THE CHRONICLES OF A CAPITALIST LAWYER

RANDOM THOUGHTS OF A CAPITALIST LAWYER ON LAW, ECONOMICS, AND EVERYTHING ELSE

  • Catatan Singkat Atas Gugatan Prabowo ke MK

    Catatan Singkat Atas Gugatan Prabowo ke MK


    Tadinya saya sempat berpikir bahwa saya sudah tidak perlu menulis lagi soal pemilihan presiden 2014 karena pemenangnya sudah jelas, dan kita bisa berlanjut ke tahapan berikutnya: mengkritisi pemerintahan Jokowi-JK. Tapi seperti sudah diduga sebelumnya, Prabowo memutuskan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tidak heran, toh memang hal tersebut merupakan hak konstitusinya.

    Saya 100% mendukung pengajuan gugatan Prabowo ke Mahkamah Konstitusi. Kita perlu menyudahi pilpres 2014 dengan setuntas-tuntasnya, dan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan berkekuatan hukum tetap akan menuntaskan hal tersebut dengan cantik.

    Melihat kualitas gugatan tim Prabowo sebagaimana terlampir di sini, sebagai ahli hukum, saya sejujurnya tidak khawatir hasilnya akan menyebabkan perubahan signifikan terhadap kemenangan Jokowi. Bagaimana tidak? Yang paling gampang saja, tim Prabowo sendiri mengakui bahwa total penggelembungan suara Jokowi ditambah suara Prabowo yang hilang hanya 2,7 juta suara (lihat halaman 8 butir 4.8). Dengan selisih suara saat ini senilai 8 juta lebih, saya tidak paham buat apa memasukkan pernyataan ambigu tersebut dalam gugatan karena itu sama saja dengan mengatakan bahwa kalau sekalipun tuduhan Prabowo di atas benar dan jumlah perolehan suara harus diperbaiki, kemenangan Jokowi tidak akan berubah.

    Saya tidak tahu apakah bukti-bukti tim Prabowo juga diunggah ke situs Mahkamah Konstitusi, karena kalau melihat klaimnya yang bombastis, mereka akan membutuhkan dukungan bukti yang sangat banyak. Menariknya, dari klaim sebelumnya bahwa terdapat jutaan bukti yang dimuat dalam 10 truk, lalu turun menjadi 15 mobil lapis baja, akhirnya berakhir hanya menjadi 3 bundel dokumen. Entah ini dagelan atau bukan, tapi ini bagus buat saya, karena gugatan tanpa bukti apapun sama dengan omong kosong. Semua sarjana hukum seharusnya paham konsep mendasar ini. Kalau tidak, mungkin kelulusannya dulu perlu dipertanyakan.

    Saya juga bosan mendengar teori-teori konspirasi dan klaim-klaim bodoh macam ada jutaan pemilih fiktif dari Cina daratan, ada hasil rekap TNI/Polri yang memenangkan Prabowo namun tidak diungkap ke publik, lalu kemudian ada 37 hacker dari Cina dan Korea yang menyabotase situs KPU. Mau sampai kapan gosip-gosip tak bermutu seperti ini akan dipertahankan? Dan secara beberapa dari klaim-klaim di atas disampaikan oleh salah satu tim pemenangan Prabowo, saya terkejut kenapa para pengacara Prabowo tidak sekalian memasukkan info-info menarik ini ke dalam gugatannya? Kenapa ya? Oh, mungkin karena semua itu memang cuma OMONG KOSONG dan pengacara Prabowo tidak sebodoh itu juga untuk memasukkan teori konspirasi dalam gugatan resmi!

    Saya tahu bahwa bagi sebagian pendukung Prabowo yang masih delusional, setelah nanti kalah di MK pun mereka akan tetap delusional. Sekarang mereka bilang MK akan membuat Jokowi bertekuk lutut. Nanti setelah kalah di MK, mereka pasti akan bilang MK curang atau bahwa akan ada permainan lainnya. Kenapa saya bisa menebak demikian? Karena orang-orang ini juga yang bilang bahwa Jokowi akan bertekuk lutut di KPU ketika hasil Quick Count pertama kali keluar. Polanya sama persis. Tapi MK adalah jalan final secara hukum, setelah itu, semua klaim-klaim delusional adalah sia-sia belaka dan akan murni jadi lawakan bagi kita semua. Saya cuma berharap orang-orang delusional ini bisa legowo suatu hari nanti. Kasihan juga kalau sampai mati pun mereka masih penasaran karena masih percaya Prabowo seharusnya menang dalam Pilpres 2014.

    Coba lah dipikir baik-baik. Sedari awal, hasil Quick Count dari lembaga-lembaga yang memiliki reputasi baik sudah menunjukkan bahwa Jokowi menang. Ketika kemudian muncul Quick Count tandingan dari lembaga yang tak bermutu (jangan lupa janji Puspkaptis untuk membubarkan diri kalau hasil Quick Count mereka salah dari hasil Real Count KPU), yang mengindikasikan bahwa tim Prabowo bisa jadi akan mencoba untuk main curang, tim Jokowi lebih sigap untuk mengawal, memeriksa, dan mengolah data yang dibuka oleh KPU kepada publik. Hasilnya? Jokowi diindikasikan menang.

    Kemudian tanggal 22 Juli 2014 pun, KPU menetapkan secara resmi bahwa Jokowi menang dalam Pilpres 2014, hasilnya konsisten dengan Quick Count dan hasil hitung yang dilakukan oleh tim dan relawan Jokowi. Yang menjaga proses Pilpres kali ini segambreng. Tapi apa yang dilakukan oleh tim Prabowo? Jumawa dan sibuk menebar teori konspirasi. Mungkin karena sedari awal, cuma itu keahlian mereka. Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Dan karena memang gugatan ini hitungannya dagelan, kita tidak perlu berpanjang-panjang memberikan analisis. Selamat liburan semuanya!
  • Catatan Akhir Pilpres 2014

    Catatan Akhir Pilpres 2014


    Selama masa Pemilihan Presiden 2014 saya sudah menulis beberapa artikel dimana berdasarkan penilaian saya yang saya usahakan serasional dan seobjektif mungkin, saya memutuskan untuk mendukung Jokowi. Berhubung sekarang sudah memasuki masa tenang dan pembahasan visi, misi, serta program sudah tidak diperkenankan, saya ingin menyampaikan alasan personal atas dukungan saya kepada Jokowi.

    Orang yang lama mengenal saya umumnya tahu kalau saya:
    1. tidak suka dengan orang yang mencla-mencle, asbun, yang hanya pandai bermain kata dan berjualan kecap (silakan lihat tulisan-tulisan saya sebelumnya di blog ini sebagai basis dari pernyataan saya supaya jangan dipikir saya hanya omong kosong saja);
    2. tidak pernah tertarik mendukung seseorang hanya karena isu agama, apalagi kalau melibatkan fitnah segala (saya mendalami Hukum Islam 13 tahun lebih dan masih terus mendalami sampai saat ini, saya hitungannya bodoh kalau masih terjebak isu-isu seperti itu); 
    3. tidak tertarik dengan militerisme dan feodalisme (saya lantang dulu berbicara di depan mahasiswa FHUI menentang segala bentuk perploncoan yang menurut saya bentuk jelas dari feodalisme dan saya tidak pernah mau terlibat dalam semua acara seperti itu);  
    4. mendukung kebebasan berpendapat dan pluralitas (cukup jelas karena hal ini bahkan dijamin oleh konstitusi); dan
    5. tidak percaya dengan segala bentuk teori konspirasi, termasuk berita-berita yang tidak bisa diverifikasi atau berita-berita yang sumbernya sudah diketahui sebagai penyebar kebohongan (salah satu hobi favorit saya: memberi tahu teman-teman yang menyebarkan berita atau informasi hoax kalau yang mereka sampaikan itu hoax);
    6. selalu berusaha sebisa mungkin mengambil keputusan berdasarkan cost benefit analysis (saya melihat orang tidak ada yang sempurna, ada baik dan buruknya, maka harus dihitung lebih besar yang mana, baik atau buruknya?); dan
    7. tidak percaya dengan adanya figur penyelamat dunia dan negara ala ratu adil (satu manusia tidak akan bisa menyelesaikan masalah di Indonesia, manusia bukan malaikat dan selamanya wajib tunduk pada mekanisme check and balance).  
    7 alasan di atas sudah cukup sebenarnya bagi saya untuk mendukung Jokowi. Tetapi ada satu lagi alasan yang mungkin lebih menarik buat diri saya pribadi. Seumur-umur, saya tidak pernah tertarik dengan Pemilu, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Jujur saja, saya selalu merasa bahwa perubahan signifikan tidak akan terjadi di negara ini dan apapun nanti hasilnya, kehidupan saya tidak akan terlalu terpengaruh.  Walhasil, saya juga tidak pernah datang ke acara kampanye atau apa pun lah itu, apalagi menulis panjang lebar analisis untuk keperluan pilpres yang jelas menyita waktu saya dan tidak dibayar.

    Tetapi nyatanya, saya mau menulis panjang lebar artikel-artikel itu, dan untuk pertama kalinya juga, saya datang dalam sebuah acara kampanye akbar di GBK sabtu tanggal 5 Juli 2014 kemarin. Mungkin ini pertama kalinya ada politisi yang bisa menggerakan saya untuk melakukan hal itu. Dan buat saya itu luar biasa karena saya sangat amat jarang sekali bisa kagum pada politisi (yang menurut saya pada umumnya tidak akan bisa memenuhi standar intelektual yang saya harapkan).

    Untuk itu, hormat saya buat Jokowi. Saya berharap Jokowi bisa membuka peluang bagi generasi baru di kancah kepemimpinan politik Indonesia di luar kalangan yang sudah eksis dari jaman dahulu kala. Jokowi mungkin bukan kandidat pemimpin terbaik di Indonesia, tetapi setidaknya dia yang terbaik bagi saya di antara 2 opsi yang tersedia saat ini, dan sebagai warga negara Indonesia, saya merasa berhak untuk menyatakan sikap saya tersebut.

    Selamat memilih bagi rakyat Indonesia tanggal 9 Juli nanti! May the best candidate win!
  • Mimpi Negara Kesejahteraan

    Mimpi Negara Kesejahteraan


    Salah satu klaim yang seringkali diajukan oleh pendukung Prabowo adalah bahwa politik tangan besi diperlukan di Indonesia agar Indonesia akan lebih sejahtera. Menurut mereka, demokrasi tidak bisa memberi makan orang lapar. Saya juga menerima komentar anonim di blog saya yang mengaku sebagai swing voter dan masih condong ke Prabowo. Dia mempertanyakan apakah demokrasi itu memang cocok dengan Indonesia? Atau apakah Indonesia akan lebih baik di tangan otoritarianisme?

    Argumen saya tentang ilusi bahwa pemimpin tegas dapat menyelesaikan masalah di Indonesia sudah saya bahas panjang lebar di tulisan saya sebelumnya, Ilusi Pemimpin Tegas. Berikut adalah elaborasi lebih lanjut mengenai isu soal pendekatan mana yang lebih cocok bagi Indonesia? Demokrasi atau otoritarianisme?   

    Sebenarnya cita-cita mendirikan negara kesejahteraan adalah barang lama yang sudah dibahas berulang-ulang. Tidak bisa dipungkiri, sebagian anggota masyarakat tentunya memimpikan adanya negara yang kuat yang dapat mengayomi dan menolong orang-orang yang lemah dan terpinggirkan. Bagi mereka, mungkin demokrasi lebih tepat digunakan ketika masyarakat secara umum sudah makmur. Dan selama kesejahteraan tersebut belum tercapai, kebebasan berpendapat belum terlalu diperlukan. Pengusung gerakan kesejahteraan biasanya akan mengutip contoh kesuksesan di Cina, Singapura atau mungkin juga Malaysia. Di sana kebebasan berpendapat memang tidak terlalu dihargai, yang penting masyarakatnya sejahtera (atau diasumsikan lebih sejahtera dibandingkan dengan Indonesia).

    Dengan demikian, keberadaan benevolent dictator, alias diktator yang baik hati itu sah-sah saja sepanjang memaksimalkan pertumbuhan ekonomi. Isu besarnya, apakah ini fakta atau hanya sekedar asumsi belaka? Apakah diktator yang baik hati pasti menghasilkan hasil yang lebih baik dan bermanfaat dibandingkan dengan penggunaan sistem demokrasi?

    Apa Kriteria Tercapainya Negara Kesejahteraan?

    Sebenarnya, apa kriteria yang diperlukan sehingga negara kesejahteraan dapat berdiri dengan kokoh? Saya mencatat beberapa kriteria yang umumnya dianggap perlu ada bagi cita-cita negara kesejahteraan:
    1. kemudahan pengambilan keputusan dalam kehidupan bernegara dan berpolitik;
    2. koordinasi yang efisien dan terstruktur antar lapisan birokrasi dan antara pusat dan daerah;
    3. birokrasi pemerintahan yang berjalan secara bersih, efisien dan profesional;
    4. kebijakan ekonomi yang jelas, tersentralisasi, dan terpadu.
    Percaya tidak percaya, kriteria-kriteria di atas mirip dengan kriteria untuk membangun bisnis sukses. Ganti saja keputusan dalam kehidupan bernegara/berpolitik menjadi keputusan bisnis yang memaksimalkan profit, birokrasi diganti menjadi direksi, komisaris dan pegawai, serta kebijakan ekonomi menjadi rancangan anggaran tahunan dan rencana bisnis. Mirip kan? Kata kuncinya ada di efisiensi.

    Pendukung otoritarianisme melihat bahwa sistem demokrasi hanya akan menghambat terpenuhinya kriteria-kriteria di atas. Layaknya suatu perusahaan, kenapa tidak biarkan saja direksi, komisaris dan karyawan yang menjalankan kegiatan usaha, sementara rakyat selaku pemegang saham duduk santai dan menikmati hasilnya? Untuk apa masyarakat terlibat aktif dalam pemerintahan dan kehidupan bernegara?
     
    Dalam hal ini, sebenarnya ada perbedaan fundamental antara menjalankan perusahaan dengan menjalankan negara. Benar bahwa dalam suatu perusahaan, kegiatan usaha sehari-hari dijalankan oleh direksi dan pegawai dengan pengawasan dari komisaris. Tetapi pemegang saham masih tetap memegang peranan utama sebagai pengendali perusahaan, dalam artian, pemegang saham berhak setiap saat tanpa harus perlu merinci alasannya, mengganti direksi dan komisaris yang menurut mereka tidak kompeten. Selain itu, direksi dan komisaris juga tidak punya kuasa yang besar untuk melawan pemegang saham kalau pemegang saham tidak menginginkan mereka lagi. Mereka harus tunduk pada keputusan tertinggi dari pemegang saham. Dengan demikian, mereka memiliki banyak insentif untuk memastikan bahwa mereka akan menjalankan tugas mereka dengan baik dan berhati-hati dalam pelaksanaan tugasnya tersebut.

    Bagaimana dengan negara? Negara yang otoriter umumnya tidak bisa dikendalikan oleh masyarakatnya, bahkan sering kali sebaliknya karena negara tersebut memiliki kekuatan senjata dan modal yang lebih besar. Bahkan dalam sistem demokrasi sekalipun, ada batas jangka waktu minimum dimana keberadaan pemerintahan tidak bisa diganggu gugat (yaitu sampai masa akhir jabatan). Tidak heran kalau mekanisme kontrol dan pemberian insentif terhadap pejabat negara akan sangat berbeda dengan pendekatan dalam perusahaan.

    Asumsi-Asumsi yang Perlu Dipenuhi bagi Negara Kesejahteraan

    Untuk bisa memastikan bahwa 4 kriteria di atas terpenuhi dalam suatu negara yang otoriter, harus dipastikan bahwa semua atau kebanyakan pejabatnya akan bersikap bersih dan profesional. Tapi pendekatan seperti ini mengasumsikan bahwa pemimpin tertinggi dari negara tersebut memang benar-benar bersih, profesional dan mengutamakan kemakmuran rakyat, serta memiliki sistem pengawasan yang mumpuni dan berkualitas untuk memastikan bahwa semua anak buahnya berada di jalan yang lurus.  Lebih penting lagi, pendekatan ini juga mengasumsikan bahwa kebijakan ekonomi sentralistis yang akan diambil itu sudah tepat dan akan memakmurkan masyarakat.

    Pertanyaan pertama, siapa yang bisa menjamin bahwa pemimpin tertinggi pasti baik hati dan lurus? Pertanyaan kedua, siapa yang bisa memastikan bahwa biaya pengawasan atas aparatur negara pasti murah? Apakah anda berpikir bahwa tiba-tiba semua aparatur negara akan menjadi bersih dan profesional hanya karena pemimpin di atasnya berlaku demikian? Jelas sekali bahwa itu belum tentu akan terjadi. Pasti akan diperlukan insentif dalam berbagai bentuk dan insentif itu tidak lah gratis.

    Pertanyaan ketiga, siapa yang bisa memastikan bahwa program ekonomi sentralistis itu sudah pasti menguntungkan? Silakan lihat Cina, sebelum beralih ke pendekatan kapitalis, sistem ekonomi yang tersentralisasi di Cina lebih banyak menimbulkan mudarat bagi rakyatnya. Entah berapa banyak rakyatnya yang dulu mati kelaparan karena kebijakan ekonomi yang salah. Butuh waktu lama dari pihak Deng Xiaoping untuk bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada dalam pendekatan ala Maoisme sebelum akhirnya Cina bisa mencapai statusnya saat ini.

    Selain itu, faktanya menunjukkan bahwa suatu perusahaan/bisnis akan semakin sulit untuk dikendalikan dengan semakin besarnya perusahaan tersebut, dan biaya koordinasi antar departemen dan pengawasan karyawan juga akan semakin mahal. Hal yang sama juga berlaku dalam konteks negara. Maka kurang tepat misalnya membandingkan Indonesia dengan Singapura dan Malaysia. Singapura adalah negara kota dengan jumlah penduduk yang bahkan lebih sedikit dibandingkan dengan Jakarta. Malaysia dengan penduduk 1/10 Indonesia yang mengaku multi etnis sebenarnya hanya terdiri atas 3 etnis besar (Melayu, Cina dan India), sehingga memungkinkan sistem politik yang lebih stabil dibandingkan dengan Indonesia yang jumlah penduduknya sangat besar dan wilayahnya terbagi-bagi dalam banyak pulau.

    Perbandingan dengan Cina juga kurang tepat mengingat Cina adalah bangsa yang homogen dan memiliki satu kebudayaan yang sama sejak jaman dahulu kala. Wilayah mereka juga tidak terbagi dalam kepulauan tetapi berbentuk satu daratan yang sangat luas.  Saya jadi teringat presentasi Pak Kuntoro Mangkusubroto bahwa ekonomi negara kepulauan itu berbeda drastis dengan ekonomi bagi negara daratan yang sampai saat ini belum dikaji secara serius.

    Perlu pula dicatat bahwa pemimpin-pemimpin tertinggi di Singapura, Malaysia dan Cina bukan dari kalangan militer, tetapi dari kalangan sipil macam pengacara, ekonom, dan pengusaha. Cara berpikir mereka memang dari awalnya cara berpikir pebisnis. Kebijakan ekonomi mereka sangat liberal dan pro investasi (termasuk investasi asing). Sedikit retorika omong kosong macam nasionalisme dan kekayaan alam, banyak bertumpu pada pemikiran bagaimana seharusnya kita dapat mengejar profit sebanyak-banyaknya.

    Tidak usah jauh-jauh, saya pernah menghadiri seminar di Hong Kong dimana salah satu pesertanya berbicara mengenai perkembangan hak properti di Cina. Ketika Cina memutuskan untuk mengambil jalan kapitalisme dan membuang ide bahwa tanah harus dimiliki secara kolektif, mereka mengadakan pelelangan tanah kepada masyarakat bahkan sebelum konstitusi mereka yang melarang hal tersebut diamandemen. Pola pikir mereka pragmatis. Kalau tidak efisien ya aturan itu disingkirkan.

    Bahaya Pemerintahan Tegas Setengah Hati

    Permasalahan utamanya, apa iya Indonesia siap untuk mengikuti pola pemikiran di atas? Pro kapitalisme, pro bisnis, pro investasi? Siap kah Indonesia mengikuti sistem dimana yang kuat akan selamat dan yang lemah akan tersingkir dengan sendirinya? Yang saya khawatirkan saat ini justru keberadaan pemerintahan otoriter yang setengah hati. Mengaku otoriter dan tegas, tetapi kebijakan ekonominya belum beranjak dari jaman purba. Menilik visi misi Prabowo dan omongannya tentang kebocoran serta larinya kekayaan alam Indonesia ke asing, saya khawatir bahwa pemerintahan tegasnya itu tidak akan membawa perubahan drastis yang menguntungkan kita semua.

    Penting untuk diperhatikan bahwa di Singapura, Malaysia dan Cina, liberalisme ekonomi dijalankan dengan maksimal sehingga dapat menutupi isu otoritarianisme dalam bidang politik. Kalau negara kita ini nantinya akan otoriter baik dalam bidang ekonomi maupun politik, kemungkinan besar hal itu akan sangat bermasalah. Ibarat kata, ketika kita memilih untuk dikendalikan oleh pemerintahan otoriter/tegas, kita berharap bahwa manfaat yang dihasilkan dari keberadaan pemerintahan otoriter tersebut akan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang harus kita keluarkan, termasuk salah satunya kebebasan berpendapat. Apakah kemudian pengorbanan kita sebanding dengan manfaat yang kita harapkan akan diperoleh? Ini yang belum bisa dijawab oleh pendukung Prabowo di Indonesia. Itu pun dengan asumsi kalau Prabowo memang bisa mendirikan pemerintahan tegas, yang sebagaimana akan saya bahas di bawah ini, kemungkinan besar juga tidak akan tercapai.

    Kalau tidak, maka namanya sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ini namanya rugi besar-besaran. Belum lagi fakta bahwa di masa lalu, pemerintahan tegas di Indonesia sudah gagal menunjukkan hasil yang maksimal. Ya mau bagaimana lagi? Namanya juga untung-untungan. Di Orde Lama, hasil kepemimpinan tegas oleh orang yang tidak paham ekonomi macam Bung Karno menghasilkan inflasi ratusan persen dan rakyat yang kelaparan. Anda bilang demokrasi tidak bisa memberi makan orang lapar? Saya sepakat, begitu pula dengan slogan dan retorika dalam pidato.

    Di Orde Baru, kita juga memiliki pemimpin tegas tetapi karena tidak ada sistem check and balance yang baik dan juga karena tidak mau sungguh-sungguh bertumpu pada sistem ekonomi liberal, akhirnya hasilnya juga tidak maksimal. Diktatornya keenakan memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Industri kita lemah karena dari awal tidak kompetitif dan terlalu dilindungi.

    Sekarang, sistem ekonomi yang mau diusung dalam pemerintahan tegas Prabowo akan seperti apa? Mengikuti gaya Orde Baru yang sudah gagal macam proteksionisme dan fokus di industri yang sudah ketinggalan jaman macam pertanian (Cina saja sudah semakin meninggalkan bidang pertanian)? Atau Prabowo berani bilang dia akan mendukung sistem ekonomi kapitalisme secara tegas? Kalau ya, saya juga akan berpikir ulang untuk memilih dia. Namun kalau dia masih sibuk dengan retorikanya saja, mohon maaf, itu cuma buang-buang waktu saya.         

    Apakah Sistem Ketegasan Ala Prabowo akan Mendukung Terciptanya Negara Kesejahteraan?

    Sulit sebenarnya untuk mengukur apakah sistem pemerintahah Prabowo akan efektif karena sedari awal, dia dan pendukungnya tidak pernah menjelaskan sistem pemerintahan tegas akan dijalankan seperti apa,  dan juga bagaimana sistem pemerintahan tegasnya akan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Sistem Cina bisa berjalan efektif karena Cina hanya memiliki satu partai. Singapura juga hanya ada satu partai yang selalu menang pemilu. Pertanyaannya, implementasi di Indonesia nanti akan seperti apa dengan cukup banyaknya jumlah partai yang ada?

    Partai Gerindra sendiri cuma memegang kurang lebih 11% suara di DPR. Ibarat kata, kalau Prabowo mau jalan sendiri, koalisi partai-partai lainnya akan mudah untuk menyingkirkan dia. Dan sejauh yang kita lihat, setidaknya di masa SBY, saya belum pernah melihat adanya kebijakan yang benar-benar pro rakyat atau efisien yang dicetuskan oleh partai koalisi pendukung Prabowo saat ini.

    Lalu bagaimana nanti Prabowo akan menghadapi koalisinya sendiri? Menggunakan kekerasan atau militerisme? Kemungkinan besar tidak kalau dia benar-benar peduli pada masyarakat Indonesia. Prediksi saya, pemerintahan dia akan adem ayem seperti pemerintahan SBY saat ini, antara ada dan tiada. Mungkin itu baik bagi Indonesia, karena toh sejauh ini Indonesia juga masih baik-baik saja di bawah SBY. Tetapi ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagi saya. Untuk apa saya memilih Prabowo kalau pada akhirnya dia juga tidak bisa melakukan perubahan yang fundamental?

    Mau sok tegas, tetapi kebijakan ekonominya tidak jelas, cara menjalankannya pun juga tidak jelas. Mau kompromistis, lalu dimana letak ketegasannya? Ambil contoh paling gampang: Prabowo tidak bisa menawarkan satu kebijakan konkrit untuk mengatur koordinasi antara daerah dan pusat. Jokowi tegas menyatakan bahwa dia akan menggunakan politik anggaran. Dan politik anggaran itu merupakan kebijakan yang keras karena artinya daerah yang membandel akan mendapatkan lebih sedikit anggaran. Aneh sebetulnya kalau ada yang bilang bahwa Prabowo akan lebih tegas dibandingkan dengan Jokowi soal hubungan pusat-daerah ini.

    Begitu pula soal PNS. Prabowo senantiasa meributkan gaji PNS yang kecil. Sebenarnya gaji PNS sudah mengalami peningkatan yang cukup besar di masa SBY. Memangnya mau ditingkatkan seperti apa lagi? Yang kurang itu justru efisiensi dan profesionalisme dari para PNS. Coba lihat berapa banyak departemen kementerian di negara-negara maju, seperti Amerika dan Jepang. Lihat juga Singapura, dan kemudian bandingkan dengan banyaknya departemen kementerian di Indonesia.

    Prabowo berani tidak memotong departemen yang sedari awal tidak perlu ada kalau dia fokus ingin menciptakan negara kesejahteraan? Justru Jokowi yang selalu meributkan perlunya perbaikan sistem birokrasi, perlunya perekrutan birokrat berbasis kompetensi (sebagaimana sudah dimulai di Jakarta). Lalu yang kemudian sebenarnya bercita-cita memenuhi kriteria negara kesejahteraan itu siapa? Bahkan tidak perlu kita meributkan isu demokrasi di sini, fokus pada birokrasinya saja, siapa yang visinya lebih pro negara kesejahteraan?  

    Memangnya Apa Masalahnya dengan Demokrasi?   

    Terakhir, pertanyaan yang juga tidak pernah bisa dijawab oleh Prabowo dan pendukungnya adalah: memangnya apa yang salah dengan menggunakan sistem demokrasi? Apakah sistem demokrasi kita saat ini sebegitu gagalnya sehingga hasil yang kita peroleh tidak maksimal? Apakah tidak dimungkinkan bagi kita untuk mengembangkan ekonomi negara secara maksimal dengan mempertahankan sistem demokrasi? Bagaimana kalau kita menjalankan demokrasi dan pembangunan ekonomi secara bersama-sama?

    Prabowo mengkritik bahwa biaya pemilihan umum langsung dan pilkada terlalu mahal. Ada solusi yang sudah ditawarkan, diadakan secara serentak. Prabowo mengkritik bahwa karena biaya pemilu terlalu mahal, para pemimpin daerah cenderung korupsi. Dan memang betul, 80% dari pemimpin daerah sekarang ini terlibat dalam kasus KPK. Tapi apakah kemudian memindahkan pemilihan pemimpin daerah melalui mekanisme pemilihan oleh anggota DPRD akan mengurangi kemungkinan korupsi? Atau hal itu hanya memindahkan korupsinya ke level anggota DPRD saja? Apa jaminannya?

    Dan bukankah sekarang juga mulai terlihat tren munculnya pemimpin-pemimpin daerah yang berprestasi sebagai hasil dari pemilihan langsung tersebut? Kenapa meremehkan sekali kualitas masyarakat Indonesia seakan-akan kita semua ini begitu bodohnya? Saya justru melihat keberadaan sistem pemilihan langsung bisa memperkecil kemungkinan politik uang dan membuka kesempatan bagi orang berprestasi untuk maju. Semakin banyak rakyat yang harus dibeli, semakin mahal biaya untuk menang pilkada, sebagai akibatnya, calon pemimpin daerah memiliki insentif untuk bisa menunjukkan prestasinya di lapangan sehingga kans kemenangan lebih tinggi dibandingkan harus membayar satu-satu masyarakat di daerah yang bersangkutan. Hal ini pada akhirnya akan mendorong terpilihnya pemimpin yang bagus secara meritokratis.

    Sementara apabila pemimpin daerah dipilih melalui DPRD, potensi politik uang justru akan lebih mudah terjadi karena jumlah yang perlu disuap lebih sedikit. Alih-alih jadi mekanisme check and balance, jadinya justru mereka semua bersatu dalam kebusukan.

    Saya ingin melihat adanya pemikiran yang lebih mendalam dari kubu Prabowo kalau memang demokrasi kita itu menyusahkan kita saja. Saya juga ingin tahu kalau misalnya kita mengusung gaya kepemimpinan otoriter, bagaimana nantinya Prabowo dan tim memastikan bahwa semua aparat pemerintahan akan berada di jalan yang benar dan bagaimana mekanisme pengawasan akan dijalankan. Mengklaim bahwa demokrasi tidak berjalan itu gampang, yang sulit adalah memberikan alternatif lainnya yang diperkirakan akan lebih efisien dan memakmurkan masyarakat.

    Kesimpulan Sementara

    Saya sudah menulis 4 artikel termasuk artikel ini mengenai pilpres: yaitu Catatan atas Debat Bidang Hukum, Catatan atas Debat Bidang Ekonomi, dan Ilusi Pemimpin Tegas. Sejauh ini, saya masih mempertimbangkan untuk tetap memilih Jokowi dalam pilpres 2014 berdasarkan analisis dan alasan yang telah saya tulis dalam artikel-artikel tersebut. Moga-moga Pilpres 2014 ini akan membawa hasil yang maksimal bagi bangsa Indonesia.


  • The Protection of Criminal Suspects in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Jurnal Teropong Edisi RUU KUHAP 2015 | 23 Pages | Posted: 10 May 2015 | Date Written: April 28, 2015

    Public Choice Theory and its Application in Indonesian Legislation System

    24 Pages | Posted: 8 Oct 2012 | Last revised: 8 Nov 2014 | Date Written: October 8, 2012

    Special Purpose Vehicle in Law and Economics Perspective

    Forthcoming in Journal of Indonesia Corruption Watch, 'Pemberantasan Kejahatan Korupsi dan Pencucian Uang yang Dilakukan Korporasi di Sektor Kehutanan', 2013 | 15 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Date Written: August 18, 2013

    Legal Positivism and Law and Economics -- A Defense

    Third Indonesian National Conference of Legal Philosophy, 27-28 August 2013 | 17 Pages | Posted: 22 Aug 2013 | Last revised: 3 Sep 2013 | Date Written: August 22, 2013

    Economic Analysis of Rape Crime: An Introduction

    Jurnal Hukum Jentera Vol 22, No 7 (2012) Januari-April | 14 Pages | Posted: 12 Nov 2011 | Last revised: 8 Oct 2012 | Date Written: May 7, 2012

    DISCLAIMER

    As the author of this site, I am not intending to provide any legal service or establish any client-attorney relationship through this site. Any article in this site represents my sole personal opinion, and cannot be considered as a legal advice in any circumstances. No one may use or reproduce by any means the articles in this blog without clearly states publicly that those articles are the products of and therefore belong to Pramudya A. Oktavinanda. By visiting this site, you acknowledge that you fully understand this disclaimer and agree to fully comply with its provisions.