidak ada konsekuensi apa pun dari suatu aturan, motivasi untuk taat pada aturan tersebut kemungkinan besar akan minim. Ketika suatu aturan tidak diikuti oleh kebanyakan orang, apakah kemudian aturan itu masih bisa dianggap memiliki kekuatan yang mengikat (baik misalnya sebagai etika, moral, atau hukum) mengingat moral dan hukum hanya bisa ada ketika cukup banyak orang percaya bahwa mereka ada? Peminat yang ingin belajar lebih banyak soal isu moral dan hukum ini bisa baca artikel Posner di sini atau pesan bukunya yang lebih panjang di sini.

    Sekarang kita masuk membahas putusan MK, khususnya putusan MK yang memperbolehkan orang berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden melalui model putusan konstitusional bersyarat karena putusan itu yang saya tangkap menjadi salah satu biang keributan soal etika/moral berkonstitusi di negara ini. Bagi saya pribadi, orang-orang yang saat ini mengklaim suatu putusan sebagai etis atau tidak etis berdasarkan isi dari putusan atau bagaimana cara putusan MK tersebut dibuat adalah orang-orang yang mau enaknya sendiri saja. Karena kalau kita mau konsisten, dan kalau memang benar bahwa etika dan moral itu penting bagi orang-orang ini, seharusnya sedari awal mereka sudah mendeklarasikan bahwa putusan MK dengan model konstitusional atau inkonstitusional bersyarat itu salah kaprah dan tidak sesuai dengan konstitusi (sesuatu yang sudah saya ingatkan dari bertahun-tahun yang lalu). 
     
    Diskusi panjang lebarnya ada di artikel Indonesia Law Review saya di atas, jadi kali ini saya akan berikan versi ringkasnya saja. Intinya, kalau anda berharap MK tidak menjadi pembuat hukum baru di Indonesia, kewenangannya memang mesti dibatasi, yaitu hanya bisa menyatakan bahwa suatu Undang-Undang konstitusional atau tidak konstitusional, tidak perlu ada embel-embel syarat apa pun. Namun dalam prakteknya, MK kemudian merumuskan dan memutuskan sendiri adanya model putusan konstitusional/inkonstitusional bersyarat yang memungkinkan MK untuk mengubah teks dari Undang-Undang baik secara eksplisit maupun implisit.
     
    Anda kemungkinan tidak sadar ketika dulu MK memutus sendiri untuk kepentingan MK bahwa DPR tidak boleh menghalangi MK untuk membuat putusan bersyarat dengan jalan menyatakan bahwa amandemen UU MK yang membatasi putusan MK di tahun 2011 adalah tidak konstitusional. Anda juga mungkin tidak mengetahui kalau putusan MK yang menurut saya tidak etis tersebut (menurut saya pribadi tentunya) bahkan mengutip Marbury v. Madison yang merupakan putusan Supreme Court Amerika Serikat sebagai preseden untuk kebolehan judicial review ala MK di Indonesia walaupun jelas-jelas tidak ada hubungannya antara putusan tersebut dengan sistem hukum Indonesia.
     
    Bisa jadi juga anda tidak memperhatikan catatan kaki dari Prof. Jimly Asshidiqie dalam buku Konsolidasi Naskah UUD 1945 bahwa ketika UUD 1945 tidak mengatur secara jelas batasan kewenangan MK dalam Konstitusi Indonesia dan mendelegasikan ketentuan tersebut dalam Undang-Undang yang jelas-jelas merupakan objek yang diuji oleh MK, maka akan selalu ada kemungkinan bahwa nantinya MK bisa memutus sendiri aturan mengenai dirinya sebagai institusi. Kalau kita konsisten bicara etika dan aturan soal benturan kepentingan, di mana etikanya ketika suatu institusi bisa menentukan sendiri apa yang boleh dan tidak boleh bagi institusi tersebut tanpa bisa diawasi oleh institusi lainnya? Tidak ada mekanisme internal untuk check and balance. DPR butuh waktu 8 tahun untuk mengubah UU MK, sementara MK menafikan perubahan itu hanya dalam 3 bulan dan pertimbangannya pun hanya memuat beberapa baris kalimat yang jauh dari nuansa elaboratif selain menyatakan bahwa sudah seharusnya MK berwenang untuk mengeluarkan berbagai model putusan karena demikian lah apa yang dimaksud dengan menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.

    Kalau ditanya, siapa yang pertama kali menelurkan konsep putusan bersyarat MK? Tak lain dan tak bukan adalah Prof. Jimly Asshidiqie sendiri ketika yang bersangkutan menjabat sebagai ketua MK. Lalu siapa ketua MK ketika MK menyatakan pembatasan bentuk putusannya oleh Undang-Undang adalah inkonstitusional? Prof. Moh. Mahfud MD. Apakah mereka berdua jadi dianggap tidak beretika dan tak bermoral? Kalau pakai teori kaum etis dan moralis, harusnya bisa masuk kategori tersebut, tapi faktanya bicara lain. Dari sudut pandang hukum, apa yang sudah diputus itu sah-sah saja jadinya. Putusan MK menurut UUD 1945 dan UU MK adalah final dan mengikat. Apa yang diputus itu mau tak mau menjadi hukum baru (paling tidak sepanjang institusi negara yang lainnya mau mengakui kekuatan putusan tersebut; hal ini juga saya bahas di makalah saya dan tidak akan saya elaborasi lebih jauh di sini).  

    Dari sudut pandang Public Choice Theory, insentifnya terlalu besar untuk tidak membatasi kewenangan MK karena setiap kelompok kepentingan (interest group), terlepas apa ideologi dan kepentingannya (liberal, konservatif, sentris, atau sekedar mau melihat dunia terbakar) pasti memahami bahwa dengan adanya tambahan model putusan MK di atas, ada mekanisme yang lebih gampang untuk mengubah aturan yang anda tidak sukai tanpa harus berlelah-lelah melewati mekanisme Pemilu dan bertengkar di level legislatif dan eksekutif untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang baru. Ya, anda cukup memastikan setidaknya 5 dari 9 orang Hakim Konstitusi itu setuju dengan usulan anda. Lebih gampang toh? 
     
    Ini mengapa saya juga sudah mewanti-wanti ketika dulu MK hampir memutus kriminalisasi terhadap kaum LGBT dengan jalan mengubah isi teks KUHP. Kita masih cukup beruntung ada 5 Hakim Konstitusi yang tidak setuju dengan ide tersebut sehingga Pasal KUHP tidak tiba-tiba berubah secara ajaib. But we were so close to oblivion! Bayangkan, perbedaan suaranya bisa setipis itu padahal asas Legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali) seharusnya sudah mendarah daging bagi setiap sarjana hukum di Indonesia; bahwa seseorang seharusnya tidak bisa dipidana kecuali sudah diatur tegas dalam Undang-Undang (paling tidak dalam KUHP lama; kalau disuruh membahas asas baru hasil karya anak bangsa dalam KUHP baru yang memperluas tindakan yang bisa dipidana, mental saya tidak kuat, nanti malah makin putus asa dengan perkembangan hukum di negara ini).  
     
    Model putusan MK di Indonesia pada akhirnya jadi mirip-mirip dengan dagelan di Amerika Serikat ketika para ahli hukum mereka sedang membahas isi putusan US Supreme Court: "When the Court agrees with me, they are following the rule of law, and when they disagree with me, they are just politicians in robes!" Ini lah contoh konkrit dari manusia hipokrit dan tidak ada kalimat yang lebih bagus untuk menggambarkan fenomena saat ini selain dari pernyataan Thanos di Avenger's End Game: "You Couldn't Live with Your Own Failure, Where Did that Bring You? Back to Me."
     
    Bagi saya, situasi kita saat ini bukan sekedar momen "I told you so". Aturan permainannya memang sudah jadi demikian semenjak belasan tahun yang lalu. Para ahli hukum di negara ini juga seharusnya memahami keberadaan isu ini dan bahwa adalah lumrah dalam dunia hukum dan politik apabila hasil dari mekanisme seperti ini tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Bagi saya pribadi, tiap kali saya membaca putusan MK, terlepas apa hasil putusannya, selama masih memuat kata-kata konstitusional/inkonstitusional bersyarat, saya selalu menghela napas panjang karena saya tahu bahwa hal tersebut seharusnya dianggap sebagai kesalahan, namun saya tidak memiliki kuasa yang cukup untuk mengubah kegagalan konstitusional tersebut. Sedari awal kita sudah salah desain dan kini kita harus hidup dengan konsekuensinya. 

    Kalau kita tidak mau ada putusan yang "bermasalah" secara moral dan etika, ya jangan dibuka kesempatannya di depan, sebisa mungkin setiap celah harus ditutup, apalagi kalau ternyata dampak negatifnya jauh lebih dahsyat ketimbang dampak positifnya (sesuatu yang sulit diprediksi ketika kita membangun suatu institusi). Isunya, sebagaimana saya sampaikan di atas, ketika masing-masing pihak masih berharap bisa menggunakan MK untuk mendukung kepentingannya sendiri, kasus-kasus kontroversial seperti ini akan selalu berpotensi muncul di masa depan. Saya tahu hasrat menggunakan jalur MK untuk memotong pekerjaan advokasi nilai (apapun nilainya) terlalu menggiurkan bagi kebanyakan orang, bagaikan laron yang tertarik dengan cahaya lampu neon bahkan seandainya dia tahu lampu neon itu berpotensi membakarnya hidup-hidup. 

    Namun demikian, apabila anda tidak berani mengambil langkah yang keras seperti di atas, maka harus dimaklumi kalau kita akan bertemu dengan orang-orang yang tidak peduli dengan pelanggaran etis dan moral. Wong konstitusi yang secara teori hukum memiliki hierarki paling tinggi di suatu jurisdiksi saja bisa dikesampingkan dalam berbagai situasi dan bahkan pengesampingannya bisa dilegitimasi di jurisdiksi yang bersangkutan, apalagi cuma sekedar pelanggaran etika dan moral yang nir-konsekuensi?    
    Ada banyak contoh aturan konstitusi dikesampingkan dan dengan cara masing-masing yang unik. Plessy v. Ferguson misalnya adalah contoh kasus teks konstitusi dikesampingkan dengan cara pembacaan ala US Supreme Court yang mengenalkan doktrin hukum baru Separate but Equal (even though they were pulling it from their ass, but well, they are essentially the law there). Butuh 64 tahun untuk mengubah putusan itu melalui kasus Brown v Board Education (itu pun hanya mencakup segregasi di bidang pendidikan bukan semua bidang), serta kemudian butuh 10 tahun lagi untuk dikeluarkannya Civil Rights Act of 1964 di Amerika. Sekarang konsep rasialisme ini juga sudah berkembang lebih jauh lagi, di era ketika hakim konservatif mendominasi US Supreme Court sekali lagi, giliran Affirmative Action yang kena penggal.  

    Di Indonesia kita punya kasus Bung Karno membubarkan Konstituante Republik Indonesia dan mengembalikan Indonesia ke UUD 1945 via Dekrit Presiden 1959. Suatu bentuk pelanggaran konstitusi yang luar biasa kasar karena sebenarnya dia tidak memiliki wewenang sama sekali untuk melakukan hal tersebut tapi ya akhirnya diterima oleh bangsa dan negara ini sebagai fakta hukum baru sampai-sampai tidak ada lagi yang bertanya mengapa kita menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia atau mengapa kita hanya menggunakan mekanisme amandemen terhadap UUD 1945 tersebut dan bukannya menyusun konstitusi baru sekalian di era reformasi. 

    Selain itu ada pula kasus terbaru di negara El Salvador ketika Presiden Nayib Bukele baru-baru ini memenangkan pemilihan presiden untuk kedua kalinya walaupun dari berita yang saya baca, Konstitusi El Salvador jelas-jelas melarang seorang presiden untuk bisa langsung memegang jabatan 2 kali berturut-turut. Tetapi yang bersangkutan sudah mengganti hakim MK di El Salvador dan mereka menyusun interpretasi baru mengenai pengertian teks Konstitusi El Salvador. Belum lagi fakta bahwa Nayib juga menang dengan lebih dari 80% suara. Mau tidak mau harus diakui bahwa dia punya dukungan legitimasi yang besar untuk mengesampingkan ketentuan konstitusi. Kalau suara rakyat adalah suara Tuhan dan konstitusi dibuat untuk kepentingan rakyat, maka bisa dibilang kita sedang menyaksikan bagaimana pengesampingan teks konstitusi itu kemudian disahkan oleh rakyatnya sendiri.

    Sebagai ahli hukum, saya punya dalil yang kuat untuk menyatakan bahwa 3 contoh di atas adalah bentuk pelanggaran hukum dan harusnya dinyatakan inkonstitusional serta tidak mengikat, tapi percayalah, saya juga bisa menyusun argumen untuk menyatakan sebaliknya, bahwa perubahan di atas adalah sah dan mengikat secara hukum. That's the beauty of law. Poin saya, kalau hukum saja seperti itu, apalagi pelanggaran etika dan moral yang definisinya lebih cair dan penegakkannya lebih-lebih tak ada kekuatannya. Lebih absurd lagi kalau kemudian ada orang-orang yang berkoar-koar bahwa seharusnya hukum itu tunduk pada nilai etika dan moral yang lebih tinggi yang digaungkan sebagai bagian dari universal common sense. Mau dicari di mana nilai etika dan moral itu kalau tidak dituangkan secara tegas? Common sense siapa? Common sense mbahmu? Bagaimana caranya juga kita bisa memastikan orang-orang akan tunduk, atau paling tidak pura-pura sedikit menunjukkan kepedulian pada nilai-nilai etis dan moral ini? If you want to have better chances, you must make these so called ethical and moral rules as part of the law. There is no other way. And even if you have the rules written in stone, there is no guarantee that it will always be effective.  

    Kalau saya boleh simpulkan, isu terbesar dengan Putusan MK soal umur Capres/Cawapres itu bukan isu etika, tapi lebih ke isu: they are doing such a sloppy job with their legal argument! If you love and want to secure power by all means, at least have the decency to do it professionally. These people need to find a better lawyer with better planning and better writing! Kalau sesuatu dilakukan dengan jalan asal-asalan, akan lebih banyak orang yang mempermasalahkan. Tapi ya memang menyusun putusan yang kreatif, elaboratif, argumentatif, dan kalau bisa sedikit humoris itu memang bukan keunggulan lokal di negara ini. Argumen bisa selalu dicari, tapi kita kekurangan orang yang bisa menuliskan argumen itu dengan baik dan meyakinkan.         

    Anyway, I digress. Kalau diteruskan nanti saya akan panjang lebar membahas bagaimana seharusnya format dan isi putusan pengadilan itu ditulis di Indonesia dan isu itu bukan fokus kita hari ini. Saya ingin menutup artikel ini dengan mengingatkan kembali kepada kaum etis/moralis bahwa daripada berdalih dengan menyatakan ada suatu nilai etika dan moral kebaikan di atas hukum, lebih baik langsung sampaikan apa yang sebenarnya anda inginkan dari lubuk hati yang terdalam, bahwa masing-masing dari kita punya nilai moralitas pribadi yang kita yakini dan ketika kita berseberangan dengan pihak tertentu, kita punya kepentingan untuk memastikan agar posisi kita yang pada akhirnya akan jadi lebih dominan. Siapa tahu dengan bersikap jujur seperti itu justru akan lebih sukses mendulang dukungan. 

    Kita harus memahami bahwa nilai moral tidak akan pernah netral, tetapi dalam kontestasi politik, sah-sah saja untuk berpihak pada nilai tertentu, karena memang justru ini momennya! Tentunya juga jangan lupa untuk selalu berusaha sedetail dan sespesifik mungkin dengan nilai etis dan moral yang anda usung. After all, that's how you truly change people's morality view, by convincing as many as possible of them that you're right, and for them to be convinced, at the very least, they ought to know the values that you are selling. Demikian dan selamat mencoba.   
  • Life Begins at 40 (A Tribute to My Mom)



    When I declared back in October 2023 that I will write something about entering the "magical" age of 40, I absolutely did not expect that I will write an obituary for my mom. Far away from it! But life is full with unexpected surprises and we must cope with that reality. A shorter version of this post was delivered as my annual end of year Message of Managing Partner to our Firm's lawyers and staffs as I think it is important for them to know how much my life philosophy and work ethics are shaped by the parenting style of my mom which obviously affects how I envision and run the Firm for the past 6 years. After all, for a person who thoroughly integrates his life and work, it is simply impossible to separate my personal life from my working life, the connection is just too deep. So no, you will not find a typical story about how family matters above work etc. in this blog post. Such concept is non-existent within the universe of my thought.

    As I said during my Firm's anniversary party back in November 2023, I have practically tasted all the pleasures that a good life can offer before I even reach the age of 40. Just see my various adventures in my Instagram account and you will know what I mean. I also reckon my consecutive three-day birthday celebrations in October to be the best parties ever in my life so far. Surrounded by people that are important to me and after securing multiple prestigious awards for the Firm and myself, I was on the highest point of my life (again, so far). With all these accomplishments, it is natural to ask: what's next? What should I do for the next 40 years to bring my Firm and myself to greater new heights? I know that my dream of finding a successor is not yet fulfilled, and of course, there is also the unrealized dream of making UMBRA as the Wachtell Lipton of Indonesia. So many things to plan and do, no rest for the wicked. 

    Unfortunately, as I was contemplating our next moves, I had to face the devastating reality that I will no longer see my mom, Erna Dewina (her real name for the past 65 years was Erna Dwina but then her last identity card had a typo so we ended up with this new official name). Died too young on 28 December 2023 at the age of 66 due to brain hemmorhage (just like her own mother back in 1994), the only thing that perhaps could embrace me is the fact that my number one hero, Scrooge McDuck, also lost her mother at the age of 57 when he was 30. Timing wise, there is a similarity between his life's journey and my own. Scrooge McDuck received the sad news when he was facing his mortal enemy, Soapy McSlick. Chained to the enemy's ship and ready to admit defeat, that piece of news gave him the much-needed energy to kick McSlick’s ass, destroy his fraudulent business empire, and establish himself as the new King of Klondike, opening the path for Scrooge to become the richest duck in the world and cementing the mantra of “strength through suffering”.

    I suppose, I am living in that period too. As our Firm grows larger and gains more successes in such a neck-breaking speed, it is inevitable that there will be people that do not like us. As once said by Anthony Bourdain’s mentor to him, “you know you are damn good when there are enemies that you are not even aware of ready to do whatever it takes to bring you down.” Such is life. But like Unca Scrooge, Bourdain, and many other successful people, pain and suffering are just par for the course. You must face them and either you win, or you die damn trying.

    In that context, writing about my mom serves three purposes: (i) ensuring that her memory will live on, (ii) giving the readers a glimpse of my personal background and thought process in building and nurturing my Firm, and (iii) doing a self-therapy to help myself processing the grief and turning the pain into the strength necessary to carry on her legacy and fulfill my ultimate vision.    

    In the simplest way, my mom is a typical Tiger Mom: relentless, fierce and most of the time, annoying. A true force of nature. Say whatever you want about ideal parenting model, if you do not have enough guts and grit, you cannot survive interacting with my mom for a long period of time. I can assure you that my intense drive for excellence and being competitive is derived from her parenting style. It was crazy and yet I will not expect anything less from her. Pramudya A. Oktavinanda as you know today will not exist without her.

    The 2 years before I established UMBRA were the worst period of my life, there was no visibility on whether I will be able to successfully create a new firm independently despite all the preparation, and I was practically stuck with my dissertation writing. Rather than being at the endgame, it was more of a game over. And my mom’s constant messages during those difficult years? “When will you earn your PhD? I want to see my son’s graduation soon.” I was like, wow, come on, I need some moral support and additional time to rest my body and soul, but of course she would not compromise at all. It was always tough love for her. And though I had tried to finish my dissertation and graduated before UMBRA’s official opening in November 2017, my professors said in May 2017 that it was not good enough. Consequently, the next period for graduation (if I ever graduate) would be June 2018, and if I still wished to graduate on that deadline, I would have to work on my major revisions while starting a completely new business with no guarantee of success. This was a tough choice as I only had the last ten million Rupiah in my bank account when I opened my shop. Would I be able to do both and get stellar results, or would this be my total meltdown moment?   

    Devastated but not shocked, as I thought that I have not put my best effort to this soon-to-be masterpiece, I knew that if I delivered the message to her that I am giving up on my PhD because I am in the process of building a new business empire, she would just scold me or look at me with disappointment (and I couldn't withstand her deadly eye stare). As you may all have guessed, I had no choice and I told myself and her that 2018 will be the year when I finally earn my Doctor of Jurisprudence degree, no matter what the costs. The rest is history (I put a pic with my mom on graduation day at the top of this post as a memento of her) and serves as the basis for me scolding my lawyers nowadays if they ever come to me and say that they are too busy with work. Try running a firm from scratch while practically rewriting 70% of your dissertation on Islamic legal interpretive theory at the same time, and then and only then can they come back to me and declare that they are busy.    

    Other than installing an absurdly high level of tenacity to me, my mom is also the one who inspires me to promote women at the workplace (we even won Indonesia Law Firm of the Year award by Women in Business Law Awards 2023). I am a feminist because of her as she was the living epitome that women can be both a successful mother and entrepreneur. She brought me to her own office almost everyday so that she can strictly supervise my study and test me from time to time after she dealt with her daily work. It’s like doing cram school but with your own mom, and believe me, it’s worse, especially if I failed to memorize the required reading passage or give the correct answer to the endless exercises from the prep books. I initially did not understand how she had the time to do all of these activities but as I grew older and reached this stage of life, and especially after I also did the unimaginable back in 2018 and continue to surprise myself about my own limit until today, I realize that if you are being trained your entire life to be super persistent with your goal, you would accomplish some incredible feats. No wonder that I have an everlasting burning fire in my soul. I was trained by the best.

    Furthermore, she was the source of our family business success and immediately when she was asked to retire earlier by my father from the management, our business went down to hell and was almost completely wiped out during the 1997-1998 crisis. Worst business decision ever! On the one hand, losing everything was damn painful. But on the other hand, as I said above and in many occasions, walking through suffering builds your character. It drives you to be relentless (perhaps borderline obsessive) in the unforgiving race to greatness. This episode of my life is also the main reason why all my female associates find me to be so prejudiced to boys, believing that most of them are distractions. Well now they know, it’s my personal trauma. My message to them is always the same, find a significant other that will support you to soar into the sky and never settle for less.   

    People should also be able to tell that my deep passion for management, obsession with neatness, diligence, and organizing things, plus a seemingly unlimited energy to enforce all of those commitments (all necessary qualities for becoming an effective Managing Partner) are all derived from my mother. Her brothers and sisters called her “miss rempong”, and I can’t find a better term to describe myself other than being “rempong” too. So yes, this is why both of us are so annoying to other people and why we also both annoy each other so many times. I remember how stressed my brother was whenever I entered into a high pitch conversation with my mom (and not even because we were angry, but simply because we talk so loud and passionate about whatever we believe, haha).          

    While a piece of me will be lost forever with my mom’s sudden departure (I am after all a doted child a.k.a anak mami), I am grateful that a piece of her will also continue with me as long as I am still living (and hopefully through other people’s memories too). And though I am incredibly sad that I have to part with my mother so soon, I am a little bit happy that unlike Scrooge McDuck who had to learn the news of her mother’s death when he was thousand miles from home, I was lucky enough to spend time with her until the end and that she had the time to celebrate my best birthday party ever (with her gone, I am afraid that no party will ever beat the ones that I had back in October). I guess experiencing all of these highs and lows in such an extreme way when I reached the age of 40 really tells something about the old adage that life begins at 40. It surely begins with a bang!

    The next phase of my life will definitely be tougher. My out of this world level of confidence, tolerance to pain, and drive for work are somehow connected to the belief that regardless of whatever challenges that I have to face, I will always have that one supporter in the background. Whether we are near or far, in good times or bad times, and even when we were not talking because of our silly fight (a certainty from time to time as I am a copy paste of my mom, and you can't have two divas on one stage), it does not matter, I know that she will be there for me (and what a lovely thing to find this video of her just after I've finished writing this passage, confirming my belief). With that one ultimate pillar gone so quick, it's surreal to find yourself standing alone in the wilderness of life. It's just like experiencing Thanos's snap in real life but without any possibility of bringing her back. It sucks and yet, I must persevere. 

    To be brutally frank, I always consider myself as a ruthless dark lord with a pitch black frozen heart. No amount of pain and suffering in this world or even the universe have ever moved me to shed a single tear. As I often said, I don't believe in any moral values where I owe any duty to anyone else, and vice versa, it's all about self-preservation, game theory, and emotion. Unfortunately, or maybe fortunately, I do have a soft spot for my mom, and that speaks an uncountable number of words about her importance to me (There are still many stories and memories about her that I have not shared to the world and it would be my greatest pleasure to share them later on whenever I have the chance). And again, I was very surprised to know that my mom did say the same thing in her video above, she did not want her sons to support and care for her based on filial duty. It must be based on love and nothing else. Great minds think alike. 

    For my beloved mother, thank you for accompanying my journey for the last 40 years, goodbye, and see you among the stars. I will be forever missing you. For the rest of us, and especially myself, life must go on. There are deals to close, competitors to beat, and an industry that we have yet to dominate! The mission shall continue as planned until the day I leave this mortal plane and beyond. And while the road to such goal is arduous and long, I think I will be just fine as long as I can live the life that I choose, as long as I can do what I love to do now and then, and as long as every once in a while I can reminisce my treasured memories of my mom. Wish me luck!          
  • Kritik yang Membangun dan Intrik-Intriknya

    Jadi hari ini ceritanya ada artikel soal komentar Bapak Presiden bahwa masyarakat harus aktif sampaikan kritik dan masukan ketika berpidato menyambut peluncuran Laporan Tahunan Ombusdman RI tahun 2020. Pesannya sebenarnya bagus tapi dengan sejarah banyaknya laporan ajaib soal kritik yang kemudian berubah menjadi kasus penghinaan atau pencemaran nama baik entah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, mau tak mau timbul pertanyaan, pesan Presiden di atas itu serius atau tidak?

    Kritik atas kelenturan pasal-pasal pidana terkait penghinaan/pencemaran nama baik bukan barang baru. Di tahun 2015 misalnya, Menteri Komunikasi dan Informatika periode itu menolak revisi atas Pasal 27 UU ITE yang sudah sering memakan korban (dan masih terus demikian sampai dengan tahun 2021 dan entah sampai kapan). Saya juga sudah berkali-kali menulis soal ini dan bisa dibaca di sini (soal kepatutan untuk memidanakan kasus penghinaan), di sini (soal isu ujaran kebencian terhadap ras via kasus Florence Sihombing, kalau ada yang masih ingat siapa dia), dan di sini (soal isu penodaan agama via kasus Ahok). Baru-baru ini juga ada kasus influencer versus dokter yang berujung saling lapor polisi (saya tidak akan memberikan tautannya di artikel ini, cari sendiri saja), menambah lagi khazanah kebingungan orang-orang dalam memahami kapan kritik jadi berujung pidana?

    Di twit saya di atas, saya memberikan sedikit kiat soal bagaimana cara mengajukan kritik di negara tercinta ini. Walaupun ada beberapa tambahan buat lucu-lucuan, sebenarnya nilai-nilai yang saya tulis itu dimuat dalam penjelasan Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (PNPS 1965) yang menyatakan sebagai berikut: "huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini."

    Singkat kata, kalau mau lepas dari jeratan pasal-pasal karet yang sifatnya subjektif macam menghina atau menodai, pastikan pernyataan yang anda buat itu objektif, faktual (ini pengertian zakelijk), dan ilmiah serta berusahalah menghindari kata-kata permusuhan sebisa mungkin. Unsur-unsur di atas sebenarnya ideal untuk ada dalam setiap kritik. Tapi mirip dengan pengertian menghina/memusuhi, pengertian objektif, faktual dan ilmiah itu sendiri sebenarnya juga luas dan bisa diperdebatkan, dan itu yang kemudian jadi masalah di Indonesia.

    Apa definisi unsur "objektif"? Apakah objektivitas murni itu ada? Apakah kita perlu mengerti terlebih dahulu kategori noumena dan phenomena ala Kant atau perlu membaca buku babon ini sebelum mengeluarkan kritik untuk memastikan bahwa kita telah bersikap objektif dalam menyampaikan kritik? Kemudian standar "ilmiah" apa yang mesti digunakan untuk memenuhi ketentuan PNPS 1965? Apakah orang harus lulus S3 dan jadi doktor dulu sebelum minimal menuangkan pendapat di negara ini? Atau setiap kritik harus memenuhi kriteria naskah akademik untuk dapat dipertimbangkan?

    Bahkan terkait unsur "faktual" yang sebenarnya tidak kontroversial pun prakteknya juga bisa menimbulkan banyak pertanyaan, apalagi ketika dunia mulai memasuki era post-truth yang contohnya bisa kita lihat dengan jelas dalam kasus pemilihan umum di Amerika Serikat ketika jutaan orang bisa percaya dengan teori konspirasi (plus digoreng sebagian politisi di sana untuk kebutuhan elektoral) dan kemudian coba-coba menggulingkan pemerintahan melalui kerusuhan di Capitol Hill. Dalam situasi normal sekalipun, harus diakui bahwa menemukan fakta yang akurat juga tidak selalu mudah. Tidak usah bicara fakta sejarah yang bisa jadi multi interpretatif, kejadian dua tiga hari yang lampau pun juga bisa salah dibaca, misalnya karena informasi disampaikan secara tidak lengkap (kenyataannya, berapa banyak orang yang cuma baca info sekilas atau bahkan cuma judul berita kemudian berkomentar seperti jagoan?).

    Permasalahan utama dari pasal karet adalah kelenturan penggunaan pasal itu akan bergantung erat pada kekuataan/kekuasaan dari mereka yang bisa mengajukan laporan serta mereka yang memeriksa dan memutus perkara yang bersangkutan. Dan kita harus akui, belum ada pendekatan yang murni konsisten di negara ini. Sebagai contoh, dalam artikel saya soal kebhinekaan di Indonesia, saya membandingkan kasus Rhoma Irama yang sempat dituduh mengucapkan ujaran kebencian tapi kemudian kasusnya tidak ditindaklanjuti dengan beragam alasan. Padahal kalau dilihat unsur-unsurnya, kasus Rhoma tidak berbeda jauh dengan kasus Ahok, tapi sebagaimana kita ketahui bersama dan sudah saya bahas panjang lebar dalam artikel-artikel saya sebelumnya, hasil akhirnya berbeda 180 derajat.

    Untuk itu perlu ada revolusi pemikiran terlebih dahulu bahwa dalam konteks bernegara, masyarakat sebenanya lebih tepat diumpamakan sebagai pengguna jasa sementara pemerintah adalah pemberi jasa (service provider), mirip seperti kita lawyer yang memberikan jasa hukum kepada klien-klien kita. Leadership is liability not privilege

    Mengapa saya menempatkan posisi masyarakat di atas? Kembali ke definisi negara dan hukum itu sendiri, keberadaan negara dan hukum adalah fakta sosial, yaitu fakta bahwa sebagian besar masyarakat dalam satu wilayah menyepakati legitimasi keberadaan suatu negara serta kewenangan negara tersebut untuk menerapkan aturan-aturan tertentu. Makanya saya tidak setuju dengan konsep negara integralistik ala Soepomo (yang kemungkinan besar diambil dari teori Hegel) bahwa negara adalah seakan-akan ayah yang mengayomi rakyat sebagai anak-anaknya. Tanpa penerimaan masyarakat, tidak ada negara dan hukum. Terlepas kita mau berteori bahwa sumber hukum bermuasal dari dimensi kesembilan sekalipun pun, kenyataannya, hukum itu hanya bisa mengada di dunia ini karena ada orang-orang yang mau mengakuinya sebagai hukum yang berlaku. Demikian juga pejabat bisa menjabat karena mereka dipilih dan dipercayai oleh masyarakat dan mereka dipilih karena mereka diharapkan bisa get things done.

    Semua fasilitas yang diberikan kepada pejabat pada dasarnya diberikan kepada mereka supaya mereka bisa bekerja dengan fokus dan mengutamakan kepentingan pengguna jasa, serupa dengan lawyer yang dibayar mahal untuk memastikan klien menerima jasa hukum terbaik dan seluruh kepentingannya dilindungi. Begitu hal ini dipahami, ketentuan mengenai kritik seharusnya tidak lagi perlu diatur secara rigid karena kritik dari klien memiliki 2 bentuk utama: (i) murni komplain/uneg-uneg dan (ii) masukan bagi pemberi jasa. Dalam artikel ini, saya akan berfokus pada bentuk pertama.

    Untuk uneg-uneg atau komplain, pemberi jasa tidak bisa berharap klien memberikan masukan yang berharga, terstruktur, ilmiah atau penuh dengan pemikiran orisinil karena justru tugas pemberi jasa untuk memberikan ide-ide yang mantap, bukan sebaliknya! Jadi pernyataan bahwa masyarakat seharusnya memberikan ide-ide yang membangun dan tidak boleh hanya menggerutu saja sudah merupakan kesalahpahaman dalam konteks uneg-uneg di atas. Bukan berarti warga tidak bisa berkontribusi menyumbangkan pemikiran ya, tetapi kontribusi pemikiran dari masyarakat adalah bonus dan tidak ada sangkut pautnya dengan kebolehan mereka untuk menyampaikan uneg-uneg atas layanan Pemerintah yang tidak sesuai ekspektasi.   

    Setelah paham posisi masyarakat sebagai klien, pertanyaan berikutnya, apa wajar bagi pemberi jasa untuk mengatur-ngatur bagaimana cara klien menyampaikan uneg-uneg? Bagi saya pribadi, jawabannya adalah tidak akan! Less excuse more results! Justru saya harus berusaha sekeras mungkin supaya saya tidak menerima komplain. Bukan saja ini masalah harga diri sebagai profesional, tetapi juga tentunya persaingan dengan pemberi jasa lainnya, saya ingin jadi yang terbaik. Isunya, negara tidak memiliki saingan dalam jurisdiksinya dan ketika tidak ada persaingan, naluri penguasa lambat laun menggantikan naluri pemimpin yang melayani. Dalam konteks otonomi daerah sekalipun, ide bahwa persaingan antar daerah akan meningkatkan kualitas pemerintahan pun belum tentu efektif. Mengapa? Karena mobilitas penduduk juga kemungkinan besar tidak elastis. Berapa banyak yang memutuskan pindah dari satu daerah yang kepemimpinannya kurang bagus ke daerah lainnya? Persaingan antar daerah pun akhirnya menjadi kurang greget. Ujung-ujungnya lingkaran setan, kecuali tentunya apabila ada yang lebih banyak bersuara untuk menunjukkan bahwa menyampaikan uneg-uneg itu biasa saja dalam kehidupan bernegara.

    Apakah perubahan paradigma ini mungkin muncul? Ya mungkin saja. Saya berani bicara seperti ini karena saya sendiri menerapkan nilai-nilai yang sama dalam institusi saya dalam bentuk 2 prinsip: (i) being radically open, dan (ii) being egalitarian. Skin in the game bukan cuma asal berteori! Harus diingat bahwa komunikasi itu selalu melibatkan biaya dan waktu. Komunikasi yang lambat dan tidak efisien bahkan bisa membunuh seperti dalam kasus Korean Air di tahun 90-an yang sempat terkenal paling tinggi tingkat kecelakaannya. Setelah diteliti ternyata penyebab kecelakaan bukan masalah teknologi pesawat yang ketinggalan jaman, melainkan masalah komunikasi dan hierarki sosial. Bahasa Korea antara junior dan senior sangat kaku, belum lagi sikap harus hormat kepada senior dan menganggap senior selalu benar (bisa lihat di sini dan di sini), sehingga dalam banyak kasus, ko-pilot kesulitan menyampaikan adanya masalah kepada pilot karena bingung menyampaikan dalam bahasa yang santun padahal ketika terjadi masalah dalam penerbangan, setiap detik berharga! 

    Bayangkan contoh komunikasi seperti ini ketika pesawat sudah gonjang ganjing: "Bapak pilot yang sangat saya hormati, izin menyampaikan, nampaknya ada kendala di autopilot. Maaf bukan bermaksud menyalahkan apalagi mempertanyakan kewenangan bapak. Kiranya boleh saya periksa, tentunya dengan seizin bapak seandainya bapak berkenan." Untungnya setelah pelatihan intensif, Korean Air kini sudah tidak lagi mengalami isu yang sangat mengerikan ini. Dan tentunya kita juga tidak menginginkan hal yang sama terjadi di negara ini dalam institusi mana pun bukan?

    Sebagaimana saya mengambil posisi tegas dalam institusi saya untuk melenyapkan basa basi dan katabelece serta memastikan adanya transparansi radikal dalam komunikasi internal sehingga informasi bisa sampai secara lugas dan masalah bisa segera diselesaikan, Presiden juga bisa menerapkan hal yang sama kalau ingin mendengar lebih banyak masukan dari warganya. Hal ini juga bisa dilakukan tanpa harus mengubah undang-undang yang memakan waktu lama karena ini masalah membuat budaya institusi yang baru. Cukup dengan pernyataan sebagai berikut: "setiap warga berhak untuk mengeluh dan setiap pejabat dan organisasi apapun (termasuk yang mengaku pendukung Presiden dan sejenisnya) tidak diperkenankan untuk memperkarakan keluhan warga negara."    

    Bahkan kalau perlu, Pemerintah bisa mengadopsi jasa yang dibahas oleh New York Times untuk ibu-ibu yang senewen di Amerika karena harus bekerja dari rumah sambil mengurus anak-anak mereka sebagaimana bisa dibaca di sini. Berikan ruang bagi orang-orang frustrasi untuk bisa bersuara karena kalau suara-suara itu direpresi terus justru lama-lama akan meledak dan kita tidak tahu pasti efek akhirnya seperti apa.

    Perlu diingat, Pemerintah yang memahami seberapa besar kuasa dan legitimasi yang dimiliki olehnya seharusnya tidak mungkin bisa tersinggung oleh kritikan siapa pun karena orang yang benar-benar kuat seharusnya memiliki mental baja. Kalau hari ini dikritik, besok harus lebih baik. Dikritik itu ya biasa saja. Saya sendiri sering komentar, ini anak-anak di kantor kayanya sering lupa kalau saya Managing Partner, and I completely love it! Karena artinya nilai-nilai yang saya bangun dari awal itu (bahwa tidak masalah menyampaikan uneg-uneg secara langsung tanpa basa-basi dan justru harus segera  menyampaikan kalau ada isu) sudah mendarah daging dan moga-moga diteruskan untuk selama-lamanya. Sekali lagi, leadership is liability, not privilege, and the love of doing service must come from the fire in your soul.

    Yang penting bisa dibedakan mana yang uneg-uneg serius dan mana yang memang sekedar trolling. Lagi-lagi saya gunakan analogi yang sama dalam bisnis jasa. Kalau sampai ada klien komplain, kita pasti harus pelajari mengapa komplain ini terjadi. Sekedar salah paham? Ada kesalahan aktual di pihak lawyer? Atau ada kondisi lainnya? Tapi yang pasti, tidak mungkin ujug-ujug kita justru marah balik dan menyalahkan kliennya sambil beranggapan bahwa kita tidak mungkin salah, karena kalau demikian kita bekerja, bisnis kita jelas tidak akan bertahan lama. Begitu juga klien tidak akan senang kalau kita telat atau tidak terbuka dalam menyampaikan masalah sehingga baru ketahuan di akhir-akhir ketika semua sudah terlambat. Kalau itu terjadi dalam pekerjaan saya, rasanya ingin harakiri saja karena malu. Sesederhana itu.   

    Sampai di sini, saya masih bicara tentang hal-hal ideal. Tapi saya juga perlu menyampaikan pesan layanan masyarakat, kita harus selalu bertindak pragmatis karena pasal-pasal karet masih ada dan kalau melihat sejarah penggunaannya, pasal-pasal itu masih akan bercokol untuk waktu yang lama. Sambil menunggu komitmen yang lebih besar dari Pemerintah untuk menjadikan masyarakat sebagai the real boss, penyampaian komunikasi secara hati-hati harus tetap dijalankan. Bukan apa-apa, kebetulan saya lawyer, dan sedikit banyak saya bisa mengukur batasan tulisan macam apa yang bisa saya sampaikan tanpa polesan sedikit pun (misalnya kalau sedang bicara soal politik US) dan mana yang saya harus poles supaya tidak bisa atau jauh lebih sulit untuk dianggap sebagai pernyataan yang bisa membahayakan posisi hukum saya. Tapi bagi sebagian besar orang awam, sikap mawas diri ini belum tentu ada sehingga jadi sering asal bunyi yang kemudian berujung keributan tidak perlu dan dilanjutkan dengan saling gugat atau saling lapor pidana. Lelah kan?

    Beberapa catatan kalau anda misalnya sudah tidak tahan dengan suatu kondisi dan merasa perlu menyampaikan uneg-uneg anda: (i) jangan pernah menggabungkan kata-kata makian dengan nama pejabat/institusi mana pun di negara ini, (ii) pastikan fakta yang disampaikan untuk anda kritik sudah anda cek akurasinya, minimal jangan pakai sumber abal-abal tapi dari narasumber berita yang sudah ada reputasinya, (iii) daripada marah-marah dan ngegas, pertimbangkan untuk menggunakan emosi kesedihan atau kekhawatiran dalam tulisan anda, bangun simpati dan cerita yang menyayat hati (tapi jangan pernah bohong ya), dan (iv) cobalah menulis secara esoterik (taktik lama dari jaman Yunani kuno yang masih bisa dipakai hingga hari ini, makin mbulet, makin bagus). Lelah ya? Yha, begitulah. Or you can always study the law and become a lawyer. Selamat menulis kritik yang membangun!

  • Kesetaraan Gender dan Industri Hukum

    Pengumuman pengangkatan 2 Senior Partner baru di UMBRA, Melati Siregar dan Poppy Cut Rahmasuci, merupakan momen yang tepat untuk mengangkat kembali tema kesetaraan gender, khususnya dalam industri hukum. Bagi pembaca blog ini dan khususnya yang sudah kenal saya lumayan lama, harusnya tahu posisi saya soal kesetaraan gender: saya menolak segala bentuk pengaturan soal pembagian peran pria dan wanita selain dari apa yang masing-masing mereka kehendaki sendiri secara sadar dan berdasarkan pengetahuan yang cukup. Artikel lama saya soal ini bisa dibaca misalnya di: Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup serta Absurdnya Ide Pengurangan Jam Kerja Wanita

    Posisi saya di atas belum berubah sama sekali, dan karena kebetulan sekarang saya sudah memiliki institusi sendiri, saya bisa lebih bebas mengimplementasikan visi misi tersebut. Sejak dahulu kala, industri hukum memang tidak terkenal sebagai industri yang ramah bagi perempuan. Menariknya, jika diperbandingkan, Indonesia mungkin justru terhitung lebih progresif dibandingkan dengan dedengkot industri hukum modern berskala besar di Amerika Serikat mengingat di Amerika, perempuan tidak diperkenankan masuk ke sekolah hukum apalagi berpraktek hukum setidaknya sampai dengan akhir abad ke-19/awal abad ke 20 dan efeknya sedikit banyak masih terasa hingga kini, partisipasi perempuan di bidang hukum masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan partisipasi lelaki.

    Jam kerja kantor hukum yang brutal ditambah masih adanya stigma pembagian peranan wanita dan pria baik secara domestik maupun bisnis dalam budaya, agama, dan negara tertentu memang sangat menyulitkan posisi perempuan untuk berkarir sebagai pengacara/advokat. Umumnya, analisis standar (kalau bisa dikategorikan sebagai analisis) dalam mempertimbangkan apakah suatu kantor hukum akan mempekerjakan pengacara perempuan adalah: berapa lama kira-kira ia akan bekerja secara efektif dalam kantor? Apakah ia sudah memiliki pasangan? Apakah ia akan memiliki anak? Kekhawatiran utamanya adalah apabila kantor sudah berinvestasi sedemikian rupa dengan pengacara perempuan tersebut namun di tengah jalan tiba-tiba ia memutuskan berhenti bekerja karena alasan menikah, memiliki anak dan selanjutnya harus fokus mengurusi keluarga. Bagi industri yang sangat mengandalkan kualitas pribadi dari masing-masing talentanya, kehilangan talenta yang bermutu karena urusan seperti ini tentu akan sangat menyakitkan dan kontra produktif.        

    UMBRA sendiri tidak menerapkan kebijakan khusus "pro perempuan" semisal affirmative action. Jadi fakta bahwa saat ini pengacara perempuan mewakili 64% dari total 50 lawyer di UMBRA dan 37,5% di level Senior Partner bukan hasil dari suatu kebijakan khusus yang meminta porsi perempuan ditambahkan dalam jumlah karyawan kantor. Sebagaimana saya sampaikan dalam tulisan-tulisan saya, sebagai penganut kesetaraan garis keras, saya justru tidak mau ada pemberian perlakuan spesial atas dasar gender (selain karena isu biologis semisal hanya perempuan yang sejauh ini bisa hamil dan oleh karenanya wajar diberikan cuti melahirkan). No wonder people consider me as the most unromantic guy, haha.

    Isunya sedari awal memang bukan memberikan kesempatan tambahan kepada perempuan untuk dipekerjakan, tetapi bagaimana kita bisa memberikan edukasi kepada semua pemangku kepentingan yang relevan dengan si calon pengacara (termasuk orang tua, pasangan, dan handai taulan) bahwa seharusnya perempuan tidak dibebani tambahan tanggung jawab untuk mengurus isu-isu domestik yang seakan-akan secara alamiah menjadi bagian dari pekerjaan mereka. Penambahan beban ini yang kemudian sering kali menyebabkan perempuan harus memilih antara karir dan keluarga karena setelah secara ajaib tugas-tugas tersebut dianggap sebagai tugas perempuan, pengerjaan tugas-tugas tersebut oleh kaum lelaki dianggap semacam tindakan yang tidak sesuai dari garis kodrat lelaki (karena memang kalau mau bikin teori absud itu jangan setengah-setengah, harus tekan gas sekencang-kencangnya). Ini bahkan kita baru bicara soal pembagian peran saja, belum lagi stigma-stigma lainnya terkait kepemimpinan dan sifat psikologis perempuan yang akan jadi bahasan di lain waktu. 

    Terkait pembagian peran, selama pemangku kepentingan lainnya tidak secara aktif mendukung peranan perempuan yang lebih fleksibel, menambah porsi keterlibatan perempuan dalam bisnis akan menjadi kesia-sian. Mengapa? Karena terlepas dari promosi yang diberikan kepada mereka, selama beban tambahan di rumah terus ada, perempuan akan terus terpaksa untuk memilih dan belum tentu mereka akan memilih karirnya. Kalau demikian, untuk apa mereka dipromosikan di awal? Justru makin sedikit insentif bagi kantor hukum untuk mempromosikan perempuan karena adanya resiko tinggi dalam memberikan promosi kepada orang yang kemungkinan tidak akan meneruskan keberlangsungan institusi. Oleh karena itu, seperti layaknya kunci berdansa Tango yang indah atau membangun bisnis yang sukses, keberadaan partner yang kolaboratif mutlak ada, tidak bisa dilakukan sendirian.

    Yang mungkin tidak terpikirkan juga oleh penganut pembagian fungsi lelaki dan perempuan adalah bagaimana efek klaim pembagian yang kaku itu berdampak terhadap pilihan hidup kaum perempuan. Contoh di Korea Selatan dan Jepang misalnya ketika tingkat perkawinan dan kelahiran anak terus mengalami tren yang menurun. Yang namanya manusia memang sulit buat dipaksa terus menerus, jadi ketika perempuan tidak bisa melihat lagi fungsi dari pernikahan selain cuma nambah-nambahin kerjaan dia, apa insentif dia untuk masuk ke dalam institusi itu dan mengorbankan karirnya? Ini soal trade-off yang rasional. Pernikahan tentu ada manfaatnya, tetapi juga tidak kalah banyak biaya dan permasalahannya. Ini yang seharusnya juga dipertimbangkan sebelum memaksakan pembagian tugas tersebut dalam hubungan pernikahan atau hubungan-hubungan lainnya yang memerlukan pasangan untuk tinggal bersama. Ada aksi, tentu ada reaksi. Lebih rincinya sudah saya diskusikan di artikel lama saya yang bisa diakses di awal artikel ini. 

    Nah, kembali lagi ke soal edukasi pemangku kepentingan, minimal yang bisa saya sampaikan adalah praktek yang saya jalankan sendiri. Berhubung saya tidak sepakat dengan pembagian tugas domestik, dengan sendirinya, otak saya tidak bisa mengkotak-kotakkan tugas-tugas mana saja yang cocoknya dikerjakan perempuan atau oleh lelaki. Misalnya saya suka mengurus urusan administratif (which is why I act as the Managing Partner) dan memasak. Ya ketika di rumah, saya yang mengerjakan itu semua. Apakah dengan demikian saya tidak lagi menjadi laki-laki atau kelaki-lakian saya berkurang karena mengurusi hal-hal printilan? I dare anyone to make such claim against me. Prinsip saya gampang, serahkan tugas pada orang yang paling efisien untuk mengerjakan tugas itu. Dan karena waktu mahal, apabila ada orang lain yang bisa mengerjakan tugas itu dengan lebih baik dan dengan biaya yang bersaing, ya kasih ke orang itu. Sederhana toh? Ini bukan cuma buat bisnis, tapi juga urusan di rumah. 

    Tentu saja sebagai orang yang berkecimpung dalam hukum Islam, saya hafal semua dalil-dalil yang bisa dipakai untuk memosisikan saya (sebagai lelaki) untuk mendapatkan privilese tambahan, macam mengklaim berhak jadi pemimpin bagi wanita, atau lebih tinggi derajatnya sebagai suami, atau bisa minta jatah hubungan seksual setiap saat dari istri. Tapi seumur-umur saya tidak pernah menggunakan dalil itu dan alasannya sederhana (saya tidak akan membahas interpretasi dan dalil hukumnya dalam artikel ini, karena saya memang tidak sedang menulis soal aspek hukum), harga diri pribadi! Masa untuk menunjukkan bahwa saya lebih superior dari orang lain, saya harus minjam dalil yang sumbernya tidak intrinsik dari diri saya sendiri? Obviously, I want to demonstrate that I am superior against anyone else, but for the love of God, that should be established based on my own personal quality and nothing else

    Isu harga diri buat saya sebagai lelaki bukan level remeh temeh macam ketika saya menggunakan payung warna pink di Depok jaman kuliah dulu. Buat saya isunya segampang: suhunya panas banget, saya ga tahan panas (itulah mengapa saya suka banget musim dingin yang brutal di Chicago, walau kelahiran tropis, saya gagal jadi anak tropis), saya masih harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki (maklum, mahasiswa miskin), dan payung yang tersedia cuma ada yang warna pink. Persetan dengan persepsi terkait korelasi warna pink dan laki-laki atau ide bahwa lelaki seharusnya tahan panas dan ga boleh pakai payung.  

    Isu harga diri saya bahkan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan gender saya, melainkan bersumber dari apakah saya bisa meyakini tanpa ada keraguan bahwa saya sudah mencapai kualitas yang saya inginkan dalam melakukan hal-hal yang saya putuskan sendiri sebagai keahlian saya. Dan menentukan hal-hal yang menjadi keahlian kita akan sangat bergantung dengan pilihan hidup masing-masing. Bebas.

    Aspek berikutnya di kantor yang saya jalankan terkait isu kesetaraan gender adalah kita tidak memasukkan potensi pengacara perempuan untuk suatu hari nanti berhenti bekerja karena urusan keluarga sebagai basis untuk menentukan apakah kita akan mempekerjakan yang bersangkutan atau tidak. Resiko itu selalu ada, tapi kita bertaruh dengan pemberian edukasi sebagaimana saya sampaikan di atas. Karena memang manusia ga bisa dipaksa. Tidak semua orang bisa menerima bahwa pembagian tugas itu hanyalah konstruksi sosial yang bisa jadi pernah efisien di masanya, tapi tidak lagi relevan di masa kini. Yang bisa kita lakukan adalah memfasilitasi supaya kesempatan perempuan tidak lantas berkurang untuk berkarir dan di sisi lainnya, karena tidak ada affirmative action, tidak perlu pusing menganalisis perkembangan karir masing-masing pengacara selain dari kualitas intrinsik mereka sebagai legal experts and rainmaker

    Terakhir, situasi pandemi ini menunjukkan bahwa peluang untuk bekerja secara fleksibel itu sangat memungkinkan (ini juga saya bahas dalam artikel untuk menyambut tahun baru 2021). Dan fakta ini seharusnya bisa memudahkan pilihan karir perempuan (dan sebenarnya juga lelaki, karena berpikir bahwa cuma perempuan saja yang ingin menghabiskan waktu di rumah adalah bentuk sesat pikir dan diskriminasi bagi kaum lelaki). Alih-alih harus mengorbankan salah satu, opsi kerja fleksibel yang bebas dari keterbatasan ruang memungkinkan setiap orang untuk menjalankan peran ganda di rumah dan di luar rumah. Artinya, kemampuan manajemen waktu supaya orang bisa makin produktif di mana pun mereka berada akan makin menjadi krusial. 

    Perlu diingat bahwa kemajuan teknologi tidak menafikan kebutuhan dukungan dari semua pemangku kepentingan. Edukasi ini perlu terus menerus diulang-ulang dan disosialisasikan. Kalau belum punya pasangan, baiknya bertanya soal pilihan masa depan. Dengan situasi persaingan yang makin tinggi, konsepsi pembagian tugas lelaki dan perempuan yang digaungkan dalam Undang-Undang Perkawinan akan makin usang. Realitasnya, apa masih memungkinkan bagi kebanyakan pasangan untuk mengandalkan hanya satu sumber penghasilan? Data empirisnya masih perlu digali lebih jauh, tapi saya sangsi tren single income family bisa bertahan untuk masa depan (kecuali salah satu pasangan kita masuk kategori wong sugih, kalau sobat misqueen, ya sulit). 

    Bagaimana dengan industri hukum sendiri? Bisnis harus terus selalu berkembang dan karena bisnis hukum adalah bisnis orang, membatasi pool kandidat berbasis gender adalah tindakan yang culun. Talenta bisa datang dari mana saja dan adalah pilihan yang rasional untuk membuka keran supply sebesar-besarnya untuk dapat mencari penerus-penerus institusi selanjutnya. Masalah bagaimana kita mendidik mereka dan memastikan mereka akan jadi penerus yang mumpuni adalah tantangan selanjutnya.

    So, congratulations again to Melati and Poppy, a pleasure to welcome you both at the senior partnership table. Cheers to all the female lawyers!     

  • Happy New Year 2021!


    I officially closed 2020 with UMBRA’s M&A and Restructuring PG Annual Dinner on 19 December. Thanks to the superb dinner set from @august_jkt (which is simply the best private dining organizer in Indonesia for me to date), we had a very enjoyable evening. 

    Given the hassle of running any gathering (testing every participants, setting the open air place, enforcing the safety protocol, you name it), it was the only event that I could have with my kids in 2020 since the start of our WFH in mid March 2020. Indeed, it was also the first time for me to physically see some of my new recruits during the pandemic. So I am glad that despite the herculean efforts, it could still be done 🥵🥵🥵.

    I have to admit that running the whole firm from home is a new experience, it’s unprecedented for a law firm even in all of my personal collection of general and law firm management books (what, you think you can manage a big business only by intuition without learning the materials? I take my job seriously). While I've always envisioned a flexible working arrangement where lawyers can work from any place and any time (the last part is probably frightening for some people), prior to the pandemic there was always a big question mark on three issues: (i) how can we ensure that people will actually work at home, (ii) how can we do proper quality control, and (iii) how can we convince the client to avoid physical meetings?

    Luckily, when everyone is forced to work from home, it becomes clear that there are ways to do things more efficiently. Without the hassle of rumbling traffic and waiting for late people, we could manage to perform additional tasks and have more meetings in a single day. I thought I was damn busy in 2019, but 2020 showed that I was wrong. 

    Of course, physical gathering would still be important, especially to build trust among peers and clients. Had we started UMBRA during a pandemic, the results would probably be ugly for us. It is precisely because we had the chance to make our presence known to the clients prior to the pandemic that we could turn the challenges to become opportunities. And I am extremely grateful for having the right timing. I know that hard work is essential, but you can’t deny the role of chance and luck in doing a business. Understanding this iron law would help you to have a realistic and pragmatist perspective, for each optimism, one must always be cautious. And while planning does not always yield successful results, we plan to fail when we fail to plan.

    Yes, not be able to going anywhere and meeting anyone freely still sucks. I miss Japan and all the chefs there. I miss the United States and my beloved family and law school there. But at the same time, I am still grateful that I have a firm with resilient and hard working people, managed to close super interesting and historical deals for my clients, won multiple prestigious awards for the firm, had the time to read and do more research for my planned book, was able to actually finish FF VII Remake (and got Platinum Trophy), One Piece Pirate Warriors 4, and The Last of Us 2 (only 3 games this year (4 if I counted Hades, but it's still ongoing), but hey, given my workload, I call that an achievement 😊), had the chance to improve my cooking skills, and finally, after waiting for more than 10 years, being officially admitted as an indoor disciple of Wu Tang school of martial arts (what a joy!!!). 

    Now, if only I could cure my blocked nose that has haunted me for the past 8 months, I would give 2020 a perfect score! Let’s make new history in 2021! Bismillah.

  • Do Judges Play by the Rules? - A Reply to ''Playing by The Rules''


    Jurisprudence and legal interpretation are two themes that are dear to me. As such, I was quite ecstatic  when I received a copy of a book chapter titled: "Playing by the rules: the search for legal grounds in homosexuality cases - Indonesia, Lebanon, Egypt, Senegal" from Sam Ardi last week, especially because the front page mentions the terms "positivist" and "realism" in law and the chapter itself seems to discuss the role of interpretation in dealing with concrete legal problems. While the paper is indeed interesting and informative for a descriptive work on how different jurisdictions interpret their laws on homosexuality cases, I find that the core analysis lacks a coherent theme from jurisprudential and social science perspectives and this will be the focus of my comments today.
  • Hukum dan Imajinasi - Sebuah Surat Cinta Bagi Ilmu Hukum

    Di penghujung artikel saya minggu lalu mengenai kemungkinan sesuatu mengada dari ketiadaan, saya menyampaikan bahwa salah satu alasan penting untuk menunjukkan bahwa keberadaan Causa Prima atau Tuhan bukan merupakan suatu keniscayaan secara logika maupun ilmiah adalah supaya orang memahami bahwa hal tersebut merupakan perkara iman dan keyakinan pribadi yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Dalam artikel hari ini, saya ingin menyampaikan satu alasan lainnya yang tak kalah penting terkait pemahaman di atas, yaitu pentingnya berimajinasi. 

  • Apakah Mungkin Sesuatu Mengada dari Ketiadaan?

     

    Gara-gara menemukan twit imut di atas, saya jadi teringat salah satu diskusi beberapa bulan lalu soal apakah keberadaan causa prima (yang biasanya diterjemahkan menjadi Tuhan) itu suatu keniscayaan secara logika (logical necessity), dan oleh karena itu harus benar adanya dalam setiap keadaan. Pendek kata, dalam diskusi tersebut saya menyampaikan bahwa keberadaan causa prima tidak niscaya secara logika dan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibuktikan baik secara logika maupun empiris, dan oleh karenanya ada peran yang besar dari iman dalam beragama, khususnya untuk hal-hal yang ujungnya memang sesederhana percaya ga percaya.
  • On Finding a Successor


    I recently found another gem of a slice-of-life manga titled Sota's Knife (Souta no Houchou) and boy, what a page turner! The manga tells the story of Sota Kitaoka, a young man from Hokkaido, that pursues the art of classical Japanese cuisines at Ginza Tomikyu, a ryotei that is known as one of the best traditional restaurants in Tokyo (all are fictional in case you are wondering). The relationship between Sota and Kyugoro Tomita (his Oyakata a.k.a boss/owner chef/master), his colleagues (including his love interest, Tomita's daughter), his growth from a kitchen helper to the top level, his dream of opening his own restaurant versus continuing the legacy of his boss, the hyper competitive environment of restaurants in Tokyo, and the passion and dedication of a true Shokunin shown throughout the series, are simply beautiful and full of emotions. Not only that they remind me of all the restaurants and chefs in Japan that I love so much (and sadly I could not visit until God knows when), but also the journey of my own career and what I look forward to for my future.

  • Islam dan Kebhinekaan - Sebuah Tanggapan Untuk Sohibul Iman


    Saya tertarik membaca opini pagi ini di Republika dari Mohamad Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera, dengan judul: Islam, Kebinekaan dan NKRI. Walaupun judulnya terkesan mengusung pentingnya kebhinekaan dan kerja sama antar anggota masyarakat dalam kerangka NKRI, ada beberapa bagian yang saya rasa perlu sekali dikritisi. Untuk itu akan saya mengutip beberapa paragraf dari artikel tersebut yang saya anggap penting untuk dianalisis lebih jauh.

    Pertama, Sohibul Iman menulis: "Ada anggapan bahwa menghormati kebinekaan hanya diartikan sebagai sikap merayakan perbedaan, tapi kurang mengindahkan hak setiap warga memeluk dan menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi dan aturan perundang-undangan yang berlaku... ...Kebinekaan terawat bukan karena klaim sepihak, melainkan karena adanya sikap jujur, terbuka, tanggung jawab, dan adil. Jika ada pemikiran yang mencoba membenturkan antara Islam, kebinekaan, dan NKRI, pemikiran itu harus diluruskan karena berbahaya dan ahistoris. Islam, kebinekaan dan NKRI adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Menjadi seorang muslim yang lurus maka secara aksiomatis juga menjadi seorang nasionalis sejati dan pluralis seutuhnya."  

    Saya mendukung pernyataan normatif di atas. Di atas kertas, ini adalah nilai-nilai yang sangat pantas untuk diusung di Indonesia dan saya pikir sebagian besar bangsa Indonesia (kalau bukan seharusnya seluruhnya) akan menerima ide-ide tersebut. Tetapi tentunya kita tidak bisa bicara kisah-kisah yang indah saja, kita juga perlu berbicara tentang kasus-kasus dimana ada nilai-nilai yang saling berbenturan, karena dalam demokrasi, perbedaan adalah keniscayaan, isunya adalah bagaimana menjaga keutuhan masyarakat sebagai akibat dari perbedaan tersebut. Sebagai contoh, ketika suatu umat memiliki hak untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, mana yang harus didahulukan ketika kemudian nilai ajaran tersebut tidak 100% sesuai dengan nilai moral lainnya (misalnya nilai kebangsaan atau nasionalisme), adat istiadat, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku? Apakah mungkin semuanya bisa berjalan beriringan, atau kita harus memilih salah satu? Kalau harus memilih, bagaimana caranya supaya tidak timbul konflik yang lebih jauh?

    Sebagaimana kita ketahui bersama, perkara hukum terkait penodaan agama yang kemudian menyulut aksi dari sebagian masyarakat beberapa minggu terakhir ini bukanlah perkara sederhana. Ayat Qur'an yang dipermasalahkan sangat terkait dengan isu politik, soal siapa yang bisa diangkat dan tidak bisa diangkat menjadi pemimpin umat Muslim di Indonesia. Pembahasan tafsir dan fikih terkait Al-Maidah: 51 sudah saya bahas panjang lebar sebelumnya dalam artikel saya di sini dan di sini. Intinya ada ragam perbedaan pendapat, dimana setidaknya ada satu pendapat yang menyatakan bahwa pemimpin non-Muslim seharusnya haram (terlepas apa jabatannya dan bagaimana cara diangkat atau dipilihnya).

    Konteks keberadaan ayat ini seharusnya tidak dipisahkan dengan inti perkara hukum yang sedang berjalan. Saya memahami adanya beberapa pihak yang mencoba memisahkan kedua hal tersebut, seakan-akan ada sebuah kasus penodaan agama yang berdiri sendiri. Tapi bagaimana mungkin ada kasus penodaan agama yang berdiri tanpa konteks apapun? Ketika orang ingin menodai, mengungkapkan rasa kebencian atau permusuhan, tentunya harus ada latar belakang yang mendasari hal tersebut. Kalau tanpa alasan, pelakunya bisa jadi gila, dan justru akan lepas dari hukuman karena orang yang sakit jiwa umumnya dilepaskan dari pidana. Harus ada latar belakang, dan latar belakang itu yang kemudian harus diperiksa lebih jauh karena berhubungan sangat amat erat dengan inti dari artikel Sohibul Iman.

    Kalau klaim Sohibul Iman benar, yaitu bahwa umat Islam di Indonesia secara aksiomatis sudah pasti nasionalis dan pluralis, bagaimana caranya kita menjelaskan adanya fenomena menolak pemimpin non-Muslim semata-mata karena agamanya, terlepas dari hasil kinerja, moralitas, kemampuan memimpin dan faktor-faktor lainnya yang umumnya diharapkan dari seorang pemimpin yang berkualitas? Dalam versi tafsir yang paling masyhur, urusan agama ini adalah faktor yang menutup faktor-faktor lainnya. Non-Muslim tidak bisa jadi pemimpin kecuali untuk jabatan dengan wewenang yang sangat minim dan terbatas. Titik. Apakah tafsir tersebut kemudian bisa dianggap sebagai bentuk pluralisme atau dukungan atas NKRI?

    Ada yang mencoba mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa umat Islam sudah menerima bentuk NKRI yang memungkinkan kaum non-Muslim untuk menjadi pemimpin, tetapi umat Islam tidak bisa dipaksa memilih dan tetap berhak mengajarkan dimana-mana bahwa kaum non-Muslim tidak bisa menjadi pemimpin. Kalau demikian adanya, sejauh mana hal tersebut diperbolehkan? Kapan batasannya antara diskusi ilmiah tentang keharaman memilih pemimpin non-Muslim dan ujaran kebencian kepada pihak lain yang berbeda?

    Ambil contoh kasus Rhoma Irama di tahun 2012 yang sempat tersandung isu SARA ketika memberikan ceramah pada musim Pilkada. Dalam ceramahnya yang bisa dilihat di sini, Rhoma menyampaikan bahwa apabila Ahok yang non-Muslim, yang cina, yang Kristen sampai jadi Gubernur pemimpin ibu kota, maka umat Islam menanggung aib bersama di dunia internasional, innalilahi. Tutur kalimat Rhoma disampaikan dengan santun, tetapi apakah isinya damai dan tidak menyakiti hati orang lain? Sebagaimana pernah saya bahas pula di artikel-artikel saya sebelumnya, pembahasan dalam tafsir-tafsir klasik terkait isu pemimpin non-Muslim pun juga sangat konfrontatif karena non-Muslim dicap sebagai kaum yang tak bisa dipercaya dan senantiasa menginginkan keburukan untuk kaum Muslim. Apakah pernyataan seperti ini sah-sah saja disampaikan di muka umum sepanjang katanya hanya dikonsumsi untuk umat Islam di masjid, sekolah, atau pondok pesantren, terlepas apakah kalimat itu juga sangat menuduh, sangat tendensius, dan menyakiti hati orang lain? Jangan lupa juga bahwa ketentuan Pasal 156 dan 156a KUHP terkait penodaan terhadap golongan dan agama tidak memberikan pengecualian bahwa hal itu boleh sepanjang dilakukan di muka orang-orang yang seide (atau paling tidak dianggap seide), yang penting dilakukan di muka umum dan pengertian "di muka umum" sangat luas.

    Saya juga ingat ada yang menggugat Ahok secara perdata gara-gara ada kutipan berita bahwa Ahok menuduh peserta aksi bela Islam pada tanggal 4 November 2016 menerima uang Rp500.000. Walaupun faktanya masih diperdebatkan, tetapi sudah dijadikan dasar bahwa pernyataan menerima uang itu menghina dan menyakiti hati peserta aksi, karena mereka dituduh tidak tulus, sekedar orang bayaran. Kalau pernyataan yang ambigu saja sudah bisa dijadikan dasar untuk menyakiti hati dan orang ternyata bisa tersinggung karena dituduh kurang tulus, apalagi kalau suatu kaum ramai-ramai dituduh penipu, tak bisa dipercaya dan gemar berkonspirasi untuk menjatuhkan orang lain? Bukannya ini seperti sedang menanam bom waktu? Konflik tidak meledak semata-mata karena kebetulan kaum yang dituduh belum bereaksi dengan keras?

    Fenomena kasus Rhoma Irama di atas juga bukan yang pertama kalinya, nuansa khotbah demikian terkait relasi kaum Muslim dan non-Muslim sudah sering saya baca dan dengar (khususnya melalui khotbah Shalat Jumat). Saya bersyukur paling tidak Rhoma Irama akhirnya tak sampai dipenjara dan saya juga tak akan menyarakan agar pelaku-pelaku lainnya dipenjara karena sedari dulu saya meyakini penjara bukan solusi efektif untuk kasus-kasus seperti ini. Tetapi kita harus sadari bahwa fenomena itu ada, dan sangat sulit untuk menyatakan bahwa fenomena tersebut sesuai dengan nilai kebhinekaan dan pluralisme yang menurut Sohibul Iman sudah diadopsi dengan tegas oleh umat Islam di Indonesia.

    Saya juga heran dengan kalimat Sohibul Iman terkait hak mayoritas untuk dihormati, yang ia ulang setidaknya 3 kali termasuk kalimat di atas yang saya kutip, yaitu: "...Ki Bagus Hadi Kusumo sebagai pokok pimpinan Muhammadiyah bersama tokoh umat Islam lainnya yang berbesar hati mengesampingkan aspirasi umat Islam, dengan merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya dengan sila pertama Pancaila..." dan "...Kebinekaan tercermin ketika kelompok mayoritas mampu menghargai dan mengayomi minoritas. Di saat yang sama, kelompok minoritas juga bisa memosisikan diri dan bersikap hormat serta toleran kepada kelompok mayoritas."

    Dengan kalimat di atas, Sohibul Iman seakan memberikan isyarat bahwa kaum mayoritas sudah beberapa kali mengalah, itu bonus bagi yang minoritas, oleh karena itu sebaiknya yang minoritas harus tahu diri dan lebih hormat kepada yang mayoritas. Untuk keperluan diskusi ini, saya akan berasumsi bahwa mayoritas dalam pandangan Sohibul Iman maksudnya merujuk kepada kaum Muslim Indonesia, dan kalau saya salah, silakan dikoreksi.

    Inilah alasan mengapa saya heran. Kalau benar bangsa ini pluralis, nasionalis dan berkebhinekaan, mengapa masih mengkotak-kotakkan mayoritas versus minoritas? Dalam kebhinekaan, seharusnya kita tidak lagi mempersoalkan mayoritas versus minoritas tetapi kepentingan bersama sebagai satu bangsa. Akan sangat berbahaya kalau kemudian kaum mayoritas merasa bahwa keamanan dan penerimaan terhadap kaum minoritas adalah sebuah privilege khusus bagi yang minoritas, suatu hak yang bisa diambil sewaktu-waktu kalau kaum mayoritas sudah merasa gerah dengan minoritas.

    Ambil kembali kasus Rhoma Irama. Suka tidak suka, fakta bahwa Rhoma adalah seorang Muslim dan juga cukup dikenal sebagai penyanyi religius berkorelasi positif dengan lepasnya ia dari jerat hukum. Ketika saya menonton acara TV terkait pembelaan bagi Rhoma (yang bisa dilihat di sini), pembelaan yang saya tangkap bagi Rhoma adalah bahwa ia hanya menyampaikan ajaran agama semata dan dikhususkan bagi umat Islam, dan oleh karena itu tidak bisa dianggap SARA. Anda juga bisa membaca artikel ini sebagai basisnya. Kalau dicermati lebih jauh isi artikel itu, tampak sekali sikap yang plin-plan. Tindakan Rhoma bukan SARA, tetapi negara Indonesia diakui bukan negara Islam melainkan negara demokrasi sehingga sebaiknya kampanye jangan menggunakan unsur SARA. Ibarat kata, di lubuk hati masing-masing, orang-orang ini mengakui bahwa apa yang disampaikan tidak baik, tapi sudah kadung kejadian, dan berjalan di masyarakat, jadi ya apa boleh buat. Dari kasus ini dan bagaimana ia berakhir, terdapat suatu pesan implisit bagi kaum minoritas: yang mayoritas berhak untuk menyampaikan ajaran agama, termasuk menjelekkan yang minoritas, dan yang minoritas harus tahu diri, jangan balik mengkritik, jangan marah atau menyinggung yang mayoritas, karena nanti bisa dilibas. Dimana kebhinekaan, nasionalisme, dan pluralismenya?

    Saya tidak heran kemudian contoh-contoh yang diberikan oleh Sohibul Iman terkait kontribusi umat Islam di masa lalu tidak nyambung dengan konsep kebhinekaan yang diusungnya sendiri. Contoh yang diberikan terkait perjuangan tokoh-tokoh Muslim Indonesia dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa. Apa hubungannya? Penjajahan tidak enak buat sebagian besar masyarakat Indonesia, jelas banyak yang berminat untuk melawan. Mayoritas penduduk pada masa itu pun juga orang Islam, secara statistik wajar kalau tokoh Islam juga lebih banyak yang muncul. Justru akan sangat memalukan kalau umat Islam mayoritas namun ternyata lebih banyak tokoh perjuangan non-Muslim yang muncul di permukaan. Alih-alih prestasi luar biasa, kontribusi umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan. Dan yang lebih penting lagi, kalau kita sepakat ini semua demi NKRI, maka kontribusi itu seharusnya juga bebas dari pamrih. Lagi-lagi ini bukan privilege yang diberikan oleh kaum mayoritas, ini juga bukan soal siapa yang lebih banyak berkontribusi. Dalam perjuangan kemerdekaan serta membangun dan merawat bangsa ini, kita semua setara dan sederajat. Yang ahistoris itu justru sikap mengklaim bahwa NKRI muncul karena kontribusi umat Islam semata atau minimal didominasi oleh umat Islam sehingga yang lainnya sebenarnya cuma penggembira yang keberadaannya cuma buih tak bermakna.

    Saya juga harus mempertanyakan usulan Sohibul Iman terkait solusi bagi NKRI berikut: "Adalah sunnatulah untuk membangun bangsa ini harus dengan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling bekerja sama. Kita tidak bisa membangun Republik ini hanya dengan melibatkan golongan dan kelompok tertentu, tanpa bantuan dan kerja sama elemen bangsa lainnya. Bangsa ini lahir dan bisa tetap tumbuh berdiri tegak hingga saat ini karena rasa kebersamaan yang terus terjalin." Dalam artikel itu Sohibul Iman juga menekankan pentingnya rasa saling memiliki dan saling mempercayai di antara masyarakat Indonesia. Bagaimana caranya kita membangun rasa kebersamaan ketika kita menanamkan doktrin bahwa satu kaum seharusnya dikeluarkan dari garis kepemimpinan? Bagaimana caranya menanamkan kepercayaan kalau diajarkan satu kaum tak bisa dipercaya sama sekali? Bagaimana caranya mengajarkan saling memiliki kalau kaum minoritas tahu bahwa kaum mayoritas sudah diajarkan untuk senantiasa menghalangi kaum minoritas untuk terjun dalam pemerintahan dan politik?

    Rasanya terkesan formalistik sekali (for lack of a better word secara orang gampang sekali tersinggung) ketika orang dengan santai berbicara bahwa mereka tidak menghalangi orang non-Muslim jadi pemimpin, mereka hanya tidak akan memilih saja sekaligus menyampaikan kepada publik seluas-luasnya bahwa orang non-Muslim tidak layak jadi pemimpin. Ibarat kata kita sampaikan kepada seseorang, "saya tidak akan menghalangi anda untuk maju, tetapi saya akan habisi anda di segala tahap setelah anda coba-coba maju supaya semua upaya anda itu sia-sia." Kalau cara demikian bisa efektif menimbulkan kebersamaan, saling percaya dan saling memiliki di antara kita, tolong hubungi saya, kita mungkin bisa menyusun teori ilmu sosial baru dan siapa tahu menang Nobel Perdamaian.

    Tidak mengherankan juga aksi-aksi belakangan ini sangat peduli dengan jumlah. Angka-angka berseliweran dari ratusan ribu sampai jutaan dengan segala dalilnya. Selama ini acara doa bersama dan demo-demo jarang ada penghitungan resmi, kita tahunya ramai atau tidak ramai. Tapi kali ini isunya sensitif. Sohibul Iman di pembukaan artikelnya menulis: "Ketika jutaan umat Islam berjuang membela martabat agamanya secara damai dan konstitusional karena merasa kesucian kitab sucinya dinodai oleh ucapan seorang pejabat publik, tiba-tiba ada sebagian kelompok yang justru menstigmanya sebagai sikap anti kebinekaan dan anti-NKRI." Harusnya kita bertanya, mengapa tuduhan itu sampai muncul? Mengapa ada yang mempertanyakan hubungan aksi keagamaan dengan isu kebhinekaan? Kita harus jujur dan adil sejak dalam pikiran kalau kita ingin menjawab pertanyaan ini dengan serius.

    Sebagaimana saya sampaikan di atas, isu penodaan agama ini tidak bebas konteks, ada isu yang jauh lebih besar di belakangnya. Selama para pemuka agama Islam masih tanggung-tanggung dalam menentukan batasan soal pemimpin Muslim ini, maka selama itu juga akan ada konflik karena jujur saja, bahkan dengan menggunakan standar logika yang paling rendah sekalipun, sulit sekali menyatukan konsep larangan memilih/mengangkat pemimpin non-Muslim dengan nilai-nilai nasionalisme dan pluralisme. Sedikit banyak, hal ini bisa menjelaskan mengapa aksi-aksi belakangan ini berfokus pada isu penistaan agama dan jumlah massa dan juga mengapa MUI tidak menjelaskan sedikitpun soal apa yang dimaksud dengan pemimpin dan apa batasannya ketika menyatakan Ahok sudah menista agama.

    Mungkin karena kalau ditelusuri lebih jauh sampai ke inti permasalahan, seluruh bangunan kasus penodaan agama bisa runtuh dan secara politis, isu ini tidak akan lagi seksi. Apabila kita membawa kasus ini ke sekedar penodaan agama, terlepas apa alasan dibelakang penodaan itu, saya tidak heran kalau ada banyak umat Islam yang berminat turut serta. Judulnya saja bela Qur'an dan bela Islam. Kadang keimanan memang tidak harus didukung analisis mendalam, judul itu sudah cukup untuk memanggil banyak orang untuk datang. Tapi ketika kita tekan soal ayat yang diributkan, kita akan sadar, bahwa praktek seperti ini memang sudah lama berjalan dan dibiarkan walaupun bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

    Gerakan kebhinekaan juga nampaknya tidak bisa mengartikulasikan isu ini dengan baik, mungkin takut dianggap mempertanyakan keyakinan sebagian umat Islam (saya sebut sebagian karena umat Islam pun juga sebenarnya terdiri dari beragam faksi dan keyakinan, mengklaim umat Islam sebagai hanya satu kesatuan adalah upaya yang ahistoris), sehingga akhirnya terjebak dalam nuansa yang sama, sekedar balas berbalas aksi, berharap jumlahnya akan lebih besar. Tapi debat dan perang tanding jumlah massa ini tidak substantif. Might does not make right, kalau cuma sekedar banyak-banyakan saja sudah dianggap benar, negara dan sistem demokrasi akan bubar. Salah besar kalau demokrasi dipikir hanya soal siapa yang lebih banyak. Inti dari demokrasi ada di check and balance. Pemikir demokrasi tahu bahayanya tirani mayoritas maupun tirani minoritas. Ini mengapa diperlukan sistem yang bisa menjaga jangan sampai ada tirani, sistem yang bisa membawa kita bisa menyelesaikan perselisihan dengan cara yang damai dan beradab.

    Dalam konteks Indonesia, kita perlu menyudahi unjuk kekuatan ini, kita juga tidak bisa berhenti sekedar dengan slogan kebersamaan dan saling memahami. Demokrasi tidak bisa berjalan dengan slogan, kita harus berani melihat inti permasalahan yang sebenarnya dan berani mengambil sikap dengan segala konsekuensinya. Kalau Sohibul Iman konsekuen dengan kalimatnya ini: "Tindakan yang merusak kebinekaan dan persatuan bangsa oleh siapa pun, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya, apa pun partai dan posisi jabatannya, maka harus diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law)," maka kita harus jelas mendefinisikan, yang dimaksud dengan merusak kebhinekaan itu seperti apa? Bagaimana caranya mendefinisikan kesetaraan di hadapan hukum, khususnya dengan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dan nilai-nilai kebangsaan yang sedang kita anut?

    Kalau sebagian dari kita begitu bersemangat ingin menyelesaikan perkara penodaan agama ini melalui sistem pidana, apa mereka juga siap apabila hal yang sama diterapkan kepada mereka? Atau kita masih akan berargumen bahwa apabila yang berbuat adalah kaum mayoritas, maka tidak ada masalah dan tidak merusak kebhinekaan seperti dalam kasus Rhoma? Kalau demikian, sebenarnya kita sedang bicara nilai macam apa? Saya sangat berharap agar permasalahan krusial ini tidak lagi sekedar dibahas di level kulitnya, ada banyak hal yang dipertaruhkan. Naif kalau kita melihat ini hanya sekedar perkara penodaan agama oleh pejabat publik, kita saat ini sebenarnya sedang memperdebatkan konsep kebangsaan kita sendiri, soal nilai mana yang akan lebih diutamakan.

    Saya tidak tahu apakah kita berani membuka pintu untuk perdebatan itu lagi. Tapi kalau kita setuju NKRI harga mati dan konsep final, kita juga harus menerima konsekuensinya seutuhnya, dan kemungkinan besar hanya ada 2 konsekuensi logis. Pertama, konsep menghalangi orang dipilih hanya karena agama semata tak bisa hidup dalam NKRI, atau kedua, kalaupun kita akan membiarkannya hidup karena alasan kebebasan berpendapat, maka kritik dan otokritik terhadap konsep itu juga harus dibuka sebebas-bebasnya, dan isu penodaan agama kali ini juga harus ditutup sebagai bagian dari kritik yang valid.

    Kalau kita berharap demokrasi bisa hidup cuma dengan kesantunan, kemungkinan besar kita akan kecewa. Kesantunan, sekalipun merupakan sikap yang baik, tidak menyelesaikan perbedaan, hanya menekan sementara perbedaan keyakinan yang ada di masyarakat. Kalau kita hanya mengajarkan kesantunan dan represi penyampaian ide, di satu titik, ia akan meledak, dan kita akan terlambat untuk mencegahnya karena akumulasi kekesalan yang selama ini tidak ditunjukkan ke permukaan. Demokrasi lebih butuh keterbukaan dan untuk bisa terbuka, setiap pihak harus dijamin terlebih dahulu bahwa ia bisa menyampaikan pendapatnya dengan aman dan jauh dari ancaman kekerasan dan pidana. Hanya dalam situasi demikian, dialog bisa berjalan, dan kita bisa sama-sama lebih memahami poin masing-masing pihak, sekaligus lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Setidaknya saya meyakini bahwa kondisi ini bukan suatu hal yang mustahil untuk tercapai di Indonesia, sekecil apapun probabilitasnya. Hidup Indonesia!                    


  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.