THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

Showing posts with label Law and Economics. Show all posts
Showing posts with label Law and Economics. Show all posts
  • Karikatur ISIS dan Kemalasan Dalam Beragama.


    Ketika saya membaca berita ini (yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama berdasarkan Pasal 156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana gara-gara dimuatnya karikatur ISIS di koran tersebut), saya tahu sudah saatnya saya menulis mengenai isu kemalasan dalam beragama yang nampaknya sudah keterlaluan di Indonesia.

    Kepolisian mengaku sudah memeriksa saksi ahli pidana, ahli agama, dan Dewan Pers sebelum menetapkan Meidyatama sebagai tersangka. Saya serius ingin tahu darimana asalnya ahli-ahli yang dihubungi oleh kepolisian karena ini benar-benar tak masuk akal. Coba kita baca bunyi pasal yang dituduhkan: "dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

    Pasal tersebut pada prinsipnya mirip dengan konsep pasal penghinaan. Dalam beberapa artikel saya sebelumnya di sini dan di sini, saya sudah menyampaikan mengapa kasus penghinaan sebaiknya tidak dibawa ke ranah pidana. Analisis yang sama juga berlaku untuk kasus ini. Pertama, siapa yang dapat mewakili suatu agama untuk menyatakan bahwa seseorang sudah menistakan agamanya? Bagaimana kalau misalnya pendapat umat terpecah belah? Ada yang menyatakan agama tidak dihina dan ada yang menyatakan agamanya telah dihina. Pendapat siapa yang mesti kita ambil? Perlu voting terlebih dahulu atau musyawarah mufakat?  

    Kedua, apa yang dimaksud dengan perbuatan atau pernyataan permusuhan atau penodaan? Ambil contoh konsep agama Islam dan Kristen saja. Agama Kristen jelas tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi dan menganggap Yesus sebagai Tuhan. Sebaliknya Agama Islam juga jelas tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Secara konseptual, kita bisa menyatakan bahwa inti ajaran Kristen sudah menghina doktrin paling fundamental Islam tentang ketunggalan Allah (Islam menyatakan bahwa salah satu dosa terbesar adalah menuhankan apapun selain Allah) dan kenabian Muhammad, dan demikian pula doktrin Islam tentang Yesus juga menolak doktrin utama Kristen. Dengan logika demikian, semua kegiatan dakwah seharusnya dilarang karena kalau tidak, baik umat Muslim maupun Kristen harus masuk penjara karena sudah saling menodai agama masing-masing. Absurd kan?

    Ini mengapa konsep penistaan agama rawan penyalahgunaan. Standarnya tidak akan pernah jelas, dan umumnya dikontrol oleh pihak mayoritas. Lebih parah lagi, karikatur yang diributkan itu sebenarnya menggunakan bendera ISIS yang faktanya memang merupakan organisasi yang biadab. Kalau mau konsisten, yang seharusnya ditangkap oleh polisi adalah orang yang pertama kali membuat bendera ISIS, karena selain mencatut kalimat suci agama Islam, bendera itu juga merusak nama baik umat Islam. Dalam hal ini, orang-orang yang mendukung ISIS dan membawa-bawa bendera ISIS di Indonesia juga seharusnya ditangkap karena sudah menodai Islam di muka umum. 

    Ironisnya, karikatur itu sebenarnya dicomot oleh Jakarta Post dari koran di Timur Tengah. Malahan di Timur Tengah, ISIS seringkali diolok-olok, misalnya bisa dilihat di berita ini. Dan olok-olok itu juga memuat bendera ISIS yang mencomot kalimat suci syahadat. Apakah kemudian orang-orang Timur Tengah ini sudah menistakan agama Islam? Saya pikir jawabannya cukup jelas. Yang disayangkan adalah bahwa orang-orang di sini nampaknya tidak ingin berpikir panjang kalau sudah terkait isu agama.  

    Ingat kasus kartun Nabi Muhammad oleh kartunis Denmark yang sempat heboh di tahun 2005? Kaum muslim gampang sekali marah. Mau bagaimana lagi, Nabi sudah wafat, dan kemungkinan besar tidak akan ada lagi yang bisa menenangkan umat dengan efektif dan efisien selain Nabi sendiri. Padahal kalau orang-orang ini mau sebentar saja memeriksa kumpulan Hadis Bukhari dan Muslim, sudah ada banyak pedoman yang bisa dipelajari dalam menyikapi kasus penghinaan.

    Hadis Bukhari No. 122 dalam Bab 8, Buku 73 mengenai Adab mengisahkan tentang seorang pria dari kaum Anshar yang terang-terangan menuduh Nabi tidak memperhatikan kehendak Allah dalam pembagian rampasan perang (walaupun dia tidak berbicara secara langsung kepada Nabi melainkan kepada salah satu Sahabat Nabi). Ini tuduhan yang sangat serius, lebih serius dari kartun konyol manapun karena sama saja pria itu menuduh Nabi tidak adil. Ketika berita ini disampaikan kepada Nabi, raut muka Nabi sempat terlihat marah, namun beliau kemudian berujar bahwa Nabi Musa pernah disakiti dengan cara yang lebih parah oleh kaum Yahudi, dan Nabi Musa tetap bersabar.

    Dalam Hadis Bukhari No. 184 di Bab dan Buku yang sama, seseorang dari Bani Tamim menuduh Nabi tidak adil di muka umum ketika harta rampasan sedang dibagikan, dan kemudian ia meminta Nabi untuk segera bertindak adil. Umar bin Khatab yang sudah panas langsung meminta izin kepada Nabi untuk memotong leher pria itu. Anda semua tentu tahu kelanjutannya bukan? Nabi melarang Umar melakukan hal tersebut dan hanya memarahi si pria.  

    Terakhir dalam Hadis Muslim No. 5853 dan 5854, seorang Yahudi dan Sahabat Nabi bertengkar dan saling adu mulut, ketika kemudian si Yahudi mengucapkan "demi Tuhan yang sudah menunjuk Musa". Sahabat Nabi tersebut merasa si Yahudi telah menghina Nabi karena masih berani bersumpah dengan merujuk kepada Nabi Musa sementara sudah ada Nabi Muhammad, dan kemudian ia memukul si Yahudi. Si Yahudi melapor kepada Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad pun murka kepada si Sahabat karena berani membanding-bandingkan Nabi Musa dengan Nabi Muhammad. Menurut Nabi Muhammad, tahu darimana nantinya Nabi Muhammad yang lebih baik dari Nabi Musa di hadapan Allah pada saat kiamat?

    3 Hadis di atas saya pikir sudah cukup menjelaskan langkah apa yang perlu diambil terkait penistaan agama. Tidak perlu lebay. Kalau si penghina bermain dengan kata-kata, anda bisa bersabar atau juga membalas dengan kata-kata. Tentu tidak ada yang melarang anda untuk marah atau emosi, tapi kemudian membawa negara ikut serta dalam konflik tersebut? Nampaknya kita hanya akan membuang-buang sumber daya saja. Saya tidak habis pikir bagaimana mungkin begitu banyak orang Muslim yang harus marah-marah dan kemudian merusak nama baik Islam gara-gara kartun yang digambar oleh beberapa orang tak bermakna dari Denmark? Apalah artinya mereka dihadapan kebesaran Nabi? Tapi tidak, hal-hal kecil ini justru dibuat menjadi bola panas, dipolitisasi sampai akhirnya menjadi kasus tenar. Saya sudah bosan melihat orang-orang bodoh dibuat menjadi tenar. 

    Pernah tidak dipikirkan apa dampak sikap yang keras dan seakan haus darah itu terhadap citra Islam? Jelas bukan citra yang baik. Padahal dalam Hadis Bukhari No. 131 Buku 8 Bab 73, Nabi sudah memperingatkan tentang bahaya orang-orang yang membuat umat lari dari agama. Contoh yang dipakai Nabi adalah orang yang memperpanjang bacaan shalat sehingga membuat umat malas shalat berjamaah. Bayangkan, sebegitu pentingnya citra agama sehingga memperpanjang bacaan shalat (yang sebenarnya bukan hal yang buruk juga) dipermasalahkan oleh Nabi. Apalagi kalau kita malah mencitrakan diri kita sebagai umat barbar!

    Pertanyaan terbesar saya adalah mengapa kebodohan dan kemalasan dalam berinvestasi untuk mempelajari agama ini begitu dahsyat? Jujur sajalah, kasus remeh temeh macam karikatur ISIS di Jakarta Post ini tidak akan terjadi kalau kita mau sedikit usaha berpikir dan riset internet melalui google. Apa yang menghalangi orang-orang untuk melakukan hal tersebut?

    Lebih jauh lagi, lihat hal-hal yang paling sering muncul dan dikaji di dunia media sosial. Tak jauh-jauh dari masalah pluralisme, liberalisme, dan toleransi. Kadang-kadang ribut soal moralitas dan perang pemikiran. Kemudian yang sekarang sedang trendi, isu khilafah. Tak lupa sesekali muncul berita-berita hoax seperti misalnya masalah nasab nama istri kepada suami (seakan-akan Indonesia menganut sistem patrilineal seperti di Timur Tengah), atau soal transliterasi kalimat Insya Allah versus Insha Allah, atau juga keburukan arti singkatan Assalamualaikum dalam bahasa Aramaic (yang entah darimana asalnya). Bagi saya, ini semua isu remeh temeh dibandingkan dengan kajian yang sebenarnya lebih penting, khususnya andai kata orang-orang ini bisa memahami tradisi Hukum Islam dan Teori Hukum Islam yang agung.  

    Saya memiliki penjelasan dari sudut ekonomi atas fenomena di atas, tetapi sebelum kita masuk ke sana, saya akan bercerita sedikit dulu tentang bagaimana saya sendiri berinvestasi dalam mempelajari Islam dan hukum Islam. Di kelas 2 SMP, saya pertama kali membaca buku serius saya, Khilafah dan Kerajaan yang dikarang oleh Abu A'la al-Maududi (kalau anda tidak tahu, Al-Maududi adalah seorang tokoh Islam garis keras dari Pakistan yang getol ingin menerapkan syariat Islam di Pakistan).

    Dari membaca buku itu saya kemudian mengetahui sejarah Khilafah yang berdarah-darah, khususnya mulai dari jaman Ustman bin Afffan sampai kemudian khilafah berubah menjadi kerajaan di tangan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sumber Al-Maududi bukan sumber orientalis, dia menggunakan kitab sejarah At-Thabari (kalau anda tidak tahu, At-Thabari adalah mufasir dan sejarawan yang sangat terkenal dari dunia Islam. Kitab tafsirnya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, silakan beli kalau anda mau belajar lebih banyak).

    Dari pengalaman itu, saya menjadi bersemangat untuk tahu lebih banyak soal Islam, Negara Islam, dan Hukum Islam. Di masa SMA, saya kemudian tertarik dengan tasawuf dan sempat bereksperimen dengan sufisme sampai tahun pertama kuliah. Buku-buku seperti Minhajul Abidin dari Al-Ghazali, Al-Hikam dari Ibn Athoillah, sampai buku-buku karangan Ibnu Qayyim al Jauziyah dan Ibnu Taimiyah yang terkait ibadah sudah saya lahap semua. Buku-buku pemikiran pergerakan Islam karangan Yusuf Qardhawi juga banyak yang sudah saya sempat baca ditambah semua buku serial Filsafat Islam terbitan Mizan.

    Oh ya, SMP dan SMA saya adalah sekolah Katolik. Dan selama sekolah itu, saya orang yang pertama kali mendapatkan nilai 10 untuk ujian hafalan ayat Alkitab ditambah ujian menjelaskan 3 konsep suara hati nurani dalam tradisi katolik. Di masa itu, buku-buku karangan Ahmad Deedat tentang Kristologi juga habis saya lahap semua. Tak lupa pula saya yang mengembangkan konsep dialog antar agama untuk keperluam tugas akhir mata pelajaran agama dimana kita berdebat dengan keras tentang isu-isu macam ketuhanan Yesus dan konsep Tuhan dalam Islam.

    Ketika masuk kuliah di FHUI, minat saya semakin kuat terhadap hukum Islam, kali ini saya merambah ke buku-buku fikih dan fatwa kontemporer yang dikarang Yusuf Qardhawi. Gara-gara ledekan sahabat saya (yang tahu kalau saya gampang ditantang), saya kemudian terjerumus mempelajari Ushul Fiqh (Teori Hukum Islam). Di awal masa kuliah, saya menjadi pelanggan tetap perpustakaan Masjid UI. Perpustakaan yang sunyi karena nampaknya pengunjungnya hanya saya seorang dan petugas perpustakaan yang tampak kesepian.

    Perpustakaan Mesjid UI ternyata memiliki banyak koleksi bagus. Saya belajar sendiri Ushul Fiqh, menyalin dan membuat ringkasan sendiri dari buku-buku yang saya baca macam karangan Mustafa Az-Zahra dan Abdul Wahab Khalaf. Saya juga berkenalan dengan kitab-kitab klasik yang masih saya sering rujuk untuk penelitian seperti Bidayatul Mujtahid-nya Ibn Rusyd, Kifayatul Akhyar, dan al-Muwatta Imam Malik. Tidak lupa pula membaca semua buku terkait ekonomi Syariah terbitan Gema Insani Press yang dikarang Umer Chapra, Muhammad Syafi'i Antonio dan Adiwarman Karim.

    Dengan minat besar itu, saya mengambil seluruh mata kuliah terkait hukum Islam di FHUI dan tidak ada satu pun yang nilainya bukan A. Bagaimana tidak, ketika rekan-rekan saya masih kesulitan membedakan Mudharabah dan Musyarakah, serta masih salah mengeja Murabahah menjadi Mubarahah, saya sudah memahami semua jenis bentuk pembiayaan syariah (pernah dengar Ijarah Mausufah Fi Zhimmah? Itu konsep pembiayaan yang lebih menarik dibanding pembiayaan standar macam Ijarah Muntahia Bi Tamlik. Silakan di-google). Dalam kelas Waris Islam, saya memperbaiki kesalahan dosen yang kurang tepat dalam menjelaskan konsep Kalalah. Referensi saya dalam buku Waris Islam lebih banyak dibanding si dosen.

    Dan buku-buku tentang Islam saya juga semakin bertambah, Teori Politik Islam Dhiaddudin Rais, Al Ahkam Al Sulthaniyah dari al-Mawardi, buku-buku Hukum Islam karangan sarjana Indonesia seperti A. Hanafi, Hazairin dan T.M. Hasby Ash-Shidiqie. Dengan menggunakan teori Istislah dari Ushul Fiqh, saya menulis makalah yang membuat saya menjadi pemenang lomba karya tulis nasional bidang hukum dan kompetisi mahasiswa berprestasi utama FHUI. Teori yang sama saya kembangkan lebih jauh untuk keperluan skripsi saya dalam menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Terorisme.

    Ketika sudah bekerja, dengan penghasilan yang jauh lebih memadai, saya bisa membeli lebih banyak buku lagi. Dari ribuan koleksi buku saya, buku-buku tentang pemikiran Islam, hukum Islam, hadis, ushul hadis, tafsir, ushul quran, dan teori hukum Islam menempati urutan nomor 2 terbanyak setelah buku-buku tentang hukum positif. Singkat kata, saya cukup yakin bahwa akumulasi pengetahuan saya sudah hampir pasti jauh di atas rata-rata kebanyakan orang Indonesia. Apakah saya puas? Sama sekali tidak.

    Merasa sudah tidak ada lagi yang bisa diserap di Indonesia, saya memutuskan untuk mendalami lebih jauh mengenai Hukum dan Ekonomi dan untuk itu saya harus pergi ke University of Chicago sebagai pendiri aliran tersebut. Gara-gara belajar Ushul Fiqh, khususnya teori Istislah, saya menjadi semakin tertarik dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum yang akhirnya membuat saya mencintai ilmu ekonomi. Malah boleh dibilang, saya tergila-gila dengan pendekatan ekonomi terhadap hukum, efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan bukan karena saya pergi ke Chicago, tetapi melainkan karena saya belajar Ushul Fiqh selama bertahun-tahun. Pergi ke Chicago adalah untuk mendalami ilmu teknis yang belum saya kuasai dan memperkuat keyakinan saya akan keunggulan analisis ekonomi. Saya sudah melahap buku-buku yang mengkritik pendekatan pasar sejak SMA macam buku-buku Stiglitz dan kawan-kawannya, di Chicago saya mengambil kelas teori politik tentang kritik terhadap neoliberalisme dan membaca literatur terkait Behavioral Econ. Semua untuk menguji keyakinan saya agar semakin terasah.

    Dan sekarang ketika saya sedang mengerjakan disertasi saya pun, saya masih berpikir bahwa kemampuan teknis saya masih kurang. Di Chicago, saya melihat profesor yang sudah membaca lebih banyak lagi buku dan makalah dibanding saya, profesor dan murid-murid dengan kemampuan teknis yang jauh lebih mumpuni dari saya. Dan saya senang luar biasa, akhirnya saya menemukan tempat di mana saya bisa mempelajari hal baru, ada orang-orang yang bisa mengajari saya, ada tempat dimana saya bisa tertantang lagi. Saya teringat dulu pernah sempat ikut acara tarbiyah dan setelah pertemuan kedua, saya tak pernah hadir lagi karena mentor yang ditunjuk untuk saya tidak bisa mengajarkan satu pun yang belum saya ketahui.

    Kenapa saya bercerita panjang lebar tentang investasi saya? Saya ingin menunjukkan bahwa bahkan setelah belasan tahun belajar dan menyerap ilmu sedemikian banyaknya, saya merasa masih belum bisa menguasai semua aspek yang saya perlukan untuk menyusun magnum opus saya dalam hukum Islam. Namun lucunya, banyak sekali orang-orang dengan pengetahuan cetek (ya, cetek), dengan jumlah bacaan yang tak seberapa, dan konsep yang tak jelas, meributkan tentang hal-hal remeh temeh dalam Islam, merasa tahu segalanya, dan diikuti oleh banyak orang pula. Ini sungguh mengenaskan.   

    Tahukah anda bahwa seandainya Ushul Fiqh tidak mandeg di abad pertengahan dan umat Islam mau berfokus pada hal-hal yang penting, saya cukup yakin aliran Hukum dan Ekonomi tidak akan diciptakan oleh University of Chicago. Aliran itu akan muncul di dunia Islam dan pendirinya adalah Umar bin Khatab, bukan Richard Posner. Ini bukan omong kosong ala Erdogan yang menyatakan bahwa benua Amerika ditemukan oleh orang Islam. Ini hasil mempelajari berbagai putusan hukum yang dibuat oleh Umar.

    Begitu banyak kajian menarik di dunia klasik Islam yang terbengkalai karena tidak ada lagi yang mau mengangkatnya. Bayangkan seandainya hukum Islam kembali berfokus pada efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan tapi dengan menggunakan ilmu dan sarana teknis yang belum ada pada jaman Umar bin Khatab. Akan sedahsyat apa kekuatan analisisnya? Mengapa perbudakan tak pernah tegas diharamkan? Mengapa mabuk dihukum cambuk tetapi makan babi tidak padahal status keharaman babi lebih absolut dibandingkan dengan keharaman alkohol? Mengapa zina dibebani hukuman tetapi syarat pembuktiannya begitu keras ditambah pula dengan aturan bahwa dilarang mengintip ke dalam rumah orang lain? Tidak percaya? Lihat Hadis Muslim No. 5366.

    Begitu banyak pertanyaan dan juga informasi yang menarik. Misalnya tahukah anda bahwa aturan yang mewajibkan suami harus menceraikan istri melalui pengadilan diadopsi dari fikih Syiah? Anda bisa membaca ini dalam buku Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Indentity, yang membahas mengenai debat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Saya juga sudah memeriksa hal tersebut di jurnal hukum lainnya. Tahukah anda bahwa Islam tidak pernah mempunyai konsep khilafah secara resmi dalam Al-Quran? Kajian Al-Mawardi itu dilakukan ratusan tahun kemudian setelah masa Khulafaur Rasyidun, ketika institusinya sudah dibangun berdasarkan praktek di lapangan. Sekarang saya sedang meneliti sejarah Ottoman terkait bagaimana Ottoman menerapkan aturan hukum yang pluralistik. 

    Tapi tidak, umat lebih suka dengan tawaran mimpi-mimpi yang enak didengar semacam hukum Islam pasti menyelesaikan semua masalah (nyatanya tidak, studi Tahir Wasti di Pakistan menunjukkan bagaimana aplikasi hukum pidana Islam malah memperkuat institusi pembunuhan terhadap perempuan), atau khilafah adalah solusi atas segala permasalahan di muka bumi, tata surya, galaksi bima sakti, alam semesta, dan 17 dimensi lainnya. Sumber daya habis tiap tahun untuk membahas isu tak berguna macam hukum mengucapkan selamat Natal dan hari Valentine. Luar biasa!

    Beberapa orang yang tak jelas keilmuannya bahkan sudah lebih jagoan lagi dalam menuduh sesat orang lain, bahkan ulama terkenal sekalipun. Quraish Shihab misalnya sempat dituduh sebagai Syiah. Dasarnya apa? Sebuah artikel internet yang tak bisa diverifikasi kebenarannya. Untungnya Quraish Shihab adalah mufasir yang paham Quran dan Hadis, beliau tak permasalahkan terlalu jauh tuduhan dari manusia yang tak bermakna.

    Secara ekonomi saya bisa menduga mengapa kajian-kajian tanpa keilmuan ini dan hal-hal remeh temeh ini laku keras. Mengapa orang tidak berminat untuk berinvestasi dalam suatu kegiatan? Mudah, karena kegiatan itu tak diberikan prioritas. Opportunity Cost-nya mahal untuk melakukan kegiatan lain. Kebanyakan orang nampaknya secara tak sadar sudah melakukan analisis untung rugi  dalam hidupnya dan mereka berkesimpulan bahwa mendalami agama memang bukan prioritas dalam hidup dibanding aktivitas lainnya. Tentu saja saya tak akan menyalahkan mereka. Setiap orang punya prioritasnya masing-masing. Alasan saya mendalami hukum Islam juga tidak muluk. Saya senang dan menikmatinya, saya senang mengajar dan gampang gregetan melihat ide bodoh (dan rasa gregetan itu saya tuangkan dalam artikel). Tidak rumit kan?

    Tapi tentu tak elok rasanya kalau kita terang-terangan menunjukkan bahwa investasi mendalami agama sudah tak penting lagi dalam hidup kita, kita masih perlu simbol yang tepat untuk menunjukkan seakan-akan kita peduli. Ah gampang, main di isu akidah saja. Goreng terus ide ini karena walaupun hidupnya amburadul dan pengetahuan agamanya minim, minimal dia tahu Allah itu Tuhan dan Muhammad adalah Nabi.

    Dan ketika permintaan akan kajian simbolik ini makin keras, akan selalu ada wiraswasta handal yang siap mengambil keuntungan. Tidak heran kajian simbolik modal buku Ahmad Deedat atau mungkin buku-buku propaganda lainnya, serta rasa percaya diri yang kuat, sangat diminati. Jualan buku, acara seminar, video, dan sebagainya. Semua senang. Modal awal yang dibutuhkan untuk retorika memang rasa percaya diri. Persetan dengan logika dan pengetahuan. Kalau orang sudah puas dengan retorika omong kosong dan hal itu memberikan penghasilan yang cukup, untuk apa bersusah payah belajar lebih banyak? 

    Saya ucapkan selamat kepada orang-orang ini. Mereka berbakat untuk mendalami ilmu ekonomi lebih jauh dan sudah pandai melakukan analisis untung rugi. Siapa tahu, suatu hari nanti mereka mungkin akan diterima di University of Chicago dan menjadi pemenang Nobel Ekonomi selanjutnya. Oke, saya berlebihan untuk yang satu ini. Mustahil akan terjadi sampai unta masuk ke dalam lubang jarum.

    Sesungguhnya, saya tak ingin percaya dengan prediksi Nabi dalam hadis Abu Daud tentang masa depan umat Islam yang banyak tapi lemah seperti buih kotor di lautan. Tapi mungkin prediksi Nabi benar. Umat Islam sudah jauh lebih banyak dibanding di masa lalu, tetapi nilainya nol besar. Persis seperti ratusan kultwit yang tiap hari muncul untuk kemudian hilang esok hari, tak bermakna, tak bernilai, dan sia-sia belaka.

    Sebagai penutup, saya tidak akan menilai bagaimana anda menempatkan prioritas hidup anda, karena semua orang punya perhitungan untung rugi sendiri, bahkan sekalipun anda tak ingin mengakuinya. Tetapi jangan terlalu lama menipu diri sendiri. Kalau anda memang tidak peduli dengan agama anda dan tidak ingin berinvestasi, minimal tidak perlu berperilaku berlebihan dalam menunjukkan simbol agama. Karena walaupun anda bukan representasi resmi agama anda, orang akan selalu mengasosiasikan anda dengan agama anda tersebut, dan kelak anda akan dimintai pertanggungjawaban atas pencitraan anda yang bermasalah itu.
  • Moralitas dan Pasar (Atau Mengapa Michael Sandel Tidak Paham Ekonomi)


    Kemarin saya menerima tautan artikel yang ditulis oleh Michael Sandel dengan judul "The Moral Limits of the Market". Singkat cerita, Sandel ingin menunjukkan bahwa tidak semua hal bisa diatur oleh pasar dan tidak semua hal bisa dibeli serta bahayanya apabila semua aspek kehidupan tunduk pada pasar. Saya selalu tertarik dengan kritik yang bermutu terhadap Law & Economics. Sayangnya ketika saya membaca artikel ini, kesan utama yang saya tangkap adalah Sandel tidak paham ilmu ekonomi.

    Pertama-tama, Sandel memberikan 3 contoh kasus yang menurutnya bermasalah dari sudut pandang moralitas: (i) aturan penjara di Santa Barbara, California, yang memperbolehkan narapidana untuk membeli akomodasi yang lebih baik dengan harga US$90 per malam, (ii) program sumbangan US$300 bagi wanita pecandu narkoba yang bersedia untuk disterilisasi guna mencegah lahirnya anak  dari wanita pecandu tersebut, dan (iii) perusahaan yang menyediakan joki antrian untuk menghadiri acara tertentu dengan menyewakan tuna wisma atau pengangguran untuk mengantri.

    Saya sulit memahami mengapa hal ini bisa dianggap salah. Mungkin karena Sandel sendiri tidak menjelaskan dengan rinci dalam artikelnya nilai-nilai moral mana saja yang harus didahulukan. Alih-alih berbicara dengan sistematis, Sandel malah melantur kemana-mana seperti membahas soal nilai kemanusiaan, harga diri, ketimpangan sosial akibat pasar, dan korupsi, sambil berbicara tentang pentingnya masyarakat membahas hal ini secara mendalam.

    Dalam ekonomi normatif, nilai utama yang dianggap penting adalah efisiensi dan maksimalisasi kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Ambil contoh soal ketimpangan yang diributkan oleh Sandel. Menjelaskan mengapa ketimpangan itu buruk berdasarkan moralitas tidak terlalu sulit, anda tinggal mengklaim bahwa ketimpangan itu buruk secara moral. Anda bisa menambahkan bahwa hal ini benar secara intuitif atau ada nilai moral yang lebih tinggi yang menunjukkan bahwa ketimpangan itu buruk. Apanya yang mendalam? Justru berbicara apakah ketimpangan buruk dari sudut pandang efisiensi dan totalitas kesejahteraanlah yang bisa melatih kita untuk berpikir secara lebih mendalam, karena kita harus bisa berpikir bagaimana menghubungkan isu ketimpangan tersebut dengan kesejahteraan total.

    Ketimpangan sampai level tertentu pasti dibutuhkan. Tanpa ada ketimpangan sama sekali, tidak ada insentif untuk maju. Kalau semua orang menerima upah yang sama, terlepas apapun produktivitasnya, untuk apa bekerja keras? Kalau semua orang akan menerima ranking yang sama di kelas atau cukup sekedar lulus saja tanpa nilai, untuk apa susah payah belajar? Tidak usah jauh-jauh, dalam Islam pun konsep surga bertingkat-tingkat. Surga Islam tidak egaliter dimana semua orang akan berada dalam posisi yang sama. Semakin tinggi amal dan ketakwaannya, semakin tinggi derajatnya di hadapan Tuhan. Ketimpangan mau tidak mau harus ada demi kemajuan. Kurang intuitif apa lagi?

    Tetapi ketimpangan yang berlebihan juga akan bermasalah. Masyarakat yang terlalu timpang akan lebih rawan konflik. Sederhananya, orang tak akan pernah bisa lepas dari rasa iri. Menjadi miskin itu menderita (saya tahu karena sudah pernah mengalami), dan penderitaan cenderung berubah menjadi kemarahan ketika tak kunjung usai. Kebijakan distributif menjadi masuk akal dalam konteks pengurangan konflik tersebut. Kalau orang yang lebih miskin bisa dibuat lebih senang tanpa harus membebani yang lebih kaya terlalu berat, mengapa tidak? Kalau anda tidak suka dengan istilah ini, anda bisa menggantinya dengan konsep Islam tentang adanya hak orang miskin dalam harta anda. Apapun namanya, konsepnya sama. Kuncinya ada di keseimbangan. Toh pemerintah dan pajak adalah 2 hal yang sudah tidak bisa dihindari di dunia modern. Daripada sibuk berbicara soal kebebasan mutlak, lebih baik berbicara soal bagaimana agar kebijakan distributif tersebut dijalankan secara efisien. Ini tentunya kalau kita mau serius bicara secara mendalam, bukan mengawang-awang.

    Kembali lagi ke 3 contoh yang sempat kita bahas di atas. Karena Sandel tidak menjelaskan dengan rinci apa masalah dari 3 kebijakan tersebut, saya akan mencoba berpikir seperti Sandel dan menggunakan nilai-nilai yang ingin dia pertahankan. Pertama soal akomodasi penjara. Apa yang akan Sandel katakan? Tidak adil? Kebijakan ini mendukung mereka yang lebih kaya dibandingkan dengan yang lebih miskin? Atau apakah dengan kebijakan seperti ini orang kaya menjadi tidak menghargai nilai-nilai luhur hukum pidana karena berpikir hukum bisa dibeli?

    Mengapa tidak adil? Tidak adil adalah apabila orang kaya boleh meminta kenaikan akomodasi tanpa perlu membayar sedikitpun. Siapa yang bisa bilang bahwa definisi tidak adil saya salah? Siapa juga yang bisa bilang bahwa definisi Sandel benar? Apakah karena diperbolehkan untuk membeli akomodasi maka orang kaya diberikan prioritas secara tidak adil terhadap orang miskin? Ukurannya tidak jelas.

    Kalau anda khawatir bahwa efek jera berkurang karena orang kaya menganggap hukum bisa dibeli, isunya bukan soal pembelian akomodasi penjara, isunya di harga yang perlu diterapkan. Kalau suatu barang dihargai terlalu murah, ya nilainya juga menjadi tidak seberapa. Atau Sandel khawatir, hal ini akan dikorupsi? Tanpa ada aturan itupun, jual beli akomodasi penjara sudah lazim ada. Kita bisa mengambil kebijakan untuk melarangnya secara total, atau kita bisa menggunakannya untuk mendapatkan manfaat dalam bentuk lain. Intinya ada di kreativitas kita dalam menyusun kebijakan.

    Pertanyaan yang hilang dari artikel Sandel adalah uang yang diterima untuk membayar kenaikan akomodasi itu akan digunakan untuk apa? Kalau uangnya digunakan untuk memperbaiki kualitas penjara bagi mereka yang lebih miskin, apa bedanya dengan kebijakan distribusi yang diidam-idamkan Sandel? Apabila Sandel memahami ilmu ekonomi, pertanyaannya tidak berhenti pada apakah kebijakan akomodasi penjara adil atau tidak adil, tetapi bagaimana agar kebijakan itu bermanfaat bagi semua orang. Itu pertanyaan yang menurut saya lebih tepat guna untuk ditanyakan.

    Analisis ekonomi juga tidak akan berhenti di satu titik, tetapi akan terus kritis terhadap aspek-aspek yang paling relevan terhadap isu akomodasi penjara. Kalau misalnya kita perbolehkan narapidana untuk membeli akomodasi yang lebih baik, apakah pasti dana tersebut aman? Bagaimana caranya agar dana tersebut tidak disalahgunakan oleh sipir penjara? Itu berarti kita juga harus memikirkan insentif dari sipir. Apa sebaiknya dana tersebut diserahkan sebagian kepada sipir? Dan sebagainya.

    Selanjutnya mengenai wanita yang disterilkan. Apakah ini isu harga diri? Atau isu soal bayi yang tak akan pernah dilahirkan? Kalau Sandel mau berpikir lebih mendalam, ia juga harus berpikir mengenai bagaimana nantinya kalau si wanita pecandu tetap dibiarkan memiliki anak. Apakah nasib anak itu tak penting? Apakah Sandel yakin wanita pecandu itu akan bisa menjadi ibu yang baik? Apakah kemudian harga diri si wanita menurun? Dia tidak dipaksa untuk disterilkan. Bukankah itu tetap menghargai kebebasan individu yang setahu saya umumnya dianggap penting oleh para filosof moralis? Lebih penting lagi, bagaimana mengukur nilai dari bayi yang bahkan tak pernah muncul ke dunia?

    Coba kalau kita lihat ini dari sudut ekonomi, saya akan terlebih dahulu berfokus pada teknologi sterilisasi. Apakah permanen atau tidak? Kalau tidak permanen, ini kebijakan yang peduli baik pada ibu maupun anaknya. Tidak ada yang dirugikan. Kalau permanen, perlu dipastikan apakah si wanita menerima informasi yang tepat ketika ia mengambil keputusan agar jangan sampai harga yang ditawarkan terlalu murah. Bukan apa-apa, walau tidak semua wanita menginginkan anak, bukan berarti kehadiran anak tidak bernilai sama sekali. Ekonom yang peduli pada kesejahteraan akan memikirkan bagaimana caranya menyeimbangkan antara harga sterilisasi dan keinginan untuk memiliki anak di masa depan. Apa yang bisa ditawarkan oleh Sandel dalam menjawab isu seperti ini? Sekedar bahwa sterilisasi tidak bermoral? Lalu? Seterusnya apa?

    Isu joki antrian bahkan lebih absurd lagi untuk digunakan sebagai contoh oleh Sandel. Dia nampaknya lupa membandingkan bagaimana nasib tuna wisma dan pengangguran ketika mereka tidak punya penghasilan. Tanpa penghasilan dan pekerjaan, ujung-ujungnya mereka akan menjadi pengemis. Dimana letak harga diri dari mengemis? Bagaimana mungkin secara moral kita bisa membiarkan tuna wisma mengemis (dan menjual harga dirinya) sementara kita mempertanyakan tindakan si tuna wisma sebagai joki antrian? Analisis macam apa itu? Saya bahkan tidak perlu panjang lebar membahas isu joki antrian dari sudut ekonomi, ini contoh usaha yang brilian dan menguntungkan para pihak yang terlibat tanpa harus merugikan pihak lain.     

    Terakhir, Sandel ingin menunjukkan contoh kuat bahwa tidak semua bisa diserahkan kepada pasar melalui isu jual beli voting. Menurut Sandel, mengapa jual beli voting tidak dilakukan saja? Kalau seseorang tidak ingin melaksanakan hak votingnya, dia bisa menjual haknya itu kepada orang lain yang menginginkan dan semua akan sama-sama untung. Nyatanya hal itu dilarang. Sandel lalu melompat dengan menyatakan bahwa argumen terbaik untuk tidak menjual hak voting adalah karena voting merupakan tanggung jawab publik. Saya tidak tahu darimana Sandel bisa menyatakan bahwa argumen barusan adalah argumen yang terbaik, tetapi saya sudah benar-benar yakin kali ini kalau Sandel harus belajar ekonomi.

    Saya sudah panjang lebar membahas mengenai isu jual beli voting di artikel ini, ini, dan ini. Permasalahan utama dari pola pikir macam Sandel adalah karena ia seakan-akan berpikir bahwa isu jual beli voting akan selesai hanya dengan melarang jual beli voting dan mendidik moral semua manusia di planet Bumi ini. Kenyataannya, jual beli voting akan selalu ada. Ketika politikus berjanji macam-macam kepada calon pemilihnya, bukankah itu sama saja dengan jual beli? Politikus menjual janjinya kepada pemilih, dan pemilih membeli janji tersebut dengan memilih si politikus. Kita tidak bisa lari dari mekanisme pasar di situ.

    Dalam artikel saya di atas, saya mendukung legalisasi jual beli voting. Bukan karena saya ingin agar voting benar-benar diperjualbelikan, tetapi agar jual beli voting menjadi tidak menarik lagi untuk dilaksanakan. Jual beli voting belum tentu efisien, tanpa persyaratan yang pas, mekanismenya bisa disalahgunakan. Tapi bukan berarti bahwa kemudian jual beli voting menjadi 100% salah dan tidak berguna. Argumen Sandel yang menyatakan bahwa seharusnya jual beli dilakukan saja karena menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat membuktikan ia tak tahu kalau ilmu ekonomi tidak bicara melulu soal transaksi antar 2 pihak, tetapi juga eksternalitas dari transaksi tersebut kepada pihak ketiga (yang bisa jadi positif atau negatif). 

    Banyak ekonom yang melakukan riset dalam menyusun sistem voting yang lebih baik, yang lebih sulit untuk disalahgunakan oleh satu pihak tertentu. Tapi untuk menyusunnya, kita butuh kajian yang serius dan data empiris yang memadai. Pendekatan Sandel tidak akan banyak membantu. Katakanlah secara moral Sandel benar bahwa jual beli voting tidak sesuai dengan nilai moralitas yang baik. Lalu? Apakah kemudian semua politikus dan pemilih akan berhenti melakukan jual beli voting begitu saja? Atau memang seperti ini tugas filosof? Menyatakan mana yang salah dan benar,  tetapi sehabis itu tidak memikirkan bagaimana caranya menyusun sistem agar yang menurutnya benar bisa tercapai di dunia nyata?

    Sandel menutup artikelnya dengan mengajak pembacanya untuk berpikir secara serius mengenai isu kapan pasar mendukung kebaikan publik, dan kapan pasar tidak mendukungnya. Saya sepakat dengan Sandel. Itu pertanyaan yang baik dan patut ditanyakan. Sayangnya Sandel sendiri kemungkinan besar tidak akan bisa menjawab hal itu karena ia tidak memiliki pisau analisis yang tepat.
  • Upah Minimum Bukan Solusi!


    Upah minimum pekerja merupakan isu standar tahunan yang tak pernah usai. Pendukung upah minimum selalu berargumen bahwa upah minimum dibutuhkan agar kaum pekerja yang lemah tidak dieksploitasi oleh pengusaha yang rakus dan agar hidup pekerja bisa menjadi lebih mapan. Komponennya juga semakin lengkap dari tahun ke tahun seperti misalnya disebutkan dalam artikel ini yang membahas upah layak (sekaligus menyatakan bahwa upah layak merupakan bagian dari hak asasi manusia). Pertanyaan utamanya, apakah memang benar isu upah minimum ini bisa membantu nasib para pekerja, khususnya pekerja yang berada di lapisan terbawah?  
  • Macet, Macet, Macet: Kebijakan Apa yang Diperlukan?


    Macet sungguh menyiksa hidup. Saya cukup yakin mayoritas penduduk Jakarta menyetujui hal tersebut. Sudah tidak terhitung berapa banyak kajian yang menunjukkan bagaimana kemacetan bukan saja merugikan secara finansial, tetapi juga secara fisik dan mental. Di Indiana, teman saya yang bekerja 40 km dari rumahnya masih dianggap dekat karena dia bisa mencapai kantornya dalam setengah jam lebih sedikit. Sementara saya yang tinggal hanya 8-9 km dari kantor saya di bilangan Sudirman bisa menempuh perjalanan sampai 1 atau 1,5 jam gara-gara kemacetan yang tak kunjung habisnya!
  • Absurdnya Ide Pengurangan Jam Kerja Karyawan Wanita


    Indonesia adalah negara yang tidak pernah kehabisan ide-ide lucu nan menggemaskan. Baru beberapa hari lalu saya membahas soal kesetaraan gender dan pilihan dalam hidup guna menanggapi ide Presiden Turki yang absurd terkait kesetaraan antara pria dan wanita, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumandangkan ide pengurangan jam kerja untuk karyawan wanita, alasannya karena wanita punya tugas untuk mendidik anak-anaknya.

    Saya sangat berharap ini hanya hasil ceplas ceplos belaka dan tidak akan dijadikan bahan penyusunan kebijakan publik yang serius karena menurut saya dampaknya berpotensi merugikan. Sebagaimana sudah saya bahas di artikel sebelumnya, berpikir bahwa wanita dan pria sudah memiliki pembagian tugas yang kaku karena alasan biologis dan doktrin merupakan cara berpikir yang melantur.

    Apabila kita melihat konsep klasik keluarga yang katanya merupakan persatuan dari suami dan istri, mengapa tugas mengurus anak dan rumah tangga dikhususkan untuk ibu? Pendukung perkawinan yang sah dan lengkap selalu ribut soal pentingnya keluarga yang utuh sebagai modal pertumbuhan anak, bahwa peranan ayah dan ibu itu penting, bahwa keluarga dengan orang tua tunggal itu bermasalah, bahwa anak luar kawin bermasalah, dan bahwa perceraian akan berakibat buruk. Aneh apabila kemudian kita sibuk mendukung keutuhan keluarga tapi masih percaya bahwa pembagian tugas antara ayah dan ibu adalah mutlak, yaitu bahwa ibu mengurus rumah tangga dan ayah mencari nafkah.

    Karena kalau pembagiannya semudah itu, untuk apa ada institusi perkawinan? Wanita cukup mencari pasangan yang mau membuahi dirinya. Kemudian si pria sekali-kali bisa datang ke rumah untuk mendapatkan kepuasan seksual sepanjang tak lupa mengirim uang bulanan untuk menghidupi keluarganya. Si pria tak perlu lagi pusing mengurus anak. Mengapa tidak? Toh tugas ayah dalam pandangan yang hampa ini nampaknya tak lebih hanya untuk membuahi sang ibu dan membayar uang rutin bulanan. Dalam hal ini kita berasumsi semua wanita ingin punya anak dan malas bekerja rutin di luar pekerjaan rumah tangga, sementara semua pria malas mengurus anak dan bersedia membayar untuk terlepas dari kewajiban tersebut dengan kompensasi seks.

    Kebanyakan orang akan marah apabila disodori pengaturan keluarga seperti di atas. Tetapi kalau anda tidak sepakat dengan konsep tersebut, seharusnya anda juga tidak sepakat bahwa fungsi pengurusan anak hanya ada di ibu atau difokuskan pada ibu semata. Menekankan bahwa hanya ibu yang punya kewajiban mengurus anak dan rumah tangga sama saja menyatakan bahwa peranan ayah dalam pertumbuhan anak tidaklah penting. Yang menyedihkan, bahkan pembuat undang-undang di Indonesia pun masih memakai konsep bawaan yang kacau balau ini dalam menyusun UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan"). Lihat saja misalnya Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan.

    Ini mengapa pembagian tugas keluarga seharusnya tidak perlu pusing diatur oleh negara. Kalaupun negara mau memastikan bahwa anak akan diurus dengan baik oleh orang tuanya, maka tugas itu seharusnya dibagi rata kepada setiap orang tua. Tiap orang tua bertanggung jawab atas perkembangan anaknya, karena bagaimanapun juga, pendidikan dasar terhadap anak berpengaruh besar terhadap masa depan anak tersebut, apakah akan menjadi sukses atau menjadi sampah masyarakat. Dan pendidikan dasar dipegang oleh orang tua. Lihat artikel menarik dari Prof. James Heckman dari University of Chicago, pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 2000, mengenai maha pentingnya peranan edukasi awal terhadap anak di sini.

    Selain itu, pengurangan jam kerja ini juga tidak memperhatikan insentif ekonomi pengusaha dan karyawan. Ada beragam alternatif. Pertama, jam kerja karyawan wanita dikurangi, tetapi gaji diwajibkan sama. Dengan kata lain, Pemerintah memaksa ibu rumah tangga disubsidi. Hal ini berarti bahwa ongkos menggunakan jasa karyawan wanita meningkat. Kebijakan ini mungkin bagus untuk karyawan wanita yang sudah bekerja, namun jelas merugikan bagi kaum wanita yang belum bekerja (untuk apa perusahaan mempekerjakan karyawan yang kalah produktif dengan gaji sama). Belum lagi kalau nantinya berefek pada kemungkinan promosi bagi karyawan wanita yang sudah bekerja, yang mana akhirnya juga merugikan karyawan wanita yang sudah bekerja.

    Bagaimana kalau misalnya pengurangan jam kerja diwajibkan sambil mengurangi gaji? Ini merugikan karyawan wanita yang sudah bekerja, karena jelas tidak semua wanita mau mengambil pengurangan jam kerja tersebut. Pengurangan 2 jam kerja dari 8 jam kerja sama dengan penurunan 25% jam kerja. Asumsikan bahwa korelasinya konstan (pengurangan jam kerja 2 jam = penurunan gaji sebesar 25%). Apakah kita yakin bahwa semua karyawan wanita mau mengurangi jam kerja mereka dengan kehilangan 25% gaji mereka setiap bulannya? Mohon jangan seenaknya berasumsi bahwa semua ibu bersedia untuk melepaskan segalanya demi anak.

    Belum lagi kalau ternyata korelasinya tidak konstan, tetapi meningkat, yaitu penurunan produktivitas karena berkurangnya jam kerja selama 2 jam lebih besar dari 25% total produktivitas. Bukan saja gaji karyawan wanita bisa semakin dipangkas, insentif perusahaan untuk mempekerjakan wanita juga makin turun. Pertanyaannya, apakah iya semua ini bisa dikompensasikan dengan kualitas anak yang makin baik? Itu juga dengan asumsi bahwa bertambahnya jam ibu di rumah berkorelasi positif dengan perkembangan anak. Datanya bagaimana?

    Yang sering terlupa adalah ketika suami dan istri sama-sama bekerja, hal tersebut menandakan secara implisit bahwa mereka berdua memang membutuhkan penghasilan yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Contoh: kebutuhan pendapatan suatu keluarga adalah 100 dan kebutuhan tersebut dipenuhi dengan masing-masing suami istri menghasilkan 50. Apabila kemudian pendapatan istri berkurang menjadi 37,5 (turun 25%), kebutuhan pendapatan sebesar 100 tidak serta merta berkurang. Suami yang kemudian harus menambah jam kerjanya untuk menutupi kekurangan tersebut. Memang waktu kerja istri berkurang, tetapi kompensasinya, waktu kerja suami akan bertambah. Mengapa harus seperti itu? Apakah ayah tak punya hak bertemu anak-anaknya? Bagaimana kalau misalnya si ayah juga tidak dapat menambah penghasilannya? Konsumsi yang harus berkurang? Pasti akan ada trade-off

    Ide ini juga menunjukkan kemalasan berpikir yang akut. Isunya jauh lebih kompleks dari sekedar pembagian fungsi suami dan istri. Kita bicara mengenai pendidikan suami istri, seperti kapan seharusnya pasangan punya anak, apakah setelah mereka mapan? Atau bagaimana cara mendidik anak dengan efektif? Ironis sekali bahwa ketika kita mewajibkan banyak profesi yang tidak penting untuk memiliki ijin, kita justru tidak mengatur soal ijin untuk membentuk keluarga. Tentu banyak yang akan cepat berargumen: masa perkawinan saja perlu pakai ijin, ini kan hak asasi. Ya kalau begitu juga untuk apa diatur peranan suami istri harus seperti apa? Kalau mau serius memastikan orang tua akan mendidik generasi unggul, kita justru pertama-tama harus berinvestasi untuk menciptakan generasi orang tua yang unggul mulai dari sekarang! Pendidikan itu penting. Jangan terus menerus mengulang kesalahan generasi di masa lampau.

    Isu lainnya adalah kalau kita peduli dengan kebutuhan anak akan alokasi waktu yang lebih banyak dari orang tuanya, ya fokus juga di infrastruktur! Khususnya transportasi publik. Anda pikir berapa banyak waktu orang tua yang terbuang karena sehari-harinya menghadapi kemacetan. Berapa banyak inefisiensi yang muncul karena gagal mengatur lalu lintas? Saya akan membahas soal ini di artikel terpisah. Tetapi perlu saya tegaskan bahwa isu ini berhubungan erat dengan pembinaan keluarga. Tidak ada gunanya mengirim orang tua pulang lebih cepat kalau mereka hanya akan menghabiskan waktu di jalanan macet, menggerutu dan stress sepanjang jalan hanya untuk pulang ke rumah dengan kelelahan, tak siap lagi mengurus anak, dan besoknya kembali menjumpai neraka yang sama.

    Terakhir, setelah membahas semua hal di atas, perlukah Pemerintah mewajibkan perusahaan untuk memberikan hak pengurangan jam kerja hanya apabila diminta oleh karyawan wanita? Saya akan berhati-hati sebelum mengimplementasikan kebijakan yang lebih rileks ini. Pertama-tama, kompetisi antar perusahaan bisa memberikan efek yang sama. Kalau perusahaan membutuhkan kemampuan si karyawan wanita dan ingin mempertahankan karyawan tersebut, tanpa diwajibkan pun, perusahaan akan memberikan kemudahan pengurangan jam kerja. Kuncinya justru adalah bagaimana membuat karyawan wanita menjadi semakin bernilai sehingga para perusahaan akan berlomba-lomba menawarkan insentif serupa! Memaksa perusahaan mengaplikasikan kewajiban itu dapat berpotensi membuat perusahaan bias terhadap karyawan wanita, karena sewaktu-waktu mereka bisa diminta untuk memberikan pengurangan jam kerja kepada wanita terlepas apakah karyawan tersebut sebenarnya produktif atau tidak.

    Seperti yang bisa anda lihat, kita butuh kreativitas dalam menyusun kebijakan publik. Meningkatkan kualitas sumber daya perempuan butuh pendidikan, butuh perbaikan budaya, dan masih banyak lagi. Isunya juga kompleks, tetapi kalau mau serius, kita harus selesaikan masalah di level dasar, bukan dengan kebijakan tambal sulam, apalagi kebijakan ceplas ceplos yang terkesan hanya ingin menyenangkan kelompok tertentu saja.

  • Kesetaraan Gender dan Kebebasan Memilih Dalam Hidup


    Pernyataan Presiden Turki, Tayipp Erdogan, di artikel BBC dan Kompas tentang tidak setaranya wanita dengan pria karena kodratnya menentukan demikian bisa menjadi contoh nyata bagaimana ide pembagian tugas yang mutlak antara wanita dan pria masih saja mendominasi pemikiran di kalangan masyarakat, minimal di Turki. Mengapa demikian?

    Erdogan sendiri mungkin tidak percaya dengan apa yang dia sampaikan dan bisa jadi juga kebijakan riil yang dia ambil di Turki tidak bersifat misoginis. Tetapi Erdogan adalah politisi dan politisi rasional selalu berusaha untuk mendapatkan suara dari mayoritas pemilihnya. Dan seperti layaknya kebanyakan pasar dalam kehidupan sehari-hari, seorang penjual (Erdogan) tentunya harus menjual barang/jasa yang diminati oleh mayoritas pembeli (pemilih) kalau ia ingin menjadi penjual yang sukses (dengan asumsi jumlah pemilih yang mendukung ide Erdogan lebih banyak daripada yang menentang).

    Apalagi kalau ide ini dibungkus dengan isu agama dan kodrat biologis. Seakan-akan tak mungkin salah. Salah satu rekan saya misalnya menafsirkan bahwa pernyataan Erdogan tidak bermaksud untuk merendahkan wanita, tetapi justru ingin menunjukkan betapa berharganya nilai ibu dan betapa pentingnya seorang ibu bagi anak-anaknya. Meyakinkan? Sama sekali tidak bagi saya.

    Isu terbesar dari pembagian tugas antara pria dan wanita ini adalah karena kita merasa bahwa diri kita atau pemerintah memiliki pengetahuan yang mendalam, sempurna dan menyeluruh atas fungsi dan peranan tiap individu dalam satu negara. Kita merasa paham sekali bahwa pria cocok untuk pekerjaan x, sementara wanita cocok untuk pekerjaan y. Dan berdasarkan pemahaman kita yang spektakuler ini, kita putuskan pria harus melakukan x dan wanita melakukan y. Masalahnya adalah: tahu dari mana bahwa seseorang lebih cocok untuk melakukan pekerjaan tertentu? Lebih penting lagi, kalau pun mereka lebih cocok untuk melakukan sesuatu, kenapa mereka harus melakukan hal tersebut?

    Sebagai penganut garis keras aliran efisiensi dan analisis untung rugi, ide bahwa setiap orang harus bekerja sesuai dengan bakatnya sehingga bisa memaksimalkan potensi diri masing-masing terkesan sangat menarik. Tapi saya tidak akan mau terburu-buru mengambil kesimpulan dan kemudian terjebak dalam sesat pikir.

    Ingat film Superman yang terbaru? Film itu menceritakan bahwa Planet Krypton sudah berhasil menemukan kode genetika setiap bayi dan mengetahui sedari awal, bahkan memprediksikan dengan akurat apa bakat dari bayi tersebut dan apa nantinya peran si bayi ketika dia menjadi dewasa. Ada bayi yang diplot menjadi ilmuwan (seperti misalnya Jor-El, ayah Superman), ada yang diplot menjadi tentara (seperti misalnya Jenderal Zodd). Dan tidak ada satu pun yang boleh melawan peran yang sudah digariskan itu.

    Hal pertama yang bisa kita lihat dari kisah di atas? Orang-orang Krypton nampaknya tidak bahagia (lihat saja tampang Zodd yang terkesan stress secara berkesinambungan tanpa henti sepanjang film). Dan mungkin itu bukan cuma sekedar aksi di film. Bayangkan sendiri apabila misalnya anda berminat menjadi seorang pengacara, tetapi kemudian setelah ditelaah oleh suatu mesin super canggih, anda dinyatakan tidak cocok jadi pengacara, anda lebih cocok jadi arsitek dan oleh karenanya anda wajib menjadi arsitek terlepas anda suka atau tidak dengan profesi itu. Bagaimana perasaan anda? Saya cukup yakin bahwa sebagian besar orang akan menolak pemaksaan profesi tersebut, apalagi kalau kita tidak punya suara sama sekali dalam kasus tersebut.

    Dan banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Misalnya, apakah mesin tersebut bisa menghitung dengan objektif seluruh preferensi kita atau hanya melihat satu unsur tertentu saja? Analisis untung rugi meliputi banyak aspek. Kekayaan finansial hanyalah salah satunya, rasa bahagia, kepuasan batin dan sebagainya, dapat menjadi bagian yang valid dari analisis untung rugi, dan banyak ahli yang berusaha untuk terus menyempurnakan analisis untung rugi agar dapat menangkap aspek-aspek tersebut.

    Kalau pun kita bersikeras mengkhususkan analisis untung rugi hanya atas hal-hal yang bisa dikuantifikasi, kita dapat menyimpulkan bahwa ketidakbahagian dalam bekerja juga dapat menurunkan produktivitas. Si mesin bisa jadi memperhitungkan bahwa bakat arsitektur kita berpotensi menciptakan pendapatan US$1 juta per tahun dibandingkan dengan profesi pengacara yang berpotensi menciptakan pendapatan US$750 ribu per tahun.

    Akan tetapi, ketidaksenangan kita terhadap profesi arsitektur juga berpotensi menyebabkan jumlah pendapatan kita menurun drastis di bawah potensi yang diperkirakan si mesin karena kita tidak melakukan pekerjaan kita dengan sungguh-sungguh. Tidak ada jaminan bahwa prediksi si mesin akan menghasilkan hasil yang efisien. Isunya sederhana. Pertama, tidak ada yang bisa memprediksikan masa depan apalagi mengatur masa depan akan menjadi seperti apa. Ketidakpastian dalam hidup ini sudah merupakan suatu keniscayaan. Kedua, manusia tidak bisa dipaksa untuk menyukai apa yang ia tidak suka. Melakukan sesuatu yang tidak disukai pasti ada biayanya dan akan ada konsekuensinya. Kita bisa menutupi masalah ini dengan bilang: "ya, tidak semua orang tahu apa yang baik bagi dirinya." Tapi hal itu tidak akan tiba-tiba mengubah orang menjadi suka atas apa yang tidak dia sukai. Sesederhana itu. Pertanyaan utamanya, dengan situasi seperti ini, apa kita benar-benar memiliki justifikasi yang kuat untuk memaksa orang melakukan suatu profesi tertentu sekalipun ia tidak menyukainya? 

    Coba kita renungkan baik-baik, apabila kita tidak bisa sepenuhnya percaya bahwa pembagian tugas antar manusia bisa dipaksakan ketika teknologi pendukungnya ada, bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa pembagian tugas tersebut dapat dipaksakan ketika teknologinya tidak ada dan pemerintah serta masyarakatnya masih bias gender?  Kalau kita sendiri tidak suka dipaksa oleh negara untuk menjalankan profesi tertentu, mengapa kita malah meminjam tangan negara untuk memaksa orang lain? Dari sudut analisis untung rugi, ini jelas bukan opsi yang menggiurkan.

    Fakta bahwa secara biologis wanita adalah satu-satunya jenis manusia yang bisa melahirkan anak tidak serta merta berarti bahwa semua wanita pasti ingin punya anak, pasti ingin menghabiskan waktunya untuk mengurus anak, dan pasti lebih mampu mengurus anak dibandingkan dengan pria. Bisa jadi ada wanita yang lebih senang untuk menjadi ibu rumah tangga, bisa jadi ada wanita yang lebih senang untuk menjadi wanita karir, dan bisa jadi ada yang ingin menggabungkan keduanya. Demikian juga dengan pria. Pilihannya bukan ditentukan oleh negara. Pilihannya ada pada wanita tersebut dengan tunduk pada kelangkaan waktu dan sumber daya.           

    Apa maksudnya? Anak hanyalah salah satu opsi dalam kehidupan berkeluarga. Ada yang berpikir meneruskan keturunan genetis itu penting, ada yang tidak. Kesenangan hidup berkeluarga juga tidak hanya muncul dari anak. Mengurus anak juga bukan tanpa biaya. Kesenangan yang didapat dari kehadiran anak akan dikompensasikan dengan biaya dalam bentuk waktu yang bisa digunakan untuk aktivitas lain dan uang yang digunakan untuk mendidik dan menciptakan anak yang bermutu.

    Orang mungkin berpikir, tidak baik melakukan analisis untung rugi terhadap urusan keluarga, termasuk anak. Ini seperti berharap bahwa masalah yang ada di depan mata akan hilang hanya dengan menutup mata kita. Pepatah "banyak anak banyak rezeki" saja sebenarnya mengindikasikan bahwa nenek moyang kita sudah lama berpikir bahwa anak adalah investasi. Dan kenapa tidak? Dalam budaya Asia, anak sangat diharapkan menjadi tulang punggung keluarganya ketika nanti ia sudah besar. Semakin banyak anak, maka seharusnya semakin makmur hidup orang tua (dengan asumsi mereka berhasil mendidik anaknya). Kebanyakan orang mungkin tidak suka mendengar kenyataan ini. Namun demikianlah kenyataannya.        

    Oleh karenanya, wajar-wajar saja kalau kemudian ada wanita yang memutuskan untuk tidak punya anak atau membatasi jumlah anaknya dengan melakukan analisis untung rugi. Penelitian menarik di negara-negara maju misalnya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan semakin besar pendapatan suatu pasangan suami istri, jumlah anak dalam keluarga juga menurun. Salah satu penjelasannya adalah karena biaya kesempatan (opportunity cost) dari orang tua juga naik drastis, yaitu waktu mereka untuk melakukan aktivitas lainnya menjadi lebih berharga. Apakah hal ini salah? Menurut saya tidak. Ini cuma masalah prioritas bukan masalah moralitas. Yang memutuskan untuk punya anak tidak lebih baik dari yang tidak menginginkan anak dan demikian sebaliknya.      

    Bagaimana dengan profesi lainnya? Dengan anatomi tubuh wanita yang umumnya lebih lemah dari pria, tentunya ada beberapa pekerjaan yang seakan-akan tidak cocok untuk wanita secara umum. Tapi itu juga tidak berarti bahwa kemudian wanita perlu dilarang atau dipersulit untuk melakukan profesi tertentu. Kembali ke pertanyaan awal, mengapa hal tersebut mesti pusing-pusing diatur oleh negara? Apa justifikasinya?

    Saya sudah berkali-kali menyampaikan bahwa di era modern, seluruh kebijakan publik wajib tunduk pada analisis untung rugi dengan memperhatikan data dan penelitian empiris. Kebijakan publik juga wajib tunduk pada mekanisme checks & balances karena kita tahu bahwa manusia bukan malaikat dan rentan melakukan kesalahan. Sudah bukan jamannya lagi berargumen hanya mengandalkan doktrin tertentu. Prinsip agama yang paling penting adalah maksimalisasi kesejahteraan masyarakat. Dan hal itu hanya bisa dilakukan kalau kita berhitung dengan hati-hati, bukan berkhayal.

    Permasalahannya ada di kerangka berpikir secara absolut. Ya atau tidak sama sekali. Salah atau benar sama sekali. Tidak ada jalan tengah. Kalau wanita harus jadi ibu berdasarkan doktrin agama, maka hal itu mutlak pasti benar sekarang dan selama-lamanya. Padahal sebagaimana saya bahas di atas, kenyataannya berkata lain, menjadi ibu bisa jadi efisien, bisa jadi tidak. Melakukan pemaksaan secara masif terhadap anggota masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan cenderung tidak efisien karena kemungkinan kesalahannya sangat besar dan tidak memedulikan unsur preferensi manusia.

    Mulailah berpikir secara marjinal. Sebagaimana saya pernah bahas di artikel ini, yang merupakan pengantar ringkas dari disertasi saya, hukum Islam tidak berpikir dalam kerangka absolut. Kalau iya, perbudakan seharusnya sudah haram mutlak sejak 1.500 tahun yang lalu dan tidak menunggu secara bertahap sampai awal abad ke-20. ISIS saja sekarang melakukan perbudakan terhadap kaum Yazidi. Karena mereka salah memahami kitab suci? Mungkin, tetapi secara doktrin agama, perbudakan memang tidak pernah dikategorikan haram mutlak. Dalam situasi perang misalnya, Wahbah Az-Zuhaili, ulama kontemporer yang sangat terkenal, juga memperbolehkan perbudakan atas tawanan perang (cek Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 8, bab Jihad, terbitan Gema Insani Press). Ini baru satu contoh dimana doktrin saja tidak cukup untuk menganalisis suatu masalah. Sisanya bisa dibaca dalam artikel saya tersebut.

    Saya berharap bahwa kita bisa mengurangi kecenderungan berpikir secara absolut ini sedikit demi sedikit. Saya sepenuhnya paham bahwa kalau perbudakan saja butuh ribuan tahun untuk dianggap buruk, berharap semua orang tidak lagi berpikir absolut dalam sekejab tentunya cuma angan-angan belaka. Tapi ini harus dimulai dari sekarang. Erdogan tidak akan mengeluarkan ide yang tidak masuk akal kalau tidak ada pendukung ide serupa di antara para pemilihnya dan oleh karena itu, konsep yang salah ini harus kita lawan terus.

  • Gagal Nalarnya Tes Keperawanan Calon Polwan - Perspektif Ekonomi


    Diskriminasi terhadap wanita merupakan masalah yang sulit untuk dihilangkan sama sekali dari muka bumi ini. Tidak terlalu mengherankan, kalau peradaban manusia saja butuh ribuan tahun untuk memahami bahwa perbudakan adalah institusi yang buruk, bisa jadi kita masih perlu menunggu lama sampai mayoritas peradaban manusia memahami bahwa diskriminasi terhadap wanita adalah ide yang tidak masuk akal.

    Tapi ini tidak berarti bahwa kita akan tinggal diam saja menunggu hilangnya diskriminasi terhadap wanita, apalagi ketika kita tahu ada institusi pemerintah yang melakukan tindakan diskriminatif tersebut. Contoh nyatanya adalah Kepolisian Republik Indonesia ("Polri") yang melaksanakan tes keperawanan terhadap calon polisi wanita ("Polwan"). Berita lengkapnya dapat dilihat di sini. Ide dari Polri adalah bahwa tes keperawanan diperlukan untuk mengetahui nilai moralitas dari calon Polwan. Polri khawatir bahwa calon polwan tersebut bisa jadi berprofesi sebagai pelacur dan oleh karenanya seharusnya tidak dapat diterima bekerja sebagai Polwan. Ini pernyataan yang sangat misoginis. Kalau saya berwenang, polisi yang menyatakan hal seperti itu akan saya pecat karena membahayakan institusi.

    Selanjutnya, Polri berargumen bahwa calon polisi pria tidak menjalani tes keperjakaan dengan alasan tidak ada tes yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah seorang pria masih perjaka. Ini lawakan yang tidak lucu. Lebih parah lagi, tes keperawanan tersebut pada prinsipnya menimbulkan trauma dan rasa sakit yang tidak perlu terhadap calon Polwan yang menjalani tes. Fakta bahwa tes tersebut dilakukan oleh dokter wanita tidak membantu.

    Sesuai tradisi Chicago, kita tidak akan membahas masalah tes keperawanan dari sudut pandang hak asasi. Kita akan membahas masalah ini dari sudut pandang ekonomi. Tindakan yang dilakukan oleh Polri jelas dapat dikategorikan sebagai diskriminasi. Melalui tes keperawanan, Polri membebani biaya yang lebih banyak kepada wanita untuk menjadi polisi dibandingkan dengan pria. Ingat, biaya tidak melulu soal uang, tetapi apapun yang perlu dikorbankan untuk mendapatkan sesuatu. Tes keperawanan dengan efek traumatis dan rasa sakitnya jelas menambahkan biaya bagi kandidat Polwan, biaya yang tidak perlu ditanggung oleh calon polisi pria karena tes keperjakaan mustahil untuk dilakukan, setidaknya dengan teknologi masa kini.

    Dengan tambahan biaya tersebut, secara tidak langsung, Polri membuat karir di bidang kepolisian menjadi lebih mahal bagi wanita. Sesuai dengan hukum permintaan (the laws of demand), efeknya sederhana: harga yang lebih mahal akan menurunkan permintaan atas produk yang bersangkutan. Jumlah wanita yang ingin mendaftar menjadi polisi seharusnya juga akan menurun.

    Secara ekonomi, diskriminasi tanpa alasan yang wajar dapat berdampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Membedakan pegawai berdasarkan prestasi bisa diterima karena prestasi berkorelasi erat dengan kontribusi terhadap institusi. Tetapi membedakan pegawai berdasarkan alasan yang tidak berpengaruh terhadap kontribusi si pegawai? Untuk apa? Saya mengajurkan anda untuk membaca buku The Economics of Discrimination untuk memahami lebih jauh masalah ini. Buku yang diolah dari disertasi almarhum Gary Becker, Profesor ekonomi dari University of Chicago dan pemenang Nobel tahun 1992, akan memberikan gambaran lebih mendalam mengapa diskriminasi itu merugikan.

    Contoh sederhana bagaimana diskriminasi berpotensi merugikan kita semua: Katakanlah ada beberapa institusi pemberi kerja di Amerika yang membedakan perlakuan terhadap calon karyawan kulit hitam dan kulit putih. Berdasarkan penilaian objektif, bisa jadi kandidat kulit hitam sebenarnya lebih bermutu dibanding kandidat kulit putih. Tetapi karena dia berkulit hitam, dan institusi pemberi kerja tidak menyukainya (dalam istilah Becker, ini disebut sebagai taste for discrimination), akhirnya institusi tersebut memilih calon kulit putih.

    Dengan memilih calon kulit putih yang kalah dari segi kualitas, insititusi tersebut sebenarnya membayar biaya tambahan untuk memenuhi hasrat diskriminasinya. Mengapa demikian? Karena institusi itu dapat memperoleh kandidat yang lebih baik yang akan memberikan kontribusi lebih banyak bagi keuntungan perusahaan, tetapi institusi itu justru memilih kandidat yang lebih jelek. Dan karena kandidat yang diambil lebih jelek, biaya produksi institusi tersebut pun akan bertambah, dan ini dapat berpengaruh pada harga akhir produk yang menjadi lebih mahal bagi konsumen. 

    Seandainya kompetisi usaha berjalan dengan sehat dan ketat, tindakan diskriminasi pada akhirnya akan menjadi tidak rasional. Dalam situasi dimana harga tidak bisa dinaikkan karena persaingan, perusahaan yang rasional akan melakukan segala upaya untuk mengurangi biaya produksi, dan itu berarti harga untuk melakukan diskriminasi terhadap kandidat berkualitas akan menjadi semakin mahal. Tentu kita paham apa efeknya bukan? Rasionalitas mencari keuntungan pada akhirnya akan mengurangi level diskriminasi.

    Permasalahannya, dalam kasus Polri, tidak ada persaingan usaha karena hanya ada satu korps kepolisian di Indonesia. Polri adalah pelaku monopoli dan biaya operasionalnya pun ditanggung APBN yang dibiayai oleh pajak kita. Tanpa ada koreksi dari luar, tidak akan ada insentif bagi Polri untuk melakukan perbaikan. Mereka bisa seenaknya saja memenuhi hasrat diskriminatif tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat. Coba dipikir baik-baik, untuk apa melakukan diskriminasi kepada calon Polwan yang bisa jadi akan memberikan kontribusi yang maksimal kepada Polri?

    Penelitian empiris oleh John List dan Uri Gneezy sebagaimana dibahas di buku mereka, The Why Axis, menunjukkan bahwa apabila wanita menjadi pemimpin komunitas, mereka dapat menjadi pemimpin yang lebih baik dibandingkan dengan pria. Melalui penelitian di sebuah komunitas matriarkal mutlak di Pakistan dan membandingkannya dengan komunitas patriarkal mutlak di Afrika, List dan Gneezy memahami bahwa pembentukan karakter wanita dan pria lebih ditentukan oleh budaya dibanding genetika. Kaum wanita di Pakistan tersebut menunjukkan semua kualitas yang umumnya diidentifikasi sebagai perwujudan maskulinitas seperti keberanian mengambil keputusan, ketegasan, dan sebagainya.

    Wanita pada prinsipnya dapat berkontribusi bagi perkembangan kesejahteraan kita semua. Membatasi aktivitas wanita bukan saja merupakan ide bodoh yang ketinggalan jaman, tetapi juga tidak memahami realitas dunia yang makin empiris. Lupakan konsep-konsep doktrinal yang anda pikir benar. Dunia tunduk pada analisis untung rugi (sebagaimana saya bahas di sini).

    Ide bahwa moralitas Polwan perlu dijaga juga sangat tidak masuk akal, apalagi berpikiran bahwa tes keperawanan akan menjadi bukti empiris yang kuat bahwa seseorang bermoral. Bagaimana dengan calon polisi pria yang tidak bisa dites keperjakaannya, bagaimana kita tahu kalau mereka bermoral? Apa standar moral hanya soal seks? Saya sudah berkali-kali membahas dalam tulisan saya bahwa penggunaan moral sebagai standar lebih banyak menimbulkan kesia-siaan. Sebagaimana saya bahas panjang lebar di sini dan di sini, bahkan agama saja tidak efektif untuk mempengaruhi perilaku hukum, apalagi standar moral yang tidak jelas.

    Polri harusnya fokus pada insentif. Sekali lagi, insentif! Polri harus paham analisis untung rugi dalam memilih calon polisi dan menyusun tes yang menunjukkan bagaimana calon polisi akan mengambil keputusan dalam beragam situasi dengan memperhatikan insentif yang mereka dapat. Kalau saya boleh sarankan, lebih baik Polri berdiskusi dengan John List, yang sekarang menjabat sebagai kepala Departemen Ekonomi University of Chicago. John List sudah berkali-kali menyusun eksperimen empiris untuk mengetahui bagaimana manusia berperilaku di dunia nyata.

    Eksperimennya bahkan sekarang digunakan untuk menyusun sistem pendidikan yang dapat mengurangi jumlah anak putus sekolah di Chicago, dengan harapan bahwa pengurangan jumlah anak putus sekolah akan mengurangi tingkat kejahatan di masyarakat! Bayangkan, ini dunia modern, dimana kebijakan disusun berdasakan data dan penelitian bukan ide moral yang mengawang-awang entah dari mana. Apalagi kalau ide moral itu tidak memiliki basis yang kuat untuk diterapkan berdasarkan analisis untung rugi.     

    Saya tahu, di Indonesia ada begitu banyak masalah. Dan orang Indonesia gampang lupa. Masalah hari ini mungkin hanya penting untuk hari ini saja. Tetapi inilah mengapa saya membuat tulisan di blog, supaya akan selalu ada catatan bahwa institusi Polri sudah melakukan diskriminasi tak berdasar kepada calon Polwan. Bahwa hal itu salah dan Polri tidak memiliki justifikasi sama sekali untuk melaksanakan program tersebut!

  • Perlukan Penghinaan Dipidana?


    Amir dan Badu, 2 anak SMP sedang bertengkar di tepi jalanan yang sepi sepulang sekolah memperebutkan sebuah mainan yang sudah lama mereka inginkan. Situasi makin memanas, ketika akhirnya Amir berucap: "anjing!" kepada Badu. Badu yang tak terima dengan perkataan itu, membalas pernyataan Amir dengan: "ibumu pelacur!!!". Tak lama kemudian Amir melaporkan Badu kepada polisi dengan tuduhan penghinaan terhadap Amir.

    Di tempat lain, Dodi, seorang politisi, dan Emir, akademisi, beradu argumen lewat Twitter mengenai suatu kebijakan publik. Dua-duanya belum pernah bertemu dan berinteraksi sebelum timbulnya isu ini dan hanya berdebat gara-gara seorang follower Emir yang kebetulan di-follow oleh Dodi, me-RT twit dari Emir. Dalam debat tersebut, keduanya naik darah dengan cepat. Emir menuduh Dodi bahwa ia tidak paham peranannya sebagai politisi dan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat guna membuat kebijakan yang buruk. Tersinggung dengan pernyataan Emir, Dodi balas menuduh bahwa Emir hanyalah seorang plagiator yang tidak layak untuk menjadi akademisi.  Keduanya kemudian sama-sama pergi ke polisi untuk saling melaporkan lawannya dengan tuduhan penghinaan di muka publik melalui media elektronik.

    Fransiska, seorang wiraswasta muda, baru saja menikmati makanan yang sangat tidak enak dan pelayanan yang tidak memuaskan di Ristorante G, sebuah restoran Italia yang dikenal sebagai lokasi terbaru berkumpulnya para profesional muda yang trendi di Jakarta. Fransiska kemudian menulis ulasannya tentang Ristorante G di blog pribadinya dan memberikan penilaian yang sangat negatif terhadap restoran tersebut. Tak lama kemudian, pengunjung Ristorante G menurun drastis. Alasannya tak jelas, salah satunya mungkin karena ulasan negatif dari Fransiska yang kebetulan sedang naik daun sebagai food blogger. Gunawan, pemilik Ristorante G, kemudian melaporkan Fransiska ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alasannya? Ulasan Fransiska tidak objektif, berlebih-lebihan dan sangat merugikan bisnis Gunawan.

    Kasus-kasus penghinaan dan pencemaran nama baik memang tidak akan pernah ada habisnya. Dalam waktu 2 minggu sejak saya membahas kasus Florence Sihombing, saya sudah mendengar 3 kasus baru tentang penghinaan: tukang sate yang dituduh menghina Presiden (karena memfitnah Presiden dan menyebarkan video porno palsu), penyair yang dituduh mencemarkan nama baik seorang konsultan survei politik (karena menyatakan bahwa si konsultan tak layak dianggap sebagai sastrawan), dan istri dari seorang pegawai yang dituduh menghina bos pegawai tersebut di muka umum (karena marah-marah di Facebook atas keputusan bos suaminya yang menurutnya tidak adil). Menurut saya, masih cukup maraknya kasus pidana penghinaan setelah ada beberapa kasus yang ramai di media (semisal kasus Prita vs RS Omni dan Benhan vs Misbakhun) merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Sayangnya, secara umum masyarakat kita masih adem-ayem dan masih lebih sibuk mengomentari soal apakah bahasa Inggris Presiden kita hitungannya bagus atau tidak ketika ia berpidato di forum APEC.

    Bisa jadi kekhawatiran saya tidak beralasan. Dari 240 juta manusia di Indonesia, mungkin secara statistik, kasus penghinaan yang masuk ranah pidana hitungannya tidak seberapa dan oleh karenanya belum layak menjadi perhatian. Walaupun ada beberapa korban, mereka yang sibuk menghina orang lain juga banyak yang tidak dipidanakan, jadi secara probabilistik, kecil kemungkinannya dikenai sanksi dan oleh karenanya, masyarakat tidak khawatir bahwa mereka bisa dipidana karena salah ucap baik di ruang publik atau di hadapan orang tertentu. Hal ini membutuhkan penelitian empiris lebih lanjut, tetapi sebelum kita sampai ke situ, saya ingin menyampaikan beberapa konsep normatif yang perlu kita renungkan mengenai pemidanaan terhadap penghinaan.   

    Merujuk ke Bab XVI KUHP yang membahas penghinaan dan kawan-kawannya, secara umum, penghinaan didefinisikan sebagai penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, dengan maksud agar hal tersebut diketahui secara umum. Kemudian apabila diminta untuk membuktikan apakah hal yang dituduhkan itu benar dan kemudian pelaku tidak bisa atau tidak mau membuktikannya, maka ia bisa juga dituduh melakukan fitnah dengan pidana penjara yang lebih berat dari sekedar penghinaan biasa.

    Apabila ternyata hal yang dituduhkan tidak bersifat pencemaran nama baik, sekalipun dilakukan di muka umum atau hanya di depan muka pihak yang dituduh, maka tindakan tersebut akan masuk dalam kategori penghinaan ringan (dengan ancaman pidana yang juga lebih ringan). Selanjutnya, tuduhan di atas tidak akan dianggap sebagai pencemaran nama baik apabila perbuatan tersebut dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri. Terakhir, KUHP menyatakan bahwa perbuatan penghinaan tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari pihak yang terkena kejahatan (tidak berlaku untuk penghinaan terhadap pejabat dan kepala negara).

    Versi pasal penghinaan dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE") pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan KUHP, hanya memperberat sanksi dan mengubahnya menjadi delik laporan, yang berarti: tanpa pengaduan dari "korban" pun, pelaku penghinaan bisa tetap disidik dan dipidana, dan kasus tidak berhenti apabila pengaduan tersebut dicabut. Memang, karya agung anak bangsa ini membuat pasal-pasal kolonial buatan penjajah menjadi seperti mainan anak-anak. Kalau penjajah represif, maka bangsa sendiri tidak boleh kalah dalam hal bertindak represif. Itu kira-kira inti dari pasal pemidanaan penghinaan dalam UU ITE.

    Pertanyaan utamanya adalah, perlukah kita memiliki aturan pidana soal penghinaan? Coba kita lihat contoh kasus yang saya berikan di awal. Semuanya berpeluang untuk masuk ranah pidana berdasarkan KUHP atau UU ITE, setidak-tidaknya masuk kategori penghinaan ringan. Namun akal sehat kita mungkin akan mulai membanding-bandingkan. Masuk akalkah apabila negara harus mengurusi Amir yang sakit hati karena ibunya dihina Badu? Bagaimana kalau misalnya Ibu Amir bukan pelacur? Apakah kasus ini akan dianggap sebagai fitnah?  Pentingkah fitnah seorang Badu bagi Amir dan ibunya, khususnya apabila Amir adalah anak orang kaya nomor satu di Indonesia sementara Badu cuma anak tukang sapu? Bagaimana kalau status Amir dan Badu dibalik?

    Atau bagaimana dengan kasus Dodi dan Emir. Dua orang yang sebenarnya tidak pernah bertemu di dunia nyata, dan juga probabilitas bertemunya sebenarnya sangat rendah. Mereka bisa tidak saling mengganggu dan bisa meneruskan hidup mereka dengan damai. Apakah pertengkaran karena emosi sesaat ini perlu diurus oleh negara?

    Terakhir kasus seperti Fransiska dan Gunawan. Sekilas tampak layak untuk masuk ranah pidana. Ada kerugian yang nyata dan kerugian itu bersifat besar. Isunya adalah, apakah bisa dibuktikan ada kausalitas atau korelasi antara ulasan Fransiska dan memburuknya kondisi restoran Gunawan? Jangan-jangan kualitas Ristorante G memang mengecewakan dan pasar menghukumnya dengan jumlah pengunjung yang sedikit.

    Doktrin klasik hukum pidana menyatakan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium, yang berarti bahwa hukum pidana adalah langkah terakhir yang akan digunakan dalam menghadapi suatu permasalahan hukum. Walau mungkin ahli hukum klasik tidak paham ilmu ekonomi secara mendalam, mereka setidaknya paham bahwa hukum pidana tidak bisa dipakai sembarangan. Mengapa? Hukum pidana membutuhkan penegakan yang aktif oleh negara dan aparatnya (bedakan dengan penegakan hukum perdata yang sifatnya pasif dan dibiayai oleh para pihak yang terlibat melalui pembayaran biaya pengadilan). Tanpa ada penegakan, hukum pidana hanya akan jadi macan kertas yang tidak akan berdampak signifikan.

    Sebagai contoh, misalnya orang meributkan hukuman mati dengan alasan kalau hukuman mati efektif, pasti sudah tidak ada kejahatan lagi di muka bumi. Ini logika yang salah. Hal yang sama juga berlaku terhadap sanksi pidana lainnya. Seandainya semua sanksi atas kejahatan adalah hukuman mati dan probabilitas ditangkap serta dikenai sanksi adalah 100%, saya cukup yakin jumlah kejahatan akan menurun drastis. Tetapi kalau probabilitas ditangkap hanya 10% dan dijatuhi hukuman mati hanya 10% yang artinya hanya ada kemungkinan 1% ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, kemungkinan besar sanksi itu tidak akan ada dampaknya.

    Aspek utama dari penegakan hukum tentunya adalah biaya penegakan hukum. Biaya ini bukan cuma sekedar biaya menggaji polisi, hakim, dan jaksa. Ada biaya yang bisa muncul karena penyalahgunaan wewenang oleh aparat hukum, ketidakmengertian aparat terhadap hukum yang berlaku, penjatuhan hukuman kepada pihak yang salah, penjatuhan sanksi yang tidak tepat, dan masih banyak lagi. Intinya, sistem pidana tidak mungkin sempurna sementara sumber daya kita terbatas.

    Dengan kondisi seperti itu, diperlukan prioritas dalam melakukan penegakan hukum. Salah satu cara untuk menentukan prioritas yang tepat tentunya adalah menentukan tindak pidana mana yang paling penting untuk dikurangi keberadaannya. Semakin besar kebutuhan untuk mengurangi atau menghilangkan tindak pidana itu, maka semakin banyak sumber daya yang perlu dikerahkan untuk penanggulangan tindakan tersebut.

    Pertanyaan lanjutannya, apa itu tindak pidana? Secara hukum, jawabannya mudah: segala macam tindakan yang dirumuskan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku. Jawaban ini tentunya tidak memuaskan. Dari sudut pandang ekonomi, secara umum tindak pidana dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menimbulkan kerugian pribadi atau sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tidak semua tindakan merugikan perlu dipidanakan karena tindakan merugikan juga sangat banyak macamnya.

    Tindakan yang merugikan kepentingan banyak orang dan menguntungkan segelintir orang saja merupakan jenis tindakan yang paling mudah untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Contohnya korupsi dan perusakan lingkungan hidup. Semakin sedikit pihak yang terlibat dan semakin tidak jelas objek kerugian, maka semakin rendah juga prioritas kita untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui ranah pidana.

    Kasus pencurian misalnya. Objeknya jelas, ada barang yang dicuri. Kerugiannya pun jelas. Kita juga tidak mungkin membiarkan sebuah masyarakat dimana pencurian dapat dibiarkan berjalan bebas bahkan seandainya kenikmatan yang didapat oleh si pencuri lebih besar dari korban pencurian. Bayangkan suatu masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap sesama anggota masyarakat dan juga menghabiskan biaya secara berlebihan untuk melindungi asetnya karena pencurian disahkan.

    Bagaimana dengan penghinaan? Masalah dengan penghinaan adalah karena penghinaan menggabungkan unsur subjektif dan objektif. Kata "anjing" bisa dianggap sebagai penghinaan luar biasa bagi orang tertentu, tetapi bisa dianggap sebagai bentuk keakraban antar teman dekat. Kerugian yang ditimbulkan karena kekesalan akibat dihina sebagai anjing juga sulit diukur. Apakah saya akan merasa merugi Rp10.000 atau Rp100.000.000 karena penghinaan tersebut?

    Di sisi lain, penghinaan atau fitnah bisa jadi berakibat buruk secara riil. Misalnya seperti dalam kasus Ristorante G di atas. Katakanlah, Ristorante G memang kehilangan pelanggan dan Gunawan merugi besar-besaran gara-gara ulasan Fransiska. Kerugiannya jelas bisa dihitung, lalu apakah Gunawan kemudian sebaiknya memidanakan Fransiska?

    Ini mengapa menurut saya pendekatan delik penghinaan sebagai delik aduan (seperti misalnya usulan untuk mengubah delik penghinaan di UU ITE menjadi delik aduan) tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Selama masih ada unsur subjektif dalam penghinaan, maka kemungkinan dibawanya kasus yang remeh temeh ke pengadilan akan tetap ada bahkan sekalipun delik penghinaan adalah murni delik aduan.

    Dan tidak mengherankan apabila ada yang akan menggunakan sarana pidana penghinaan ini untuk menyingkirkan lawannya atau menakut-nakuti kritik. Bagi "korban", biaya kasus penghinaan sebenarnya murah bahkan dalam masyarakat yang tidak suka dengan tukang adu. Kalau si "korban" tidak terlalu peduli reputasinya, satu-satunya biaya yang perlu ia pertimbangkan adalah biaya untuk pergi ke kantor polisi dan melaporkan pelaku penghinaan. Setelahnya, ia tidak perlu lagi terlibat dalam proses pidana karena sudah diserahkan kepada negara. Apabila ini merupakan delik aduan, maka "korban" juga memiliki posisi tawar yang lebih kuat untuk menerima kompensasi dari pelaku karena nasib pelaku sedikit banyak berada di tangan "korban" yang akan menentukan apakah pengaduannya akan dicabut atau tidak. Apabila ini delik laporan, sifatnya bahkan lebih ganas lagi, karena "korban" tinggal berlepas tangan dan menyerahkan kepada negara untuk menyidik dan mengadili si pelaku.

    Masalahnya, yang membiayai negara untuk mengurus kasus ini adalah kita semua. Si "korban" pun juga mungkin membayar pajak, tetapi berapa besar sumbangannya dibandingkan dengan semua orang lain? Boleh dikata, ia menggunakan sarana negara dengan mengorbankan hak orang lain untuk memidanakan orang dengan alasan yang bisa jadi sebenarnya tidak penting dan tidak membawa kemaslahatan kepada masyarakat banyak. Belum lagi kalau kemudian sumber daya yang digunakan untuk mengurus kasus penghinaan itu sebenarnya bisa dipakai untuk menangani kasus lain yang memiliki prioritas lebih tinggi.

    Oleh karenanya, usulan awal saya, secara umum, kasus penghinaan seharusnya tidak bisa otomatis dibawah ke ranah pidana, melainkan harus diselesaikan terlebih dahulu di ranah perdata. Apabila kasus ini dibawa ke ranah perdata, maka "korban" harus dapat membuktikan adanya kerugian yang nyata sebagai akibat dari penghinaan yang ia alami. "Korban" yang rasional hanya akan pergi ke pengadilan apabila probabilitas kemenangannya dikalikan dengan jumlah ganti rugi yang akan ia terima dari pelaku penghinaan lebih besar dari total biaya yang akan ia keluarkan. Silakan baca makalah saya di sini untuk melihat model ekonomi pelaku litigasi.

    Dengan model di atas, kemungkinan besar kita tidak akan melihat kasus macam Amir dan Budi atau Dodi dan Emir masuk ke ranah pengadilan karena biaya perkaranya hampir pasti akan jauh lebih besar dibandingkan dengan potensi ganti rugi yang akan didapat oleh "korban". Adapun untuk kasus Fransiska dan Gunawan, bisa jadi perkaranya akan masuk ke pengadilan bergantung pada besaran ganti rugi yang bisa diterima oleh Gunawan dan kemampuan Fransiska untuk membayar ganti rugi tersebut.

    Lalu kapan penghinaan masuk ke ranah pidana? Ada kemungkinan memang ketika ranah perdata tidak cukup efisien untuk menyelesaikan kasus penghinaan. Misalnya dalam kasus dimana pelaku memiliki sumber daya atau jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan korban. Contoh kasus fitnah terhadap Jokowi pada saat menjadi calon presiden bisa menjadi contoh yang baik. Membawa kasus ini ke ranah perdata bisa jadi menyulitkan karena pelakunya terlalu banyak dan membuktikan unsur kerugian yang dialami dari tiap pelaku fitnah secara satu  persatu juga tidak mudah, karena yang akan membuktikan adalah Jokowi sendiri dan bukan negara. Itu pun saya masih berpendapat sifat deliknya seharusnya aduan dan hanya bisa dilakukan oleh korban. Kasus seperti tukang sate seharusnya tidak perlu terjadi andai delik dalam UU ITE bersifat delik aduan dan bukan delik laporan.

    Bagaimana merumuskan konsep di atas ke dalam peraturan perundang-undangan? Perlu kajian lebih lanjut yang tidak cukup untuk dimuat dalam satu artikel blog, tetapi secara garis besar, saya akan mengusulkan bahwa semua delik penghinaan harus menjadi delik aduan dan, kecuali dalam kondisi khusus, pengaduan hanya bisa diajukan hanya apabila pelapor bisa membuktikan bahwa kasus ini tidak dapat diselesaikan secara perdata atau penyelesaian secara perdata di pengadilan akan membebani pelapor. Bagaimana membuktikan kesulitan pelapor? Bisa jadi kita serahkan kepada diskresi polisi atau jaksa, atau harus dibawa ke muka sidang dan ditentukan oleh hakim. Bisa jadi juga UU menyatakan bahwa penghinaan hanya bisa dibawa ke ranah pidana dalam hal ada kerugian objektif yang melewati batasan nilai tertentu.

    Sebagaimana saya sampaikan di atas, ide di atas perlu dielaborasi dengan penelitian lebih lanjut. Dan seharusnya para akademisi di Indonesia lebih gencar untuk menekuni isu ini karena isu penghinaan berhubungan erat dengan kebebasan berpendapat. Pasal penghinaan yang terlalu pro kepada "korban" rentan disalahgunakan karena memberikan insentif kepada "korban" untuk melaporkan siapapun yang mereka anggap telah menghina mereka, terlepas apakah penghinaannya sendiri substantif atau merugikan.   
  • Kasus Florence Sihombing dan Kegagalan Nalar Hukum


    Saya kecewa luar biasa ketika membaca berita ini dan juga berita ini. Bukan saja perkara "penghinaan" Jogja oleh Florence Sihombing masih tetap akan dilanjutkan, Florence juga dikenakan skors 1 semester oleh UGM karena pernyataannya di Path. Saya tidak habis pikir mengapa langkah ini perlu ditempuh? Skorsing 1 semester saja menurut saya sudah tidak masuk akal, apalagi kalau diteruskan sampai ke level pidana!
     
    Apa pernyataan Florence yang menimbulkan dampak sedemikian dahsyatnya itu? Kutipan dari Path-nya adalah sebagai berikut: "Jogja miskin, tolol dan tak berbudaya, teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja" dan "Orang Jogja bangsat. Kakak mau beli Pertamax 95 mentang-mentang pake motor harus antri di jalur mobil trus ga dilayani. Malah disuruh antri di jalur motor yang stuck panjangnya gak ketulungan. Diskriminasi. Emangnya aku ga bisa bayar apa. Huh. KZL."

    Konteksnya tidak terlalu sulit dicerna. Bayangkan ada 2 produk, X dan Y. X lebih mahal daripada Y tetapi proses untuk mendapatkan Y lebih lama karena anda harus mengantri (barang lebih murah, peminat lebih banyak, antrian lebih panjang). Anda memiliki dana yang cukup untuk membeli produk X dan memutuskan untuk membeli X yang harganya lebih mahal karena anda lebih menghargai nilai waktu anda. Tetapi ketika kemudian sampai di kasir untuk membeli X, anda diminta pindah ke barisan pembeli Y yang panjangnya sungguh keterlaluan. Alasannya anda tidak boleh membeli X? Karena baju anda jelek.

    Bagaimana tanggapan anda atas kasus di atas? Apakah tindakan penjual tersebut wajar? Apakah ini contoh tindakan diskriminatif tanpa alasan yang kuat? Dalam situasi serupa, apakah anda akan menghela nafas anda dalam-dalam? Atau anda akan marah-marah sambil bersumpah serapah? Kalau anda Paman Gober, mungkin yang akan anda lakukan adalah membeli perusahaan yang bersangkutan dan memecat semua karyawannya yang menyebalkan itu (sebagaimana sering kita lihat dalam komik Donal Bebek). Itu juga yang akan saya lakukan kalau uang saya berlimpah.

    Ada yang bisa melarang saya untuk melakukan hal tersebut? Ya mungkin karyawan-karyawan dari perusahaan yang saya beli ini akan mencoba menggugat hak pesangon mereka. Bisa jadi saya harus membayar hak pesangon mereka yang cukup mahal di pengadilan. Tetapi karena selain kaya, saya juga paham hukum, saya putuskan saja untuk memailitkan perusahaan ini, melikuidasi semua asetnya, dan memberikan uang pesangon yang tak seberapa kepada karyawan saya. Kalau pun mereka mau menuntut di masa depan, perusahaannya sudah tidak ada, dan pemegang saham dan perusahaan adalah dua entitas yang berbeda. Apakah ada yang bisa menghalangi skema saya ini? Kemungkinan besar, tidak ada.

    Apakah saya bisa ditahan karena pada prinsipnya saya sudah menyakiti hidup para karyawan yang membuat saya sebal itu? Hampir pasti tidak ada alasan untuk menahan saya. Yang saya lakukan sah secara hukum dan walaupun skemanya rumit, karena uang saya banyak, manfaat yang saya dapat dari membubarkan perusahaan dan melihat karyawan-karyawan itu menangis di tepi jalan tetap memberikan nilai manfaat pribadi yang lebih besar dibandingkan biaya yang saya keluarkan.

    Sayangnya Florence tidak punya dana sebanyak Paman Gober. Dia cuma mahasiswi UGM yang naik motor sebagai kendaraan pribadinya. Dia tidak bisa menggunakan skema saya di atas. Paling-paling dia hanya bisa menghela nafas, atau marah-marah. Bisa jadi dia khawatir sebagai wanita untuk marah-marah langsung di depan petugas SPBU. Maka pilihan akhirnya adalah marah-marah di Path yang dikenal sebagai media sosial untuk hal-hal yang lebih privat (walaupun memang sulit di masa kini untuk membedakan hal mana yang privat dan publik).

    Yang memilukannya adalah: kemarahan Florence dan konteksnya yang sebenarnya cukup wajar itu dibesar-besarkan sampai kemudian dianggap melanggar ketentuan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE"). Dalam hal ini, Florence dituduh melanggar Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, yaitu dengan sengaja dan tanpa hak: (i) mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, atau (ii) menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

    Ini kasus yang sangat menarik dan juga penting. Kalimat pasal yang begitu sederhana seperti di atas membuka banyak kemungkinan interpretasi. Pertama, bisa jadi bukan Florence yang harusnya dihukum karena ia tidak dapat dianggap dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi yang memuat penghinaan. Apa yang dimaksud dengan tanpa hak? Bagaimana kalau misalnya kita menganggap bahwa Path adalah media yang digunakan untuk keperluan diseminasi informasi secara terbatas, katakanlah hanya untuk teman-teman terdekat. Bisa jadi saya akan menyampaikan penghinaan yang keras terhadap orang lain ketika saya sedang berbicara dengan teman-teman dekat saya tetapi saya tidak akan omongkan penghinaan itu di depan muka target saya, atau di depan publik. Ini kan wajar. Kalau anda merasa tidak pernah melakukan hal serupa, saya ucapkan selamat karena anda layak jadi wali atau nabi.

    Dengan pembacaan di atas, malah seharusnya orang-orang yang ditangkap adalah mereka yang kemudian justru membagi-bagikan pernyataan Florence ke khalayak ramai. Orang-orang ini yang pantas ditangkap karena tanpa hak membagikan informasi yang selayaknya tidak disampaikan ke muka umum dan menimbulkan kontroversi yang tidak perlu. Bayangkan berapa banyak sumber daya yang dihabiskan untuk membahas kasus seremeh ini? Polisi yang menangkap Florence, Jaksa dan Hakim untuk menjalankan persidangan, UGM yang sampai sibuk harus menjalankan rapat etika, dan publik yang harus ikut berkomentar, termasuk saya. Semua hanya karena ada beberapa orang yang tidak cukup cerdas untuk bisa membedakan informasi mana yang patut dibawa keluar dan mana yang harus disimpan baik-baik.

    Isi dari Path pada dasarnya terkunci untuk dapat dilihat oleh orang lain kecuali orang tersebut sudah menjadi teman dari pemilik akun Path yang bersangkutan. Benar bahwa isi dari Path dapat diunggah juga ke Facebook dan Twitter sepanjang dipilih oleh si pemilik. Pertanyaannya, apakah Florence sengaja mengunggah amarahnya itu di media sosial lainnya? Atau kemudian hal ini dilakukan oleh orang lain? Ahli hukum yang baik harus memahami setiap fungsi media sosial dan tidak menyamaratakan mereka semua, apalagi dalam kasus yang melibatkan hidup orang semacam kasus Florence ini.

    Berikutnya adalah soal definisi penghinaan itu sendiri dan target dari penghinaan. Ini masalah yang rumit karena melibatkan banyak unsur subjektif. Saya belum pernah mendengar suatu kota atau suatu wilayah bisa menyatakan dirinya dihina. Misalnya saya menghina Jogja, apakah kemudian satu warga Jogja dapat mewakili Jogja untuk menuntut saya? Atas dasar apa? Bagaimana kalau warga yang lain kemudian memutuskan bahwa saya tidak menghina Jogja? Lalu apa harus dilakukan musyawarah atau voting terlebih dahulu oleh seluruh warga Jogja untuk menentukan: (i) apakah saya menghina Jogja, dan (ii) siapa yang nantinya berwenang dari warga Jogja untuk menyampaikan laporan atas penghinaan yang saya lakukan? Anda bisa lihat betapa absurdnya pemikiran ini kan?

    Bandingkan kasus ini dengan Jakarta. Keruwetan dan keparahan kota Jogjakarta tidaklah seberapa dibandingkan dengan Jakarta. Anda mau adu kota mana yang lebih ribet? Anda pasti kalah dengan Jakarta. Mereka yang tinggal di Jogja mungkin tidak bisa membayangkan berapa banyak umpatan yang berseliweran di kalangan warga Jakarta atas kota dan sesama penduduknya. Bahkan ketika Fauzi Bowo masih menjadi Gubernur Jakarta, tidak terhitung banyaknya umpatan yang muncul atas dirinya di media sosial.  Korban penghinaan lainnya tentu saja para pengendara sepeda motor yang merasa jalanan adalah milik nenek moyang mereka. Saya masih menanti adanya paguyuban pesepeda motor Jakarta yang akan mengajukan laporan atas penghinaan yang rutin mereka terima sehari-hari di media sosial.

    Atau kita pakai kasus terbaru: Bekasi. Bekasi sempat menjadi permainan dan lawakan di media sosial karena kemacetan yang luar biasa dan penderitaan yang dialami warganya setiap pergi dan pulang ke Bekasi. Tentu ada yang pro dan kontra soal kondisi Bekasi. Ada yang setuju dengan lawakan tersebut, ada yang berpendapat bahwa orang-orang yang menghina Bekasi itu sebenarnya tidak pantas menghina Bekasi dan sebagainya. Tetapi yang jelas tidak ada satu pun orang yang ditahan hanya karena ia mengunggah meme-meme yang menghina Bekasi itu di muka umum.

    Sekarang saya tanya, apa bedanya menyatakan Jogja tolol dan menyatakan bahwa untuk ke Bekasi anda harus naik roket karena lokasinya berada di luar planet Bumi? Dua-duanya sama-sama penghinaan. Yang satu langsung pada pokoknya, yang satu berbentuk lawakan (yang bisa jadi lucu menurut saya tetapi dianggap langsung menghina bagi para warga Bekasi yang cinta mati terhadap Bekasi), tetapi menurut saya esensinya sama saja: MENGHINA. Lalu? Kenapa tidak ada LSM atau siapa pun lah dari Bekasi yang kemudian menindaklanjuti kasus ini?

    Apa karena kali ini pelakunya banyak? Dan karena kalau tidak setuju dengan pelakunya yang banyak ini, nanti si pelapor akan dicap sebagai orang yang tidak punya selera humor dan sebagainya, dan mungkin nanti malah akan di-bully ramai-ramai? Penegakan hukum macam apa yang akan kita lakukan kalau standarnya tidak jelas seperti ini? Sepanjang pelakunya banyak, lalu kasus ditiadakan karena polisinya juga takut? Bagaimana mungkin orang tidak berpikiran bahwa kasus Florence adalah bentuk diskriminasi hanya karena dia sendirian? Bagaimana dengan semua orang yang menyebarkan amarah Florence di Path? Kenapa tidak sekalian ditangkap?       

    Mungkin ini lah salah satu aspek yang masih menyedihkan di negara kita. Ketika kasusnya heboh, semua orang ribut soal Florence. Entah marah-marah, entah memberikan dukungan, sehingga akhirnya membuat kasus sederhana ini menjadi konsumsi publik yang berlebihan. Tetapi pada akhirnya, setelah hingar bingar itu selesai dan kita semua sudah puas menyampaikan penilaian moral kita macam bagaimana harusnya berbicara di media sosial, yang menjalani konsekuensi hidupnya adalah Florence Sihombing. Dan kini dia diskors satu semester dan akan menghadapi persidangan di muka pengadilan negeri. Untuk apa? Untuk hal yang secara rutin juga dilakukan oleh banyak orang di Indonesia dan juga planet Bumi ini melalui beragam media lainnya!

    Saya pernah beberapa kali mengajar di UGM dan juga menikmati liburan di Jogja, tetapi bagi saya kasus ini terlalu menyakitkan hati. Tidak pantas dan juga tidak efisien menghukum seseorang untuk sesuatu yang sebenarnya remeh temeh dan tidak berakibat negatif secara signifikan kepada masyarakat (kalau bukan karena dibesar-besarkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab). Pada akhirnya ini soal analisis untung rugi. Kecuali Florence dinyatakan tidak bersalah, atau tidak dihukum, atau jaksanya memutuskan untuk menghentikan kasus absurd ini, saya tidak akan lagi mau mengajar di UGM. UGM seharusnya bisa melakukan hal yang lebih baik dari ini. Dan percayalah, yang akan rugi karena saya tidak mengajar di UGM bukan saya.  

  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.